Anda di halaman 1dari 9

Materi KWU ke 5 : Kemampuan Manajerial Wirausaha.

Kemampuan manajerial mencakup tujuh aspek, yaitu (1) Kepemimpinan, (2) Pemecahan


masalah, (3) Komunikasi, (4) Keterampilan Manajerial, (5) Pengalaman, (6) Kewiraswastaan,
dan (7) Motivasi.

Kepemimpinan

Konsep kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan kekuasaan pemimpin dalam


memperoleh alat untuk mempengaruhi para pengikutnya.  Terdapat beberapa sumber dan
bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan paksaan, legitimasi, keahlian, referensi, informasi dan
hubungan (Veithzal Rivai, 2003:4-5).

Kepemimpinan bukan saja bertanggung jawab agar orang-orang bekerja namun juga
mengendalikan kebanyakan alat pemuas kebutuhan manusia dalam organisasi (Komaruddin
Sastradipoera, 2002 : 92). 

Sikap dan gaya serta perilaku kepemimpinan manajer sangat besar pengaruhnya terhadap
organisasi perusahaan (Tuty Lindawati: 2001).  Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan, sedangkan fungsi kepemimpinan
adalah sesuatu di mana seorang manajer sedang memotivasi bawahan, mengarahkan kegiatan
orang lain, memilih saluran komunikasi yang paling efektif, atau memecahkan konflik antar
anggota (Stephen P. Robbins, 2002 : 3).

Kepemimpinan adalah bagian penting dari manajemen, tetapi tidak sama dengan manajemen,
karena kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi
orang-orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran (Hani Handoko, 1997 : 294),
sedangkan menurut G.R. Terry (1986 : 343) Kepemimpinan adalah hubungan di mana satu
orang yakni pemimpin mempengaruhi fihak lain untuk bekerjasama dalam rangka
mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang diinginkan oleh
pemimpin tersebut.

Beberapa teori yang mendasari tentang kepemimpinan antara lain :

(1) Teori Sifat (Trait Theory).

Teori ini menggunakan prosedur induktif untuk menjelaskan kepemimpinan berdasarkan ciri
dan karakteristik para pemimpin yang berhasil.   Keith Davis dalam Miftah Thoha (2003 :
287), merumuskan empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan organisasi :

1. a) Kecerdasan.

Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat


kecerdasan yang lebih tinggi dibanding dengan yang dipimpin.  Namun demikian, yang
sangat menarik dari penelitian tersebut ialah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak
dari kecerdasan pengikutnya.
1. b) Kedewasaan dan kekuasaan sosial.

Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai
perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial.  Dia mempunyai keinginan
menghargai dan dihargai.

1. c) Motivasi diri dan dorongan berprestasi

Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. 
Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan yang
ekstrinsik.

1. d) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan.

Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para
pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.

(2) Teori Kelompok

Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya,
maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-
pengikutnya, yang melibatkan pula konsep-konsep sosiologis tentang keinginan-keinginan
mengembangkan peranan.

(3). Model Kepemimpinan (Leadership Type)

Pendekatan model ini berpendapat bahwa terdapat empat buah tipe pemimpin (Komaruddin
Sastradipoera, 2002 :93). Pendapat hampir senada juga dikemukakan oleh (Veitzhal Rivai,
2003: 61-62) perbedaannya adalah dengan tidak mengemukakan tipe pemimpin autokratik. 
Tipe-tipe kepemimpinan tersebut adalah:

 Diktatorial

Pemimpin ini berbuat apa yang disuruhnya agar tidak kehilangan alat pemuas kebutuhan
( termasuk keamanan jabatan, promosi, kenaikan upah).

 Autokratik

Memotivasi bawahannya dengan menyediakan pemuas kebutuhan.

 Laissez-faire (liberal) atau kendali bebas

Pemimpin pasif, kekuasaan ada pada bawahan, struktur organisasi longgar.

 Demokratik

Dalam tipe pemimpin ini menggunakan pengambilan keputusan kooperatif sehingga bawahan
cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja, dan dapat
mengarahkan diri sendiri.
Tentang kepemimpinan demokratis ini Allah SWT. Berfirman dalam Asy-syura (42) ayat 38
yang terjemahannya “Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah antar
mereka, dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.

Model Kepemimpinan Kontijensi dari Fiedler.

Model ini berisi hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan. 
Adapun situasi yang menyenangkan itu diterangkan Fiedler dalam hubungannya dengan
dimensi-dimensi empiris berikut ini:

(1)   Hubungan pemimpin anggota. Hal ini merupakan variabel yang paling penting di dalam
menentukan situasi yang menyenangkan tersebut.

(2)   Derajat dari struktur tugas.  Dimensi ini merupakan variabel yang paling tinggi di dalam
menentukan situasi yang menyenangkan.

(3)   Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal.  Dimensi ini merupakan
dimensi yang amat penting ketiga di dalam situasi yang menyenangkan.

Suatu situasi akan dapat menyenangkan pemimpin, jika ketiga dimensi di atas mempunyai
derajat yang tinggi.  Dengan kata lain, suatu situasi akan menyenangkan jika :

 pemimpin diterima oleh para pengikutnya (derajat dimensi pertama tinggi).


 tugas-tugas dan semua yang berhubungan dengannya ditentukan secara jelas (derajat
dimensi kedua tinggi).
 penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada posisi pemimpin
(derajat dimensi ketiga juga tinggi).

Jika yang timbul sebaliknya, menurut Fiedler akan tercipta suatu situasi yang tidak
menyenangkan bagi pemimpin, selain itu pula bahwa kombinasi antara situasi yang
menyenangkan dengan gaya kepemimpinan akan menentukan efektivitas kerja (Miftah
Thoha, 2003 : 293).  Kesimpulan dari Konsep kepemimpinan kontingensi Fiedler adalah
perilaku kepemimpinan yang efektif tidak berpola pada salah satu gaya tertentu, melainkan
dimulai dengan mempelajari situasi tertentu pada suatu saat tertentu (Veitzhal Rivai, 2003:
61-62).

Pemecahan Masalah

Dalam menjalankan perannya sebagai pengambil keputusan, manajer harus mampu


menangani masalah-masalah yang terjadi dalam organisasi.  Sebagai penanganan masalah,
manajer mengambil tindakan korektif sebagai tanggapan terhadap masalah-masalah yang
tidak diduga sebelumnya (Stephen P. Robbins, 2002: 4).

Pengambilan keputusan merupakan penetapan alternatif pemecahan masalah terbaik dari


sejumlah alternatif yang ada.  Menurut Veitzhal Rivai, (2003 : 48) Proses pengambilan
keputusan berlangsung sebagai berikut:

1. Menghimpun data melalui pencatatan atau penelitian.


2. Menganalisis data
3. Menetapkan keputusan
4. Operasionalisasi keputusan menjadi tindakan
5. Selama berlangsung kegiatan sebagai pelaksanaan kegiatan akan diperoleh data baru.

Menurut John Robert Beishline (dalam Hasibuan, 2003 : 60), pemecahan masalah dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :

(1)     Manajemen konvensional (tradisional).  Masalah yang dihadapi manajer diselesaikan


berdasarkan tindakan-tindakan yang diambilnya pada masa lalu dan selalu berdasarkan
tradisi.  Dalam hal ini pengalaman manajer memegang peranan penting, pemecahan masalah
dengan cara ini kurang efektif dan efisien dan hanya bersifat untung-untungan saja.

(2)     Manajemen sistematis.  Manajer memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan


pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain yang menghadapi masalah yang kira-kira
sama.  Penyelesaian yang dipergunakan orang lain dengan berhasil baik, dipakai sebagai
pedoman dan dipraktekkannya.

(3)     Manajemen ilmiah (scientific management).  Manajer dalam memecahkan masalah


yang dihadapinya terlebih dahulu mempelajarinya dengan seksama, membuat suatu patokan
untuk bekerja, mengumpulkan data, informasi dan fakta, menetapkan pemecahan sementara,
dan memeriksa kembali pemecahan tersebut.

Proses Komunikasi

Perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh beberapa cara bentuk penyampaian informasi, maka
hanya melalui komunikasi kebutuhan dasar manusia dapat terpuasi (Komaruddin
Sastradipoera, 2002 :95).  Komunikasi adalah pengiriman pesan atau berita antara dua orang
atau lebih sehingga pesan dimaksud dapat dipahami (Veitzhal Rivai, 2003: 374).  Tidak ada
kelompok yang dapat eksis tanpa komunikasi, komunikasi adalah pentransferan dan
pemahaman makna (Stephen P. Robbins, 2002: 310).  Menurut Indriyo Gitosudarmo (1997:
195), komunikasi adalah merupakan suatu proses penyampaian ide, konsep, gagasan atau
informasi dari si pengirim kepada si penerima informasi.  Informasi yang diterima oleh si
penerima diharapkan sama dengan informasi yang disampaikan atau diberikan oleh si
pengirim.

Dalam organisasi, pencapaian tujuan dengan segala proses membutuhkan komunikasi yang
efektif, sehingga pemimpin menyampaikan informasi berupa perintah, atau bawahan
menyampaikan informasi laporan lisan maupun tulisan sehingga mencapai sasaran dengan
persepsi yang sama (Veitzhal Rivai, 2003: 138-139).

Fungsi komunikasi menjalankan empat fungsi utama di dalam suatu kelompok, atau
organisasi yaitu: pengendalian (kontrol, pengawasan), motivasi, pengungkapan emosional,
dan informasi (Stephen P. Robbins, 2002: 311). Komunikasi bertindak untuk mengendalikan
perilaku anggota dengan beberapa cara.  Setiap organisasi mempunyai hirarki wewenang dan
garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh karyawan.  Komunikasi membantu
perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada para karyawan untuk memperbaiki
kinerja yang di bawah standar.

Proses komunikasi adalah langkah-langkah antara satu sumber dan penerima yang
menghasilkan pentransferan dan pemahaman makna. 
Unsur pokok komunikasi adalah sebagai berikut: (1) sumber komunikasi, (2) pengkodean,
menterjemahkan informasi menjadi serangkaian simbol untuk komunikasi (3) pesan, (4)
saluran, (5) pendekodean atau interpretasi pesan menjadi sesuatu yang berarti, (6) penerima,
dan (7) umpanbalik. 
Proses komunikasi digambarkan sebagai berikut:

Model Proses Komunikasi

Pendapat senada dikemukakan oleh (Veitzhal Rivai, 2003: 374) dengan menambahkan unsur
gangguan dalam unsur pokok proses komunikasi tersebut.

Komunikasi yang efektif dan komunikatif merupakan hal yang penting bagi manajer karena :

(1)     Komunikasi merupakan alat bagi manajer untuk melaksanakan fungsi perencanaan,
fungsi pengorganisasian, fungsi kepemimpinan dan fungsi pengendalian.

(2)   Komunikasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manajer di setiap harinya
dan memakan waktu yang paling banyak dari waktu yang tersedia Indriyo Gitosudarmo
(1997 : 203).

Mintzberg (dalam Indriyo Gitosudarmo 1997: 203) mengemukakan konsep tentang peran
komunikasi dalam tiga jenis peran manajerial :

(1)   Berperan antar pribadinya, manajer bertindak sebagai simbol dan pemimpin serta
sebagai koordinator unit organisasinya.  Dia akan bereaksi dengan bawahan, pelanggan,
pemasok dan rekan setingkatnya, serta kalau perlu dengan atasannya.

(2)   Berperan informasionalnya, manajer akan selalu mencari informasi dari rekan setingkat,
bawahan, pemasok dalam organisasinya, serta kontak pribadi lainnya mengenai segala upaya
yang dapat mempengaruhi pekerjaan dan tanggungjawabnya.

(3)   Berperan keputusannya, manajer menangani gangguan dalam unit organisasinya dan
menangani pengalokasian sumberdaya kepada bagian-bagian yang membutuhkannya. 
Keputusan mungkin diambil sendiri atau melibatkan bawahan.

Ada tiga unsur pokok yang mengidentifikasi komunikasi yang relevan dengan ilmu perilaku
organisasi yaitu:

1. Sifat informasi, dipengaruhi banyak atau sedikitnya informasi, cara penyajian dan
pemahaman informasi.
2. Komunikasi Organisasi, dari sudut pandang ini komunikasi merupakan suatu proses
sosial yang mempunyai relevansi terluas dalam memfungsikan setiap kelompok,
organisasi atau masyarakat.
3. Komunikasi antar pribadi (Veitzhal Rivai, 2003: 375-376).
Keterampilan Manajerial

Robert Katz dalam Stephen P. Robbins (2002 : 4) dan Veitzhal Rivai (2003: 33) mengatakan
keterampilan manajerial yang efektif  adalah :

(1)   Keterampilan teknis, yaitu kemampuan menerapkan pengetahuan khusus atau keahlian
spesialisasi.

(2)   Keterampilan manusiawi, yaitu kemampuan bekerjasama, memahami dan memotivasi


orang lain, baik perorangan maupun dalam kelompok.

(3)   Keterampilan konseptual, yaitu kemampuan mental untuk menganalisis dan


mendiagnosis situasi rumit.

Menurut Hani Handoko (1997: 36-37) keterampilan-keterampilan manajerial umumnya


dibutuhkan untuk menjadi seorang manajer yang efektif antara lain :

(1)   Keterampilan konseptual (conceptual skills) adalah kemampuan mental untuk


mengkoordinasikan dan mengintegrasikan seluruh kegiatan organisasi.  Ini mencakup
kemampuan manajer untuk melihat organisasi sebagai suatu keseluruhan dan memahami
hubungan antar bagian yang saling bergantung, serta mendapatkan, menganalisa dan
menginterpretasikan informasi yang diterima dari bermacam-macam sumber.

(2)   Keterampilan kemanusiaan (human skills) adalah kemampuan untuk, memahami, dan
memotivasi orang lain, baik sebagai individu ataupun kelompok.  Manajer membutuhkan
keterampilan ini agar dapat memperoleh partisipasi dan mengarahkan kelompoknya dalam
pencapaian tujuan.

(3)   Keterampilan administratif (administrative skills) adalah seluruh keterampilan yang


berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, penyusunan kepegawaian dan pengawasan.
Keterampilan ini mencakup kemampuan untuk mengikuti kebijaksanaan dan prosedur,
mengelola dengan anggaran terbatas, dan sebagainya.  Keterampilan administratif adalah
suatu perluasan dari keterampilan konseptual.  Manajer melaksanakan keputusan-keputusan
melalui penggunaan keterampilan administratif.

(4)   Keterampilan teknik (technical skills) adalah kemampuan untuk menggunakan


peralatan-peralatan, prosedur-prosedur, atau teknik-teknik dari suatu bidang tertentu.

Pengalaman

Seseorang menjadi ahli dan terampil di bidangnya dapat disebabkan oleh pengetahuan yang
dimiliki baik yang diperoleh melalui proses pendidikan formal maupun pendidikan non
formal ataupun melalui pengalaman, yaitu aktivitas atau keseluruhan kegiatan yang telah
dilakukan atau dialami pada masa lalu.  Pengalaman menjadi sangat penting bagi seseorang,
karena pengalaman menjadi proses pembelajaran yang dapat membentuk perilaku.

Pengalaman barulah dapat melihat dan menangkap kenyataan dalam kesadaran, tetapi belum
tentu mampu menyusunnya dalam bentuk sebab akibat.  Dengan pengalaman yang berulang-
ulang memungkinkan seseorang mengetahui tentang sesuatu , termasuk gejala dan peristiwa. 
Dengan demikian mengetahui sesuatu dengan kemampuan berpikir asosiatif (Komaruddin
Sastradipoera, 2005:16)

Melalui pengalaman, seseorang menjadi lebih mudah untuk melaksanakan tugas yang sama
dan mempunyai potensi untuk menghadapi segala permasalahan yang bersangkut paut
dengan bidang keahliannya (Stephen P. Robbins, 2002 : 66). Membiasakan diri untuk belajar
dari pengalaman, dapat menambah kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku (Suparman Sumahamijaya, dikutip oleh Suryana, 2003 : 9).

Kewirausahaan

Mintzberg dalam Stephen P. Robbins (2002: 4) mengidentifikasi wiraswasta berperan pada


pengambilan keputusan, para manajer memprakarsai dan mengawasi proyek-proyek baru
yang akan menyempurnakan kinerja organisasi.  Lebih lanjut Stephen P. Robbins (2002: 5)
mengatakan wirausaha (entrepreneur) adalah mencari kesempatan dalam organisasi dan
lingkungannya serta memprakarsai proyek-proyek yang menimbulkan perubahan.

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan
sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses (Suryana, 2003: 1).  Kreatif adalah
kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan
masalah dan menemukan peluang (thinking new thing), sedangkan inovasi adalah
kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan
menemukan peluang (doing new thing).

Proses kreatif dan inovatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa dan sikap
kewirausahaan, yaitu orang yang percaya diri (yakin, optimis, dan penuh komitmen),
berinisiatif (energik dan percaya diri), memiliki motif berprestasi (berorientasi hasil dan
berwawasan ke depan), memiliki jiwa kepemimpinan (berani tampil berbeda), dan berani
mengambil risiko dengan penuh perhitungan (Suryana, 2003 : 2)

Seperti telah dikemukakan di atas, kewirausahaan mempelajari tentang nilai kemampuan, dan
perilaku seseorang dalam berkreasi dan berinovasi.  Oleh sebab itu, objek studi
kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku.  Menurut Soeparman Soemahamidjaja (dikutip oleh Suryana, 2003: 9), kemampuan
seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meliputi:

(1)   Kemampuan merumuskan tujuan hidup (usaha).  Dalam merumuskan tujuan hidup
(usaha) tersebut perlu perenungan, koreksi, yang kemudian berulang-ulang dibaca dan
diamati sampai memahami apa yang menjadi kemauannya.

(2)   Kemampuan memotivasi diri untuk melahirkan suatu tekad kemauan yang menyala-
nyala.

(3)   Kemampuan untuk berinisiatif, yaitu mengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu
orang lain, yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan berinisiatif.

(4)   Kemampuan berinovasi, yang melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan
berulang-ulang akan melahirkan motivasi.  Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri
untuk selalu mencari berbagai kemungkinan baru atau kombinasi baru apa saja yang dapat
dijadikan peranti dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran masyarakat.
(5)   Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang (capital goods).

(6)   Kemampuan untuk mengatur waktu dan membiasakan diri untuk selalu tepat waktu
dalam segala tindakan melalui kebiasaan yang selalu tidak menunda pekerjaan.

(7)   Kemampuan mental yang dilandasi agama.

(8)   Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari pengalaman yang
baik maupun menyakitkan.

Motivasi

Setiap organisasi mempunyai tujuan dan tujuan tersebut akan tercapai dengan berbagai upaya
memanfaatkan atau menggunakan berbagai sumberdaya yang ada secara optimal.  Intensitas
keberhasilan mencapai tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor
internal maupun faktor eksternal.  Yang termasuk faktor internal organisasi adalah faktor-
faktor manajemen (managerial factors) antara lain persepsi dan motivasi dari orang-orang
yang ada dalam organisasi tersebut, disamping faktor organisasi (organizational factors)
yaitu struktur dan desain organisasi yang ada.  Sedangkan faktor eksternal menyangkut faktor
lingkungan (environmental factors) yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Kinerja individu merupakan dasar dari kinerja organisasi, oleh karena itu perilaku organisasi
akan banyak dipengaruhi oleh perilaku individu dan atau perilaku kelompok dari individu-
individu yang ada dalam organisasi tersebut.  Pemahaman perilaku individu menjadi sangat
strategis dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan, sebab persepsi,
motivasi dan kemampuan berinteraksi menentukan kinerja (Gibson; Ivancevich; Donnelly,
1996: 124).  Hal tersebut berarti bila salah satu faktor rendah, maka tingkat prestasi akan
rendah walaupun faktor lainnya tinggi.

Prestasi individu memberikan kontribusi pada prestasi kelompok, dan prestasi kelompok
memberikan kontribusi pada prestasi organisasi.  Dalam organisasi yang sangat efektif,
manajemen membantu menciptakan sinergi positif, yang berarti bahwa keseluruhan akan
lebih besar artinya dibanding jumlah dari bagian-bagian.  Oleh karena itu kadang-kadang
kinerja yang luar biasa akan dapat dicapai hanya dengan membuat perubahan yang signifikan
terhadap organisasi secara menyeluruh.  Seperti yang disebutkan oleh (Gibson; Ivancevich;
Donnelly: 1996), bahwa perubahan organisasi adalah upaya terencana dari manajemen untuk
meningkatkan seluruh kinerja individu, kelompok, dan organisasi dengan mengubah struktur,
perilaku dan proses.  Apabila perubahan diimplementasikan dengan benar, individu dan
kelompok akan memberikan kinerja yang lebih efektif.  Komitmen, perencanaan dan usaha
evaluasi untuk meningkatkan kinerja merupakan potensi meraih keberhasilan.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa persepsi, motivasi dan kemampuan akan
berinteraksi menentukan kinerja, ini berarti untuk dapat memperoleh kinerja yang baik, maka
seseorang atau individu perlu diberi motivasi untuk berprestasi.  Kebanyakan manajer atau
pemimpin harus memotivasi orang atau kelompok orang yang berbeda-beda dan dalam
banyak hal tidak dapat diperkirakan.

Keragaman timbul dari pola-pola perilaku yang berbeda yang dalam keadaan tertentu
berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.  Sedangkan pengertian kebutuhan adalah efisiensi
atau kekurangan yang alami individu pada suatu waktu tertentu (Gibson; Ivancevich;
Donnelly, 1996: 186).  Kekurangan tersebut dapat berupa fisik (misalnya, kebutuhan akan
makan), psikologis (misalnya, kebutuhan untuk beraktualisasi diri, atau sosilogis (misalnya
kebutuhan untuk berinteraksi sosial).  Kebutuhan-kebutuhan merupakan pemicu dari respon
perilaku.  Implikasinya adalah bila kebutuhan ada, maka individu menjadi lebih mudah
terpengaruh kepada upaya memotivasi dari para manajer atau pimpinan.  Oleh karena itu
motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang atau individu yang menimbulkan
dan mengarahkan perilaku (Gibson; Ivancevich; Donnelly, 1996 : 185).  Sedangkan definisi
motivasi menurut Stephen P. Robbins (2002 : 166), kesediaan untuk mengeluarkan tingkat
upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu
dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual.

Teori motivasi terbagi ke dalam dua kategori: Teori kepuasan dan teori proses (Gibson;
Ivancevich; Donnelly, 1996 : 186).  Teori kepuasan memusatkan perhatian pada faktor-faktor
di dalam individu yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menganalisa
bagaimana perilaku didorong, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan.

Teori motivasi yang termasuk dalam kategori teori kepuasan adalah Teori motivasi yang
berpendapat bahwa manusia berperilaku karena ingin memenuhi kebutuhan dasarnya. 
Sedikitnya ada tiga kebutuhan pokok umum (Komaruddin Sastradipoera, 2002: 92) :

1. Motif fisiologis: Kebutuhan pokok manusia paling primitif yang melandasi motivasi
yang meliputi sandang, pangan, papan, dan tidur.
2. Motif sosiologis: Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, dan kebutuhan untuk
diterima orang disekitarnya.
3. Motif psikologis: Kebutuhan untuk diakui, berprestasi, status dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai