Anda di halaman 1dari 21

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Rokok

1. Definisi Merokok

Rokok adalah silinder dari kertas ukuran panjang 70 hingga 120 mm

(berbagai) dan diameter Kurang lebih 10 mm. Di dalamnya ada daun tembakau

cincang. Untuk menikmatinya. bakar salah satu ujung rokok sehingga anda dapat

menghirup asap melalui mulut ujung lain.

Tembakau adalah produk pasar yang terbuat dari daun tembakau yang

dikonsumsi dengan cara membakar salah satu ujungnya dan menghirup ujung yang

lain melalui rongga mulut. Saat ini, ada lebih dari 1 miliar perokok di seluruh dunia,

80% di antaranya disumbangkan oleh negara berkembang. Di Indonesia yang

berpenduduk 272.229.372 juta jiwa, dan hampir sepertiga penduduknya merokok.

2. Jenis-jenis Rokok

a. Rokok Berdasarkan Bahan Baku atau isi.

Klembak kemenyan : Tembakau tradisional yang terbuat dari campuran

tembakau potong dan bubuk kemenyan.

Rokok elektrik: rokok elektrik juga dikenal sebagai vape jenis rokok ini

menghantarkan nikotin elektronik, rokok elektrik bekerja seperti seperti roko


10

biasa tetapi alih-alih menggunakan atau membakar daun tembakau, mereka

mengubah cairan menjadi uap.

Rokok kretek: Rokok yang bahan baku atau isinya berupa tembakau asli

dan dikeringkan serta dipadukan dengan saus untuk memperoleh efek rasa

dan aroma tertentu.

Rokok putih: tembakau ini menggunakan bahan dasar daun tembakau tanpa

dicampura dengan cengkeh mirip tembakau kretek.

b. Rokok Berdasarkan proses pembuatannya.

Sigaret Kretek Tangan (SKT) : Rokok yang dibuat dengan cara

dihancurkan atau digulung dengan tangan atau alat sederhana.

Sigaret Kretek Mesin (SKM) : Rokok yang menggunakan mesin dalam

proses pembuatannya, bahan tembakau dipasok kemesin pembuatan

tembakau.

c. Rokok Berdasarkan Penggunaan Filter.

Rokok Filter (RF) : Rokok dengan gabus dipangkalnya.

Rokok Non Filter (RNF) : Rokok bebas gabus dipangkalan.

d. Rokok Berdasarkan pembungkus.

Sigaret: Rokok yang bahan kemasannya berbentuk kertas.

Cerutu: Rokok yang bahan kemasannya berbentuk daun tembakau.

Kawung: Rokok yang bahan kemasannya berupa daun aren.

Klobot: Rokok yang bahan kemasannya berbentuk daun jagung.


11

3. Kandungan rokok

Kandungan rokok mengandung lebih dari 3040 bahan kimia yang terdapat pada

daun tembakau kering. Rokok yang dibakar terurai menjadi dua komponen. Dengan kata

lain, komponen yang menguap dengan cepat menjadi asap dan komponen lainnya

terkondensasi. Dengan kata lain, itu adalah komponen asap. rokok yang dihisap oleh

perokok terdiri dari gas (85%) dan debu halus (15%) (Sitepoe, 2000).

Rokok mengandung sekitar 4.000 jenis bahan kimia yang bersifat karsinogenik (dan

dapat menyebabkan kanker) dan berbahaya bagi kesehatan anda. Racun utama dalam

rokok adalah Tar, Nikotin, dan Karbon monoksida (CO). Zat-zat beracun yang terdapat

dalam rokok antara lain sebagai berikut:

1. Nikotin

Nikotin adalah zat atau senyawa porillidin yang terdapat Nicotoana Tabacum,

Nicotiana Rustica dan spesies lainnya yang sintetisnya bersifat adiktif dan dapat

mengakibatkan ketergantungan. Nikotin yang terkandung dalam asap rokok

adalah 0,5-3 mg, dan semuanya diserap sehingga di dalam cairan darah atau

plasma darah ada sekitar 40-50 mg/ml. Nikotin merupakan alkaloid yang

bersifat simultant dan pada dosis tinggi bersifat beracun. Zat ini hanya ada

dalam tembakau, sangat aktif dan mempengaruhi otak atau susunan saraf

pusat. Nikotin juga memiliki karakteristik efek adiktif dan psikoaktif. Dalam

jangka panjang nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami

kenikmatan, sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang

semakin tinggi untuk mencapai tingkat kepuasan dan ketagihan.


12

2. Karbon Monoksida (CO)

Gas karbon monoksida (CO) adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Gas ini

bersifat toksis yang bertentangan dengan oksigen dalam transpor maupun

penggunaanya dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah berkurang. Gas CO

yang dihasilkan sebatang rokok dapat mencapai 3-6%, sedangkan CO yang

dihisap oleh perokok paling rendah sejumlah 400 ppm (parts per million) sudah

dapat meningkatkan karboksi hemoglobin dalam darah 2-16%.

3. Tar

Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon aromatika yang bersifat karsiogenik.

Adanya kandungan tar yang beracun ini dapat merusak sel paru karena dapat

lengket dan menempel pada jalan napas dan paru-paru sehingga menimbulkan

iritasi pada saluran napas, yang dapat menyebabkan bronkitis, kanker

nasofaring, dan kanker paru. Pada saat rokok dihisap, tar masuk kedalam rongga

mulut sebagai uap padat. Setelah dingin uap tersebut berubah menjadi padat

dan membentuk undapan berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran

pernafasan dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per

batang rokok, sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg.

4. Amoniak

Amoniak adalah gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan

hydrogen, zat ini merupakan salah satu bahan pembuat cairan pembersih toilet.

Amoniak baunya tajam dan sangat mersangsang, karena kerasnya racun yang
13

ada pada amoniak sehingga masuk ke dalam pada peredaran darah akan

mengakibatkan seseorang pingsan atau koma.

5. Hidrogen Sianida (HCN)

Hidrogen sianida merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan

tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan dan mudah

terbakar. Jika masuk ke dalam tubuh HCN akan menghalangi pernapasan dan

merusak saluran pernapasan.

4. Bahaya Merokok

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu

secara vertikal, horizontal dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi

sistemik secara langsung di perantai benda tajam yang mampu menembus

dinding pembuluh darah. Secara tidak langsung HIV masuk melalui kulit dan

mukosa yang tidak intake seperti pada kontak seksual. Ketika berapa dalam

sirkulasi sistemik terjadi viremia disertai dengan gejala dan tanda infeksi virus

akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot,

mual, muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dan lain-lain. Keadaan seperti ini

disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4

dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan

cepat pada awal infeksi, dan akan turun sampai pada titik tertentu (Rudi dan

Maria, 2019:15).

Semakin berkelanjutan infeksi, viral load perlahan cenderung terus

meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan CD4 secara perlahan


14

dalam waktu beberapa tahun, dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat

pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun, sebeluh akhirnya jatuh ke stadium AIDS

(Rudi dan Maria, 2019 :15).

Menurut Rudi dan Maria (2019: 15) orang yang terinfeksi HIV

diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Pertama kali virus

HIV masuk ke dalam tubuh manusia itu selama 2-4 minggu. Keberadaan virus

tersebut belum dapat terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Jumlah CD4 lebih

dari sel/uL maka di sebut periode jendela. Tahan HIV positif melalui

pemeriksaan darah terdapat virus HIV tetapi secara fisik penderita belum

menunjukan adanya gejala atau kelainan khas. Kondisi tersebut dapat

menularkan virus ke orang lain

5. Penularan HIV/AIDS

Menurut Rudi dan Maria (2019: 17) mengemukakan bahwa

Penyebaran HIV tidak melalui udara atau melalui nyamuk, kutu, atau gigitan

serangga lainnya. Seseorang tidak dapat terinfeksi HIV dengan cara berjabat

tangan, memeluk orang yang terinfeksi HIV, atau dari benda-benda seperti

piring tempat duduk di toilet, atau gagang pintu yang digunakan oleh orang

yang terkena HIV. HIV menyebar melalui kontak langsung dengan cairan

tubuh tertentu dari seseorang yang mengidap HIV.

Ada tiga cara seseorang bisa tertular atau menularkan HIV/AIDS yaitu

sebagai berikut:

a. Hubungan Seksual
15

Hubungan seksual adalah cara paling umum terjadi, baik secara

vaginal, oral, atau anal dengan seorang pengidap. Di Amerika Serikat,

HIV dapat menyebar ketika seseorang seks anal, vaginal, atau berbagai

peralatan suntik narkoba dengan seseorang yang mengidap HIV. Untuk

mengurangi risiko infeksi, sebaiknya gunakan kondom dengan benar dan

konsisten saat berhubungan seks, batasi jumlah pasangan seksual, dan

jangan pernah berbagi peralatan suntik narkoba. HIV/AIDS lebih mudah

terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau

peradangan jaringan, seperti herpes genitalis, sifilis, gonore, klamidia,

kankroid, dan trikomoniasis. Risisko pada seks anal lebih besar di

banding dengan seks vaginal.

b. Kontak Langsung dengan Darah atau Produk Darah atau Jarum


Suntik

Ada enam cairan tubuh yang dapat menyebarkan virus HIV yaitu

darah, cairan Ada mani, cairan pra-mani, cairan vagina, cairan rektal dan

ASI. Seseorang bias tertular atau menularkan HIV/AIDS karena hal-hal

berikut.

1) Tranfusi darah tercemar HIV.

2) Pemakaian jarum yang tidak steril.

3) Pemakaian Bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu

narkotika suntik.

4) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.


16

c. Secara Vertikal dari Ibu Hamil Pengidap HIV Kepada Bayinya, Baik
Selama Hamil, Saat Melahirkan, Maupun Setelah Melahirkan

Penularan dari ibu ke anak adalah cara paling umum anak-anak

untuk terinfeksi HIV. Obat-obatan HIV diberikan kepada wanita

pengidap HIV selama kehamilan, dan persalinan. Selain itu, obat-obat

HIV juga diberikan kepada bayi setelah lahir untuk mengurangi risiko

penularan HIV dari ibu ke anak.

Infeksi HIV terkadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu

(ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti penyebab penularan ini

hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi lain. ASI

terdapat banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi

dan ibu-ibu yang telah memperhatikan tanda-tanda penyakit AIDS.

Setelah 6 bulan, pada saat bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare

dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan

memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat

manfaat ASI dengan risiko lebih kecil untuk terkena HIV.

6. Komplikasi HIV/AIDS

Menurut Komisis Penganggulangan AIDS Nasional tahun 2003 dalam

Rudi dan Maria, (2019), komplikasi yang terjadi pada pasien HIV/AIDS

adalah sebagai berikut.

a. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru

b. Kandidiasis esofagus
17

c. Kriptokokosis ekstra paru

d. Kriptosporidiosis internal kronis > 1 bulan

e. Rhinitis CMV (gangguan penglihatan)

f. Herves simplek, ulkus kronik > 1 bulan

g. Mycobacterium tuberculosis di paru atau ekstra paru

h. Ensefalitistoksoplasma

7. Pencegahan HIV/AIDS

Menurut Masriadi (2017: 208) bahwa program pencegahan HIV/AIDS

hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan

komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau megurangi perilaku

risiko tingi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi:

a. Memberikan penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus

menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta

penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena

infeksi HIV. Pelajar juga harus di bekali pengetahuan bagaimana untuk

menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko

terkena inveksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan

sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan

mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah.

b. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan

hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang
18

diketahui mengidap infeksi. Kondom lateks harus digunakan dengan benar

setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau

oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat

menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.

c. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan

mengurangi penularan HIV. Begitu pula program “Harm reduction” yang

menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode

dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah

terbukti efektif.

d. Menyediakan fasilitas konseling HIV di mana identitas penderita

dirahasiakan atau dilakukan secara anominus serta menyediakan tempat-

tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Fasilitas tersebut saat ini

telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIVsecara

sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinis

keluarga berencana dan klinis bersalin, klinis bagi kaum homo dan

terdapat komunitas di mana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang

aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang

tepat bila penderita penyakit menular seksual (PMS).

e. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk

melakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan

kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk memperkirakan


19

kebutuhan mereka terhadap terapi (ZDV) untuk mencegah penularan HIV

melalui uterus dan perinatal.

f. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk

mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor

harus diuji antibody HIV-nya. Hanya darah dengan hasil tes negative yang

digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV

sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk

transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi

buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu dan bank tulang) yang

mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang

peraturan dan kebijakan ini kepda donor potensial dan tes HIV harus

dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu

atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama 4-6 bulan. Donor yang

tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada

waktu menjdi donor.

g. Jika hendak melakukan transfusi, dokter harus melihat kondisi pasien

dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus

sangat dianjurkan.

h. Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang

telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang

bias digunakan.
20

i. Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan

pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam

lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung

tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk

menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah.

Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus di

cuci dengan air dan sabun segera mungkin. Kehati-hatian tersebut harus

dilakukan pada semua pasien dan semua prosedur laboratorium.

B. Konsep Self Control

1. Pengertian Self Control

Ghufron (2012: 21) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan suatu

kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya

selain itu, kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku

sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan

sosialisasi, kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan

menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain,

menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi

perasaannya.

Bark (2012: 274), kontrol diri (self control) adalah kemampuan

individu dalam mengatur dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai situasi

dan kondisi, mengelola emosi negatif, berperilaku dalam cara yang bisa
21

diterima oleh masyarakat. Chaplin dalam kamus lengkap psikologi (2002:

450), kontrol diri (self control) adalah kemampuan individu untuk

mengarahkan tingkah lakunya sendiri, atau dalam kata lain yaitu kemampuan

untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada. Self Control (kontrol

diri) adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan

menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku implusive.

Menurut Mahoney dan Thoresen dalam Robert (dalam Ghufron 2012:

22-23), kontrol diri merupakan hubungan yang secara utuh (integrative)

jalinan antar individu terhadap lingkungannya. Individu dengan kontrol diri

tinggi begitu memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam

situasi yang bervariasi. Cenderung akan mengubah perilaku sesuai dengan

permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat

perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasi sosial yang kemudian

dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif terhadap

petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi

sosial, bersikap hangat dan terbuka.

2. Aspek-aspek Self Control

Self control memiliki beberapa jenis, Block dan Block dalam ghufron

(2012: 31) mengemukakan tiga jenis self control yaitu over control, under

control, dan appropriate control.

1. Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu

secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan


22

diri dalam bereaksi terhadap stimulus. Individu dengan over

control cenderung kesulitan mengekspresikan dirinya dalam

menghadapi segala situasi yang ia hadapi.

2. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk

melepaskan impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang

masak. Under control pada diri individu akan sangat rentan

menyebabkan dirinya lepas kendali dalam berbagai hal dan

menyebabkan kesulitan untuk mempertimbangkan pengambilan

keputusan secara bijaksana.

3. Appropriate control merupakan kontrol individu dalam upaya

mengendalikan impuls secara tepat. Appropriate control sangat

dibutuhkan individu agar mampu berhubungan secara tepat

dengan diri dan lingkungannya. Jenis kontrol diri ini akan

memberikan manfaat bagi individu karena kemampuan

mengendalikan impuls cenderung menghasilkan dampak negatif

yang lebih kecil.

Berdasarkan konsep Averill dalam Thalib (2010:110), terdapat tiga

kategori kemampuan mengontrol diri yaitu kontrol perilaku (behavior

control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan

(decisional control).

a. kontrol perilaku merupakan kemampuan untuk memodifikasi suatu

keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku


23

dibedakan menjadi dua komponen, yaitu: kemampuan mengatur

pelaksanaan (regulated administration) menentukan siapa yang

mengendalikan situasi keadaan dirinya sendiri atau orang lain dan sesuatu

diluar dirinya. Individu dengan kemampuan kontrol diri yang baik akan

mampu mengatur perilaku dengan menggunakan perilaku dirinya.

Kemampuan mengatur stimulus (stimulus modifiability) merupakan

kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang

tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan,

mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum

waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya.

b. kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai

atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif.

Mengontrol kognisi merupakan kemampuan dalam mengolah informasi

yang tidak diinginkan untuk mengurangi tekanan. Kontrol kognitif

dibedakan menjadi dua komponen, yaitu: kemampuan untuk memperoleh

informasi (information again). Informasi yang dimiliki individu mengenai

suatu keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan

melalui berbagai pertimbangan objektif. Kemampuan melakukan

penilaian (appraisal). Penilaian yang dilakukan individu merupakan

usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memberikan

segi-segi positif secara subjektif.


24

c. kontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memiliki

hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau

disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik

dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri

individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

3. Aspek-aspek self control

Aspek-aspek self control biasa digunakan untuk mengukur self control

individu. Averill (1973, hlm. 287) menjelaskan, terdapat tiga aspek self

control yakni behavioral control, cognitif control, dan decisional control.

a. Behavioral Control (Kontrol Perilaku)

Behavioral control merupakan kemampuan individu dalam

mengendalikan diri pada suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

Kemampuan mengontrol perilaku ini dirinci menjadi dua komponen yakni

kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan

kemampuan memodifikasi perilaku (stimulus modifiability). Kemampuan

mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu dalam menentukan

siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan, apakah dirinya sendiri

atau aturan perilaku dengan menggunakan sumber eksternal. Sedangkan

kemampuan memodifikasi perilaku merupakan kemampuan untuk

mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki

akan dihadapi oleh individu.


25

b. Cognitif Control (Kontrol Kognitif)

Cognitif control diartikan sebagai kemampuan individu dalam

mengendalikan diri untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan

cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian

kedalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis untuk

mengurangi tekanan yang dihadapi. Aspek ini terdiri dari dua komponen,

yakni memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian

(appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai keadaan

yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut

dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu

berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan

cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

c. Decisional Control (Mengontrol Keputusan)

Decisional control merupakan kemampuan individu dalam

mengendalikan diri untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada

sesuatu yang diyakini atau disetujui. Kontrol diri akan sangat berfungsi

dalam menentukan pilihan, baik dengan adanya suatu kesempatan maupun

kebebasan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan

tindakan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Control

Adapun faktor yang mempengaruhi kontrol diri dibagi menjadi dua

yaitu faktor internal (diri sendiri) dan eksternal (lingkungan individu).


26

a. Factor internal yang ikut andil dalam kontrol diri adalah usia. Semakin

bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrol

diri seseorang itu. Faktor ini sangat membantu individu untuk memantau

dan mencatat perilaku sendiri dengan pola hidup dan berpikir yang lebih

baik lagi. Menurut Thalib (2010: 107). Kontrol diri berkaitan erat dengan

kecerdasan emosional bahwa kontrol diri merupakan salah satu

komponen keterampilan emosional. Keterampilan emosional adalah

kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, mengekspresikan

dengan tepat, mengenali emosi orang lain sehingga seseorang dapat

menempatkan emosinya pada porsi yang tepat dalam kehidupan sehari-

hari.

b. Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan

keluarga termasuk orang tua menentukan bagaimana kemampuan

mengontrol diri seseorang. Orang tua dianjurkan menerapkan disiplin

anak sejak dini. Mengajarkan sikap disiplin anak pada akhirnya mereka

akan membentuk kepribadian yang baik dan dapat mengendalikan

perilaku mereka. Disiplin yang diterapkan orang tua merupakan hal

penting dalam kehidupan dapat mengembangkan kontrol diri dan self

directions bagi seseorang membuatnya mampu untuk mempertanggung

jawabkan dengan baik segala tindakan yang dilakukan. Individu tidak

dilahirkan dalam konsep yang benar dan salah atau dalam suatu
27

pemahaman tentang perilaku yang diperbolehkan dan dilarang (Ghufron,

2012: 32).

C. Penelitian terkait Hubungan self control dengan upaya pencegahan


penularan HIV

Penelitian yang mendukung hubungan self control dengan upaya

pencegahan penularan HIV/AIDS, yaitu penelitian yang dilakukan Assela, dkk

(2017) adanya hubungan antara sikap dan prilaku pencegahan penularan

HIV/AIDS (p = 0,021 < 0,05). Dan ada salah satu penelitian yang dilakukan oleh

Pujawati (2016) mengenai kontrol diri dan dukungan orang tua dengan perilaku

disiplin yang menunjukkan hubungan antara variabel kontrol diri adalah sangat

signifikan dengan hasil p = 0.000 karena p < 0.05 (p = 0% < 5%).


28

D. Kerangka Teori
Faktor Yang
Mempengaruhi Pola Asuh
Orang Tua
Faktor Yang Mempengaruhi
Remaja Untuk Merokok
1) Pendidikan Orang Tua
2) Lingkungan
2. Faktor Biologis 3) Budaya
1) Faktor Kognitif

Pola Asuh Orang Tua


Faktor Yang Mempengaruhi Authoritarian (Otoriter)
Remaja Untuk Merokok
1. Faktor Psikologis
Authoritative (Otoritatif)
1) Faktor Perkembangan Risiko Perokok
Sosial

Permissive (Permisif)

Faktor Yang Mempengaruhi


Remaja Untuk Merokok

3. Lingkungan
1) Pola Asuh Orang Tua

Bagan 2.1 Kerangka Teori


29

Sumber : Rudi dan Maria, (2019), Ghufron (2012 : 21), Averill dalam Thalib
(2010 : 110), Block dalam Ghufron (2012: 31).

https://www.google.co.id/books/edition/Bahaya_Merokok/HYY2DwAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=rokok+adalah&printsec=frontcover

http://repository.upi.edu/23487/5/S_PPB_1102451_Chapter2.pdf

https://www.who.int/indonesia/news/detail/30-05-2020-pernyataan-hari-tanpa-
tembakau-sedunia-2020

http://eprints.umpo.ac.id/8441/3/BAB%20I%20LR%20ilham.pdf

http://eprints.ums.ac.id/53378/3/03.BAB%20I.pdf

http://eprints.ums.ac.id/53378/

Anda mungkin juga menyukai