Anda di halaman 1dari 192

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344382004

Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Book · March 2019

CITATIONS READS

0 352

1 author:

Efri Syamsul Bahri


Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI
86 PUBLICATIONS   92 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Islamic Entrepreneurship View project

Accounting View project

All content following this page was uploaded by Efri Syamsul Bahri on 26 September 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pemberdayaan
Masyarakat Berkelanjutan
Non Fiksi

Efri Syamsul Bahri


Pemberdayaan
Masyarakat Berkelanjutan
Non Fiksi

Efri Syamsul Bahri

PARE-KEDIRI
2019
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Penulis:
Efri Syamsul Bahri

ISBN: 978-602-335-503-7

Editor:
Tim FAM Publishing

Penyunting:
Tim FAM Publishing

Desain sampul:
Tim FAM Publishing

Penata letak:
Devsev Desain

Penerbit:
FAM Publishing

Redaksi:
Kediri, Jawa Timur
Layanan SMS: 081350051745
Email: fampublishing@gmail.com, aishiterumenulis@gmail.com
Web: www.famindonesia.com

Cetakan pertama, Maret 2019

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apa pun secara
elektronik maupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit

All Rights Reserved


Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Kata Pengantar

Segala Puji bagi Allah SWT yang senantiasa mencurahkan


rahmat dan hidayah bagi hamba-hambaNya. Shalawat
berserta salam kepada baginda Rasulullah SAW yang telah
memberikan tuntutan dan contoh teladan bagi ummat
manusia agar hidupnya selamat baik di dunia maupun di
akhirat. Semoga kita termasuk golongan yang mendapatkan
keselamatan, keberkahan dan keridhoan dari Allah SWT.
Aamiin.
Buku ini disusun sebagai upaya untuk berkontribusi
di dalam mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat
yang terus tumbuh dan maju. Penerbitan buku ini juga
dimaksudkan untuk untuk memberikan motivasi kepada
ananda Muhammad Zaim Al Faruqy, Abdullah Mubarok
dan Afifah Nisa Karimah yang tengah menuntut ilmu agar
dapat menjadi bintang-bintang yang memberikan cahaya bagi
kemajuan bangsa, ummat dan negara. Semoga ananda semua
dapat sukses dalam mengenyam dunia pendidikan sehingga
mampu berkarya dan meraih ridho Ilahi Rabbi. Begitu juga
kepada istri tercinta Salsiati yang senantiasa memberikan
dorongan kepada penulis untuk terus berkontribusi dalam
membangun bangsa ini. Tak lupa pula penulis mengaturkan
terima kasih kepada Kakanda M. Indra, ST, adik-adik semua dr.

v
Efri Syamsul Bahri

Erniwati, Adityawarman, Budiman, Lc., MA (alm), Sunarmi,


Nurs dan Devi Anita, SE yang bersama-sama mendapatkan
didikan sejak kecil dari kedua orang tua.
Kepada papa Syamsul Bahri (alm) dan mama Nurtini
terima kasih yang tak terhingga atas didikan yang telah
diberikan kepada kami semua. Sungguh begitu berartinya
pendidikan sebagaimana selalu dipesankan kepada kami
untuk rajin sekolah.
Penulis menyadari banyak yang masih perlu
disempurnakan lagi dari buku ini. Sebagaimana disebutkan
dalam sebuah pepatah bahwa tak ada gading yang tak retak.
Penulis mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.

Bogor, Februari 2019


Efri Syamsul Bahri

vi
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Daftar Isi

Kata Pengantar......................................................................... v
Daftar Isi.................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................1
BAB II MAKNA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.......8
A. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat.................8
B. Hakekat Pemberdayaan Masyarakat...................13
C. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat...................15

BAB III PRINSIP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT....21

BAB IV PARTISIPASI DALAM PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT.......................................................25
A. Pengertian Partisipasi.............................................25
B. Manfaat Partisipasi..................................................25
C. Bentuk Partisipasi....................................................26
D. Faktor Pendorong Partisipasi................................27

BAB V PENGEMBANGAN MASYARAKAT.....................28


A. Pengertian Pengembangan Masyarakat..............28
B. Strategi Pengembangan Masyarakat....................29
C. Tahapan Pengembangan Masyarakat..................31

vii
Efri Syamsul Bahri

BAB VI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT... 37

BAB VII DESAIN PROGRAM PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT......................................................41

BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI PEMBERDA­-


YAAN MASYARAKAT........................................54
A. Konsep Monitoring dan Evaluasi.........................54
B. Tujuan Monitoring dan Evaluasi..........................56
C. Perbedaan Monitoring dan Evaluasi....................57
D. Prinsip-Prinsip Monitoring dan Evaluasi............59

BAB IX FAKTOR KESUKSESAN DAN KAGAGALAN...61


A. Faktor Kesuksesan Pemberdayaan Masyarakat...61
B. Faktor Kegagalan Pemberdayaan Masyarakat...64

BAB IX KEMISKINAN...........................................................67
A. Defenisi dan Karakteristik.....................................67
B. Penyebab Kemiskinan............................................72
C. Tipologi Kemiskinan...............................................76
D. Instrumen Pengentasan Kemiskinan....................77
E. Pengentasan Kemiskinan.......................................80
F. Pengukuran Kemiskinan........................................81

BAB X MODAL SOSIAL........................................................84


A. Defenisi Modal Sosial.............................................84
B. Jenis Modal Sosial....................................................84
C. Dimensi Modal Sosial.............................................85

viii
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB XI SPIRITUALITAS.......................................................88
A. Defenisi Spiritualitas...............................................88
B. Dimensi Spiritualitas...............................................90
C. Pendekatan Pemberdayaan ..................................91

BAB XII KESEJAHTERAAN MUSTAHIK..........................94


A. Defenisi Kesejahteraan Mustahik..........................94
B. Tujuan Kesejahteraan Mustahik............................95
C. Indikator Kesejahteraan Mustahik........................97
D. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Mustahik.....98
E. Kesejahteraan Dalam Perspektif Islam.................99

BAB XIII KESEJAHTERAAN SOSIAL...............................103


A. Pengertian...............................................................103
B. Sudut Pandang Kesejahteraan Sosial.................105

BAB XIV KELEMBAGAAN................................................109


A. Pengertian...............................................................109
B. Tujuan.....................................................................109
C. Ciri Kelembagaan Masyarakat............................110

BAB XV KOPERASI..............................................................113
A. Sejarah Koperasi....................................................113
B. Konsep-Konsep Koperasi.....................................114
C. Jenis Koperasi.........................................................115
D. Koperasi Syariah....................................................120

BAB XV PEMBELAJARAN PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT...................................................124

ix
Efri Syamsul Bahri

A. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Koperasi


Ikhtiar Swadaya Mandiri di Buanajaya Tanjungsari
Kabupaten Bogor.........................................................124
B. Pemberdayaan Wanita Kepala Keluarga Pasca
Tsunami Aceh...............................................................133
C. Model Desain Program Membangun Lumbung
Ternak............................................................................155
D. SMK Mitra Indonesia, Sekolah Wirausaha Anak
Petani.............................................................................161

DAFTAR PUSTAKA.............................................................170
Profil Penulis..........................................................................177

x
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
BERKELANJUTAN

EFRI SYAMSUL BAHRI

xi
Efri Syamsul Bahri

“... Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum,


sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri...” (QS 13:11).

xii
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN

Kemiskinan menurut Abdurrachman Qadir (2001)


merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit
umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran.
Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa
kefakiran itu mendekati pada kekufuran (Sartika, 2008).
Kemiskinan yang menjadi permasalahan sebagian kehidupan
manusia memang telah ada sejak dahulu kala. Kemiskinan
bukanlah permasalahan yang menyangkut individu atau
pribadi seseorang saja tetapi menyangkut semua aspek seperti
masyarakat sekitar, daerah maupun negara bahkan dunia.
Kemiskinan juga tidak hanya ditangani secara individu, tetapi
juga harus ditangani oleh masyarakat, pemerintah daerah
maupun negara. (Chaniago, 2015)
Oleh karena itu, kemiskinan merupakan tantangan
utama pembangunan di negara-negara dunia ketiga,
termasuk Indonesia (Effendie, 2008, hal. 187). Melalui
pembangunan, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa
jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau
40% dari jumlah penduduk (1976) menjadi 22,5 juta jiwa atau
sekitar 11,3% (1996). Namun, adanya krisis ekonomi tahun

1
Efri Syamsul Bahri

1998 mengakibatkan terjadi peningkatan jumlah penduduk


miskin sebesar 400%, dimana pada tahun 1997 dari 22 juta
jiwa menjadi 80 juta jiwa (BPS, 2005). (Andriyanto, 2014)
Pada konteks Indonesia, kemiskinan dan pengentasannya
pada dasarnya masih menjadi persoalan besar yang perlu
dientaskan, baik dilihat dari aspek ekonomi, layanan sosial
dan aksesnya, maupun dari berbagai kategori kemiskinan
lainnya yang dilihat dari berbagai ukuran dan sudut pandang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, penduduk
miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita per bulan
di bawah Garis Kemiskinan) per Maret 2017 masih sangat
tinggi yaitu mencapai 27,77 juta orang, atau 10,64 % dari total
jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut meningkat
dari tahun sebelumnya (September 2016) yaitu: sekitar 690
ribu jiwa. (BAZNAS, Dampak Zakat Terhadap Kesejahteraan
Mustahik di Indonesia; Evaluasi Program Zakat Produktif
BAZNAS, 2017)
Kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh kesenjangan
kronis yang terjadi sejak tahun 1960-an hingga krisis yang
terjadi sejak pertengahan tahun 1997 (Effendie, 2008, hal.
187). Kemiskinan sering disebabkan oleh faktor kultural dan
struktural, oleh karenanya analisisnya pun hendaklah melalui
pendekatan kultural dan struktural. (Idris, 2017)
Upaya penanggulangan telah dilakukan oleh
Pemerintah, yang dilaksanakan sejak tahun 1970-an hingga
sekarang belum mampu mengurangi jumlah penduduk
miskin, yang pada tahun 2001 masih berkisar 40 juta jiwa.
Kondisi kemiskinan di atas membuat daya saing nasional
melemah terhadap dunia internasional (Effendie, 2008, hal.
187). Akibat kemiskinan yang terjadi telah membuat banyak
anak-anak tidak bisa bersekolah atau melanjutkan pendidikan

2
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

apalagi yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,


kurang gizi dan lain sebagainya. (Chaniago, 2015)
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan hasil
survei pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia
sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia. Hasil ini menunjukkan penduduk
miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan dengan (hasil
survei) Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42
persen (dari total populasi). Menurut Arizal Manaf Deputi
Statistik Sosial BPS, penduduk miskin didominasi penduduk
pedesaan yaitu 20,62 juta jiwa atau 17,35 persen dari total
penduduk di desa. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan
sebesar 11,91 juta jiwa atau 10,72 persen dari total penduduk
kota. (News, 2009)
Kemiskinan merupakan permasalahan yang harus
segera tuntas karena keadaan kemiskinan membuat bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang lemah dan tidak bermartabat.
Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi Indonesia dapat
kita lihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin,
kemiskinan multidimensi dan kesenjangan antar-wilayah.
(Wrihatnolo, 2008, hal. 15-19)
Pertama, konsumsi penduduk miskin. Masalah
kemiskinan dapat kita amati pada tingkat konsumsi penduduk
Indonesia. Pendekatan konsumsi penduduk untuk melihat
fenomena kemiskinan dapat dilihat dari dua jenis ukuran,
yaitu ukuran konsumsi penduduk miskin dan ukuran daya
beli. Ukuran konsumsi penduduk miskin diukur dari garis
kemiskinan makanan dan non makanan.
Kedua, kemiskinan multidimensi. Fenomena kemiskinan
di Indonesia dapat diamati pada berbagai dimensi yang
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin

3
Efri Syamsul Bahri

tidak mampu menikmati pelayanan dasar. Pada tahun 2002,


sebesar 52,32 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses
air minum. Selain itu, sekitar 43,86 persen rumah tangga
miskin hidup tanpa akses sanitasi. Dimensi berikutnya adalah
rumah tangga miskin yang memiliki anak usia 12-15 tahun,
tetapi tanpa akses pendidikan dasar menengah mencapai
20,76 persen. Kemudian tercatat pula sekitar 27,89 persen
rumah tangga miskin yang pernah melahirkan bayi tanpa
ditangani tenaga kesehatan terlatih. Dengan demikian, kita
dapat mengatakan bahwa kelompok penduduk miskin sangat
jarang menikmati fasilitas air minum, sanitasi, pendidikan
dan kesehatan. Secara umum Index Kemiskinan Manusia
Indonesia tahun 2005 diperkirakan sebesar 18,19. Kondisi
ini lebih baik dibandingkan lima tahun sebelumnya dengan
index sebesar 27,75.
Ketiga, kesenjangan antar-wilayah. Masalah kemiskinan
dapat kita pahami dari masalah kesenjangan di Indonesia
yang sangat kentara ketika kita mengamati indikator
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI). IPMI
menggambarkan kondisi kesehatan, pendidikan, gizi dan
air minum yang dialami penduduk Indonesia. Laporan
Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 yang memuat
IPMI di masing-masing kabupaten/kota mencerminkan
adanya ketimpangan antar daerah yang masih tinggi dalam
hal kesejahteraan penduduk miskin di masing-masing
kabupaten/kota.
Salah satu strategi untuk menghadapi masalah
kemiskinan tersebut adalah melalui pemberdayaan
masyarakat. Strategi pemberdayaan masyarakat (community
development) bertujuan untuk mendorong penduduk miskin
untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan

4
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang


mereka alami sendiri. Masyarakat miskin bukan sebagai objek
melainkan subjek. Keberdayaan penduduk miskin ditandai
dengan semakin bertambahnya kesempatan kerja yang
diciptakan sendiri oleh penduduk miskin secara kolektif dan
pada gilirannya akan memberikan tambahan penghasilan,
meringankan beban konsumsi, serta meningkatkan nilai
simpanan/ asset keluarga miskin. Keberdayaan penduduk
miskin juga ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas
penduduk miskin secara kolektif dalam mengelola organisasi
pembangunan secara mandiri. (Wrihatnolo, 2008, hal. 22)
Strategi ini diterapkan dalam berbagai program yang
menggunakan prinsip dasar bahwa apabila mempunyai
kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri,
orang miskin dapat berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga
dan masyarakatnya. Prinsip demikian lebih lanjut dituangkan
dalam mekanisme pelaksanaan kegiatan yang mengandalkan
kekuatan masyarakat miskin setempat dengan fasilitasi dari
tenaga pendamping, aparat desa dan kecamatan. Mekanisme
efektif menghidupkan pemberdayaan masyarakat agar
mereka mampu merencanakan, membangun dan memelihara
hasil kegiatan secara mandiri. (Wrihatnolo, 2008, hal. 23)
Pemberdayaan masyarakat merupakan tugas mulia
dan amanah yang telah dan terus dilakukan oleh berbagai
pihak secara berkelanjutan baik individu, kelompok maupun
lembaga yang tidak akan pernah selesai. Hal ini sesuai dengan
sunnatullahnya bahwa Allah SWT sebagai pencipta makhluk
yang ada di bumi menciptakan segala sesuatunya secara
berpasang. Ada pria, ada wanita. Ada senang dan ada susah.
Ada kaya dan ada yang miskin. Dan lainnya. Oleh karenanya,
betapapun kemajuan terus terjadi, tentu akan ada masyarakat

5
Efri Syamsul Bahri

yang tertinggal, tidak mampu mengikuti perkembangan


zaman. Disinilah letak pentingnya pemberdayaan masyarakat
berkelanjutan agar mampu memberikan daya, kekuatan dan
energi kepada saudara-saudara kita yang terdampak dari
perkembangan zaman agar mereka mampu untuk bertahan,
bangkit dan berdaya.
Buku ini diharapkan menjadi media pembelajaran bagi
para praktisi, akademisi, peneliti maupun pengambil kebijakan
Dan lainnya. Oleh karenanya, betapapun kemajuan terus terjadi, tentu akan ada masyarakat
pemberdayaan masyarakat.
yang tertinggal, tidak mampu Untuk zaman.
mengikuti perkembangan memberikan
Disinilah letak gambaran
pentingnya
pemberdayaan masyarakat berkelanjutan agar mampu memberikan daya, kekuatan dan energi
tentang buku kita
kepada saudara-saudara ini,yangmaka
terdampakkami menyajikan
dari perkembangan zaman agarPeta Konsep
mereka mampu
untuk bertahan, bangkit dan berdaya.
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan sebagaimana
Buku ini diharapkan menjadi media pembelajaran bagi para praktisi, akademisi,
disajikan
peneliti pada gambar
maupun pengambil bagan
kebijakan di bawah
pemberdayaan ini. Untuk memberikan
masyarakat.
gambaran tentang buku ini, maka kami menyajikan Peta Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Berkelanjutan sebagaiman disajikan pada gambar bagan di bawah ini.

Gambar 1Gambar
Peta1Konsep Pemberdayaan
Peta Konsep Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan
Berkelanjutan

• Perubahan Sikap
• Sumberdaya (Attitide)
• Individu
Individu • Peningkatan Berdaya • Peningkatan
Pengetahuan
• Sumberdaya • Keluarga Kesejahteraan
(Knowledge)
Keluarga Berdaya Masyarat
Input
• Sumberdaya
Proses • Penguatan Output
• Kelompok
Impact • Kelembagaan
Keterampilan
Kelompok Berdaya Masyarakat
(Skill)
• Sumberdaya •• Kelembagaan
Kelembagaa Berkelanjutan
• Dukungan
Pengelolaan Berdaya
Kelembagaan n Berdaya • Menjadi munfiq
sumberdaya
terkait dan muzaki

Input Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan


Input Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan dalam bentuk 3 (tiga) sumberdaya, yaitu:
dalam
sumberdayabentuk
individu, 4 (empat)
sumberdaya sumberdaya,
kelompok dan sumberdaya yaitu: sumberdaya
kelembagaan. Proses
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan terdiri dari 4 (empat) aktivitas, yaitu: perubahan
individu,
sikap (attitide),sumberdaya keluarga,
peningkatan pengetahuan sumberdaya
(knowledge), kelompok
penguatan keterampilan dan
(skill),
dukungan sumberdaya (resource). Misalnya: sumberdaya yang terkait aspek dana,
sumberdaya
pemasaran, produksi, kelembagaan.
kemitraan, teknologi,Proses Pemberdayaan
dan lainnya. Output Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat
Berkelanjutan ada 3 (tiga), yaitu: individu berdaya, keluarga berdaya, kelompok berdaya dan
Berkelanjutan
kelembagaan berdaya. terdiri dari Pemberdayaan
Dampak (impact) 4 (empat)Masyarakat
aktivitas, yang adalah
Berkelanjutan terkait
peningkatan kesejahteraan masyarat dana kemandirian kelembagaan masyarakat
dengan perubahan
berkelanjutan sikap
serta jiwa-jiwa, (attitide),
komunitas, lembagapeningkatan pengetahuan
yang concern untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat berkelanjutan.
(knowledge), penguatan keterampilan (skill), dan pengelolaan
sumberdaya (resource) terkait. Misalnya: sumberdaya

6
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

yang terkait aspek dana, pemasaran, produksi, kemitraan,


teknologi, dan lainnya. Output Pemberdayaan Masyarakat
Berkelanjutan ada 4 (empat), yaitu: individu berdaya,
keluarga berdaya, kelompok berdaya dan kelembagaan
berdaya. Dampak (impact) Pemberdayaan Masyarakat
Berkelanjutan adalah peningkatan kesejahteraan masyarat
dana kemandirian kelembagaan masyarakat berkelanjutan
serta jiwa-jiwa, komunitas, lembaga yang concern untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat berkelanjutan.

7
Efri Syamsul Bahri

BAB II MAKNA PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT

A. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat


Asal kata ‘pemberdayaan’ dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (WJS Poerwadarminta, 1985) adalah ‘daya’. Arti
daya adalah kekuatan atau tenaga, misalnya: daya pikir,
daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup,
daya tahan, sudah tak ada dayanya lagi. Daya juga berarti
pengaruh, misalnya: memang tak sedikit daya pendidikan
barat kepada para pujangga angkatan baru. Arti lain dari kata
daya adalah akal, jalan (cara, ikhtiar), misalnya: apa daya,
seribu daya, bermacam-macam daya, habis segala daya untuk
mengatasi kesulitan itu (Sobirin, 2008) dalam (Bahri, 2013,
hal. 19); (Ariani, 2016, hal. 278-279).
Dalam fisika, daya adalah kecepatan melakukan kerja.
Daya sama dengan jumlah  energi 
yang dihabiskan per
satuan waktu. (Wikipedia, 2019) Artinya daya merupakan
kumpulan energi yang dimiliki sehingga tujuan pemberdayaan
termasuk untuk menghasilkan dan mengumpulkan energi
yang bisa didayagunakan secara optimal untuk kebaikan.
Energi-energi inilah yangperlu diproduksi dan dikumpulkan

8
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

oleh masyarakat agar mereka bisa berdaya.


Pemberdayaan berasal dari penerjemahan bahasa Inggris
“empowernment” yang juga dapat bermakna “pemberian
kekuasaan”. Karena power bukan sekadar “daya”, tetapi juga
“kekuasaan”, sehingga kata “daya” tidak saja bermakna
“mampu”, tetapi juga “mempunyai kuasa”. (Wrihatnolo,
Randy R dan Riant Nugroho D., 2008:15-19) dalam (Bahri,
Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi, 2013);
(Ariani, 2016, hal. 278-279).
Menurut Gajanayake (1993, h.6) pemberdayaan adalah
konsep di atas partisipasi, yang terpenting darinya adalah
upaya untuk membantu orang dalam membebaskan diri
secara fisik maupun mental. (Robert Durianto, 2013, hal. 23)
Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Chambers
dan Effendie. Menurut (Chamber, 1995) pemberdayaan
masyarakat adalah konsep pembanguan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai masyarakat untuk membangun
paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people-
centered, participatory, empowerment dan sustainable. Lebih jauh
Chamber menjelaskan bahwa konsep pembangunan dengan
model pemberdayaan masyarakat tidak hanya semata-
mata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat
tetapi lebih sebagai upaya mencari alternative pertumbuhan
ekonomi lokal. (Noor, Pemberdayaan Masyarakat, 2011, hal.
88)
Lebih jauh menurut Chambers, memberdayakan
masyarakat adalah upaya untuk mengangkat harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan
dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan
adalah memampukan dan memandirkan masyarakat. (Ariani,

9
Efri Syamsul Bahri

2016, hal. 278-279). Pandangan senada diungkapkan (Sutikno,


2015, hal. 136), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu
untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah
memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Effendie
(2008) dalam (Ariani, 2016, hal. 279) yang menyebutkan
bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial.
Nilai sosial (Aisah, 2015) adalah sesuatu yang menjadi ukuran
dan penilaian pantas tidaknya suatu sikap yang ditujukan
dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai ini memperlihatkan
sejauh mana hubungan seorang individu dengan individu
lainnya terjalin sebagai anggota masyarakat. Nilai sosial sangat
nyata dalam aktivitas bermasyarakat. Nilai sosial tersebut
dapat berupa nilai gotong royong, ikut terlibat dalam kegiatan
musyawarah, kepatuhan, kesetiaan, dan lain sebagainya.
Adapun nilai-nilai yang menyangkut tentang nilai sosial
adalah nilai perilaku yang menggambarkan suatu tindakan
masyarakat, nilai tingkah laku yang menggambarkan suatu
kebiasaan dalam lingkungan masyarakat, serta nilai sikap
yang secara umum menggambarkan kepribadian suatu
masyarakat dalam lingkungannya (Alfin 2010) dalam (Aisah,
2015).
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup
pengertian community development (pembangunan masyarakat)
dan community-based development (pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul
istilah community-driven development yang diterjemahkan

10
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau


diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.
(Ariani, 2016, hal. 278-279)
Pengertian pemberdayaan masyarakat terus mengalami
perkembangan. Bahkan beberapa ahli mengemukakan
definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-
cara pemberdayaan (Suharto,1997:210-224). Pertama, dari
aspek tujuan, pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan
kekuasaaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung
(Ife,1995). Kedua, dari aspek proses, pemberdayaan adalah
sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat
untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan
mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-
lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan
menekankan bahwa orang memperoleh ketrampilan,
pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup mempengaruhi
kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya (Parson,et.al.,1994). Ketiga, pemberdayaan
menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan
melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987). Dan
Keempat, dari aspek cara-cara pemberdayaan, pemberdayaan
adalah suatu cara dengan nama rakyat, organisasi dan
komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa
atas) kehidupannya (Rappaport, 1984). (Hariyanto, 2014)
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh pemerintah, menurut Sumodiningrat (1999,
h.134) pemberdayaan dilakukan pemerintah dikategorisasi
ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1) Kebijaksanaan secara
tidak langsung terarah pada sasaran tetapi memberikan
dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial
ekonomi rakyat. 2) Kebijaksanaan secara langsung terarah

11
Efri Syamsul Bahri

pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. 3)


Kebijaksanaan khusus yang menjangkau lapisan masyarakat
miskin melalui upaya tertentu secara khusus. (Robert
Durianto, 2013, hal. 24)
Subejo dan Narimo dalam Mardikanto dan Soebiato
(2012, h.31) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah bentuk upaya disengaja untuk memfasilitasi
masyarakat lokal di dalam merencanakan, mengambil
keputusan, dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki
melalui networking dan collective action sehingga pada
akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian
secara ekonomi, sosial dan ekologi. (Robert Durianto, 2013,
hal. 24)
Pengertian pemberdayaan masyarakat dari tahun ke
tahun dan dari zaman ke zaman mengalami perkembangan
secara dinamis. Begitu juga pada era revolusi industri 4.0 yang
terjadi saat ini. Pemberdayaan masyarakat perlu menyesuaikan
dengan perkembangan zaman. Maka kami manawarkan
konsep Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan yang
bertumpu pada tiga aspek yaitu: input, proses dan output.
Melalui implementasi ketiga aspek ini, diharapkan akan
menghasilkan outcome dan impact.
Aspek pertama adalah Input. Input pada Pemberda­
yaan Masyarakat Berkelanjutan dalam bentuk 4 (empat) sum-
berdaya, yaitu: sumberdaya individu, sumberdaya keluarag,
sumberdaya kelompok dan sumberdaya kelembagaan.
Aspek kedua adalah Proses. Proses Pemberdayaan
Masyarakat Berkelanjutan terdiri dari 4 (empat) aktivitas
yang terkait dengan Perubahan Sikap (Attitide), Peningkatan
Pengetahuan (Knowledge), Penguatan Keterampilan (Skill)
dan Pengelolaan Sumberdaya Terkait. misalnya: sumberdaya

12
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

yang terkait aspek dana, pemasaran, produksi, kemitraan,


teknologi, dan lainnya.
Aspek ketiga adalah Output. Output Pemberdayaan
Masyarakat Berkelanjutan ada 4 (empat), yaitu: yaitu:
Individu Berdaya, Keluarga Berdaya, Kelompok Berdaya
dan Kelembagaan Berdaya. Dari ketiga aspek ini diharapkan
secara berkelanjutan menghasilkan outcome dan impact
jangka panjang yaitu: peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan kelembagaan masyarakat berkelanjutan serta jiwa-
jiwa, komunitas, lembaga yang concern untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat berkelanjutan. Dengan adanya
3 (tiga) aspek ini, diharapkan pemberdayaan masyarakat
dapat bertahan, tumbuh, hidup, maju dan berkembang secara
berkelanjutan untuk mensejahteraakan masyarakat baik
dalam konteks kesejahteraan material maupun spiritual.

B. Hakekat Pemberdayaan Masyarakat


Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan
(empowerment) pada hakikatnya bertujuan untuk
membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan
dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk
mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan
tindakan. Pemberdayaan dilakukan dengan jalan
meningkatkan kapasitas, pengembangan rasa percaya diri
untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer kekuatan dari
lingkungannya. Sebagai suatu proses, pemberdayaan adalah
usaha yang terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia.
(Ohoiwutun, 2017, hal. 34)
Pemberdayaan sebagai sebuah program mempunyai
makna bahwa pemberdayaan merupakan tahapan-tahapan

13
Efri Syamsul Bahri

kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam kurun


waktu tertentu. Dalam konteks ini, pelaksanaan program
pemberdayaan dibatasi waktu, sehingga tampak sebagai
kegiatan keproyekan. Kondisi seperti ini tentu tidak
menguntungkan bagi pelaksana program maupun komunitas
target, karena sering terjadi kegiatan terputus di tengah jalan
dan kurangnya koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam
program. (Ohoiwutun, 2017, hal. 34)
Hakekat pemberdayaan menurut (Sobirin, 2009) dalam
(Bahri, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi,
2013, hal. 21) ada 5 (lima). Pertama, pemberdayaan adalah
proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke status
yang lebih tinggi. Kedua, pemberdayaan adalah metode,
yaitu: sebagai suatu pendekatan agar masyarakat berani
meng ungkapkan pendapatnya. Ketiga, pemberdayaan
adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang
hasilnya terukur menuju kehidupan rakyat yang mandiri
dan sejahtera. Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu
membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Kelima, pemberdayaan adalah
pemberian otorisasi, yaitu: menempatkan masyarakat sebagai
subyek dalam pembangunan. Jadi pemberdayaan harus
dilihat secara komprehensif dengan produk akhir masyarakat
menjadi berdaya, memiliki otoritas, menjadi subyek dalam
pembangunan, dan kehidupannya menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
Pemberdayaan pada hakekatnya juga merupakan
dakwah dalam artian mengajak kepada yang ma’ruf dan
nahi mungkar. Menurut Ibnu Manzhur, ma’ruf ialah semua
kebaikan yang dikenal oleh jiwa dimana yang membuat hati
manusia menjadi tenteram. Sedangkan munkar adalah lawan

14
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dari ma’ruf yaitu: kedurhakaan, perbuatan munkar yaitu:


perbuatan yang menyuruh kepada kedurhakaan. Dengan
demikian, munkar adalah semua keburukan yang dikenal
oleh jiwa manusia yang membuat hatinya tidak tenteram.
(Zulkarnain, 2017)
Dengan demikian terwujud masyarakat yang
berperadaban, baldatun thoyyibatun warobbun ghofur.
Masyarakat yang di dalamnya saling tolong menolong dan
berakhlakul karimah yang mengakui keberadaan Allah
sebagai Yang Maha Pencipta alam semesta.

C. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan masyarakat yang efektif adalah yang
dilakukan secara bertahap. Tujuan adanya tahapan ini adalah
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
menyiapkan diri untuk mengelola aktivitas pemberdayaan.
Pemberdayaan menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto
(2008:1-7) adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah
“proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai
tiga tahapan, yaitu: penyadaran, pengkapasitasan dan
pendayaan. (Bahri, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan
Aplikasi, 2013, hal. 30-33); (Ariani, 2016, hal. 279-280).
Pertama, penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak
diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian
penyadaran bahwa mereka mem punyai hak untuk mempunyai
“sesuatu”. Misalnya, target adalah kelompok masyarakat
miskin. Kepada mereka diberikan pemahaman bahwa mereka
da pat menjadi berada, dan itu dapat dilakukan jika mereka
mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya.
Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini
misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi,

15
Efri Syamsul Bahri

belief, dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target


mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand”)
diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari
dalam diri mereka (tidak dari orang luar).
Kedua, pengkapasitasan. Inilah yang sering kita sebut
“capacity building”, atau dalam bahasa yang lebih sederhana
memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya atau
kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu.
Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu: manusia,
organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia dalam
arti memampukan manusia baik dalam konteks individu
maupun kelompok. Kita tidak asing dengan konsep ini karena
sudah amat sering melakukan pelatihan, workshop , seminar,
dan sejenisnya-dimasa “Orba” kita juga sering menggunakan
istilah “simulasi” untuk sosialisasi P4.
Arti dasarnya adalah memberikan kapasitas kepada
individu dan kelompok manusia untuk mampu menerima daya
atau kekuasaan yang akan akan diberikan. Pengkapasitasan
organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi
yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut.
Misalnya sebelum diberikan peluang usaha, bagi kelompok
miskin dibuatkan Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR).
Pengkapasitasan organisasi ini seringkali kita abaikan, pada
maknanya ibarat “menyiapkan medium sebelum meletakkan
sediaan”; sama halnya sebelum kita menanam bibit jagung,
kita siapkan pula lahannya. Pengkapasitasan ketiga adalah
sistem nilai. Setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan,
sistem nilainya pun demikian. Sietem nilai adalah “aturan
main”. Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan
deng an Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,
Sistem dan Prosedur, Peraturan Koperasi dan sejenisnya. Pada

16
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya
organisasi, etika dan good gover nance. Pengkapasitasan sistem
nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan
“aturan main” di antara mereka sendiri.
Ketiga, pemberian daya atau “empowernment” dalam
makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya,
kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai
dengan kua litas kecakapan yang telah dimiliki. Pokok
gagasannya adalah bahwa proses pemberian daya atau
ke kuasaan diberikan sesuai dengan kecakapan penerima.
Pemberian kredit kepada suatu kelompok miskin yang sudah
melalui proses penyadaran dan peng kapasitasan masih perlu
disesuaikan dengan kemampuannya mengelola usaha. Jika
perputaran usaha nya hanya mampu mencapai lima juta
rupiah, tidak lah bijaksana jika diberikan pinjaman atau modal
sebesar lima puluh juta rupiah.
Sedangkan tahapan pelaksanaan pemberdayaan model
kedua adalah menurut Subejo dan Supriyanto (2004) dalam
(Bahri, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi,
2013, hal. 33-36), yaitu: dimulai dari dari proses seleksi lokasi
sampai dengan pemandirian masyarakat. Secara rinci masing-
masing tahapan diuraikan sebagai berikut. Pertama, Seleksi
Lokasi/Wilayah Seleksi desa atau dusun dilakukan sesuai
dengan kri teria yang disepakati oleh lembaga, pihak-pi hak
terkait dan masyarakat. Penetapan kriteria penting agar tujuan
lembaga dalam pemberdayaan masyarakat akan tercapai serta
pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin.
Kedua, Sosialisasi Pemberdayaan Masyarakat (PM).
Kegiatan ini untuk menciptakan komunikasi serta dialog
dengan masyarakat. Sosialisasi PM membantu untuk
meningkatkan pengertian masyarakat dan pihak terkait

17
Efri Syamsul Bahri

tentang program. Proses sosialisasi sangat menentukan


ketertarikan masyarakat untuk berperan dan terlibat dalam
program. Ketiga, Proses Pemberdayaan Masyarakat. Maksud
pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf
hidupnya (tujuan umum).
Dalam proses tersebut masyarakat bersama-sama
melakukan hal-hal berikut (Tim Deliveri, 2004). Pertama,
Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan, potensinya
serta peluang Tahap ini sering dikenal dengan “kajian
keadaan pedesaan partisipatif” atau sering dikenal dengan
Participatory Rural Appraisal (PRA).
PRA adalah suatu pendekatan yang memanfaatkan
macam-macam teknik visualisasi (misalnya gambar, tabel
dan bentuk diagram) untuk proses analisa keadaan. Kegiatan
ini di maksudkan agar masyarakat mampu dan percaya diri
dalam mengidentifikasi serta menganalisa kedaannya, baik
potensi maupun permasalahannya. Pada tahap ini diharapkan
dapat diperoleh gambaran mengenai aspek sosial, ekonomi
dan ke lembagaan. Tahapan dalam proses kajian meliputi:
(1) persiapan desa dan masyarakat (menentukan teknis
pertemuan), (2) persiapan dalam tim (kesepakatan teknik
PRA, alat dan bahan, pembagian peran dan tanggungjawab),
(3) pelaksanaan kajian keadaan: kegiatan PRA dan (4)
pembahasan hasil dan penyusunan rencana tindak lanjut.
Kedua, Menyusun rencana kegiatan kelompok
berdasarkan hasil kajian Setelah teridentifikasi segala
potensi dan permasalahan masyarakat. Langkah selanjutnya
adalah memfokuskan kegiatan pada masyarakat yang
benar-benar tertarik untuk melakukan kegiatan bersama.
Pembentukan kelompok berdasar kemauan masyarakat dan

18
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dapat menggunakan kelompok-kelompok yang sudah ada


sebelumnya dilengkapi dengan kepengurusan dan aturan.
Kelompok dengan difasiltasi oleh fasilitator menyusun
rencana kelompok berupa rencana kegiatan yang konkrit
dan realistis. Tahapan p nyusunan dan pelaksanaan rencana
kelompok:
– Memprioritaskan dan menganalisa masalah- masalah
hasil PRA lebih rinci
– Identifikasi alternatif pemecahan masalah terbaik
– Identifikasi sumberdaya yang tersedia untuk pemecahan
masalah
– Pengembangan rencana kegiatan serta pengorganisasian
pelaksanaannya

Ketiga, Menerapkan rencana kegiatan kelompok Rencana


yang telah disusun bersama dengan dukungan fasilitasi dari
pendamping selanjutnya diimplementasikan dalam kegiatan
yang kon- krit dengan tetap memperhatikan realisasi dan ren
cana awal. Pemantauan pelaksanaan dan ke majuan kegiatan
menjadi perhatian semua pihak, selain itu juga dilakukan
perbaikan jika diperlukan.
Keempat, Memantau proses dan hasil kegiatan secara
terus menerus (Monitoring dan Evaluasi Partisipatif/ M &
EP). M & EP dilakukan secara mendalam pada semua tahapan
pemberdayaan masyarakat agar proses pengembangan
masyarakat berjalan deng an tujuannya. M & EP adalah
suatu proses pe nilaian, pengkajian dan pemantauan kegiatan
pengembangan masyarakat, baik prosesnya (pelaksanaan)
maupun hasil dan dampaknya agar dapat disusun proses
perbaikan kalau diperlukan.
Kelima, Pemandirian Masyarakat. Berpegang pada

19
Efri Syamsul Bahri

prinsip pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk


memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya,
maka arah pen dampingan kelompok adalah mempersiapkan
masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri
kegiatannya.
Pelaksanaan pemberdayaan dapat dilakukan dengan
dalam bentuk kegiatan sebagai berikut: Pelatihan Fasilitator,
Pelatihan Kelompok Sasaran, Membangun Komitmen
Kelompok, Mengorganisir Kelompok, Melaksanakan Program,
Melaporkan Pelaksanaan Program dan Mengevaluasi
Kemajuan Program.

20
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB III PRINSIP PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat juga dapat diwujudkan


dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan
masyarakat, yaitu (Karsidi, 2002): (1) Belajar dari masyarakat;
(2) Pendamping sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pelaku;
(3) Saling belajar, saling berbagi pengalaman. (Sutikno, 2015,
hal. 136)
Menurut Effendi (2008:58) dalam (Bahri, Pemberdayaan
Masyarakat: Konsep dan Aplikasi, 2013, hal. 36-41), prinsip-
prinsip dasar pemberdayaan masyarakat ada 9 (sembilan).
Pertama, Prinsip partisipasi. Bahwa kegiatan pemberdayaan
dalam pelaksanaannya harus lebih banyak melibatkan
partisipasi aktif dari masyarakat miskin sendiri mulai dari
tahap perencanaan program, pelaksanaan, pengawasan
sampai pada tahap memetik hasil. Kedua, Prinsip sustainable.
Prinsip ini mengarahkan bahwa hasil-hasil yang dicapai
melalui kegiatan pemberdayaan hendaknya dapat dilestarikan
masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal
(capital accumulation) dalam wadah sosial ekonomi setempat.
Prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah perlu dilakukan

21
Efri Syamsul Bahri

penguatan ke pada institusi dan kelompok sasaran agar


me reka mampu melanjutkan program secara man diri dan
berkelanjutan kegiatan pengelolaan program/ proyek telah
berakhir.
Ketiga, Prinsip demokratisasi. Prinsip ini menghendaki
agar dalam kegiatan pemberdayaan perlu diberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada rakyat dalam hal untuk
menentukan sendiri strategi dan arah pembangunan sesuai
dengan kebutuhan dan kapasitas yang mereka miliki. Kempat,
Prinsip transparansi. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa
kegiatan pem berdayaan itu melibatkan berbagai pihak
sehingga dalam pengelolaan setiap sumberdaya, terutama
keuangan harus dilakukan secara trans paran (terbuka) agar
semua pihak ikut memantau atau mengawasi penyaluran
dana mulai dari pihak sponsor sampai pada masyarakat
sasaran.
Kelima, Prinsip akuntabilitas. Prinsip ini mengharuskan
pengelolaan keuangan harus dapat dilakukan oleh masyarakat
dan pelaksana program/proyek secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Keenam, Prinsip desentralisasi
Dengan prinsip ini dimaksudkan bahwa pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan bukan lagi di lakukan secara terpusat atau
tersentralisasi dengan petunjuk dan aturan-aturan yang ketat
yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam era pem berdayaan ini
prinsip desentralisasi dapat dikedepankan karena dibukanya
ruang politik un tuk mereformasi proses perencanaan dan
pengambilan keputusan dari yang sebelumnya sangat
sentralistik dan top-down menjadi lebih demokratis dan
berorientasi pada kebutuhan warga.
Ketujuh, Prinsip acceptable. Prinsip mengarah agar
bantuan yang diberikan kepada kelompok sasaran

22
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

hendaknya dikelola sedemikian rupa agar mudah diterima


dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana
dan pengelola. Kedelapan, Prinsip profitable. Dengan prinsip
ini dimaksudkan memberikan pendapatan yang memadai
dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara
ekonomis. Maksudnya bahwa kegiatan yang dipilih oleh
kelompok sasaran harus dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup anggotanya se hingga tarap hidup kelompok sasarana
lebih baik dari keadaan sebelumnya. Setiap kegiatan harus
berdampak ekonomis yang nyata bagi anggota kelompok.
Kesembilan, Prinsip replicable. Prinsip ini mengisyaratkan agar
pengelola program pemberdayaan agar dapat memperhatikan
aspek pengelolaan dana dan pelestarian ha sil dapat dengan
mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam
lingkup yang lebih luas.
Sumodiningrat (1996:120); Effendie (2008:59-60) dalam
(Bahri, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi,
2013, hal. 39-41) berpendapat ada 6 (enam) prinsip lain yang
perlu diperhatikan dan menjadi pegangan dalam kegiatan
pemberdayaan khususnya dalam penyusunan rencana kegiatan
dan pemanfaatan program. Pertama, Prinsip keterpaduan.
Kegiatan pemberdayaan, apakah melalui program Inpres
Desa Tertinggal, harus terkait dan terpadu dengan kegiatan
lain di desa/kelurahan sehingga saling mendukung dan
memberikan manfaat secara optimal. Keterpaduan kegiatan
ini menyangkut lokasi, dana, pengadaan sarana dan prasarana
serta aparat pelaksana.
Kedua, Prinsip kepercayaan. Masyarakat desa/kelurahan
sebagai kelompok sasaran diberi kepercayaan memilih dan
menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan potensi desa/
kelurahan, masalah yang dihadapi dan kebutuhan yang harus

23
Efri Syamsul Bahri

dipenuhi oleh masyarakat sendiri. Tidak ada kewajiban bagi


warga desa/kelurahan untuk melakukan hanya satu jenis
kegiatan, tetapi yang paling penting adalah bahwa kegiatan
itu harus produktif dan berkelanjutan.
Ketiga, Prinsip kebersamaan dan gotong royong. Prinsip
ini menggariskan bahwa setiap kegiatan harus berasal dari
dan untuk masyarakat desa/ kelurahan secara bersama. Jenis
kegiatan yang akan di biayai adalah kegiatan yang mampu
menumbuh kan kebersamaan, setiap anggota kelompok.
Setiap anggota kelompok mempunyai ke dudukan yang sama
dalam menentukan jenis kegiatan. Prinsip kebersamaam
menghendaki pula terjadinya kerjasama yang slaing
membantu di an tara masyarakat sehingga penduduk yang
sudah sejahtera dapat membantu yang belum sejahtera.
Keempat, Prinsip kemandirian. Bahwa kegiatan yang akan
dilaksanakan adalah kegiatan yang dapat mendorong
kelompok sasaran un tuk menolong dirinya sendiri, sehingga
tidak ada ke mungkinan menjadi miskin kembali. Kegiatan
ter sebut memberikan peluang bagi kelompok sasaran untuk
dapat mengembangkan kegiatan sosial ekonomi anggotanya
sehingga mampu me no pang hidup mereka untuk seterusnya.
Kelima, Prinsip ekonomis. Jenis kegiatan yang dipilih oleh
kelompok sasaran harus dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup anggotanya sehingga taraf hidup kelompok sasaran
le bih baik dari keadaan sebelumnya. Keenam, Prinsip
keberlanjutan. Kegiatan kelompok sasaran harus dapat
meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan. Kegiatan
yang dipilih oleh kelompok sasaran harus dapat berkembang
secara berkelanjutan sehingga tidak diperlukan bantuan lagi.

24
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB IV PARTISIPASI DALAM


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Pengertian
Partisipasi masyarakat merupakan bentuk
pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan dari bawah,
dikenal sebagai pendekatan partisipatif. Dengan pendekatan
partisipati, proses kegiatan masyarakat beralih dari sifat
top-down menjadi proses bottom-up. Partisipasi merupakan
keterlibatan mental dan emosional orang dalam situasi
kelompok yang mendorong mereka memberikan kontribusi
pada pencapaian tujuan kelompok dan membagi tanggung
jawab dengan mereka. (Effendie, 2008, hal. 89)

B. Manfaat Partisipasi
Conyer (1991:154-155) dalam (Effendie, 2008, hal.
91) menyatakan tiga alasan utama pentingnya partisipasi
masyarakat yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk
memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan
dan sikap masyarakat setempat tanpa adanya
partisipasi maka program pembangunan dan proyek-

25
Efri Syamsul Bahri

proyek akan gagal.


2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau
program pembangunan jika merasa dilibatkan dari
mulai proses persiapan dan perencanaannya, karena
mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek
tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap
proyek.
3. Adanya anggapan bahwa suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan
pembangunan oleh masyarakat mereka sendiri, yaitu
masyarakat mempunyai hak dalam menentukan jenis
pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayahnya.

C. Bentuk Partisipasi
Ndara (1990:103-104) dalam (Effendie, 2008, hal. 92)
mengemukakan bentuk partisipasi atau disebutnya juga
tahapan partisipasi sebagai berikut:
1. Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain (contact
chane), sebagai titik awal perubahan sosial.
2. Partisipasi dalam memperhatikan atau meneyrap dan
member tanggapan terhadap informasi, baik dalam
arti menerima, mengiyakan, menerima dengan syarat
maupun menolak.
3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan,
termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana)
atau disebut juga partisipasi dalam pengambilan
keputusan.
4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional
pembangunan, berkaitan dengan pelaksanaan
tindakan yang telah direncanakan bersama secara
partisipatif.

26
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan


mengembangkan hasil pembangunan, dalam arti
sasaran atau komunitas benar-benar memperoleh atau
ikut menikmati haisl dari pelaksanaan suatu kegiatan
pembangunan terutama yang telah mereka rencanakan
sendiri.
6. Partisipasi dalam menilai pembangunan yaitu
keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana
dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat.

D. Faktor Pendorong Partisipasi


Manurut Ife dalam (Effendie, 2008, hal. 129) faktor-faktor
yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi adalah:
1. Masyarakat akan berpartisipasi, jika mereka merasa
masalah atau kegiatan itu penting baginya.
2. Mereka akan berpartisipasi, jika menimbulkan sesuatu
perubahan dan adanya nilai tambah bagi dirinya.
3. Adanya perbedaan bentuk dan partisipasi masyarakat
diakui sesuai dengan nilai-nilai yang mereka miliki.
4. Masyarakat mungkin berpartisipasi jika mereka dapat
dukungan atau dorongan.
5. Masyarakat akan berpartisipasi jika diciptakan suatu
struktur dan poros yang memungkinkan terjadinya
partisipasi.

27
Efri Syamsul Bahri

BAB V PENGEMBANGAN
MASYARAKAT

A. Pengertian
Pengertian pengembangan masyarakat menurut PBB
(1956) adalah:
“Community Development is the process by which the effort of
the people themselves are united with thoses of governmental
authorities to improve the economic, sosial and cultural conditions
of communities to integrate these communities into the life of the
nation and to enable them to contribute fully to national progress
this complex of process in this made up of two essensialelements the
participation of the people themselves of their own initiative and the
provition of technical and other services in ways which encourage
initiative, self-help and mutual help and make these effective”.
“Proses dimana warga masyarakat bersatu dengan pejabat
pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat untuk mengintegrasikan kehidupan
masyarakat ke dalam kehidupan bangsa guna memungkinkan
memberikan sumbangan secara penuh terhadap kemajuan
bangsanya”. (Effendie, 2008, hal. 9)

28
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Lee J. Carry (1970) dalam (Effendie, 2008, hal. 13) lebih


lanjut mendefiniskan pengembangan masyarakat sebagai:
“the deliberate attempt by people to work together to
guide the future of communities and the development of a
corresponding set of techniques for assisting communities
people in such process”.
(Pengembangan masyarakat merupakan upaya
mengorganisir dari orang dalam masyarakat local
terhadap berbagai kondisi yang mempengaruhi secara
negative atau mengancam kehidupan mereka).

Bambang Rudito dkk (2003) dalam (Effendie, 2008,


hal. 11) menyampaikan bahwa pengembangan masyarakat
adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses
masyarakat untuk mencapai kondisi sosial ekonomi-budaya
yang lebih baik, sehingga masyarakat lebih mandiri dengan
kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.

B. Strategi Pengembangan Masyarakat


Secara umum, menurut Jonhn C Iclis (dalam David
C. Korten) ada empat strategi pengembangan masyarakat
(Supriyatna, 2001 dalam A Halim, 2005:8), yaitu:
1. The Growth Strategy
Penerapan strategi pertumbuhan ini pada umumnya
dimaksudkan untuk mencapai peningkatan yang cepat
dalam nilai ekonomis, melalui peninhkatan pendapatan
per kapita penduduk, produktivitas, pertanian,
permodalan dan kesempatan kerja yang dibarengi dengan
kemampuan konsumsi masyarakat, terutama di pedesaan.
Pada awalnya strategi ini dianggap efektif. Akan tetapi,
karena economic oriented sementara kaidah hokum-hukum

29
Efri Syamsul Bahri

sosial dan moral terabaikan maka yang terjadi adalah


sebaliknya, yakni semakin melebarnya pemisah kaya
miskin, terutama di daerah pedesaan. Akibatnya, begitu
terjadi krisis ekonomi maka konflik dan kerawanan sosial
terjadi di mana-mana.
2. The Welfare Strategy
Strategi kesejahteraan ini pada dasarnya dimaksudkan
untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Akan
tetapi, karena tidak dibarengi dengan pembangunan
kultur dan budaya mandiri dalam diri masyarakat maka
yang terjadi adalah sikap ketergantungan masyarakat
kepada pemerintah. Oleh karena itu, dalam setiap usaha
pengembangan masyarakat, salah satu aspek yang harus
diperhatikan penanganannya adalah masalah kultur dan
budaya masyarakat. Pembangunan budaya jangan sampai
kontraproduktif dengan pembangunan ekonomi.
3. The Responsitive Strategy
Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi
kesejahteraan yang dimaksudkan untuk menanggapi
kebutuhan yang dirumuskan masyarakat sendiri dengan
bantuan pihak luar (self need and assistance) untuk
memperlancar usaha mandiri melalui pengadaan teknologi
serta sumber-sumber yang sesuai bagi kebutuhan proses
pembangunan. Akan tetapi, karena pemberdayaan
masyarakat sendiri belum dilakukan maka strategi yang
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat ini terlalu
idealistic dan sulit ditransformasikan kepada masyarakat.
Satu hal yang harus diperhatikan, kecepatan teknologi
seringkali, bahkan selalu, tidak diimbangi dengan
kesiapan masyarakat dalam menerima dan memfungsikan
teknologi itu sendiri. Akibatnya, teknologi yang dipakai

30
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dalam penerapan strategi ini menjadi disfungsional.


4. The Integrated or Holistic Strategy
Untuk mengatasi dilemma pengembangan masyarakat
karena “kegagalan” ketiga strategi seperti telah dijelaskan,
maka konsep kombinasi dari unsure-unsur pokok ketiga
strategi di atas menjadi alternative terbaik. Strategi ini
secara sistematis mengintegrasikan seluruh komponen
dan unsure yang diperlukan, yakni ingin mencapai secara
simultan tujuan-tujuan yang menyangkur kelangsungan
pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partiispasi
aktif masyarakat dalam proses pembangunan masyarakat

C. Tahapan Pengembangan Masyarakat


Sedangkan tahapan pengembangan masyarakat
yang biasa dilakukan pada beberapa Organisasi Pelayanan
Masyarakat, antara kelompok yang satu dengan yang lain
menurut (Adi, 2003, hal. 250-260) memang tampak ada
beberapa perbedaan dan kesamaannya. Tetapi secara umum
dari beberapa variasi yang ada dalam pandangan Adi pada
dasarnya tahapan yang dilakukan mencakup beberapa
tahapan di bawah ini:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini didalamnya tahap (a) Penyiapan
Petugas; dan (b) Penyiapan Lapangan. Penyiapan Petugas
(dalam hal ini tenaga community worker merupakan
prasyaraat suksesnya suatu pengembangan masyarakat
dengan pendekatan non-direktif.
1. Penyiapan Petugas ini diperlukan untuk menyamakan
persepsi antar anggota tim agen perubah (change
agent) mengenai pendekatan apa yang akan dipilih

31
Efri Syamsul Bahri

dalam melakukan pengembangan masyarakat.


Penyiapan petugas lebih diperlukan lagi bila dalam
proses pengembangan masyarakat tenaga petugas
(community worker) yang dipilih ternyata mempunyai
latar belakang yang sangat berbeda satu dengan yang
lainnya. Misalnya saja, ada petugas yang berlatar
belakang sarjana Agama, sarjana Ilmu Kesejahteraan
Sosial, sarjana Pendidikan dan sarjana Sastra.
2. Sedangkan pada tahap Penyiapan Lapangan, petugas
(community worker) pada awalnya melakukan studi
kelayakan terhadap daerah yang akan dijadikan
sasaran, baik dilakukan secara informal maupun
formal. Bila sudah ditemukan daerah yang ingin
dikembangkan, community worker harus mencoba
menerobos jalur formal untuk mendapatkan perijinan
dari pihak terkait. Tetapi disamping itu, community
worker juga tetap harus menjalin kontak dengan
tokoh-tokoh informal (informal leader) agar hubungan
dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Pada
tahap inilah terjadi kontak dan ‘kontrak’ awal dengan
kelompok sasaran. Kontak awal ini harus tetap
ditinjaklanjuti agar terdapat ‘kedekatan’ antara agen
perubah (dalam hal ini community worker) dengan
masyarakat sasaran. Komunikasi yang baik pada
tahap awal biasanya akan mempengaruhi keterlibatan
warga pada fase berikutnya.

2. Tahap Assessment
Proses assessment yang dilakukan disini dilakukan dengan
mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan =
felt needs) dan juga sumber daya yang dimiliki klien. Dalam

32
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

proses penilaian (assessment) ini dapat pula digunakan


teknik SWOT, dengan melihat Kekuatan (Strength),
Kelemahan (Weaknesses), Kesempatan (Opportunities) dan
Ancaman (Threat). Dalam proses assessment ini masyarakat
sudah dilibatkan secara aktif agar mereka dapat merasakan
bahwa permaslahan yang sedang dibicarakan benar-
benar permasalahan yang keluar dari pandangan mereka
sendiri. Disamping itu, pada tahap ini pelaku perubahan
juga memfasilitasi warga untuk menyusun prioritas dari
permasalahan yang akan ditindaklanjuti pada tahap
berikutnya, yaitu tahap perencanaan.
Pengkajian (assessment) yang dilakukan pada suatu
komunitas dapat dilakukan secara individual (individual
assessment) melalui tokoh-tokoh masyarakat ataupun
anggota masyarakat tertentu. Tetapi dapat juga dilakukan
secara berkelompok, misalnya saja dengan menggunakan
metode diskusi kelompok terfokus, curah pendapat
ataupun nominal group process. Guna menggambarkan
kondisi suatu desa, dapat pula digunakan beberapa tehnik
yang biasa digunakan dalam PRA (Participatory Rural
Appraisal), seperti menggambar peta masalah dan potensi
masyarakat.

3. Tahap Perencanaan Alternatif Program atau Kegiatan


Pada tahap ini agen perubah (community worker) secara
partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir
tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana cara
mengatasinya. Dalam upaya mengatasi permasalahan
yang ada masyarakat diharapkan dapat memikirkan
beberapa alternative program dan kegiatan yang dapat
mereka lakukan. Program dan kegiatan yang akan mereka

33
Efri Syamsul Bahri

kembangkan tentunya harus disesuaikan dengan tujuan


pemberian bantuan sehingga tidak muncul program-
program yang bersifat charity (amal) yang kurang dapat
dilihat manfaatnya dalam jangka panjang. Dalam proses
ini petugas bertindak sebagai fasilitator yang membantu
masyarakat berdiskusi dan memikirkan program dan
kegiatan apa saja yang tepat dilaksanakan pada saat
itu. Misalnya saja, dalam program kesehatan, kegiatan-
kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan; begitu
pula dalam kaitan dengan program pendidikan, kira-kira
kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan dengan
mempertimbangkan beberapa sumber daya yang ada.

4. Tahap Penformulasian Rencana Aksi


Pada tahap ini agen prubah (community worker) membantu
masing-masing kelompok untuk merumuskan dan
menentuakn program dan kegiatan apa yang akan mereka
lakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini
biasanya diperlukan bila masyarakat mempunyai berbagai
usulan yang tidak bias dituntaskan sebelumnya, sehingga
community worker sebagai fasilitator dapat membantu
mereka untuk menentukan program mana yang akan
mereka prioritaskan terlebih dahulu.

5. Tahap Pelaksanaan (implementasi) Program atau


Kegiatan
Tahap pelaksanaan ini merupakan salah satu tahap yang
paling krusial (penting) dalam proses pengembangan
masyarakat, karena sesuatu yang sudah direncanakan
dengan baik akan dapat melenceng dalam pelaksanaan
di lapangan bila tidak ada kerjasama antara agen perubah

34
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dan warga masyarakat, maupun kerjasama antar warga.

6. Tahap Evaluasi
Evaluasi sebagia proses pengawasan dari warga dan
petugas terhadap program yang sedang berjalan pada
pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan
melibatkan warga. Dengan keterlibatanw arga pada
tahap ini diharapkan akan terbentuk suatu sistem dalam
komunitas untuk melakukan pengawasan secara internal.
Sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan dapat
membentuk suatu sistem dalam masyarakat yang lebih
‘mandiri’ dengan memanfaatan sumber daya yang ada.

7. Tahap Terminasi.
Tahap ini merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara
formal dengan komunitas sasaran. Terminasi dilakukan
seringkali bukan karena masyarakat sudah dapat
dianggap’mandiri’tetapi tidak jarang terjadi karena proyek
sudah harus dihentikan karena sudah melebihi jangka
waktu yang ditetapkan sebelumnya, atau karena anggaran
sudah selesai dan tidak ada penyandang dana yang dapat
dan mau meneruskan. Mesikipun demikian, tidak jarang
community worker tetap melakukan kontak meskipun
tidak secara rutin. Apalagi bila petugas (community worke)
merasa bahwa tugasnya belum diselesaikan dengan baik.

35
Efri Syamsul Bahri

Gambar 2
Skema Tahapan Pengembangan Masyarakat
Sumber: (Adi, 2003, hal. 260)

Persiapan

Pengkajian
(Assessment)

Perencanaan aktivitas
program atau kegiatan

Pemformulasian
Rencana Aksi

Pelaksanaan Program
Atau Kegiatan

Evaluasi

Terminasi

36
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB VI STRATEGI PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai


strategi alternative dalam pembangunan telah berkembang
dalam berbagai literatur dan pemikiran walaupun dalam
kenyataannya belum secara maksimal dalam implementasinya.
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat merupakan
hal banyak dibicarakan masyarakat karena terkait dengan
kemajuan dan perubahan bangsa ini kedepan apalagi apabila
dikaitkan dengan skill masyarakat yang masih kurang akan
sangat menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri. (Noor,
Pemberdayaan Masyarakat, 2011, hal. 88)
Dalam pengertian sehari-hari, strategi sering diartikan
sebagai langkah-langkah atau tindakan tertentu yang
dilaksanakan demi tercapainya suatu tujuan atau penerima
manfaat yang dikehendaki, oleh karena itu, pengertian
strategi sering rancu dengan: metoda, teknik, atau taktik.
(Rahmatulliza, 2017, hal. 26)
Secara konseptual menurut Mardikanto Totok dan
Poerwoko Soebiato (2015) dalam (Rahmatulliza, 2017, hal.
26-28), strategi sering diartikan dengan beragam pendekatan.

37
Efri Syamsul Bahri

Pertama, Strategi sebagai suatu rencana. Sebagai suatu rencana,


strategi merupakan pedoman atau acuan yang dijadikan
landasan pelaksanaan kegiatan, demi tercapainya tujuan yang
ditetapkan. Dalam rumusan ini, rumusan strategi senantiasa
memperhatikan kekuatan dan kelumahan internal seta
peluang dan ancaman eksternal yang dilakukan oleh (para)
pesaingnya.
Kedua, Strategi sebagai kegiatan. Sebagai suatu kegiatan,
strategi merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh setiap
individu, organisasi, atau perusahaan untuk memenangkan
pesaing, demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau telah
ditetapkan. Ketiga, Strategi sebagai suatu instrumen. Sebagai
suatu instrumen, strategi merupakan alat yang digunakan
oleh semua unsur pimpinan organisasi atau perusahaan,
terutama manajer puncak, sebagai pedoman sekaligus alat
pengendali pelaksanaan kegiatan. Keempat, Strategi sebagai
suatu sistem. Sebagai suatu sistem, strategi merupakan suatu
kesatuan rencana dan tindakan-tindakan yang komprehensif
dan terpadu, yang diarahkan untuk menghadapi tantangan-
tantangan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kelima, Strategi sebagai pola pikir. Sebagai pola pikir,
strategi merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh
wawasan yang luas tentang keadaan internal maupun eksternal
untuk rentang waktu yang tidak pendek, serta kemampuan
pengambilan keputusan untuk memilih alternatif-alternatif
terbaik yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan
kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang-
peluang yang ada, yang dibarengi dengan upaya-upaya untuk
“menutup” kelemahan-kelemahan guna mengantisipasi atau
meminimumkan ancaman-ancamannya.
Strategi pemberdayaan masyarakat menurut

38
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2008:22) dalam (Bahri,


Zakat dan Pembangunan Sosial, 2013, hal. 45) bertujuan
untuk mendorong penduduk miskin untuk secara kolektif
terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk
menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri.
Masyarakat miskin bukan sebagai objek melainkan subjek.
Keberdayaan penduduk miskin ditandai dengan semakin
bertambahnya kesempatan kerja yang diciptakan sendiri oleh
penduduk miskin secara kolektif dan pada gilirannya akan
memberikan tambahan penghasilan, meringankan beban
konsumsi, serta meningkatkan nilai simpanan/ asset keluarga
miskin. Keberdayaan penduduk miskin juga ditandai dengan
semakin meningkatnya kapasitas penduduk miskin secara
kolektif dalam mengelola organisasi pembangunan secara
mandiri.
Dalam konteks pekerjaan sosial menurut Edi Suharto
(2005) dalam (Rahmatulliza, 2017, hal. 26) pemberdayaan
dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan
(empowerment setting): mikro, mezzo, dan makro. Pertama,
Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara
individu melalui bimbingan, konseling, stress management,
crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau
melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat
pada tugas (task centered approach).
Kedua, Aras mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap
sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan
menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan
dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien, agar memiliki

39
Efri Syamsul Bahri

kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.


Ketiga, Aras makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai
Strategi Sistem Besar (large-sistem strategy), karena sasaran
perubahan diarahkan pada sistem linkungan yang lebih luas.
Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi
sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, managemen
konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang
memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka
sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang
tepat untuk bertindak.
Dalam konteks lembaga zakat (Chaniago, 2015, hal.
54), maka secara umum kita dapat membangun 4 (empat)
strategi yang digunakan dalam pemberdayaan zakat.
Pertama, Peningkatan perekonomian secara langsung dengan
memberikan modal usaha. Strategi ini digunakan untuk para
mustahik yang produktif secara kemampuan berusaha seperti
dagang, jasa (tukang sepatu, penerima upah bajak sawah, dll)
yang membutuhkan modal. Kedua, Peningkatan perekonomian
secara pemberian skill dan ketrampilan melalui workshop
atau training kepada mustahik yang masih produktif. Ketiga,
Peningkatan perekonomian melaluai pemberian modal usaha
untuk mustahik yang ingin meningkatkan kemandirian
dalam perekonomian. Keempat, Peningkatan perekonomian
melalui membuka lapangan kerja bagi mustahik yang tidak
mempunyai kemampuan mengurus wirausaha sendiri.

40
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB VII DESAIN PROGRAM


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Di dalam mendesian program pemberdayaan


masyararakat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
melakukan analisis akar masalah, analisis kerangka logis
(logical framework analysis), menyusun anggaran, menyusun
dokumen perencanaan program dalam bentuk Rencana
Kegiatan dan Anggaran Program (RKAP).
Di dalam penyusunan desain program menggunakan
berbagai metode, antara lain: Metode Analisis Akar Masalah
dan Solusi (MAAMS), participatory rural appraisal (PRA),
analisa sosial, metode cornerstone, dll. Secara umum tujuan
penggunaan metode ini adalah untuk memastikan program
pendistribusian dan pendayagunaan memenuhi kaidah
smart yaitu: simpe, measure. Dengan demikian program
pendistribusian dan pendayagunaan yang dijalankan sesuai
dengan ketentuan syariah, regulasi dan tepat sasaran.
Secara lebih rinci, selanjutnya akan diuraikan satu
persatu tentang metode dalam menyusun desain program
pemberdayaan masyarakat.

41
Efri Syamsul Bahri

1. Metode Analisis Akar Masalah dan Solusi (MAAMS)


Metode MAAMS adalah metode berpikir dengan
menggunakan tata alir (flow chart) yang terutama dimaksudkan
untuk mendapatkan “sebab terdalam atau akar suatu masalah”,
dan kemudian, berdasarkan itu, dapat membuat alternatif
solusi dasar. Metode ini dilengkapi dengan beberapa konsep
dan syarat yang perlu digunakan dalam menerapkannya”.
Konsep yang terpenting adalah pendekatan terhadap masalah
(realitas); sumber-sumber kebenaran (hati nurani, ilmu,
filsafat, agama, ditambah seni sebagai fasilitator); dan teori-
teori kebenaran (theory of truth), yang secara keseluruhan
mengarahkan kecerdasan akal dan kejujuran dalam proses
berpikir. (P, 2008, hal. 73)
Langkah-lamgkah dalam menjalankan MAAMS ada 4
(empat) (P, 2008, hal. 74). Pertama, Rumuskan suatu masalah
(sosial dan kemanusiaan) dalam bentuk yang dapat diajukan
pertanyaan “apa sebab-sebabnya.” Misalnya, apa penyebab
timbulnya perkelahian pelajar; mengapa kualitas SDM kita
rendah. Jenis pertanyaan yang mengarah pada solusi ini harus
didukung fakta. Jika dari judul (artikel, makalah, skripsi, tesis,
disertasi) tidak dapat diajukan pertanyaan (“Apa Sebabnya”
atau “Mengapa”), identifikasi lebih dulu alasan-alasan atau
fakta-fakta yang biasanya ditulis sebagai latar belakang
masalah. Terhadap alasan-alasan atau fakta-fakta inilah
diajukan pertanyaan mengapa atau apa sebab-sebabnya.
Kedua, Identifikasi sebab-sebab negatif yang paling
langsung dari X. Misalnya ada 4 faktor, ditandai dengan
Sa1, Sb1, Sc1, Sd1. (S=sebab; abcd=masing-masing faktor;
angka 1=tahap pertama penelusuran sebab). Sebab negatif
yaitu suatu keadaan salah-buruk yang perlu diatasi atau

42
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

diperbaiki; sedangkan paling langsung yaitu sebab yang tidak


diantarai oleh sebab lain. Dalam fenomena sosial hampir tidak
ditemukan adanya satu faktor yang menyebabkan satu fakta
lain, melainkan beberapa faktor sekaligus, baik secara kausal
maupun korelasional. Di sinilah muncul kebutuhan untuk
berpikir dan berkerjasama secara interdisiplin, multidisiplin,
atau transdisiplin.
Ketiga, Terhadap masing-masing sebab (faktor) diajukan
pertanyaan “benarkah?” dalam arti apakah ia memang
menjadi sebab dari masalah X. Untuk itu lebih dulu dilakukan
pengkajian atau penelitian, baik secara logis (formal) ataupun
empiris (material), kualitatif maupun kuantitatif, induktif
maupun deduktif (Hayon, 2005). Jika hasilnya benar, tahap
kedua dari penelusuran sebab dapat dilakukan, yang berarti
mencari sebab-sebab dari setiap sebab pada tahap pertama
(Sa1, Sb1 dan seterusnya). Jika hasilnya salah, sebab tersebut
diabaikan dan kembali ke awal dengan mengidentifikasi
kemungkinan sebab lainnya. Pada langkah ketiga inilah
keseluruhan pengetahuan tentang kebenaran dan pendekatan
terhadap masalah diterapkan secara kritis.
Keempat, Tahap kedua dan seterusnya (tahap ke n)
caranya sama seperti tahap pertama. Bedanya adalah bahwa
kemungkinan sebab (faktor) yang diidentifikasi menjadi
semakin sedikit karena adanya kesamaan sehingga bukan
a,b,c,d lagi tapi a,b,c, dan pada akhirnya a dan b sebagai sebab
terdalam atau akar masalah (a dan b menunjukkan bahwa
sebab dasar terdiri lebih dari satu sebab).
Kelima, Penelusuran dapat dihentikan dengan
memperhatikan dua syarat. Pertama, apa yang dipandang
sebagai akar masalah tersebut dapat secara sekaligus
dicarikan solusi individual/ personal/mentalistik –berupa

43
Efri Syamsul Bahri

imbauan pada nurani atau niat seseorang–maupun solusi


sistemik/ struktural/institusional/legalistik –berupa UU
atau peraturan dengan sanksi hukum. Solusi individual relatif
mudah dilaksanakan, sedangkan solusi sistemik lebih sulit
dilaksanakan. Oleh karena itu untuk memenuhi syarat solusi
sistemik ini, rumusan sebab atau akar masalah hendaknya
memperlihatkan perilaku nyata yang cukup mudah diamati,
dan tentu saja layak untuk dijatuhi sanksi hukum. Jika syarat
ini tidak terpenuhi, proses diulang dari tahap sebelumnya
atau dari awal lagi. Kedua, terdapat persetujuan dari peserta
yang terlibat perbincangan.

Sumber: (P, 2008, hal. 75)

44
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Keenam, Mengenai solusi, di dalam flow chart dibedakan


menjadi tiga: darurat/permukaan/jangka pendek, tanggung/
jangka menengah, dan dasar/jangka panjang. Jika Identifikasi
sebab-sebab dilakukan hanya sampai permukaan saja,
maka solusinya pun bersifat permukaan, demikian pula
bila tanggung, dua tahap inilah yang sering terjadi sehingga
menimbulkan perbincangan yang berkepanjangan, dan lalu
dipotong-potong menjadi kemasan topik-topik kecil yang
sangat banyak jumlahnya. Analisis yang tidak tuntas ini,
secara sadar atau tidak, dimanfaatkan oleh media massa
secara komersial – komodifikasi masalah– berupa talk show
dan rubrik opini. Kalangan akademis pun bisa tanpa sadar
melakukan hal yang sama dengan mengemasnya sebagai
topik-topik penelitian dan diskusi, dan tema jurnal yang
mungkin “sekadar” menambah penghasilan, publikasi,
dan angka kredit kenaikan pangkat. Tetapi tidak mengatasi
masalah secara “tuntas”. Kerjasama media massa dan ilmuwan
bisa tergelincir melakukan “play acting at science” yang
memunculkan ilmuwan selebritis). Hanya bila akar masalah
teridentifikasi maka solusi yang mendasar dapat dirumuskan.
Selanjutnya, solusi dasar ditindaklanjuti lagi dengan evaluasi,
termasuk dengan penelusuran ulang sebab-sebab.

45
Efri Syamsul Bahri

Contoh penggunaan tata alir MAAMS diuraian


dicantumkan pada tebl di bawah ini.

Tabel 1. Contoh 1: Mengapa Kualitas SDM Kita Rendah?

Sumber: (P, 2008, hal. 76)

46
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Gambar 2. Contoh 2: Analisis Pohon Masalah (Problem Tree


Analisis) Petani Tuna Kisma

Sumber: (Ibrahim Saragih, 2006, hal. 135)

Penerapan MAAMS memiliki sejumlah manfaat


sebagai berikut: (a) Menyediakan alternatif metode berpikir
(mendalam) yang disertai dengan model atau peraga visual.
(b) Memberi dasar epistemologis bagi penerapan mixed
methodology ataupun multimethods. (c) Memfasilitasi

47
Efri Syamsul Bahri

pengkajian masalah dan solusi fundamental secara


interdisipliner, multidisipliner, transdisipliner; berpikir out of
the box. (d) Memperbaiki, mempercepat, meningkatkan, dan
meluruskan proses berpikir, diskusi, perbincangan, dsb. Yang
bermaksud mencari solusi. Penerapan lebih lanjut bahkan
diperkirakan dapat mengurangi kerumitan analisis masalah,
meringkas masalah, dan mempersingkat masa pembelajaran
(e) Mengkategorikan masalah secara hirarkhis: permukaan,
tengah, dan dasar. (f) Mempermudah pengkategorian
penyelesaian masalah secara strategis dan kronologis
(menghasilkan jenjang solusi suatu masalah): jangka pendek,
menengah, panjang. (g) Membedakan mana kegiatan yang
seharusnya sementara saja dan mana yang harus berkelanjutan
(mencegah vested interest “aktivitas sosial” tertentu yang lebih
menguntungkan pelakunya (popularitas dan finansial). (h)
Mengajak penggunanya berpikir dengan menyertakan nilai-
nilai dan norma kebenaran dan kebaikan, mengarahkan
pemikiran pada kebenaran dan kebaikan perilaku, bukan
hanya sukses pencapaian teknis. Sumber: (P, 2008, hal. 81)
Istilah lain Metode MAAMS yang juga sering
digunakan adalah Metode Analisis Akar Masalah (Root Cause
Analysis). Penyusunan rencana tidak hanya didasarkan atas
permasalahan yang ada, akan tetapi keterkaitan antar masalah.
Pembuatan rencana haruslah berfokus pada satu tujuan yang
nantinya akan mendekatkan kondisi riil dengan kondisi yang
diinginkan oleh para pihak yang terlibat. (Latifah, hal. 48)
Analisis akar permasalahan dilakukan dengan
menggunakan metode analisis akar masalah (Root Cause
Analysis). Root cause analysis (RCA) adalah sebuah pendekatan
sistematik untuk mendapatkan akar permasalahan
sesungguhnya dari suatu permasalahan. RCA dapat pula

48
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

didefinisikan sebagai struktur logis yang mendefinisikan


kejadian apa yang menyebabkan terjadinya suatu kejadian
yang tidak diinginkan/diharapkan atau RCA adalah alat yang
di design untuk membantu mengidentifikasi dan menjelaskan
tidak hanya “apa” dan “bagaimana” sebuah kejadian terjadi,
tetapi “mengapa” terjadi (Rooney dan Heuvel, 2004) dalam
(Latifah, hal. 50).
Berikut adalah langkah-langkah dalam menjalankan
RCA (Latifah, hal. 50). Pertama, Penentuan isu besar yang
dihadapi DAS Palung berdasarkan analisis kondisi biofisik dan
sosial-ekonomi-budaya. Kedua, Identifikasi UDE (Undesired
Effect), yaitu sesuatu kondisi atau efek yang tidak diinginkan
dan benar-benar ada atau terjadi serta bersifat “negatif”.
Ketiga, Mencari penyebab dan membuat Rantai Hubungan
Sebab Akibat serta mencari hubungan antar UDE. Keempat,
Penyusunan diagram alir (flowchart) dan pohon realitas
(Current reality trees). Kelima, Identifikasi Akar Penyebab
(Root cause) dan Masalah Utama (Core problem).

a. Metode Participatory Rural Appraisal


Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah suatu
pendekatan yang memanfaatkan ma cam-macam teknik
visualisasi (misalnya gambar, tabel dan bentuk/diagram)
untuk proses analisa keadaan. Kegiatan ini di maksud kan agar
masyarakat mampu dan percaya diri dalam mengidentifikasi
serta menganalisa kedaannya, baik potensi maupun
permasalahannya. Pada tahap ini diharapkan dapat diperoleh
gambaran mengenai aspek sosial, ekonomi dan ke lembagaan.
Tahapan dalam proses kajian meliputi: (1) persiapan desa dan
masyarakat (menentukan teknis pertemuan), (2) persiapan
dalam tim (kesepakatan teknik PRA, alat dan bahan, pembagian

49
Efri Syamsul Bahri

peran dan tanggungjawab), (3) pelaksanaan kajian keadaan:


kegiatan PRA dan (4) pembahasan hasil dan penyusunan ren
cana tindak lanjut. (Bahri, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep
dan Aplikasi, 2013, hal. 29)
Konsepsi dasar metode PRA adalah keterlibatan
masyarakat dalam keseluruhan kegiatan dengan memberikan
tekanan pada partisipasi dengan prinsip : belajar dari
masyarakat, orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat
sebagai pelaku, saling belajar dan saling berbagi pengalaman,
keterlibatan semua kelompok masyarakat, bebas dan
informal, menghargai perbedaan dan triangulasi. Metode PRA
dibangun berdasarkan a). Kemampuan masyarakat setempat,
b). Penggunaan teknik-teknik fasilitatif dan partisipatoris,
c). Pemberdayaan masyarakat setempat dalam prosesnya.
(Noor, Pemberdayaan Masyarakat, 2011, hal. 97) Teknik
identifikasi sumberdaya salah satunya dengan menggunakan
PRA (Participatory Rural Appraisal) (Bahri, Zakat dan
Pembangunan Sosial, 2013, hal. 25).

b. Metode Logical Framework Analysis (LFA)


LFA adalah instrumen analitis dalam menyusun
rencana kerja yang berorientasi pada hasil atau sasaran, dan
dilaksanakan secara partisipatif. (Mutalazimah, 2015) Metode
Analisis Kerangka Logis adalah metode perencanaan atau
desain proyek yang berorientasi pada tujuan. Seperangkat
alat perancangan yang bila digunakan secara kreatif dapat
membantu perencanaan, perancangan, pelaksanaan dan
evaluasi proyek (Saidi dkk, 2004). Akan tetapi secara ringkas
juga dapat ditulis LFA menyediakan pendekatan terstruktur
dan logis, untuk menetapkan prioritas dan menentukan
hasil kegiatan yang didinginkan dari sebuah proyek dan bila

50
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

diterapkan dengan benar, LFA dapat menyediakan mekanisme


yang bagus untuk mengembangkan sebuah konsep proyek
menjadi dokumen rancangan proyek yang komprehensif
(Mulkhan, 2012)
Logika perencanaan dalam LFA antara lain
(Mutalazimah, 2015):
1. Bila tersedia input yang memadai maka aktivitas dapat
dilaksanakan.
2. Bila aktivitas dapat dilaksanakan maka luaran yang
diharapkan dapat dicapai.
3. Bila luaran yang diharapkan dicapai maka sasaran
program/kegiatan/proyek dapat dicapai.
4. Bila sasaran dapat dicapai maka tujuan program/
kegiatan/proyek dapat dicapai.

Pendekatan Kerangka Kerja Logis (LFA) sebagai alat


untuk merencanakan, memonitor dan mengevaluasi. Ini
didasarkan atas utamanya pada alat-alat yang dielaborasi oleh
beberapa badan dan organisasi pembangunan/pengembangan
selama beberapa tahun. Perhatian khusus diberikan untuk
mengintegrasikan pendekatan partisipatif dan analisa gender
ke dalam desain proyek. Dalam perencanaan proyek LFA
telah terbukti memfasilitasi identifikasi masalah dan solusi
dan untuk desain proyek dengan cara yang sistimatis dan
logis. Lebih lanjut, LFA juga memungkinkan para pihak yang
bekerjasama untuk menciptakan pemahaman yang sama
terhadap proyek. LFA juga berfungsi untuk membangun
struktur monitoring, pelaporan dan evaluasi proyek. (Centres,
2003)
Pendekatan Kerangka Kerja Logis adalah sebuah alat
untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi proyek. Di

51
Efri Syamsul Bahri

dalam perencanaan proyek LFA sering digunakan sebagai cara


partisipatif untuk membangun sebuah proyek yang berfungsi
memenuhi dua tujuan utama. Pertama, untuk memperjelas
dan membuat definisi dengan cara yang lebih persis dan logis
terkait tujuan, hasil dan kegiatan proyek, yang perlu untuk
mencapai proyek yang memberikan manfaat dan dampak
yang berkesinambungan dengan membuat hubungan saling
terkait yang jelas serta asumsi-asumsi diluar cakupan proyek
yang mungkin berpengaruh terhadap kesuksesannya; Apakah
kita menangani masalah yang benar dan penyebab masalah
yang benar dengan kegiatan dan input yang benar? Dengan
kata lain: Apakah kita melakukan hal yang benar?
Kedua, Untuk meningkatkan implementasi, pengawasan
& monitoring proyek serta evaluasi lanjutan dengan
menyediakan tujuan-tujuan proyek yang didefinisikan secara
jelas dan membuat indikator-indikator yang dapat dicek
untuk menentukan apakah tujuan-tujuan ini telah dicapai
(langkah keberhasilan yang dapat dimonitor). Bagaimana kita
tahu bahwa kita akan meraih sukses sejalan dengan progres
proyek? Dengan kata lain, apakah kita melakukan hal-hal
yang benar? (Centres, 2003)
Kekuatan dari LFA adalah bahwasannya setiap
tahapan di dalam siklus proyek semua isu yang relevan,
termasuk asumsi yang dijadikan dasar proyek, diperiksa dan
dilaksanakan hingga tahapan selanjutnya. Dengan cara ini,
menyediakan basis kuat untuk kelanjutan dan penyatuan
antar tahapan. Konsep dan konteks proyek yang berjalan,
dan oleh sebab itu memungkinkan monitoring dan evaluasi
perencanaan. Sebagai suatu alat, LFA berkontribusi untuk
meningkatkan transparansi di semua tingkatan. LFA juga
untuk memfasilitasi komunikasi antara para pihak yang

52
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

terlibat. (Centres, 2003)


Secara khusus, pendekatan kerangka kerja logis
mengurangi kemungkinan untuk perubahan sepihak atau
keputusan-keputusan yang subyektif, dengan memaparkan
semua asumsi landasan proyek, membentuk awalan.
Ini khususnya dapat berguna dalam menentukan batas
dimana proyek harus menjalankan fungsinya, dengan
mengidentifikasi aspek-aspek yang berada di luar kendali
serikat pekerja/ serikat buruh. Ini juga berguna untuk
menciptakan pembagian kerja dan tugas, jadwal waktu untuk
implementasi dan perincian anggaran/ budget. Pelaporan
yang terstruktur dan sistematis difasilitasi di setiap tahapan
dari siklus proyek. Ini juga meningkatkan konsistensi dan
memudahkan dalam membaca antara dokumen proyek yang
berbeda. LFA juga memungkinkan untuk tahapan-tahapan
siklus proyek yang berurutan dengan tetap konsisten dan
terintegrasi, meskipun pihak-pihak yang berbeda memainkan
sebuah peran di berbagai tahapan. (Centres, 2003)
Sebelum dilaksanakannya kegiatan monitoring dan
evaluasi, perlu disusun kerangka logis perencanaan kegiatan.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi awal
mengenai tujuan, sasaran, indikator, target dan rencana
pembiayaan. Data ini akan digunakan sebagai basis data yang
nantinya akan diperbandingkan dengan hasil pelaksanaan
kegiatan. Adapun matrik kerangka logis kegiatan sebagimana
terlampir. (Pati, 2010)

53
Efri Syamsul Bahri

BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Konsep Monitoring dan Evaluasi


Monitoring adalah pemantauan terhadap perubahan
dan penyimpangan dari ukuran-ukuran (Elfindri, 2011),
aktivitas internal (Hewitt, 1986), proses berkelanjutan (Ojha,
1998), untuk menilai input dan output yang dituju. Monitoring
adalah kegiatan pengawasan, pengendalian, penilaian
terhadap program atau kegiatan-kegiatan yang berlangsung
secara terus menerus agar program-program tersebut berjalan
sesuai dengan harapan, rencana yang telah ditetapkan.
(Arsam, 2013)
Menurut International Federation of Red Cross and Red
Crescent Societies, monitoring atau sering disebut dengan
pemantauan adalah fungsi berkelanjutan yang menggunakan
pengumpulan data yang sistematis pada indikator yang
ditentukan untuk menginformasikan manajemen dan
pemangku kepentingan utama dari Federasi Internasional
yang sedang berlangsung atau operasi masyarakat nasional
tentang tingkat kemajuan dan pencapaian hasil dalam
penggunaan dana yang dialokasikan. (Societies, 2002)

54
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Pemantauan dapat didefinisikan sebagai proses


berkelanjutan di mana para pemangku kepentingan
mendapatkan umpan balik reguler tentang kemajuan yang
sedang dibuat untuk mencapai tujuan dan sasaran mereka.
Dalam pendekatan yang lebih luas, pemantauan juga
melibatkan strategi pelacakan dan tindakan yang diambil oleh
mitra dan non-mitra, dan mencari tahu strategi dan tindakan
baru apa yang perlu diambil untuk memastikan kemajuan
menuju hasil yang paling penting. (UNDP, 2009)
Pada proses monitoring, yang dipantau adalah
perubahan dan penyimpangan dari ukuran-ukuran hasil
melalui intervensi dan cara tertentu. Monitoring dilaksanakan
selama pelaksanaan program. Sering yang dilakukan
dalam proses monitoring adalah antara guidelines dengan
kenyataan. Dalam prakteknya, perlu dimonitor berbagai
aspek yang terkait dengan berbagai indikator, baik indikator
antara maupun indikator final dari suatu kegiatan. Sehingga
seharusnya sebelum dilakukan monitoring, perlu digambarkan
bagaimana indikator-indikator dapat diukur dari suatu goals
yang telah ditetapkan. (Elfindri, 2011)
Pemantauan dan evaluasi dapat membantu organisasi
mengekstraksi informasi yang relevan dan kegiatan
yang sedang berlangsung yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk menyempurnakan program, reorientasi dan
perencanaan masa depan. Tanpa perencanaan, pemantauan
dan evaluasi yang efektif, tidak mungkin untuk menilai apakah
pekerjaan berjalan ke arah yang benar, apakah kemajuan dan
keberhasilan dapat diklaim, dan bagaimana upaya masa depan
dapat ditingkatkan. Program dan proyek dengan komponen
pemantauan dan evaluasi yang kuat cenderung tetap di
jalur. Selain itu, masalah sering terdeteksi sebelumnya, yang

55
Efri Syamsul Bahri

mengurangi kemungkinan terjadinya overruns biaya besar


atau penundaan waktu kemudian. (UNDP, 2009)
Dalam organisasi monitoring memiliki peran yang
sangat strategis yaitu untuk mengukur apakah program yang
dijalankan dalam hal ini adalah program dakwah berhasil
atau tidak dan sejauh mana tingkat keberhasilannya? Dan
apa indikasi keberhasilan tersebut? Monitoring berperan
mencari dan menerima beraneka ragam informasi khusus,
terutama informasi-informasi terbaru untuk mengembangkan
pemahaman yang menyeluruh terhadap organisasi dan
lingkungannya, ia muncul sebagai pusat saraf informasi
internal dan eksternal tentang organisasi. Contoh, kegiatan
yang dapat diidentifikasi adalah kerja monitor, yakni
membaca terbitan-terbitan periodik dan laporan-laporan
serta memelihara kontak pribadi, memantau tren-tren yang
berkembang dalam masyarakat atau keinginan yang muncul
saat itu (Munir dan Wahyu Ilahi, 2009: 67-68). (Arsam, 2013)
Evaluasi merupakan proses penilaian pencapaian
tujuan, mengidentifikasi dampak dan bermanfaat dalam
merancang program masa depan. Monitoring dan Evaluasi
merupakan sebuah proses yang berkesinambungan meliputi:
pengumpulan data dan analisis atas perencanaan dan
pelaksanaan program, progress yang dicapai dan dampak
dari adanya program tersebut.

B. Tujuan Monitoring dan Evaluasi


Tujuan monitoring dan evaluasi program pendistribusian
dan pendayagunaan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi permasalahan yang timbul agar
langsung dapat dicarikan solusinya.
2. Mengevaluasi pelaksanaan program pendistribusian

56
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dan pendayagunaan.
3. Mengevaluasi dampak program yang telah
dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya.
4. Memberikan rekomendasi berkaitan dengan perbaikan
perencanaan dan pelaksanaan program.

C. Perbedaan Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi merupakan dua kegiatan yang
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Untuk memberikan gambaran mengenai batasan kegiatan
montioring dan evaluasi, maka dijelaskan pada tebel di bawah
ini.

57
Efri Syamsul Bahri

Tabel 2. Komparasi Monitoring dan Evaluasi

Monitoring Evaluasi
Kegiatan di dalam internal Kegiatan-kegiatan pasca
program yang menilai program (ex post) yang
beberapa variabel dari menilai:
sebuah program yaitu:
1. Seberapa jauh program
1. Apakah sumber daya yang dilaksanakan
program/input (uang, membawa dampak (im-
bahan, staf) digunakan pact) atau hasil (outcome)
sesuai dengan anggaran
2. Keefektifan biaya (cost-
dan jadwal yang
effectiveness) program
disetujui
yang dilaksanakan
2. Apakah keluaran (out- dibandingkan dengan
put) yang diharapkan alternatif/ pilihan lain
dihasilkan dalam cara yang mungkin
yang tepat waktu dan
cost effective
Monitoring Kinerja > Evaluasi Dampak >
berkaitan dengan masukan pengaruh program terhadap
dan keluaran target populasi
Monitoring Proses > sistem Analisis Keefektifan Biaya >
delivery program perbandingan biaya dengan
alternatif lain

Sedangkan dari sisi tahapan aktivitas monitoring dan


evaluasi dapat diuraikan pada gambar berikut ini.

58
diharapkandihasilkan
diharapkan dihasilkandalam
dalamcara
carayang
yang
tepatwaktu
tepat waktudan
dancost
costeffective
effective
Monitoring Kinerja
Monitoring Kinerja >> berkaitan
berkaitan dengan
dengan Evaluasi
EvaluasiDampak
Dampak>>pengaruh
pengaruhprogram
programterhadap
terhadap
masukandan
masukan dankeluaran
keluaran
Pemberdayaan Masyarakat targetpopulasi
target populasi
Berkelanjutan
MonitoringProses
Monitoring Proses>>sistem
sistemdelivery program
deliveryprogram AnalisisKeefektifan
Analisis KeefektifanBiayaBiaya>>perbandingan
perbandinganbiaya
biaya
denganalternatif
dengan alternatiflain
lain
Sedangkandari
Sedangkan darisisi
sisitahapan
tahapanaktivitas
aktivitasmonitoring
monitoringdan
danevaluasi
evaluasidapat
dapatdiuraikan
diuraikanpada
pada
Gambar
gambarberikut
gambar ini. 3. Tahapan Monitoring dan Evaluasi
berikutini.
Gambar3.3.Tahapan
Gambar TahapanMonitoring
Monitoringdan
danEvaluasi
Evaluasi

Input
Input Activity
Activity Output
Output Outcomes
Outcomes Impact
Impact

Monitoring
Monitoring Evaluasi
Evaluasi Evaluasi
Evaluasi Evaluasi
Evaluasi
Output
Output Outcomes
Outcomes Impact
Impact

D. Prinsip-Prinsip Monitoring dan Evaluasi


3636
Prinsip-prinsip monitoring dan evaluasi ada 6 (enam)
dengan rincian sebagai berikut. Pertama, Berdasarkan pada
Standar yang Diketahui Bersama. Kegiatan monitoring dan
evaluasi harus dilakukan berdasarkan standar, acuan, dan
indikator keberhasilan yang telah ditetapkan dan diketahui
bersama. Standar, acuan, dan indikator keberhasilan harus
ditetapkan terlebih dahulu sebelum program dijalankan.
Kedua, Terbuka. Kegiatan monitoring dan evaluasi harus
diketahui bersama bukan hanya oleh pihak yang melakukan
monitoring dan evaluasi, tetapi juga oleh pihak yang dimonitor
dan dievaluasi. Ketiga, Adil. Pemberlakuan standar, acuan,
dan indikator kegiatan monitoring dan evaluasi harus sama
antar-wilayah dan antar-tingkatan. Pemakaian material
bangunan yang dinyatakan benar di suatu wilayah tidak
dapat dinyatakan salah di wilayah lain kecuali jika terdapat
faktor kondisi alam.
Ketiga, Berorientasi Solusi. Pelaksanaan monitoring dan
evaluasi serta pembahasan hasil-hasilnya harus diorientasikan
untuk menemukan solusi atas masalah yang terjadi. Hasil
monitoring dan evaluasi dapat digunakan sebagai pijakan
untuk peningkatan kinerja program. Partisipatif. Perumusan
standar, acuan, indikator, pelaksanaan monitoring dan
evaluasi, dan pembahasan hasil-hasilnya harus melibatkan

59
Efri Syamsul Bahri

pihak-pihak yang dimonitor dan dievaluasi agar solusi yang


direkomendasikan dapat menjadi agenda bersama.
Keempat, Berjenjang. Kegiatan monitoring dan evaluasi
dilakukan secara berjenjang dan disesuaikan dengan tingkatan
dan kedudukan seseorang/lembaga, baik secara struktural
maupun fungsional
Tahapan Monitoring dan Evaluasi
Tahapan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Tahap Perencanaan. Merancang Desain Program
Monitoring dan Evaluasi yang dapat disusun dengan
menggunakan metode Logical Framework Analysis (LFA).
b. Tahap Implementasi. Menyusun Rencana Kegiatan
Monitoring dan Evaluasi (RKME), Tabulasi Data dan
Analisa Monitoring dan Evaluasi (TDAME), Daftar
Temuan Monitoring dan Evaluasi (DTME).
c. Tahap Pelaporan. Menyusun dokumen hasil pelaksanaan
Monitoring dan Evaluasi

Kriteria obyek program yang dapat dilakukan monitoringd an


evaluasi adalah sebagai berikut:
1. Memiliki indikator perubahan.
2. Memiliki nilai materialitas.
3. Mempunyai jangka waktu program.
4. Memiliki potensi risiko yang tinggi.
5. Memiliki aktivitas yang lebih dari satu kegiatan.

60
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB IX FAKTOR KESUKSESAN DAN


KAGAGALAN

A. Faktor Kesuksesan Pemberdayaan Masyarakat


Keberhasilan usaha merupakan cita-cita setiap
pengusaha, namun demikian keberhasilan ini tidak dapat
digeneralisir untuk semua orang, karena keberhasilan akan
dipersepsikan atau dimaknai berbeda pada tiap individu.
(Erita Y. Diahsari, 2015, hal. 110)
Seperti telah diuraikan di atas, perempuan pengusaha
memasuki dunia bisnis dilandasi oleh berbagai alasan,
namun demikian ketika menjalankan usaha mereka juga
menginginkan usahanya berhasil. Penelusuran literatur
menunjukkan bahwa keberhasilan sangat sulit ditemukan
definisinya, bahkan istilah keberhasilan dapat digunakan
bergantian dengan istilah lain yang dianggap berdekatan,
misalnya performansi, sukses, pertumbuhan (Reijonen dan
Komppula, 2007). Beberapa penelitian juga menjelaskan
keberhasilan dengan menyebutkan indikatornya, misalnya
indikator naik turunnya penjualan, keuntungan, investasi,
personel dan pendapatan sejak perusahaan didirikan (Frese,
Van Gelderen & Ombach, 2000); kepuasan pelanggan dan

61
Efri Syamsul Bahri

kepuasan pekerjanya (Panda, 2000); keuntungan dan turn-


over tahunan (Chattopadhyay dan Ghosh, 2002); kebebasan
dan kemandirian, dapat mengontrol masa depannya sendiri,
dan dapat menjadi pimpinan bagi dirinya sendiri, finansial,
pendapatan personal, dan kesejahteraan (Paige dan Littrell
dalam Kader, Mohammed, and Abraham, 2009). Uraian
tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan usaha dapat
dimaknai dari berbagai perspektif dan dapat bersifat subjektif.
(Erita Y. Diahsari, 2015, hal. 111)
Beberapa studi yang telah dilakukan terkait keberhasilan
pemberdayaan mustahik diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh Febianto and Ashany (2012) menunjukkan
bahwa pemberian bantuan modal usaha melalui qardhul
hasan yang dikelola oleh LAZ Dompet Dhuafa Jawa Timur
mampu memperbaiki ekonomi penerima bantuan. Penelitian
ini sejalan dengan penelitian Noerwenda, and Mulyaningsih
(2014). Selanjutnya Nafiah (2015) melakukan penelitian untuk
kasus pemberdayaan masyarakat yang dikelola oleh BAZNAS
di Kabupaten Gresik menemukan bahwa terdapat pengaruh
positif antara pendayagunaan zakat produktif pada program
ternak bergulir BAZNAS terhadap kesejahteraan mustahik.
(Ernawati, 2016, hal. 316)
Hasil penelitian terhadap pemberdayaan peternak
miskin dengan mendayagunaan dana zakat pada Kampoeng
Ternak Nusantara menunjukkan bahwa pola pemberdayaan
peternak miskin dibagi menjadi 3 tahapan yakni: a) penetapan
tujuan pemberdayaan, b) proses pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan, c) hasil pelaksanaan kegiatan pemberdayaan.
Faktor pendukung pemberdayaan meliputi: lingkungan
sosial, kerja keras dan semangat peternak. Sedangkan faktor
penghambat meliputi: sulitnya pakan ketika musim kemarau,

62
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

pengetahuan dan keterampilan peternak yang belum optimal.


(Sholihat, 2016)
Keberhasilan program pemberdayaan bergantung pada
stakeholders yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat
nelayan dengan menempatkan masyarakat nelayan sebagai
subyek dan objek pembangunan. Dengan adanya pendekatan
pembangunan yang berpusat pada masyarakat diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, baik
fisik maupun non fisik. (Hariyanto, 2014)
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut. 1. Model pemberdayaan yang bertujuan
membangun kemandirian nelayan pulau UntungJawa dapat
dilaksanakan dengan kerjasama dan partisipasi masyarakat.
Perlu sinergitas antara peran pemerintah baik aparat
kelurahan dan instansi terkait lainnya, LSM yang peduli atau
pun perusahaan, kampus maupun masyarakat nelayan itu
sendiri. 2. Terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat
yang harus diperhatikan dan dicarikan solusinya. Faktor
pendukung antara lain sudah terbangun konsep kesadaran
dalam melakukan segala macam kegiatan yang diperhatikan
dan dicarikan solusinya. Faktor pendukung antara lain sudah
terbangun konsep kesadaran dalam melakukan segala macam
kegiatan yang sesuai dengan hukum yang ada, potensi wisata
dan produksi perikanan, aparat Kelurahan yang cukup aktif
dan kesiapan SDM untuk memotivasi diri dan menerima
pendampingan serta berbagai pelatihan. Adapun faktor
penghambatnya antara lain: terbatasnya modal, faktor alam,
sarana prasarana, kurangnya gairah wisata, daya minat beli
dan daya minat permainan air, tidak adanya penghasillan rutin,
honor pekerja yang kurang dari UMP, SDM, dan kurangnya
kesadaran hukum, bantuan hukum dan perlindungan hukum.

63
Efri Syamsul Bahri

(Rahmanto, 2015)
Kesuksesan pemberdayaan juga ditentukan oleh
faktor kemitraan strategis. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat harus melibatkan berbagai potensi yang ada
dalam masyarakat, beberapa elemen yang terkait, misalnya.
(Noor, Pemberdayaan Masyarakat, 2011, hal. 98) Pertama,
Peranan Pemerintah dalam artian birokrasi pemerintah harus
dapat menyesuaikan dengan misi ini, mampu membangun
partisipasi, membuka dialog dengan masyarakat, menciptakan
instrument peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang
memihak golongan masyarakat bawah.
Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan diluar
lingkungan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat,
organisasi kemasyarakatan nasional maupun lokal, Ketiga,
lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan didalam
masyarakat itu sendiri (local community organization)
seperti BPD, PKK, Karang Taruna dan sebagainya, Keempat,
koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat yang merupakan
organisasi sosial berwatak ekonomi dan merupakan bangun
usaha yang sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia.
Kelima, Pendamping dierlukan karena masyarakat miskin
biasanya mempuyai keterbatasan dalam pengembangan diri
dan kelompoknya, Keenam, pemeberdayaan harus tercermin
dalam proses perencanaan pembangunan nasional sebagai
proses bottom-up. Ketujuh, keterlibatan masyarakat yang
lebih mampu khususnya dunia usaha dan swasta.

B. Faktor Kegagalan Pemberdayaan Masyarakat


Strategi untuk memberdayakan pelaku usaha skala
mikro dan kecil antara lain dilakukan melalui peningkatan
produktivitas usahanya. Namun menurut Wulandari (2007)

64
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dalam (Dewanti, 2010, hal. 1-2) strategi pemberdayaan


pengusaha mikro pada umumnya seringkali tidak berhasil
antara lain disebabkan beberapa faktor. Pertama, Kurang
kesadaran dan motivasi dari pengusaha sendiri untuk
mengembangkan usaha lebih profesional. Mereka sudah
merasa cukup jika produknya terjual. Kedua, Kurang inovasi
dalam manajemen usaha baik di bidang pemasaran, produksi
maupun strategi penjualan. Ketiga, Terbatasnya waktu untuk
terjun secara total dalam usaha karena terbentur aktivitas
domestik maupun sosial (pengajian, arisan, pertemuan warga,
dll) terutama bagi pengusaha perempuan, sehingga mereka
tidak punya waktu untuk kegiatan pelatihan usaha, dll.
Keempat, Akses kepada pendanaan dan permodalan rendah.
Kelima, Kelompok usaha tidak solid ataupun tidak tergabung
dalam kelompok usaha, sehingga tidak ada multiplier effect
dari keberhasilan yang telah diraih oleh salah satu anggota
ataupun proses pembelajaran bersama tidak jalan.
Selain permasalahan tersebut (Dewanti, 2010, hal.
2), belum adanya pembinaan yang terintegrasi baik dari
sisi permodalan, manajerial, maupun pengembangan
sumberdaya manusia, sehingga diperlukan pembinaan yang
lebih terintegrasi agar kemajuan usaha dapat bertahan lama
tanpa mengurangi kemandirian usaha.
Dalam konteks program pemberdayaan yang dilakukan
oleh pemerintah, berdasarkan data lapangan bahwa peran
pemerintah pusat dalam pemberdayaan masyarakat nelayan
di Prigi sangat dominan, peran dominan pemerintah pusat
menyebabkan gagalnya sebuah pemberdayaan masyarakat.
Program pembangunan yang terjadi sekarang ini cenderung
bersifat top-down, dengan berjalannya sifat itu memberi ruang
gerak pemerintah daerah kurang berperan karena kebijakan

65
Efri Syamsul Bahri

pembangunan di bidang perikanan ditentukan oleh pusat dan


peran masyarakat sangat kecil dan menyebabkan kegagalan
sebuah program. (Hariyanto, 2014)

66
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB IX KEMISKINAN

A. Defenisi dan Karakteristik


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan
dengan istilah kemiskinan absolut yaitu: situasi penduduk
atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi
makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan
untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
((KBBI)). Definisi kemiskinan BPS menggunakan pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan
ini kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik kebutuhan dasar
makanan (2100 kcal/cap/hari) maupun kebutuhan dasar
bukan makanan (Soleh, 2013, hal. 200).
Kemiskinan adalah kondisi keterbatasan kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak seperti
keterbatasan dalam pendapatan, keterampilan, kondisi
kesehatan, penguasaan aset ekonomi, ataupun akses informasi.
Pengukuran ini bersifat materi atau pendekatan moneter.
Pengukuran dengan pendekatan moneter dapat dilakukan
dengan menggunakan data pengeluaran sebagai pendekatan
pendapatan rumah tangga. Kemudian data pengeluaran ini

67
Efri Syamsul Bahri

diperbandingkan dengan suatu batas nilai tukar rupiah yang


diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Batas ini sering disebut sebagai garis kemiskinan. Penduduk
yang pengeluarannya lebih kecil daripada garis kemiskinan
ini disebut penduduk miskin. Pemerintah menggunakan garis
kemiskinan berdasarkan ukuran dari Badan Pusat Statistik
(BPS) yang dihitung berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi
Nasional (Susenas).
Selain dengan pendekatan moneter, kemiskinan juga
dapat diukur dengan aspek lain seperti akses terhadap layanan
pendidikan, kesehatan, dan informasi publik, kepemilikan
barang berharga, kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan
masyarakat, kebebasan berpendapat, dan sebagainya
(Akhmadi, 2016)
Di dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2011 Tentang
Penanganan Fakir Miskin disebutukan bahwa fakir miskin
adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber
mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/
atau keluarganya.
Berdasarkan Peraturan Badan Amil Zakat Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang
Pendistribusian Dan Pendayagunaan Zakat, yang dimaksud
fakir merupakan orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sedangkan miskin merupakan orang yang mempunyai sumber
mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan
dirinya dan/atau keluarga yang menjadi tanggungannya.
Dalam istilah harafiah, kemiskinan berarti keadaan

68
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

menjadi sangat miskin dan kualitasnya rendah atau jumlahnya


tidak mencukupi. Kata itu berasal dari kata Prancis kuno
“poverte” dan kata Latin “paupertas” dari “pauper” yang
berarti miskin. Ada beberapa definisi multi dimensi tentang
kemiskinan. Pada tahun 1998 PBB mendefinisikan Kemiskinan
sebagai pelanggaran martabat manusia di mana manusia tidak
memiliki pilihan dan peluang. (Arif, 2017)
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai
seseorang yang miskin kesejahteraan, yang meliputi berbagai
masalah yaitu berpenghasilan rendah, kurangnya akses ke
fasilitas hidup dasar, kekurangan gizi, kurangnya pendidikan
dan tekanan mental. Smelser dan Baltes mendefinisikan
kemiskinan sebagai kondisi ketika sebuah keluarga tidak
dapat memenuhi ambang batas pendapatan yang ditetapkan
negara. Secara internasional setiap keluarga dengan jumlah
penghasilan $ 1,90 sesuai Bank Dunia disebut sebagai sangat
miskin. Sesuai statistik Bank Dunia, 16% dari populasi dunia
yang terkonsentrasi di negara-negara berpenghasilan tinggi
adalah pemilik 55% dari pendapatan dunia, negara-negara
berpenghasilan rendah yang menyumbang 72% dari populasi
dunia hanya menghasilkan 1% dari pendapatan global. (Arif,
2017)
Defenisi yang lain menyebutkan bahwa kemiskinan
adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi standar
minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup dengan layak,
baik itu disebabkan tidak dapat pekerjaan karena kondisi
kesehatan, pendidikan, cacat, dll (Chaniago, 2015), kemiskinan
berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan pemerataan
(Giyarsih, 2014), ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar, menyangkut kemungkinan
orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan

69
Efri Syamsul Bahri

mengembangkan kegiatan perekonomian dalam upaya


meningkatkan taraf kehidupannya (Soetrisno, 2001: 78) dalam
(Mulyadi, 2018)
Kemiskinan adalah syarat nilai (valueladen) dan
dipengaruhi secara kultural (Aaberge & Mogstad, 2007:3).
Menurut Chambers dalam Suharto (2005:142) konsep
kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni:
kemiskinan pendapatan. Sahdan (2005) menegaskan ketika
orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah
kemiskinan material. Seseorang masuk dalam kategori miskin
apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan
pokok untuk dapat hidup secara layak. Ada dua teori besar
(grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-
liberal dan demokrasi-sosial (Nawawi, 2007: 159; Suharto,
2005:140).
Dalam teori neo-liberal, dijelaskan bahwa komponen
penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu.
Para pendukung neo-liberal berargumentasi bahwa
kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan
oleh kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan individu
yang bersangkutan. Teori demokrasi-sosial memandang
kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan
struktural. Kemiskinan disebabkan adanya ketidakadilan
dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya
akses-akses kelompok masyarakat tertentu terhadap berbagai
sumber kemasyarakatan (Nawawi, 2007:159; Suharto,
2005:140). Kedua teori kemiskinan tersebut sekarang sudah
mulai ditinggalkan karena tidak menggambarkan realitas
sosial yang berkembang dan kemiskinan pada dasarnya
bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan manusia.
(Ahmadi, 2012)

70
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Dalam perspektif Islam, kemiskinan tidak hanya dilihat


dari aspek material tetapi juga dari moral/ spiritual, oleh
karena itu, setiap strategi pengentasan kemiskinan harus
mencerminkan kedua aspek tersebut. Dapat dikatakan
bahwa sementara pendekatan konvensional pada kemiskinan
meninggalkan pentingnya komitmen pada moral/ spiritual,
pendekatan Islam memiliki lebih banyak perhatian pada
aspek tersebut. (Riwajanti, 2013, hal. 255)
Di dalam Islam, kemiskinan adalah kondisi dimana
seseorang mengalami kekurangan secara spiritual dan material
(Nur Rianto Al Arif, 2001). Kurang secara spiritual berkaitan
dengan miskin iman dan ilmu. Sementara kekurangan secara
material diartikan sebagai miskin dalam hal harta. (Ade
Yunita Mafruhat, 2016) Kemiskinan spiritual menggambarkan
kemiskinan situasi kehidupan batin seseorang yang tak pemah
merasa puas dengan apa yang dimiliki dan diperolehnya,
yang selalu tak mencukupi untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhannya. Agama menyebutnya sebagai orang yang tidak
dapat bersyukur atas nikmat Tuhan. Sedangkan kemiskinan
material bersifat ekonomis, yaitu: penghasilan diperolehnya
sangat rendah, yang dapat mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan fisik minimum. (Asy’arie, 1994)
Menurut Salim (1980), ciri-ciri penduduk miskin
adalah tidak memiliki faktor produksi sendiri (lahan,
modal, keterampilan), tidak memiliki kemungkinan untuk
memperoleh pengusaan terhadap faktor produksi dengan
kekuatan sendiri, tingkat pendidikan rendah, dan tidak
memiliki lahan, kalaupun ada sempit, sebagian besar bermata
pencaharian sebagai buruh tani atau pekerja kasar di luar
pertanian.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi probabilitas

71
Efri Syamsul Bahri

miskin antara lain: gender kepala rumah tangga, usia


kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, status
pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap kredit usaha,
pendidikan kepala rumah tangga, akses teknologi informasi
dan komunikasi, dan lokasi tempat tinggal. (Sugiharti, 2016)
Karakteristik penduduk miskin perkotaan dapat dilihat
dari variable berikut ini: pendidikan, ketenagakerjaan,
ukuran rumah tangga, akses terhadap pelayanan, jaminan
kepemilikan dan kondisi perumahan. Kepala rumah tangga
perkotaan yang miskin kemungkinan besar bekerja sendiri
dan lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi karyawan
yang menerima upah dibandingkan kepala rumah tangga
yang tidak miskin, masyarakat miskin perkotaan memiliki
pendidikan yang lebih rendah dibanding yang tidak miskin
(Baker, 2008), rumah tangga miskin perkotaan lebih besar
daripada yang tidak miskin, rata-rata lebih banyak 1 orang
(sekitar 5 berbanding 4). (Baker, 2013)

B. Penyebab Kemiskinan
Kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh berbagai faktor
misalnya minimnya kesempatan kerja, upah di bawah standar
minimum, produktivitas kerja yang rendah, ketiadaan
aset, diskriminasi, tekanan harga dan penjualan tanah
untuk kepentingan non produktif. Dari sisi penyebabnya,
Suhardjo (1988) membaginya menjadi 2 (dua) kategori, yaitu:
kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan
alamiah disebabkan oleh keadaan alamnya yang miskin
atau langkanya sumberdaya alam. Sedangkan kemiskinan
struktural disebabkan oleh struktur sosial masyarakat
yang menyebabkan tidak dapat ikut menggunakan sumber
pendapatan yang tersedia. (Giyarsih, 2014)

72
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Menurut Jeffrey Sachs (2005, dalam Depdagri & LAN,


2007) terdapat enam modal utama yang tidak dimiliki oleh
masyarakat miskin. Pertama, modal manusia yang mencakup
kesehatan, nutrisi, keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi
produktif dalam ekonomi. Kedua, modal usaha yang meliputi
mesin, fasilitas motor elektronik yang dipergunakan dalam
bidang pertanian, industri termasuk industri jasa. Ketiga,
infrastruktur seperti jalan, listrik, air, sanitasi dan sistem
telekomunikasi. Keempat, modal yang berkaitan dengan alam
yaitu tanah yang subur, keanekaragaman hayati, ekosistem
yang berfungsi dengan baik yang dapat menyediakan
pelayanan lingkungan yang dibutuhkan oleh manusia.
Kelima, modal institusi publik, seperti peraturan-peraturan
perdagangan komersial, sistem hukum, pelayanan dan
kebijakan pemerintah yang mengatur pembagian tenaga
kerja yang damai dan adil. Keenam, modal pengetahuan yang
terdiri atas ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
meningkatkan produktifitas dalam menghasilkan produk
serta meningkatkan modal fisik dan alam. (Kurniawan, 2017)
Faktor-faktor penentunya maka studi ini akan dibatasi
pada faktor-faktor sosial ekonomi yang terukur yaitu:
karakteristik sosial ekonomi yang merupakan faktor yang
mempengaruhi kemampuan suatu rumahtangga untuk
memperoleh pekerjaan dan pendapatan, dalam hal ini indikator
yang akan digunakan adalah tingkat pendapatan, pendidikan
dan pekerjaan kepala keluarga, serta pendapatan anggota
keluarga lainnya. Karakteristik sosial yang ditinjau dari
aspek pendidikan dan jumlah anggota keluarga di asumsikan
bahwa pendidikan akan berpengaruh pada pekerjaan dan
pendapatan (Prasetyo,2010; Sutomo,2006; dan Budianto,2007),
sedangkan jumlah anggota keluarga mencerminkan beban

73
Efri Syamsul Bahri

tanggungan kepala keluarga, artinya kesejahteraan keluarga


akan berpengaruh bila bila jumlah anggota keluarga terlalu
besar. (Kurniawan, 2017)
Kemiskinan adalah syarat nilai dan dipengaruhi secara
kultural (Aaberge & Mogstad, 2007:3) (Ahmadi, 2012) Dari
sudut pandang penyebab, kemiskinan dapat dikelompokkan
menjadi kemiskinan alamiah dan struktural. Sedangkan dalam
pandangan Sharp, et.al (dalam Kuncoro, 1997:131) penyebab
kemiskinan dari sisi ekonomi, yaitu: ketidaksamaan pola
kepemilikan sumberdaya, perbedaan kualitas sumberdaya
manusia dan akibat perbedaan akses modal. Penyebab
kemiskinan lainnya menurut SMERU ada 3 (tiga), yaitu: 1)
Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi
kebutuhan dasar, 2) Kerentanan dan ketidakmampuan
menghadapi goncangan-goncangan, dan 3) Tidak adanya
suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan
di dalam institusi negara dan masyarakat. (HM, 2015)
Ada banyak penjelasan mengenai sebab-sebab
kemiskinan. Kemiskinan massal yang terjadi di banyak Negara
yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II menfokuskan
pada keterbelakangan dari perekonomian Negara tersebut
sebagai akar masalahnya. (Hardiman dan Mifgey, 1982:52-
54) dalam Penduduk Negara tersebut miskin karena
menggantungkan diri pada sector pertanian yang subsisten,
metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi
dengan sikap apatis terhadap lingkungan. (Kuncoro, 1997:106)
Sharp, et.al (1996:173-191) mencoba mengidentifikasi
penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama,
secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan
pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki

74
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.


Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas
sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia
yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada
gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya
manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang
beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.
Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam
modal. (Kuncoro, 1997:107)
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori
lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya
keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya
modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktvitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang
mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi
pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi
berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya (lihat
Gambar). Logika ini dikemukakan oleh Ragnar Urkse, ekonom
pembangunan ternama, di tahun 1953, yang mengatakan: “a
poor country is poor because it is poor” (Negara miskin itu miskin
karena dia miskin) (Kuncoro, 1997:107)

75
Efri Syamsul Bahri

Gambar 1
Lingkaran Setan Kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty)
Sumber: (Kuncoro, 1997, hal. 107)

Ketidaksempurnaan
pasar, Keterbelakangan,
Ketertinggalan
Kekurangan Modal

Produktifitas
Investasi Rendah
Rendah

Tabungan Pendapatan
Rendah Rendah

C. Tipologi Kemiskinan
Dalam Islam makna kemiskinan dapat dilihat dari dua
perspektif, seperti perspektif material (material) dan non-
material (spiritual). Ada dua istilah untuk mendefinisikan
kemiskinan. Fakir dan Miskin, fakir adalah yang tidak
memiliki cukup kekayaan atau penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan hidup seperti makanan, tempat tinggal dan semua
kebutuhan dasar lainnya. Sedangkan orang miskin adalah
yang memiliki kekayaan atau pendapatan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi tidak semua terpenuhi,
misalnya, dari sepuluh tetapi hanya tujuh yang terpenuhi.
Kemiskinan jiwa adalah dunia yang miskin dan akhirat, di

76
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

mana di dunia orang tersebut tidak mendapatkan kesenangan


dan materi yang mewah bahkan di akhirat mereka tidak bisa
merasakan surga sukacita. Kaya di dunia, tetapi mereka tidak
memiliki iman, itu akan menderita dari kurangnya kebutuhan
yang cukup, sibuk seperti biasa dan tanpa batas bahagia,
sehingga mereka tidak mendapatkan apa pun di Akhirat.
(Nuruddin, 2017)
Sony Harry (2007) membagi kemiskinan ke dalam dua
jenis kemiskinan yaitu: kemiskinan kronis dan kemiskinan
sementara (transient poverty). Ciri kemiskinan kronis adalah
sangat terbatasnya infrastruktur transportasi, sering mengalami
sakit, tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, serta
tidak memiliki banyak peluang untuk memperoleh pendidikan.
Pada kemiskinan kronis tidak terlihat adanya kekuatan dari
dalam diri masyarakat miskin untuk dapat mengembalikan
kondisi kesejahteraan ke situasi semula, sehingga intervensi
pihak luar mutlak diperlukan dalam upaya mengentaskan
mereka dari kemiskinan. Sedangkan kemiskinan sementara
(transient poverty), disebabkan karena suatu kejadian atau
perkara yang mempengaruhi kehidupan orang tersebut.
Ketika kondisinya membaik, hidupnya kembali normal dan
lebih baik. Kemiskinan di perkotaan umumnya memiliki ciri
atau karakteristik kemiskinan transien. (Nurwati, 2008)

D. Instrumen Pengentasan Kemiskinan


Pembangunan manusia dipandang sebagai cara
yang efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan (Noor,
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia (Studi Tentang
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perkotaan Di Kota Semarang), 2014). Pengalaman penanganan
kemiskinan di Indonesia menunjukkan beragamnya pola

77
Efri Syamsul Bahri

penanganan kemiskinan (Bahri, Zakat dan Pembangunan


Sosial, 2013). Pertama, pola top down. Pola seperti ini menganut
pemusatan pada pengambil kebijakan. Masyarakat miskin
dalam hal ini adalah sasaran program. Berbagai rumusan
yang terkait penanganan kemiskinan disusun secara top down
tanpa melibatkan masyarakat miskin.
Kedua, pola buttom-up. Pola seperti ini menerapkan
partisipasi masyarakat miskin dalam penanganan kemiskinan
mulai sejak perencanaan, pelaksaan, monitoring dan evaluasi.
Artinya, masyarakat miskin terlibat pada setiap tahapan
penanganan. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pada
dasarnya masyarakat miskin mempunyai potensi untuk bangkit
dari keetrpurukan. Yang diperlukan untuk mengakat harkat
dan martabat mereka adalalah peran motivator, fasilitator,
mediator dan pendampingan. Ketiga, pola kombinasi antara
kedua pendekatan tadi. Karena ada hal-hal yang efektif secara
top down a nada yang efektif secara buttom-up. Kombinasi
kedua pendekatan ini juga bisa menselaraskan pencapaian
penanganan kemiskinan
Menurut Qordhowi (Setiadi, 2016), sesuai dengan prinsip
Islam ada beberapa 4 (empat) cara dalam penanggulangan
kemiskinan, yaitu: dengan bekerja, jaminan sanak famili,
jaminan negara dan melalui zakat. Pertama, dengan bekerja.
Pekerjaan itu sesuai dengan nilai-nilai Islam, dimana produk
yang dihasilkan halal dan cara-cara yang dilakukan juga
thayyib, pekerjaan yang dilakukan tidak merugikan orang
lain dan tidak menipu. Hal ini didasarkan pada Firman Allah
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu”. (QS Al Baqarah 2:168). Dengan bekerja seseorang

78
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

akan memperoleh penghasilan. Melalui penghasilan inilah


dia mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Dengan demikian pribadi dan keluarga mandiri dapat
berperan memberi bukan meminta. Kedudukannya menjadi
makin mulia disisi Allah SWT.
Kedua, jaminan sanak famili. Sanak famili adalah
orang yang pertama berkewajiban memenuhi kebutuhan
saudaranya. Oleh karena itu hubungan persaudaraan perlu
terus dipupuk dan ditumbuhkan. Tidak mustahil kita
temui sanak familinya tidak memperhatikan kebutuhan
saudaranya karena kurang eratnya tali persaudaraan. Oleh
karenanya silaturahim menjadi penting untuk dibingkai
guna memperkuat hubungan kekeluargaan. Firman Allah
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah BERSAUDARA
........” (QS Al Hujurat:10).
Ketiga, jaminan negara. Salah satu tanggung jawab
negara adalah memberikan perlindungan kepada rakyat.
Perlindungan itu dapat diwujudkan dengan mengalokasikan
anggaran negara guna memenuhi kebutuhan masyarakat
miskin. Adanya jaminan negara akan membawa dampak
positif bagi ketenangan dan kenyamanan serta kesejahteraan
masyarakat. Disinilah letaknya keadilan. Dimana negara
sangat berperan di dalam mendistribusikan kelebihan
pendapatan dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat
yang miskin. Sehingga hubungan sosial akan menajdi semakin
kondusif.
Keempat, melalui zakat. Diantara rukun Islam yang lima,
zakat termasuk rukun Islam yang berdimensi ibadah sosial.
Melalui mekanisme zakat, para fakir miskin akan memperoleh
haknya. Efek multipliernya, daya beli mustahik (penerima
zakat) menjadi meningkat. Perekonomian pun akan tumbuh

79
Efri Syamsul Bahri

dan berkembang. Usaha-usaha produktif diharapkan semakin


pulih. Dengan mekanisme ini dana tidak saja beredar di antara
orang-orang kaya. Fakir miskin pun ikut menikmatinya.
Firman Allah SWT, “.... supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...” QS Al-Hasyr
59:7). Wallahua’lam bish shawab.
Berbagai perencanaan pembangunan selalu mengarah
pada penguatan bidang ekonomi. Indikator keberhasilan
pembangunan suatu negarapun dapat dilihat pada
ketercapaian target-target ekonominya. Pertumbuhan
ekonomi, pendapatan perkapita penduduk, jumlah
pengangguran, tingkat kemiskinan, dan neraca pembayaran
adalah ukuran-ukuran yang dicapai dalam menilai tingkat
keberhasilan pembangunan ekonomi (Baswir, 2009). (Almizan,
2016)

E. Pengentasan Kemiskinan
Pengalaman di Negara-negara Asia menunjukkan
adanya berbagai model mobilisasi perekonomian
perdesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: Pertama,
mendasarkan pada mobilisasi tenaga kerja yang masih belum
didayagunakan (idle) dalam rumah tangga petani gurem agar
terjadi pembentukan modal di perdesaan (Urkse, 1951). Model
yang kedua, menintikberatkan pada transfer sumberdaya dari
pertanian ke industry melalui mekanisme pasar (Lewis, 1954;
Fei dan Ranis, 1964). Model ketiga, menyoroti potensi pesatnya
pertumbuhan dalam sector pertanian yang dibuka dengan
kemajuan teknologi dan kemungkinan sector pertanian
menjadi sector yang memimpin (Schultz, 1963; Mellor, 1976).
Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan Berbasis
Teknologi atau Rural-Lead Development. (Kuncoro, 1997, hal.

80
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

108-110)
Penciptaan kesempatan bagi sebagian besar masyarakat
(kaum miskin) merupakan inti kerja pengabdian kami selama
30 tahun terakhir ini. (Yunus, 1428:35) Dalam pandangan
Syamsul Bahri (2005:54-55) upaya pengentasan kemiskinan
harus diarahkan pada:
1. Meningkatkan kualitas dan kemampuan sumber daya
manusia, melalui jalur pelayanan pendidikan (transfer
iptek), pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi.
2. Mengembangkan tingkat partisipasi penduduk miskin
secara sinergis untuk membentuk kelompok sehingga
mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam
bernegosisasi dengan pihak lain.
3. Mengembangkan dan membuka usaha produktif
yang dapat diakses oleh kelompok miskin secara
berkelanjutan.
4. Memperbesar akses masyarakat miskin dalam
penguasaan faktor-faktor produksi.
5. Pemihakan kebijakan publik yang mampu mendorong
peningkatan daya beli masyarakat miskin.

F. Pengukuran Kemiskinan
• Pengukuran United Nations
Kemiskinan diukur pada garis kemiskinan internasional,
saat ini ditetapkan pada $ 1,90 pada paritas daya beli 2011,
telah menurun dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir
dan pada 2013 adalah sepertiga dari nilai tahun 1990. Perkiraan
global terbaru menunjukkan bahwa 10,9 persen, atau 783 juta
orang, hidup di bawah ambang batas ini pada tahun 2013.
Lebih dari setengah dari penduduk miskin ekstrem di dunia
tinggal di Afrika sub-Sahara, sementara sekitar sepertiga

81
Efri Syamsul Bahri

tinggal di Asia Selatan. (United Nations, 2018)

• Pengukuran World Bank


Sementara itu, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan
internasional sebesar USD 1,90 per hari pada tahun 2015
(Word Bank, 2015) sebagai standar internasional yang bisa
diterapkan di seluruh negara. (BAZNAS, Kajian Had Kifayah,
2018, hal. 1)

• Pengukuran BPS
Ukuran garis kemiskinan yang digunakan oleh Biro
Pusat Statistik (BPS) berdasarkan pendekatan kemiskinan
absolut, dengan mengacu pada definisi kemiskinan oleh
Sayogyo (2000). Diukur dengan menghitung jumlah penduduk
yang memiliki pendapatan per kapita yang tidak mencukupi
untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang nilainya ekuivalen
dengan 20 kg beras per kapita per bulan untuk daerah
pedesaan, dan 30 kg beras untuk daerah perkotaan. Standar
kecukupan pangan dihitung setara 2.100 kilo kalori per kapita
per hari ditambah dengan pengeluaran untuk kebutuhan non
makanan (perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian).
(Nurwati, 2008)

• Pengukuran Had Kifayah


Had Kifayah adalah sebuah kondisi layak hidup
seseorang serta mereka yang berada dalam tanggungannya.
Had Kifayah juga merupakan level yang lebih tinggi dari
sekedar had al-kafaf (batas minimun) dan sifat Had Kifayah
bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan tempat
dan waktu. Istilah lain had kifayah antara lain ada yang
menyebut al-hajah al-asliyyah (kebutuhan dasar) menurut

82
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

ahli fikih mazhab Hanafi dan had al-ghina (batas kekayaan).


(BAZNAS, Kajian Had Kifayah, 2018, hal. 11)
Had Kifayah adalah batas kecukupan atau standar dasar
kebutuhan seseorang/keluarga ditambah dengan kecukupan
tanggungan yang ada sebagai upaya menetapkan kelayakan
penerima zakat mustahik fakir miskin sesuai kondisi wilayah
dan sosioekonomi setempat. Berdasarkan kajian literatur
yang telah dilakukan, Had Kifayah memiliki tujuh dimensi
berdasarkan dengan kebutuhan dharuriyat dan haj iat
assasiyat manusia. Dimensi Had Kifayah meliputi makanan,
pakaian, perumahan dan fasilitas rumah tangga, ibadah,
pendidikan, kesehatan dan transportasi. Landasan teori setiap
dimensi berasal dari landasan syariah sesuai dengan Al –
Qur‟an, hadits, para ulama, dan kitab-kitab yang lain serta
landasan teori lain berasal dari UUD, Peraturan kementerian,
hasil survey BPS, jurnal, dan literatur lainnya. (BAZNAS,
Kajian Had Kifayah, 2018, hal. 61)
Hasil perhitungan Had Kifayah menunjukan bahwa
rata rata Had Kifayah di Indonesia mencapai Rp3.011.142,-
perkeluarga perbulan. Sedangkan Had Kifayah perorangan
mencapai Rp. 772.088,- perkapita perbulan. Jawa tengah
memiliki nilai Had Kifayah terendah dengan nilai Rp2.791.147,-
per keluarga per bulan atau Rp715.679,- perkapita perbulan.
Dan nilai Had Kifayah tertinggi adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur yaitu Rp. 3.363.105,- perkeluarga perbulan
atau Rp. 862.335,- perkapita perbulan. Banten memiliki Had
Kifayah dengan nilai Rp2.924.599,- perkeluarga perbulan
atau Rp749.897,- perkapita perbulan (BAZNAS, Kajian Had
Kifayah, 2018, hal. 61)

83
Efri Syamsul Bahri

BAB X MODAL SOSIAL

A. Defenisi Modal Sosial


Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community
Centre (Hanifan, 1916:130) Hanifan mengatakan modal sosial
bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan
atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun
merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam
hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial
termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta
hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan
keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Modal
sosial menekankan perlunya kemandirian dalam mengatasi
masalah sosial dan ekonomi, sementara bantuan dari luar
dianggap sebagai pelengkap guna memicu inisiatif dan
produktivitas yang muncul dari dalam masyarakat sendiri.
(Syahra, 2003)

B. Jenis Modal Sosial


James Coleman, Robert Putnam dan Francis Fukuyama

84
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

merupakan tokoh-tokoh yang pemikirannya telah mendorong


para pakar lainnya untuk melakukan pengkajian mengenai
peranan modal sosial dalam berbagai bidang, seperti politik
dan pemerintahan, pelayanan umum, transaksi ekonomi,
pendidikan, kesehatan, rekrutment tenaga kerja, pertanian,
pengelolaan sumber air, pengentasan kemiskinan, dan
sebagainya. Kajian-kajian yang telah dilakukan kemudian
dijadikan sebagai titik tolak dalam mengembangkan berbagai
unsur pokok modal sosial, seperti jaringan hubungan, norma-
norma sosial, kepercayaan dan kemauan untuk saling berbalas
kebaikan (resiprositas) guna meningkatkan kualitas dari
bidang-bidang tersebut. Para pakar yang muncul belakangan
melalui berbagai tulisannya berusaha menetapkan lebih lanjut
kerangka konseptual bagaimana bentuk operasionalisasi
modal sosial dengan menetapkan berbagai kriteria yang dapat
digunakan untuk mengukur kondisi modal sosial pada suatu
kelompok masyarakat. Dengan adanya alat pengukur ini
maka kemudian dapat dilakukan langkah-langkah intervensi
yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas modal pada
kelompok masyarakat tersebut. (Syahra, 2003)

C. Dimensi Modal Sosial


Bain dan Hicks (dikutip dalam Krishna dan Shradder,
2000) mengajukan dua dimensi modal sosial sebagai kerangka
konseptual untuk mengembangkan alat pengukur tingkat
keberadaan modal sosial. Dimensi pertama yang disebutnya
dimensi kognitif, berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan
keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan, solidaritas dan
resiprositas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama
dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama. Setiap
kelompok etnik sebenarnya memiliki dimensi kognitif atau

85
Efri Syamsul Bahri

bisa juga disebut sebagai dimensi kultural, sekalipun dalam


kadar yang berbeda. Ada yang kaya dengan nilai-nilai budaya
sebagai modal sosial yang memungkinkan terpeliharanya
hubungan yang harmonis, baik sesama warga masyarakat
secara internal maupun dengan orang-orang dari kelompok
sukubangsa atau etnik yang berbeda. Sementara kelompok
etnik tertentu lebih menekankan nilai-nilai solidaritas dan
kerjasama dalam kelompok sendiri dan secara tradisional
tidak memiliki pedoman untuk berinteraksi secara baik. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pada nilai-nilai budaya yang dimiliki
kelompok masyarakat yang pertama secara tradisional
terdapat keseimbangan antara modal sosial yang mengatur
keharmonisan dan solidaritas hubungan internal sesama
anggota kelompok, yang disebut dengan istilah bonding
sosial capital atau modal sosial pengikat, dengan modal sosial
yang memungkinkan terciptanya kerjasama dan hubungan
yang saling menguntungkan dengan warga dari kelompok
etnik lain, yang disebut dengan istilah bridging sosial capital
atau modal sosial jembatan. Disebut modal sosial jembatan
karena menjembatani perbedaan-perbedaan yang terdapat
antara kelompok masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya
yang berbeda, dengan lebih mengutamakan persamaan yang
terdapat pada kedua pihak. (Syahra, 2003)
Kelompok masyarakat yang secara tradisional kurang
memiliki nilai-nilai budaya yang merupakan modal sosial
jembatan ini cenderung lebih mementingkan kelompok
sendiri, bersifat eksploitatif dan mudah terlibat dalam konflik
dengan kelompok lain. Konflik akan lebih mudah lagi terjadi
kedua pihak sama-sama tidak memiliki modal sosial jembatan.
(Syahra, 2003)
Dimensi kedua modal sosial adalah dimensi struktural,

86
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

yang berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-


lembaga masyarakat pada tingkat lokal, yang mewadahi
dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kolektif yang
bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat. Dimensi struktural
ini sangat penting karena berbagai upaya pembangunan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan
lebih berhasil bila dilakukan melalui kelembagaan sosial pada
tingkat lokal. Dimensi struktural modal sosial yang secara
umum adalah berupa jaringan hubungan dalam kelembagaan
mendapat perhatian penting di dalam menelaah pentingnya
modal sosial dalam pembangunan ekonomi. Beberapa tulisan
dan kajian seperti yang disajikan berikut ini menjelaskan hal
tersebut. (Syahra, 2003),

87
Efri Syamsul Bahri

BAB XI SPIRITUALITAS

A. Defenisi Spiritualitas
Levin (dalam Zullig, Ward & Horn, 2006) mendefinisikan
spiritualitas sebagai cara hidup yang dapat dipelajari dimana
saja, yang menentukan bagaimana seseorang berespon pada
pengalaman-pengalaman kehidupannya. Meezenbroek,
Garssen, van den Berg, Tuytel, van Dierendonck, Visser,
dan Schaufeli (2012) mendefinisikan spiritualitas sebagai
perjuangan demi mencapai dan mengalami keterhubungan
dengan esensi kehidupan. (Rosalina, 2013)
Pendefinisian spiritualitas sendiri dapat dilakukan
dengan dua pendekatan: theistic dan non-theistic. Pendefinisian
spiritualitas yang seringkali dikaitkan dengan religiusitas
menggunakan pendekatan theistic. Sedangkan pendekatan
non-theistic didasarkan pada pandangan sekular, humanistik,
dan elemen eksistensial (Moberg, dalam Meezenbroek dkk,
2012). Secara umum, spiritualitas seringkali dikaitkan dengan
keterhubungan : keterhubungan dengan diri sendiri, orang
lain, dan kekuatan transenden. Pada penelitian ini, definisi
yang digunakan berasal dari Meezenbroek dkk. (2012) yaitu
perjuangan demi mencapai dan mengalami keterhubungan

88
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dengan esensi kehidupan. (Rosalina, 2013)


Banyak penelitian telah dilakukan mengenai peran
spiritualitas terhadap aspek-aspek kehidupan manusia dan
hasilnya telah bervariasi. Misalnya hasil penelitian Pargament
& Park (1997: 43-53) yang menunjukkan bahwa individu yang
lebih religius atau spiritual, dan menggunakan spiritualitasnya
untuk mengatasi hidup, mengalami banyak manfaat untuk
kesehatan dan kesejahteraan. (Rosalina, 2013)
Secara tradisional spiritualitas berkaitan erat atau
identik dengan konsep religiusitas. Namun, selama bertahun-
tahun, meskipun telah banyak usaha yang telah dilakukan,
masih sedikit kesepakatan yang dicapai mengenai kedua
istilah tersebut (Zinnbauer et al, 1997: 549).
Reich (1996:149) menyebutkan empat cara yang
bisa dilakukan untuk menggambarkan hubungan antara
religiusitas dan spiritualitas, yaitu: bahwa keduanya adalah
domain yang terpisah, bahwa keduanya adalah domain yang
berbeda tetapi tumpang tindih, bahwa keduanya adalah sama,
dan bahwa salah satu adalah subdomain bagi yang lain. Kelly
(1995: 227) mengemukakan bahwa spiritualitas merupakan
pengalaman subjektif seseorang dari transendental sifat alam
semesta sementara agama dianggap ekspresi institusional
dalam menampilkan spiritualitas. Spiritualitas adalah
pengalaman universal, kurang dibatasi oleh doktrin terkait
dengan agama tertentu.. (Rosalina, 2013)
Wagener & Maloney (2006: 139) menunjukkan bahwa
spiritualitas memiliki potensi untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan utama yang intrinsik berkaitan pengalaman
menjadi manusia. Wilayah kerohanian termasuk pengalaman
transendensi, baik yang baik dan yang jahat, memiliki
hubungan dengan makna dan tujuan. Hal ini merupakan fungsi

89
Efri Syamsul Bahri

integratif yang mengarah ke pengalaman keutuhan pribadi


dan hubungan antara diri sendiri dan ciptaan, menemukan
individu dalam sistem transendensi makna. Agama, di sisi
lain, adalah keyakinan bersama dan struktur sosial di mana
spiritualitas terutama terbentuk dari agama menurut sebagian
besar manusia. Dengan demikian, spiritualitas mencakup
pencarian makna, untuk kesatuan, untuk keterhubungan,
transendensi, dan yang merupakan potensi tertinggi yang
dimiliki manusia. (Rosalina, 2013)
Hodge et al (2010: 3) menganggap spiritualitas menjadi
lebih luas konsepnya, yang mewakili keyakinan transenden
dan nilai-nilai yang mungkin atau mungkin tidak terkait
dengan organisasi keagamaan. Spiritualitas dapat dinyatakan
dalam konteks agama tetapi religiusitas seseorang tidak selalu
karena spiritualitas. (Rosalina, 2013)
Singleton et al (2004: 250) dalam menawarkan definisi
spiritualitas dengan kesadaran tujuan hidup berdasarkan
rujukan transenden. Bahwa definisi spiritual tidak leksikal. Ini
berarti bahwa Singleton tidak membuat klaim bahwa definisi
spiritualitasnya adalah ringkasan dari bagaimana orang lain
menggunakan konsep tersebut. Singleton et al (2004:250) juga
tidak bertujuan untuk membangun definisi secara definitif
konsep tersebut. Sebaliknya, Singleton menawarkan definisi
stipulatif berupa konsep kompleks dalam hal apa artinya
spiritualitas dalam suatu konteks atau pembahasan tertentu.
(Rosalina, 2013)

B. Dimensi Spiritualitas
Meezenbroek dkk (2012) menyatakan bahwa spiritualitas
terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi keterhubungan dengan
diri sendiri, dimensi keterhubungan dengan orang lain atau

90
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

alam, dan dimensi keterhubungan dengan sumber transenden.


Keterhubungan dengan diri sendiri ditunjukan oleh aspek
autentik, kedamaian batiniah, kesadaran, pemahaman diri,
dan pengalaman akan makna hidup (Young-Eisendrath
& Mileer, dalam Meezenbroek dkk, 2012). Keterhubungan
dengan orang lain atau alam berkaitan dengan perasaan
simpati terhadap seseorang yang berkemalangan, kepedulian,
rasa syukur, dan rasa haru terhadap sesuatu hal. Sedang
keterhubungan dengan kekuatan transenden dikaitkan
dengan keterhubungan dengan Tuhan atau sesuatu yang
berada di atas pemahaman manusia seperti dunia, realita
kehidupan, serta kekuatan yang lebih besar (Meezenbroek
dkk, 2012). (Rosalina, 2013)

C. Pendekatan Pemberdayaan
Pada kenyataannya, spiritualitas adalah aspek penting
dalam kehidupan manusia, karena itulah pekerja sosial
dalam memberikan pelayanan psikososial sebagai layanan
utamanya (core-services) semestinya tidak terlepas dari isu
dan konteks spiritualitas. Kajian terkini oleh Rapp (2010) telah
menunjukkan bahwa agama dan spiritual adalah kekuatan
dan bukannya patologi. (Azman, 2012)
Sebaliknya, spiritualitas juga dapat menjadi peluang
penyelesaian masalah sebab spiritual adalah salah satu
komponen utama kebutuhan manusia. Menurut Pierre dalam
Nelson (2009), spiritualitas dapat membantu seseorang dalam
menemukan makna hidupnya, mendorong untuk senantiasa
berpikir dan berbuat baik, mendorong untuk menjalin
keharmonisan dengan Tuhan, alam, masyarakat termasuk
menemukan kedamaian pikiran dan hati (kalbu), spiritulitas
dapat memberikan semangat (spirit), kebebasan dari belenggu

91
Efri Syamsul Bahri

keterpurukan dan spiritulitas turut memberikan jalan kearah


transformasi diri yang lebih bermakna. (Azman, 2012)
Pendekatan spiritualitas adalah salah satu kemahiran
(skill) yang sebaiknya dimiliki pekerja sosial dalam
memberdayakan klien secara emosional/psikis dan dalam
rangka membangun kembali spirit (ketergairahan) dalam
usaha menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk menjalani
kehidupan secara normal. (Azman, 2012)
Spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yang bila
diterjemahkan maknanya adalah rohani atau ruh yang berarti
segala sesuatu yang bukan jasmani, tidak bersifat duniawi dan
bukan cara-cara yang bersifat materialistik. (Azman, 2012)
Roof (1999) dalam Nelson (2009) berpendapat bahwa
spiritualitas mencakup 4 tema yakni : (1) sebagai sumber
nilai, makna dan tujuan hidup yang melewati batas kedirian
(beyond the self), termasuk rasa-misteri (sense of mystery) dan
transendensi diri (self- transcendence), (2) Sebuah cara untuk
mengerti dan memahami kehidupan, (3) kesadaran batin
(inner awareness) dan (4) integrasi personal. (Azman, 2012)
Spiritualitas memiliki fungsi integratif dan harmonisasi
yang melibatkan kesatuan batin dan keterhubungan dengan
manusia lain serta realitas yang lebih luas yang memberikan
kekuatan dan kemampuan pada individu untuk menjadi
transenden (Nelson (2009). (Azman, 2012)
Dalam istilah kontemporer dan literatur ilmiah,
spiritualitas memiliki sejumlah makna umum dan definisi.
Perbedaan ini mencerminkan kenyataan bahwa spiritualitas
adalah istilah yang memiliki makna yang luas, meliputi
beberapa domain makna yang mungkin berbeda antara
kelompok-kelompok budaya, kebangsaan dan berbagai
agama. Spilika dalam Dale dan Daniel (2011) membagi konsep

92
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

spiritualitas kedalam 3 bentuk yakni: (Azman, 2012)

1. Bentuk spiritualitas yang berorientasi pada Tuhan (God-


oriented), artinya pemikiran, pandangan maupun praktek
spiritualitasnya bersandar pada teologis atau atas wahyu
dari Tuhan. Ini dapat ditemukan pada hampir semua bentuk
praktek agama-agama yang dilembagakan, seperti Islam,
Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dll.

2. Bentuk spritualitas yang berorientasi pada dunia/alam


(world-oriented), yakni bentuk spiritualitas yang didasarkan
pada harmoni manusia dengan ekologi dan alam. Mungkin
kita pernah menyaksikan film The secret, yang banyak sekali
menyinggung perihal harmoni alam dengan pikiran manusia,
bahwa alam adalah medan magnet yang akan merespon
segala pikiran manusia, karena itulah manusia diwajibkan
untuk senantiasa mengembangkan pemikiran positif agar
alam semesta memberikan umpan-balik yang positif juga
menuju kehidupan yang maslahat secara batiniah.

3. Dan yang ketiga adalah spiritualistik-humanistik. Yang


mendasarkan bentuk spiritualnya
pada optimalisasi potensi kebaikan dan kreativitas manusia
pada puncak pencapain termasuk dalam hal ini pencapaian
prestasi.

93
Efri Syamsul Bahri

BAB XII KESEJAHTERAAN MUSTAHIK

A. Defenisi Kesejahteraan Mustahik


Menurut kamus bahasa Indonesia, kesejahteraan berasal
dari kata sejahtera yang berarti aman, sentosa, makmur dan
selamat, (Poerwadarminta, 1999: 887) atau dapat diartikan
sebagai kata atau ungkapan yang menunjuk kepada keadaan
yang baik, atau suatu kondisi dimana orang-orang yang
terlibat di dalamnya berada dalam keadaan sehat, damai dan
makmur. Dalam arti yang lebih luas kesejahteraan adalah
terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan
dan rasa takut sehingga dia memperoleh kehidupan yang
aman dan tenteram secara lahiriah maupun batiniah. (Sodiq,
2016)
Dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya. Sedangkan penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

94
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan


dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
(UU No. 11 Tahun 2009). (Sodiq, 2016)
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kesejahteraan adalah
keamanan, keselamatan, ketentraman, dan kesenangan hidup.
(Chapra, 2001) Sedangkan mustahik adalah orang yang patut
menerima zakat. (Depdikbud) Jadi kesejahteraan mustahik
berarti ketentraman dan kesenangan hidup yang diterima
oleh orang yang berhak menerima zakat baik itu ketentraman
dan kesenangan hidup secara lahir ataupun batin. (Maulana,
2008)

B. Tujuan Kesejahteraan Mustahik


Di antara tujuan diselenggarakannya kesejahteraan
sosial adalah Pertama, meningkatkan taraf kesejahteraan,
kualitas, dan kelangsungan hidup. Kedua, memulihkan
fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian. Ketiga,
meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani masalah kesejahteraan sosial. Keempat,
meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab
sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Kelima,
meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan. Keenam, meningkatkan kualitas manajemen
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. (Sodiq, 2016)
Pemikiran konvensional tentang kesejahteraan
lebih banyak bertujuan pada terpenuhinya kebutuhan
seseorang dalam hal materi, kesejahteraan spiritual agaknya
mendapatkan porsi perhatian yang lebih sedikit dariparda

95
Efri Syamsul Bahri

kesejahteraan yang bersifat spiritual, hal ini bisa dilihat dari


penjelasan Badan Pusat Statistik (2000) yang menyatakan
bahwa ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga di antaranya
adalah tingkat pendapatan keluarga, komposisi pengeluaran
rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk
pangan dengan non-pangan, tingkat pendidikan keluarga,
tingkat kesehatan keluarga, dan kondisi perumahan serta
fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga. (Sodiq, 2016)
Kesejahteraan merupakan impian dan harapan bagi
setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, setiap orang
tua pasti mengharapkan kesejahteraan bagi anak-anak dan
keluarganya, baik itu berupa kesejahteraan materi maupun
kesejahteraan spiritual, orang tua selalu berusaha untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, mereka akan
bekerja keras, membanting tulang, mengerjakan apa saja
demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka
akan memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi
keluarganya dari berbagai macam gangguan dan bahaya yang
menghadangnya. (Sodiq, 2016)
Allah sendiri telah menjamin kesejahteraan bagi
hambanya dan makhluk yang bernyawa sebagaimana yang
tersebut dalam Surat Hud ayat 6 “Dan tidak ada suatu binatang
melata-pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezkinya” namun jaminan itu tidak diberikan dengan tanpa
usaha, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah dalam Surat
Ar Ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri”. (Sodiq, 2016)
Alat yang sering digunakan untuk mengukur
kesejahteraan adalah pendapatan dan konsumsi, jika kita

96
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

mengukur kesejahteraan dengan pendekatan pendapatan


maka kita akan menemukan problem dalam hal data untuk
sector informal, di Negara Indonesia pekerjaan di sector
informal lebih banyak daripada pekerjaan di sector formal
dan data untuk sector informal secara keseluruhan sulit
ditemukan. (Sodiq, 2016)
Sedangkan jika kita mengukur kesejahteraan masyarakat
dengan pendekatan konsumsi, maka kita juga menemukan
problem ketidaksesuaian dengan kenyataan, misalnya orang
mempunyai kecenderungan untuk tidak memberitahukan
berapa besarnya pengeluaran yang telah dilakukan jika
menyangkut barang mewah maupun barang illegal, selain
itu antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya
cenderung memiliki perbedaan karakteristik. (Sodiq, 2016)

C. Indikator Kesejahteraan Mustahik


Sugiharto (2007: 33) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa menurut Badan Pusat Statistik, indikator yang
digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada
delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran
keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempa tinggal,
kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan
pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke
jenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan fasilitas
transportasi. (Sodiq, 2016)
Keberadaan zakat, infaq, dan shadaqah dapat
dioptimalkan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk meningkatkan kesejahteraan mustahiq, salah satunya
adalah dengan pemanfaatan dana ZIS untuk memungkinkan
masyarakat sebagai sarana membuka akses seluas-luasnya dan
peluang untuk nikmati layanan pendidikan untuk mustahiq.

97
Efri Syamsul Bahri

(Lailatussufiani, 2016)
Dengan demikian, dampak zakat terhadap peningkatan
kesejahteraan manusia adalah sesuatu yang secara teori
signifikan dan tertanam dalam sistem Islam karena yang
membutuhkan dan yang miskin adalah dua kelompok
pertama dari delapan kelompok dalam daftar penerima zakat.
(Nurzaman, 2016)
Pendapat ini dipegang oleh Qardhawi (2007) yang
berpendapat bahwa Islam membutuhkan pekerjaan orang-
orang yang cakap terlepas dari status sosial mereka, tetapi
membiarkan orang miskin diberikan akses dan atau fasilitas
untuk melakukan pekerjaan sehingga ia bisa mandiri. Lebih
lanjut, ia berpendapat bahwa pemanfaatan dana zakat untuk
kegiatan yang menghasilkan pendapatan, seperti mendirikan
industri kecil dan rumahan, menyediakan pelatihan yang
diperlukan, dan program pemberdayaan lainnya untuk
masyarakat miskin, akan meningkatkan kesejahteraan mereka
dan mengurangi tingkat kemiskinan. (Nurzaman, 2016)
Ada lima variabel yang digunakan untuk
menggambarkan profil responden. Variabel-variabel ini
dianggap mungkin memiliki pengaruh signifikan terhadap
kesejahteraan pengusaha mikro. Variabel yang dipilih adalah
ukuran pembiayaan zakat, total pendapatan seluruh anggota
keluarga, jumlah anggota keluarga, program pemberdayaan
yang bergabung dengan rumah tangga mustahiq, dan fasilitas
dasar rumah tempat para mustahiq dan keluarga yang tinggal
dengan mereka. (Nurzaman, 2016)

D. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Mustahik


Kakisina (2011: 65) juga menjelaskan bahwa upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan bisa dilakukan dengan

98
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan,


dia menyimpulkan bahwa factor-faktor yang mempunyai
korelasi positif dengan tingkat pendapatan adalah tingkat
pendidikan, jumlah beban tanggungan, biaya produksi,
luas lahan yang dimiliki, luas lahan yang diusahakan,
pendapatan dari tanaman sayur-sayuran, tanaman buah-
buahan, dan pendapatan PNS. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga antara lain
pendapatan dari tanaman pangan, tanaman sayuran, tanaman
buah-buahan, peternakan, perikanan, pendapatan industry,
pendapatan dagang, pendapatan PNS dan pendapatan dari
karyawan swasta. (Sodiq, 2016)

E. Kesejahteraan Dalam Perspektif Islam


Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan
untuk mengantarkan pemeluknya menuju kepada
kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam sangat
memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan
dunia maupun akhirat, dengan kata lain Islam (dengan segala
aturannya) sangat mengharapkan umat manusia untuk
memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual. (Sodiq, 2016)
Chapra menggambarkan secara jelas bagaimana
eratnya hubungan antara Syariat Islam dengan kemaslahatan.
Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat
Islam, tentu mempunyai tujuan yang tidak lepas dari tujuan
utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah
merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan
terhormat (al-hayah al-thayyibah). Ini merupakan definisi
kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja
berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan

99
Efri Syamsul Bahri

dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik


(Chapra, 2001: 102). (Sodiq, 2016)
Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk
mencapai keadilan distributive, karena mampu menciptakan
lapangan pekerjaan yang baru, dengan terciptanya lapangan
kerja baru maka pendapatan riil masyarakat akan meningkat,
dan ini merupakan salah satu indikator kesejahteraan
dalam ekonomi Islam, tingkat pengangguran yang tinggi
merupakan masalah yang memerlukan perhatian serius
seperti halnya dalam ekonomi kapitalis, hanya saja dalam
pemikiran liberal, tingkat pengangguran yang tinggi bukan
merupakan indikator kegagalan sistem ekonomi kapitalis
yang didasarkan pada pasar bebas, hal itu dianggap sebagai
proses transisional, sehingga problem itu dipandang akan
hilang begitu pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan
(Naqvi, 2003: 136). (Sodiq, 2016)
Menurut Imam Al-Ghazali kegiatan ekonomi sudah
menjadi bagian dari kewajiban sosial masyarakat yang telah
ditetapkan oleh Allah Swt, jika hal itu tidak dipenuhi, maka
kehidupan dunia akan rusak dan kehidupan umat manusia
akan binasa. Selain itu, Al-Ghazali juga merumuskan tiga
alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas
ekonomi, yaitu: Pertama, Untuk memenuhi kebutuhan hidup
masing-masing. Kedua, Untuk menciptakan kesejahteraan
bagi dirinya dan keluarganya dan Ketiga, Untuk membantu
orang lain yang sedang membutuhkan (Al-Ghazali, 1991: 482).
(Sodiq, 2016)
Tiga criteria di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan
seseorang akan terpenuhi jika kebutuhan mereka tercukupi,
kesejahteraan sendiri mempunyai beberapa aspek yang
menjadi indikatornya, di mana salah satunya adalah

100
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

terpenuhinya kebutuhan seseorang yang bersifat materi,


kesejahteraan yang oleh Al-Ghazali dikenal dengan istilah
(al-mashlahah) yang diharapkan oleh manusia tidak bisa
dipisahkan dengan unsur harta, karena harta merupakan
salah satu unsur utama dalam memenuhi kebutuhan pokok,
yaitu sandang, pangan dan papan (Karim, 2008: 318). (Sodiq,
2016)
Al-Ghazali juga menegaskan bahwa harta hanyalah
wasilah yang berfungsi sebagai perantara dalam memenuhi
kebutuhan, dengan demikian harta bukanlah tujuan final atau
sasaran utama manusia di muka bumi ini, melainkan hanya
sebagai sarana bagi seorang muslim dalam menjalankan
perannya sebagai khalifah di muka bumi di mana seseorang
wajib memanfaatkan hartanya dalam rangka mengembangkan
segenap potensi manusia dan meningkatkan sisi kemanusiaan
manusia di segala bidang, baik pembangunan moral meupun
material, untuk kemanfaatan seluruh manusia. (Sodiq, 2016)
Menurut Abu Ubaid, orang yang memiliki 200 dirham
(nishab zakat perhiasan) dianggap sebagai “orang kaya”
dan diwajibkan mengeluarkan zakat, sedangkan orang
yang mempunyai 40 dirham dianggap sebagai golongan
yang tidak layak menerima zakat (mustahiq), dengan
demikian pendekatan yang digunakan oleh Abu Ubaid ini
mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio ekonomi yang
terkait dengan status zakat, yaitu: (Sodiq, 2016)
a) Orang kaya (wajib zakat) yaitu yang memiliki harta lebih
dari 200 dirham.
b) Kelompok menengah yaitu yang memiliki harta 40 dirham,
tidak wajib zakat dan tidak layak menerima dana zakat.
c) Kelompok mustahiq zakat (Ashnaf Tsamaniyah).

101
Efri Syamsul Bahri

Dalam ekonomi Islam, kebahagiaan hidup justru


diberikan oleh Allah Swt. kepada siapa saja (laki-laki dan
perempuan) yang mau melakukan amal kebaikan disertai
dengan keimanan kepada Allah Swt. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Allah Swt. dalam Surat An-nahl ayat 97,
sedangkan tiga indikator untuk mengukur kesejahteraan dan
kebahagiaan adalah pembentukan mental (tauhid), konsumsi,
dan hilangnya rasa takut dan segala bentuk kegelisahan,
sebagaimana yang disebutkan Allah Swt. Dalam Surat Quraisy
ayat 3-4. (Sodiq, 2016)

102
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB XIII Kesejahteraan Sosial

A. Pengertian
Merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan
Livermore (2000), Thompson (2005), Suharto, (2005a),
dan Suharto (2006b), pengertian kesejahteraan sedikitnya
mengandung empat makna, yaitu:
1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini
biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial
(sosial welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan
material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi)
mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition
or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi
manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena
kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan,
tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta
manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-
resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan
Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup
lima bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security),
Bush dan Blair kini mengambil jalan baru yang

103
Efri Syamsul Bahri

dikenal dengan istilah the Third Way, Jalan Ketiga,


yang dipromosikan oleh Anthony Giddens. (Edi Suharto/
WelfareStateDepsos/2006) pelayanan kesehatan,
pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal
(personal sosial services).
3. Sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika
Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin. Karena
sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang
miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian
menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan,
seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang
sebenarnya lebih tepat disebut “sosial illfare” ketimbang
“sosial welfare”.
4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan
oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat
maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui
pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan
tunjangan sosial (pengertian ketiga).

Di Indonesia, konsep kesejahteraan merujuk pada


konsep pembangunan kesejahteraan sosial, yakni serangkaian
aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan
untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan
manusia. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi
sejahtera, istilah ‘kesejahteraan’ sejatinya tidak perlu pakai
kata ‘sosial’ lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor
atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan
sosial. Sektor ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’ juga termasuk
dalam wilayah pembangunan sosial dan tidak memakai
embel-embel ‘sosial’ atau ‘manusia’.

104
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah


‘welfare’ (kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup
segenap proses dan aktivitas mensejahterakan warga
negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema
perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung
(Suharto, 2005b). Bidang kesejahteraan (welfare) ini adalah
domain utama para pekerja sosial, seperti halnya dokter
dalam bidang kesehatan dan guru dalam bidang pendidikan.
Kesejahteraan Sosial dalam artian yang sangat luas
mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk
mencapai taraf hidup yang lebih baik, tidak hanya diukur
secara ekonomi tetapi juga aspek sosial, mental dan segi
kehidupan spiritual. (Effendie, 2008, hal. 167)

B. Sudut Pandang Kesejahteraan Sosial


Kesejahteraan sosial, menurut (Adi, 2003, hal. 41-46)
dapat dianalogikan seperti kesehatan jiwa, sehingga dapat di
lihat dari empat sudut pandang, yaitu:
1. Kesejahteraan Sosial sebagai suatu Keadaan (Kondisi).
Sebagai suatu kondisi (keadaan), Kesejahteraan Sosial
dapat dilihat dari rumusan Undang-Undang No.6 tahun
1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial, pasal 2 ayat 1:
“Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir
dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warganegara
untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-
baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia

105
Efri Syamsul Bahri

sesuai dengan Pancasila”.


Rumusan di atas menggambarkan Kesejahteraan Sosial
sebagai suatu keadaan di mana digambarkan secara ideal
adalah suatu tatanan (tata kehidupan) yang meliputi
material maupun spiritual, dengan tidak menempakan
suatu aspek lebih penting dari yang lainnya, tetap
lebih mencoba melihat pada upaya mendapatkan titik
keseimbangan. Titik keseimbangan yang dimaksud adalah
keseimbangan antara aspek jasmaniah dan rohaniah,
ataupun keseimbangan antara aspek materiil dan spirituil.
2. Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu.
Sebagai suatu ilmu, pada dasarnya merupakan suatu
ilmu yang mencoba mengembangkan pemikiran,strategi
dan tehnik untuk meningkatkan kesejahteraan suatu
masyarakat, baik di level mikro, mezzo maupun makro.
Ilmu Kesejahteraan Sosial masil merupakan Ilmu yang
baru di mana perkembangannya baru dimulai pada awal
abad ke dua puluh (20). Sedangkan di Indonesia sendiri,
Ilmu ini baru dikembangkan pada dasa warsa 60 dan 70-an.
Sehingga bila dilihat dari sudut ini, perkembangan Ilmu
Kesejahteraan Sosial masihlah sangat muda dibandingkan
dengan cabang-cabang Ilmu Sosial yang lainnya.
3. Kesejahteraan Sosial sebagai suatu Kegiatan.
Sebagai suatu kegiatan, pengertian kesejahteraan sosial
dapat dilihat antara lain dari defenisi yang dikembangkan
oleh Friedlander (1980). Menurut Friedlander, “sosial
welfare is the organized sistem of sosial services and institutions,
desaigned to aid individuals and group yo attan satisfying
standards of life and health”
(Kesejahteraan Sosial merupakan sistem yang terorganisir
dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan

106
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun


kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan
kesehatan yang lebih memuaskan).
Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan
Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kegiatan, penegrtian
yang dikemukakan oleh Friedlander di atas sekurang-
kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai
suatu sistem pelayanan (kegiatan) yang dirancang guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Meskipun dalam
pengertian yang dikemukakan Friedlander tersebut
adalah individu dan kelompok, tetapi dalam arti luas
pengertian Friedlander juga melihat masyarakat sebagai
suatu totalitas.
4. Kesejahteraan Sosial sebagai suatu Gerakan.
Sebagai suatu gerakan, isu kesejahteraan sosial sudah
menyebar luas hampir ke seluruh penjuru dunia,
sehingga menjadi suatu gerakan tersendiri yang
bertujuan memberitahukan kepada dunia bahwa
masalah kesejahteraan sosial merupakan hal yang perlu
diperhatikan secara seksama oleh masyarakat dunia, baik
secara global maupun parsial. Oleh karena itu muncullah
berbagai macama gerakan dalam wujud organisasi lokal,
regional maupun internasional yang berusaha menangani
isu kesejahteraan sosial.

Terkait dengan indikator yang sering digunakan


untuk mengukur tingkat kesejahteraan sosial, menurut
Spicker dalam (Adi, 2003, hal. 123) menggambarkan usaha
kesejahteraan sosial, dalam kaitan dengan kebijakan sosial
itu sekurang-kurangnya mencakup lima bidang utama yang
disebut “big five”, yaitu: (Effendie, 2008, hal. 173) Bidang

107
Efri Syamsul Bahri

Kesehatan, Bidang Pendidikan, Bidang Perumahan, Bidang


Jaminan Sosial dan Bidang Pekerjaan Sosial

108
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB XIV Kelembagaan

A. Pengertian
Istilah lembaga berasal dari kata “institution” yang
menunjukkan sesuatu yang sudah mapan (established).
Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan
yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat
istiadat, kemudian berkembang menjadi tata kelakukan.
Soerjono Soekanto (2003) menyimpulkan dari sudut pandang
sosiologis dengan meletakkan institusi sebagai lembaga
kemasyarakatan, yaitu sebagai suatu jaringan dari proses-
proses hubungan antar manusia dan antar kelompok yang
berfungsi memelihara hubungan-hubungan tersebut serta
pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan.
(Effendie, 2008, hal. 133)

B. Tujuan
Lembaga Kemasyarakatan (Effendie, 2008, hal. 133)
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia mempunyai fungsi:
1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat,
bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap

109
Efri Syamsul Bahri

dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat,


terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga kebutuhan masyarakat.
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (sosial control),
artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah
laku anggotanya. (Soerjano Soekanto, 2003:199)

C. Ciri Kelembagaan Masyarakat


Ciri umum lembaga kemasyarakatan menurut Gillin
dan Gillin (dalam Soerjono Soekanto: 209, dalam Effendie,
2008: 133-134) adalah:
 Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi
pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang
terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan
hasil-haislnya.
 Suatu tindakan kekekalan tertentu merupakan ciri dari
semua lembaga kemasyarakatan.
 Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa
tujuan tertentu.
 Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat
perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
lembaga tersebut.
 Lembaga kemasyarakatan memiliki lembaga-lembaga
yang secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi
lembaga yang bersangkutan.
 Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi
tertulis ataupun tidak tertulis, yang merumuskan tujuan,
tata tertib yang berlaku dan lain-lain.

110
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Kelembagaan formal penunjang pembangunan yang


ada di pedesaan umumnya belum mampu berkiprah secara
memadai, berbagai kendala dan keterbatasan senantiasa
dihadapi oleh kelembagaan formal untuk dapat menggalang
partisipasi masyarakat pedesaan. Pada umumnya lembaga
non formal, seperti kelompok arisan, kelompok pengajian dan
pondok pesantren (dengan kiai panutannya), lebih mampu
menggalang partisipasi dan keswadayaan masyarakat
pedesaan. Kelembagaan sosial-ekonomi formal di pedesaan
umumnya belum dapat menjangkau kepentingan kelompok
masyarakat miskin karena adanya berbagai persyaratan
birokrasi dan agunan yang rumit. Hal ini mendorong
berkembangnya berbagai bentuk kelembagaan non formal
di kalangan masyarakat dengan tokoh panutannya masing-
masing. Lembaga keuangan pedesaan non formal (pelepas
uang, pedagang) umumnya lebih mampu menjangkau
kelompok masyarakat miskin dengan berbagai kemudahan
pelayanannya, meskipun sesungguhnya dibarengi dengan
“tingkat bunga yang sangat tinggi”. (Syamsul Bahri, 2005:66)
Syamsul Bahri (2005:80-81) mengemukakan kegiatan
prioritas dalam pengembangan kelembagaan keswadayaan
masyarakat adalah:
1. Pengembangan skema jaringan kerja kegiatan
keswadayaan.
2. Pengembangan kapasitas lembaga-lembaga
keswadayaan.
3. Pengembangan forum komunikasi antar tokoh
penggerak dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam
kegiatan keswadayaan.
4. Pengembangan kemitraan antar organisasi
keswadayaan, organisasi masyarakat dan pemerintah.

111
Efri Syamsul Bahri

5. Pengurangan hambatan regulasi dan iklim


yang menyangkut keberadaan peran organisasi
keswadayaan.

112
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

BAB XV KOPERASI

A. Sejarah Koperasi
Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858),
yang menerapkannya pertama kali pada usaha pemintalan
kapas di New Lanark, Skotlandia. Gerakan koperasi ini
dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786-1865)
dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1
Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama
The Cooperator, yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran
praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip
koperasi. Koperasi akhirnya berkembang di negara-negara
lainnya. Di Jerman, juga berdiri koperasi yang menggunakan
prinsip-prinsip yang sama dengan koperasi buatan Inggris.
Koperasi-koperasi di Inggris didirikan oleh Charles Foirer,
Raffeinsen, dan Schulze Delitch. Di Perancis, Louis Blanc
mendirikan koperasi produksi yang mengutamakan kualitas
barang. Di Denmark Pastor Christiansone mendirikan koperasi
pertanian. (http://id.wikipedia.org/wiki/ Koperasi)
Mula-mula Koperasi tumbuh pada awal abad ke-19,
sebagai hasil usaha spontan yang dilakukan oleh orang-
orang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas serta

113
Efri Syamsul Bahri

akibat penderitaan sosial ekonomi yang timbul dari sistem


kapitalisme. Kemudian mereka mempersatukan diri untuk
menolong diri mereka sendiri, serta ikut mengembangkan
kesejahetraan masyarakat sekitarnya. (Anoraga dan Widiyanti,
2007:38-39)
Ada bermacam-macam jenis Koperasi yang tumbuh di
berbagai negara. Di negara Eropa, pada umumnya banyak
berkembang Koperasi Konsumsi. Sedangkan di Amerika
Serikat, koperasi tumbuh terutama sekali di kalangan petani.
Koperasi tumbuh dan berkembang, terutama di negara-negara
yang menganut paham demokratis, karena di sini rakyatnya
memiliki kesempatan untuk melakukan sendiri pilihannya
untuk menentukan dan melakukan usaha yang sesuai dengan
kepentingan dan kemampuannya, untuk menolong dirinya
sendiri secara bersama-sama. (Anoraga dan Widiyanti,
2007:39)
Di dalam Ilmu Ekonomi, Koperasi bukan hanya
berarti kerjasama saja, tetapi sudah merupakan suatu
lembaga ekonomi yang mempunyai tempat tersendiri dalam
perekonomian. Sebagai lembaga ekonomi, maka “Koperasi”
adalah kumpulan orang-orang yang secara bersama-sama
atas dasar sukarela bekerja untuk memajukan kepentingan
ekonomi bagi anggota-anggotanya dan juga masyarakat
di dalam lingkungan kerjanya dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. (Effendie, 2008, hal. 153)

B. Konsep-Konsep Koperasi
Di dalam perkembangannya Koperasi terdapat
aliran-aliran yang satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi
perbedaan tersebut bila dilihat dari hakekat usahanya adalah
tidak berarti, sebab masing-masing tetap berpegang pada

114
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

prinsip-prinsip Koperasi, perbedaan yang ada bukan dari


segi operasionalnya, melainkan dari segi tujuan atas adanya
Koperasi tersebut. Adapun konsep-konsep tersebut (Effendie,
2008, hal. 153-154) adalah sebagai berikut:
1. Konsep Yard – Stick
Konsep ini beranggapan bahwa di dalam sistem
perekonomian yang kapitalistik, peranan Koperasi adalah
sebagai alat untuk mengkoreksi akibat-akibat negatif
daripada sistem kapitalistik tersebut. Caranya adalah
apabila sistem kapitalis tersebut telah menciptakan
ketidakadilan di dalam pembagian masyarakat, maka
dengan sendirinya akan tumbuh Koperasi sebagai alat
untuk mengukur dan mengkoreksi agar pembagian
pendapatan dalam masyarakat dapat dilaksanakan lebih
adil dan merata.
2. Konsep Persemakmuran (Commenwealth)
Para pengikut konsep ini beranggapan bahwa di dalam
sistem perekonomian yang kapitalistik tidak akan terjadi
keadilan dalam pembagian pendapatan. Oleh sebab itu,
perlu diganti dengan sistem Koperasi, dimana dapat
dijamin tercapainya pembagian pendapatan masyarakat
yang adil dan merata.
3. Konsep Sosialistik
Para pengikut konsep ini beranggapan bahwa sistem
perekonomian yang paling baik adalah yang sosialistik.
Untuk dapat mencapai sistem itu, maka Koperasi dapat
dipergunakan sebagai alatnya.

C. Jenis Koperasi
Berbagai jenis Koperasi lahir seirama dengan aneka jenis
usaha untuk memeperbaiki kehidupan. Secara garis besar

115
Efri Syamsul Bahri

jenis Koperasi yang ada dapat kita bagi menjadi 5 golongan


(Anoraga dan Widiyanti, 2007:19-28), yaitu:
1. Koperasi Konsumsi
Koperasi Konsumsi adalah Koperasi yang mengusahakan
kebutuhan sehari-hari. Tujuan Koperasi Konsumsi ialah
agar anggota-anggotanya dapat membeli barang-barang
konsumsi dengan kualitas yang baik dan harga yang
layak. Untuk melayani kebutuhan anggota-anggotanya,
maka Koperasi Konsumsi mengadakan usaha-usaha
sebagai berikut:
a. Membeli barang-barang konsumsi keperluan sehari-
hari dalam jumlah yang besar sesuai dengan kebutuhan
anggota.
b. Menyalurkan barang-barang konsumsi kepada para
anggota dengan harga yang layak.
c. Berusaha membuat sendiri barang-barang konsumsi
untuk keperluan anggota.
Koperasi Konsumsi yang baik dan sempurna berusaha
menyediakan atau mengadakan serta menjual segala
macam barang yang dibutuhkan oleh anggota-anggotanya.
Untuk mendapatkan barang-barang itu dengan mudah
dan murah, dan kemudian dijual kepada anggota-
anggotanya dengan harga yang seekonomis mungkin,
maka Koperasi Konsumsi berusaha memperoleh serta
membeli barang-barang yang dibutuhkan anggota-
anggotanya dari pedagang-pedagang besar (grosir) atau
langsung dari importir, atau bahkan paling baik langsung
dari pabrik yang menghasilkan barang-barang itu.
2. Koperasi Kredit (Koperasi Simpan Pinjam)
Koperasi Kredit didirikan untuk memberikan kesempatan
kepada anggota-anggotanya memperoleh pinjaman

116
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

dengan mudah dan dengan ongkos (bunga) yang ringan.


Itulah sebabnya Koperasi ini disebut dengan Koperasi
Kredit. Akan tetapi untuk dapat memberikan pinjaman
atau kredit itu Koperasi memerlukan modal. Modal
Koperasi yang utama adalah simpanan anggota sendiri.
Dari uang simpanan yang terkumpul bersama-sama itu
diberikan pinjaman kepada anggota yang perlu dibantu.
Oleh karena itu, maka Koperasi lebih tepat disebut
Koperasi Simpan Pinjam.
Tujuan Koperasi Kredit adalah:
a. Membantu keperluan kredit para anggota, yang sangat
membutuhkan dengan syarat-syarat yang ringan.
b. Mendidik kepada para anggota, supaya giat
menyimpan secara teratur sehingga membentuk
modal sendiri.
c. Mendidik anggota hidup berhemat, dengan
menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka.
d. Menambah pengetahuan tentang perkoperasian.
Untuk memperbesar modal Koperasi, maka sebagian
keuntungan tidak dibagikan kepada anggota dan
dicadangkan. Bila modal koperasi besar, kemungkinan
pemberian kredit kepada para anggota dapat diperluas.
3. Koperasi Produksi
Koperasi Produksi adalah Koperasi yang bergerak dalam
bidang kegiatan ekonomi pembuatan dan penjualan
barang-barang baik yang dilakukan oleh Koperasi sebagai
organisasi maupun orang-orang anggota Koperasi.
Contohnya adalah Koperasi Peternak Sapi Perah, Koperasi
Tahu Tempe, Koperasi Batik, Koperasi Pertanian dan lain-
lain. Anggota Koeprasi Produksi terdiri dari orang-orang
yang mampu menghasilkan suatu barang atau jasa.

117
Efri Syamsul Bahri

4. Koperasi Jasa
Koperasi Jasa adalah Koperasi yang berusaha di bidang
penyediaan jasa tertentu bagi para anggota maupun
masyarakat umum. Contohnya adalah Koperasi
Angkutan, Koperasi Perencaan dan Konstruksi Bangunan,
Koperasi Jasa Audit, Koperasi Asuransi Indonesia,
Koperasi Perumahan Nasional (Kopermas), Koperasi Jasa
untuk mengurus dokumen-dokumen seperti SIM, STNK,
Paspor, Sertifikat Tanah dan lain-lain.
5. Koperasi Serba Usaha
Koperasi Serba Usaha (KSU) yaitu Koperasi yang
menyelenggarakan usaha lebih dari satu macam
kebutuhan ekonomi atau kepentingan ekonomi para
anggotanya. Biasanya Koperasi demikian, tidak dibentuk
sekaligus untuk melakukan bermacam-macam usaha,
melainkan makin luas karena kebutuhan anggota yang
semakin berkembang, kesempatan usaha yang terbuka
dan lain-lain sebab.
Pinjaman (pembiayaan) yang diberikan koperasi ada
yang tidak menggunakan agunan. Salah satunya adalah
yang diterapkan oleh Bank Grameen. Bank Grameen
adalah sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di
Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada
orang yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral.
Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki
kemampuan yang kurang digunakan. Yang berbeda dari
kredit ini adalah pinjaman diberikan kepada kelompok
perempuan produktif yang masih berada dalam status
sosial miskin. Pola Grameen bank ini telah diadopsi
oleh hampir 130 negara didunia (kebanyakan dinegara
Asia dan Afrika). Jika diterapkan dengan konsisten, pola

118
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Grameen Bank ini dapat mencapai tujuan untuk membantu


perekonomian masyarakat miskin melalui perempuan.
Bank ini terpilih sebagai penerima Penghargaan
Perdamaian Nobel (bersama dengan Muhammad Yunus)
pada tahun 2006. Satu sifat dari Bank ini adalah bank
ini dimiliki oleh peminjam miskin dari bank tersebut,
kebanyakan adalah wanita. Sekitar 94% dimiliki peminjam,
dan sisa 6% dimiliki oleh Pemerintah Bangladesh. (http://
id.wikipedia.org/wiki/ Bank_Grameen)

Sedangkan jenis-jenis Koperasi menurut UU No. 25


Perkoperasian dikelompokkan menjadi koperasi konsumen,
koperasi produsen dan koperasi kredit (jasa keuangan).
Koperasi dapat pula dikelompokkan berdasarkan sektor
usahanya. Koperasi Simpan Pinjam Adalah koperasi yang
bergerak di bidang simpanan dan pinjaman. Koperasi
Konsumen Adalah koperasi beranggotakan para konsumen
dengan menjalankan kegiatannya jual beli menjual barang
konsumsi. Koperasi Produsen Adalah koperasi beranggotakan
para pengusaha kecil (UKM) dengan menjalankan kegiatan
pengadaan bahan baku dan penolong untuk anggotanya.
Koperasi Pemasaran Koperasi yang menjalankan kegiatan
penjualan produk/jasa koperasinya atau anggotanya.
Koperasi Jasa Koperasi yang bergerak di bidang usaha jasa
lainnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi)
Menurut jenjang hierarki organisasinya, koperasi dapat
dibagi dua (Anoraga dan Widiyanti, 2007:37), yaitu:
a. Koperasi Primer, yaitu Koperasi yang anggotanya
adalah orang-orang yang memiliki kepentingan
ekonomi dan melakukan kegiatan usaha yang langsung
melayani para anggotanya tersebut. Contohnya: KUD

119
Efri Syamsul Bahri

di desa-desa dan Koperasi-koperasi tingkat primer


lainnya.
b. Koperasi Sekunder, yaitu Koperasi yang
beranggotakan badan-badan hukum Koperasi karena
kesamaan kepentingan ekonomis mereka berfederasi
(bergabung) untuk tujuan efisiensi dan kelayakan
ekonomis dalam rangka melayani para anggotanya.

D. Koperasi Syariah
Perkembangan terbaru, saat ini sedang berkembang
Koperasi Syariah. Koperasi syariah berdiri untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang
berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Mendirikan
koperasi syariah harus memiliki modal awal, modal awal ini
dikumpulkan dari anggota koperasi. Modal Awal koperasi
bersumber dari dana usaha, dana-dana ini dapat bersumber
dari dan diusahakan oleh koperasi syariah, misalkan dari
Modal Sendiri, Modal Penyertaan dan Dana Amanah. Modal
Sendiri didapat dari simpanan pokok, simpanan wajib,
cadangan, Hibah, dan Donasi, sedangkan Modal Penyerta di
dapat dari Anggota, koperasi lain, bank, penerbitan obligasi
dan surat utang serta sumber lainnya yang sah. Adapun Dana
Amanah dapat berupa simpanan sukarela anggota, dana
amanah perorangan atau lembaga. (Ardiansyah, 2009)
Usaha koperasi syariah meliputi semua kegiatan usaha
yang halal, baik dan bermanfaat (thayyib) serta menguntungkan
dengan sistem bagi hasil, dan tidak riba, perjudian (masyir)
serta ketidak jelasan (ghoro). Untuk menjalankan fungsi
perannya, koperasi syariah menjalankan usaha sebagaimana
tersebut dalam sertifikasi usaha koperasi. Usaha-usaha yang

120
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

diselenggarakan koperasi syariah harus dinyatakan sah


berdasarkan fatwa dan ketentuan Dewan syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia. Usaha-usaha yang diselenggarakan
koperasi syariah harus dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Koperasi syariah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya serta turut membangun tatanan
perekonomian yang berkeadilan sesuai prinsip-prinsip islam.
(Ardiansyah, 2009)
Menurut Ardiansyah (2009), Koperasi syariah berfungsi
dan berperan, sebagai berikut:
1. Membangun dan mengembangkan potensi dan
kemampuan anggota pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya, guna meningkatkan, kesejahteraan
sosial ekonominya.
2. Memperkuat kualitas sumber daya insani anggota,
agar menjadi lebih amanah, professional (fathonah),
konsisten, dan konsekuen (istiqomah) di dalam
menerapkan prinsip-prinsip ekonomi islam dan
prinsip-prinsip syariah islam
3. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan
perekonomian nasional yang merupakan usaha
bersama berdasarkan azas kekeluargaan dan
demokrasi ekonomi
4. Sebagai mediator antara menyandang dana dengan
penggunan dana, sehingga tercapai optimalisasi
pemanfaatan harta.
5. Menguatkan kelompok-kelompok anggota, sehingga
mampu bekerjasama melakukan kontrol terhadap
koperasi secara efektif
6. Mengembangkan dan memperluas kesempatan kerja

121
Efri Syamsul Bahri

7. Menumbuhkan kembangkan usaha-usaha produktif


anggota.

Sedangkan beberapa produk jasa yang disediakan oleh


bank berbasis syariah antara lain (Ardiansyah, 2009):
a. Jasa untuk peminjam dana, yang terdiri dari:
• Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia
modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang
diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang
disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh
pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan
pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan
dan penyalahgunaan.
• Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan
pada model partnership atau joint venture. Keuntungan
yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati
sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan
mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep
ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya
sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
• Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk
jual beli. Bank akan membelikan barang yang
dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya
kembali ke pengguna jasa dengan harga yang
dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan
bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang
tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal
dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah
margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500

122
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang


dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur
selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan
Nasabah.
• Takaful (asuransi islam)
b. Jasa untuk penyimpan dana
• Wadia’ah (jasa penitipan) adalah jasa penitipan dana
dimana penitip dapat mengambil dana tersebut
sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank
tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk
memberikan bonus kepada nasabah.
• Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di
Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan
dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan
bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan
nisbah bagi hasil tertentu.

123
Efri Syamsul Bahri

BAB XV PEMBELAJARAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Koperasi Ikhtiar


Swadaya Mandiri di Buanajaya Tanjungsari Kabupaten
Bogor

Kondisi masyarakat Desa Buanajaya yang tergolong


miskin dan tertinggal. Salah satu penyebabnya adalah
rendahnya tingkat pendidikan formal masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan diperoleh

124
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

temuan dimana 56% yang pendidikannya tamat SD/Sederajat.


Hanya 8% yang mampu melanjutkan pendidikan ke SMP dan
berikutnya hanya 5 % yang bisa melanjutkan ke tingkat SMA.
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Buanajaya
menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya.
Menurut Kuncoro (1997:107) rendahnya kualitas sumberdaya
manusia ini karena rendahnya pendidikan, termasuk yang
akan menyebabkan terjadinya kemiskinan.
Melihat kondisi masyarakatnya yang berada dalam
kondisi kemiskinan, maka sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Masyarakat Mandiri melakukan proses
pendampingan selama kurang lebih 6 (enam) tahun.
Masyarakat Mandiri dalam hal ini menempatkan tenaga
pendampingnya untuk hidup bersama masyarakat guna
mengidentifikasi kondisi yang ada di tengah masyarakat
kemudian menggali potensi yang ada tengah masayrakat.
Proses pendampingan ini akhirnya melahirkan sebuah
lembaga lokal yakni Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri (ISM).
Koperasi ISM inilah yang dijadikan sebagai motor
penggerak untuk menanggulangi kemiskinan. Koperasi ini
dikelola langsung oleh masyarakat Desa. Dalam hal ini posisi
Masyarakat Mandiri selanjutnya adalah sebagai mitra.
Setelah melalui proses pendampingan yang dilakukan
LSM Masyarakat Mandiri melahirkan kelembagaan ekonomi
dalam bentuk Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri (ISM)
Buanajaya. Koperasi inilah yang berfungsi sebagai lembaga
lokal yang berperan dalam memberdayakan masyarakat
miskin di Desa Buanajaya.
Sebagai lembaga yang diharapkan menjadi motor
penggerak dalam menanggulangi kemiskinan di Desa
Buanajaya, Koperasi melakukan pemberdayaan masyarakat

125
Efri Syamsul Bahri

miskin dalam 3 (tiga) tahapan yakni: penyadaran,


pengkapasitasan dan pendayaan.

B. Proses Penyadaran
Proses penyadaran merupakan hal yang pertama
diberikan kepada masyarakat. Menurut (Wrihatnolo, 2008,
hal. 1-7) target dari penyadaran ini adalah bagaimana yang
hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk
pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk
mempunyai “sesuatu”. Misalnya, target adalah kelompok
masyarakat miskin. Kepada mereka diberikan pemahaman
bahwa mereka dapat menjadi berada, dan itu dapat dilakukan
jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari
kemiskinannya. Program-program yang dapat dilakukan pada
tahap ini misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat
kognisi, belief, dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat
target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand”)
diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari
dalam diri mereka (tidak dari orang luar).
Terkait dengan keberadaan Koperasi Ikhtiar Swadaya
Mandiri, proses penyadaran ini dilakukan dalam bentuk
sosialisasi kepada calon anggota. Proses penyadaran dalam
bentuk sosialisasi dilakukan langsung kepada masyarakat
dengan berkunjung door-to-door. Kemudian mereka yang
tertarik untuk bergabung dikumpulkan kedalam satu
kelompok dengan anggota kurang lebih 10 (sepuluh) orang.
Hingga saat ini kendati mereka bergabung secara individu
kedalam Koperasi, namun mereka tetap mempertahankan
pola berkelompok. Kelompok mengikuti domisili para
anggota yakni yang diebut Kampung. Proses sosialisasi pun
hingga saat ini dilakukan melalui kelompok yang mereka

126
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

sebut dengan Rapat Induk.


Yang menarik di Koperasi ini adalah proses sosialisasi
dilakukan sebelum Koperasi terbentuk. Sehingga masyarakat
yang tergabung dalam Koperasi ini sudah siap sebelum
Koperasi didirikan. Jadi kelihatan bahwa Koperasi ini didirikan
berdasarkan pada kebutuhan dan kesiapan masyarakat
itu sendiri. Hal ini sebagaimana diakui oleh Cucu Wiguna
yang menjadi tenaga pendamping dari LSM Masyarakat
Mandiri. Menurut Cucu Wiguna Koperasi Ikhtiar Swadaya
Mandiri adalah kelembagaan lokal yang terbentuk dari
aspirasi masyarakat lokal untuk bersama-sama memajukan
perekonomian mereka. Koperasi menjadi wadah untuk
membina anggota dan masyarakat mencapai kemandirian.
Pendampingan pada hakikatnya bukan hanya pada saat
koperasi sudah terbentuk tetapi pendampingan yang paling
intensif justru dimulai sebelum koperasi itu terbentuk.
Dengan adanya pendampingan intensif inilah,
maka setelah Koperasi berdiri bisa langsung berjalan.
Pendampingan ini merupakan salah satu upaya untuk
menfasilitasi masyarakat agar mereka berdaya. Sebagaimana
yang diungkapkan Subejo dan Supriyanto (2004) bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja
untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki
melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya
mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara
ekonomi, ekologi, dan sosial”.
Pendampingan yang dilakukan oleh Masyarakat
Mandiri selama kurang lebih 6 (enam) tahun merupakan
salah satu upaya fasilitasi masyarakat miskin di Buanajaya
yang kemudian melahirkan kelembagaan lokal dalam bentuk

127
Efri Syamsul Bahri

Koperasi. Menurut Cucu Wiguna adanya pendampingan agar


masyarakat lebih berdaya.
Pendampingan yang telah dilakukan ini merupakan
sebuah proses pembelajaran yang sangat berharga. Hal ini
sebagaimana diakui oleh M. Sardjana dari Dinas Koperindag
Kebupaten Bogor. Menurut beliau lahirnya Koperasi ISM
merupakan setelah mendapatkan binaan dari Masyarakat
Mandiri. Ketika Koperasi sudah siap, maka Dinas Koperasi
bisa langsung menfasilitasinya dalam bentuk berbagai
program dalam bentuk fasilitasi permodalan simpan pinjam,
permodalan pupuk, dll sehingga manfaatnya langsung
dirasakan oleh anggota dan masyarakatnya.

C. Proses Pengkapasitasan
Tahap kedua adalah pengkapasitasan. Menurut
(Wrihatnolo, 2008, hal. 1-7), inilah yang sering ita sebut
“capacity building”, atau dalam bahasa yang lebih sederhana
memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya atau
kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu.
Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia,
organisasi dan sistem nilai.
Dalam hal pengkapasitasan manusia dalam arti
memampukan manusia baik dalam konteks individu maupun
kelompok, Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri melakukan
pendampingan dalam bentuk pertemuan kelompok. Selain
itu, bagi yang ingin bergabung dalam kelompok maka wajib
mengikuti dan lulus apa yang disebut dengan Latihan Wajib
Kelompok (LWK).
Dengan adanya pengkapasitasan sebelum Koperasi
didirikan, maka anggota dan pengelola menjadi lebih siap
untuk menjalankan roda organisasi Koperasi. Anggota

128
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

menjadi paham tentang hak dan kewajibannya sebagai


anggota Koperasi. Anggota juga menjadi mengerti betapa
pentingnya mereka berkelompok.
Sedangkan pengkapasitasan organisasi dilakukan
dengan merumuskan rencana strategis Koperasi yang
menghasilkan rumusan visi, misi, strauktur organisasi dan
program kerja tahunan. Sehingga keberadaan Koperasi ini ini
didasari atas dasar visi dan misi bersama.
Bentuk pengkapasitasan ketiga adalah sistem nilai.
Dimana Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri juga telah mampu
menyusun aturan main dalam bentuk Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Koperasi, Prosedur Pembiayaan,
dan Peraturan Koperasi dan sejenisnya.

D. Proses pemberian daya itu sendiri – atau “empowernment”


Berdasarkan teori menurut (Wrihatnolo, 2008, hal. 1-7),
pada tahap ketiga, yakni: pemberian daya itu sendiri – atau
empowernment, kepada target diberikan daya, kekuasaan,
otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas
kecakapan yang telah dimiliki. Pokok gagasannya adalah
bahwa proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan
sesuai dengan kecakapan penerima. Pemberian kredit
kepada suatu kelompok miskin yang sudah melalui proses
penyadaran dan pengkapasitasan masih perlu disesuaikan
dengan kemampuannya mengelola usaha. Jika perputaran
usahanya hanya mampu mencapai Rp5 juta, tidaklah bijaksana
jika diberikan pinjaman atau modal sebesar Rp.50 juta.
Terkait dengan proses pemberian daya ini, Koperasi
Ikhtiar Swadaya Mandiri juga menfasilitasi anggotanya
dengan beberapa unit usaha, antara lain: unit simpan pinjam,
unit sembako, meubel dan saprotan. Unit simpan pinjam

129
Efri Syamsul Bahri

merupakan andalan bagi Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri.


Karena unit ini bertujuan untuk melatih dan mebiasakan
hidup hemat dengan menabung. Selain itu, anggota juga bisa
memanfaatkan fasilitas pinjaman permodalan dari Koperasi
untuk meningkatkan pendapatannya. Fasilitas permodalan
kepada anggota inilah yang menjadi ujungtombak Koperasi
di dalam upaya meningkatkan pendapatan anggotanya.
Bantuan permodalan ini terus digulirkan kepada para
anggota. Dukungan permodalan pun terus bertambah dari
institusi lainnya sebagai bukti atas keberhasilan Koperasi
ISM Buanajaya dalam menggulirkan permodalan kepada
anggotanya.

Output Pemberdayaan
Pada aspek output, berdasakan hasil penelitian ini
terlihat terjadi peningkatan pendapatan pada masyarakat
miskin. Hal ini terwujud karena adanya bantuan permodalan
dan pendampingan yang berkelanjutan. Sedangkan dari
sisi kelembagaan Koperasi sendiri, sudah terlihat mandiri.
Hal ditandai dengan adanya kemampuan mereka untuk
mengelola sendiri koperasi baik secara administrasi maupun
pendampingannya.
Keberadaan Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri ini
sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin di
Desa Buanajaya. Setelah mereka sadar terhadap potensi
dan kelemahan yang mereka miliki, kapasitas merekapun
ditingkatkan. Setelah mereka mempunyai kapasitas, melalui
wadah Koperasi mereka mendaptkan akes permodalan.
Dengan adanya akses permodalan ini mereka
menjalan usaha untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Berdasarkan penelitian ini, setelah mereka mengikuti program

130
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

pemberdayaan melalui Koperasi ISM Buanajaya pendapatan


mereka meningkat. Para anggota yang mayoritas para ibu-
ibu rumah tangga sebelumnya tidak mempunyai pekerjaan
diberikan bantuan modal Rp.500.000 dalam bentuk pinjaman
Qhordhul Hasan (pembiayaan kebajikan) dimana tanpa bunga
atau pengembalian sebesar pokok pinjaman.
Pada tahap selanjutnya mereka memperoleh pembiayaan
sesuai dengan hasil kelayakan usaha masing-masing dengan
tambahan biaya jasa per bulan 2 (dua) persen. Salah satu yang
berhasil adalah informan N. Dengan pembiayaan Rp.6.000.000
bisa memperoleh hasil sekitar Rp.1.500.000,- per bulan. Mereka
sangat senang sekali karena dapat menyekolahkan anaknya,
membantu suami dan menambah pendapatan keluarga.

Kemandirian Koperasi
Setelah berjalan selama 3 (tiga) tahun ini Koperasi ISM
Buanajaya terus meningkatkan kemandiriannya. Kemandirian
yang telah dicapai Koperasi Ikhitiar Swadaya Mandiri dapat
dilihat dari beberapa faktor. Pertama, Koperasi sudah memiliki
sarana yang menjadi tempat untuk pendampingan anggota.
Kedua, berdasarkan Laporan Keuangan per 31
Desember 2008, asset Koperasi ISM Buanajaya Aset mencapai
Rp.155,076,050,-. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
sebesar 14 % dibandingkan dengan Aset tahun 2007 sebesar
Rp.136,116,050,-
Ketiga, adanya pengakuan dari aparat Dinas Koperasi dan
Perindustrian Kabupaten Bogor terhadap peranan Koperasi
ISM Buanajaya karena di lokasi yang infrastrukturnya kurang
bagus, Koperasinya ISM usahanya bisa jalan, organisasinya
jalan, padahal lokasinya paling jauh.
Berdasarkan hasil informasi dari lapangan bahwa

131
Efri Syamsul Bahri

program pemberdayaan yang dilakukan melalui Koperasi


Ikhtiar Swadaya Mandiri ini memberikan hasil sebagai
berikut (1) proses sosialisasi yang dilakukan secara intensif
telah memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk
secara berkelompok bangkit dari kondisi kemiskinan (2)
adanya proses pengkapasitasan membuat anggota dan
pengelola menjadi lebih siap untuk menjalankan roda
organisasi Koperasi. Anggota menjadi paham tentang hak
dan kewajibannya sebagai anggota Koperasi. Anggota juga
menjadi mengerti betapa pentingnya mereka berkelompok (3)
adanya proses pemberian daya melalui fasilitas permodalan
membuat anggota menjadi semakin berdaya secara ekonomi.

Peran Koperasi
Keberadaan Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri
Buanajaya mempunyai peranan penting dalam pemberdayaan
masyarakat miskin di Desa Buanajaya Kecamatan Tanjungsari
Kabupaten Bogor. Dengan adanya partisipasi masyarakat
sejak sosialisasi, maka mereka merasa memiliki program
tersebut, mereka pun bisa sadar terhadap kondisi mereka
dan lingkungannya, permasalahan yang mereka hadapi serta
bagaimana merumuskan solusinya. Dengan demikian usaha
yang mereka kelola bisa berjalan dan dapat meningkatkan
pendapatan dan kemandirian mereka.
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat miskin tidak
terlepas dari 3 (tiga) faktor utama yakni: integritas pengelola
Koperasi, disiplin kelompok dan dukungan pelatihan baik
yang diberikan oleh LSM Masyarakat Mandiri maupun
Dinas Koperasi dan Perindustrian. Keberadaan Koperasi
ISM Buanajaya ternyata mampu untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

132
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

E. Pemberdayaan Wanita Kepala Keluarga Pasca Tsunami


Aceh

Pendahuluan
Bencana Tsunami di Aceh bukan hanya menghancurkan
fasilitas dan perekonomian di Propinsi Nanggroe Aceh
Darusalam tapi yang paling ditakuti terjadinya kehancuran dan
krisis sumberdaya manusia. Program-program penyelamatan
dan penanganan pengungsi merupakan tahap awal yang harus
dilanjutkan dengan tahap rehabilitasi sehingga korban dapat
membangun kembali masa depan yang telah hancur. Wanita
Kepala Keluarga harus mendapat perhatian yang serius dalam
meringankan tanggung jawabnya sebagai orang tua tunggal
dalam mempersiapkan generasi Aceh muda yang berkualitas.
Sebelum kami memulai program recovery (pemulihan),
maka kami yang tergabung dalam Tim Relawan Aksi Cepat
Tanggap (ACT) Dompet Dhuafa yakni: Jajang Fadli dan
Ridho melakukan survey pendahuluan dengan menggunakan
mengadopsi metode participatory rural appraisal (PRA). Hasil
PRA tersebut kami sajikan dalam uraian berikut ini.

Karakteristik Pengungsian
Berdasarkan survey awal yang kami lakukan di
Nanggroe Aceh Darussalam pasca terjadinya peristiwa
tsunami, kami temukan ada empat karakteristik pengungsi.
Pertama, pengungsi yang tinggal di kamp-kamp resmi
pemerintah. Kedua, pengungsi yang tinggal di kamp-kamp
yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ketiga,
pengungsi yang tinggal di rumah-rumah penduduk dan
mendapat pelayanan dari masyarakat. Keempat, pengungsi
yang berkeliaran dan tidak terurus sama sekali.

133
Efri Syamsul Bahri

Dari hasil penjajakan awal dengan menggunakan


metode Participatory Rural Apparaisal (PRA) untuk pengungsi
kategori yang tinggal di kamp-kamp yang dibangun
secara swadaya oleh masyarakat maupun yang dibangun
pemerintah juga dapat di kelompokkan menjadi dua. Pertama,
yang bersifat Eks-situ yaitu kamp-kamp yang dibangun diluar
lokasi tempat mereka tinggal sebelum bencana. Kedua yang
bersifat In-Situ, yaitu kam-kamp yang dibangun dengan tetap
berada dalam lokasi dimana mereka tinggal sebelum bencana
dan hanya bergeser beberapa ratus meter dari tempat semula.
Untuk dua desa yang dilakukan survey PRA kamp-kamp
yang dibangun bersifat In-Situ. Kamp-kamp tetap berada di
dalam wilayah desa mereka kondisi ini juga sangat mendukung
pelaksanaan PRA, karena prinsip dari PRA haruslah dapat
berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungan dimana
perencanaan partisipatif itu akan dilakukan bersama.

Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah tentang rencana relokasi yang
memindahkan penduduk dari tepi pantai ke tempat yang
relatif jauh dan aman juga berdampak terhadap psikologi
pengungsi. Tipologi masyarakat Nelayan yang sangat
tergantung kepada laut menyebabkan penolakan-penolakan
terhadap kebijakan relokasi tersebut. Kebijakan-kebijakan
yang tidak melihat kultur, budaya dan mata pencaharian
masyarakat akan dapat merusak struktur sosial masyarakat
dan dapat juga meenimbulkan berbagai konflik.

Bantuan dan Ketergantungan


Bantuan-bantuan yang banyak mengalir kepada
masyarakat NAD pada fase emergency beraorintasi pada

134
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

pemenuhan kebutuhan jangka pendek. Bantuan-bantuan


ini sangat berguna untuk kondisi darurat dan jelas sangat
membantu. Tetapi kalau bentuknya dipertahankan dalam
jangka waktu yang lama akan melahirkan ketergantungan
struktural maupun kulktural. Kondisi ini juga dipengaruhi
semakin diperparah oleh konflik yang telah berkepanjangan
di NAD. Bantuan-bantuan dengan tipe seperti ini akan dapat
merubah cara berfikir terhadap kemandirian, keswadayaan
dan semangat kolektifitas yang selama ini merupakan modal
sosial masyarakat NAD.

Ekonomi
Hantaman yang sangat dirasakan akibat dampak tsunami
ini adalah pada sektor ekonomi masyarakat. Kehancuran
infrastruktur dari pusat kegiatan-kegiatan ekonomi
masyarakat menyebabkan mereka mengalami kehilangan
sumber mata pencaharian. Hal ini sangat dirasakan sekali oleh
masyarakat pesisir yang paling parah mendapat hantaman
bencana ini. Kehilangan alat kegiatan ekonomi menyebabkan
ratusan ribu nelayan langsung menjadi pengangguran. Dan ini
akan mempengaruhi seluruh sektor perekonomian di NAD.

Pendidikan
Dengan terjadinya pengungsian dan rusaknya
infrastruktur sangat menghambat jalannya pendidikan di
NAD. Disamping trauma bencana yang mempengaruhi sifat
kolektif dan perkemabngan dari anak-anak usia pendidikan.
Kondisi ini menyebabkan rasa yang tidak aman/ nyaman
saat mereka melakukan proses pendidikan. Diperkirakan dari
dampak-dampak yang ada akan meningkatkan angka putus
sekolah di NAD.

135
Efri Syamsul Bahri

Wanita Kepala keluarga


Dari berbagai kondisi ekstrim seperti konflik dan
bencana alam perempuan selalu menjadi penerima dampak
yang paling berat. Hal ini di sebabkan pandangan yang selalu
menempatkan kaum ini dalam posisi yang lemah dan tidak
berdaya. Konflik horizontal selalu menempatkan mereka
sebagai objek yang dapat diapakan saja dan selalu dalam daftar
korban tertinggi. Sementara dalam setiap bencana kondisi
phisik juga membuat wanita merupakan korban yang banyak
dibanding laki-laki.
Kondisi beban sosial juga sangat tinggi bagi wanita
bekeluarga yang selamat, dua masalah yang menjadi tanggung
jawab mereka adalah bagaimana keluar dari trauma dan
bagaimana mengambil peran kepala keluarga bagi anggota
keluarga lain yang masih selamat.

Modal Sosial dan Kebangkitan Masyarakat NAD


Proses rehabilitasi di NAD saat ini tidak hanya dirasakan
menjadi tanggung jawab Negara Republik Indonesia. Tetapi
seluruh Dunia merasa berhak dan bertanggung jawab untuk
melakukan rehabilitasi di NAD. Kondisi-kondisi ini akan
memposisikan masyarakat NAD sebasi objek dari sebuah
kegiatan yang justru dilaksanakan di negerinya sendiri.
Intervensi-intervensi yang dilakukan oleh pihak asing dengan
tanpa melihat bagaimana kondisi sosial maupun budaya
masyarakat aceh justru akan dapat memperburuk kondis
masyarakat NAD untuk jangka panjang.
Untuk kondisi-kondisi tersebut tentu bagi kekuatan-
kekuatan sipil yang ahrus diperjuangkan adalah bagaimana
masyarakat NAD mampu mengimbangi bentuk-bentuk

136
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

intervensi tersebut melalui kekuatan dan keterlibatan kolektif


masyarakat. Memberdayakan masyarakat untuk dapat terlibat
dalam setiap tahapan rehabilitasi tersebut baik mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring terhadap proses
rehabilitasi tersebut. Penguatan masyarakat merupakan hal
yang mendesak sehingga masyarakat Aceh yang selama ini
ada dalam penjajahan militer tidak kembali jatuh kepada
penjajahan global yang akan dapat melahirkan konflik-konflik
yang lebih melebar dimasa depan.
Rehabilitasi dan rekonstruksi NAD harus diserahkan
kepada masyarakatnya Aceh, dan kekuatan-kekuatan luar
hanya sebagai pihak yang menbantu dalam konsolidasi
dan pendanaan. Yang paling penting adalah harus ada
kemauan pihak luar untuk dapat melihat masyarakat
sebagai subjek sehingga dapat membangun partisipasi dan
keswadayaan masyarakat. Dengan menjadikan masyarakat
NAD sebagai subjek, rehabilitasi yang dilakukan akan dapat
mempertahankan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal
sehingga masyarakat aceh kedepan tidak kehilangan identitas
dan harga diri meraka.

Profil Desa Pasi Rawa Kecamatan Kota Sigli Kabupaten


Pidie NAD

Kependudukan dan Geografi


Desa Pasi Rawa merupakan salah satu desa dipantai
timur Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Luas desa ini
kira-kira 2 km persegi. Desa ini berada pada ketinggian 0
s/d 2 M dari permukaan laut. Sebelum terkena gelombang
tsunami jumlah penduduk desa ini berjumlah 947 jiwa atau
246 KK. Setelah gelombang tsunami melanda penduduk desa

137
Efri Syamsul Bahri

ini berjumlah 783 jiwa atau tinggal 233 KK. Dengan jumlah
korban tewas sebanyak 164 orang. Adapun batas dari desa ini
adalah :

Timur : Kampung Kuala Pidie


Barat : Desa Kuala Pekan Baru
Utara : Selat Malaka
Selatan : Desa Kampung Rawa.

Masyarakat desa Pasi Rawa sebagian besar (80%)


bekerja sebagai nelayan, sisanya bekerja sebagai pengrajin
tikar, pedagang, buruh tambak dan RBT (ojek).

Masalah Sosial
Bencana stunami yang melanda aceh berdampak kepada
kehancuran struktur sosial masyarakat termasuk di desa Pasi
Rawa. Jumlah korban yang begitu tinggi berdampak pada
kehilangan anggota-anggota keluarga sebagai struktur sosial
terkecil. Dampak sosial dirasakan pada sektor pendidikan
sekolah yang hancur, guru-guru yang tidak jelas lagi dimana
posisinya menyebabkan anak-anak tidak lagi belajar dan
sekolah.
Penduduk Pasi Rawa tidak melakukan pengungsian
dengan pindah atau keluar dari Desa mereka. Penduduk
cenderung untuk tetap bertahan di Desa Pasi Rawa dan hanya
pindah beberapa ratus meter dari garis pantai atau tempat
tinggal mereka semula. Kedekatan mereka dengan laut sebagai
sumber mata pencaharian, membuat bereka mendirikan pusat
pengungsian di Sekitar Mesjid Desa.
Bencana juga memepengaruhi kondisi sosial masyarakat
Pasi Rawa di titik pengungsian. Rasa satu nasip menyebabkan

138
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

nilai gotong royong yang ada di masyarakat meningkat.


Kegiatan-kegiatan ibadah yang dilakukan di Mesjid sebagai
pusat pengungsian juga meningkatkan jumlah jemaah yang
menunaikan sholat berjamaah di mesjid.
Dengan banyaknya para relawan dari berbagai lembaga
baik itu lokal, nasional maupun internasional yang masuk
ke desa Pasi Rawa dapat meningkatkan kembali harapan
masyarakat. Hal ini disebabkan kegiatan yang dilakukan
relawan tersebut menyebabkan masyarakat mengharapkan
akan banyak mendapat bantuan dari luar yang masuk kedesa
untuk membantu mereka. Kondisi ini dapat menimbulkan
ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap orang luar
atau bantuan.

Analisis Masalah Ekonomi


Bencana gempa dan gelombang pasang stunami
yang menyerang Desa`Rasi Rawa membuat perekonomian
masyarakat 95 % lumpuh. Hal ini disebabkan alat penggerak
perekonomian masyarakat hancur akibat bencana tersebut.
Perahu, jaring dan peralatan pancing lainnya sebagian besar
tidak dapat digunakan lagi. Dari jumlah lebih kurang 200
perahu yang tersisa tinggal sekitar 15 perahu itupun dengan
peralatan yang telah hilang. Dari data di penitia pengungsian
sekitar 120 KK nelayang tidak dapat lagi melaut.
Sektor perekonomian lainnya yang juga terkena dampak
dari stunami adalah sektor perikanan dimana tambak-tambak
yang telah siap panen seperti tambak bandeng dan udang
juga mengalami kerusakan. Kondisi lahan yang ada juga
tercemar oleh benda-benda yang mengotori tambak. Hal ini
menyebabkan tambak tidak dapat diiisi dalam jangka pendek.
Sektor lain yang juga terkena dampak adalah UKM

139
Efri Syamsul Bahri

kerajinan anyaman tikar pandan. Desa Pasi Rawa terkenal


dengan sentra kerajinan tikar pandan di Kab. Sigli. Disamping
tempat-tempat kerajinan yang hancur bahan-bahan baku
berupa pandan yang tumbuh di rawa-rawa di sekitar
desa mengalami kerusakan akibat terjangan stunami yang
mengandung belerang sehingga pandan-pandan menjadi mati
kekeringan. Hal ini mengakibatkan sektor ini kesulitan dalam
mendapatkan bahan baku yang selama ini banyak tumbuh di
sekitar rawa di tepi pantai.

Masalah Kebijakan
Rencana relokasi yang direncanakan pemerintah
terhadap wilayah dan desa-desa yang terkena dampak
stunami juga mempengaruhi kondisi pengungsi di Desa Pasi
Rawa. Masyarakat merasa kebijakan tersebut tidak terlalu
berpihak kepada masyarakat nelayan yang sangat tergantung
dan dekat dengan laut sebagai sumber kehidupannya. Dari
hasil wawancara masyarakat lebih memilih untuk tetap
tinggal di Desa mereka dan dapat mulai untuk melakukan
kegiatan melaut meraka.

Masalah Lingkungan
Sebagai sebuah desa nelayan maka masalah sanitasi
juga menjadi permasalahan di Desa Pasi Rawa. Sebelum
stunami untuk keperluan air minum masyarakat membeli
dari penjual air minum. Sedangkan untuk MCK masyarakat
memakai air sumur yang berair payau (mengandung garam).
WC yang permanen di desa ini tidak ada sehingga masyarakat
memanfaatkan tambak maupun pantai. Pasca stunami kondisi
sanitasi ini semakin memburuk dan dapat menimbulkan
beberapa penyakit di tempat pengungsian.

140
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Vegetasi yang ada di sepanjang pantai maupun Desa Pasi


Rawa sangat terbatas, hanya di dominasi oleh kelapa, pandan
dan beberapa tanaman buah-buahan dan semak. Kondisi ini
mengakibatkan tidak banyak tumbuhan yang dapat menjadi
tempat penyelamatan diri masyarakat ketika terjadinya
gelombang pasang stunami. Vegetasi pandan sebagai bahan
baku untuk pembuatan tikar di desa pasi rawa juga hancur/
mati disebabkan terjangan stunami.

Peta Desa Pasi Rawa (Pasca Tsunami, Hasil studi PRA 2005)

141
Peta Transek Desa Pasi Rawa (Pasca Tsunami, Hasil PRA 2005)

ZONA
III II I

142
URAIAN
Isi Jalan desa, Jembatan, Rumah (hancur), Sekolah SMP (50% Rumah (puing, Perahu, Sekolah
Tambak dan Rumah. selamat), Tambak, Lokasi Pengung- SD (rusak), Dayah/Pesantren,
Efri Syamsul Bahri

sian, Mesjid, Jalan desa. Sumur (sumber Air), Meunasah,


Jalan Desa, bap Penampung
PDAM
Vegetasi Tumbuhan : Ke- Tumbuhan : Kelapa, Kedondong, Tumbuhan : Kelapa, Kedon-
lapa, Pandan, Hewan : Pandan, Cemara, Pohon kuda-kuda, dong, Pandan, Cemara, Pohon
Udang, Kepiting, Ban- Jambu Biji, Semak Hewan : Udang, kuda-kuda, Jambu Biji, Semak,
deng, Mujair, Bangau, Kepiting, bandeng, Mujair. Hewan : Tongkol, Tuna, Ker-
dll. apu, tenggiri, kakap, gembung,
Udang, Kepiting, teri, sapi,
kambing, itik dll.
Hak Milik Pribadi penduduk luar Pemilik orang luar disewakan ke- Pribadi secara keturunan dan
kampong. pada penduduk sertifikat
Masalah Tambak tercemar Tambak tercemar dan tidak dapat Rumah habis sampai rusak

143
sampah, bandeng gagal digunakan untuk jangka panjang, berat, Perahu hilang/hancur,
panen, pandan seb- Rumah tempat pengungsian daru- Bak PDAM Hancur, Sumber air/
agai bahan kerajinan rat/sementara, Sekolah SMP rusak, sumur Rusak, Sekolah Hancur,
hancur/mati. Rumah Hancur, Bahan makanan Mata pencaharian hilang, loaksi
Terbatas dan bantuan mulai pembibitan ikan dan udang
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

berkurang, Sumber air bersih/ tawar hancur, pandan bahan baku


alami tidak ada, anak-anak belum kerajinan hancur/mati.
mulai sekolah, pandan bahan baku
kerajinan hancur/mati.
Potensi Lahan cukup tersedia, Tenaga Kerja cukup tinggi, Tempat Semangat kerja masih ada, Ke-
sarana transportasi pengungsian dibuat agak perma- ahlian di bidang kelautan/nelay-
lancar. nent, semangat gotong royong an dan kerajinan pandan, 30%
tinggi, adanya tokoh-tokoh lokal sisa bangunan dapat digunakan.
yang berpengaruh.
Pemecahan Pembersihan tambak Pembuatan Sumur BOR (gagal), Mengungsi, Membuat infentari-
Masalah dan jalan. bantuan air bersih dari pemerintah sasi data keruguan dan korban,
Yang Prancis, Membuat WC darurat oleh memanfaatkan sisa-sisa bangu-
Pernah pemerintah Jerman. Piket jaga ke- nan yang dapat di pergunakan
Dilakukan amanan dan gotong royong. kembali. Membangun tempat

144
tinggal kembali.
Efri Syamsul Bahri
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Inventarisasi Masalah Desa Pasi Rawa

Masalah Potensi Strategi Pemeca-


han
Rumah dan 1. Semangat Membangun kem-
sekolah habis kerja yang bali rumah-rumah
sampai rusak tinggi dengan meman-
berat (Sumber faatkan bahan-bah-
2. Terdapat 30%
masalah peta an yang tersisa dan
sisa bangunan
desa dan tran- mengusahakan
yang dapat
sek) adanya bantuan
dikerjakan.
perumahan.
3. semangat go-
tong royong.
Mata pencahar- 1. Ada semangat Mengusahakan
ian tidak ada untuk bekerja batuan/Modal
lagi (Sumber kembali. awal untuk mem-
PASL, Kalender beli perahu kembali
2. Keahlian dan
Musim, Peta disamping me-
pengalaman
Desa dan Tran- manfaatkan sa-
ada
sek dan FGD) rana tangkap yang
3. Tenaga kerja masih dapat diman-
berpengala- faatkan.
man tersedia

145
Efri Syamsul Bahri

4. Masih terdapat
beberapa per-
ahu ataupun
jarring yang
dapat diman-
faatkan.
Makanan dan 1. Bantuan Panitia mengusa-
Bantuan yang pemerintah hakan adanya ban-
Kuarang/Ter- tuan dari berbagai
2. Semangat go-
batas (Sumber pihak dan tetap
tong royong
Wawancara) menghidupkan
dapur umum agar
dapat menghemat
persediaan.
Sumber air 1. Lahan tersedia Dengan bantuan
minum dan WC pihak asing mem-
2. Ada bantuan
belum ada (Sum- buat WC umum
pihak asing
ber Transek dan dan mengusahakan
menyangkut
peta desa) adanya sumur bor
Sanitasi
di desa.
Rumah sangat 1. Tenaga kerja Memanfaatkan
darurat dan cukup tinggi sisa-sisa banguna
sederhana (sum- yang bisa diman-
2. Sisa bangunan
ber transek dan faatkan untuk di
30% sisa ban-
wawancara) buat rumah seder-
gunan yang
hana disamping
masih dapat
mencari kerja untuk
dimanfaatkan.
mendapatkan
modal.

146
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Tambak terce- Lahan Tambak Menunggu pemilik


mar dan hancur cukup luas untuk memperbaiki
(Sumber peta tambak dan bagi
desa, Transek ) yang masih dalam
sewa membersih-
kan lahan tambak
untuk di usahakan
lagi.

Daftar Prioritas Masalah Desa Pasi Rawa

Masalah

Skor
Rumah dan sekolah habis sampai rusak berat 35
(Sumber masalah peta desa dan transek)
Mata pencaharian tidak ada lagi (Sumber PASL, 162
Kalender Musim, Peta Desa dan Transek dan
FGD)
Makanan dan Bantuan yang Kuarang/Terbatas -
(Sumber Wawancara)
Sumber air minum dan WC belum ada (Sumber -
Transek dan peta desa)
Rumah sangat darurat dan sederhana (sumber 1
transek dan wawancara)
Tambak tercemar dan hancur (Sumber peta -
desa, Transek )

147
Efri Syamsul Bahri

Keterangan:
Kriteria yang digunakan ada tiga yakni: dirasakan banyak
orang, tingkat paling parah dan mendesak untuk dilaksanakan
Daftar Nama-Nama Calon Anggota Kelompok

Wanita Kepala Keluarga (Wakala) Desa Pasi Rawa

No Nama Umur Harapan Usaha


(Thn)
1 Safrina 25 Jualan
2 Syarfah 24 Anyaman
3 Lat Insyah 55 Jualan Garam
4 Khatidjah 55 Ternak Ayam dan Kamb-
ing
5 Ramlah Ahli 50 Ternak Itik
6 Suryani 25 Jualan dan Pelihara Ter-
nak
7 Salamah 55 Anyaman
8 Aisyah Kechik 50 Ternak Ayam
9 Halimah Idrus 52 Ternak Ayam / Itik
10 Hendon Idrus 50 Ternak Ayam / Itik
11 Hamidah 45 Ternak Ayam / Itik
12 Bareeng 55 Ternak Ayam / Itik
13 Ranggini 45 Jualan Tikar/ Ternak
Ayam / Itik
14 Syambi 38 Anyaman/sulaman
15 Aisyah Asyek 50 Jualan
16 Hamidah 60 Ternak Itik
17 Juriah Parisyah 40 Jualan
18 Juariah 40 Ternak / Tambak

148
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

19 Rakiyah Asyek 50 Ternak Ayam / Itik


20 Rabumah 45 Ternak Ayam / Itik
21 Nurkasidah A 45 Ternak Ayam / Itik
22 Aisyah Lancang 52 Ternak Ayam / Itik
23 Nurkasidah H 45 Anyaman
24 Nurmala Adam 40 Ternak
25 Syammi 50 Jualan
26 Nuraini Basyah 40 Jualan
27 Nurmani Ah- 50 Ternak Ayam / Itik
mad
28 Faudiah 30 Jualan
29 Sanyah 32 Jualan
30 Yusrawati 30 Anyaman
31 Khatijah 65 Ternak Ayam / Itik
32 Rakiah Ali 65 Anyaman
33 Aisyah Rasyid 40 Anyaman
34 Aisyah Sufi 40 Anyaman
35 Leha Fatimah 60 Anyaman
36 Halimah Sa- 55 Anyaman
mion
37 Rabiah 60 Anyaman
38 Erni 32 Jualan
39 Mardiah 30 Anyaman
Dokumentasi Studi PRA, 2005

149
Efri Syamsul Bahri

Keterngan: Jajang Fadli Supervisor Program Recovery


ACT – Aksi Cepat Tanggap bersama masyarakat tengah
sedang melakukan Proses Perencanaan Partisipatif dengan
menggunakan metode Participatory Disaster Appraisal
(PDA). Foto Relawan ACT, 2005

Keterangan:
Para Wanita Kepala Keluarga (Wakala) Kab. Pidie NAD
sedang belajar bersama dalam menganyam tikar. Foto
Relawan ACT, 2005

150
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Keterangan:
Ahyudin Direktur ACT – Aksi Cepat Tanggap saat melakukan
kunjungan ke lokasi Program Wakala (Wanita Kepala
Keluarga) di Kab. Pidie NAD. Foto Relawan ACT, 2005

Keterangan:
Para Wakala berpose bersama di gedung Meunasah yang
rusak akibat gempa tsunami di Kab. Pidie NAD. Foto Relawan
ACT, 2005

151
Efri Syamsul Bahri

Keterangan:
Anak-Anak Korban Gempa Tsunami Pidie NAD tengah
berpose bersama Zuzan dari Islamicity.Com. Foto Relawan
ACT, 2005

Setahun Bersama Wakala


Wakala (Wanita Kepala Keluarga) merupakan salah
satu program Recovery ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang
diluncurkan pada bulan Februari 2005 yang lalu di Kab. Pidie
Nanggroe Aceh Darussalam tepatnya di dua desa. Pertama,
Desa Pasi Rawa Kec.Kota Sigli yang difokuskan pada produksi
kerajinan anyaman tikar pandan. Hal ini sesuai dengan potensi
sumber daya alam lokal dan sumber daya manusia yang ada
di tempat itu. Sedangkan kedua, Desa Reudeup Kec. Panteraja
yang lebih dititikberatkan pada aneka usaha produksi seperti
konveksi, ternak ayam dan Warung.
Program Wakala ini bertujuan untuk memberikan
jaminan sosial bagi para wanita yang kehilangan suaminya

152
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

saat bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu di NAD, dimana


wanita-wanita tersebut kemudian berperan ganda, baik
sebagai ibu maupun sebagai kepala keluarga.
Waktu ternyata cepat berlalu, tanpa terasa Wakala telah
memasuki usia setahun. Seperti bayi yang masih berusia
setahun, ia dalam proses belajar berdiri dan berjalan. Selama
proses tersebut berlangsung pasti ada jatuh bangun yang
dirasakan bayi tersebut, namun tak mengurangi semangatnya
untuk bisa berdiri dan berjalan. Bahkan untuk melangkah ke
tahap yang lebih mapan seperti berlari. Begitulah yang dialami
Wakalaselama ini, adakalanya semangat produksi Wakala
surut dan kadang meningkat. Hal ini tak terlepas dari peran
para pendamping yang dengan kesabaran dan kesungguhan
tetap memberikan semangat dan menanamkan percaya diri
kepada para anggota Wakala untuk bangkit dan berjuang
mempertahankan sisa hidupnya dan anak-anak mereka.
Rupiah demi rupiah mulai dapat dinikmati anggota
Wakala dari hasil produksi yang mereka buat. Walau pun hal
ini masih jauh dari harapan untuk meningkatkan ekonomi
mereka ke arah yang lebih mapan, namun menjadi pemacu
bagi wakala untuk tetap pada perannya masing-masing.
Sejauh ini Wakala di dua desa tersebut mengalami perubahan
baik dari segi jumlah anggota Wakala, pengetahuan dan skill
mereka atas keahlian yang mereka miliki selama ini.
Perubahan jumlah Wakala tersebut terjadi karena
sebagian dari Wakala tersebut menikah lagi dan mengundurkan
diri dari keanggotaan Wakala namun ada juga yang masih
menjadi anggota Wakala walaupun Wakala tersebut sudah
menikah kembali. Sedangkan perubahan pengetahuan dan
skill mereka ditunjang dengan adanya pelatihan yang lebih
mendalam terhadap keahlian yang mereka miliki, misalnya

153
Efri Syamsul Bahri

: seperti pelatihan anyam tikar yang difokuskan kepada


pembuatan motif yang lebih beraneka macam dari biasanya
yang mereka bisa. Juga perpaduan bahan dasar yang
divariasikan dengan bahan sejenis misalnya ngom. Sementara
untuk Wakala konveksi mulai dari pelatihan merancang pola
sampai pada pelatihan merancang model busama muslim
dan jilbab. Melalui anyaman-anyaman tangan terampil dari
sebuah Desa yang hancur diterjang tsunami akhirnya tikar
‘sikeh’ yang mereka hasilkan beredar ke belahan dunia yang
lain seperti Amerika dan Norwegia. Wakala Konveksipun
saat ini telah memiliki ‘balai konveksi’ yang cukup membuat
hari-hari wakala semakin intensif untuk bertemu, belajar
bersama dan memproduksi konveksi yang semakin halus
pengerjaannya.
Tampaknya, setahun merupakan waktu yang masih
terasa sebentar untuk membentuk suatu perubahan baru
pada sekelompok masyarakat yang sudah terbiasa dengan
kebudayaan yang selama ini mereka jalani, walaupun itu tidak
mustahil untuk dilakukan. Namun berlandaskan kepedulian
pada sesama (care society), usaha untuk menuju peningkatan
sosial ekonomi Wakala tetap dilakukan dan Alhamdulillah
untuk saat ini Wakala sudah mulai merambah ke bidang
Micro Finance.
Dengan micro finance ini diharapkan wakala lebih
terbantu baik dari segi modal kerja dan distribusi produksi.
Bidang yang selama ini tidak terpikirkan oleh Wakala itu
sendiri bahkan sedikitpun oleh para pendamping. Proses
belajar bersamalah yang membuat Wakala dan pendamping
akhirnya menemukan bidang ini yang diharapkan dapat
menjadi pintu untuk menuju pada peningkatan ekonomi
sosial dari anggota Wakala tersebut ke arah yang lebih baik.

154
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

(Sebagaimana ditulis oleh May/ Maryam, Relawan di Aceh)


Keterangan: Ngom: Sejenis ilalang yang tumbuh disekitar
sawah yang sudah dipanen. Sikeh: Pandan berduri bahan
baku utama tikar anyaman Aceh

F. Model Desain Program Membangun Lumbung Ternak

Pengertian
Lumbung Ternak merupakan sebuah unit pemberday-
aan dan pengembangan masyarakat melalui usaha peter-
nakan. Lumbung Ternak menyediakan ternak yang meru-
pakan hasil peternakan rakyat yang dikelola melalui program
pemberdayaan. Saat ini Lumbung Ternak membuka kesem-
patan untuk penyediaan ternak bakalan dan indukan sapi dan
domba untuk wilayah Jabodetabek.
Lumbung Ternak merupakan unit yang khusus
mengelola program pengembangan masyarakat melalui
sektor peternakan. Lumbung Ternak diharapkan mampu
menjadi sarana dalam peningkatan pendapatan masyarakat.

Visi
Terdepan dalam pengembangan masyarakat melalui
Lumbung Ternak Terpadu dengan penerapan pemberdayaan,
wisata dan pasar ternak

Misi
c. Meningkatkan askes masyarakat terhadap pengelolaan
peternakan.
d. Menumbuhkembangkan sentra-sentra pengembangan
peternakan potensial.
e. Membangun kemitraan dalam pemasaran hasil.

155
Efri Syamsul Bahri

Tujuan
Program Lumbung Ternak sangat berarti di dalam
mendukung Program Nasional Ketahanan Pangan
khususnya didaerah pasca bencana. Dimana Ketahanan
Pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu
bangsa, sehingga kemandirian pangan haruslah menjadi
prioritas tujuan pembangunan pertanian. Peternakan secara
substansial merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
sektor pertanian, oleh karena itu, dalam konteks budaya
pedesaan seringkali peternakan menjadi kegiatan tambahan
dan sumber penghasilan alternatif dari keseluruhan kegiatan
usaha ekonomi produktif petani.
Mayoritas petani sering memposisikan “ternak” sebagai
salah satu bentuk tabungan yang dapat diandalkan sebagai
alternatif pembiayaan terakhir baik bagi kegiatan ekonomi
maupun sosial kemasyarakatan secara luas.
Lumbung Ternak ditujukan untuk menyediakan pangan
bergizi bagi keluarga, meningkatkan skill keluarga dalam
mengelola usaha peternakan berbasis sumberdaya lokal.
Kita berharap melalui Lumbung Ternak ini keluarga yang
rawan pangan mampu bangkit untuk membangung keluarga
sejahtera.

Tujuan Umum Program


1. Memulihkan kondisi perekonomian masyarakat dengan
menggerakkan potensi dan partisipasi sumberdaya lokal.
2. Melakukan pemetaan kondisi dan potensi perekonomian
masyarakat.
3. Menfasilitasi terbentuknya Lumbung Ternak yang dikelola
secara mandiri dan profesional oleh masyarakat.

156
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Tujuan Khusus Program


a. Menfasilitasi masyarakat untuk membangun basis usaha
bersama dengan mendayagunakan sumberdaya lokal
melalui Lumbung Ternak.
b. Meningkatkan kapasitas dan produktifitas masyarakat
dalam menangani Usaha peternakan.
c. Menfasilitasi kemitraan dan sinergi strategis dengan
stakeholders bisnis.
d. Membangun posisi tawar (Bergainning position) petani
ternak melalui jaringan (network) dan kerjasama antar
kelompok ternak.
e. Meningkatkan pendapatan (income generating) para petani
peternak.

157
Efri Syamsul Bahri

Deskripsi Program

NO KEGIATAN TUJUAN OUTPUT


1. Menggali
potensi
sumberdaya
lokal yang
mampu
menopang
kehidupan
masyarakat Adanya
Studi Potensi di Lokasi rumusan
1 Sumberdaya Program rencana
Lokal 2. Merancang program dan
dan merumus- aktivitas
kan program
dan kegiatan
masyarakat
untuk mem-
produktifkan
potensi sum-
berdaya lokal
Distribusi
Penguatan Menfasilitasi bantuan
Modal/ masyarakat untuk dana/ternak
2
Bantuan membangun usaha kepada
Ternal Lumbung Ternak para ptenai
peternak

158
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Peningkatan
Meningkatkan
Pelatihan kapasitas
keterampilan
3 Manajemen dalam
masyarakat dalam
Usaha menangani
menangani usaha
usaha
1. Meningkatkan
motivasi beru-
saha
2. Membangun
Terbentuknya
kebersamaan
Lumbung
antar petani
Ternak
peternak
Pendampin- sebagai
4 3. Pembinaan
gan sebuah
mental dan
Organisasi
spiritual petani
Petenai
peternak
Peternak
4. Monitoring
dan Evaluasi
Perkembangan
Usaha
Melakukan proses
dokumentasi atas
Adanya
proses aktivitas
dokumen
Dokumentasi yang nantinya
aktivitas
5 Pembelajaran dapat dijadikan
dalam bentuk
Masyarakat sebagai media
foto, aktivity
pembelajaran
report
masyarakat di
lokasi yang lain

159
Efri Syamsul Bahri

SKEMA PROGRAM LUMBUNG TERNAK


SKEMA PROGRAM LUMBUNG TERNAK

Penguatan Modal/
Bantuan Ternak

Studi Potensi Pelatihan LUMBUNG


Sumberdaya MANAJEMEN TERNAK
Lokal USAHA MANDIRI DAN PROFESIONAL

PENDAMPINGAN
KELOMPOK

DOKUMENTASI
PEMBELAJARAN

SISTEM PERGULIRAN TERNAK


Program Lumbung Ternak menggunakan sistem perguliran ternak, dengan ketentuan sebagai
SISTEM
berikut: PERGULIRAN TERNAK
1. Bantuan yang diberikan kepada petani/ peternak adalah dalam bentuk Ternak
Program Lumbung
2. Ternak dipeliharan Ternak
langsung oleh paramenggunakan
petani/ peternak sistem perguliran
3. Masa pengelolaan 1 tahun dan bisa diperpanjang
ternak, dengan
4. Pembinaan ketentuan
dilakukan sebagai
secara intensif berikut:
oleh Tenaga Pendamping (TP)
5. Ternak Induk akan digulirkan kepada petani/ peternak lainnya yang belum mendapatkan
1. bantuan.
Bantuan yang diberikan kepada petani/ peternak adalah
dalam
Melalui bentuk
pola ini Ternak
diharapkan akan terjadi sinergi berkelanjutan antar stakeholder dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan serta mengatasi pengangguran.
2. Ternak
Jangka dipeliharan langsung oleh para petani/ peternak
Waktu Pelaksanaan

3. Masa
Program pengelolaan
ini dilakukan 1 tahun
dalam 1 tahun dan bisa diperpanjang
(12 bulan).
Tahap 1: Kegiatan pada tahap 1 ini meliputi: Penentuan kriteria lokasi, Pemilihan Peserta,
4. Pembinaan dilakukan secara intensif oleh Tenaga
Penguatan kelompok tani. Kegiatan ini dilakukan dengan survey di lapangan.
Pendamping (TP)
Tahap 2: Implementasi program dilakukan secara berkelanjutan, untuk tahap pertama
5. Ternak
program Induk
dilaksanakan akan
dalam jangkadigulirkan
waktu 12 bulan kepada petani/ peternak

lainnya yang
MONITORING belum mendapatkan bantuan.
DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program dilakukan secara reguler dengan
Melalui polaPelaksanaan
adanya Laporan ini diharapkan akan terjadi
Program. Laporan selanjutnyasinergi berkelanjutan
akan disampaikan kepada pihak
donatur dengan dilengkap dengan dokumentasi aktivitas.
antar stakeholder dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
serta mengatasi pengangguran.
PENUTUP

Jangka Waktu Pelaksanaan


83

160
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Program ini dilakukan dalam 1 tahun (12 bulan).


Tahap 1: Kegiatan pada tahap 1 ini meliputi: Penentuan
kriteria lokasi, Pemilihan Peserta, Penguatan kelompok tani.
Kegiatan ini dilakukan dengan survey di lapangan.

Tahap 2: Implementasi program dilakukan secara


berkelanjutan, untuk tahap pertama program dilaksanakan
dalam jangka waktu 12 bulan

MONITORING DAN EVALUASI


Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program
dilakukan secara reguler dengan adanya Laporan Pelaksanaan
Program. Laporan selanjutnya akan disampaikan kepada
pihak donatur dengan dilengkap dengan dokumentasi
aktivitas.

PENUTUP
Demikianlah gambaran program ini disusun sebagai
gambaran pelaksanaan program. Kita berharap dengan
adanya Program ini dapat memberi arti bagi saudara-
saudara kita.

G. SMK Mitra Indonesia, Sekolah Wirausaha Anak Petani


Pendidikan merupakan salah satu cara efektif untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat. Potensi sumberdaya
lokal yang begitu besar akan dapat terkelola apabila sumberdaya
manusianya mempunyai kesadaran, kapasitas dan daya.
Seiring dengan bertumbuhkembangnya program-program
pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi Yayasan Mitra
Peduli Indonesia (MPI) bersama masyarakat di Kecamatan
Tanjungsari Kabupaten Bogor, maka Alhamdulillah di

161
Efri Syamsul Bahri

tahun ajaran 2010 SMK Mitra Indonesia dapat dibuka. SMK


Mitra Indonesia bertujuan untuk menghasilkan sumberdaya
manusia yang tangguh, beretika dan berdaya saing. Saat ini
Tim Persiapan SMK Mitra Indonesia terus berbenah untuk
mewujudkan harapan masyarakat khususnya para pelajarnya
untuk bangkit dan mandiri membangun masa depan bangsa.

Ayo Wujudkan Cita-Cita Mereka

MPI (Bogor) – “Cita-citaku ingin menciptakan


lapangan pekerjaan untuk membangun sebuah sebuah
perusahaan, karena di Indonesia ini banyak orang yang
hanya berbondong-bondong untuk melamar kerja di
sebuah perusahaan tapi saya tidak ingin seperti itu, yang
saya inginkan adalah saya itu harus menciptakan lapangan
kerja dan mempunyai banyak karyawan dan saya ingin
menjadi pengusaha tangguh”, Ajat Sudrajat siswa SMK
Mitra Indonesia.
Ajat, alumni SMP IT Bina Al-Jihar Karawang
hanya salah satu dari jutaan anak Indonesia yang ingin
menggapai sukses. Kini, ia menaruh harapan besar pada
SMK Mitra Indonesia untuk menggapai cita-citanya.
SMK Mitra Indonesia yang digagas dengan konsep
School For Enterpreneur, berusaha menjawab harapan
itu. Karena mereka adalah anak-anak masa depan yang
akan membangun bangsa ini menjadi besar, mandiri dan
bermartabat.

162
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Menurut Acmad Royani, Ketua MPI Perwakilan


Bogor, SMK Mitra Indonesia ditujukan untuk anak-anak
dhuafa dan yatim. “Kami menyediakan sekolah dan
asraman gratis bagi mereka, supaya mereka bisa bangkit
dan mandiri. Tidak mungkin daerah ini bisa maju, kalau
mereka banyak yang putus sekolah”, tegas Achmad Royani
yang akrab dipanggil Oyan ini.
Untuk mewujudkan harapan siswa-siswa SMK Mitra
Indonesia diperlukan dukungan dari berbagai pihak.
Berapapun yang kita kontribusikan akan begitu berarti.
Oyan menambahkan, saat ini tersedia peluang amal begitu
besar bagi para donatur dengan berpartiispasi daam
pembiayaan pembangunan gedung, perlengkapan, sarana
asrama seperti: kasur,tempat tidur dll, biaya konsumsi
harian, dll.

Contoh laporan Pelaksanaan Program

Laporan Pembangunan
Ruang Kelas SMK Mitra Indonesia

Pendahuluan

Pendidikan adalah untuk semua. Pendidikan tidak saja


harus dinikmati oleh Anak-Anak orang yang mampu. Anak-
Anak yatim dan dhuafa pun memiliki hak yang sama untuk
menikmati pendidikan. Kita tentu sangat menyadai bahwa
tugas mulia ini adalah kerja-kerja kenegaraan. Oleh karena
itu kerja mulia ini mesti dipikul dan ditanggung bersama.

163
Efri Syamsul Bahri

Upaya dalam menyediakan akses pendidikan kepada Anak


yatim dan dhuafa ini perlu disambut gembira. Kita tentu
tak ingin masa depan bangsa ini hancur karena kurang
tertanganinya anak-anak dhuafa dan yatim. Kita menyadari
betul bahwa upaya ini akan memberikan dampak positif
dalam perbaikan kualitas generasi masa depan bangsa.

Kita tentu bisa bayangkan apa yang akan terjadi 20-50


tahun mendatang, tatkala anak-anak yang menjadi harapan
bangsa ini tidak mendapatkan hak-hak pendidikan. Kepada
siapa lagi kita akan berharap akan perbaikan bangsa ini,
kalau bukan kepada mereka. Perlu menjadi catatan bersama
bagi kita bahwa kalau kita ingin melihat bangsa ini maju,
besar dan berkualitas, maka sesungguhnya gambaran itu
tengah diperlihatkan sekarang ini pada anak-anak bangsa
ini. Ketika anak-anak ini disibukkan dengan pendidikan kita
akan meyakini bahwa bakal ada harapan bangsa ini akan
dikelola oleh putera-puteri terbaik bangsa.

Program ini sengaja mengambil segmen anak-anak yatim


dan dhuafa. Mereka ini adalah potret cerminan bangsa masa
depan. Dari karya merekalah kita berharap terjadi proses
perbaikan.
Melalui peningkatan kualitas pendidikan anak-anak yatim
dan dhuafa ini, kita berharap terjadi pemulihan kualitas
keluarga. Bahkan diantara mereka bukan tidak mungkin
akan terlahir pemimpin-pemimpin bangsa yang peduli
dengan nasib para yatim dan dhuafa.

164
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Yayasan Mitra Peduli Indonesia concern dengan pendidikan


khususnya yang diperuntukkan untuk anak-anak yatim
dan dhuafa dengan mendirikan SMK Mitra Indonesia. SMK
Mitra Indonesia diorientasikan untuk mampu memberi arti
besar bagi perubahan bangsa ini khususnya pada diri dan
keluarga yatim dan dhuafa.

Alhamdulillah keberadaan SMK Mitra Indonesia ini


mendapat dukungan dari YBM BRI khususnya untuk
program beasiswa dan penambahan ruangan kelas. Oleh
karena itu melalui laporan ini kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada YBM BRI yang telah berkontribusi untuk
kemajuan bangsa melalui bantuan ini. Harapan dari sinergi
ini agar dukungan dapat dilanjutkan sehingga para siswa-
siswi SMK Mitra Indonesia dapat berperan sebagai pelopow
wirausaha di masyarakat sehingga mampu menanggulangi
persoalan kemiskinan dan pengangguran yang masih
mendera bangsa kita.

Tujuan Program
Tujuan program sebagai berikut:
Mengangkat harkat dan martabat anak yatim dan dhuafa
Memberikan pelayanan terbaik kepada anak yatim dan
dhuafa
Mengantisipasi terjadinya loss generation pada anak
dhuafa dan yatim
Menyelamatkan masa depan anak-anak yatim dan
dhuafa

165
Efri Syamsul Bahri

Sasaran Program
1. Anak Yatim
2. Anak Dhuafa
3. Usia Produktif

Lokasi dan Pemanfaatan


SMK Mitra Indonesia berlokasi di Desa Pasir Tanjung
Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bogor
Lokasi Strategis: terpadu dengan unit pemberdayaan
masyarakat di sektor pertanian, peternakan dan
perkebunan.

Penutup

Demikian Laporan Program ini dibuat sebagai gambaran


pelaksanaan program bagi YBM BRI mengenai SMK Mitra
Indonesia. Semoga apa yang kita lakukan mendapatkan
kemudahan dan ridho dari Allah SWT.

Jakarta, 4 Juli 2011

Yayasan
Mitra Peduli Indonesia

166
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

LAMPIRAN
DOKUMENTASI PEMBNGUNAN RUANG KELAS
SMK MITRA INDONESIA
DESA PASIR TANJUNG KEC. TANJUNGSARI KAB.
BOGOR

Aktivitas Siswa-Siswi SMK Mitra Indonesia, Angkatan I


Tahun 2010

167
Efri Syamsul Bahri

Pembangunan Ruang Kelas SMK Mitra Indonesia

168
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

169
Efri Syamsul Bahri

DAFTAR PUSTAKA

(KBBI), K. B. (t.thn.).
Ade Yunita Mafruhat, R. H. (2016). Solusi Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia Berdasarkan Perspektif
Islam. Prosiding SNaPP2016 Sosial, Ekonomi, dan
Humaniora, (hal. 134-141).
Adi, I. R. (2003). Pengembangan Masyarakat dan Intervensi
Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Ahmadi, R. (2012). Pemberdayaan Masyarakat Miskin:
Pendekatan Modal Manusia. Jurnal Kebijakan Publik,
10(2), 16-31.
Aisah, S. (2015). Nilai-Nilai Sosial Yang Terkandung Dalam
Cerita Rakyat “Ence Sulaiman” Pada Masyarakat
Tomia. Jurnal Humanika, 15(3).
Akhmadi, W. I. (2016). Penetapan Kriteria dan Variabel
Pendataan Penduduk Miskin yang Komprehensif
dalam Rangka Perlindungan Penduduk Miskin di
Kabupaten/Kota . The SMERU Research Institute.
Almizan. (2016, Juli-Desember). Pembangunan Ekonomi
Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Maqdis : Jurnal
Kajian Ekonomi Islam, Volume 1(Nomor 2), 203-222.
Andriyanto, I. (2014). Pemberdayaan Zakat Dalam
Meningkatkan Kesejahetraan Umat. Jurnal Zakat dan

170
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Wakaf ZISWAF, Vol. 1(No. 2).


Ariani, H. (2016). Analisis Pemberdayaan Petani Dhuafa
(Studi Kasus di Pertanian Sehati Indonesia). Kordinat,
XV(2), 275-294.
Arif, M. (2017). Zakat as a Mode of Poverty Alleviation. Asian
Journal of Multidisciplinary Studies, 5(11), 57-65.
Arsam. (2013). Monitoring dan Evaluasi Dakwah (Studi Terhadap
Kegiatan “ Dialog Interaktif ” Takmir Masjid Ash-
Shiddiq). At-Tabsyir, Jurnal Komunikasi Penyiaran
Islam.
Asy’arie, M. (1994). Ekonomi dan Kemiskinan Tinjauan
Agama. UNISIA,, 21.
Azman, A. (2012). Memahami Dimensi Spiritualitas Dalam
Praktek Pekerjaan Sosial. Informasi, Vol. 17, No. 02.
Bahri, E. S. (2013). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan
Aplikasi. Kediri: FAM Publishing.
Bahri, E. S. (2013). Zakat dan Pembangunan Sosial. Kediri: FAM
Publishing.
Bahri, E. S. (2013). Zakat dan Pembangunan Sosial. Pare: FAM
Publishing.
Baker, J. L. (2013). Indonesia : Kemiskinan Perkotaan dan Ulasan
Program. PNPM Support Facility.
BAZNAS, P. (2017). Dampak Zakat Terhadap Kesejahteraan
Mustahik di Indonesia; Evaluasi Program Zakat Produktif
BAZNAS. Jakarta: BAZNAS, Puskas.
BAZNAS, P. (2018). Kajian Had Kifayah. Jakarta: Pusat Kajian
Strategis BAZNAS.
Centres, N.-d. T. (2003). Perencanaan Proyek Partisipatif.
Chaniago, S. A. (2015, Juni). Pemberdayaan Zakat Dalam
Mengentaskan Kemiskinan. Jurnal Hukum Islam,
Volume 13( Nomor 1), 47-56. Diambil kembali dari

171
Efri Syamsul Bahri

http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/
jhi
Chapra, U. (2001). The Future of Economics: An Islamic
Perspective. (Amdiar Amir. dkk, Penerj.) Jakarta:
Shari’ah Economics and Banking Institute.
Depdikbud, P. P. (t.thn.). Kamus…h. 794.
Dewanti, I. S. (2010). Pemberdayaan Usaha Kecil dan Mikro:
Kendala dan Alternatif Solusinya. Jurnal Administrasi
Bisnis, 1-10.
Effendie, K. (2008). Landasan Pokok Pengembangan Masyarakat.
Jakarta: Penerbit Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Elfindri. (2011). Beberapa Teknik Monitoring dan Evaluasi
(Monev) (Vol. Vol. 1, No. 3, November 2011). Jurnal
Kesehatan Komunitas.
Erita Y. Diahsari, S. S. (2015). Memaknai Keberhasilan Usaha
: Studi pada Perempuan Pengusaha di Yogyakarta.
Psychology Forum UMM (hal. 978-979). UMM.
Ernawati. (2016). Karakteristik Program Pemberdayaan
Mustahik Oleh Lembaga Amil Zakat Nasional
Di Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan
“INFERENSI”, 309-334.
Giyarsih, S. R. (2014). Pengentasan Kemiskinan Yang
Komprehensif di Bagian Wilayah Terluar Indonesi:
Kasus Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan
Utara. Manusia dan Lingkungan, Vol. 21, No.2, Juli 2014,
239-246.
Hariyanto, S. (2014). Analisis Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan di Pantai Prigi Kecamatan Watulimo
Kabupaten Trenggalek. Jurnal Universitas Tulungagung
BONOROWO, 2(1).
HM, M. (2015). Potret Ketenagakerjaan, Pengangguran dan

172
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Kemiskinan di Indonesia: Masalah dan Solusi. Al-


Buhuts, 42-66.
Ibrahim Saragih, D. S. (2006). Petani Tuna Mikma. Jurnal
Penyuluhan, 2(2).
Idris, M. (2017, Juni 1). Problem Kemiskinan: Analisis Sebab
dan Jalan Keluar. Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-ilmu
Agama, Vol. VIII(No. 1), 62-76.
Kuncoro, M. (1997). Ekonomi Pembangunan, Teori, masalah
dan kebijakan,. Yogyakarta: Unit penerbitan dan
percetakan akademi manajemen perusahaan YKPN.
Kurniawan, M. (2017). Analisis Faktor-Faktor Penyebab
Kemiskinan di Kabupaten Musi Banyuasin (Studi
Kasus di Kecamatan Sungai Lilin). Jurnal Ilmiah
Ekonomi Global Masa Kini, 8(1), 16-20.
Lailatussufiani, S. (2016). The Utilization of Zakat , Infaq
and Shadaqah for Community Empowerment ( Case
Study of BAZNAS West Nusa Tenggara Province
). International Journal of Business and Management
Invention, 152-160.
Latifah, S. (t.thn.). Analisis Akar Masalah Dalam Perncanaan
Pengelolaan DAS Terpadu Palung. 46-60.
Maulana, H. (2008). Analisa distribusi zakat dalam meningkatkan
kesejahteraan mustahik. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Mulkhan, M. A. (2012). Pelatihan Metode Logical Framework
Analysis (LFA) Dalam Pembuatan Business Plan Bagi
Siswwa Sekolah Kejuruan di SMK Negeri 6 Bandar
Lampung.
Mulyadi, M. (2018). Strategi Pemerintah dalam Penanganan
Kemiskinan dan Kesenjangan. Info Singkat, 1.
Mutalazimah. (2015). Aplikasi Logical Framework Analysis pada

173
Efri Syamsul Bahri

Ormawa dan UKM.


News, A. (2009, Juli 1).
Noor, M. (2011). Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ilmiah
CIVIS, 1(2), 87-99.
Noor, M. (2014). Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
(Studi Tentang Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan Di Kota Semarang).
Serat Acitya, 130.
Nuruddin, A. (2017). The Model of Productive Zakat
Distribution In Increasing The Society Welfare In
Aceh Province. IOSR Journal Of Humanities And
Sosial Science (IOSR-JHSS), Volume 22, Issue 11, Ver. 6
(November. 2017) PP 77-82 e-ISSN:. doi:10.9790/0837-
2211067782
Nurwati, N. (2008). Kemiskinan : Model Pengukuran ,
Permasalahan dan Alternatif Kebijakan. Jurnal
Kependudukan Padjadjaran, 10(1), 1-11.
Nurzaman, M. S. (2016). Evaluating the Impact of
Productive Based Zakat in The Perspective of Human
Development Index : A Comparative Analysis Figure
1 Collection of Zakat Fund ( IDR - Billion ). Kyoto
Bulletin of Islamic Area Studies, 42-62.
Ohoiwutun, C. L. (2017). Peran Komunikasi Dalam
Pemberdayaan Nelayan Tradisional Pada Masyarakat
Pesisir (PMP) di Kabupaten Maluku Tenggara.
JURNAL PIKOM (Penelitian Komunikasi dan
Pembangunan), 18(1), 31-42.
P, A. H. (2008). Metode Analisis Akar Masalah dan Solusi.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, 12(2), 72-81.
Pati, P. K. (2010). Strategi Sanitasi Kabupaten Pati.
Rahmanto, D. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

174
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Pulau Untungjawa dalam Upaya Meningkatkan


Kesadaran Hukum dan Kemandirian Nelayan. ADIL:
Jurnal Hukum, 7(1), 1-15.
Rahmatulliza. (2017). Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di
Pelabuhan Kuala Stabas Kecamatan Pesisir Tengah Krui
Kabupaten Pesisir Barat. Bandar Lampung: Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri
Raden Intan Lampung.
Riwajanti, N. I. (2013). Islamic Microfinance as an Alternative
for Poverty Alleviation : A Survey. Afro Eurasian
Studies, 2(182), 254-271.
Robert Durianto, A. S. (2013). Pemberdayaan Masyarakat
Nekayan Melalui IPTEK MIna Bisnis (Studi di Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lamongan dan di
Desa Weru Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan
). Jurnal Administrasi Publik (JAP), 3(1), 22-28.
Rosalina, M. P. (2013). Kontribusi spiritualitas dan religiusitas
terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan
latar belakang keluarga miskin. FIB UI.
Sartika, M. (2008). Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif
terhadap Pemberdayaan Mustahiq pada LAZ Yayasan Solo
Peduli Surakarta. Jurnal Ekonomi Islam La Riba Vol. II,
No. 1, Juli 2008.
Setiadi, M. R. (2016). Peran Amil Zakat dalam
Mengoptimalkan Zakat Produktif : Studi Analisis
Badan Amil Zakat Daerah ( BAZDA ) Kota Bekasi.
Maslahah, 7(1), 49-70.
Sholihat, E. S. (2016). Analisis Pola Pemberdayaan Peternak
Miskin di Kampoeng Ternak Nusantara Dompet
Dhuafa. Jurnal Perisai Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo, 1(1).

175
Efri Syamsul Bahri

Societies, I. F. (2002). Handbook for Monitoring and Evaluation.


Switzerland: International Federation of Red Cross
and Red Crescent Societies.
Sodiq, A. (2016). Konsep Kesejahteraan Dalam Islam.
Equilibrium, 380-405.
Soleh, A. (2013). Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di
Indonesia. Ekombis Review, 197-209.
Sugiharti, A. S. (2016). Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan
di Indonesia: Analisis Rumah Tangga. Jurnal Ilmu
Ekonomi Terapan, 17-33.
Sutikno, S. (2015). Pemilihan Program Pengentasan
Kemiskinan Melalui Pengembangan Model
Pemberdayaan Masyarakat Dengan Pendekatan
Sistem. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah
Ekonomi dan Pembangunan, 11(1), 135-147.
Syahra, R. (2003). Modal sosial: Konsep dan aplikasi. Jurnal
Masyarakat dan Budaya.
UNDP. (2009). Handbook on Planning , Monitoring and
Evaluating. UNDP.
United Nations, E. a. (2018). Progress towards the Sustainable
Development Goals Report of the Secretary-General.
United Nations, Economic and Sosial Council.
Wikipedia. (2019). Daya. Wikipedia. Dipetik Januari 1, 2019,
dari https://id.wikipedia.org/wiki/Daya
Wrihatnolo, R. R. (2008). Manajemen Pemberdayaan: Sebuah
Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Zulkarnain, K. d. (2017). Makna Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Menurut Muhammad Asad Dalam Kitab The Message
of The Qur’an. Wardah.

176
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

Profil Penulis

Efri Syamsul Bahri., SE., Ak.,


CA., M.Si lahir di Kota Padang
Sumatera Barat pada tgl 29
September 1973. Memperoleh
pendidikan formal di SD 01 Ikur
Kota, SMP 13 Padang.
Melanjutkan studi di SMA 1
Pekanbaru sampai kelas 2. Kelas 3 dilanjutkan ke SMA 8
Padang. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Universitas
Andalas (S1) dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (S2).
Saat ini sedang melanjutkan pendidikan untuk meraih Ph.D
di Asia e University Malaysia.
Semasa kuliah Efri S. Bahri aktif di Lembaga
Kemahasiswaan, antara lain: menjadi Ketua Himpunan
Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Sekretaris Forum Studi Islam,
Unit Kegiatan Mahasiwa Penerbitan Kampus, Unit Kegiatan
Mahasiwa Kerohanian Islam, dll. Di luar kampus Efri S.
Bahri juga aktif menjadi Bendahara Umum dan Sekretaris
Umum Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) Cabang Padang
(1996/1997). Efri S. Bahri juga berkecimpung di BKPRMI
yang diamanahkan sebagai Direktur LPPSDM DPW BKPRMI
Sumbar.

177
Efri Syamsul Bahri

Dalam rangka meningkatkan kapasitas


intelektualitasnya, Efri S. Bahri bersama para mahasiwa
dari berbagai Perguruan Tinggi di Kota Padang juga aktif
melakukan kajian ke-Islaman dan Humaniora melalui wadah
Pusat Studi Lingkar Kabisat.
Tahun 2002 Efri S. Bahri bergabung dengan Dompet
Dhuafa Republika. Tahun 2004 beliau bersama para Relawan
mendirikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap dan terakhir
diamanahkan sebagai Direktur Program. Tahun 2007
mendirikan Yayasan Mitra Peduli Indonesia yang bergerak
dalam bidang pengembangan masyarakat. Saat ini beliau juga
berkiprah sebagai Kepala Divisi Monitoring dan Evaluasi
BAZNAS, dosen STEI SEBI, membina SMK Mitra Indonesia
yang merupakan sekolah wirausaha bagi anak-anak petani
serta mendirikan SDIT Cahaya Hati di Padang Pariaman
Sumatera Barat.
Di dalam dunia profesi, ia bergabung di dalam Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI), DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam
(IAEI), Himpunan Ahli Teknik dan Pemberdayaan Masyarakat
Indonesia (HAPMI) Wilayah Jabodetabek dan Forum Aktif
Menulis (FAM) Indonesia.
Karya tulis beliau tersebar dalam bentuk artikel di
berbagai media, di Jurnal Ilmiah antara lain: Jurnal STEI
SEBI, Jurnal ZISWAF, Jurnal Perisai, Jurnal Didaktika, Jurnal
Kordinat, dll. Buku tunggal yang sudah diterbitkan antara
lain: Hari-Hari Mahasiswa (2003), Pemberdayaan Masyarakat:
Konsep dan Aplikasi (2012), Hari-Hari Mahasiswa: Kiprah
dan Agenda Pergerakan Mahasiswa (2013), Zakat dan
Pembangunan Sosial (2013) dan Meretas Jalan Perubahan
(2015).

178
Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan

179
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai