Anda di halaman 1dari 16

Accelerat ing t he world's research.

Aliran Filsafat Behaviorisme,


Kognitivisme, Humanisme, dan
Kosntruktivisme
Novia Nuraini

Novia Nuraini

Cite this paper Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Psikologi pendidikan
Anit a Hermawat i

ALIRAN-ALIRAN T EORI PENDIDIKAN


ummi puji

Landasan Pembelajaran Temat ik Terpadu.docx


chairot u nisa
ALIRAN FILSAFAT BEHAVIORISME,
KOGNITIVISME, HUMANISME, DAN KONSTRUKSTIVISME

Novia Nuraini

Pascasarjana Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan


Universitas Negeri Malang
Email: novianura99@gmail.com

Abstrak: Artikel non penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan aliran behaviorisme,

kognitivisme, humanisme, dan konstruktivisme. Deskripsi aliran filsafat yang terdapat

didalamnya berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang menyangkut dasar berfikir secara

menyeluruh, mendalam dan sistematis sehingga menghasilkan generasi yang berperilaku lebih

baik dalam menyiapkan kehidupan yang akan datang. Beberapa aliran yang akan dibahas

adalah aliran behaviorisme, kognitivisme, humanisme, dan konstruktivisme.

Kata Kunci: aliran behaviorisme, kognitivisme, humanisme, konstruktivisme

PENDAHULUAN

Penelitian non ilmiah ini akan membahas aliran-aliran filsafat yang berkaitan dengan

ilmu pengetahuan yang menyangkut dasar berfikir secara menyeluruh, mendalam, dan

sistematis. Aliran yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah aliran behaviorisme,

kognitivisme, humanisme, dan konstruktivisme. Aliran filsafat behaviorisme menfokuskan

pada pengalaman yang didapat oleh peserta didik. Aliran kognitivisme menyatakan belajar

merupakan proses psikis yang berlangsung dalam interaksi antara anak dengan lingkungannya

sehingga menghasilkan perubahan yang bersifat relatif baik melalui pengalaman maupun

praktek. Humanisme adalah filsafat yang berorientasi pada nilai-nilai manusiawi, dan nilai-

nilai kultural dalam pendidikan. Sedangkan konstruktivisme memberikan kesempatan pada

siswa untuk aktif membangun keberagaman sesuai pemahaman yang anak dapatkan. Namun

keempat aliran tersebut sama-sama memiliki tujuan untuk dapat memberikan pengaruh

terhadap perilaku, pengetahuan, serta keterampilan berfikir pada anak.


BAGIAN INTI

1. ALIRAN FILSAFAT

a. Pengertian Filsafat Behaviorisme

John W Santrock (2010: 4) menyatakan filsafat behaviorisme adalah

pembelajaran yang dapat di artikan sebagai pengaruh permanen melalui

pemahaman pada dasar perilaku, pengetahuan, serta keterampilan berfikir yang

didapat melalui pengalaman. Proses perkembangan filsafat behaviorisme dalam

lingkup pendidikan akan terus berkembang dan dapat difahami sebaik mungkin

dengan mengaplikasikan teori belajar, mencakup pada pemahaman toeri belajar

conditioning dan teori belajar connectionisme (Djali 2017: 78). Pendidikan yang di

berikan saat proses belajar berlangsung pada anak harus bermanfaat dalam jangka

panjang secara lahir dan batin untuk kehidupannya kelak. Anak sejak dini di

biasakan untuk mencari dan menemukan dirinya sendiri dalam ilmu pengetahuan

dan keterampilan melalui pengalaman yang diperoleh anak guna untuk membentuk

perilaku, pengetahuan serta keterampilan berfikir anak. Sehingga apabila anak

mengalami perubahan tingkah laku dalam dirinya sendiri maka anak dapat

mengambil langkap apa yang akan dilakukan anak untuk mengatasi permasalahan

tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa aliran filsafat behaviorisme adalah upaya

untuk mencari tahu tingkah laku seseorang yang di lakukan guna untuk mengetahui

perilaku yang diamati dengan nyata.

Djali (2017: 84) menyatakan pada teori ini ada beberapa tahapan langkah-

langkah dalam melakukan pengamatan, karena dalam penerapan teori ini teknik

pengamatan merupakan suatu langkah tepat untuk dapat melihat sebab terjadi atau

tidaknya perubahan tingkah laku yang dapat dianalisis melalui:


a) Analisis Tingkah Laku

Proses tahapan untuk mengamati sikap karakter pada manusia dari mulai

mengikuti pada tahapan jenjang pendidikan anak usia dini sampai dengan

jenjang perkuliahan. Psikologi konstitusi juga harus mengembangkan dan

meminjamkan cara sebagai metode penialaian tingkah laku untuk dapat

mengetahui hubungan antara jasmani dan rohani dalam kepribadian diri anak

tersebut. Dalam kondisi seperti ini banyak ruang serta faktor unsur yang dapat

digunakan untuk menjelaskan masalah secara luas. Kemudian dikembangkan

melalui berbagai cara untuk dapat mengambil manfaat dari penelitian pada

karakter kepribadiannya.

b) Komponen Tempramen

Dalam kata besar Kompone ini di beri nama Viskerotonia. Seseorang yang

tinggi dalam kepribadiaan ini mempunyai ciri-ciri cinta atau suka berada pada

kenyamanan, makanan, gaya hidup, hobi dan memiliki kasih saying yang tulus.

Dalam cara bersosialisasi seseorang yang memiliki tipe ini mudah sekali

menyesuaikan dirinya dalam bersosialisasi dengan orang yang baru di kenal

sekali pun. Orang tipe seperti ini lebih agresif, pemberani, dan tidak mudah

takut terhadap siapa pun atau apapun yang akan dihadapi olehnya.

b. Aliran Filsafat Behaviorisme

a) Pengertian Teori Behaviorisme

Pendidikan anak usia dini dalam proses pembelajaran selama berlangsung anak

dibiasakan untuk mengikuti syarat yang sudah di sepakati bersama dalam memulai

proses belajar dan melakukan kegiatan praktik. Kesepakatan tersebut bisa dilakukan

antara pihak anak dan orang tua juga anak dengan guru, serta siapapun yang

menjadi pendamping anak dalam proses belajar. Konsep pada teori ini yaitu belajar
terjadi secara otomatis. Karena seorang anak dapat belajar melalui apa yang di lihat

dengan sejuta rasa penasaran nya dan akan menjadi kebiasaan yang memiliki reaksi

tinggi pada rangsangan daya ingat nya selama menjalani kehidupan hal tersebut

bertumpu pada pengalaman yang dialami oleh anak, maka dari itu sebagai orang tua

maupun guru pendamping anak dalam menuju proses menjadi dewasa harus

melakukan upaya pemberian pengalaman yang baik-baik untuk anak.

John B Watson (1989:86) mencetuskan teori belajar menurut hasil penelitian

dari Ivan Palov, John berpendapat bahwa belajar adalah cara yang terjadi refleks

atau umpan balik yang memiliki tanggapan terkuat melalui gerakan stimulus pada

peserta didik. Jadi, semua perilaku yang diberikan oleh anak akan terbentuk melalui

adanya rangsangan stimulus yang didapatkan oleh anak berupa tanggapan sesuai

dengan tahapan pengalaman anak selama menjalani proses belajar. Sehingga

seorang anak akan memberikan respon perasaan yang anak rasakan saat itu seperti

rasa bahagia, takut, semua harus di latih sejak usia dini karena tak selamanya

seseorang akan berada di dalam perasan bahagia ataupun sedih.

Dapat disimpulkan bahwa konsep belajar dari teori ini adalah sebagai hasil dari

pengalaman yang dilalui oleh anak. Teori ini sangat memiliki peran besar dalam

pembentukan proses pembelajaran melalui kegiatan praktik baik dalam proses

pembelajaran di lingkungan Pendidikan. Dalam aliran behaviorisme ini mejelaskan

bahwasannya terbentuknya perilaku seseorang karena telah di lakukan nya

serangkaian proses pembelajaran melalui pengalaman yang dialami oleh anak.

Karenanya dalam proses belajar terjadi hubungan stimulus – respon saling

mempengaruhi dalam pembentukan sikap seorang siswa melalui sikap pasif dari

masing-masing peserta didik melalui metode pelatihan atau pembiasaan yang sering

di lakukan ketika proses nelajar mengajar.


b) Proses Tahapan dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Proses tahapan Filsafat dalam Pendidikan Anak Usia Dini merupakan hal yang

paling mendasari untuk dapat berfikir secara kritis untuk bekal dalam kehidupannya

kelak. Tujuan utama dalam pendidikan mempersiapkan peserta didik menjadi anak

yang mandiri mampu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Dalam

pembentukan belajar mandiri harus di perlukan pembiasaan dari lingkungan

keluarga, lingkungan sekitar dan lingkungan sekolah atau dalam lingkup

pendidikan. Semua wajib berperan dengan anak sehingga akan menjadi wadah

dalam proses pembentukan karakter tersebut. Orang tua harus benar-benar melatih

anak menjadi anak yang mandiri. Di mulai dari sikap, perilaku, etika, karakter, dan

kebiasaan sehari-hari, namun pada tahapan usia pertama seorang anak perilaku dan

kasih sayang yang tulus adalah hal yang paling utama. Ini semua akan berdampak

ketika anak tumbuh menuju dewasa dan menganggap manusia bersifat mekanistik,

yaitu seseorang akan merespon pada lingkungan yang luas serta memiliki peran

untuk menetukan akankah mampu seorang individu itu berhasil menyesaikan diri

untuk beradaptasi di lingkungan mereka itu sendiri.

Sigit Sanyata (2012: 3) menyatakan dalam hal ini konsep filsafat behaviorisme

memandang perilaku individu proses hasil belajar yang dapat di ubah serta di

manipulasi yang sesuai dengan kondisi belajar serta didukung oleh penguatan

(reinforcement) untuk mempertahankan perilaku pada hasil belajar yang sesuai.

Jadi belajar merupakan suatu hal yang dapat berubah-ubah menyesuaikan dengan

situasi dan kondisi siswa guna untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.

c. Aliran Filsafat Kognitivisme

a) Pengertian Filsafat Kognitivisme


Gredler (2011: 324) mengemukakan bahwa fokus dari teori Jean Piaget dalam

aliran filsafat kognitivisme adalah menemukan asal mula logika alamiah dan

transformasinya dari satu bentuk penalaran ke penalaran lain. Tujuan ini

menfokuskan penelitian atas akar dari pemikiran logis pada bayi, jenis penalaran

yang dilakukan anak kecil dan proses penalaran remaja dan dewasa. Aunurrahman

(2009: 58) menyatakan bahwa dalam teorinya, Piaget mengemukakan secara

umum semua anak yang berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan

tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak

terjadi secara bertahap dari tahap perkembangan moral berikutnya. Jadi dapat

disimpulkan bahwa aliran filsafat kognitivisme adalah perkembangan mental diolah

sejak usia dini sehingga akan terbentuk perkembangan moral anak yang baik.

b) Proses Kognitif

Santrock (2008: 43) menyatakan dalam memahami dunia anak-anak secara

aktif, mereka menggunakan skema, kerangka kognitif atau kerangka referensi.

Sebuah skema adalah konsep atau kerangka eksis di dalam pikiran individu yang

dipakai untuk mengorganisasikan dan mengin terpretasikan informasi. Piaget

menyatakan bahwa ada dua proses yang bertanggung jawab atas cara anak

menggunakan dan mengadaptasi skema mereka yaitu: asimilasi dan akomodasi.

Kemudian lebih lanjut Santrock (2008: 46) menyatakan bahwa Piaget juga

menyatakan bahwa untuk memahami dunianya, anak-anak secara kognitif

mengorganisasikan pengalaman mereka. Organisasi adalah konsep Piaget yang

berarti usaha mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke dalam urutan yang

lebih teratur, ke dalam sistem fungsi kognitif. Santrock menyatakan bahwa

ekuilibrasi adalah suatu mekanisme yang dikemukakan Piaget untuk menjelaskan

bagaimana anak bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya.
Pergeseran ini terjadi pada saat anak mengalami konflik kognitif atau

disekuilibrium dalam usahanya memahami dunia. Pada akhirnya anak memecahkan

konflik ini dan mendapatkan keseimbangan atau ekuilibrium pemikiran. Piaget

percaya bahwa ada gerakan yang kuat antara keadaan ekuilibrium kognitif dan

disekuilibrium saat asimilasi dan akomodasi bekerja sama dalam menghasilkan

perubahan kognitif.

c) Tahap-tahap Aliran Filsafat Kognitivisme

Santrock (2008: 47) menyatakan bahwa melalui observasinya, Piaget juga

menyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam empat tahapan. Masing-

masing tahap berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang

berbedabeda. Menurut Piaget, semakin banyak informasi tidak membuat pikiran

anak lebih maju. Kualitas kemajuannya berbeda-beda. Tahapan Piaget itu adalah

fase sensorimotor, pra operasional, operasional konkret, dan operasional formal.

Berikut dibawah penjelasannya:

1) Tahap Sensorimotor

Tahap ini berlangsung sejak kelahiran sampai sekitar usia dua tahun,

adalah tahap Piagetian pertama. Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman

dunia dengan mengoordinasikan pengalaman indra (sensory) mereka seperti

melihat dan mendengar dengan gerakan motorik menggunakan otot mereka

untuk menggapai, menyentuh dan karenanya disebut dengan sensorimotor.

Piaget percaya bahwa pencapaian kognitif penting di usia bayi adalah object

permanence, seperti inilah kehidupan mental dalam bayi yang baru saja lahir.

Jabang bayi tidak dapat membedakan antara dirinya dan dunianya dan tidak

punya pemahaman tentang kepermanenan objek. Menjelang akhir periode


sensorimotor, anak bisa membedakan antara dirinya dan dunia sekitarnya dan

menyadari bahwa objek tetap ada dari waktu ke waktu.

2) Tahap pra-operasional

Tahap ini adalah tahap Plagetian yang kedua. Tahap ini berlangsung

kurang lebih mulai dari usia dua tahun sampai tujuh tahun. Ini adalah tahap

pemikiran yang lebih simbolis ketimbang pada tahap sensorimotor tetapi tidak

melibatkan pemikiran operasional. Namun tahap ini bersifat egosentris dan

intuitif ketimbang logis. Pemikiran pra-operasional bisa dibagi lagi menjadi dua

subtahap yaitu: fungsi simbolis dan pemikiran intuitif.

3) Tahap Operasional Konkret

Tahap Opersional Konkret adalah tahap perkembanga kognitif Piagetian

ketiga, dimulai dari sekitar umur tujuh tahun sampai sekitar sebelas tahun.

Pemikiran operasional konkret mencakup pengguna operasi. Penalaran logika

menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret.

Kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada. Tetapi belum bisa

memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan

mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret nyata.

Operasi konkret membuat anak bisa mengoordinasikan beberapa karakteristik,

jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas dari satu objek. Pada level

operasional konkret, anak-anak secara mental bisa melakukan sesuatu yang

sebelumnya hanya bisa mereka lakukan secara fisik, dan mereka bisa

membalikkan operasi konkret ini. Beberapa percobaan Piagetian meminta

anak untuk memahami hubungan antarkelas. Salah satu tugas itu disebut

seriation, yakni operasi konkret yang melibatkan stimuli pengurutan di

sepanjang dimensi kuantitatif seperti panjang. Untuk mengetahui apakah


murid dapat mengurutkan, seorang guru bisa meletakan delapan batang lidi

dengan panjang yang berbeda-beda secara acak di atas meja. Guru kemudian

meminta murid untuk mengurutkan batang itu berdasarkan panjangnya.

Banyak anak kecil mengurutkannya dalam kelompok batang “besar” atau

“kecil” bukan berdasarkan urutan panjangnya dengan benar.

4) Tahap Operasional Formal

Tahap ini, yang muncul pada usia tujuh sampai lima belas tahun, adalah

tahap keempat menurut teori Piaget dan kognitif terakhir. Pada tahap ini,

individu sudah mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman konkret,

dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Kualitas abstrak

dari pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan problem

verbal. Pemikir operasional konkret perlu melihat elemen konkret A, B, dan C

untuk menarik kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C, maka A = C.

Sebaliknya, pemikir operasional formal dapat memecahkan persoalan ini

walau problem ini hanya disajikan secara verbal. Selain memiliki kemampuan

abstraksi, pemikir operasional formal punya kemampuan untuk melakukan

idealisasi dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Pada tahap ini,

remaja mulai melakukan pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang

mereka inginkan dalam diri mereka dan diri orang lain.

d. Aliran Filsafat Humanisme

a) Pengertian Filsafat Humanisme

Aliran filsafat humanisme memandang esensi manusia terletak pada pemilikan

potensi rasionalitas. Rasio untuk memahami dunia tempat manusia hidup dan usaha

untuk menjangkau kebenaran. Sekolah bersifat uniform dengan content yang

esensial dan langgeng dalam kehidupan manusia (Komar, 2006:160).


Pengaplikasian teori humanisme lebih fokus pafa sisi perkembangan kepribadian

manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun

dirinya untuk dapat melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif

ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran

humanisme biasanya memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan

kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan

pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Menurut teori ini,

tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia, proses belajar di anggap

berhasil jika anak memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Penekanan dalam

teori ini adalah penyelidikan efek emosi dan hubungan interpersonal terhadap

terbentuknya prilaku belajar, yang melibatkan intelektual dan emosi sehingga

tujuan akhir belajarnya adalah mengembangkan kepribadian peserta didik, nilai-

nilai yang di anut, kemampuan sosial, dan konsep diri yang berkaitan dengan

pencapaian prestasi akademik. Pendidikan humanis secara langsung mengajak

peserta didik untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dengan

bimbingan dari pendidik (problem solving education).

b) Pandangan Filsafat Humanisme dalam Pembelajaran

Filsafat pendidikan humanisme memandang bahwa belajar bukan sekadar

pengembangan kualitas kognitif saja, tetapi juga dalam pembelajaran menekankan

pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang

dimiliki setiap siswa. Pendidikan dengan mengedepankan filsafat pendidikan

humanisme memandang proses belajar bukan hanya sebagai sarana transformasi

pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan bagian dari

mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni,


2007:142-143). Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut

pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Dalam prosesnya, metode mengajar humanistik menggabungkan pendekatan

individual dan pengajaran kelompok kecil. Hal ini berbeda dengan pola

pembelajaran guru-guru tradisional, pendidik humanistik memandang dirinya

sejajar dengan murid-murid mereka, dan mempunyai hak yang sama. Tujuan dasar

pendidikan humanisme, mendorong siswa mandiri dan independen, bertanggung

jawab untuk pembelajaran mereka, kreatif, dan berusaha ingin tahu terhadap dunia

di sekitar mereka.

c) Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan Humanisme

Dalam proses pembelajaran dengan mengedepankan filsafat pendidikan

humanisme, prinsip-prinsip pendidikan yaitu:

1) Siswa memilih apa yang ingin pelajari. Guru humanistik percaya, bahwa siswa

termotivasi mengkaji materi bahan ajar, terkait dengan kebutuhan dan

keinginannya;

2) Tujuan pendidikan untuk mendorong dan memotivasi diri sendiri untuk belajar

sendiri;

3) Pendidik humanistik percaya, nilai tidak relevan dan hanya self evaluation

(evaluasi diri) yang bermakna;

4) Pendidik humanistik percaya terhadap perasaan dan pengetahuan. Hal ini

berbeda dengan pendidik tradisional, guru humanistik tidak memisahkan

domain kognetif dan afektif; dan

5) Pendidik humanistik menekankan, siswa harus terhindar dari tekanan

lingkungan. Jika siswa merasa aman, proses belajar lebih mudah dan bermakna.
Prinsip-prinsip filsafat pendidikan humanisme disusun guna untuk mencapai

tujuan pembelelajaran dengan menerapkan aliran filsafat Humanisme, Ahmadi dan

Supriyono (2004:240) berpendapat bahwa tujuan umum filsafat humanisme dalam

lingkup pendidikan antara lain:

1) Perbaikan komunikasi antara individu,

2) Meniadakan individu yang saling bersaing,

3) Keterlibatan intelek yang saling bersaing dan emosidalam suatu prioses belajar,

4) Memahami dinamika bekerjasama, dan

5) Kepekaan kepada pengaruh perilaku individu lain dalam lingkungan.

Dapat disimpulkan dari tujuan umum tersebut bahwa proses pendidikan

terutama pada jenjang pendidikan anak usia dini diharapkan mampu memperbaiki

komunikasi antar individu tidak adanya rasa saling menyaingi, semua anak terlibat

dalam proses pembelajaran, saling berkolaborasi atau bekerja sama, dan adanya

kepekaan terhadap lingkungan.

e. Aliran Filsafat Konstruktivisme

a) Pengertian Aliran Filsafat Konstruktivisme

Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti

bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus

Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran

filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil

konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Pandangan

konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan

agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru

yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam

Yusuf, 2003). Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau

mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau

kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut

Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa

konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan

pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya

dengan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah:

“constructivism may be considered an epistemology ( a philosophical framework

or theory of learning ) which argues humans construct meaning from current

knowledge structures” artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu

epistimologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam

membangun makna dari struktur pengetahuan terkini.

Jadi bisa disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat

pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi

(bentukan) dari orang yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta-

fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman,

maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana”

dan kita tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus

dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya

pemahaman yang baru (Piaget, 1971).

b) Konsep Dasar Aliran Filsafat Konstruktivisme tentang Pendidikan

1. Hakikat Pendidikan menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme

Teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang

mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,

pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu

mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi

pengetahuan yang bermakna. Teori ini mencerminkan siswa memiliki

kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan

teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.

2. Tujuan Umum Pendidikan menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu perkembangan model

pembelajaran mutakhir yang mengedepankan aktivitas peserta didik dalam

setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi dan menemukan

pengetahuannya sendiri. Aliran konstruktivisme ini, dalam kajian ilmu

pendidikan merupakan aliran yang berkembang dalam psikologi kognitif yang

secara teoritik menekankan peserta didik untuk dapat berperan aktif dalam

menemukan ilmu baru. Kontruktivisme menganggap bahwa semua peserta

didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki

gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa (gejala) yang

terjadi di lingkungan sekitarnya, meskipun gagasan atau pengetahuan ini sering

kali masih naif, atau juga miskonsepsi. Konstruktivisme senantiasa

mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif ini secara kokoh. Gagasan atau

pengetahuan tersebut terkait dengan gagasanatau pengetahuan awal lainnya

yang sudah dibangun dalam wujud schemata (struktur kognitif atau

pengetahuan).
DAFTAR PUSTAKA
John W Santrok, Educational Psychologi, New York: MC Graw-Hill, 2006., hal 220
Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2017. Cet. Ke-10
Watson J B, Psychology as the Behaviorist Eduacation Views It .,Guild Ford Press,
1989.
Rusli dan Kholik, Muncul Nya Sikap Perilaku Dan Penguatan., Ni Nahar, 2013.
Sigit Sanyata, Teori Dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik Dalam Konseling
Yogyakarta: Jurnal Paradigma 14, 2012.,
Saam, Zulfan.. Psikologi Pendidikan. Pekanbaru: UR Press. 2010
Santrock, John W.. Psikologi Pendidikan: Edisi Kedua. Jakarta: Kencana. 2008
Solso, Robert L.,dkk. Psikologi Kognitif. Edisi Kedelapan. Alih Bahasa: Mikael 16
Rahardanto dan Kristianto Batuadji. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2008.
Baharudin & Esa Nur Wahyuni.. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media. 2007
Corliss, Lamont. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Pre., 1997.
Baharudin & Esa Nur Wahyuni.. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media. 2007
Komar, Oong.. Filsafat Pendidikan Nonformal. Bandung: CV Pustaka Setia. 2006
Gredler, Margaret E.. Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi: Edisi Keenam.
Alih Bahasa oleh Tri Bowo B.S. Jakarta: Kencana. 2011
Aunurrahman.. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.2009
B, Watson J. Psychology as the Behaviorist Views It. Guild Ford Press, 1989.

Anda mungkin juga menyukai