Pengkajian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan diskusi di antara anggota tim
pengkaji. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
1.Definisi ‘ijin pemeriksaan pejabat negara’ tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang ‘prosedur ijin’ sebelum melakukan
pemeriksaan terhadap pejabat negara. Namun bila ditinjau dari segi bahasa
pengertian ijin pemeriksaan adalah persetujuan dari pejabat yang berwenang, untuk
memeriksa pejabat negara guna mengetahui terjadinya suatu tindak pidana dan
mengetahui siapa yang bersalah yang harus memikul tanggung jawab pidana.
3.Tidak semua pejabat negara memerlukan ‘ijin’ sebelum diperiksa terkait dengan
perkara pidana, sebab berdasarkan hasil penelitian pustaka ternyata tidak ada satu-
pun ketentuan yang mengharuskan adanya ijin sebelum ‘memeriksa’ Presiden, Wakil
Presiden, Para Menteri dan Pejabat setingkat Menteri. Hal ini sungguh tidak logis,
sebab untuk pejabat setingkat atau beberapa tingkat di bawah Presiden
diberlakukan prosedur ijin, tetapi untuk Presiden tidak ada ketentuannya. Padahal
personifikasi utama dari sebuah negara adalah kepala negara, yaitu Presiden. Tidak
ada jaminan seorang Presiden pasti tidak akan melakukan tindak pidana. Namun bila
‘prosedur ijin’ juga diberlakukan untuk Presiden, persoalannya ialah kepada siapa
permohonan ijin itu harus diajukan. Bila diajukan ke Ketua MPR, Ketua MPR sendiri
permohonan ijinnya harus diajukan ke Presiden. Inilah salah satu kelemahan
‘perlakuan khusus’ terhadap pejabat negara dalam bentuk ‘ijin pemeriksaan’.
4.Adapun pejabat negara yang harus ada ijin terlebih dahulu sebelum dilakukan
pemeriksaan terkait dengan perkara pidana ialah:
Anggota MPR, DPD, dan DPR; yang berwenang mengeluarkan ijin pemanggilan
(termasuk pemanggilan sebagai saksi), permintaan keterangan dan penyidikan ialah
Presiden secara langsung tanpa hak substitusi. Ijin tidak diperlukan bila tindak
pidana yang dilakukan tergolong: tindak pidana korupsi atau tindak pidana terorisme
atau dalam keadaan tertangkap tangan, tetapi dalam waktu 2 x 24 jam wajib
dilaporkan kepada pejabat yang berwenang memberi ijin [Pasal 106 ayat (1) jo. Ayat
(4) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD].
g.Jaksa; apabila dalam melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana,
maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan
terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung
[Pasal 8 ayat (5) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia].
5.Ketentuan mengenai ijin pemeriksaan terhadap pejabat negara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan sektoral, mengandung substansi yang berbeda-beda
antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lainnya. Perbedaan tersebut
ialah:
Mengenai rumusan untuk apa ijin itu diperlukan antara peraturan satu dengan yang
lainnya berbeda-beda, yaitu: pemanggilan, pemeriksaan, penggeleda-han,
penangkapan dan penahanan (UU No. 16 Tahun 2004); pemanggi-lan, permintaan
keterangan dan penyidikan ((UU No. 22 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 1999 jo.
UU No. 3 Tahun 2004); tindakan kepolisian (UU No. 15 Tahun 2006); penangkapan
dan penahanan (UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004; UU No. 5 Tahun
1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004; Pasal 25 UU No. 7 Tahun 1989; dan UU No. 14
Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004); dan penyelidikan dan penyidikan (UU No. 32
Tahun 2004).
Ada ketentuan yang mencantumkan pengecualian, yaitu dalam hal: tindak pidana
korupsi atau tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain dalam keadaan
tertangkap tangan (UU No. 22Tahun 2003), ada yang pengecualiannya dalam hal:
tertangkap tangan, atau tindak pidana yang disangkakan diancam pidana mati; atau
tindak pidana terhadap keamanan negara (UU No. 32 Tahun 2004; UU No. 2 Tahun
1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004; UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004;
Pasal 25 UU No. 7 Tahun 1989; dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun
2004); ada yang pengecualiannya dalam hal: tertangkap tangan atau tindak pidana
yang disangkakan diancam dengan pidana mati (UU No. 15 Tahun 2006); dan ada
yang tidak ada pengecualiannya (UU No. 16 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 1999
jo. UU No. 3 Tahun 2004).
Selain harus ada persetujuan tertulis dari pejabat yang berwenang, ada yang
mensyaratkan harus ada perintah dari Jaksa Agung (UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU
No. 8 Tahun 2004; UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004; Pasal 25 UU No.
7 Tahun 1989; UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004; dan UU No. 15
Tahun 2006); dan ada yang tidak mensyaratkan adanya perintah dari Jaksa Agung
(UU No. 16 Tahun 2004; UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004; UU No.
32 Tahun 2004; dan UU No. 22 Tahun 2003).
Ada yang menentukan bila dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak permoho-nan
diterima tidak ada jawaban, maka penyidikan dapat dilanjutkan (UU No. 32 Tahun
2004) tetapi bila penyidikan itu diikuti dengan penahanan maka tetap harus
menunggu keluarnya ijin, sedangkan yang lainnya tidak ada batas waktunya (UU No.
2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004; UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004; Pasal 25 UU No. 7 Tahun 1989; UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun
2004; UU No. 15 Tahun 2006; UU No. 16 Tahun 2004; UU No. 23 Tahun 1999 jo.
UU No. 3 Tahun 2004; dan UU No. 22 Tahun 2003).
Ada ketentuan yang mengharuskan ijin diperlukan bila tindak pidana yang
disangkakan itu berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang jabatan (UU
No. 16 Tahun 2004), sedangkan undang-undang lainnya tidak mengharuskan bahwa
tindak pidana yang dilakukan itu berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
wewenang jabatan, melainkan tindak pidana pada umumnya (UU No. 2 Tahun 1986
jo. UU No. 8 Tahun 2004; UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004; Pasal 25
UU No. 7 Tahun 1989; UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004; UU No. 15
Tahun 2006; UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004; UU No. 32 Tahun
2004; dan UU No. 22 Tahun 2003).
Untuk anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, pengecualian yang diatur
dalam Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 berbeda dengan pengecualian yang diatur
dalam Pasal 53 UU No. 32 Tahun 2004. Pengecualian dalam Pasal 53 UU No. 32
Tahun 2004 ialah dalam hal: tertangkap tangan, atau tindak pidana yang
disangkakan diancam pidana mati; atau tindak pidana terhadap keamanan negara;
sedangkan pengecualian dalam Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 ialah dalam hal:
tindak pidana korupsi atau tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain dalam
keadaan tertangkap tangan. Ini berarti terhadap anggota MPR, DPR dan DPD bila
melakukan tindak pidana korupsi tidak perlu ada ijin, tetapi bila yang melakukan itu
anggota DPRD Propinsi atau Kabupaten/kota harus ada ijin (lex posterior derogat
legi priori atau ketentuan yang baru menyingkirkan yang lama), hal ini sungguh
tidak logis.
Asas persamaan di depan hukum (equality before the law); karena di dalam
‘prosedur ijin’ terkandung ‘perlindungan hukum’ bagi pejabat negara yang tidak
dimiliki oleh warga negara biasa. Selain itu, terhadap sesama pejabat juga ada
perlakuan yang berbeda karena ada pejabat negara harus ada ijin dan ada yang
tidak diharuskan ada ijin terlebih dahulu, seperti: Presiden, Wakil Presiden dan Para
Menteri [Pasal 27 dan 28D UUD 45, Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan Penjelasan Umum butir 3e KUHAP].
Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (constante justitie); karena
prosedur ijin memerlukan waktu yang lama dan melalui birokrasi yang panjang,
sehingga secara tidak langsung membutuhkan biaya operasional untuk mengurusnya
[Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3e KUHAP].
Menimbulkan diskriminasi bagi aparat penegak hukum; karena hanya berlaku bagi
kepolisian dan kejaksaan dan tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Hal ini berarti, prosedur ijin juga menimbulkan diskriminasi bagi pejabat
negara yang perkaranya ditangani oleh institusi yang berbeda, karena untuk pejabat
negara yang ditangani kejaksaan dan kepolisian harus ada ijin, sedangkan untuk
pejabat negara yang ditangani KPK tidak memerlukan ijin [Pasal 46 ayat (1) jo.
Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana korupsi].
7.Prosedur ijin dalam melakukan pemeriksaan pejabat negara merupakan salah satu
hambatan dalam proses penegakan hukum karena:
Dengan adanya rentang waktu yang cukup lama sampai keluarnya izin pemeriksaan,
tersangka masih bebas menghirup udara segar, sehingga dikhawatirkan: melarikan
diri; menghilangkan atau merusak barang bukti; mengganti atau merubah alat bukti
surat; dapat mengulangi tindak pidana korupsi; dapat mempengaruhi para saksi;
dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada orang lain.
8.Forum privilegiatum seperti yang diatur dalam Pasal 106 UUDS dan Pasal 148
Konstitusi RIS lebih efektif dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
hukum dan asas-asas peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat dari praktek pada masa
berlakunya ketentuan tersebut. Pada saat itu banyak pejabat negara termasuk
menteri seperti: Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo dan Menteri Luar Negeri
Ruslan Abdul Gani yang diusut oleh Kejaksaan Agung pada saat mereka masih
menjabat. Pengusutan itu dapat berjalan lancar tanpa mampu diintervensi oleh
siapapun termasuk penguasa saat itu, hingga akhirnya keduanya divonis bersalah
oleh pengadilan (Aswi Warman Adam, Koran Tempo: 2/6/2004 dan Iip D. Yahya,
2004: 44-54 dan 197-198).
2.Prosedur khusus berupa ‘ijin pemeriksaan’ tidak sesuai atau bertentangan dengan:
Prosedur ijin pemeriksaan terhadap pejabat negara menjadi salah satu hambatan
dalam proses penegakan hukum karena menyebabkan penanganan perkara menjadi
lamban dan terkesan macet.
a.Terhadap pejabat negara, memang harus diberi perlakuan khusus dalam rangka
menjaga harkat dan martabat pejabat negara dan lembaga negara agar tidak
diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang. Namun dalam ‘perlakuan
khusus’ itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-
asas peradilan pidana. Perlakuan khusus itu harus berlaku untuk semua pejabat
dengan kedudukan yang sama, tidak seperti ‘prosedur ijin’ yang hanya berlaku untuk
pejabat negara tertentu saja. Hal ini sangat ironis, karena ternyata tidak ada
ketentuan yang mengatur bahwa pemeriksaan terhadap Presiden harus ada ijin
terlebih dahulu. Padahal personifikasi yang paling utama dari sebuah negara adalah
Presiden selaku kepala negara.
Pejabat negara tingkat pusat (Presiden; Wakil Presiden; Para Menteri; Ketua, Wakil
Ketua dan anggota MPR/DPR/DPD; Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Mahkamah
Agung; Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi; Jaksa Agung dan Jaksa
Agung Muda; Panglima TNI; Ketua, Wakil Ketua dan anggota Badan Pengawas
Keuangan, dan Dewan Gubernur Bank Indonesia), diadili untuk tingkat pertama dan
terkahir di Mahkamah Agung. Penyidikannya dipimpin langsung oleh Jaksa Agung
dan yang bertindak sebagai Penuntut Umum adalah Jaksa Agung atau Jaksa Agung
Muda.
(Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Ijin Pemeriksaan Terhadap
Pejabat Negara dalam Proses Penegakan Hukum, 2008)