Anda di halaman 1dari 28

PENTINGNYA PSIKOLOGI ANAK

DALAM PENDIDIKAN

Ade Illyas Renata1, Moch. Zainul Arif, Helda Kusuma Wardana,


Zaini Fasya4
1
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Madiun; 4 Dosen pengampu
Dasar-Dasar Pendidikan, kaprodi S2 PGMI pascasarjana,
illyasade657@gmail.com, zarif0685@gmail.com,
wardanahelda@gmail.com, zainifasya045@gmail.com

Abstrak: Pendidikan anak merupakan suatu hal yang sangat


penting dalam membangun masa depan generasi yang lebih baik.
Salah satu aspek penting dalam pendidikan anak adalah psikologi
anak. Psikologi anak mempelajari perilaku, emosi, dan
perkembangan anak dari tahap bayi hingga remaja. Pengetahuan
tentang psikologi anak sangatlah penting bagi para pendidik agar
dapat memberikan pendidikan yang lebih efektif dan efisien.
Penelitian ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya psikologi anak
dalam pendidikan. Melalui penelitian literatur, penulis
mengidentifikasi beberapa faktor penting dalam psikologi anak
yang perlu diperhatikan dalam pendidikan, seperti perkembangan
kognitif, emosi, dan sosial anak. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa pendidikan yang efektif membutuhkan pemahaman yang
mendalam tentang psikologi anak. Hal ini dapat membantu para
pendidik untuk menentukan metode dan pendekatan yang tepat
dalam mendidik anak. Dalam rangka meningkatkan pendidikan
anak yang lebih baik, pendidik perlu memahami psikologi anak dan
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam proses
pembelajaran. Ini akan membantu menciptakan lingkungan
pendidikan yang lebih baik dan membantu anak-anak mencapai
potensi mereka secara optimal. Pentingnya psikologi anak dalam
pendidikan tidak dapat diabaikan, karena anak-anak adalah aset
yang berharga bagi masa depan bangsa dan dunia.

Kata kunci: psikologi, kognitif, siswa


Abstract: Children's education is very important in building a
better future generation. One important aspect of child education is
child psychology. Child psychology studies the behavior, emotions,
and development of children from infancy to adolescence.
Knowledge of child psychology is very important for educators to
be able to provide more effective and efficient education. This study
aims to highlight the importance of child psychology in education.
Through literature research, the authors identify several important
factors in child psychology that need attention in education, such
as children's cognitive, emotional, and social development. This
research also shows that effective education requires a deep
understanding of child psychology. This can help educators
determine the right methods and approaches for educating
children. In order to improve children's education, educators need
to understand child psychology and consider these factors in the
learning process. This will help create a better educational
environment and help children reach their full potential. The
importance of child psychology in education cannot be ignored
because children are valuable assets for the future of the nation
and the world.
Keywords: psychology, cognitive, students

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan anak-anak
karena memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
masa depan mereka. Namun, pendidikan tidak hanya sebatas pengetahuan
akademik saja, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan psikologis anak.
Psikologi anak sangat penting dalam konteks pendidikan karena
membahas tentang perkembangan fisik, sosial, emosional, dan kognitif
anak-anak. Dengan memahami psikologi anak, para pendidik dapat
membimbing anak-anak dalam menghadapi tantangan yang semakin
kompleks ini dengan cara yang efektif.
Pentingnya memahami psikologi anak dalam konteks pendidikan
semakin ditekankan karena kondisi dunia yang semakin kompleks dan
menuntut. Anak-anak saat ini menghadapi berbagai masalah seperti stres
akademik, tekanan sosial, dan perubahan teknologi yang cepat. Masalah-

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

masalah ini dapat memengaruhi perkembangan psikologis mereka,


sehingga para pendidik harus memahami psikologi anak untuk dapat
memberikan bimbingan yang tepat.
Dalam rangka untuk memahami psikologi anak, para pendidik
dapat meningkatkan pemahaman mereka melalui pelatihan dan
pengembangan diri. Pelatihan dan pengembangan diri yang berfokus pada
psikologi anak dapat membantu para pendidik dalam memahami
karakteristik dan kebutuhan individu setiap anak. Selain itu, para pendidik
dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia, seperti literatur atau
jurnal yang membahas tentang psikologi anak. Dengan cara ini, para
pendidik dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang psikologi anak
dan memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk membimbing anak-
anak dalam pengembangan mereka.
Dalam kesimpulannya, memahami psikologi anak sangat penting
dalam konteks pendidikan. Dengan memahami psikologi anak, para
pendidik dapat menyesuaikan pengajaran mereka, memberikan perhatian
khusus pada setiap anak, dan mengatasi masalah perilaku atau emosional
yang mungkin dialami oleh anak. Dalam dunia yang semakin kompleks
dan menuntut, memahami psikologi anak adalah hal yang sangat penting
untuk dilakukan agar anak-anak dapat berkembang dengan baik dan
memiliki kesehatan mental yang baik.
B. Kajian Teori

1. Psikologi Pendidikan menurut Witherington


Menurut Witherington ( 1982 ), Psikologi pendidikan
sebagai “ A systematic study of process and factors involved in
the education of human being “ atau studi sistematis tentang

Dasar-Dasar Pendidikan
proses – proses dalam faktor – faktor yang berhungan dengan
pendidikan manusia.
2. Psikologi Pendidikan menurut Barlow
Menurur Barlow, Psikologi Pendidikan sebagai “ a body
of knowledge grounded in psychological research which provides
a repertoire of resource to aid you in functioning more effectively
in teaching learning process. “ Sebuah pengetahuan berdasarkan
riset psikologis yang menyediakan serangkain sumber – sumber
untuk membantu anda melaksanakan tugas – tugas seorang guru
dalam proses belajar mengajar secara efektif.
3. Teori Behavioristik
Teori ini menjelaskan tentang pengamatan perubahan
tentang tingkah laku yang dipengaruhi peristiwa sekitar.
Teori ini berpandangan bahwa belajar terjadi karena
Operant Conditionin, yaitu jika seseorang belajar dengan baik
maka ia akan mendapat hadiah dan hal itu akan meningkatkan
kualitas belajarnya.
4. Teori Kognitif ( Bruner )
Teori ini mengutamakan bagaimana cara
mengembangkan fungsi kognitif individu sehingga belajar
menjadi maksimal.
Fungsi kognitif penting karena dapat mempengaruhi
perkembangan peserta didik dalam proses pendidikan dan sebagai
tolak ukur mensukseskan proses pembelajaran.
Beberapa prinsip belajar kognitif yang penting ( roger ), yaitu :
• Manusia memiliki keinginan alamiah dalam belajar,
memiliki rasa ingin tahu alamiah terhadap dirinya, dan

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

keinginan yang mendalam untuk mengeksplorasi dan


asimilasi pengalaman baru.
• Belajar akan lebih cepat dan bermakna jika bahan yang
dipelajari siswa relevan dengan kebutuhan siswa.
• Belajar secara partisipatif jauh lebih efektif dari belajar
secara pasif dan orang belajar lebih banyak bila belajar
atas kemauannya sendiri.
• Belajar dapat ditingkatkan dengan mengurangi ancaman
dari luar.
• Belajar atas prakara sendiri dengan melibatkan
keseluruhan pribadi, pikiran, dan perasaan akan lebih baik
dan tahan lama.
• Kebebasan, kreatifitas, dan kepercayaan diri dalam
belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri sendiri dan
evaluasidari orang lain tidak begitu penting.
5. Teori Belajar Humanisme ( Carl R. Roger )
Teori ini mengutamakan keterlibatan individual peserta
didik secara keseluruhan, sebab belajar tidak akan berlangsung
jika tidak ada keterlibatan emosional peserta didik.
Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat memilih
apa yang ingin dipelajari, mengusahakan dan menilai proses
pembelajaran sendiri, sehingga diperlukan motivasi dari peserta
didik itu sendiri.

C. Definisi Psikologi Anak


Psikologi berasal dari bahasa yunani “ psychology “ yang
merupakan gabungan dari “ psyche “ yang artinya jiwa, dan “ logos “

Dasar-Dasar Pendidikan
artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi, psikologi adalah ilmu
yang membahas segala sesuatu tentang jiwa, baik gejalanya, proses
terjadinya maupun latar belakang kejadian tersebut.1
Psikologi anak adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari
mengenai perubahan dan pertumbuhan kembang jasmani, perilaku, dan
mental dari manusia yang dimulai semenjak lahir hingga tua. Ilmu
psikologi anak adalah satu pengetahuan yang mempelajari mengenai
fungsi – fungsi sepanjang hidup manusia dengan proses cara berfikir
sehingga dapat mendukung proses berkembangnya seseorang yang terus
bertumbuh dan berkembang.
Pengertian psikologi menurut para ahli
• Linda L Daidoff ( 1991 ), Psikologi perkembangan adalah cabang
psikologi yang mempelajari perubahan dan perkembangan struktur
jasmani, perilaku, dan fungsi mental manusia yang dimulai sejak
terbentuknya makhluk itu melalui pembuahan hingga menjelang mati.
• M Lenner ( 1976 ), Psikologi perkembangan sebagai pengetahuan
yang mempelajari persamaan dan perbedaan fungsi – fungsi psikologis
sepanjang hidup.
• Menurut Kartono, Psikologi anak merupakan suatu ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia yang dimulai dengan periode masa
bayi, masa pemain, masa sekolah, masa remaja, sampai periode adolense
menjelang dewasa.

D. Perkembangan Kognitif
1. Pengertian Perkembangan Kognitif

1Muhibbinsyah.Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2001

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

Kognisi ialah kegiatan serta tingkah laku mental selaku fasilitas


yang digunakan manusia buat memperoleh serta memproses seluruh
pengetahuan tentang dunia. Yang tercantum dengan proses kognisi antara
lain proses belajar, anggapan, ingatan, serta berpikir. Aspek biologis, area,
aspek pengalaman, aspek sosial, serta motivasi ikut berfungsi dalam
mempengaruhi perkembangan kognitif. Sebagian teori tentang
perkembangan kognitif dijabarkan dalam bahasan berikut.
2. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget berupaya menarangkan
gimana seseorang anak menyesuaikan diri serta menginterpretasikan
objek- objek serta kejadian- kejadian di lingkungannya( dalam
Hetherington& Parke, 1987). Misalnya gimana anak belajar guna
dari benda- benda di sekitarnya semacam perlengkapan game, benda-
benda di dekat rumah, santapan, objek sosial, serta sebagainya. Gimana
anak belajar mengelompokkan ataupun memilah- milah objek, menekuni
persamaan serta perbandingan, menekuni pergantian serta pemicu
pergantian pada objek serta peristiwa di sekitarnya serta membangun
harapan ataupun expectation pada area. Piaget( dalam Eggen&
Kouchak, 2004) berkomentar kalau manusia memiliki kebutuhan dalam
dirinya buat mengenali gimana dunia bekerja serta memperoleh jawaban
atas urutan, struktur dan prediksi tentang keberadaan dunia ini. Dia
menyebut kebutuhan ini dengan dorongan buat equilibrium, ialah keadaan
ataupun statment penyeimbang kognitif antara uraian tentang dunia serta
pengalaman- pengalaman mereka.
Piaget( dalam Hitterington& Parke, 1987) berkata kalau anak
memegang peranan aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuannya
tentang kenyataan. Mereka secara aktif mencari data serta meng-

Dasar-Dasar Pendidikan
interpetasikan data yang didapat dari pengalamannya yang setelah itu
mengadaptasikan data tersebut ke dalam khazanah pengetahuan serta
konsepsi yang telah dipunyai lebih dahulu. Struktur kognitif mendasari
pola tingkah laku yang terorganisir ini oleh Piaget diucap selaku“
schemata”. Schemata merupakan perbandingan kualitatif kegiatan mental
serta metode anak mengorganisasikan dan berespons pada hal- hal yang
dialaminya yang jadi identitas khas dari anak pada masing- masing
tahapan perkembangannya. Schemata ini bukan ialah dampak eksistensi
dari otak, namun berhubungan dengan interelasi serta organisasi dari
keahlian mental semacam ingatan, benak, tingkah laku, strategi yang
digunakan anak buat paham lingkungannya( Hitterington& Parke,
1987). Pada teori Piaget butuh diingat kalau anak hadapi tahapan
pertumbuhan kognisi dengan kecepatan bermacam- macam, namun
senantiasa dalam urutan tahapan( Santrock, 2008). Proses kognitif
bersumber pada teoriPiaget terjalin berbentuk sesuatu proses yang selalu
memodifikasi schemata. Maksudnya prinsip- prinsip pengolahan data
serta respons pada pengalaman secara berkesinambungan meningkatkan
schemata yang terdapat jadi lebih mutahir. 2 prinsip bawah terutama
dalam proses ini merupakan organisasi serta menyesuaikan diri(
Woolfolk, 2004). Kedua proses tersebut dibutuhkan dalam rangka
menggapai serta meneguhkan equilibrium.
Organisasi ialah predisposisi buat mengintegrasikan serta
mengoordinasikan struktur raga serta psikologis jadi sesuatu sistem yang
lingkungan. Misalnya, anak mempunyai schemata buat menghirup,
memandang, serta memegang objek. Tiap- tiap schemata mempunyai
wujud respons yang bisa dihasilkan secara terpisah, ialah memandang
bunda, menghirup bunda jari, serta memegang kakinya. Lewat proses

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

organisasi, ketiga schemata ini membuat anak setelah itu membentuk


sesuatu sistem yang lebih besar tingkatannya. Misalnya dia memandang
terdapat objek di depannya, setelah itu berupaya memegang buat
dimasukkan ke mulut serta diisap- isap. Menyesuaikan diri menyangkut 2
proses ialah asimilasi serta akomodasi. Asimilasi terjalin kala seorang
memakai schema yang telah terdapat buat memaknai peristiwa- peristiwa
di dunia ini. Jadi bila anak memiliki pengalaman baru, dia hendak
menghubungkan serta memodifikasikan pengalaman ke dalam schemata
yang terdapat. Misalnya anak menciptakan kalau bunda merupakan
wanita, hingga seluruh wanita dipanggilnya selaku bunda. Lewat asimilasi
ini anak membetulkan responsnya pada area.
Akomodasi ialah proses penunjang asimilasi, menyangkut proses
penyesuaian diri pada tuntutan area. Akomodasi terjalin bila kita
mengganti schema yang terdapat buat merespons suasana yang baru.
Proses“ coping” ataupun menuntaskan perkaranya dengan area,
menciptakan modifikasi schemata secara selalu. Misalnya anak yang
memanggil seluruh wanita selaku bunda, setelah itu mengenali kalau itu
nenek serta bukan bunda, namun‘ sayalah’ ibumu. Kesimpulannya anak
cuma memanggil satu wanita selaku bunda. Jadi perkembangan kognitif
didasarkan pada revisi dari struktur intelektual selaku akibat predisposisi
bawaan( innate) buat mengorganisasikan serta mengadaptasikan
pengalaman dengan metode tertentu. Proses ini terjalin seumur hidup
manusia( Hitterington& Parke, 1987).
3. Tahapan Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget menjelaskan bahwa terdapat 4 tahap perkembangan
kognitif pada manusia, ialah sensorimotor, praoperasional konkret,
operasional konkret, serta pembedahan resmi. Piaget yakin kalau seluruh

Dasar-Dasar Pendidikan
orang hendak melewati 4 tahapan yang sama. Tahapan ini berkaitan
dengan umur, pada Tabel berikut ini.

Tahapan Usia Karakteristik


Sensorimotor 0-2 tahun 1.) Mulai memakai
imitasi, memori
serta berpikir
2.) Mulai memahami
kalau objek
senantiasa
terdapat walaupun
tidak nampak(
tersembunyi)
3.) Bergerak dari aksi
reflex ke kegiatan
yang lebih terarah
Pre- Operational 2-7 tahun 1.) Secara bertahap
meningkatkan
pemakaian bahasa
serta keahlian
berpikir dalam
wujud simbol
2.) Mulai bisa
berpikir
pembedahan
lewat logika satu
arah.

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

3.) Masih mengalami


kesusahan
memandang
pemikiran orang
lain
Concrete- 7-11 tahun 1.) Mampu bernalar
Operational secara logis
tentang kejadian-
kejadian yang
konkret
2.) Menguasai
hukum konservasi
serta bisa
mengklasifikasi
objek ke dalam
kelompok yang
berbeda- beda,
dan bisa
mengurutkannya
3.) Menguasai
reversibility
Formal Operasional 11 tahun - dewasa 1.) Bisa berpikir
abstrak, idealistis,
serta logis.
2.) Lebih saintifik
dalam berpikir
3.) Meningkatkan

Dasar-Dasar Pendidikan
perhatian pada
isu- isu sosial,
identitas, dll.

Penjelasan dari tabel diatas sebagai berikut.


Sensorimotor pada Tabel tersebut menunjukkan bahwa tahap awal
disebut sensorimotor karena pada tahap ini bayi membangun pemahaman
tentang dunia dengan mengoordinasikan pengalaman indrawi mereka
(seperti melihat dan mendengar) dengan gerakan motorik (otot) mereka
(misalnya menyentuh). Selama waktu ini, bayi mengembangkan
kepermanenan objek, pemahaman bahwa objek ada di lingkungan terlepas
dari apakah bayi melihatnya atau tidak. Pada fase selanjutnya yaitu fase
sensorimotor, anak mulai melakukan sesuatu secara sadar. Coba
bayangkan kotak mainan bayi yang biasanya terbuat dari plastik dan ada
tutupnya. Kotak ini berisi mainan warna-warni yang bisa dilepas atau
dipindahkan. Seorang anak berusia 6 bulan frustrasi saat mencoba
menemukan mainannya. Dengan anak yang lebih besar, anak tersebut,
dengan coba-coba, membuat diagram kotak mainan dengan urutan sebagai
berikut:
1) membuka tutup kotak,
2) memutar kotak ke atas dan ke bawah,
3) mendorong mainan,
4) mengamati mainan jatuh. Skema sederhana ini membentuk skema yang
lebih kompleks untuk mencapai tujuan.
Kemudian anak mencoba mengulangi tindakan tersebut dengan mengisi
kembali kotak tersebut (terbalik). Dasar untuk menyempurnakan tingkat
sensorimotor adalah belajar membalikkan gerakan. Karena belajar melalui

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

pemikiran terbalik—belajar membayangkan rangkaian peristiwa dengan


membalikkannya—membutuhkan waktu lebih lama (Woolfolk, 2004).
Preoperasional konkrit. Pada akhir tahap sensorimotor, anak dapat
menggunakan beberapa skema, kemudian anak menguasai fungsi mental
logis. Tetapi langkah ini lebih berpusat pada diri sendiri dan intuitif
daripada logis. Fase ini dibagi menjadi sub-fase, yaitu tindakan simbolik
dan pemikiran intuitif. Subfase aktivitas simbolik terjadi antara usia 2-4
tahun. Pada tahap ini, anak mulai secara mental merepresentasikan objek
yang tidak ada. Peningkatan berpikir simbolik ditunjukkan dengan
meningkatnya penggunaan bahasa dan munculnya sikap bermain anak.
Misalnya Anak-anak suka mulai menulis gambar orang, mobil, dan benda
lain dari imajinasinya, meskipun gambarnya masih terlihat aneh. Dalam
subfase ini, anak membuat kemajuan, meski ada keterbatasan:
Egosentrisme dan Animisme (Woolfolk, 2004). Egosentrisme adalah
ketidakmampuan untuk membedakan antara sudut pandang sendiri dan
sudut pandang orang lain. Sebaliknya, animisme dicirikan oleh
kepercayaan bahwa benda mati memiliki kualitas "hidup" dan mampu
bergerak. Misalnya, anak berkata:
"Pohon menekan daun dan membiarkannya jatuh."
Tahap pemikiran intuitif terjadi antara usia empat dan tujuh tahun.
Pada tahap ini, anak mulai menggunakan argumen primitif dan ingin
mengetahui jawaban dari semua pertanyaan. Piaget menyebut tahap ini
intuitif karena anak-anak tampak percaya diri dengan pengetahuan dan
pemahaman mereka tetapi tidak menyadari bagaimana mengetahui apa
yang ingin mereka ketahui. Jadi mereka mengetahui sesuatu, tetapi
mereka mengetahuinya tanpa berpikir rasional.

Dasar-Dasar Pendidikan
Tahap operasional konkrit. Tahap ini dimulai antara usia tujuh
dan sekitar sebelas tahun. Saat ini anak sudah memiliki kemampuan
mengklasifikasikan, namun belum mampu memecahkan masalah abstrak.
Anak berpikir secara operasional dan berpikir logis menggantikan berpikir
intuitif hanya dalam situasi konkrit.
Tahap operasional formal. Tahap ini disebut tahap kognitif
terakhir oleh Piaget dan dimulai sekitar usia sebelas tahun. Pada tahap ini,
anak-anak mulai memikirkan pengalaman selain pengalaman konkret, dan
memikirkannya dengan cara yang lebih abstrak, idealis, dan logis.
Kualitas abstrak dari pemikiran fungsional formal tercermin dalam
pemecahan masalah kata. Selain itu, mereka memiliki kemampuan untuk
mengidealkan dan membayangkan kemungkinan.

4. Teori perkembangan kognitif Vygotsky


Psikolog Rusia Lev Vygotsky (1896-1934) mengatakan bahwa
anak-anak secara aktif mengumpulkan pengetahuan. Vygotsky (dalam
Santrock, 2008) mengklaim bahwa:
1) Kemampuan kognitif anak dapat dipahami bila dianalisis dan
diinterpretasikan dalam konteks perkembangan.
2) Keterampilan kognitif dimediasi melalui kata-kata, bahasa, dan bentuk
percakapan yang bertindak sebagai alat psikologis untuk mendukung dan
memodifikasi aktivitas mental.
3) Kemampuan kognitif muncul dan dipengaruhi oleh hubungan sosial
latar belakang sosial budaya. Vygotsky (dalam Gage & Berliner, 1998)
menemukan bahwa anak mulai belajar dari orang-orang di sekitarnya.

E. Perkembangan sosial emosional anak

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

1. Pengertian perkembangan sosial-emosional anak usia dini


Perkembangan sosial emosional adalah suatu proses belajar
menyesuaikan diri untuk memahami keadaan serta persaan ketika
berinteraksi dengan orang dilingkungannya baik orang tua, saudara, teman
sebaya atau orang lain dikehidupan sehari harinya (Zulkini L 2009)
Perkembangan sosioemosional meliputi perkembangan dalam hal emosi,
kepribadian, dan hubungan interpersonal. Pada tahap awal masa kanak-
kanak perkembangan sosial emosional berkisar tentang proses sosialisasi,
yaitu proses ketika anak mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang
diterima dari masyarakat (Muhidin, 2010) Anak usia dini merupakan anak
yang berada pada usia. 0-6 tahun (Patmonodewo, 2009), Usia dini
merupakan usia yang sangat penting bagi perkembangan anak sehingga
disebut golden age. Anak pra sekolah sedang dalam tahap pertumbuhan
dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental. Anak pra
sekolah belajar dengan caranya sendiri. Anak hukan miniature orang
dewasa. Periode anak teritama pada periode usia dini merupakan periode
yang penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Abu
Ahmadi dan Munawar Sholeh (2012) berpendapat bahwa usia 3-6 tahun
merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak yan suatu periode
dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak
terhambat perkembangannya.
Pada tahap usia anak diusia dini berada pada fase Inisiatif vs Rasa
Bersalah. Pada masa ini anak dengan segala kecakapannya anak mulai
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan rasa
ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya. Mereka mencoba
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut

Dasar-Dasar Pendidikan
terbatas adakalanya ia mengalami kegagalan, dan kegagalan-kegagalan
tersebut menyebabkan anak memiliki perasaan bersalah, dan untuk
sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat. (Kartini
Kartono:2012). Anak usia pra sekolah Cenderung Bersifat Egoentris.
Anak memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan
pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan
pikirannya yang masih sempit. Anak sangat terpengaruh oleh akalnya
yang masih sederhana sehingga tidak mampu menyelami perasaan dan
pikiran orang lain.
Karakteristik lain anak usia pra sekolah adalah jiwa Sosial Yang
Primitif (belum bisa berempati dengan lingkungan sekitar). Anak belum
sadar dan mengerti adanya orang lain dan benda lain di luar dirinya yang
sifatnya berbeda dengan dia. Anak berkeyakinan bahwa orang lain
menghayati dan merasakan suatu peristiwa sama halnya dengan
penghayatannya sendiri. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan
atau diekspresikan secara bebas, spontan, dan jujur baik dalam mimik,
tingkah laku maupun bahasanya. Anak tidak dapat berbohong atau
bertingkah laku pura-pura. anak mengekspresikannya secara terbuka
(Munandar, 2010).
Anak usia pra sekolah juga memiliki Sikap hidup yang fisiognomis, yaitu
pandangan bahwa apa yang ada di sekitarnya dianggap memiliki jiwa
yang merupakan makhluk hidup yang memiliki jasmani dan rohani
sekaligus, seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu anak pada usia ini sering
bercakap- cakap dengan binatang. boneka dan sebagainya (Munandar,
2010). Rasa Ingin Tahu Yang Besar juga menjadi karakteristik anak usia
pra sekolah. Dan Suka Menina segala sesuatu yang di lihat, dengar dan di
rasa kan dan adanya perasaan ingin bersaing

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

Karaktristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang


terjadi pada orang dewasa, dimana karekteristik emosi pada anak itu
antara lain: berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba, terlihat lebih hebat
atau kuat, bersifat sementara atau dangkal, lebih. sering terjadi, dapat
diketahui denganjelas dari tingkah lakunya, mencerminkan individualitas.
dan reaksi

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial-emosional


anak.
Perkembangan emosi anak tidak selalu stabil. Banyak faktor yang
mempengaruhi kestabilan emosi dan keterampilan sosial seorang anak,
baik yang berasal dari dalam diri anak maupun dari luar. Misalnya,
banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak. Keadaan
secara rinci, konflik di lingkungan merupakan proses perkembangan dan
keadaan individu yang mempengaruhi perkembangan sosial-emosional
anak, termasuk kebugaran jasmani, kecerdasan dan lain-lain, dapat
mempengaruhi perkembangan individu. Hal-hal yang sangat kasat mata,
terutama berupa kecacatan fisik atau yang dianggap anak sebagai
kekurangan, berdampak besar pada perkembangan emosinya.
Konflik dalam proses perkembangan juga mempengaruhi
perkembangan sosial-emosional anak.Pada masa perkembangan, setiap
anak pasti mengalami banyak jenis konflik yang sebagian besar dapat
dikelola dengan baik, namun ada juga anak yang mengalami kesulitan
atau hambatan yang harus dihadapi. Dengan konflik-konflik ini. Anak-
anak yang tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut rentan terhadap
gangguan emosi. Faktor yang berpengaruh adalah lingkungan keluarga
dan faktor eksternal. Faktor lingkungan dalam keluarga yang sangat

Dasar-Dasar Pendidikan
berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak misalnya status sosial
ekonomi keluarga dan sikap serta kebiasaan orang tua (dalam kaitannya
dengan latar belakang pendidikan). Faktor eksternal dapat berupa
lingkungan sekolah. Begitu pula dengan faktor lainnya. Faktor sekolah
yang dapat memicu gangguan emosi dan perilaku pada anak antara lain
hubungan yang kurang harmonis antara anak dengan guru dan hubungan
yang kurang harmonis dengan teman. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan orang tua, karena rata-rata pendidikan mereka yang
tamat SD. Faktor yang mempengaruhi lingkungan rumah adalah
hubungan mereka dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah.
Faktor yang mempengaruhi pengalaman sosial awal menentukan perilaku
kepribadian selanjutnya (Rahmawati, 2010). Lawrence (Suyadi 2009)
Perkembangan sosio-emosional anak dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu Keluarga, jenis kelamin, jumlah anak, kematangan, status sosial
ekonomi, pendidikan dan kapasitas mental, emosi dan kecerdasan.

3. Tahapan perkembangan sosial emosional


Bahwa perkembangan dimulai pada saat pembuahan dan berakhir
sebelum kematian telah dijelaskan sebelumnya.Para ahli percaya bahwa
perkembangan yang lama ini terbagi dalam tahap-tahap atau tahapan
perkembangan. Penentuan fase atau tahapan tersebut didasarkan pada ciri-
ciri utama yang menonjol dalam kurun waktu tertentu. Aristoteles,
seorang filsuf Yunani yang hidup antara tahun 384 dan 322 SM. hidup,
perkembangan tahap perkembangan tertua. Aristoteles dalam Nana
Syaodih (2009:117) membagi masa perkembangan menjadi tiga tahap,
yaitu Masa bayi (0-7 tahun), masa kanak-kanak (7-14 tahun), remaja (14-
21 tahun) setelah itu dewasa menurut Hildayani et al., Harter (2005-24)

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

adalah perubahan konsep diri antar usia. Antara usia 5 dan 7 tahun,
perubahan terjadi dalam tiga tahapan yang sebenarnya merupakan proses
yang berkesinambungan, seperti tahapan berikut:
a. Pernyataan tentang diri adalah representasi, yang berarti bahwa laporan
anak adalah dimensi yang terpisah. Pikiran seorang anak melompat
dari satu ide ke ide berikutnya tanpa koneksi logis.
b. Tahap pemetaan representasional, anak-anak mulai menghubungkan
satu aspek dari diri mereka dengan yang lain. Namun, hubungan logis
antara bagian-bagian citra dirinya masih diekspresikan dengan cukup
positif dan hitam putih.
c. Tahap sistem representasional terjadi pada usia sekolah, ketika anak
mulai mengintegrasikan karakteristik khusus mereka ke dalam konsep
umum dan multidimensi. Deskripsi diri hitam putih berkurang dan
deskripsi diri menjadi lebih seimbang.
Donald B Helmis dan Jeffrey S Turner (1981:28) memberikan urutan
perkembangan individu yang lengkap, yaitu Masa janin atau sebelum lahir
dari pembuahan sampai lahir, bayi 0-2 tahun, anak 2-4 tahun, balita -5/6
tahun, anak 6-12 tahun, remaja 12-19 tahun, dewasa muda 19- 30 tahun,
Dewasa berusia 30 hingga 65 tahun dan pensiunan berusia 65 tahun ke
atas.

4. Pengaruh kurangnya pemahaman terhadap psikologi anak dalam proses


pendidikan
a. Kesulitan memahami kebutuhan dan peluang anak
Tergantung pada usia dan tahap perkembangan mereka, anak-
anak memiliki kebutuhan dan kesempatan yang berbeda. Jika pendidik

Dasar-Dasar Pendidikan
tidak memahami psikologi anak, mereka mungkin kesulitan memahami
kebutuhan dan peluang anak secara keseluruhan.
b. Ketidakmampuan menyesuaikan gaya mengajar
Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda, sehingga guru
perlu memahami psikologi anak agar dapat menyesuaikan gaya
mengajarnya dengan kebutuhan individual anak.
c. Perilaku Disiplin yang Tidak Efektif
Ketika pendidik tidak memahami psikologi anak, mereka
mungkin menerapkan strategi pendisiplinan yang tidak efektif atau
bahkan berbahaya bagi anak, seperti hukuman fisik atau merendahkan
anak.
d. Kurangnya perawatan psikiatris untuk anak
Pendidikan yang efektif tidak hanya berfokus pada peningkatan
kinerja sekolah, tetapi juga pada kesehatan mental anak. Jika pendidik
tidak memahami psikologi anak, mereka mungkin tidak cukup
memperhatikan kesehatan mental anak.
e. Ketidaktahuan berisiko masalah perilaku dan emosional
Anak-anak sering menghadapi masalah perilaku dan emosional
selama masa pertumbuhan mereka. Jika guru tidak memahami psikologi
anak, mereka mungkin tidak mengenali tanda-tanda masalah ini atau
mungkin tidak dapat memberikan bantuan yang memadai kepada anak.
f. Defisit pendidikan adil
Pendidikan yang setara berarti memberikan semua anak
kesempatan yang sama. Jika pendidik tidak memahami psikologi anak,
mereka mungkin tidak memahami kekurangan dalam pendidikan yang
diberikan kepada anak yang berbeda.

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

Pendidikan adalah salah satu faktor terpenting dalam kehidupan


anak, dan untuk memastikan pendidikan yang efektif, penting untuk
memahami psikologi anak. Kurangnya pemahaman psikologi anak
dalam proses pendidikan dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak,
antara lain kesulitan memahami kebutuhan dan potensi anak,
ketidakmampuan menyesuaikan gaya mengajar, perilaku disiplin yang
tidak efektif, kurangnya perhatian terhadap kesehatan mental anak,
risiko mengabaikan masalah perilaku, dan kehidupan emosional. , dan
perbedaan pendidikan itu adil.
Menurut teori perkembangan anak Jean Piaget, anak-anak pada
usia yang berbeda melewati berbagai tahap perkembangan yang dapat
mempengaruhi pembelajaran mereka. Misalnya, selama tahap
perkembangan kognitif anak, anak mungkin memiliki cara berpikir yang
berbeda dari orang dewasa, dan guru harus memahami cara berpikir ini
untuk menyesuaikan gaya mengajar mereka dengan kebutuhan anak.
Selain itu, teori pembelajaran sosial Albert Bandura menekankan
pentingnya lingkungan sosial dalam membentuk perilaku anak. Oleh
karena itu, pendidik harus mempertimbangkan lingkungan sosial anak,
termasuk keluarga dan teman sebaya, saat memahami perilaku anak dan
memberikan bantuan yang tepat saat dibutuhkan. Dalam penelitian
pendidikan inklusif, peneliti menekankan pentingnya memahami
kebutuhan dan kemampuan khusus, termasuk anak autis dan ADHD.
Kurangnya pemahaman tentang kebutuhan anak ini dapat menyebabkan
ketidakadilan dalam pemerataan pendidikan dan melemahkan
kesempatan anak untuk memenuhi potensinya. Singkatnya, memahami
psikologi anak sangat penting dalam proses membesarkan anak. Ini
membantu pendidik memahami kebutuhan dan peluang anak secara

Dasar-Dasar Pendidikan
keseluruhan, menyesuaikan gaya mengajar mereka, memperhatikan
kesehatan mental anak dan memastikan pendidikan adil dan inklusif.
F. Strategi Para Pendidik Untuk Memperbaiki Pendidikan Anak
Dengan Memperhatikan Faktor-Faktor Psikologis.
Pendidikan adalah hal yang penting dalam kehidupan setiap
individu. Melalui pendidikan, seseorang dapat memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menghadapi berbagai
tantangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
memastikan bahwa pendidikan yang diterima oleh anak-anak kita adalah
berkualitas dan efektif.
Faktor psikologi sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang
diterima oleh anak-anak. Setiap individu memiliki karakteristik dan
kebutuhan yang berbeda-beda, dan ini dapat mempengaruhi cara mereka
belajar dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu,
penting bagi guru dan orang tua untuk memahami faktor psikologi yang
mempengaruhi pembelajaran dan memilih strategi pembelajaran yang
tepat untuk setiap anak. Beberapa strategi pembelajaran yang dapat
diterapkan dengan memperhatikan faktor psikologi antara lain:
1. Memahami kebutuhan dan gaya belajar siswa
Setiap siswa memiliki kebutuhan dan gaya belajar yang
berbeda. Ada yang lebih mudah memahami materi dengan
membaca teks, ada juga yang lebih mudah memahami materi
dengan mendengarkan penjelasan guru, atau dengan cara
memvisualisasikan materi dalam bentuk gambar atau diagram.
Oleh karena itu, sebagai seorang guru, penting untuk memahami
gaya belajar siswa. Dengan mengetahui preferensi belajar siswa,
guru dapat menyesuaikan metode pengajaran yang sesuai.

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

Misalnya, jika seorang siswa adalah visual learner, guru dapat


menggunakan gambar dan diagram untuk menjelaskan materi.
Sebaliknya, jika seorang siswa lebih mudah memahami materi
dengan mendengarkan penjelasan guru, maka guru dapat
memberikan penjelasan secara verbal. Oleh karena itu, guru perlu
memahami kebutuhan dan gaya belajar siswa dan menyesuaikan
metode pengajaran mereka sesuai dengan kebutuhan dan gaya
belajar siswa.
Menurut Santrock (2011), pengenalan individu adalah suatu
hal yang sangat penting dalam membantu guru memahami
perbedaan antar siswa. Hal ini dapat membantu guru
mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa secara individual, serta
memberikan strategi pembelajaran yang lebih tepat bagi setiap
siswa. Dalam prakteknya, guru dapat melakukan pengenalan
individu dengan membuat catatan mengenai karakteristik siswa,
seperti minat, kelebihan, dan kelemahan. Guru juga dapat
melakukan observasi dan berbicara langsung dengan siswa untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut tentang mereka.2
2. Menjaga lingkungan belajar yang kondusif
Lingkungan belajar yang kondusif dan nyaman dapat
membantu meningkatkan motivasi dan kualitas belajar siswa.
Guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
dengan mengurangi gangguan dari luar kelas, seperti suara dari
luar kelas atau ponsel siswa. Selain itu, guru juga dapat
memberikan dukungan emosional, seperti mendengarkan masalah

2Santrock, J.W. Educational Psychology. (New York: McGraw Hill, 2011). 268-
271

Dasar-Dasar Pendidikan
siswa dan memberikan dorongan untuk memperbaiki kinerja
mereka. Dengan menciptakan lingkungan belajar yang nyaman
dan kondusif, siswa dapat merasa lebih aman dan nyaman untuk
belajar dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
3. Memberikan penguatan positif dan umpan balik konstruktif
Seperti orang tua dan pengasuh, guru juga perlu
memberikan penguatan positif dan umpan balik konstruktif atas
perilaku dan prestasi siswa. Hal ini akan membantu siswa merasa
dihargai dan termotivasi untuk terus belajar.
Menurut Sardiman (2011), umpan balik adalah suatu cara
untuk memberikan informasi mengenai prestasi siswa kepada
siswa itu sendiri, sehingga siswa dapat mengetahui kelebihan dan
kekurangan mereka dan dapat memperbaiki prestasi belajar
mereka. Umpan balik yang diberikan secara tepat dapat
memotivasi siswa untuk belajar lebih baik dan mengembangkan
keterampilan mereka. Dalam prakteknya, guru dapat memberikan
umpan balik kepada siswa secara rutin, baik secara lisan maupun
tertulis, serta memastikan umpan balik yang diberikan mengarah
pada perbaikan kinerja siswa.3
Penguatan positif dan umpan balik konstruktif dapat
membantu meningkatkan motivasi dan kualitas belajar siswa.
Penguatan positif dapat diberikan ketika siswa mencapai tujuan
tertentu, seperti memberikan pujian atau hadiah. Selain itu, umpan
balik konstruktif juga penting untuk membantu siswa
memperbaiki kinerja mereka dan meningkatkan kualitas

3Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2011) 62-68

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

pembelajaran. Dalam memberikan umpan balik, guru perlu


memastikan bahwa umpan balik tersebut bersifat konstruktif dan
mengarah pada peningkatan kinerja siswa, bukan hanya sekadar
kritik atau celaan yang merugikan.
4. Disiplin yang konsisten dan adil
Disiplin juga penting dalam lingkungan pembelajaran. Guru
perlu menerapkan disiplin yang konsisten dan adil.
Disiplin yang konsisten dan adil penting untuk memberikan
batasan dan tanggung jawab bagi siswa dalam lingkungan belajar.
Hal ini dapat membantu siswa memahami aturan dan tanggung
jawab mereka dalam lingkungan belajar, serta memberikan
konsekuensi yang sama setiap kali aturan dilanggar. Disiplin yang
konsisten dan adil juga dapat membantu menciptakan lingkungan
belajar yang aman dan nyaman bagi siswa.
Beberapa teknik disiplin yang konsisten dan adil adalah
menggunakan aturan yang jelas dan konsekuensi yang konsisten,
memberikan kesempatan untuk memperbaiki perilaku, serta
menghindari hukuman yang tidak pantas.4
5. Pendekatan pembelajaran yang kolaboratif dan partisipatif
Pendekatan pembelajaran yang kolaboratif dan partisipatif
dapat membantu siswa untuk lebih aktif dalam belajar dan
meningkatkan motivasi mereka untuk belajar. Guru dapat
menerapkan pendekatan ini dengan memberikan kesempatan
untuk berdiskusi, berkolaborasi dalam proyek, dan berpartisipasi
dalam kegiatan kelompok.

4 Wong, H. K., & Wong, R. T. The first days of school: How to be an effective
teacher (5th ed.). (California: Harry K. Wong Publications, Inc., 2018)

Dasar-Dasar Pendidikan
Pendekatan pembelajaran yang kolaboratif dan partisipatif
dapat memperkuat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran
dan meningkatkan keterampilan sosial mereka.5 Beberapa teknik
pendekatan pembelajaran yang kolaboratif dan partisipatif adalah
diskusi kelompok, proyek kolaboratif, serta teknologi dan media
yang memfasilitasi keterlibatan siswa.6

Penerapan strategi-strategi di atas diharapkan dapat membantu


meningkatkan kualitas pendidikan anak. Namun, penting bagi guru dan
orang tua untuk memilih dan mengadaptasi strategi yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik siswa di kelas. Dengan demikian, pendidikan
yang diterima oleh anak-anak kita dapat lebih efektif dan bermanfaat bagi
perkembangan mereka.

G. Simpulan
Psikologi anak dalam pendidikan mempelajari bagaimana anak
belajar, tumbuh, dan berkembang secara psikologis. Pendidikan harus
memperhatikan perbedaan individual, perkembangan fisik, sosial, dan
emosional anak untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif.
Orangtua dan guru harus memahami prinsip-prinsip dasar psikologi anak
agar dapat memotivasi, memandu, dan membimbing anak dengan tepat.
Komunikasi yang baik, penghargaan, dan dorongan untuk mandiri akan
membantu anak mencapai potensi penuh mereka. Mengenali dan
memahami kebutuhan psikologis anak akan memperkuat ikatan antara

5 Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Smith, K. A. (2014). “Cooperative learning:


Improving university instruction by basing practice on validated theory”. Journal
on excellence in college teaching, 25(3-4), 85-118
6 Jonassen, D. H., & Land, S. M. (Eds.). Theoretical foundations of learning

environments. (New York: Routledge, 2012).

Dasar-Dasar Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H. Zaini Fasya, M.PdI

anak, keluarga, dan guru, dan menciptakan fondasi yang kokoh bagi masa
depan mereka.

Dasar-Dasar Pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbinsyah. (2001) Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
J, Santrock. (2011) Educational Psychology. New York: McGraw Hill
A, Sardiman. (2011) Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Wong, H. K., et . The first days of school: How to be an effective teacher (5th
ed.). California: Harry K. Wong Publications, Inc.
Johnson, D. W., al.. “Cooperative learning: Improving university instruction by
basing practice on validated theory”. Journal on excellence in college
teaching, (2014)
Jonassen, D. H., & Land, S. M. (Eds.) (2012). Theoretical foundations of learning
environments. New York: Routledge

Dasar-Dasar Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai