Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH EARNING MANAGEMENT

KASUS MANAJEMEN LABA PADA PT INDOFARMA TBK

Untuk melengkapi tugas Teori Akuntansi dari Bapak Dr. Burhan Phili SE.,M.Ak.,CA.,CPA.

Disusun Oleh :

Rasyidah Rasyid 2062201072

FAKULTAS EKONOMI

AKUNTANSI

UNIVERSITAS LANCANG KUNING

PEKANBARU

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 3
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 4

2.1 Kasus Manajemen Laba PT Indofarma Tbk ........................................................... 4


2.2 Faktor Penyebab terjadinya Kerugian .................................................................... 6

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 8

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 8


3.2 Saran ....................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... ii

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pada umumnya setiap perusahaan selalu berusaha untuk memaksimumkan
keuntungan yang diperolehnya. Berbagai strategi diterapkan guna mencapai tujuan
tersebut. Perusahaan akan selalu menjaga agar kinerjanya terlihat baik di mata para
stakeholdernya. Namun pada kenyataannya, perusahaan seringkali dihadapkan pada
berbagai kendala yang bisa menyebabkan penurunan kinerja bahkan kesulitan keuangan
hingga akhirnya bangkrut. Dan tentu saja perusahaan akan berusaha untuk menutupi
kondisi tidak sehat tersebut dari para stakeholdernya. Salah satunya adalah dengan cara
earning management (manajemen laba). Laba diatur sedemikian rupa supaya sesuai
dengan tujuan perusahaan. Salah satu contohnya adalah pada PT Indofarma Tbk.
Cikal bakal PT. Indofarma dimulai pada saat didirikannya yaitu pada tahun 1918,
dimulai dari pabrik kecil dengan fasilitas terbatas yang hanya dapat memproduksi
beberapa jenis salep dan kasa pembalut, untuk memenuhi kebutuhan Rumah Sakit Pusat
Pemerintah Belanda. Seiring dengan bertambahnya fasilitas produksi untuk tablet dan
injeksi, pabrik kecil ini mulai dikenal dengan nama Pabrik Obat Manggarai. Pada tahun
1979, Pabrik Obat Manggarai berubah status menjadi Pusat Produksi Farmasi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana bertugas untuk memproduksi obat
untuk pemerintah. Yang kemudian pada tahun 1981, Pusat Produksi Farmasi Departemen
Kesehatan Republik Indonesia berubah status menjadi Perusahaan Umum Indonesia
Farma (disingkat Perum Indofarma). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia (PP) No. 34 tahun 1995, Perusahaan Umum Indonesia Farma berubah status
menjadi PT. Indofarma (Persero). Pada tahun 2001, PT. Indofarma (Persero) berubah
status menjadi perusahaan terbuka dengan nama PT. Indofarma (Persero) Tbk, dengan
melakukan penawaran saham perdana sebesar 20% kepada masyarakat dan mencatatkan
seluruh saham Perseroan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan kode
saham INAF.

1
Kasus ini berawal pada tahun 1999 yang mengindikasikan adanya persedian
barang yang seharusnya dijual tapi tidak laku-laku. Padahal nilainya sangat besar.
Direktur Utama PT Indofarma, Edy Pramono juga mengemukakan, pada laporan
keuangan Indofarma terjadi kesalahan akuntan dalam implementasi sistem teknologi
informasinya. Kesalahan tersebut baru diketahui, sehingga menyebabkan kerugian yang
signifikan terhadap perusahaan. Menurut dia, kesalahan itu berawal pada proses
pencatatan persediaan anak perusahaan Indofarma yakni PT Indofarma Global Medika,
yang bergerak di bidang distribusi bahan baku dan obat jadi. Akibat kesalahan tersebut,
beban pokok penjualan Indofarma pada tiga kuartal I sampai III sebelumnya harus
diakumulasikan ke laporan akhir 2002. dan penggunaan teknologi informasi baru dalam
pencatatan persediaan anak usaha menyebabkan timbulnya kesalahan dalam laporan
keuangan tersebut. Akibat dari kesalahan laporan keuangan tersebut, pemerintah sebagai
pemegang saham mayoritas, melalui Menneg BUMN, Laksamana Sukardi memutuskan
menunda divestasi Indofarma. Dalam kasus tersebut Bapepam akhirnya mendenda
mantan Direksi Indofarma sebesar Rp 500 Juta. Bapepam memutuskan memberi sanksi
administrative berupa denda sebesar Rp 500 juta kepada direksi PT Indofarma Tbk yang
menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun 2001.
Kasus PT indofarma terjadi saat BAPEPAM menemukan indikasi adanya
penyembunyian informasi penting menyangkut kerugian selama dua tahun berturut-turut
yang diderita PT Indofarma Tbk. Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam
Abraham Bastari mengatakan, temuan ini terungkap setelah institusinya memanggil
sejumlah pihak, termasuk Direksi dan mantan Direksi Indofarma. Pihak lain yang turut
diperiksa, yaitu jajaran manajemen PT Indofarma Global Medika yang merupakan anak 
perusahaan Indofarma. Selain itu, Bepapam juga telah memeriksa kantor akuntan publik
Hadori dan Rekan dengan Hadori Yunus sebagai auditornya yang telah mengaudit
laporan keuangan Indofarma 2003.
Dari hasil penelitian, juga ditemukan bukti-bukti di antaranya, nilai Barang
Dalam Proses dinilai lebih tinggi dai nilai yang seharusnya (overstated) dalam penyajian
nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar Rp 28,87 miliar.
Akibatnya harga Pokok Penjualan mengalami understated dan laba bersih mengalami
overstated dengan nilai yang sama. Bapepam menilai ada ketidaksesuaian penyampaian

2
laporan keuangan dengan pasal 69 UU Pasar Modal, angka 2 huruf A Peraturan Bapepam
Nomor VIII.G.7, Pedoman Standar Akuntan Publik. Dan selanjutnya sanksi administrasi
itu diberikan berdasarkan pasal 5 huruf N UU No 8 tahun 1995 tentang pasar modal dan
Pasal 64 Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2004 tentang penyelenggaraan kegiatan di
pasar modal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kerugian di PT Indofarma Tbk bisa terjadi?
2. Apa saja faktor yang menjadi penyebab kerugian di PT Indofarma Tbk?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui serta memahami bagaimana kerugian itu bisa terjadi.
2. Untuk menganalisa faktor yang menjadi penyebab kerugian tersebut.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kasus Manajemen Laba PT Indofarma Tbk
Kasus ini berawal pada tahun 1999 yang mengindikasikan adanya persedian
barang yang seharusnya dijual tapi tidak laku-laku. Padahal nilainya sangat besar.
Direktur Utama PT Indofarma, Edy Pramono juga mengemukakan, pada laporan
keuangan Indofarma terjadi kesalahan akuntan dalam implementasi sistem teknologi
informasinya. Kesalahan tersebut baru diketahui, sehingga menyebabkan kerugian yang
signifikan terhadap perusahaan. Menurut dia, kesalahan itu berawal pada proses
pencatatan persediaan anak perusahaan Indofarma yakni PT Indofarma Global Medika,
yang bergerak di bidang distribusi bahan baku dan obat jadi. Akibat kesalahan tersebut,
beban pokok penjualan Indofarma pada tiga kuartal I sampai III sebelumnya harus
diakumulasikan ke laporan akhir 2002. dan penggunaan teknologi informasi baru dalam
pencatatan persediaan anak usaha menyebabkan timbulnya kesalahan dalam laporan
keuangan tersebut. Akibat dari kesalahan laporan keuangan tersebut, pemerintah sebagai
pemegang saham mayoritas, melalui Menneg BUMN, Laksamana Sukardi memutuskan
menunda divestasi Indofarma.
Kasus ini bermula dari adanya penelaahan Bapepam mengenai dugaan adanya
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal terutama berkaitan
dengan penyajian laporan keuangan yang dilakukan PT Indofarma Tbk. Dari hasil
penelitian, Bapepam menemukan bukti-bukti di antaranya, nilai Barang Dalam Proses
dinilai lebih tinggi dai nilai yang seharusnya (overstated) dalam penyajian nilai
persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar Rp 28,87 miliar.
Akibatnya harga Pokok Penjualan mengalami understated dan laba bersih mengalami
overstated dengan nilai yang sama. Bapepam menilai ada ketidaksesuaian penyampaian
laporan keuangan dengan pasal 69 UU Pasar Modal, angka 2 huruf a Peraturan Bapepam
Nomor VIII.G.7, Pedoman Standar Akuntan Publik. Dan selanjutnya sanksi administrasi
diberikan berdasarkan pasal 5 huruf n UU No 8 tahun 1995 tentang pasar modal jo Pasal
64 Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2004 tentang penyelenggaraan kegiatan di pasar
modal.

4
Bapepam mendenda mantan Direksi Indofarma sebesar Rp 500 Juta. Bapepam
memutuskan memberi sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 500 juta kepada
direksi PT Indofarma Tbk yang menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun
2001. Selain itu kepada Direksi PT Indofarma juga diperintahkan 3 hal. Pertama, segera
membenahi dan menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan
yang memadai untuk menghindari timbulnya permasalahan yang sama di kemudian hari.
Kedua, menyampaikan laporan perkembangan atas pembenahan dan penyusunan sistem
pengendalian internal dan sistem akuntansi perseroan secara berkala setiap akhir bulan
kepada Bapepam. Dan ketiga, menunjukan akuntan publik yang terdaftar di Bapepam
untuk melakukan audit khusus untuk melakukan penilaian atas sistem pengendalian
internal dan sistem akuntansi bula perseroan telah selesai melakukan pembenahan dan
penyusuan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan.
Analisis bisnis Farmasi BNI sekuritas menambahkan bahwa penjualan Indofarma
sepanjang tahun 2002 cuma naik 12 persen, sementara ongkos produksi membengkak 82
persen dan biaya pemasaran naik 41 persen. Setelah menelusurinya lebih mendalam,
terlihat bahwa pembengkakan biaya terjadi pada Indofarma Global Medika, anak
perusahaan Indofarma yang mendistribusikan produk perusahaan induknya. bahwa
selama sembilan bulan pertama 2002, beban usaha di anak perusahaan mencapai Rp 39
miliar. Tapi, dalam tiga bulan terakhir, beban usahanya mencapai Rp 31 miliar. Data
perusahaan belum diaudit menunjukkan bahwa selama sembilan bulan pertama 2002,
beban usaha di anak perusahaan mencapai Rp 39 miliar. Tapi, dalam tiga bulan terakhir,
beban usahanya mencapai Rp 31 miliar. Serta terdapat kesalahan pencatatan stok di
Indofarma Global. Kesalahan ini kemudian menyebabkan Indofarma juga keliru
menerapkan strategi pemasaran. Sialnya, Indofarma hanya melakukan pengecekan stok
setahun sekali sehingga mengakibatkan terdapat selisih pencatatan sampai Rp 57 miliar.
Diperkirakan kerugian menjadi dua kali lipat dan penyebab utamanya adalah
perbedaan estimasi nilai nyata dari inventory. Manajemen baru berpendapat bahwa
inventory yang ada merupakan slow moving inventory dan nilainya sudah jauh lebih
kecil dari yang dibukukan. Sehingga diperlukan penghapusan nilai buku agar
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Manajemen lama Indofarma menganggap slow
moving inventory tetap bernilai sama dengan nilai bukunya.

5
Estimasi dan kebijakan manajemen tentang besaran biaya atau pendapatan pada
halhal tertentu memang diijinkan oleh prinsip akuntansi. Meskipun efeknya jelas yaitu
berbedanya biaya atau pendapatan yang dilaporkan. Manajemen yang konservatif akan
berusaha mengantisipasi biaya yang akan terjadi dengan melakukan pencadangan yang
cukup. Akibatnya laba yang dilaporkan pada tahun berjalan relatif lebih kecil.
Sebaliknya, pencadangan yang minimum akan menghasilkan laba lebih besar. Pada kasus
Indofarma, hanya manajemen lama yang tahu kualitas dari inventory tadi. Sehingga
hanya mereka yang dapat melakukan estimasi apakah patut dihapuskan atau tidak.
Kasus ini hampir sama dengan kasus yang dialami oleh PT KAI hanya saja status
PT Indofarma adalah emiten atau perusahaan publik dimana sahamnya tercatat di bursa
saham. Bila status sebagai perusahaan publik tetap melekat hampir dapat  dipastikan,
manajemen BUMN tersebut tak dapat berfungsi efektif. Hal ini bisa terjadi karena hampir
setiap saat Biro Pemeriksaan dan Penyidikan dan biro-biro lain di Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) yang terkait selalu melakukan pemeriksaan kasus. Ini artinya jajaran
direksi yang kebetulan bertanggung jawab harus selalu siap siaga setiap saat.
Kerugian yang dialami BUMN farmasi PT (Persero) Indofarma Tbk cukup
mengagetkan berbagai pihak. Sebab, selama sembilan bulan dalam 2002 lalu kinerja dan
citra Indofarma cukup bagus.
2.2 Faktor Penyebab terjadinya Kerugian
Kerugian ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kekeliruan yang dilakukan
oleh manajemen pada tahun tahun sebelumnya yang pada akhirnya berdampak pada
tahun tahun berikutnya. Faktor penyebab kerugian itu menurut manajemen Indofarma:
1. Adanya perubahan regulasi pemerintah, yaitu:
a. sejak dihapuskannya subsidi pengadaan obat generik yang diberlakukan sejak
tahun 2001
b. penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah yang mengharuskan tender
pengadaan obat generic dilakukan secara desentralisasi di tingkat  kabupaten
dan kotaatau hilangnya captive market 
2. Persaingan yang semakin ketat antar produsen obat dan mengarah oada terjadinya
perang hingga dengan memberikan diskon yang pada akhirnya mengakibatkan beban
pokok penjualan meningkat.

6
3. Komposisi portofolio produk yang sangat bergantung pada bat generik yang saat  ini
mencapai lebih dari 80% dari total penjualan dan penjualan obat generic ini menurun
sejalan adanya perubahan regulasi pemerintah ditambah kondisi pasar yang over
supply selama tahun 2003
4. Pengembangan 40 jenis obat-obat  ethical  yang berharga murah dengan merek  (low
price branded generic) sampai sekarang belum membuahkan hasil yang maksimal.
5. Inefisiensi produk yang disebabkan kapasitas yang menganggur ( Idle capacity ) dari
fasilitas produksi, adanya kapasitas menganggur karena penambahan fasilitas
produksi tanpa memperhatikan kebutuhan riil pasar dengan sangat  besarnya fasilitas
produksi yang tidak didukung oleh daya serap pasar mengakibatkan utilitas fasilitas
produksi menjadi sangat rendah bahkan sampai dibawah 10%. dengan demikian maka
harga pkok produk menjadi tinggi karena overhead cost-nya yang tinggi.
6. Sejak tahun 2000 perusahaan mendirikan anak perusahaan yaitu PT. Indofarma
Global Medika (IGM) yang menjadi distributor untuk semua produk indofarma.
pendirian IGM ini dengan investasi yang sangat tinggi seperti pergudangan, sarana
transportasi, SDM, teknologi informasi dan lain-lain. tetapi harga produk  telah
ditetapkan oleh pemerintah mengakibatkan marjin keuntungan yang dihasilkan IGM
ini sangat kecil dan ini yang mengakibatkan rendahnya tingkat  pengembalian
investasi.
7. Beban usaha mengalami peningkatan sebesar Rp. 183,88 miliar yang juga mendorong
meningkatnya kerugian ditambah dengan beban bunga pinjaman sebesar Rp. 40,95
miliar.

Secara umum, terdapat 2 faktor yang menyebabkan indofarma rugi, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor obyektif dari persaingan
industri farmasi indonesiasaat ini, seperti pasar intitusi untuk obat generik  yang
terfragmentasi akibat kebijakan otonomi daerah dan kegagalan indofarma dalam bersaing
dengan sesama produsen generik. Sedangkan faktor internal merupakan kesalahan yang
dilakukan baik oleh dewan direksi selaku pelaksana kebijakan perusahaan maupun dewan
komisaris selaku pengawas.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Cikal bakal PT. Indofarma dimulai pada saat didirikannya yaitu pada tahun 1918,
dimulai dari pabrik kecil dengan fasilitas terbatas yang hanya dapat memproduksi
beberapa jenis salep dan kasa pembalut, untuk memenuhi kebutuhan Rumah Sakit Pusat
Pemerintah Belanda. Seiring dengan bertambahnya fasilitas produksi untuk tablet dan
injeksi, pabrik kecil ini mulai dikenal dengan nama Pabrik Obat Manggarai. Pada tahun
1979, Pabrik Obat Manggarai berubah status menjadi Pusat Produksi Farmasi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana bertugas untuk memproduksi obat
untuk pemerintah. Yang kemudian pada tahun 1981, Pusat Produksi Farmasi Departemen
Kesehatan Republik Indonesia berubah status menjadi Perusahaan Umum Indonesia
Farma (disingkat Perum Indofarma). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia (PP) No. 34 tahun 1995, Perusahaan Umum Indonesia Farma berubah status
menjadi PT. Indofarma (Persero). Pada tahun 2001, PT. Indofarma (Persero) berubah
status menjadi perusahaan terbuka dengan nama PT. Indofarma (Persero) Tbk, dengan
melakukan penawaran saham perdana sebesar 20% kepada masyarakat dan mencatatkan
seluruh saham Perseroan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan kode
saham INAF.
Kasus ini berawal pada tahun 1999 yang mengindikasikan adanya persedian
barang yang seharusnya dijual tapi tidak laku-laku. Padahal nilainya sangat besar.
Direktur Utama PT Indofarma, Edy Pramono juga mengemukakan, pada laporan
keuangan Indofarma terjadi kesalahan akuntan dalam implementasi sistem teknologi
informasinya. Kesalahan tersebut baru diketahui, sehingga menyebabkan kerugian yang
signifikan terhadap perusahaan. Menurut dia, kesalahan itu berawal pada proses
pencatatan persediaan anak perusahaan Indofarma yakni PT Indofarma Global Medika,
yang bergerak di bidang distribusi bahan baku dan obat jadi. Akibat kesalahan tersebut,
beban pokok penjualan Indofarma pada tiga kuartal I sampai III sebelumnya harus
diakumulasikan ke laporan akhir 2002. dan penggunaan teknologi informasi baru dalam
pencatatan persediaan anak usaha menyebabkan timbulnya kesalahan dalam laporan

8
keuangan tersebut. Akibat dari kesalahan laporan keuangan tersebut, pemerintah sebagai
pemegang saham mayoritas, melalui Menneg BUMN, Laksamana Sukardi memutuskan
menunda divestasi Indofarma. Dalam kasus tersebut Bapepam akhirnya mendenda
mantan Direksi Indofarma sebesar Rp 500 Juta. Bapepam memutuskan memberi sanksi
administrative berupa denda sebesar Rp 500 juta kepada direksi PT Indofarma Tbk yang
menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun 2001.
Kerugian ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kekeliruan yang dilakukan
oleh manajemen pada tahun tahun sebelumnya yang pada akhirnya berdampak pada
tahun tahun berikutnya. Faktor penyebab kerugian itu menurut manajemen Indofarma:
1. Adanya perubahan regulasi pemerintah, yaitu:
a. sejak dihapuskannya subsidi pengadaan obat generik yang diberlakukan sejak
tahun 2001
b. penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah yang mengharuskan tender
pengadaan obat generic dilakukan secara desentralisasi di tingkat  kabupaten
dan kotaatau hilangnya captive market 
2. Persaingan yang semakin ketat antar produsen obat dan mengarah oada terjadinya
perang hingga dengan memberikan diskon yang pada akhirnya mengakibatkan beban
pokok penjualan meningkat.
3. Komposisi portofolio produk yang sangat bergantung pada bat generik yang saat  ini
mencapai lebih dari 80% dari total penjualan dan penjualan obat generic ini menurun
sejalan adanya perubahan regulasi pemerintah ditambah kondisi pasar yang over
supply selama tahun 2003
4. Pengembangan 40 jenis obat-obat  ethical  yang berharga murah dengan merek  (low
price branded generic) sampai sekarang belum membuahkan hasil yang maksimal.
5. Inefisiensi produk yang disebabkan kapasitas yang menganggur ( Idle capacity ) dari
fasilitas produksi, adanya kapasitas menganggur karena penambahan fasilitas
produksi tanpa memperhatikan kebutuhan riil pasar dengan sangat  besarnya fasilitas
produksi yang tidak didukung oleh daya serap pasar mengakibatkan utilitas fasilitas
produksi menjadi sangat rendah bahkan sampai dibawah 10%. dengan demikian maka
harga pkok produk menjadi tinggi karena overhead cost-nya yang tinggi.

9
6. Sejak tahun 2000 perusahaan mendirikan anak perusahaan yaitu PT. Indofarma
Global Medika (IGM) yang menjadi distributor untuk semua produk indofarma.
pendirian IGM ini dengan investasi yang sangat tinggi seperti pergudangan, sarana
transportasi, SDM, teknologi informasi dan lain-lain. tetapi harga produk  telah
ditetapkan oleh pemerintah mengakibatkan marjin keuntungan yang dihasilkan IGM
ini sangat kecil dan ini yang mengakibatkan rendahnya tingkat  pengembalian
investasi.
7. Beban usaha mengalami peningkatan sebesar Rp. 183,88 miliar yang juga mendorong
meningkatnya kerugian ditambah dengan beban bunga pinjaman sebesar Rp. 40,95
miliar.
3.2 SARAN
Manajemen laba, seperti yang terjadi pada kasus di atas, dapat menurunkan
kualitas laporan keuangan dan menyesatkan para pemakai laporan keuangan. Keputusan
yang diambil berlandaskan laporan keuangan yang telah dipermak itu bisa menimbulkan
kerugian bagi para stakeholder.
Diharapkan agar para otoritas pasar modal mempertimbangkan cara untuk
meningkatkan kualitas dan profesionalisme individu melalui peningkatan kemampuan
penalaran moral, idealisme, dan religiusitas dalam upaya mengurangi praktik manajemen
laba. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pengadaan beragam pelatihan dan menyusun
kode etik. Kode etik dan peraturan perusahaan dapat mempertegas perbedaan antara
praktik manajemen laba dengan kecurangan (fraud).
Perusahaan juga dapat meminimalisir terjadinya manajemen laba dengan
membenahi atau menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan
yang memadai yang kemudian wajib dinilai oleh pihak independen.
Para akademisi juga diharapkan mampu memberikan muatan etika yang lebih
aplikatif dalam metode pembelajaran. Selain itu, akademisi juga diharapkan bekerja sama
dengan para praktisi untuk mengadakan penelitian mengenai manajemen laba di
Indonesia.

10
DAFTAR PUSTAKA
https://baixardoc.com/download/kasus-manajemen-laba-pt-indofarma-tbkdoc-
5db9f3019d57e?hash=559a7da6d60ec51b9b514b120b1d5bef
https://id.scribd.com/doc/178646283/KASUS-INDOFARMA-docx

ii

Anda mungkin juga menyukai