Anda di halaman 1dari 106

UNIVERSITAS INDONESIA

PRAKTEK KERJA PROFESI DI APOTEK KIMIA


FARMA NO. 389 DEPOK PERIODE BULAN JULI 2017

LAPORAN PRAKTEK KERJA

ARGA WAHYU HIDAYAT


1606965783

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
DEPOK
DESEMBER 2017
UNIVERSITAS INDONESIA

PRAKTEK KERJA PROFESI DI APOTEK KIMIA


FARMA NO. 389 DEPOK PERIODE BULAN JULI 2017

LAPORAN PRAKTEK KERJA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Apoteker

ARGA WAHYU HIDAYAT


1606965783

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
DEPOK
DESEMBER 2017

ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur diucapkan kepada Gusti Allah yang Maha Agung atas
segala rahmat dan pertolongan-Nya dalam penulisan laporan praktek kerja profesi
Apoteker ini. Penyusun mengucapkan terima kasih atas dukungan kepada:

1. Ibu Irma Nuryantie, S. Farm, Apt. dan Ibu Dra. Azizahwati, M.S, Apt. selaku
pembimbing yang telah membimbing, memotivasi selama praktek kerja
berlangsung dan penyusunan laporan.
2. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI yang telah
memberikan kesempatan untuk melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker.
3. Dr. Hayun, M.Si., Apt, selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi UI sekaligus pembimbing akademis yang telah memberikan
bimbingan, saran, bantuan dan dukungan selama perkuliahan di Fakultas
Farmasi.
4. Seluruh karyawan Apotek Kimia Farma No. 389 atas bantuan dan
dukungannya selama pelaksanaan praktek kerja profesi Apoteker.
5. Seluruh dosen dan staff Fakultas Farmasi yang telah mengajar, mendidik, dan
membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan laporan akhir.
6. Ayah, Ibu dan keluarga, terima kasih atas kasih sayang, doa dan semangat
selama menyelesaikan perkuliahan dan laporan Praktek kerja ini.

Akhir kata, semoga Gusti Allah yang Maha Agung berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga laporan PKPA ini
dapat memberi manfaat nyata bagi Farmasi UI, masyarakat dan Indonesia.

Depok, Desember 2017

Penyusun

vi
DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................ iii


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK................................................................ 3
2.1 Definisi dan Fungsi Apotek ...................................................................... 3
2.2 Persyaratan Apotek ................................................................................... 3
2.2.1. Lokasi dan Bangunan Apotek .................................................................. 3
2.2.2 Sarana dan Prasarana di Apotek ............................................................... 4
2.2.3 Sumber Daya Manusia di Apotek ............................................................ 5
2.3 Perizinan Pendirian Apotek ......................................................................... 7
2.4 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai ......................................................................................................... 8
2.4.1 Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras ................................. 8
2.4.2 Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor ................................................. 11
2.5 Pelayanan Farmasi Klinik ...................................................................... 17
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS PT. KIMIA FARMA APOTEK ...................... 22
3.1 Struktur Organisasi PT. Kimia Farma Apotek ....................................... 22
3.2 Apotek Kimia Farma 389 ....................................................................... 23
3.3 Lokasi dan Tata Ruang Apotek .............................................................. 23
3.3.1 Lokasi ..................................................................................................... 23
3.3.2 Tata Ruang ............................................................................................. 24
3.4 Struktur Organisasi dan Personalia ........................................................ 26
3.5 Kegiatan Apotek Kimia Farma No. 389 ................................................. 28
3.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP .................. 28
3.5.2 Pelayanan Farmasi Klinis....................................................................... 28
BAB 4 PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA PROFESI .............................. 34
4.1 Tempat dan Waktu ................................................................................. 34
vii
4.2 Uraian Kegiatan PKPA .......................................................................... 34
BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................... 40
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 49
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 49
6.2 Saran ....................................................................................................... 49
DAFTAR ACUAN ............................................................................................... 51
LAMPIRAN ......................................................................................................... 53

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas …………………………...…………….. 9


Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas ……………………....……….. 9
Gambar 2.3 Peringatan Obat Bebas Terbatas ……………………….....……. 9
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras …………………………………………. 9
Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika.……………………....……………... 11
Gambar 3.1 Logo PT. Kimia Farma (Persero), Tbk ...……………….……… 22

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Apotek Kimia Farma No. 389……………………… 54


Lampiran 2 Desain dan Rancang Bangun Apotek Kimia Farma No. 389……… 54
Lampiran 3 Lembar Surat Pesanan Narkotika ………………............................. 55
Lampiran 4 Lembar Surat Pesanan Psikotropika ……………….……………… 55
Lampiran 5 Lembar Bon Pengambilan Obat ………………………………....… 56
Lampiran 6 Lembar Kuitansi Pembayaran Resep/Tunai ……………………….. 56
Lampiran 7 Salinan Resep ……………………………………………………… 57
Lampiran 8 Kemasan dan Etiket ………………………………………………... 57
Lampiran 9 Contoh Label Obat ………………………………………………… 58
Lampiran 10 Alur Pelayanan Resep ……………………………………………... 58
Lampiran 11 Apotek Kimia Farma No. 389 ……………………………………... 59
Lampiran 12 Laporan Tugas Khusus …………………………………………….. 60

x
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesehatan, baik sehat secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU
No. 36 Tahun 2009), adalah suatu kebutuhan sekaligus hak bagi setiap warga
negara Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) RI tahun 1945.
Kesehatan merupakan suatu faktor yang sangat krusial dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang unggul dan berkualitas demi tercapainya tujuan bangsa, yaitu
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam
koridor pembangunan nasional.

Untuk mewujudkan pemerataan kesehatan pada masyarakat dengan seluas


– luasnya, dibutuhkan dukungan sumber daya kesehatan, sarana kesehatan, dan
sistem pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sarana penunjang kesehatan
yang memiliki peran penting dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan
bagi masyarakat adalah Apotek, termasuk didalamnya pekerjaan kefarmasian,
meliputi pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian Obat, pelayanan informasi Obat, serta
pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional (PP No. 51 Tahun 2009)
yang dilakukan oleh Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.

Apotek sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam proses distribusi akhir
dari sediaan farmasi dan alat kesehatan memiliki dua fungsi utama, yaitu
pengabdian kepada masyarakat (non profit oriented) dan bisnis sebagai retailer
(profit oriented), kedua fungsi dari Apotek tersebut tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya, Apotek sebagai unit bisnis harus dikelola dengan baik
untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainability) dengan menjaga arus kas
dan biaya operasional tetap dalam tingkat yang aman.

Disisi lain, Apotek tidak boleh melupakan peran sosialnya, yaitu


menyediakan Obat – Obatan dan perbekalan farmasi yang aman, bermutu,
berkualitas dan terjangkau, serta memastikan bahwa segala informasi, konsultasi
1 Universitas Indonesia
2

dan evaluasi mengenai Obat yang dibutuhkan oleh masyarakat telah diberikan
dengan sebaik – baiknya, sehingga tujuan Apotek dalam memelihara dan menjaga
kesehatan masyarakat dapat tercapai.

Mengingat pentingnya peran Apotek tersebut, maka dibutuhkan Apoteker


yang kompeten dan terampil serta memahami maupun menguasai aspek – aspek
yang berhubungan dengan pengelolaan Apotek yang tepat, kemampuan institusi
pendidikan yang menciptakan sumber daya manusia calon Apoteker yang
berkualitas menjadi faktor yang sangat krusial. Oleh sebab itu, Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia bekerja sama dengan PT.
Kimia Farma Apotek menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
yang berlangsung pada periode 3-29 Juli 2017. PKPA ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman kepada calon Apoteker mengenai peranan Apoteker di
Apotek, sebagai sarana pelatihan langsung secara bertanggung jawab untuk
menerapkan ilmu yang telah didapatkan dalam perkuliahan, serta mempelajari
aspek – aspek dan permasalahan yang timbul dalam pengelolaan suatu Apotek.

1.2 Tujuan

Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma No. 389, Jalan
Nusantara Raya No. 33 Depok bertujuan agar calon Apoteker:
a. Mampu memahami tugas dan tanggung jawab Apoteker dalam pengelolaan
Apotek, serta melakukan praktek pelayanan kefarmasian sesuai dengan
ketentuan perundang – undangan dan etika yang berlaku.
b. Memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis untuk
melakukan praktek kefarmasian di Apotek.
c. Memiliki gambaran nyata tentang permasalahan praktek kefarmasian serta
mempelajari strategi dan kegiatan – kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktek kefarmasian.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM APOTEK

2.1. Definisi dan Fungsi Apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun


2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apotek berfungsi sebagai sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan
kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan Obat, pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter,
pelayanan informasi Obat, serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat
tradisional.

Salah satu praktek kefarmasian yang dapat dilakukan di Apotek yaitu


pelayanan kefarmasian dimana pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 73 tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.

2.2. Persyaratan Apotek

2.2.1. Lokasi dan Bangunan Apotek


Jarak antara Apotek tidak dipersyaratkan, namun Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan
memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.
Lokasi Apotek harus memenuhi Persyaratan kesehatan lingkungan Apotek dapat
didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan dan komoditi lainnya
diluar sediaan farmasi (Menteri Kesehatan RI, 2017). Selain itu juga
mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah
penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi Apotek, dan
keamanan.

Bangunan Apotek harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan


kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien termasuk penyandang cacat,
3 Universitas Indonesia
4

anak – anak dan orang lanjut usia. Selain itu, Apotek harus mempunyai luas yang
cukup dan memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi Apotek, serta memelihara mutu perbekalan kesehatan
di bidang farmasi. Apotek sekurang-kurangnya harus memiliki ruang penerimaan
Resep, ruang pelayanan Resep dan peracikan maupun produksi sediaan secara
terbatas; ruang penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan; ruang konseling;
ruang penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan ruang arsip. Bangunan
Apotek harus bersifat permanen dan merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat
perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan
yang sejenis (Menteri Kesehatan RI, 2017)..

Apotek juga harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat
kesehatan, penerangan yang baik, alat pemadam kebakaran yang befungsi baik,
ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, serta papan
nama. Papan nama terdiri atas papan nama Apotek yang memuat paling sedikit
informasi mengenai nama Apotek, nomor SIA, dan alamat, serta papan nama
praktek Apoteker yang memuat paling sedikit informasi mengenai nama Apoteker,
nomor SIPA, dan jadwal praktek Apoteker. Papan nama harus dipasang di dinding
bagian depan bangunan atau dipancangkan di tepi jalan, secara jelas dan mudah
terbaca. Selain itu, jadwal praktek Apoteker harus berbeda dengan jadwal praktek
Apoteker yang bersangkutan di fasilitas kefarmasian lain (Menteri Kesehatan RI,
2017).

2.2.2. Sarana dan Prasarana di Apotek


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Apotek, sarana dan prasarana Apotek ditujukan untuk menjamin mutu Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktek
Pelayanan Kefarmasian. Sarana dan Prasarana di Apotek terdiri atas:
a. Area peneriman Resep
Area ini ditempatkan di bagian paling depan sehingga mudah terlihat oleh
pasien. Sekurang kurangnya terdiri atas counter penerimaan resep serta satu set
komputer untuk melakukan pekerjaan administrasi.

Universitas Indonesia
5

b. Ruang pelayanan Resep dan peracikan


Ruang pelayanan Resep dan peracikan meliputi rak Obat dan meja peracikan.
Sekurang-kurangnya tersedia peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum
(mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket, dan label Obat.
Ruangan dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan.
c. Area penyerahan Obat
Area penyerahan Obat berupa counter penyerahan Obat yang dapat
digabungkan atau bersebelahan dengan counter penerimaan Resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi
konseling, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku
catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.
e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai (BMHP).
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, serta ventilasi untuk menjamin mutu produk dan keamanan
petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan lemari Obat, pendingin
ruangan (AC), lemari pendingin, alat pengukur suhu dan catatan suhu.
f. Ruang arsip
Digunakan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP serta catatan pelayanan kefarmasian
seperti catatan konseling maupun catatan pengobatan pasien dalam jangka
waktu tertentu.

2.2.3 Sumber Daya Manusia di Apotek


Semua Apoteker yang akan melaksanakan praktek kefarmasian harus memiliki
sertifikat kompetensi Apoteker. Sertifikat kompetensi profesi Apoteker berlaku selama
lima tahun dan dapat dilakukan sertifikasi ulang setelah habis masa berlakunya. Calon
Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi
Apoteker Indonesia (UKAI) sebelum dapat diberikan sertifikat kompetensi Apoteker.
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

Universitas Indonesia
6

Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian


(TTK) dan/ atau tenaga administrasi dalam pengelolaan Apotek. Apoteker wajib
memiliki surat izin praktek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
berupa Surat Izin Praktek Apotek (SIPA). (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2017). Sebelum memperoleh SIPA, Apoteker harus memiliki Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 31
tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 889 tahun 2011 tentang
Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, STRA diberikan oleh
Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. Menteri akan mendelegasikan
pemberian STRA kepada Komite Farmasi Nasional (KFN). Masa berlaku STRA
selama 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Untuk
memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki ijazah Apoteker;
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat
izin praktek; dan
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Pengurusan SIPA dilakukan di Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu


Pintu Kabupaten/Kota tempat Apoteker akan melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian. Permohonan SIPA harus melampirkan:
a. Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari
pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian;
c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2
(dua) lembar.

Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat memiliki


paling banyak 3 SIPA untuk fasilitas pelayanan kefarmasian, sementara Apoteker
yang memiliki SIA (Surat Izin Apotek), boleh memiliki paling banyak 2 SIPA di
fasilitas pelayanan kefarmasian lain.

Universitas Indonesia
7

2.3. Perizinan Pendirian Apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek,


Apotek dapat didirikan oleh Apoteker dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik
modal baik perorangan maupun perusahaan. Namun, pekerjaan kefarmasian harus tetap
dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan apabila pendirian suatu Apotek
bekerja sama dengan pemilik modal. Sebelum suatu Apotek dapat beroperasi, seorang
Apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA). SIA berlaku selama 5 tahun dan dapat
diperpanjang apabila masih memenuhi persyaratan. Apoteker harus mengajukan
permohonan tertulis untuk memperoleh SIA melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) Kabupaten/Kota apabila perizinan dilakukan diluar wilayah DKI Jakarta
atau PTSP Kecamatan apabila perizinan dilakukan di wilayah DKI Jakarta.
Permohonan harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan
dokumen administratif meliputi:
a. Fotokopi SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker), dapat menggunakan SIPA kesatu,
kedua atau ketiga;
b. Fotokopi KTP Apoteker;
c. Surat Pernyataan bahwa APA tidak merangkap/bekerja di Apotek lain/ Industri
lain dan sanggup bekerja sebagai APA di Apotek dimaksud;
d. Fotokopi perjanjian kerjasama antara APA dan Pemilik Sarana Apotek (PSA)
(di depan Notaris);
e. Surat pernyataan PSA bahwa tidak pernah terlibat pelanggaran perundang-
undangan dibidang Farmasi;
f. Peta Lokasi dan Denah Bangunan Apotek;
g. Status Bangunan dan kaitannya dengan PSA (Hak Milik/Sewa/Kotrak);
h. Daftar Asisten Apoteker dilampiri Fotokopi Ijasah dan SIPTTK;
i. Surat izin Atasan untuk APA yang bekerja sebagai PNS/BUMN; dan
j. Surat Izin Tempat Usaha (SITU).

Paling lama dalam waktu 6 hari kerja sejak menerima permohonan dan
dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan
setempat terhadap kesiapan Apotek. Tim pemeriksa harus melibatkan unsur dinas

Universitas Indonesia
8

kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas tenaga kefarmasian dan tenaga lainnya
yang menangani bidang sarana dan prasarana. Paling lama dalam waktu 6 hari kerja
sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan
setempat yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota. Paling lama dalam waktu 12 hari kerja sejak Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Bila hasil pemeriksaan oleh tim pemeriksa dinyatakan masih belum


memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan
surat penundaan paling lama dalam waktu 12 hari kerja. Pemohon dapat
melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 bulan sejak surat penundaan
diterima. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan, maka
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan. Apabila
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka
waktu (12 hari kerja), Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan
menggunakan BAP sebagai pengganti SIA. Pemerintah daerah menerbitkan SIA
bersamaan dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA. Oleh sebab itu,
masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA. Setiap perubahan alamat di lokasi
yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan Apoteker
pemegang SIA, atau nama Apotek harus dilakukan perubahan izin mengikuti
ketentuan seperti pengajuan SIA untuk pertama kalinya. Namun, untuk Apotek
yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan nama
Apotek tidak perlu dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.

2.4. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai

2.4.1. Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras


Obat bebas adalah Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa Resep
dokter. Obat bebas memiliki tanda khusus pada kemasan dan etiket yaitu lingkaran hijau
dengan garis tepi berwarna hitam (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2007).
Contoh: Vitamin C tablet.
Universitas Indonesia
9

Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas


Obat bebas terbatas adalah Obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
tanpa Resep dokter dengan disertai tanda peringatan berupa persegi panjang berwarna
hitam dengan panjang 5 cm dan lebar 2 cm dengan huruf berwarna putih. Obat bebas
terbatas memiliki tanda khusus pada kemasan dan etiket yaitu lingkaran biru dengan garis
tepi berwarna hitam (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2007). Contoh:
Betadine gargle, Dimenhidrinat (Antimo).

Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Gambar 2.3. Penandaan Tanda Peringatan

Obat keras adalah Obat yang hanya dapat dibeli di Apotek dengan Resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis
tepi berwarna hitam. Contoh: Captopril, Glibenklamid.

Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras dan Psikotropika

Universitas Indonesia
10

2.4.1.1 Pengelolaan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras.
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan perlu diperhatikan pola penyakit, pola
konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat sekitar Apotek.
b. Pengadaan
Pengadaan harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian. Pengadaan Obat dilakukan kepada
PBF resmi dengan menggunakan Surat Pesanan (SP) yang berisi nama Obat dan
jumlah Obat yang dipesan. SP dibuat rangkap dua, satu untuk PBF dan satu untuk arsip
Apotek.
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan faktur dan
kondisi fisik barang yang diterima.
d. Penyimpanan
Aspek yang perlu diperhatikan pada penyimpanan Obat/bahan Obat yaitu harus
disimpan dalam wadah asli dari pabrik pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin
keamanan dan stabilitasnya, apabila ada suatu keadaan yang menyebabkan Obat harus
dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas (nama Obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa) pada
wadah baru. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis dan pengeluaran Obat memakai
sistem First Expire First Out dan First In First Out. Obat yang memiliki nama maupun
bentuk kemasan yang mirip (Look Alike Sound Alike/ LASA) tidak boleh diletakkan
berdekatan dan harus diberikan penanda dengan stiker LASA pada tempat
penyimpanan Obat.
e. Pemusnahan dan penarikan
Pemusnahan Obat selain narkotika, psikotropika dan prekursor yang kadaluwarsa atau
rusak harus dilakukan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan, dan dilakukan oleh
Apoteker serta disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain. Resep yang telah disimpan
melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan oleh Apoteker disaksikan
oleh petugas lain di Apotek.

Universitas Indonesia
11

f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai
kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pengelolaan persediaan. Pengelolaan
persediaan dapat menggunakan prinsip pareto, analisis ABC, maupun analisis VEN
atau kombinasi ketiganya. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian
pesanan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan meliputi pengadaan (surat
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan
internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

2.4.2. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor


Narkotika adalah zat atau Obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri
dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Gambar 2.5. Penandaan Obat Narkotika

1. Narkotika
Menurut Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika
digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan

Universitas Indonesia
12

persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan


Makanan. Contoh: Seluruh bagian tanaman Papaver Somniverum L. kecuali
bijinya.
b. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil.
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan tiga adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi bermanfaat dan berkhasiat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:
Kodein, Buprenorfin, Etilmorfin.

2. Psikotropika
Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan digolongkan menjadi (Presiden RI, 1997):
a. Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: MDMA (3,4-
methylenedioxy-methamphetamine), LSD (Asam lisergat dietilamida)
b. Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu penge-tahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Metamfetamin.
c. Psikotropika golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengObat-an dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Amobarbital.

Universitas Indonesia
13

d. Psikotropika golongan IV.


Psikotropika yang berkhasiat pengObat-an dan sangat luas digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Diazepam, Klordiazepoksid.

3. Prekursor
Pengelolaan prekursor farmasi terdapat dalam Peraturan Pemerintah nomor 44
tahun 2010, Peraturan Kepala BPOM nomor 40 tahun 2013 dan Peraturan
Pemerintah nomor 3 tahun 2015. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan
pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong
untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk
ruahan, dan produk jadi Narkotika dan Psikotropika. Prekursor digolongkan
menjadi 2, yaitu Prekursor Tabel I seperti Potassium Permanganat, 1-Fenil 2-
Propanon, Asam Asetat Anhidrat, Asam Asetil Antranilat, Isosafrol, 3,4-
Metilendioksifenil 2-Propanon, Piperonalm Safrol, Efedrin, Pseudoefedrin,
Fenil Propanol Amin Hidroklorida, Ergometrin dan Asam Lisergat, serta
Prekursor Tabel II seperti Asam Hidroklorida, Asam Sulfat, Toluen, Dietil Eter,
Aseton, Metil Etil Keton, Asam Fenil Asetat, Asam Antranilat dan Piperidin.
Prekursor dalam penggolongan Tabel I merupakan bahan awal dan pelarut yang
sering digunakan dan diawasi lebih ketat dibandingkan Prekursor dalam
penggolongan pada Tabel II.

2.4.2.1 Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor


Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,
pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor meliputi:
a. Pemesanan
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Apotek hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan. Surat pesanan untuk Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor hanya dapat berlaku untuk masing-masing
Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi. Surat pesanan narkotika
hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis narkotika. Sedangkan surat pesanan
Universitas Indonesia
14

Psikotropika atau Prekursor Farmasi dapat digunakan untuk beberapa jenis


Psikotropika atau Prekursor Farmasi. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan
barang lain. Surat pesanan narkotika dibuat rangkap 4, sementara surat pesanan
psikotropika dibuat rangkap 3 dan surat pesanan prekursor dibuat rangkap 2.
b. Penyimpanan
Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di
fasilitas pelayanan kefarmasian termasuk Apotek harus mampu menjaga
keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Narkotika dan Psikotropika di Apotek disimpan di dalam lemari khusus.
Sedangkan untuk Prekursor Farmasi harus disimpan dalam bentuk Obat jadi di
tempat penyimpanan Obat yang aman berdasarkan analisis risiko. Lemari
khusus untuk menyimpan Narkotika dan Psikotropika di Apotek harus terbuat
dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah
kunci yang berbeda, diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh
umum dan kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
c. Penyerahan
Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada
Apotek lainnya, puskesmas; instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik; dokter; dan pasien. Hal yang harus diperhatikan dalam pelayanan Resep
yang mengandung Narkotika antara lain adalah:
1. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan atau ilmu
pengetahuan.
2. Narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan
penyakit berdasarkan Resep Dokter.
3. Apotek dilarang mengulangi penyerahan Narkotika atas dasar salinan Resep
Dokter.
4. Apotek dilarang melayani salinan Resep yang mengandung Narkotika.
5. Untuk Resep Narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali,
Apotek boleh membuat salinan Resep, tetapi salinan Resep tersebut hanya
boleh dilayani oleh Apotek yang menyimpan Resep asli.

Universitas Indonesia
15

d. Pemusnahan
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam hal diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali, telah kadaluarsa, tidak memenuhi
syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan, dibatalkan izin
edarnya, atau berhubungan dengan tindak pidana.

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan


dengan tidak mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan
masyarakat. Pemusnahan dilakukan dengan tahapan yaitu penanggung jawab
Apotek menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar Badan Pengawas Obat
dan Makanan setempat serta harus membuat Berita Acara Pemusnahan yang
paling sedikit memuat hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan, tempat
pemusnahan, nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas
distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktek
perorangan, nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut, nama dan jumlah Narkotika dan Psikotropika yang
dimusnahkan, cara pemusnahan, serta tanda tangan penanggung jawab fasilitas
pelayanan kefarmasian dan saksi. Berita Acara Pemusnahan harus dibuat paling
sedikit sebanyak 3 (tiga) rangkap.
e. Pencatatan dan Pelaporan
Apotek wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan pengeluaran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pencatatan paling sedikit
terdiri atas:
1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi
2. Jumlah persediaan
3. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
4. Jumlah yang diterima
5. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan
6. Jumlah yang disalurkan/diserahkan
Universitas Indonesia
16

7. Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan


8. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Pencatatan yang dilakukan harus sesuai dengan dokumen penerimaan dan


dokumen penyaluran. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan,
dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah
paling singkat 3 (tiga) tahun. Pelaporan disampaikan paling lambat setiap
tanggal 10 setiap bulan melalui aplikasi SIPNAP (Sistem Informasi Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika) yang dapat diakses di website http:// www.
sipnap.kemkes.go.id

2.4.2.2 SIPNAP (Sistem Informasi Pelaporan Narkotika dan Psikotropika)

Aplikasi SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika)


dikembangkan dan dikelola oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian, Ditjen Binfar dan Alkes. Software SIPNAP ini diberikan kepada
Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pihak Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai user akan melakukan input data unit pelayanan,
seperti Apotek, puskesmas, dan rumah sakit, ke dalam software SIPNAP. Software
akan memberikan output berupa lembar kerja dalam format Microsoft Excel yang
kemudian dibagikan kepada unit pelayanan yang ada di kabupaten/kota tersebut.
Lembar kerja tersebut diisi oleh unit pelayanan melalui komputer dan selanjutnya
diserahkan kembali kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam bentuk
softcopy setiap bulannya. Hasil isian lembar kerja dari unit pelayanan tersebut lalu
dimasukkan ke dalam software SIPNAP oleh pihak pengelola SIPNAP di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Setelah semua hasil laporan dari unit pelayanan
direkapitulasi, selanjutnya data tersebut dikirimkan melalui internet ke server yang
ada di Kementerian Kesehatan. Program SIPNAP ini juga dilengkapi dengan
aplikasi berupa daftar dalam form Excel berisi nama-nama narkotika dan
psikotropika yang dapat dilaporkan (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian, 2008).

Universitas Indonesia
17

Implementasi penggunaan SIPNAP ini dilakukan melalui bimbingan teknis


oleh petugas dari Kementerian Kesehatan kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan
satu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berada di ibukota provinsi. Pihak
Kementerian Kesehatan akan memberikan user ID dan password kepada pengelola
SIPNAP di Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Laporan terdiri dari laporan pemakaian narkotika dan psikotropika untuk bulan
bersangkutan meliputi periode, status pelaporan, jenis entry, produk, status
transaksi, stok awal, pemasukan dari PBF (jika ada transaksi), pemasukan dari
sarana (jika ada transaksi), pengeluaran untuk Resep (jika ada transaksi),
pengeluaran untuk sarana (jika ada transaksi), status pemusnahan, nomor Berita
Acara Pemusnahan (BAP), tanggal BAP, jumlah yang dimusnahkan, dan stok akhir.
Setelah dilakukan input dan pengiriman laporan dalam SIPNAP, maka rekapitulasi
pelaporan dapat diunduh dan disimpan kemudian ditampilkan dalam format file
excel untuk diprint dan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA).
Password dan username untuk login ke dalam SIPNAP didapatkan setelah
melakukan registrasi pada Dinkes setempat.

Melalui server tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat melihat


hasil laporan yang telah dikirimkan ke server Kementerian Kesehatan. Dinas
Kesehatan Provinsi bertugas untuk mengecek pengiriman laporan yang telah
dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui server SIPNAP
tersebut. Selain itu, Dinas Kesehatan Provinsi juga melakukan pembinaan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui sosialisasi dan pelatihan software
SIPNAP serta memberi teguran kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
belum mengirimkan laporannya (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian, 2011).

2.5. Pelayanan Farmasi Klinik

Seorang Apoteker di Apotek bertanggung jawab melaksanakan pelayanan farmasi


klinik, hal ini berhubungan langsung dengan pasien untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun
2016, yang termasuk pelayanan farmasi klinik adalah:

Universitas Indonesia
18

a. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian Resep dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kajian administratif, meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan,
nama dokter, nomor Surat Izin Praktek (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf,
dan tanggal penulisan Resep.
2. Kajian kesesuaian farmasetik, meliputi bentuk dan kekuatan, sediaan stabilitas
sediaan, dan kompatibilitas (ketercampuran Obat).
3. Pertimbangan klinis, meliputi ketepatan indikasi dan dosis Obat, aturan, cara dan
lama penggunaan Obat, duplikasi dan/atau polifarmasi, reaksi Obat yang tidak
diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain), kontra indikasi, dan
interaksi.
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat,
kegiatannya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep, dengan menghitung
kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep dan mengambil Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket dengan ketentuan warna putih untuk Obat oral, warna biru
untuk Obat luar dan suntik, dan pelabelan “kocok dahulu” pada bentuk sediaan
suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang
berbeda.
5. Memeriksa kembali penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta
jenis dan jumlah Obat.
6. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien, lalu memastikan ulang identitas dan
alamat pasien serta memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya.
7. Menyerahkan Obat disertai pemberian informasi Obat meliputi cara penggunaan
Obat, manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan
efek samping, dan cara penyimpanan.
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan).

Universitas Indonesia
19

9. Menyimpan Resep pada tempatnya.


10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien (patient medication record).

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi
disertai edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit
ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai maupun Obat
Wajib Apotek.
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam
pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan
dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan
lain, pasien atau masyarakat. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi
khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, efikasi, dan lain-
lain. Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran
kembali dalam waktu yang relatif singkat.
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi
perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan
metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga
pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu
hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Universitas Indonesia
20

e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)


Pelayanan Kefarmasian ini bersifat kunjungan rumah, dilakukan khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi
Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan
efek samping. Hal utama yang dilakukan adalah mengidentifikasi masalah terkait
Obat. Selanjutnya memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi
rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan dikomunikasikan dengan tenaga
kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau
tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
h. Swamedikasi
Swamedikasi adalah kegiatan pengobatan diri sendiri oleh masyarakat terhadap
penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan Obat-Obatan yang dijual bebas
di
pasaran atau Obat keras yang bisa didapat tanpa Resep Dokter dan diserahkan oleh
Apoteker di Apotek. Peran dan tanggung jawab Apoteker sebagai profesional dalam
pelayanan swamedikasi diantaranya adalah:
1. Memberikan nasehat dan informasi yang benar, cukup dan objektif tentang
swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk swamedikasi.
2. Merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang
diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi.
3. Memberikan laporan kepada lembaga pemerintah yang berwenang, dan untuk
menginformasikan kepada produsen Obat yang bersangkutan, mengenai efek tak
dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada pasien yang menggunakan Obat
tersebut dalam swamedikasi.

Universitas Indonesia
21

4. Mendorong anggota masyarakat agar memperlakukan Obat sebagai produk


khusus yang harus dipergunakan dan disimpan secara hati-hati, dan tidak boleh
dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.
Kriteria Obat yang dapat diserahkan tanpa Resep Dokter adalah adalah:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah
usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan Obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
5. Memiliki rasio khasiat dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.

Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS PT. KIMIA FARMA APOTEK

3.1 Struktur Organisasi PT. Kimia Farma Apotek

PT. Kimia Farma Apotek dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang
membawahi 3 direktur (Direktur Operasional, Direktur Keuangan serta Direktur
SDM dan Umum) dan 1 manajer (Manajer Pengembangan). Direktur Operasional
membawahi Manajer Controller, Manajer Compliance dan Risk Management serta
Manajer Principal and Merchandise. Direktur Keuangan membawahi Manajer
Akuntansi, Keuangan dan IT serta Manajer Apotek Bisnis (Unit Bisnis). Direktur
SDM dan Umum membawahi Manajer Human Capital dan General Affair.

Gambar 3.1 Logo PT. Kimia Farma (Persero), Tbk

Ada 2 (dua) jenis Apotek Kimia Farma, yaitu Apotek administrator yang
sekarang disebuat Business Manager (BM) dan Apotek pelayanan. Business
Manager membawahi beberapa Apotek pelayanan yang berada dalam suatu
wilayah. Business Manager bertugas menangani pembelian, penyimpanan barang
dan administrasi Apotek pelayanan yang berada di bawahnya. Dengan adanya
konsep unit BM, diharapkan pengelolaan aset dan keuangan dari Apotek dalam
suatu area menjadi lebih efektif dan efisien, demikian juga kemudahan dalam
pengambilan keputusan- keputusan yang menyangkut antisipasi dan penyelesaian
masalah. Secara umum keuntungan yang diperoleh melalui konsep BM adalah:
a. Koordinasi modal kerja menjadi lebih mudah.
b. Apotek pelayanan akan lebih fokus kepada kualitas pelayanan, sehingga mutu
pelayanan akan meningkat dan diharapkan akan berdampak pada peningkatan
penjualan.
c. Merasionalkan jumlah SDM terutama tenaga administrasi yang diharapkan
berimbas pada efisiensi biaya administrasi.

22 Universitas Indonesia
23

d. Meningkatkan bargaining dengan pemasok untuk memperoleh sumber barang


dagangan yang lebih murah, dengan maksud agar dapat memperbesar range
margin atau HPP rendah.

Untuk wilayah jabodetabek dibagi menjadi 7 unit bisnis, yaitu:


a. Business Manager Jaya I, membawahi wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta
Barat dengan BM di Apotek Kimia Farma No. 42, Kebayoran Baru.
b. Business Manager Jaya II, membawahi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan
Jakarta Timur dengan BM di Apotek Kimia Farma No. 48, di Matraman.
c. Business Manager Bogor, membawahi wilayah Bogor dan Sukabumi dengan
BM di Apotek Kimia Farma No. 7, Bogor.
d. Businness Manager Depok, membawahi wilayah Depok dengan BM di Apotek
Kimia Farma No. 389, Depok.
e. Business Manager Tanggerang, membawahi wilayah Provinsi Banten dengan
BM di Apotek Kimia Farma No. 78, Tanggerang.
f. Business Manager Rumah Sakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
g. Business Manager Wilayah Bekasi

3.2 Apotek Kimia Farma 389

Apotek Kimia Farma 389 yang berlokasi di Jl. Nusantara Raya No. 33,
Pancoran Mas, Depok (lampiran) merupakan salah satu unit Business Manager
yang dimiliki oleh PT. Kimia Farma Apotek, sebagai unit Business Manager,
Apotek Kimia Farma No. 389 mengelola administrasi, pengadaan atau pembelian,
piutang dagang, hutang dagang, pajak, kas, personalia, dan kasir besar untuk
kepentingan seluruh Apotek pelayanan yang berada di bawah BM wilayah Depok.

3.3 Lokasi dan Tata Ruang Apotek

3.3.1 Lokasi
Apotek Kimia Farma No. 389 berlokasi di Jalan Nusantara Raya No. 33,
Depok. Ditinjau dari lokasinya, Apotek ini cukup strategis karena berada tepat di
pinggir jalan dengan arus lalu lintas dua arah yang sering dilalui kendaraan yang
juga dilewati oleh kendaraan umum. Lokasi Apotek sekitar 300 meter dari

Universitas Indonesia
24

persimpangan pitara yang cukup ramai dan dekat dengan lokasi untuk memutar
kendaraan serta terletak dekat dengan tempat-tempat umum seperti pusat
perbelanjaan, pertokoan, pasar, pemukiman penduduk, klinik maupun praktek
dokter serta dekat dengan rumah sakit.

3.3.2 Tata Ruang


Apotek Kimia Farma No. 389 terletak di sebuah gedung berlantai 3, dimana
lantai 1 merupakan Apotek pelayanan, sementara lantai 2 merupakan gudang
Business Manager untuk seluruh Apotek pelayanan di wilayah Depok dan lantai 3
merupakan kantor Business Manager. Tata ruang Apotek memiliki konsep semi
terbuka sehingga kegiatan yang sedang dilakukan oleh pegawai dapat dilihat
langsung oleh pasien, kecuali ruangan peracikan dan administrasi. Desain dinding
bagian depan bangunan Apotek menggunakan kaca tembus pandang secara
keseluruhan, hal bertujuan untuk mempermudah masyarakat melihat kondisi di
dalam Apotek dan menarik perhatian pengguna jalan yang melewati Apotek. Obat
dengan kemasan dan warna yang menarik diletakkan di rak paling depan dengan
penataan sedemikian rupa sehingga konsumen tertarik untuk berkunjung.
Pembagian ruangan di Apotek Kimia Farma No. 389 adalah sebagai berikut:
a. Halaman Depan Apotek
Terdapat tempat parkir kendaraan di halaman depan Apotek yang cukup luas
dan memadai untuk kendaraan roda dua maupun roda empat.
b. Area Swalayan Farmasi
Area ini berada di sebelah kanan dan kiri dari arah masuk pintu depan. Rak obat
di swalayan farmasi berada dekat dengan ruang tunggu sehingga mudah dilihat
oleh pengunjung, baik pengunjung yang bertujuan langsung membeli Obat
swamedikasi, maupun pengunjung yang sedang menunggu pelayanan Resep.
Swalayan Farmasi terdiri dari 2 wall dan 4 gondola Obat OTC (over the
counter) yang digunakan dalam UPDS (upaya pengobatan diri sendiri) atau
swamedikasi, seperti analgetik, antipiretik, Obat batuk, Obat anti mual,
antelmentika, suplemen maupun nutraceutical seperti susu, serta perbekalan
kesehatan lainnya, pada area swalayan farmasi juga terdapat lemari pendingin
minuman.

Universitas Indonesia
25

c. Ruang Tunggu
Ruang tunggu Apotek terletak pada sebelah kiri dari arah masuk pintu depan,
di dalam ruang tunggu terdapat pendingin ruangan untuk memberikan
kenyamanan pada pelanggan yang sedang menunggu penyiapan Obat.
Sayangnya tidak tersedia televisi maupun bahan bacaan seperti koran maupun
majalah bagi pasien yang menunggu peracikan Obat.
d. Area Pelayanan
Area pelayanan terdiri dari tempat penerimaan Resep sekaligus kasir, tempat
penyiapan Obat, tempat penyerahan Obat, dan tempat pembelian Obat-Obat
OTC (over the counter). Antara pelanggan dengan bagian dalam area pelayanan
dibatasi oleh meja berbentuk huruf L dengan tinggi setara dada orang dewasa,
kecuali pada bagian penyerahan Obat. Pada bagian penyerahan Obat,
disediakan meja yang lebih rendah dengan dua kursi yang saling berhadapan
untuk Apoteker memberikan konseling maupun tenaga teknis kefarmasian
memberikan informasi mengenai Obat kepada pasien.

Terdapat 2 counter untuk penerimaan Resep maupun pembelian Obat-Obat


OTC, masing-masing counter memiliki komputer yang berfungsi untuk
memeriksa ketersediaan barang dan memberikan informasi harga Obat kepada
pasien sehingga memudahkan pelayanan dan menghindari antrian yang
panjang.
e. Ruang Penyimpanan dan Peracikan Obat
Pada bagian dalam area pelayanan Apotek terdapat lemari Obat sebagai tempat
penyimpanan Obat. Pada ruangan ini dilakukan proses pembacaan Resep,
penyiapan Obat, dan pembuatan etiket. Ruangan ini dilengkapi dengan lemari
Obat–Obat ethical, meja serta kursi untuk menulis, etiket, kemasan, label,
lembar copy Resep, kuitansi, dan buku–buku panduan yang diperlukan seperti
ISO, MIMS, dan buku yang berisi daftar Obat untuk Resep– Resep kredit.

Penempatan Obat ethical di rak disusun berdasarkan abjad, kelas terapi, serta
bentuk sediaan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah serta mempersingkat
waktu yang dibutuhkan saat pengambilan Obat. Obat ethical dengan bentuk
solid (tablet dan kapsul dalam strip atau blister) disusun di rak yang dapat
diputar sehingga dapat menghemat tempat untuk meletakan Obat. Untuk Obat-
Universitas Indonesia
26

Obat yang tidak stabil pada suhu ruangan, penyimpanannya diletakkan di dalam
lemari pendingin yang memiliki pengatur dan catatan suhu, lemari pendingin
tersebut terletak di ruang peracikan. Obat-Obat golongan Narkotika dan
Psikotropika disimpan terpisah pada lemari yang tidak dapat digeser, dibaut
pada dinding, terbuat dari kayu, memiliki dua bagian, dan masing-masing
bagian memiliki kunci yang berbeda. Kunci lemari Narkotika tersebut dipegang
oleh Apoteker dan seorang Tenaga Teknis Kefarmasian senior yang
dikuasakan.

Area peracikan Obat berada dalam satu ruangan dengan area penyimpanan
Obat. Di dalam ruangan ini dilakukan penimbangan, peracikan, dan
pengemasan Obat-Obat racikan. Area peracikan obat memiliki fasilitas yang
cukup lengkap dan memadai untuk peracikan seperi timbangan, mortar dan
stamper, bahan baku, cangkang kapsul, kertas puyer berlogo, kertas perkamen,
serta mesin press untuk kertas puyer berlogo Kimia Farma.
f. Area Kerja Apoteker Pengelola Apotek
Area ini tidak memiliki ruangan khusus melainkan berada dibawah lemari
Narkotika dan Psikotropika. Area ini digunakan oleh APA untuk melakukan
tugas dan tanggung jawabnya, baik dalam hal teknis kefarmasian (fungsi
kontrol) dan non teknis kefarmasian (fungsi manajerial). Dilengkapi meja
dengan lemari yang berisi berkas – berkas administrasi Apotek, seperti bon
permintaan barang Apotek (BPBA), faktur, serta dokumentasi pelaksanaan
home care.
g. Ruang Penunjang Lainnya
Terdapat toilet di bagian belakang Apotek, tepat lurus dengan pintu masuk yang
dihalangi oleh banner promosi Obat OTC.

3.4 Struktur Organisasi dan Personalia

Kepala Apotek Kimia Farma No. 389 adalah seorang Apoteker Pengelola
Apotek (APA) yang juga merangkap sebagai Manager Apotek Pelayanan (MAP).
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, APA dibantu dan membawahi Asisten
Apoteker lulusan Sekolah Menengah Farmasi yang berjumlah 4 orang dengan shift

Universitas Indonesia
27

yang berbeda beda. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi Apotek Kimia Farma
No. 389 dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tugas dan tanggung jawab masing-masing personil di Apotek Kimia Farma


No. 389, adalah:
a. Apoteker Pengelola Apotek (APA) dengan tanggung jawab:
1. Mengelola dan memantau seluruh kegiatan operasional di Apotek, meliputi
pelayanan kefarmasian maupun non-kefafarmasian
2. Memastikan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) sesuai
dengan arahan dan kebijakan BM
3. Memastikan kegiatan operasional Apotek berjalan sesuai prosedur dan
ketentuan yang berlaku
4. Memastikan layanan profesi sesuai kebutuhan pelanggan
5. Memastikan penataan produk dan ketersediaan barang di Apotek dapat
memenuhi kebutuhan pelanggan
6. Mengelola kegiatan pemasaran Apotek (melalui marketing promotion)
mengelola kegiatan pengembangan usaha Apotek (melalui penambahan dan
pengembangan pelanggan serta kerjasama dengan pihak luar), untuk
memastikan pencapaian target penjualan dan pelayanan yang ditetapkan
7. Mengelola kegiatan perencanaan, pengadaan dan pengendalian persediaan
di Apotek untuk memastikan tingkat ketersediaan produk di Apotek secara
optimal
8. Mengelola kegiatan pemberdayaan dan peningkatan potensi karyawan
untuk memastikan tercapainya produktivitas karyawan yang optimal di
Apotek

b. Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dengan tanggung jawab:


1. Menyiapkan, meracik, mengubah bentuk, mengemas, dan memberi etiket
sesuai permintaan Resep
2. Memberikan harga Obat dari setiap Resep dokter yang ditebus pasien
3. Memeriksa kebenaran dan kelengkapan Obat sesuai Resep yang diterima
meliputi nama Obat, bentuk sediaan, jumlah Obat, kekuatan sediaan, nama
pasien, dan cara penggunaan Obat

Universitas Indonesia
28

4. Membuat kuitansi pembayaran dan salinan Resep untuk Obat yang tidak
ditebus atau ditebus sebagian oleh pasien, dan Obat yang diulang
5. Mengontrol, mengatur, dan menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) sesuai dengan bentuk dan jenis barang
6. Memeriksa kesesuaian barang yang datang dari distributor dengan faktur
dan Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA) yang telah dibuat
7. Melayani penjualan Obat bebas, Obat bebas terbatas, Obat herbal, alat
kesehatan, dan BMHP disertai pemberiaan informasi yang dibutuhkan
kepada pasien
8. Memastikan ketersediaan barang-barang Apotek untuk kebutuhan penjualan
bebas

c. Tenaga Non Kefarmasian, terdiri dari sales promotion girl (SPG) dan satpam.

3.5 Kegiatan Apotek Kimia Farma No. 389

Kegiatan operasional di Apotek meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat


kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik, telefarma, pesan
antar Obat (drug delivery order), dan swamedikasi.

3.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP di Apotek Kimia


Farma No. 389 meliputi:

3.5.1.1 Perencanaan
Perencanaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dilakukan
dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain data historis penjualan/ LIPH
(Laporan Ikhtisar Penjualan Harian), pola peresepan, epidemiologi dan buku
penolakan yang kemudian dianalisis menggunakan metode ABC (Pareto) dan
analisis VEN.

3.5.1.2 Pengadaan
Proses pengadaan dilakukan dengan cara memberikan daftar Obat yang
akan dipesan ke bagian supervisor pengadaan. Supervisor pengadaan kemudian
memberikan semua pesanan Obat ke distributor dan selanjutnya distributor tersebut

Universitas Indonesia
29

akan langsung mengirimkan Obat yang di pesan ke masing-masing Apotek. Apotek


pelayanan dapat melakukan permintaan mendesak jika Obat atau perbekalan
farmasi lainnya dibutuhkan segera tetapi tidak ada persediaan, permintaan
dilakukan menggunakan Bon Pemesanan Barang Apotek/BPBA CITO.

Khusus untuk pengadaan narkotika dan psikotropika, pengadaan dilakukan


oleh masing-masing Apotek pelayanan melalui Surat Pesanan (SP) khusus
Narkotika dan Psikotropika dan diantar langsung ke Apotek pelayanan. Surat
pesanan hanya berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau
Prekursor Farmasi. SP untuk narkotika dibuat rangkap empat dengan ketentuan
dalam satu SP hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis narkotika. Sedangkan
untuk pengadaan Obat golongan psikotropika atau prekursor, SP dibuat rangkap
tiga dan dalam satu SP dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis
psikotropika atau prekursor yang kemudian ditandatangani oleh APA.

3.5.1.3 Penerimaan
Penerimaan barang dilakukan dengan cara memeriksa kessesuaian antara
surat pesanan dengan faktur, meliputi kesesuaian jumlah, jenis, bentuk sediaan,
kekuatan sediaan, volume, nomor batch, dan tanggal kadaluarsa. Kemudian
diperiksa juga kesesuaian antara faktur dengan fisik barang. Setelah pemeriksaan
selesai, dibuat tanda terima pada BPBA dengan ditandatangani oleh Apoteker dan
diberi stempel Apotek.

3.5.1.4 Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan di bagian OTC dan ruang peracikan.
Penyimpanan Obat disusun berdaskan alfabetis, bentuk sediaan, kelas terapi, dan
kondisi penyimpanan. Untuk Obat-Obat OTC ditempatkan pada bagian swalayan.
Penyusunan Obat di bagian swalayan berdasarkan bentuk sediaan, efek
farmakologi, dan kategori barang sehingga memudahkan petugas dalam mengambil
Obat atau barang yang diinginkan pembeli.

Resep untuk golongan non narkotik dan non psikotropik dikumpulkan


setiap bulan secara terpisah untuk disimpan selam 5 tahun. Resep dikumpulkan ke
BM Depok untuk dimusnahkan dan Apotek membuat Berita Acara Pemusnahan

Universitas Indonesia
30

(BAP) untuk BM Depok dan nantinya dibuat BAP secara menyeluruh. Sementara
itu, untuk penyimpanan Resep narkotika dan psikotropika caranya sama seperti
Resep non narkotik dan non psikotropik.

3.5.1.5 Pemusnahan
Kegiatan pemusnahan dilakukan pada Resep yang telah disimpan lebih
dari lima tahun dan Obat yang kadaluwarsa atau rusak. Pemusnahan Obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan
oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Pemusnahan
Obat non narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
tenaga kefarmasian lain. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan
oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar. Pemusnahan
dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan
atau izin edarnya dicabut dilakukan oleh pemilik izin edar dengan laporan kepada Kepala
BPOM.

3.5.1.6 Pengendalian
Pengendalian ketersediaan di Apotek dilakukan menggunakan kartu stok,
stock opname, dan penandaan tanggal kadaluarsa. Kartu stok diisi pada setiap
barang yang masuk ataupun keluar. Stock opname dilakukan setiap triwulan. Stock
opname dilakukan untuk seluruh item Obat dalam satu waktu. Stok opname
dilakukan setiap 3 bulan sekali dan hasilnya digunakan untuk memperbaharui stok
yang terdapat pada sistem KIS sehingga saldo yang terdapat dalam sistem sesuai
dengan stok fisik.

Penandaan tanggal kadaluarsa dilakukan dengan penandaan Obat terkait


dengan masa kadaluarsanya. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menghindari
terjadinya barang kadaluarsa di Apotek, dimana hal ini sangat berhubungan dengan
pengelolaan keuangan Apotek karena saat ditemukan barang kadaluarsa, maka
Apoteklah yang akan menaggung kerugian finansialnya. Cara yang dilakukan
adalah dengan melakukan penandaan menggunakan kertas berwarna dimana setiap
warna akan menunjukkan masa kadaluarsa Obat yang berbeda. Sebuah kertas
berwarna bertuliskan tahun ED ditempelkan pada kotak dimana suatu Obat
disimpan.
Universitas Indonesia
31

3.5.1.7 Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan yang dilakukan meliputi pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal berisi kegiatan manajerial Apotek (laporan keuangan dan
laporan barang), sedangkan pelaporan eksternal berupa pelaporan narkotika dan
psikotropika. Pencatatan penjualan barang di Apotek dilakukan secara elektronik
menggunakan KIS yang mendokumentasikan setiap transaksi yang dilakukan. Data
penjualan ini kemudian dicetak setiap harinya dalam bentuk LIPH (Laporan
Ikhtisan Penjualan Harian) yang berisi jumlah penjualan klinik, Resep kredit, Resep
tunai, Obat tunai, dan Obat swamedikasi, total penjualan keseluruhan komponen,
serta selisih jumlah uang pada LIPH dan jumlah setoran.

Resep yang mengandung narkotika dan psikotropika harus dipisahkan dari


Resep lainnya dan dikumpulkan berdasarkan bulan yang sama. Kegiatan pelaporan
dilakukan sebulan sekali paling lambat setiap tanggal 10 menggunakan SIPNAP
(Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika) yang berisi kode, nama dan satuan
Obat Narkotika atau Psikotropika, stok awal, jumlah pemasukan, jumlah
pengeluaran, pemusnahan (jumlah, nomor BAP, tanggal BAP) dan stok akhir.

3.5.2. Pelayanan Farmasi Klinis

Pelayanan farmasi klinik di Apotek Kimia Farma No. 389 meliputi:

3.5.2.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep


Pelayanan Obat dengan Resep diawali dengan melakukan pengkajian
Resep yang meliputi kajian administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan
klinis. Kemudian memeriksa ketersediaan dan menetapkan harga. Pasien dapat
menyetujui untuk dibayarkan semua atau hanya menebus sebagian Obat dalam
Resep, ada tidaknya penggantian Obat atas persetujuan dokter atau pasien,
pembayarannya dilakukan secara tunai atau kredit serta pembuatan kuitansi dan
salinan Resep jika diperlukan. Setelah dilakukan pembayaran, dilanjutkan dengan
penyiapan Obat atau dispensing.

3.5.2.2 Dispensing
Kegiatan dispensing di dilakukan dengan menyiapkan Obat sesuai dengan
permintaan dalam Resep yang dilanjutkan dengan pembuatan etiket. Sebelum Obat
Universitas Indonesia
32

diserahkan, petugas melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan kesesuaian


antara penulisan etiket dengan Resep, kesesuaian salinan Resep dengan Resep asli
dan kebenaran kuitansi yang dibuat. Selanjutnya, Obat diberikan kepada pasien
disertai dengan pemberian informasi Obat yang meliputi: nama Obat, bentuk dan
jenis sediaan, dosis, jumlah, aturan pakai, cara penyimpanan, dan efek samping
yang mungkin timbul dan cara mengatasinya. Pada tahap akhir ini petugas juga
harus meminta tanda terima pasien/penerima Obat sebagai bukti bahwa Obat telah
diserahkan.

3.5.2.3 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan informasi Obat (PIO) di Apotek dilakukan secara langsung. PIO
yang dilakukan secara langsung adalah menerima pertanyaan terkait pengobatan
pasien. PIO langsung juga biasanya diberikan Apoteker saat memberikan
penjelasan kepada mahasiswa yang sedang praktek profesi ataupun siswa yang
sedang praktek kerja lapangan di Apotek.

3.5.2.4 Konseling
Pasien-pasien yang menerima konseling antara lain pasien dengan kondisi
khusus terutama geriatri, ibu hamil dan menyusui, serta pediatri; pasien yang
menggunakan Obat dengan instruksi khusus seperti inhaler, injeksi insulin dan
spiriva; serta pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Biasanya kegiatan konseling
ini terintegrasi dengan proses penyerahan Obat ataupun saat melaksanakan
pelayanan kefarmasian di rumah. Saat melakukan penyerahan Obat, Apoteker
memulai proses konseling dengan memperkenalkan diri, kemudian menjelaskan
tujuan dilakukannya konseling, serta meminta izin untuk meminta waktu untuk
melaksanakan konseling. Konseling diawali dengan mengajukan Three Prime
Questions pada pasien dan dilanjutkan dengan menggali informasi terkait
pengobatan pasien. Selanjutnya dari permasalahan yang ada, Apoteker akan
memberikan solusi terkait masalah yang dialami pasien.

3.5.2.5 Home Pharmacy Care


Pelayanan kefarmasian di rumah dilakukan sebagai bentuk pemantauan
terapi Obat. Kegiatan ini biasanya merupakan program lanjutan dari kegiatan
konseling dan telefarma. Pelayanan kefarmasian di rumah pasien dilakukan rutin
Universitas Indonesia
33

setiap bulan, bertujuan untuk memantau pengobatan serta mempertahankan


loyalitas pasien kepada Apotek.

3.5.2.6 Pelayanan Swamedikasi


Pelayanan swamediakasi dilakukan saat pasien akan meminta Obat tanpa
Resep (golongan Obat bebas, bebas terbatas, Obat keras yang termasuk Obat Wajib
Apotek, dan Obat herbal/tradisional). Biasanya swamedikasi dilakukan untuk
mengatasi kesehatan ringan mulai dari batuk, pilek, demam, dan sakit kepala.

3.5.2.7 Telefarma dan Drug Delivey Order


Telefarma merupakan layanan lanjutan terhadap pasien yang sebelumnya
telah mendapatkan Obat sebagai bentuk follow up terkait pengobatan lewat telepon.
Selain itu, telefarma juga ditujukan untuk mengetahui kepatuhan pasien dalam
meminum Obat dan mengingatkan pasien untuk mengambil Obat yang dijanjikan
oleh Apotek. Sedangkan drug delivery order atau pesan antar Obat adalah program
yang menawarkan kemudahan kepada pasien untuk membeli Obat hanya lewat
telepon, yang nantinya Obat akan diantar ke rumah tanpa tambahan biaya apapun.
Semua kegiatan yang dilakukan baik telefarma maupun drug delivery order
ditujukan untuk mempertahankan pelanggan serta agar pasien menjadi loyal
terhadap Apotek.

Universitas Indonesia
BAB 4
PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA PROFESI

4.1 Tempat dan Waktu


Praktek kerja profesi dilaksanakan di Apotek Kimia Farma No. 389 yang
berlokasi di Jalan Nusantara Raya No. 33 Pancoran Mas, Depok. Kegiatan ini
dilaksanakan selama 4 minggu dari tanggal 3 Juli sampai dengan tanggal 29 Juli
Tahun 2017.

4.2 Uraian Kegiatan PKPA


Tanggal Uraian Kegiatan
4 Juli 2017 1. Penjelasan mengenai tata tertib dan ketentuan mengenai
penulisan laporan PKPA
2. Orientasi mengenai tata letak Obat OTC dan ethical serta
pemisahan antara Obat reguler dan Obat yang ditanggung
oleh BPJS/Asuransi
3. Melakukan rekap omset Resep bulan Juni untuk
mengetahui jumlah Resep, asal Resep dan jumlah
pendapatan Resep, data yang diperoleh dapat digunakan
untuk melakukan pemetaan (mapping) terhadap pola
peresepan dari institusi (RS, Praktek Dokter, Klinik dan
Puskesmas) yang mengeluarkan Resep
4. Melakukan penyiapan Obat atas Resep dokter
5. Analisis Resep, meliputi nama Obat, komposisi, indikasi,
dosis dan konseling
5 Juli 2017 1. Melakukan rekap omset bulan mei untuk mengetahui
jumlah Resep, asal Resep dan jumlah pendapatan Resep,
data kemudian digunakan untuk melakukan estimasi
persentase pendapatan dari Obat Resep (ethical) dan Obat
OTC maupun produk lainnya, analisis kemudian dilakukan
untuk memperkirakan kebutuhan pesanan berdasarkan
kategori slow dan fast moving
2. Melakukan pelayanan terhadap Obat OTC dan Obat
ethical/Resep, serta mempelajari alur pelayanan Resep
regular maupun BPJS
3. Melakukan dispensing Obat Resep, meliputi penyiapan,
pembuatan etiket dan kopi Resep
4. Memberikan rekomendasi swamedikasi

34 Universitas Indonesia
35

7 Juli 2017 1. Penjelasan mengenai pengolahan data merchandise produk


OTC, melakukan pengolahan data mengenai penyusunan
dan pengaturan tata letak produk OTC di swalayan Apotek
kimia farma
2. Melakukan pelayanan dan dispensing Resep Obat ethical
meliputi penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan
kepada pasien, termasuk pemberian informasi Obat secara
terbatas
3. Melakukan perhitungan konversi insulin untuk menentukan
berapa jumlah injector yang diserahkan kepada pasien
8 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan dan dispensing Resep Obat ethical,
meliputi penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan
kepada pasien termasuk pemberian informasi Obat secara
terbatas
2. Pelayanan dan pengecekan eligibilitas Resep BPJS
3. Mempelajari alur dropping Obat dari cabang Apotek kimia
farma lain
4. Mempelajari cara pembuatan surat pesanan Obat tertentu
9 Juli 2017 1. Melakukan analisa Resep meliputi dosis, interaksi,
indikasi, efek samping dan konseling
2. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta
rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara
penggunaan dan pemberian informasi mengenai
mekanisme kerja Obat tersebut
3. Memberikan rekomendasi Obat herbal kepada pasien yang
hendak membeli Obat ethical tanpa Resep dokter
4. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada
pasien termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas
10 Juli 2017 1. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta
rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara
penggunaan dan pemberian informasi mengenai
mekanisme kerja Obat tersebut
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas
11 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas
2. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta
rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara
penggunaan dan pemberian informasi mengenai
mekanisme kerja Obat tersebut
3. Mengecek keabsahan persyaratan Resep BPJS, meliputi
surat eligibilitas, fotocopy kartu BPJS dan KTP serta
fotokopi kartu kendali

Universitas Indonesia
36

13 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi


penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas
2. Penjelasan mengenai pemberian KIE. Informasi Obat harus
diberikan secara lengkap, termasuk cara penggunaan,
waktu penggunaan, efek samping yang mungkin terjadi
serta makanan/minuman yang tidak boleh dikonsumsi
selama pemberian Obat
4. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta
rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara
penggunaan dan pemberian informasi mengenai
mekanisme kerja Obat tersebut
3. Mengatur tata letak Obat berdasarkan sistem FEFO/FIFO
dan mempelajari cara mengecek kesesuaian faktur dengan
barang yang dikirimkan
14 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas
2. Mengecek kesesuaian antara barang yang datang dengan
faktur yang menyertainya, meliputi nama produk, jenis
produk, no. batch dan expired date
3. Melakukan pengeaturan display Obat OTC berdasarkan
perencanaan yang telah dibuat
4. Penjelasan mengenai aspek hygiene dan sanitasi. Sebelum
dan sesudah melakukan peracikan Obat hendaknya
peralatan yang digunakan dalam kondisi bersih dan kering,
cuci tangan dengan sabun antiseptik sebelum melakukan
peracikan
15 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
2. Melakukan konfirmasi kepada pasien yang menebus Obat
tetes mata, apakah mata kiri/kanan yang mengalami gejala
dan menuliskan keterangan di etiket
3. Mengatur display rak OTC sedemikian rupa dengan
menggeser Obat yang sejenis hingga tidak ada bagian rak
yang kosong
16 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan Obat OTC pada pasien swamedikasi
serta memberikan informasi mengenai Obat secara terbatas
(contoh: alternatif Obat merk lain dengan komposisi yang
sama, memilihkan Obat batuk yang sesuai dengan batuk
berdahak/ekspektoran)
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep

Universitas Indonesia
37

3. Mengatur display rak OTC sedemikian rupa dengan


menggeser Obat yang sejenis hingga tidak ada bagian rak
yang kosong
4. Penjelasan mengenai swamedikasi. Pada pelayanan
swamedikasi, harus memperhatikan tangal kadaluarsa Obat
serta memperhatikan aspek FEFO/FIFO
17 Juli 2017 1. Mempelajari mekanisme penerimaan dropping item dan
penyerahannya
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
3. Mengambil Obat dropping dari outlet Apotek kimia farma
lain
18 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
3. Mengecek keabsahan Resep BPJS, meliputi fotokopi kartu
BPJS/KTP/Buku PRB/Kartu Kendali serta tanggal
penulisan Resep
20 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
2. Penjelasan mengenai buku janji pasien. Apabila ada Obat
yang belum diserahkan kepada pasien, dapat dilakukan
pembuatan janji pemberian Obat yang dicatat di buku janji,
apabila Obat yang dipesan sudah datang maka pasien akan
dihubungi untuk memberitahukan ketersediaannya
3. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk
yang tidak tersedia (contoh : balsam tiger diganti balsam
geliga, minya kayu putih cap lang diganti minyak kayu
putih fitocare)
21 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk
yang tidak tersedia
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep

Universitas Indonesia
38

3. Mengecek kesesuaian antara barang yang datang dengan


faktur yang menyertainya, meliputi nama produk, jenis
produk, no. batch dan expired date
22 Juli 2017 1. Mendokumentasikan lembar kopi Resep, etiket, bon janji
Obat, dan sebagainya
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
3. Mempelajari contoh faktur
23 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter, memberikan informasi produk (contoh:
memberikan informasi ada jenis suplemen vitamin C yang
aman di lambung dan memberikan edukasi bahwa vitamin
tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan)
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
skrining Resep, penyiapan, pembuatan etiket dan
penyerahan kepada pasien termasuk pemberian informasi
Obat secara terbatas serta penulisan copy Resep
3. Memberikan penjelasan kepada pasien BPJS bahwa Obat –
Obatan yang dicover oleh BPJS berdasarkan Resep dokter
hanya berlaku per wilayah, apabila ada suatu Resep
dikeluarkan oleh sarana pelayanan kesehatan diluar
wilayah depok, maka Resep tersebut tidak akan bias
dilayani di Apotek kimia farma wilayah depok
24 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk
yang tidak tersedia
2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
3. Memperbaiki layout/display produk OTC, memindahkan
sedemikian rupa Obat yang stoknya sudah laku terjual
26 Juli 2017 1. Mempelajari daftar Obat narkotika dan psikotropika
berdasarkan UU No. 35 tahun 2009
2. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk
yang tidak tersedia
3. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep

Universitas Indonesia
39

4. Menelepon pasien yang nama, alamat serta no. teleponnya


tercantum dalam buku pasien loyal untuk mengagendakan
jadwal pelaksanaan home pharmacy care
5. Mempelajari indikasi, dosis, kontraindikasi dan efek
samping Obat yang sedang digunakan oleh pasien home
care serta mempelajari pantangan makanannya dan terapi
non farmakologi yang sesuai
27 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
2. Melakukan home pharmacy care kepada pasien dengan
keluhan osteoporosis dan osteo arthritis
3. Mendokumentasikan hasil rekam medis pasien degeneratif
28 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi
penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien
termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta
penulisan copy Resep
2. Merekomendasikan Obat OTC kepada pasien swamedikasi
(contoh: praxion drop untuk demam pada bayi 5 bulan,
sofratulle sebagai pengganti kasa steril)
3. Penjelasan bahwa dalam swamedikasi, Obat yang dapat
diberikan hanyalah Obat yang boleh diebrikan tanpa Resep
dokter
29 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien
menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep
dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk
yang tidak tersedia
2. Mengambil pesanan dropping Obat dari outlet kimia farma
lain

Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN

Apotek merupakan tempat dilakukannya pelayanan kefarmasian yang


disertai dengan unit bisnis sebagai fungsi pengelolaan perbekalan kefarmasian
dengan tetap menjalankan standar pelayanan kefarmasian. Dalam pengelolaan
suatu Apotek, diperlukan suatu sistem pengaturan agar bisnis dapat berjalan dengan
baik dan berkesinambungan (sustainable) serta mampu melakukan pelayanan
kefarmasian yang berorientasi pada pasien (patient oriented), oleh karena itu pada
Apotek Kimia Farma, Apoteker Pengelola Apotek (APA) merangkap jabatan
sebagai Manager Apotek Pelayanan (MAP) dan dituntut untuk mempunyai
kompetensi yang lebih yaitu memiliki pengetahuan ekonomi, manajerial dan
komunikasi yang baik dengan pasien.

Dalam melakukan pengelolaan atas unit usaha yang dimilikinya, PT. Kimia
Farma Apotek memiliki unit Business Manager (BM). Tanggung jawab dari masing
– masing unit BM adalah pengelolaan persediaan, pengadaan, pelayanan, maupun
administrasi keuangan dari Apotek – Apotek pelayanan yang berada dibawah
wilayah operasinya. Metode perencanaan pengadaan menggunakan sistem ini
dibuat berdasarkan buffer stock, lead time dan stock level baik setiap maupun
seluruh Apotek pelayanan berdasarkan rata-rata penjualan per hari yang diperoleh
dari riwayat penjualan masing-masing Apotek tiap satu bulan menggunakan sistem
informasi manajemen yang terintegrasi.

Dalam pelaksanaannya, sistem tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan,


salah satu keuntungan yang diberikan oleh sistem ini adalah adanya kesatuan
manajemen dalam kegiatan pengelolaan persediaan barang, hal ini berimplikasi
dalam peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja. Keuntungan lain
pada sistem pengadaan melalui BM adalah tercapainya efisiensi dan peningkatan
penghematan dalam proses pengadaan barang karena dalam pembelian barang
dengan jumlah besar, umumnya distributor akan memberikan diskon/potongan
harga.

40 Universitas Indonesia
41

Salah satu kerugian dari sistem manajemen berdasarkan pembagian


Business Manager adalah lead time yang lebih panjang dalam proses pengadaan
barang, hal ini disebabkan karena pemesanan barang dari Apotek pelayanan kepada
distributor dilakukan secara bersamaan (kolektif) dalam suatu waktu atau periode
waktu tertentu melalui BM, pengecualian terhadap narkotika maupun psikotropika
yang pemesanannya dilakukan oleh APA masing – masing Apotek menggunakan
surat pemesanan (SP) khusus kepada distributor tunggal, yaitu Pedagang Besar
Farmasi (PBF) Kimia Farma. Apabila barang yang dibutuhkan oleh Apotek
pelayanan tersedia di gudang BM, maka barang tersebut akan langsung di dropping
kepada Apotek pelayanan yang membutuhkan, sementara jika barang yang
dibutuhkan tidak tersedia di gudang BM, maka BM akan melakukan pemesanan
kepada distributor, pengiriman barang akan dilakukan oleh distributor kepada
Apotek yang memesan beserta fakturnya. Salah satu kerugian lain manajemen
dengan BM adalah terkadang terjadi ketidakcocokan anatara data persediaan di
komputer dengan stok fisik. Akibatnya, pelayanan Obat di Apotek dapat terganggu
akibat terjadi kekosongan persediaan di Apotek.

Peranan Business Manager (BM) yang lain adalah dalam pelaksanaan studi
kelayakan terhadap pengembangan Apotek yang akan dilakukan di wilayah
operasinya, ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan Apotek,
diantaranya adalah lokasi. Tingkat kestrategisan lokasi suatu Apotek berbanding
lurus dengan peningkatan jumlah pasien/konsumen yang datang ke Apotek,
semakin strategis suatu lokasi, umumnya jumlah pasien/konsumen yang
berkunjung juga akan semakin banyak, hal berbanding lurus dengan meningkatnya
penjualan Apotek tersebut.

Apotek Kimia Farma No. 389 merupakan Apotek yang merangkap sebagai
Business Manager dari Apotek Kimia Farma di wilayah Depok. Apotek tersebut
memiliki lokasi yang cukup strategis karena terletak di tepi Jalan Raya Nusantara
yang ramai dan merupakan jalan alternatif bagi kendaraan yang akan menuju
Jakarta melalui Kukusan, Depok maupun kendaraan yang menuju Sawangan,
Depok. Apotek Kimia Farma No. 389 berlokasi pada bagian jalan yang akan
dilewati kendaraan pada jam pulang kerja, sehingga karyawan yang bekerja di

Universitas Indonesia
42

Jakarta dan memiliki rumah di Depok dapat membeli Obat maupun perbekalan
kesehatan lainnya pada saat pulang dari lokasi kerjanya, hal ini ditunjang dengan
tersedianya area parkir kendaraan yang cukup memadai, berdasarkan pengamatan
dan estimasi penulis, area parkir kendaraan dapat menampung hingga dua mobil
atau sepuluh sepeda motor. Selain mudah untuk dijangkau dengan kendaraan
pribadi, Apotek Kimia Farma No. 389 juga mudah untuk dijangkau dengan
kendaraan umum karena dilewati oleh angkutan umum. Apotek Kimia Farma No.
389 berada dekat dengan pemukiman penduduk, sekolah, pusat perbelanjaan dan
pasar, stasiun kereta api, serta rumah sakit dan klinik maupun praktek dokter
pribadi, hal ini menunjang banyaknya penjualan Obat Resep yang dilayani oleh
Apotek.

Strategi lain yang digunakan oleh Apotek Kimia Farma No. 389 untuk
meningkatkan penjualan adalah dengan melakukan kerjasama dengan asuransi
seperti Mandiri InHealth dan BPJS Kesehatan, pemeriksaan kesehatan seperti
pengukuran tekanan darah, asam urat, kolesterol serta gula darah, maupun
pelayanan home pharmacy care untuk pasien loyal yang telah melakukan beberapa
kali pembelian dengan nilai transaksi yang besar serta memiliki penyakit kronis
maupun kelompok lansia yang membutuhkan pemantauan keberhasilan terapi.

Selain home pharmacy care, dapat juga dilakukan telefarma yang


merupakan layanan edukasi kesehatan oleh Apoteker atau Asisten Apoteker dalam
memberikan informasi mengenai penggunaan Obat yang pasien konsumsi selama
ini melalui telepon. Telefarma dilakukan pada pasien dengan keadaan poli farmasi,
pasien dengan kelompok khusus seperti pasien geriatri ataupun pasien dengan
penyakit yang membutuhkan perhatian khusus. Setelah data pasien terkumpul,
Apoteker atau asisten Apoteker dapat langsung menelepon pasien dengan cara
mengucapkan salam (greeting), memperkenalkan diri dan menjelaskan secara
singkat maksud dan tujuan menelepon. Secara umum, layanan telefarma cukup
diapresiasi oleh pasien, akan tetapi terkadang ditemui pasien yang tidak bersedia
menerima informasi penggunaan Obat melalui telefarma, apabila ditemukan pasien
seperti ini, Apoteker atau Asisten Apoteker yang melakukan telefarma akan
mengakhiri panggilan telepon beserta permintaan maaf. Strategi lain yang

Universitas Indonesia
43

dilakukan untuk meningkatkan penjualan adalah layanan pengiriman Obat (Drug


Delivery Order yang juga memiliki peranan yang signifikan dalam meningkatkan
penjualan, akan tetapi, apabila lokasi pemesan Obat berada terlalu jauh dari Apotek
Kimia Farma No. 389, maka pemesan akan diarahkan untuk melakukan pemesanan
Obat pada Apotek Kimia Farma yang terdekat dari lokasi pemesan tersebut.

Apotek Kimia Farma No. 389 telah memiliki desain rancang bangun yang
telah terstandarisasi, hal yang diatur dalam standarisasi rancang bangun Apotek
diantaranya adalah adanya tiang dengan logo kimia farma yang dapat menyala pada
malam hari, memiliki cat dengan warna yang khas, yaitu putih dengan aksen orange
dan biru yang merupakan warna khas dari Apotek Kimia Farma, pintu dan dinding
yang terbuat dari kaca besar dengan tulisan Kimia Farma berwarna orange dan biru
yang memudahkan pelanggan untuk melihat ke dalam Apotek dan menarik
perhatian pelanggan, adanya ciri khas tersebut penting untuk mengidentifikasi
keberadaan Apotek Kimia Farma sehingga Apotek mudah dikenali oleh pasien
yang telah mengenal reputasi kimia farma. Namun ada hal yang perlu diperhatikan
mengenai penggunaan kaca besar tembus pandang sebagai dinding, diantaranya
adalah peletakan salah satu gondola yang posisinya terlalu dekat dengan dinding
kaca sehingga sinar matahari dapat langsung menyinari dan berpotensi
meningkatkan suhu Obat OTC yang dipajang pada area tersebut, hal ini tentunya
dapat mempengaruhi waktu kadaluarsa dari Obat tersebut.

Apotek Kimia Farma No. 389 juga memiliki papan nama praktek Apoteker,
yang memuat informasi mengenai nama Apoteker, nomor SIPA dan jadwal praktek
Apoteker sesuai dengan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek. Salah satu kekurangan
yang dimiliki oleh Apotek Kimia Farma No. 389 adalah Apotek tidak memiliki
mesin ATM, sehingga pasien dapat mengalami kesulitan apabila uang tunai yang
dibawa tidak cukup, apabila terjadi hal demikian transaksi dapat dilakukan
menggunakan mesin Electronic Debet Card (EDC).

Swalayan farmasi yang dimiliki Apotek Kimia Farma No. 389 sudah cukup
baik dan tertata rapih, terletak di area ruang tunggu pasien untuk memudahkan
konsumen membeli secara langsung, meskipun demikian Asisten Apoteker atau
Universitas Indonesia
44

Apoteker yang bertugas selalu siap untuk memberikan saran dan informasi terhadap
pasien swamedikasi terkait produk upaya pelayanan diri sendiri (UPDS) yang akan
dibelinya. Swalayan farmasi di Apotek Kimia Farma No. 389 sudah cukup lengkap,
pengaturan penataan Obat dan barang diletakkan berdasarkan kategorinya, seperti
baby care, topical, paper product, milk and nutrition, oral care, haircare, skin care,
medicine, dan suplemen serta vitamin. Adanya swalayan farmasi diharapkan dapat
menaikkan omset dari Apotek. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, diketahui
bahwa pelanggan merasa kesulitan dalam memperoleh informasi terkait harga
barang barang swalayan karena pada produk yang dipajang di rak tidak
dicantumkan harga. Hal ini menyebabkan pasien harus mengecek harga di kasir
terlebih dahulu. Hal ini berpotensi merepotkan pelanggan jika Apotek sedang dalam
keadaan ramai dan petugas harus melakukan pengecekan pada komputer terlebih
dahulu untuk mengetahui harga barang yang ditanyakan oleh pasien. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penambahan label harga di masing masing kotak barang atau
Obat yang dipajang di swalayan.

Apotek Kimia Farma No. 389 dipimpin oleh Apoteker Pengelola Apotek
(APA) sekaligus Manajer Apotek Pelayanan (MAP) yang memimpin dan
mengelola Apotek beserta sumber dayanya. Dalam menjalankan kegiatan teknis
kefarmasian dan nonkefarmasian, APA dibantu oleh Asisten Apoteker (AA).
Kegiatan operasional Apotek Kimia Farma No. 389 adalah setiap hari dari pukul
8.00 hingga 23.00 WIB, yang terbagi dalam 2 shift, yaitu pagi pada pukul 8.00 -
15.00 WIB dan sore pada pukul 15.00 - 23.00 WIB. Apoteker berada di Apotek
pada pukul 9.00 – 15.00 WIB, sementara pada shift 2 tidak ada Apoteker yang stand
by di Apotek, permasalahan ini dapat diatasi dengan merekrut seorang Apoteker
lain untuk menggantikan APA pada jam tertentu pada waktu operasi Apotek.

Dalam melakukan pelayanan kepada pasien, apabila ada Obat yang dicari
oleh pasien maupun tertera di Resep tidak tersedia di Apotek, upaya yang dilakukan
untuk memenuhi permintaan adalah dengan memberikan penawaran Obat lain yang
memiliki komposisi dan dosis yang sama sebagai pengganti Obat yang dicari,
setelah itu dilakukan pencatatan terhadap Resep maupun Obat yang ditolak untuk
mempersiapkan persediaan agar di masa mendatang kejadian penolakan dapat

Universitas Indonesia
45

diminimalisir. Apabila ditemukan suatu Obat habis persediaannya, maka dilakukan


pengecekan stok Obat di gudang BM maupun Apotek Kimia Farma terdekat, jika
Obat tersedia maka dilakukan mekanisme dropping melalui sistem dan Obat
dijemput ke Apotek yang menyetujui dropping tersebut, apabila tidak tersedia juga,
maka pasien ditawarkan untuk membuat janji, Obat dapat diantarkan ke rumah
pasien maupun pasien ditelepon jika Obat yang dijanjikan telah tersedia. Asisten
Apoteker yang bertugas di bagian pelayanan dan penjualan telah melayani dengan
cukup baik dan ramah, pelayanan dimulai dengan mengucapkan “selamat datang di
kimia farma” dan diakhiri dengan mengucapkan terimakasih dan “semoga sehat
selalu”. Dalam berkomunikasi, petugas bersikap informatif dan santun
menggunakan bahasa yang baik, keluhan yang diutarakan oleh pasien ditanggapi
dengan professional dan responsif.

Dalam hal manajemen penyimpanan barang, penyimpanan Obat ethical


yang tidak memerlukan kondisi penyimpanan terkontrol dilakukan di lemari yang
memiliki dua sisi dan dapat diputar untuk menghemat ruangan, sementara
penyimpanan Obat yang yang perlu disimpan pada suhu tertentu seperti
suppositoria dan insulin pen disimpan di lemari pendingin. Penyimpanan dilakukan
dengan mengeluarkannya dari dus aslinya demi menghemat space dan estetika. Hal
ini berpotensi menyebabkan masalah pada pengelolaan Obat, contohnya pada
penanganan Obat yang kadaluarsa atau mengalami penarikan, khususnya Obat yang
seharusnya dapat dikembalikan kepada distributor dengan dus aslinya serta
menimbulkan hambatan dalam penerapan prinsip First In First Out (FIFO) dan
First Expired First Out (FEFO) karena dapat terjadi ketercampuran antara blister
Obat lama dan baru, hal ini menyebabkan masih dapat ditemukannya Obat-Obat
yang kadaluarsa pada saat dilakukan pemeriksaan Obat yang akan diserahkan
kepada pasien.

Setiap wadah penyimpanan Obat memiliki kartu stok untuk memantau


jumlah stok Obat yang tersedia agar tidak terjadi penyimpanan yang tidak rapi,
tercecernya persediaan maupun kehilangan dan kerusakan persediaan, kartu stok
juga memudahkan petugas dalam mengecek kesesuaian Obat yang tersedia secara
fisik dengan yang tercatat di sistem komputer. Setiap data mengenai masuk dan

Universitas Indonesia
46

keluarnya Obat idealnya harus dicatat pada kartu stok, akan tetapi, akibat kesibukan
yang cukup tinggi, pencatatan dalam kartu stok seringkali terlewat, selain itu
ditambah dengan penjualan barang menggunakan sistem dropping dari Apotek
terdekat yang terkadang tidak tercatat dalam sistem sehingga struk pembelian tidak
bisa tercetak. Hal ini menyebabkan data yang tertulis pada kartu stok tidak sesuai
dengan jumlah Obat secara fisik, sehingga mempersulit pengawasan terhadap stok
dan ketersediaan barang termasuk pada saat dilakukan stock opname dan
perencanaan persediaan, dimana terjadi ketidak akuratan perencanaan persediaan
yang menyebabkan kekosongan persediaan (out of stock). Stock opname yang
dilakukan setiap tiga bulan sekali berfungsi untuk mengecek barang secara fisik
apakah sesuai dengan jumlah yang ada di komputer. Pada saat penulis
melaksanakan PKPA di Apotek Kimia Farma No. 389, kegiatan stock opname
sudah selesai dilaksanakan sehingga penulis tidak mendapatkan gambaran
bagaimana teknis pelaksanaan kegiatan tersebut.

Proses pelayanan Resep di Apotek Kimia Farma No. 389 dilakukan sesuai
dengan standar operasional yang telah ditetapkan oleh PT. Kimia Farma Apotek,
terdiri dari 6 langkah pelayanan Resep, Apoteker memiliki peranan dalam
melakukan skrining Resep mulai dari memeriksa kelengkapan persyaratan
administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Setelah semua
pengecekan dilakukan, kegiatan dispensing selanjutnya dilakukan oleh petugas
yang berbeda, dengan strategi ini diharapkan pengecekan dan koreksi dilakukan
selama beberapa kali mulai dari awal Resep diterima sampai Obat akan diserahkan
kepada pasien. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesalahan dalam dispensing
Obat.

Prosedur pelayanan Resep terdiri atas penerimaan Resep, perjanjian dan


pembayaran, penyiapan Obat dan peracikan, pemeriksaan akhir, penyerahan Obat
dan pemberian informasi serta layanan purna jual (after sale service). Dalam
pelayanan yang diberikan, harus dipastikan hak pelanggan terpenuhi guna
meningkatkan citra Apotek, yaitu menerima senyum, sapa, salam, dan komunikasi
dengan santun, mengetahui harga, jenis, bentuk kemasan dan jumlah Obat yang
dibeli serta mendapatkan informasi Obat dan penggunaan alat kesehatan langsung

Universitas Indonesia
47

maupun melalui telepon. Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)


untuk pasien serta pasien swamedikasi diberikan oleh Apoteker, kecuali apabila
Apoteker tidak berada di tempat. Informasi yang diberikan dapat berupa cara
penggunaan Obat, indikasi Obat, cara penyimpanan, interaksi Obat dan informasi
lainnya yang berkaitan dengan Obat yang diberikan. Untuk meningkatkan
keselamatan kerja petugas peracikan, sebaiknya pada saat peracikan petugas
menggunakan masker dan sarung tangan disposable. Selain itu, perlengkapan untuk
mencuci alat peracikan seperti mortar dan stamper sebaiknya dibedakan dengan
perlengkapan untuk mencuci piring dan gelas untuk mencegah kontaminasi dari
Obat kepada petugas maupun dari sisa makanan kepada Obat.

Sistem komputer kasir yang digunakan untuk melakukan pelayanan


mengharuskan Asisten Apoteker memasukkan alamat dan nomor telepon pasien
yang dapat dihubungi sebelum melakukan pencetakan struk pembayaran. Hal ini
dilakukan untuk mengatasi masalah yang mungkin baru diketahui setelah Obat
diserahkan kepada pasien, seperti contohnya reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ROTD) maupun kesalahan pemberian Obat, baik kesalahan penyiapan, kesalahan
pasien penerima Obat maupun pemberian Obat yang mendekati kadaluwarsa. Pada
pelaksanaannya, untuk OTC atau Obat bebas dan Obat dengan resiko rendah
lainnya, alamat dan nomor telepon pasien dapat ditulis dengan tidak lengkap, cukup
nama kota tempat tinggal pasien.

Pengelolaan kegiatan administrasi dan keuangan di Kimia Farma, dilakukan


menggunakan Kimia Farma Informasi Sistem (KIS) untuk seluruh Apotek Kimia
Farma yang ada di Indonesia. Dengan adanya KIS maka kegiatan yang
berhubungan dengan administrasi Apotek dapat dilakukan dengan cepat dan
terkontrol. Administrasi dan keuangan merupakan salah satu kegiatan
nonkefarmasian yang dilakukan di Apotek Kimia Farma No. 389, administrasi
keuangan yang dilakukan di Apotek Kimia Farma No. 389 diantaranya adalah Bukti
Setoran Kas, Laporan Ikhtisar Penjualan Harian, Laporan Realisasi Penggunaan
Dana Kas Kecil, Laporan Laba Rugi Apotek dan Laporan Arus Kas. Dalam setiap
pergantian shift, petugas Apotek yang bertanggung jawab harus melaporkan
seluruh hasil penjualan Apotek dalam bentuk bukti setoran kasir Apotek untuk

Universitas Indonesia
48

selanjutnya divalidasi. Validasi dilakukan terhadap semua transaksi, baik tunai


maupun kredit. Validasi adalah proses pengecekan data transaksi dari hasil entry,
lalu bukti setoran kas untuk transaksi tunai dicocokkan dengan kas yang ada.
Validasi dilakukan setiap hari dan dikirim ke unit BM.

Pengelolaan administrasi non keuangan di Apotek Kimia Farma No. 389


diantaranya meliputi administrasi Resep berupa pencatatan data pasien, pembuatan
rekam medis (Patient Medication Record) untuk pasien dengan kualifikasi tertentu,
penyimpanan Resep, pembuatan kuitansi, Salinan/kopi Resep, pelaporan serta
pengarsipan Obat-Obat narkotika dan psikotropika. Pemusnahan Resep dilakukan
setiap 3 tahun, administrasi lainnya meliputi administrasi barang/merchandising,
meliputi BPBA pengadaan cito, surat pesanan untuk Obat narkotika dan
psikotropika, kartu stok, serta administrasi personalia (absensi karyawan,
perhitungan lembut (overtime), pengaturan jadwal (shift) kerja dan sebagainya.

Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pelaksanaan Program Praktek Kerja


Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma No. 389 yang
dilaksanakan selama 4 minggu adalah:
a. Peranan Apoteker di Apotek tidak hanya sebagai penanggung jawab kegiatan
kefarmasian yang harus bertanggung jawab dalam mendukung peningkatan
kualitas hidup pasien, melainkan juga berperan dalam manajemen Apotek
sebagai suatu unit bisnis dalam menjamin kelangsungan hidup Apotek.
b. Apoteker Pengelola Apotek (APA) memiliki peran yang penting dalam
pengelolaan Apotek, dalam bidang manajerial, APA berperan dalam
menentukan kebijakan pengelolaan Apotek serta melaksanakan fungsi
pengawasan dan pengendalian terhadap semua komponen yang ada di Apotek,
mulai dari persediaan, prosedur standar operasional, administrasi dan keuangan
serta personalia. Selain itu, APA juga bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsi sebagai professional kesehatan dengan menjamin penggunaan Obat yang
efektif, aman dan rasional, melalui pemberian informasi Obat maupun
konseling.
c. Tugas dan fungsi professional APA di Apotek Kimia Farma No. 389
diantaranya adalah skrining Resep, pelayanan informasi Obat, konseling,
informasi dan edukasi, serta home care maupun telefarma dan dispensing Obat.

6.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan setelah mekakukan praktek kerja di


Apotek Kimia Farma No. 389 adalah:
a. Adanya tempat khusus bagi Apoteker untuk memberikan konseling kepada
pasien, selama ini Apoteker melakukan konseling di sudut meja pelayanan yang
memiliki tinggi lebih rendah dengan dua kursi yang saling berhadapan, adanya
ruangan khusus membuat pasien dapat lebih leluasa menceritakan keluhan dan
permasalahan yang dimilikinya terkait dengan penggunaan Obat.

49 Universitas Indonesia
50

b. Sebaiknya brosur/leaflet sebaiknya tidak dibuang, tetapi diamankan pada


tempat tertentu sehingga memudahkan petugas bila memerlukan informasi
terkait Obat apabila pasien bertanya, contohnya saat pasien bertanya sebaiknya
suatu Obat diminum sebelum atau sesudah makan, pagi atau malam hari yang
terkadang dokter lupa mencantumkan signa tersebut pada Resep.
c. Sebaiknya pada tiap gondola dan rak dinding dicantumkan harga dari tiap
produk, hal tersebut dapat membantu konsumen memutuskan alternatif produk
yang akan dibeli berdasrkan perbandingan antara manfaat yang didapatkan
dengan uang yang harus dikeluarkan.
d. Sebaiknya kedisiplinan untuk mengisi kartu stok serta pencatatan stok secara
komputerisasi perlu ditingkatkan dan dioptimalkan, sehingga selisih antara stok
fisik dengan yang tercantum di komputer dapat diminimalkan, hal ini bertujuan
agar proses pengecekan ketersediaan Obat dan perencanaan pengadaan menjadi
lebih mudah dan efisien.

Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. (2007). Pedoman


Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Ditjen Binfar dan
Alkes.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2008). Training of


Trainer Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan Sistem
Pelaporan Dinamika Obat Pedagang Besar Farmasi. Dalam Buletin
INFARKES 1, Edisi Agustus 2008, 5.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan, Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi,
Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

51 Universitas Indonesia
52

Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009


tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (1997) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


No. 44 Tahun 2010 tentang Prekursor. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Universitas Indonesia
LAMPIRAN
54

Lampiran 1. Denah Lokasi Apotek Kimia Farma No. 389

Lampiran 2. Desain dan Rancang Bangun Apotek Kimia Farma No. 389

Lemari Pendingin

Area Peracikan
Tangga Toilet
Rak obat ethical

Lemari Narkotika Rak obat ethical

Ruang Tunggu

Counter pelayanan Area Konseling

Lemari Pendingin
Rak produk OTC

Rak produk OTC

Area
Swalayan
Rak OTC

Rak OTC

Rak OTC

Rak OTC

Pintu Masuk

Area Parkir

Universitas Indonesia
55

Lampiran 3. Lembar Surat Pesanan Narkotika

Lampiran 4. Lembar Surat Pesanan Psikotropika

Universitas Indonesia
56

Lampiran 5. Lembar Bon Pengambilan Obat

Lampiran 6. Lembar Kuitansi Pembayaran Resep/Tunai

Universitas Indonesia
57

Lampiran 7. Salinan Resep

Lampiran 8. Kemasan dan Etiket

Universitas Indonesia
58

Lampiran 9. Contoh Label Obat

Lampiran 10. Alur Pelayanan Resep

Universitas Indonesia
59

Lampiran 11. Apotek Kimia Farma No. 389

Universitas Indonesia
60

Lampiran 12. Laporan Tugas Khusus

UNIVERSITAS INDONESIA

HOME PHARMACY CARE PASIEN OSTEOPOROSIS


SERTA OSTEOARTHRITIS DI APOTEK KIMIA FARMA
NO. 389

LAPORAN TUGAS KHUSUS

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 389 PERIODE JULI
TAHUN 2017

ARGA WAHYU HIDAYAT


1606965783

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
DEPOK
DESEMBER 2017

Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN UMUM ................................................................................ 3
2.1 Definisi Osteoporosis .............................................................................. 3
2.2 Klasifikasi Osteoporosis .......................................................................... 3
2.3 Patogenesis .............................................................................................. 5
2.4 Faktor Resiko Osteoporosis dan Fraktur yang disebabkan oleh
Osteoporosis ............................................................................................ 5
2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis .............................................................. 7
2.6 Diagnosa Osteoporosis ............................................................................ 7
2.7 Pencegahan dan Pengobatan ................................................................... 8
2.8 Definisi Osteoarthritis ........................................................................... 11
2.9 Klasifikasi Osteoarthritis ....................................................................... 11
2.10 Patogenesis ............................................................................................. 12
2.11 Faktor Resiko Osteoarthritis .................................................................. 13
2.12 Manifestasi Klinik Osteoarthritis .......................................................... 13
2.13 Diagnosa Osteoarthritis ......................................................................... 14
2.14 Pencegahan dan Pengobatan.................................................................. 14
2.15 Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care) ................. 16
BAB 3 METODE ................................................................................................ 17
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 17
3.2 Sampel ................................................................................................... 17
3.3 Metode Pengkajian ................................................................................ 17
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 18
4.1 Informasi Dari Pasien ............................................................................ 18
4.2 Skrining Farmasetika ............................................................................. 19
4.3 Skrining Farmakologi ............................................................................ 20
4.4 Pelaksanaan Home Pharmacy Care ...................................................... 25
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 29
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 29

ii
5.2 Saran ...................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 30
LAMPIRAN ........................................................................................................ 32

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbandingan tulang normal dengan tulang yang mengalami


osteoporosis ……...……………………………………..........…… 4

Gambar 2.2 Perbandingan tulang belakang normal dengan tulang belakang yang
mengalami kifosis ………………………………………………… 5

Gambar 2.3 Algoritma terapi osteoporosis ………………………………….… 10

Gambar 2.4 Perbandingan sendi normal dengan sendi yang mengalami


osteoarthritis ……………………………………………….……. 16

Gambar 2.5 Algoritma terapi osteoarthritis ………………………………...… 19

Gambar 4.1 Resep Pasien Tn. S …………………………………………….… 23

iv
DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Nilai T-Score menurut WHO ……………………………………..…. 12

Tabel IV.1 Data pengobatan yang diterima pasien ……………………………... 22

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Harapan Hidup adalah rata-rata jumlah tahun kehidupan yang masih
dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur tertentu, Pengamat
Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Pattrick Wauran mengatakan, tinggi
rendah Angka Harapan Hidup penduduk menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu
negara, termasuk didalamnya adalah tingkat keamanan dan pertumbuhan negara
tersebut. Sebagai suatu negara berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara
dengan tingkat Angka Harapan Hidup yang cukup tinggi. Angka Harapan Hidup
penduduk di Indonesia menempati posisi ke-6 dari negara-negara anggota ASEAN,
periode tahun 2010-2015. Posisi pertama ditempati Singapura yang mencatat
indeks 82,2 dari posisi sebelumnya periode 2005-2010 sebesar 81,2.

Menurut Badan Pusat Statistik (2013), Angka Harapan Hidup penduduk


Indonesia tercatat sebesar 70,1 tahun pada periode 2010-2015, atau naik dari 69,1
tahun pada periode 2005-2010 dan akan meningkat pada menjadi 72,2 tahun pada
periode 2030-2035. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 238,5
juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035. Pada saat yang sama,
jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 5,0 persen menjadi 10,6
persen. Hal ini diantaranya disebabkan oleh meluasnya pelayanan kesehatan yang
berkualitas, semakin banyaknya sarana pelayanan kesehatan yang memenuhi
standar, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta
kesadaran masyarakat sendiri akan pentingnya kesehatan. Berbanding lurus dengan
meningkatnya usia harapan hidup, insidensi penyakit degeneratif terus meningkat
di negara-negara berkembang (emerging country), salah satunya adalah penyakit
osteoporosis dan osteoarthritis. Ostoporosis merupakan suatu penyakit degeneratif
yang ditandai dengan menurunnya massa tulang melebihi 2,5 kali standar deviasi
massa tulang pada populasi usia muda dan perubahan pada mikroarsitektur jaringan
tulang yang berakibat pada meningkatnya fragilitas serta kecenderungan untuk

1 Universitas Indonesia
2

mengalami fraktur pada tulang. Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang
bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, dan abrasi rawan
sendi dan menyebabkan gangguan pembentukan tulang baru pada permukaan
persendian. (Price A, Sylvia, 2005).

Insidensi osteoporosis maupun osteoarthritis sering ditemukan pada lansia.


Resiko osteoporosis maupun osteoarthritis pada wanita lebih besar dibandingkan
pada pria. Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan memiliki peranan dan
tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan yang tepat kepada lansia yang
memiliki resiko untuk menderita osteoporosis maupun osteoarthritis. Salah satu
cara yang dapat digunakan oleh Apoteker dalam memberikan konseling kepada
pasien yaitu melalui pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Mengingat pentingnya peran Apoteker dalam memberikan konseling melalui
pelayanan kefarmasian di rumah untuk pasien dengan penyakit kronis, mahasiswa
calon Apoteker diberikan tugas khusus untuk melakukan pelayanan kefarmasian di
rumah (Home Pharmacy Care) kepada salah satu pasien di Apotek Kimia Farma
No. 389 yang menderita osteoporosis dan osteoarthritis.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan tugas khusus ini adalah untuk menganalisis
terapi osteoporosis dan osteoarthritis berdasarkan Resep dokter yang masuk di
Apotek Kimia Farma No. 389 dan melakukan monitoring terhadap terapi pasien
lansia dengan penyakit osteoporosis dan osteoarthritis melalui pelayanan Home
Pharmacy Care untuk mengetahui dan meningkatkan keberhasilan terapi yang
diterima pasien.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi Osteoporosis


Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
berkurangnya massa tulang dan timbulnya perubahan mikroarsitektur jaringan
tulang. Penurunan massa tulang terjadi akibat kecepatan resorpsi tulang yang lebih
besar dibandingkan dengan kecepatan pembentukan tulang. Secara progresif,
tulang menjadi porus, rapuh dan mudah mengalami fraktur dengan stress maupun
benturan yang pada keadaan normal tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang.
(Kementerian Kesehatan RI, 2008). Osteoporosis juga dapat didefinisikan sebagai
keadaan dimana densitas mineral tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan
menurut umur. Berdasarkan WHO, massa tulang diklasifikasikan berdasarkan T-
scores. T-scores merupakan bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral
tulang pada populasi muda normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-
score lebih besar dari -1, sedangkan osteoporosis memiliki nilai T-score kurang dari
-2,5 (Dipiro et. al, 2008).

Gambar 2.1 Perbandingan tulang normal dengan tulang yang mengalami


osteoporosis

2.2 Klasifikasi Osteoporosis


2.2.1 Osteoporosis primer
Osteoporosis primer diklasifikasikan kembali menjadi dua tipe, yaitu:

3 Universitas Indonesia
4

a. Osteoporosis primer tipe I (post menopause)


Osteoporosis primer tipe I umumnya terjadi pada wanita yang telah mengalami
menopause (berusia sekitar 50-65 tahun). Insiden fraktur pada osteoporosis tipe
I pada umumnya terjadi pada bagian tulang belakang, tulang iga maupun pada
tulang radius (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b).
b. Osteoporosis primer tipe II (senile)
Osteoporosis primer tipe II umumnya terjadi pada pasien yang berusia lanjut
(berusia ≥ 70 tahun) dan dapat terjadi pada pria maupun wanita. Insiden fraktur
pada osteoporosis tipe II pada umumnya terjadi pada tulang paha. Manifestasi
klinis yang dapat terjadi selain fraktur adalah terjadinya kifosis dorsalis yang
ditandai dengan berkurangnya tinggi tubuh yang disertai dengan nyeri tulang
yang berkepanjangan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b).
Perbedaan antara tulang belakang (vertebra) normal dan tulang belakang yang
mengalami kifosis dicontohkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Perbandingan tulang belakang normal dengan tulang belakang yang
mengalami kifosis

2.2.2 Osteoporosis sekunder


Osteoporosis sekunder merupakan jenis penyakit osteoporosis yang
disebabkan oleh penyakit maupun infeksi pada tulang, contohnya adalah
rheumatoid arthritis kronis, tuberculosis spondylitis, osteomalacia, kelumpuhan
pada otot, hipertiroid, immobilitas atau kurangnya aktivitas fisik dalam jangka
waktu lama, dan lain sebagainya. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b).

Universitas Indonesia
5

2.3 Patogenesis
Menurut Dipiro et. al, (2008), patogenesis terjadinya osteoporosis adalah:
a. Pengeroposan tulang terjadi ketika proses resorpsi tulang lebih besar dari
kemampuan osteoblas untuk membentuk tulang baru.
b. Kepadatan mineral tulang/Bone Mass Density (BMD), kualitas tulang dan
integritas struktural tulang akan berkurang.
c. Pria dan wanita mulai kehilangan sejumlah kecil massa tulang pada usia 30-40
tahun hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari pembentukan tulang yang
berkurang.
d. Defisiensi estrogen selama menopause dapat meningkatkan proliferasi,
diferensiasi dan aktivasi osteoklas baru serta memperpanjang usia osteoklas.
Meningkatnya jumlah osteoklas menyebabkan proses resorpsi tulang lebih
besar dari proses pemberntukan tulang.
e. Osteoporosis juga berhubungan dengan usia, hormon, kalsium, dan kekurangan
vitamin D. Faktor tersebut menyebabkan resorpsi tulang menjadi semakin cepat
dan mengurangi pembentukan osteoblas.
f. Osteoporosis akibat Obat mungkin terjadi karena penggunaan Obat
kortikosteroid sistemik (prednisone dosis >7,5 mg/hari), kortikosteroid
menyebabkan penurunan penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya
kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni
dan peningkatan hilangnya kalsium tulang.

2.4 Faktor Resiko Osteoporosis dan Fraktur yang disebabkan oleh


Osteoporosis
2.4.1 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah:
a. Usia
Daya serap kalsium akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.
b. Gender
Sepanjang hidupnya, wanita akan kehilangan massa tulang sebesar 30-50%,
sementara pria akan mengalami kehilangan massa tulang sebesar 20-30%. Hal

Universitas Indonesia
6

ini diantaranya disebabkan oleh proses hamil dan menyusui serta proses
menopause.
c. Genetika dan Ras
Beberapa ras seperti kulit hitam amerika mempunyai tulang yang lebih besar
dengan struktur tulang lebih kuat daripada bangsa kaukasia sehingga akan
relatif jarang mengalami fraktur karena osteoporosis.
d. Gangguan hormonal
Wanita yang memasuki masa menopause mengalami pengurangan produksi
hormon esterogen, penurunan jumlah atau hilangnya estrogen dari dalam tubuh
akan mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini
disebabkan oleh penurunan efisiensi absorbsi kalsium dari makanan dan
penurunan konservasi kalsium di ginjal.

2.4.2 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah:
a. Kurangnya aktivitas fisik
Immobilitas pada waktu lama menyebabkan pengecilan tulang dan ekskresi
kalsium dari tubuh melalui urin (hiperkalsuria).
b. Postur tubuh kurus
Seseorang dengan tubuh kurus cenderung lebih mudah mengalami osteoporosis
dibandingkan orang dengan Indeks Massa Tubuh normal.
c. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol, kopi dan minuman yang mengandung
kafein serta merokok secara berlebihan
Merokok dan minum kopi secara berlebihan cenderung akan mengakibatkan
penurunan massa tulang. Kafein dan alkohol dapat memperbanyak ekskresi
kalsium melalui urin maupun tinja.
d. Kurangnya asupan nutrisi
Pola makan yang tidak seimbang yang kurang memperhatikan kandungan gizi
merupakan faktor risiko osteoporosis.
e. Kurang terkena sinar matahari
Orang yang jarang terkena sinar matahari lebih berisiko untuk terkena
osteoporosis. Sinar matahari dibutuhkan untuk memicu kulit membentuk

Universitas Indonesia
7

vitamin D3, dimana vitamin D (D3 + D2/berasal dari makanan) diubah oleh
hepar dan ginjal menjadi kalsitriol.
f. Penggunaan Obat tertentu dalam waktu lama
Penggunaan Obat seperti kortikosteroid, sitostatika (metotreksat), anti kejang
dan anti koagulan (heparin, warfarin) dapat menyebabkan penurunan
penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus,
peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan
hilangnya kalsium tulang.

2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis


Pasien osteoporosis pada umumnya mengalami sakit/nyeri pada tulang
dengan atau tanpa fraktur yang nyata, nyeri yang timbul secara mendadak, sakit
hebat yang terlokalisasi pada tulang yang terserang osteoporosis dan nyeri
berkurang pada saat penderita istirahat di tempat tidur atau berbaring, nyeri ringan
pada saat bangun tidur dan akan bertambah parah saat melakukan aktivitas serta
deformitas vertebra thorakalis yang menyebabkan penurunan tinggi badan.

2.6 Diagnosa Osteoporosis


2.6.1 Pemeriksaan pendahuluan
a. Penelusuran riwayat penyakit dan pengobatan pasien
b. Identifikasi faktor resiko
c. Pemeriksaan fisik lengkap yang dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi
badan dan postur tubuh. Untuk melengkapi anamnesis dapat menggunakan
formulir tes semenit risiko osteoporosis (Lampiran 1) yang dikeluarkan oleh
International Osteoporosis Foundation (IOF).

2.6.2 Pengukuran non invasif


Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk melakukan
pengukuran massa tulang, namun yang menjadi standar diagnosis osteoporosis saat
ini adalah pengukuran densitas mineral tulang sentral (tulang punggung dan
panggul) menggunakan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) yang
memungkinkan untuk melakukan pengukuran massa tulang di permukaan maupun
bagian yang lebih dalam. Densitas mineral tulang dari pengukuran tersebut dapat

Universitas Indonesia
8

dinyatakan dengan T-score. Nilai T-score dalam berbagai kondisi adalah sebagai
berikut:
Tabel II.1 Nilai T-Score menurut WHO
Kondisi Nilai T-Score
Tulang ≥ -1 (10% di bawah SD rata-rata atau lebih tinggi)
Normal
Osteopenia -1 sampai dengan 2,5 (10-25% di bawah SD rata-rata)
Osteoporosis ≤ - 2,5 (25% di bawah SD rata-rata)

Pengujian radiografi juga dapat dilakukan untuk memastikan ada atau


tidaknya patah tulang pada tulang vertebral. (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2008b).

2.6.3 Pemeriksaan invasif (biopsi)


Pemeriksaan biopsi dilakukan secara invasive pada tulang sternum atau
krista iliaka untuk memberikan informasi mengenai keadaan osteoklas, osteoblast,
ketebalan trabekula dan kualitas mineralisasi tulang.

2.6.4 Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain adalah
pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam yang berguna untuk menentukan pasien
malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam kurang dari 100 mg). Bila dari hasil
pemeriksaan klinis, darah dan urin diduga ada hiperparatiroidisme, maka perlu
diperiksa kadar hormon paratiroid (PTH). (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2008b).

2.7 Pencegahan dan Pengobatan


Prinsip dari pengobatan osteoporosis adalah untuk meningkatkan
pembentukan tulang dan menghambat resorbsi tulang untuk menjaga massa dan
kekuatan tulang.

2.7.1 Pencegahan dan Pengobatan Non Farmakologi


Upaya pencegahan osteoporosis hendaknya memperhatikan kondisi puncak
massa tulang. Secara umum puncak massa tulang akan tercapai pada usia 20-30
tahun, setelah itu massa tulang akan menurun dikarenakan proses penuaan.
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b). Aktivitas fisik seperti berjalan
Universitas Indonesia
9

kaki secara teratur dapat dilakukan untuk mencegah maupun sebagai terapi non-
farmakologi osteoporosis untuk meningkatkan kepadatan massa tulang. Paparan
sinar matahari di pagi dan sore juga dianjurkan untuk penderita osteoporosis
maupun seseorang dengan resiko osteoporosis. (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2008b).

2.7.2 Pengobatan Farmakologi

Universitas Indonesia
10

Gambar 2.3 Algoritma terapi osteoporosis

Obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis digolongkan menjadi dua,


yaitu hormonal seperti estrogen dan testosteron, serta Obat-Obatan non hormonal
seperti kalsium, vitamin D, bifosfonat, Selective Estrogen Receptor Modulators
(SERMs), kalsitonin, teriparatide dan diuretic tiazid. Algoritma terapi osteoporosis
menurut Dipiro et. al, (2008), dibagi menjadi dua yaitu pengobatan tanpa
pengukuran BMD (Bone Mineral Density) dan pengobatan dengan pengukuran
BMD (Bone Mineral Density).

Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD adalah untuk (i) Pria dan
wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang; serta (ii) Pria dan wanita yang
menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama. Terapi dapat dilakukan
dengan Biphosphonate, jika pasien mengalami intoleransi dengan Biphosphonate
pilihan terapi Obat lainnya adalah Raloxifene, Kalsitonin nasal, Teriparatide dan
Bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian
Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah Teriparatide.

Populasi yang memerlukan pengukuran BMD adalah: (i) Wanita dengan


usia ≥ 65 tahun; (ii) Wanita usia 60-64 tahun post menopause dengan peningkatan
risiko osteoporotis; dan (iii) Pria dengan usia 70 tahun atau yang risiko tinggi. Dari
Universitas Indonesia
11

hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi
tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan
pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene,
Kalsitonin (Dipiro et. al, 2008). Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam
osteopenia. Dapat dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan
pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene,
Kalsitonin.

Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis


sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel
kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila
ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka
pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene
dan Kalsitonin. Sedangkan, jika hasil pengukuran BMD mendapat skor T < -2,5,
terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan
Biphosphonate pilihan terapi Obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian
Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.

2.8 Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang progresif dimana


tulang rawan (kartilago) yang melindungi ujung tulang mengalami kerusakan,
disertai perubahan reaktif pada tepi sendi yang menimbulkan rasa sakit dan
hilangnya kemampuan gerak. (Kementerian Kesehatan RI, 2006). Sendi yang
paling sering terserang oleh osteoarthritis adalah sendi-sendi yang harus memikul
beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan servikal, serta sendi-
sendi pada jari (Price dan Wilson, 2013).

2.9 Klasifikasi Osteoarthritis


Berdasarkan patogenesisnya osteoarthritis dibedakan menjadi osteoarthritis
primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer (idiopatik) penyebabnya
tidak diketahui dengan jelas dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sementara Osteoarthritis sekunder
Universitas Indonesia
12

disebabkan oleh adanya perubahan degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah
mengalami deformasi, atau degenerasi sendi yang terjadi dalam kondisi medis
tertentu seperti inflamasi, trauma, gangguan endokrin dan sebagainya (Robbins,
2007).

2.10 Patogenesis
Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan
kolagen pada rawan sendi) gagal dalam memelihara homeostasis antara degradasi
dan sintesis matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi
serat kolagen tulang rawan, yang menyebabkan tulang rawan sendi kehilangan sifat
kompresibilitasnya yang unik akibat perubahan biomekanik. (Price dan Wilson,
2013). Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis osteoarthritis,
terutama setelah terjadi sinovitis. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan
menghasilkan berbagai sitokin pro inflamasi seperti interleukin 1 (IL 1) dan tumor
necrosis factor-alpha (TNFα) yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan
merusak matriks tulang rawan sendi (kartilago). (Robbins, 2007).

Lapisan permukaan kartilago yang sobek dan aus menyebabkan tulang–


tulang saling bergesekan, menyebabkan rasa sakit, bengkak, dan sendi dapat
kehilangan kemampuan bergerak. Lama kelamaan sendi akan kehilangan bentuk
normalnya, dan osteofit dapat tumbuh di ujung persendian. Sedikit dari tulang atau
kartilago dapat pecah dan mengapung di dalam ruang persendian, menyebabkan
rasa sakit bertambah hebat dan dapat memperburuk keadaan. (Kementerian
Kesehatan RI, 2006).

Gambar 2.4 Perbandingan sendi normal dengan sendi yang mengalami


osteoarthritis

Universitas Indonesia
13

2.11 Faktor Resiko Osteoarthritis


Faktor resiko osteoarthritis diantaranya adalah:
a. Usia
Prevalensi dan keparahan osteoarthritis meningkat sering dengan dengan
bertambahnya usia seseorang.
b. Obesitas
Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang
untuk menderita osteoarthritis. Hal ini adalah disebabkan karena seiring dengan
bertambahnya berat badan seseorang, beban yang akan diterima oleh sendi pada
tubuh makin besar. Beban yang diterima oleh sendi akan memberikan tekanan
pada bagian sendi yang berpengaruh, contohnya pada bagian lutut dan pinggul.
c. Trauma
Atlet dan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang memerlukan gerakan
berulang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena osteoarthritis karena
mengalami peningkatan tekanan pada sendi tertentu.
d. Genetika
Kelainan tulang bawaan dapat mempengaruhi bentuk dan stabilitas sendi dan
meningkatkan resiko osteoarthritis.
e. Kelemahan pada otot
Kelemahan otot dapat disebabkan oleh faktor usia, inaktivasi akibat nyeri atau
karena adanya peradangan pada sendi.
f. Nutrisi
Kadar vitamin D yang rendah di jaringan dapat mengganggu kemampuan tulang
untuk merespons secara optimal proses terjadinya osteoarthritis.

2.12 Manifestasi Klinik Osteoarthritis

Gejala yang dominan adalah rasa nyeri lokal pada sendi yang terkena
osteoarthritis. Pada awal terjadinya osteoarthritis, rasa sakit dapat meningkat saat
beraktivitas dan menurun atau hilang saat istirahat. Apabila osteoarthritis tidak
ditangani, rasa sakit dapat timbul jika pasien melakukan aktivitas minimal atau saat
istirahat. Kekakuan sendi biasanya berlangsung kurang dari 30 menit. Sendi yang
terasa hangat, berwarna kemerahan menunjukkan terjadinya inflamasi pada
Universitas Indonesia
14

persendian. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi lutut, pinggul, dan tulang
belakang. Selain rasa sakit, keterbatasan gerak, kekakuan, krepitus (gemeretak pada
sendi), dan kelainan bentuk mungkin terjadi. (Dipiro et. al, 2008).

2.13 Diagnosa Osteoarthritis


Diagnosis osteoarthritis dilaksanakan dengan menggali riwayat pengobatan
pasien, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologi dengan tujuan untuk membedakan
antara osteoarthritis primer dan sekunder menegaskan sendi yang mana yang
terkena, keparahannya dan respons terhadap terapi sebelumnya. (Kementerian
Kesehatan RI, 2006). Pemeriksaan osteoarthritis meliputi:
a. Observasi sendi
Pada penderita osteoarthritis dapat terjadi proliferasi tulang, radang sinovium,
peka terhadap sentuhan, krepitus, atrofi otot, keterbatasan gerak pasif maupun
aktif, serta perubahan bentuk pada sendi.
b. Evaluasi radiologi
Pada awal osteoarthritis ringan, umumnya belum terlihat perubahan gambaran
radiologi, semakin tinggi derajat keparahan osteoarthritis menyebabkan jarak
antar sendi menyempit dan mulai timbulnya osteofit marginal. Pada
osteoarthritis parah pasien dapat mengalami deformasi sendi.
c. Pemeriksaan cairan sinovial
Dapat terjadi leukositosis ringan (<2000 sel/mm) pada cairan sinovial penderita
osteoarthritis.

2.14 Pencegahan dan Pengobatan


2.14.1 Pencegahan dan Pengobatan Non Farmakologis
Latihan fisik rutin dapat membantu untuk menguatkan persendian, terutama
olahraga yang tidak melibatkan gerakan berulang yang membebani sendi seperti
berenang, jalan kaki, dan bersepeda. Terapi fisik dengan panas atau dingin dapat
membantu menjaga dan mengembalikan rentang gerakan sendi dan mengurangi
rasa sakit dan kejang otot. Mandi atau berendam air hangat akan mengurangi rasa
sakit dan kekakuan. Efek fisiologi dari suhu hangat adalah relaksasi otot dan
mengurangi rasa sakit. (Kementerian Kesehatan RI, 2006).

Universitas Indonesia
15

Gambar 2.5 Algoritma terapi osteoarthritis

2.14.2 Pengobatan Farmakologis


Terapi Obat pada osteoarthritis ditargetkan pada penghilangan rasa sakit.
Karena osteoarthritis sering terjadi pada individu lanjut usia yang memiliki kondisi
Universitas Indonesia
16

medis tertentu. Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memberi Obat untuk
pasien osteoarthritis, diantaranya adalah intensitas rasa sakit, efek samping yang
potensial dari Obat dan penyakit penyerta. (Dipiro et. al, 2008).

Obat penghilang rasa nyeri yang umum diresepkan untuk penderita


osteoarthritis terdiri atas analgesik NSAID seperti piroxicam maupun celexocib
serta analgesik non NSAID seperti parasetamol maupun capsaicin (analgesik
topikal). Pada pasien yang mengalami nyeri yang hebat, dapat dilakukan pemberian
analgesik opioid seperti tramadol yang dikombinasikan dengan parasetamol. Obat
lain yang sering diresepkan oleh dokter adalah kortikosteroid yang berfungsi
sebagai anti inflamasi. Kortikosteroid lebih sering diberikan dalam bentuk injeksi
intra-artikular dibandingkan dengan penggunaan oral. Untuk meningkatkan
keberhasilan terapi, pasien dapat diberikan suplemen makanan yang mengandung
glukosamin maupun kondroitin yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi
gangguan sendi atau mengurangi gejala osteoarthritis. Apabila pasien tidak
menunjukkan responsifitas terhadap terapi lain, dapat dilakukan injeksi intra
artikular pada sendi lutut dengan asam hialuronat untuk membantu proses
rekonstitusi cairan sinovial, serta meningkatkan elastisitas kartilago dan viskositas
cairan sinovial. Obat ini diberikan dalam bentuk garamnya (sodium hialuronat).
(Dipiro et. al, 2008).

2.15 Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker sebagai pemberi layanan
diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan
rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit
kronis, pasien dengan terapi jangka panjang serta pasien dengan 6 macam diagnosa
atau lebih. Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah Tahun 2008.
Tujuan dilaksanakannya kegiatan Home Pharmacy Care secara umum adalah
tercapainya keberhasilan dari terapi Obat.

Universitas Indonesia
BAB 3
METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care)
dilakukan pada tanggal 27 Juli 2017 di rumah pasien yang terletak di Depok.

3.2 Sampel
Sampel dalam tugas khusus ini adalah seorang pasien dengan penyakit
kronis yang membeli Obat di Apotek Kimia Farma No. 389.

3.3 Metode Pengkajian


Metode pengkajian yang digunakan adalah dengan mengkaji catatan rekam
medik pasien dengan penyakit kronis yang yang membeli Obat Resep di Apotek
Kimia Farma No.389. Setelah dilakukan pengkajian terhadap rekam medik,
diketahui bahwa ada seorang pasien yang sudah menebus Obat yang sama selama
dua kali dengan peningkatan dosis yang diberikan oleh dokter. Untuk memantau
dan menjamin kepatuhan pasien dalam meminum Obat serta menilai keberhasilan
terapi Obat yang ditunjukan dengan berkurang atau hilangnya gejala seperti sakit
atau nyeri yang muncul akibat osteoporosis, pasien tersebut kemudian dimintai
persetujuannya untuk diberikan pelayanan Telefarma dan Home Pharmacy Care.

17 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Home Pharmacy Care dilakukan kepada salah satu pasien Apotek
Kimia Farma No. 389 yang menderita osteoporosis dan osteoarthritis sebagai
berikut:

Nama Pasien : Tn. S


Umur : 84 Tahun
Tanggal Resep : 25 Juli 2017
Riwayat : Tidak ada
Keluarga
Riwayat : Hiperkolesterolemia dan Hiperurisemia
Penyakit Lain
Riwayat Sosial : Kondisi kebersihan dari rumah, pekarangan, lingkungan
dan jalan cukup terpelihara dengan baik tetapi kondisi
ventilasi, aliran udara dan cahaya yang memasuki rumah
sangat minim karena kondisi rumah yang tidak terlalu luas
serta dipenuhi perlengkapan rumah tangga
Jamu/Suplemen : Tidak ada
Lain
Riwayat : Pasien sering membeli natrium diklofenak untuk
Pengobatan menghilangkan rasa nyeri tanpa diketahui oleh keluarganya

4.1 Informasi Dari Pasien


Pasien bernama Tn. S (84 tahun) mengeluh sakit dan nyeri pada
pinggangnya terutama saat berjalan dan saat melakukan gerakan rukuk dan sujud
pada saat beribadah sembahyang. Pasien suka mengkonsumsi kacang-kacangan
terutama kacang tanah baik mentah maupun digoreng, kacang panjang, wortel serta
teh manis dan kopi. Pengobatan yang diterima pasien berdasarkan Resep adalah
sebagai berikut.

Tabel IV.1 Data pengobatan yang diterima pasien

Nama Obat Jumlah Signa Keterangan


Glucosamine 500 mg 30 tablet s.1.dd.1 1 kali sehari 1 tablet
Meloxicam 15 mg 30 tablet s.1.dd.1.s.prn 1 kali sehari 1 tablet apabila
nyeri
CaCO3 30 tablet s.1.dd.1 1 kali sehari 1 tablet
Actonel 35 mg 4 tablet 1 tab/minggu 1 kali seminggu 1 tablet
18 Universitas Indonesia
19

Gambar 4.1 Resep Pasien Tn. S

4.2 Skrining Farmasetika


a. Glukosamin 500 mg
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis : Satu kali sehari satu tablet
Potensi : 500 mg
Inkompatibilitas : -
Cara pemberian : Per oral
Lama pemberian : 4 minggu
b. Meloxicam 15 mg
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis : Satu kali sehari satu tablet
Potensi : 15 mg
Inkompatibilitas : -
Cara pemberian : Per oral
Lama pemberian : 4 minggu
c. CaCO3
Bentuk sediaan : Tablet
Universitas Indonesia
20

Dosis : Satu kali sehari satu tablet


Potensi : -
Inkompatibilitas : Mengurangi absorpsi actonel
Cara pemberian : Per oral
Lama pemberian : 4 minggu
d. Actonel 35 mg
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis : Satu kali seminggu satu tablet
Potensi : 35 mg
Inkompatibilitas : CaCO3 mengurangi absorpsi actonel
Cara pemberian : Per oral
Lama pemberian : 4 minggu

4.3 Skrining Farmakologi


4.3.1 Mekanisme kerja
Obat pertama yang diresepkan oleh dokter adalah Glukosamin
Hidroklorida. Glukosamin (2-amino-2-deoxi-β-d-glukopiranosa), merupakan zat
yang normal ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan cairan sendi manusia.
Glukosamin merupakan prekusor utama untuk biosintesis berbagai makromolekul
seperti asam hialuronat, proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs), glikolipid, dan
glikoprotein. Glukosamin terdapat di hampir semua jaringan lunak dalam tubuh
manusia, dengan konsentrasi tertinggi di tulang rawan. Pemberian suplemen
glukosamin bertujuan untuk meringankan osteoarthritis, rematik, dan gangguan
pada persendian, bekerja dengan cara merangsang produksi proteoglikan dan
meningkatkan serapan sulfat oleh tulang rawan artikular. Efek samping glukosamin
umumnya ringan, seperti diare, konstipasi, nausea dan muntah, pada kasus tertentu
pasien dapat mengalami heartburn serta reaksi hipersensitivitas. Glukosamin tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi Penderita hipersensitivitas terhadap glukosamin
maupun produk makanan laut seperti udang, tiram maupun kepiting, penderita
asma, penderita hiperlipidemia dan penderita hipertensi. (Dipiro et. al, 2008).

Obat kedua yang diresepkan oleh dokter adalah meloxicam. Meloxicam


merupakan golongan Anti Inflamasi Non steroid (NSAID) derivat asam enolat yang
Universitas Indonesia
21

bekerja dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin yang merupakan


mediator inflamasi melalui penghambat cyclooxygenase 2 (COX-2) selektif,
walaupun tidak sebaik celexocib. Selektifitas meloxicam terhadap cyclooxygenase
1 (COX-1) terutama apabila diresepkan pada dosis terapeutik minimal, yaitu 7.5
mg per hari. (Katzung, 2003). Meloxicam diresepkan untuk meredakan gejala-
gejala arthritis, misalnya peradangan, pembengkakan, kaku dan nyeri otot, serta
nyeri akibat osteoartritis, rheumatoid arthritis, dan ankylosing spondylitis. selain itu
meloxicam juga digunakan untuk meredakan nyeri tulang dan otot yang merupakan
salah satu efek samping dari penggunaan Actonel. Penderita asma, urtikaria
maupun memiliki hipersensitivitas dengan meloxicam dan NSAID lainnya tidak
dianjurkan untuk mengkonsumsi meloxicam. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah reaksi alergi, termasuk edema, kelelahan, demam, dan shock; gangguan
kardiovaskular seperti angina pectoris, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan
infark miokard, aritmia, takikardia, gangguan gastrointestinal seperti colitis, mulut
kering, ulkus duodenum, tukak lambung dan gastroesophageal reflux disease
(GERD). Resiko terjadinya efek samping pendarahan dan komplikasi tukak seperti
perforasi pada mukosa akan meningkat seiring bertambahnya usia, kondisi medis
tertentu seperti penyakit kardiovaskular, penggunaan Obat Obatan antikoagulan
dan riwayat penyakit tukak peptik. (Dipiro et. al, 2008).

Obat ketiga yang diresepkan oleh dokter adalah kalsium karbonat. Kalsium
karbonat merupakan suplemen kalsium yang paling sering digunakan untuk
pengobatan osteoporosis maupun hipokalsemia karena mengandung paling banyak
unsur kalsium (40%) dibandingkan dengan kalsium laktat (13%), kalsium fosfat (25
%) dan kalsium sitrat (21 %). Kalsium merupakan unsur pembentuk tulang yang
penting dan dapat meningkatkan massa tulang akan tetapi tidak cukup baik untuk
mencegah terjadinya fraktur sehingga pemberian suplemen kalsium umumnya tidak
diberikan tunggal, melainkan dikombinasikan dengan vitamin D untuk
meningkatkan kadar kalsium serum. Efek samping yang umum terjadi karena
pemberian kalsium diantaranya adalah konstipasi dan flatulensi pada saluran
gastrointestinal. Pemberian kalsium juga dimaksudkan sebagai antasida untuk
mengurangi efek samping tukak lambung yang mungkin terjadi akibat pemberian

Universitas Indonesia
22

meloxicam. Pemberian suplemen kalsium dikontraindikasikan pada penderita


hipersensitivitas terhadap Kalsium Karbonat dan penderita hiperkalsemia serta
hiperkalsuria. Efek samping yang umum terjadi adalah reaksi hipersensitivitas dan
konstipasi, sehingga pemberian kalsium umumnya diberikan bersamaan dengan
magnesium. (Dipiro et. al, 2008).

Obat terakhir yang diresepkan oleh dokter adalah actonel. Actonel


merupakan Obat dengan bahan aktif Risedronate Na (Pyridinyl Bisphosphonate)
yang diberikan sebanyak 4 tablet dengan potensi 35 mg dan diminum satu kali
seminggu satu tablet pada pagi hari. Risedronate Na merupakan Obat yang
digunakan untuk terapi farmakologi osteoporosis yang termasuk dalam golongan
antiresorbsi. Mekanisme kerja utamanya adalah menginhibisi resorbsi tulang
normal dan abnormal. Risedronate Na dapat mengurangi resorbsi tulang oleh sel
osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerja
osteoklas dengan cara mengurangi produksi enzim lisosomal dibawah osteoklas
(Dipiro, 2008). Dibandingkan Obat penghambat resorbsi tulang lainnya bifosfonat
memiliki efektivitas yang paling tinggi untuk meningkatkan massa tulang dan
mengurangi resiko terjadinya fraktur. Risedronate dapat juga digunakan untuk
osteoporosis yang disebabkan oleh Obat-Obatan glukokortikoid. Bifosfonat harus
diberikan dengan hati-hati untuk meningkatkan manfaat klinisnya dikarenakan
semua Obat-Obatan golongan bifosfonat memiliki bioavalabilitas yang buruk (1-
5%) dan meminimalisasi efek samping dari bifosfonat, seperti gangguan gastro
intestinal, ulkus peptikum, esofagitis, nyeri tulang-otot dan sakit kepala, ruam,
eritema, mual, muntah, nyeri tulang dan otot serta sakit kepala. Pemberian actonel
tidak dianjurkan bagi penderita gangguan esophagus, seperti Gastro Esophageal
Reflux Disease (GERD), memiliki kadar kalsium darah yang rendah dan memiliki
hipersensitivitas terhadap Risedronate Na. (Dipiro et. al, 2008).

4.3.2 Kesesuaian dosis


a. Glukosamin HCl
Dosis yang direkomendasikan untuk glukosamin HCl adalah 1500 mg per hari
yang diberikan dalam 3 dosis terbagi. Dosis maksimal per hari adalah 1500 mg
(Dipiro et. al, 2008). Dosis yang diresepkan oleh dokter adalah 500 mg perhari
Universitas Indonesia
23

yang diberikan satu kali sehari. Apoteker tidak memberikan glukosamin karena
pada salinan Resep tertera “det” yang berarti sudah diberikan seluruhnya.
b. Meloxicam
Dosis yang direkomendasikan untuk mengurangi nyeri adalah 7.5 mg per hari
yang diberikan satu kali sehari. Dosis maksimal per hari adalah 15 mg (Dipiro
et. al, 2008). Dosis yang diresepkan oleh dokter adalah 15 mg perhari yang
diberikan satu kali sehari. Apoteker memberikan meloxicam sebanyak 25 tablet
dengan dosis sesuai dengan Resep dokter.
c. CaCO3
Untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis, maksimal dosis pada
pemberian single dose adalah 500-600 mg. Batas pemberian maksimal perhari
adalah 2500 mg, lebih dari itu tidak akan meningkatkan manfaat dan mungkin
meningkatkan resiko gangguan kardiovaskular (Dipiro et. al, 2011). Kebutuhan
kalsium untuk laki-laki berusia > 70 tahun adalah 1200 mg per hari. Dosis yang
diresepkan oleh dokter tidak tertera pada Resep. Apoteker memberikan
osteocare yang mengandung 300 mg (unsur) kalsium, 150 mg (unsur)
magnesium, 5 mg (unsur) zinc dan 2.5 mcg vitamin D3 per tablet. Osteocare
dapat diberikan 2-3 tablet per hari. Apoteker memberikan osteocare sebanyak
30 tablet dengan dosis dua kali sehari satu tablet.
d. Actonel
Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis post menopause
adalah satu kali sehari satu tablet 5 mg, satu kali seminggu satu tablet 35 mg,
dua kali sebulan satu tablet 75 mg dan satu kali sebulan satu tablet 150 mg;
Dosis yang direkomendasikan untuk meningkatkan massa tulang pada pria
dengan osteoporosis adalah satu kali seminggu satu tablet 35 mg; Dosis yang
direkomendasikan untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang
disebabkan oleh Obat-Obat glukokortikoid adalah satu kali sehari satu tablet 5
mg. (Dipiro et. al, 2008). Dosis yang diresepkan oleh dokter adalah satu tablet
35 mg yang diberikan satu minggu sekali. Apoteker memberikan Actonel
sebanyak 4 tablet dengan dosis sesuai dengan Resep dokter.

Universitas Indonesia
24

4.3.3 Aturan pakai


a. Glukosamin HCl 500 mg
Glukosamin HCl digunakan satu satu kali sehari satu tablet 500 mg sesudah
makan pagi (MIMS, 2013).
b. Meloxicam 15 mg
Meloxicam digunakan satu kali sehari satu tablet 15 mg sesudah makan atau
pada saat perut terisi. Meloxicam hanya digunakan pada saat timbul nyeri.
(MIMS, 2013).
c. Osteocare (CaCO3)
Osteocare digunakan dua kali sehari satu tablet. Osteocare mengandung
kalsium yang dapat menurunkan absorbsi dari actonel jika digunakan secara
bersamaan. Oleh sebab itu penggunaan osteocare sebaiknya diberi jeda dengan
osteocare atau osteocare dapat diminum pada siang hari. Osteocare paling baik
diberikan 15-20 menit sebelum makan (MIMS, 2013)
d. Actonel 35 mg
Actonel digunakan satu kali seminggu satu tablet 35 mg pada pagi hari. Actonel
harus diminum 30 menit sebelum mengkonsumsi makanan apapun termasuk
suplemen kalsium dan vitamin D maupun Obat-Obatan lainnya. Actonel harus
diminum dengan segelas air putih (± 180 ml) dengan posisi berdiri. Pasien harus
tetap berdiri atau duduk setidaknya 30 menit setelah mengkonsumsi Actonel.
Actonel harus ditelan utuh dan tidak boleh dikunyah. Pasien yang lupa
mengkonsumsi dosis mingguan dapat meminumnya pada hari berikutnya,
apabila dosis terlewat lebih dari satu hari, dosis dilewati sampai pemberian
berikutnya. Pasien yang lupa mengkonsumsi dosis bulanan, pasien dapat
mengkonsumsi dosis yang terlewat maksimal 7 hari sebelum pemberian
berikutnya. (Dipiro et. al, 2011).

4.3.4 Interaksi Obat


a. Glukosamin
Penggunaan glukosamin bersamaan dengan warfarin dapat meningkatkan efek
antikoagulan dari warfarin dan meningkatkan resiko pendarahan.

Universitas Indonesia
25

b. Meloxicam
Meloxicam dapat berinteraksi dengan Obat golongan ACE inhibitor dan
meniadakan efek antihipertensi, penggunaan meloxicam bersamaan dengan
warfarin dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin dan
meningkatkan resiko pendarahan.
c. Osteocare (CaCO3)
Kalsium dapat menghambat absorpsi dari Obat lain seperti bifosfonat,
levotiroksin, dan antibiotik tetrasiklin serta kuinolon.
d. Actonel
Actonel dapat berinteraksi dengan antasida, kalsium atau Obat oral yang
mengandung kation divalen lainnya. Jika Actonel digunakan bersamaan dengan
Obat tersebut maka absorbsi Actonel akan terpengaruh (menurun). (MIMS,
2013).

4.4 Pelaksanaan Home Pharmacy Care


Penilaian awal terhadap pasien dilakukan dengan melihat identitas pasien,
riwayat penyakit pasien, riwayat alergi, serta profil pengobatan pasien. Hal ini
dilakukan saat pasien menebus Resep yang diikuti dengan pelaksanaan konseling
di Apotek Kimia Farma No.389 pada tanggal 25 Juli 2017. Proses penilaian awal
pasien dilakukan untuk mengidentifikasi masalah kefarmasian yang perlu
ditindaklajuti dengan pemberian Home Pharmacy Care. Ketika konseling, pasien
menyatakan bahwa pasien mengkonsumsi Obat ini baru sejak bulan lalu. Tn. S
dipilih sebagai pasien yang menerima pelayanan kefarmasian di rumah karena
pasien memenuhi syarat sebagai pasien yang diprioritaskan, yaitu menderita
penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus tentang penggunaan Obat,
adanya kemungkinan terjadi interaksi Obat dan efek samping Obat, serta usianya
yang sudah lebih dari 84 tahun. Setelah melakukan penilaian awal terhadap kondisi
pasien, persetujuan pelaksanaan Home Pharmacy Care disepakati secara lisan pada
saat akhir kegiatan konseling pada saat pasien menebus Obat di Apotek pada
tanggal 25 Juli 2017. Kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah telefarma.
Kegiatan telefarma bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien dan monitoring
pengobatan pasien setelah pemberian Obat dan untuk menanyakan kesediaanya

Universitas Indonesia
26

untuk dikunjungi oleh personil Apotek yang akan melaksanakan Home Pharmacy
Care.

Kegiatan Home Pharmacy Care dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2017


dengan didampingi oleh Apoteker Pengelola Apotek dari Apotek Kimia Farma No.
389. Berdasarkan diagnosa dokter yang ditegakkan dengan hasil pemeriksaan
laboratorium, pasien Tn. S dinyatakan menderita osteoporosis dan osteoarthritis.
Hal ini ditegaskan dengan keluhan pasien yang mengeluhkan sakit dan nyeri pada
pinggang serta sendi lututnya. Usia pasien yang sudah mencapai 84 tahun juga
merupakan salah satu faktor penunjang terjadinya osteoporosis. Ketika dilakukan
Home Pharmacy Care, kondisi pasien terlihat sehat dan setelah dilakukan
pengecekan tekanan darah, tekanan darah pasien 140/80 mmHg.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari pasien, diketahui bahwa


pasien sudah diresepkan actonel oleh dokter untuk yang kedua kalinya. Pada
peresepan awal dokter memberikan instruksi untuk meminum actonel setiap dua
minggu sekali satu tablet 35 mg, akan tetapi karena nyeri pada pinggang dan
punggungnya yang tidak kunjung sembuh dokter meningkatkan frekuensi
penggunaan actonel menjadi satu minggu sekali satu tablet 35 mg. Setelah
diwawancarai, ternyata pasien tidak mengetahui jika actonel harus diminum dengan
segelas air putih (± 180 ml) dengan posisi berdiri dan pasien harus tetap berdiri atau
duduk setidaknya 30 menit setelah mengkonsumsi actonel. Pasien juga tidak tahu
jika actonel harus diminum 30 menit sebelum mengkonsumsi makanan apapun
termasuk suplemen kalsium dan vitamin D maupun Obat-Obatan lainnya. Selama
ini pasien mengkonsumsi actonel sebelum sarapan pagi dan kemudian
mengkonsumsi osteocare setelahnya, oleh sebab itu, sebaiknya diberikan jeda
antara pemakaian actonel dan osteocare (MIMS, 2013). Berdasarkan keterangan
yang didapatkan dari anak pasien, Tn. S sering mengkonsumsi Obat tukak lambung
yang mengandung antasida seperti mylanta maupun magasida pada saat pagi hari
karena mengalami nyeri pada lambungnya. Diduga antasida yang diminum
bersamaan dengan actonel menghambat absorpsi actonel yang memang memiliki
bioavailabilitas yang buruk (<1-5%) sehingga menghilangkan efektifitasnya. Untuk
meminimalisir tukak lambung yang merupakan salah satu efek samping dari actonel
Universitas Indonesia
27

disamping nyeri pada tulang dan otot, tindakan dokter untuk menetapkan regimen
pemberian Obat mingguan sudah tepat, apabila efektifitas terapi tidak meningkat
maupun efek samping tukak lambung masih terjadi, Apoteker dapat memberikan
saran kepada dokter untuk mengganti risedronate dengan Obat golongan bifosfonat
lainnya seperti alendronate dan ibandronate. Pilihan terapi Obat lainnya adalah
Raloxifene, Kalsitonin nasal, Teriparatide dan Bifosfonat parenteral. Jika
kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi
lainnya adalah Teriparatide. (Dipiro et. al, 2011).

Glukosamin yang diminum oleh pasien merupakan sediaan kombinasi,


yaitu Viostin X yang mengandung Glucosamine HCI 500 mg, Chondroitin Sulfate
200 mg, MSM 300 mg dan Manganese 0.5 mg. Viostin X digunakan oleh pasien
untuk menghilangkan rasa nyeri pada sendi, terutama pada saat pasien
membungkuk. Viostin X diminum oleh pasien setelah makan yang sudah sesuai
dengan aturan penggunaan. Saran yang dapat diberikan adalah dapat dilakukan
pengaturan dosis glukosamin menjadi tiga kali sehari satu tablet viostin X (1500
mg per hari) apabila pasien masih mengeluh tidak ada perbaikan rasa sakit yang
nyeri yang diderita olehnya, dokter dapat meningkatkan dosis glukosamin dari 500
mg perhari menjadi 1500 mg perhari sesuai rekomendasi dosis glukosamin untuk
pengobatan osteoarthritis menurut Dipiro et. al, (2008).

Keluhan lain yang disampaikan oleh pasien adalah keluhan tukak pada
lambungnya, setelah dilakukan wawancara, diketahui pasien sering membeli
natrium diklofenak untuk menghilangkan rasa nyeri yang diderita olehnya.
Berdasarkan pengakuan pasien, rasa nyeri pada pinggang dan punggungnya
membaik setelah mengkonsumsi natrium diklofenak. Penggunaan natrium
diklofenak tanpa Resep yang dikombinasikan dengan meloxicam yang sudah
diberikan oleh dokter menyebabkan tukak lambung yang diderita oleh pasien, hal
ini diperparah lagi akibat salah satu efek samping dari actonel yang dapat
menyebabkan tukak lambung. Setelah mendapat keterangan yang memadai, saran
yang dapat diberikan adalah menghentikan konsumsi natrium diklofenak tanpa
Resep dan mengkonsumsi meloxicam dalam kondisi perut terisi. Alternatif lain
yang dapat diberikan adalah memberikan saran kepada dokter penulis Resep untuk
Universitas Indonesia
28

mengganti meloxicam dengan celecoxib yang merupakan COX-2 inhibitor selektif.


Dosis yang dapat diberikan yaitu dua kali sehari satu tablet 100 mg atau satu kali
sehari satu tablet 200 mg. (Dipiro et. al, 2008).

Setelah pasien diberikan informasi mengenai cara penggunaan dan waktu


penggunaan Obat yang tepat, selanjutnya pasien diberikan saran terapi non-
farmakologi yang dapat menunjang keberhasilan terapi farmakologinya. Setelah
mewawancarai pasien dan keluarga, diketahui bahwa pasien suka mengkonsumsi
kacang-kacangan terutama kacang tanah baik mentah maupun digoreng, kacang
panjang, wortel serta meminum teh manis dan kopi hitam beberapa gelas per hari.
Berdasarkan informasi tersebut, saran yang dapat diberikan adalah: (i) Pasien
disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung kalsium,
seperti susu tinggi kalsium, konsumsi makanan yang mengandung kalsium harus
diberi jeda dengan penggunaan Obat actonel; (ii) Pasien disarankan untuk
menghentikan dan membatasi asupan natrium, minuman bersoda dan berkafein
seperti teh dan kopi; (iii) Pasien disarankan untuk banyak mengkonsumsi vitamin
D dan banyak berjemur dibawah sinar matahari untuk meningkatkan absorpsi
kalsium dan vitamin K yang baik untuk pertumbuhan tulang. Pasien juga diarahkan
untuk banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung protein, seperti
kedelai, konsumsi protein yang tinggi dapat melindungi tulang dari kerapuhan dan
resiko fraktur; (iv) Pasien disarankan untuk banyak melakukan gerakan fisik ringan
sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan serta
mobilitas.

Langkah terakhir yang dilakukan adalah melakukan dokumentasi kegiatan


Home Pharmacy Care. Sebagai tindak lanjut terhadap kegiatan Home Pharmacy
Care perlu dilakukan monitoring dan evaluasi untuk menilai perkembangan pasien,
menilai tercapainya tujuan dan sasaran pengobatan, menilai kualitas pelayanan
kefarmasian yang diberikan, serta menilai peningkatan kepatuhan pasien. Akan
tetapi karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan sarana maupun waktu hal ini
tidak dilakukan.

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari kegiatan Home Pharmacy Care yang dilakukan pada Tn. S dapat
ditarik kesimpulan bahwa:

a. Obat-Obatan yang memerlukan instruksi khusus dalam penggunaannya seperti


actonel harus diberikan oleh Apoteker disertai dengan konseling untuk
mencegah terjadinya kesalahan penggunaan Obat oleh pasien. Apoteker juga
harus memberikan edukasi kepada pasien yang tidak memiliki Resep dokter
apabila hendak membeli Obat yang tidak boleh diberikan tanpa Resep dokter
untuk mencegah terjadinya hal yang merugikan kepada pasien itu sendiri.
b. Masalah yang dapat diidentifikasi dari tidak tercapainya tujuan pengobatan
pada Tn. S adalah ketidaktahuan pasien mengenai cara penggunaan, waktu
penggunaan serta kurang tepatnya pemilihan jenis Obat. Untuk mengatasi
masalah tersebut, seorang Apoteker dapat memberikan saran kepada pasien
mengenai cara penggunaan dan waktu penggunaan Obat yang tepat serta
memberikan saran kepada dokter dalam pemilihan regimen terapi yang tepat.

5.2 Saran
Diperlukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk menilai kepatuhan
dan cara meminum Obat pasien.

29 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro. J.T. et. al, (2008). Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. New York:

Mc Graw Hill Medical.

Dipiro, J.T. et. al, (2011). Pharmacotherapy Handbook 8th Edition. New York:

Mc Graw Hill Medical.

Katzung B.G. (2009). Basic and Clinical Pharmacology 9th Edition. New York:
McGraw-Hill.

Kumar, V, Cortan, R.S, dan Robbins, S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins
Volume 2, Edisi 7. Jakarta: EGC

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien


penyakit arthritis rematik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008a). Pedoman Pelayanan Kefarmasian


Di Rumah (Home Pharmacy Care. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008b). Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008 Tentang
Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Price, S.A dan Wilson, L.M. (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC

Tim Penyusun. (2013). MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: BIP Kelompok


Gramedia.

30 Universitas Indonesia
LAMPIRAN
32

Lampiran 1. Tes semenit resiko osteoporosis (Menteri Kesehatan Republik


Indonesia, 2008).

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai