Anda di halaman 1dari 31

RESUME JURNAL

Nama : Septi Ayu Harahap


NIM : 0308203011

Resume Jurnal 1

ATTACHMENT PLACE : STUDI FENOMENOLOGI SPECIAL PLACE ANAK USIA DINI


DI PAUD ISLAM DAN TK ISLAM DI KABUPATEN MALANG

Secara umum tempat dapat didefinisikan sebagai daerah atau ruangan yang dibutuhkan manusia
untuk melakukan aktivitas kehidupannya.18 Jika kita menggunakan definisi tersebut, maka
apabila di sekolah tempat dapat menjadi seluruh sekolah, ruang kelas, atau bahkan kursi tertentu.
Apapun yang digunakan manusia dalam sekolah tersebut adalah tempat. Bagaimana kita
membedakan antara ruangan dan tempat? Ruang otomatis akan menjadi sebuah tempat ketika
ruangan telah mengandung bobot makna oleh mereka yang menghabiskan waktu di dalamnya.
Artinya terdapat aspek memori dan pengalaman yang membedakan ruang dan tempat. Hal
tersebut dengan penjelasan Relph yang menyebut tempat sebagai sebuah wilayah makna dari
ruangan. Dari definisi tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu di semesta
adalah ruang, namun tidak semuanya adalah tempat sebelum ada manusia yang menggunkannya
dan menyimpannya dalam struktur kesadaran mereka melalui memori.

Pendefinisian tempat diatas akan membawa konsekuensi tertentu dalam konsep “placeness”.
Placeness merupakan ciptaaan subjektif atau intersubjektif dari setiap orang dari sebuah tempat,
sehingga hanya akan dipahami dan dirasakan oleh orang tersebut.19 Sebagai guru, ketika kita
berpikir tentang respon yang diberikan kepada kita dan kita berusaha untuk memahami seberapa
paham mereka tentang materi yang kita sampaikan saat itu. Seperti itulah placeness bermain
dalam ranaah kognitif seorang guru yang secara laangsung ataupun tidak akan berpengaruh
kepada gaya mengajar guru dan gaya evaluasi mereka. Keterangan diatas menjelaskan kepada
kita bahwa tempat merupakan sesuatu yang dinamis dan berubah. Tempat lebih dari sekedar
lokasi dalam ruangan fisik, namun juga memainkan aspek kognitif-emosional yang
mempengaruhi pengalaman dan aktivitas seseorang. Tempat dengan demikian bermain sangat
signitifikan terhadap “cara” manusia berperilaku. Ashcroft menyebut dinamika tempat seperti
berkembangnya wacana dalam sebuah diskursus tertentu. Tempat adalah sebuah hasil dari huni,
sebuah konsekuensi dari bagaimana cara manusia menghuni ruang. Dengan demikian, jika kita
mencoba memahami kelas sebagai sebuah tempat maka kelas bukanlah semata sebuah
bangunan, kursi, meja, papan dn lainnya, melainkan sebagai sebuah pengalaman yang dihasilkan
dari cara seseorang menghuni bangunan sekolah yang sangat dipengaruhi oleh identitas yang
terbentuk di tempat lain sebelumnya.1

C. Identitas Tempat (Place Identity)

Tempat (place) merupakan konsep yang rumit untuk di analisis. Hal ini dikarenakan
kompleksnya aspek-aspek dari suatu tempat. Namun demikian, berdasarkan literatur-literatur
yang ada secara luas dipahami bahwa tempat adalah suatu ruang yang memiliki makna tertentu
1
J. Smith, M., Light, A., & Roberts, D. “Introduction: Philosophies and geographies of place,” In
A. Light & J. M. Smith (Ed.), Philosophy and geography III: Philosophies of place (Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 1-13), 1-13.
bagi penghuni atau penggunanya. Konsep place didasarkan pada interaksi antara seseorang,
seting fisik, dan aktivitas yang terjadi pada lokasi tersebut. Beberapa tempat dianggap lebih
penting dibanding tempat lain karena atribut-atribut fisik yang dimilikinya dan karena jenis-jenis
aktivitas yang terjadi pada tempat tersebut.

Hubungan antara tempat (place) dan identitas (identity) dapat dipahami melalui beberapa
pendekatan yang berbeda. Namun demikian, mengingat luasnya cakupan konsep tempat, maka
sampai saat ini belum ada penjelasan yang merupakan konsensus tentang hubungan antara kedua
konsep tersebut. Dalam konteks psikologi sosial, Breakwell mengembangkan “model proses
identitas”. Model dari Breakwell mengemukakan empat prinsip identitas: self- esteem, self-
efficacy, distinctiveness, dan continuity. Dalam konteks tersebut dapat digambarkan bahwa
lingkungan memainkan peran dalam dinamika identitas; bahwa keempat prinsip tersebut
berhubungan dengan tempat (place); dan bahwa prinsip-prinsip yang berbeda nampaknya
diperlakukan berbeda pula oleh setiap individu. Self-esteem didefinisikan sebagai suatu evaluasi
diri atau kelompok yang positif dengan mana seseorang mengidentifikasikan diri. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa evaluasi personal terhadap lingkungan
lokal dan evaluasi positif terhadap lingkungan tersebut oleh orang lain menghasilkan
kebanggaan, dan oleh karenanya memberikan kontribus terhadap self-esteem. Lalli
menunjukkan pentingnya hidup atau bertempat tinggal di tempat-tempat bersejarah dalam
membentuk self-esteem.Self-efficacy didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
berfungsi secara tepat dalam lingkungan fisik dan situasi sosial tertentu yang dihubungkan
dengan kebutuhan manusia untuk mengendalikan lingkungan.2

Prinsip lain dalam konsep identitas adalah distinctiveness, yaitu keinginan untuk memelihara
keberbedaan dari yang lain. Distinctiveness berhubungan dengan persepsi positif terhadap
keunikan suatu tempat, dan pemanfaatan tempat yang berbeda dengan orang lain pada kawasan
lain di kota tersebut. Distinctiveness ini menyebabkan seseorang mempunyai hubungan khusus
antara dirinya dengan lingkungan huniannya, yang secara jelas berbeda dengan jenis hubungan
yang lain.3

D. Kelekatan Terhadap Tempat (Place Attachment)

Kita akan menemui kesulitan untuk mendefinisikan kelekatan pada tempat jika kita melihat
betapa luasnya studi tentang ini pada tingkatan teoritis maupun empiris. Terdapat banyak istilah
yang mirip dan terkadang seperti sinonim dari place attachment seperti community attachment,
sense of community, place attachment, place identity,4 place dependence,5 sense of place dan
masih banyak istilah lainnya6.

penelitian ini mengisi beberapa kekosongan yang belum terjawab dalam penelitian
sebelumnya, yaitu mengidentifikasi jenis tempat spesial anak dan lokasi-lokasi tempat spesial

2
R. B. Riley. “Attachment to the Ordinary Landscape.” In I. Altman and S.M. Low, ed. Place Attachment (New York:
Plenum Press, 1992), 13-35.
3
M. Uljens, “On the philosophical foundation of phenomenography,” In G. Dall'Alba & B. Hasselgren (Ed.),
Reflections on Phenomenography (Goteborg: Acta Universitatis Gothenburgensis, 1996), 105-130.
4
H. M. Proshansky dan Fabian, A.K. “The Development of Place Identity in the Child.” In Weinstein, Carol S. and
Thomas G. David, ed. Spaces for Children: The Built Environment and Child Development (New York: Plenum
Press, 1987), 21-40.
5
H. M. Proshansky dan Fabian, A.K. “The Development of Place Identity in the Child.” In Weinstein, Carol S. and
Thomas G. David, ed. Spaces for Children: The Built Environment and Child Development (New York: Plenum
Press, 1987), 21-40.
6
M.C. Hidalgo dan Hernandez, B. “Place Attachment: Conceptual and Empirical Questions.”
Journal of Environmental Psychology 21(2001): 273-281.
anak di rumah mereka. Hal tersebut menegaskan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah
mengidentifikasi jenis dan lokasi tempat spesial anak di sekolah Zeegers, Readicck dan Hansen-
Gandy.7

Selain mengidentifikasi jenis dan lokasi tempat spesial anak di rumah, penelitian ini juga
menemukan kegiatan-kegiatan favorit yang dilakukan anak-anak saat berada pada tempat spesial
mereka serta benda-benda yang biasanya mereka bawa dalam tempat spesial mereka. Lebih dari
itu, peneliti juga mengeksplorasi perasaan anak-anak saat berada pada tempat-tempat spesial
mereka dengan bantuan wawancara dengan orangtua mereka.

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak memiliki banyak jenis tempat
spesial yang mereka gunakan untuk memenuhi beberapa tujuan dalam hidup mereka. Anak-anak
memiliki banyak tempat spesial di sekitar rumah tempat tinggal mereka. Studi terdahulu
menyebutkan bahwa tempat tidur adalah tempat spesial yang banyak ditunjuk oleh anak-anak
usia dini.49 Namun penelitian ini menemukan bahwa tempat yang paling banyak ditunjuk anak-
anak adalah di balik pintu dan di bawah tempat tidur.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa anak-anak memiliki banyak tempat spesial di rumah
mereka. Hal tersebut sangat bergantung pada kondisi dan kebutuhan mereka akan tempat
tersebut. Contohnya anak memilih berada di bawah tempat tidur saat dia marah. Pemilihan
bawah tempat tidur ini sangat berhubungan dengan keinginan anak untuk bersembunyi dari
orangtua. Terdapat juga anak yang memilih lokasi antara kursi dan meja dengan atribut mirip
tenda saat mereka butuh untuk bermain dengan teman yang bertamu dating kerumahnya.

Temuan dari penelitian ini yang lain adalah penggunaan tempat spesial bagi anak. Anak-anak
menggunakan tempat spesial untuk bersembunyi, bermain dan juga untuk sekedar menghindar
dari orangtua saat mereka merasa terancam. Temuan tersebut mempertegas hasil penelitian-
penelitian terdahulu.8

Penelitian ini juga menemukan bahwa anak-anak menggunakan tempat spesial mereka untuk
berhenti sejenak (retreat) untuk mengontrol emosi mereka. Saat mereka mulai mengontrol
emosi, mereka juga melakukan permainan dengan menggunakan imajinasi mereka dengan
bermain peran dan bermain situasi. Tempat spesial digunakan anak untuk lokasi mereka
memerankan peran dengan dibantu dengan beberapaa mainan dan juga skema drama sederhana
yang seolah-olah mereka memerankan salah satu figur dalam kehidupan nyata seperti figure
ayah/ibu, guru dan pahlawan. Hal terakhir yang mempertegas teori dari Erikson adalah bahwa
tempat spesial digunakan anak untuk mengembangkan rasa otonomi mereka dan juga sekaligus
perkembangan identitas kepribadian mereka.52 Penelitian-penelitian lain yang serupa juga
menemukan hal sama tentang perkembangan otonomi.53 Anak-anak usia dini tidak hanya
memilih lokasi untuk tempat spesial mereka, mereka juga menerapkan aturan untuk orang lain
(terutama orangtua) untuk mengakses tempat tersebut. Oleh Karena itu kebanyakan tempat
spesial terdapat pada lokasi yang tidak luas, hal tersebut bukan Karena Karena ukuran anak-anak
yang kecil, namun juga sekaligus sebagai aturan untuk membatasi orang dewasa masuk dalam
lokasi tersebut.

Tempat spesial sangat penting untuk perkembangan emosional anak mengingat mereka mulai
mengatur segala sesuatu sesuai keinginan mereka. Anak mendapatkan kebebasan
mengekspresikan keinginan mereka untuk menciptakan, membuat, berpura-pura, dan

7
Hart, R. “Children's Experience of Place.”
8
D. Sobel. “Children’s Special Places.”
mengambil resiko. Erikson menyatakan bahwa jika anak-anak tidak medapatkan privasi akan
tempat spesial mereka, maka mereka akan mengembangkan perasaan ragu-ragu dan malu.54
Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa orang tua, guru, dan pengasuh lainnya memahami
pentingnya tempat spesial bagi anak untuk menyediakan ruang bagi mereka mengembangkan
rasa otonomi.Tempat dan kondisi penelitian juga sangat memperngaruhi pilihan anak untuk
bermain memilih tempat spesial mereka di lokasi dalam rumah maupun luar rumah. Anak-anak
dalam penelitian ini cenderung memilih lokasi dalam ruangan mengingat lokasi rumah
kebanyakan subjek penelitian tidak memungkinkan anak untuk memilih lokasi luar ruangan.
Kebanyakan rumah subjek penelitian tidaklah luas dan tidaklah memiliki lokasi luar ruangan
seperti taman di depan rumah dan di belakang rumah. Inilah yang memiliki kemungkinan
terbesar mengapa anak-anak lebih sering bermain dalam lokasi tempat spesial yang berada
dalam ruangan rumah.

I.Referensi

Altman, I. dan Low, S.M. Place Attachment (New York: Plenum Press, 1992). Arikunto, S.
Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Prakter (Jakarta: Rineka Cipta. 2006).

Brey, P. “Space—shaping technologies and the geographical disembedding of place” In A.


Light and J.M. Smith (Ed.), Philosophy and geography III: Philosophies of place (Lanham, MD:
Rowman & Littlefield, 1998), 239- 263.

Chawla, L. “Ecstatic Places. Children’s Environments Quarterly” 7(4) (1990): 18- 23.

Chawla, L. “Childhood Place Attachments,” In Altman, I. and S. Low, ed. Place Attachment
(New York: Plenum, 1992), 63-86.

Ellis, J. “The Significance of Place in the Curriculum of Children’s Everyday Lives.”

Taboo: The Journal of Culture and Education 8(1) (2004): 23-42.

Erikson, Erik H. Childhood and Society (New York: Norton, 1950).

Giuliani, M. V. “Theory of attachment and place attachment,” In M. Bonnes, T. Lee, & M.


Bonaiuto (Ed.), Psychological theories for environmental issues (Aldershot: Ashgate, 2003),
137-170.

Green, C. “A Place of My Own: Exploring Preschool Children’s Special Places in

the Home Environment,” Children, Youth and Environments 21(2), (2011).

Hart, R. Children's Experience of Place (New York: Irvington Publishers, 1979). Hart, R. dan
Daiute. C. “Developmental Theory and Children’s Participation in

Community Organizations.” Social Justice 24 (1997): 3.

Hidalgo, M.C. dan Hernandez, B. “Place Attachment: Conceptual and Empirical

Questions.” Journal of Environmental Psychology 21(2001): 273-281.

Hummon, D. M. “Community Attachment: Local Sentiment and Sense Of Place.” In: Altman, I.
and Low, S., ed. Place Attachment (New York, NY: Plenium Press, 1992), 314.
Resume 2

Revitalisasi Pendidikan Jasmani untuk Anak Usia Dini melalui Penerapan Model Bermain
Edukatif Berbasis Alam

Pendidikan jasmani anak usia dini merupakan aspek yang sangat penting bagi perkembangan
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor anak dalam mempersiapkan menuju jenjang
sekolah dasar. Dalam praktik pendidikan jas- mani anak usia dini menghadapi berbagai masalah
dari kegiatan pembelaja- ran, fasilitas, keadaan sosial dan kebijakan pemerintah yang kurang
mem- berikan perhatian terhadap pendidikan jasmani anak usia dini. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus yang ber- tujuan untuk mengetahui
permasalahan penelitian secara rinci dan mendalam, penelitian ini bertempat di Pendidikan
Anak Usia Dini Amarilis, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dengan melibatkan 3
Guru dan 35 anak usia dini, teknik pengambilan data menggunakan wawancara, observasi dan
dokumentasi serta melakukan analisis data menggunakan reduksi data, pen- yajian data dan
penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perubahan kemampuan
kognitif dengan ditandai pemecahan masalah melalui kegiatan kelompok, perubahan
kemampuan afektif dengan ditandai rasa peduli antar sesama dan perubahan psikomotor dengan
ditandai keceka- tan anak usia dini dalam melakukan aktivitas melalui permainan edukatif ber-
basis alam, serta adanya peningkatan minat anak usia dini terhadap pembela- jaran pendidikan
jasmani.

kehadiran pendidikan anak usia dini memberikan pengaruh yang baik dalam perkembangan anak
usia dini terutama dalam proses sosialisasi dengan teman sebaya, serta dapat menjadi solusi
terhadap tuntutan zaman yang mengharuskan anak mempunyai kemampuan yang unggul dalam
segala bidang untuk menghadapi masa depan.

Suasana pendidikan yang untuk pembelajaran anak usia dini yaitu ”family atmosphere by
applying the principles of love, giving birth, and guiding” (Gottman & Gottman, 2017). Ketiga
aspek ini yang perlu diterapkan dalam melakukan pendidikan untuk anak usia dini, sehingga
anak akan merasa bahwa pendidikan ditujukan untuk mengembangkan potensi diri anak tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun.

Pandangan filosofis pendidikan mengemukakan bahwa anak-anak harus bermain untuk


meningkatkan kemampuan otot, gerak tubuh dan kemampuan memecahkan masalah dengan
sendiri (Kusbiantoro, 2015). Hal tersebut menandakan bahwa pendidikan harus memberikan
kesempatan kepada anak untuk dapat mengembangkan kemampuannya, sehingga konsep
student centered sangat relevan untuk diterapkan dalam pendidikan anak usia dini. Dimensi
Pengembangan Kemampuan Anak Usia Dini

Upaya untuk mempersiapkan anak usia dini dalam menghadapi tantangan zaman harus
dilakukan dengan pendidikan yang bermakna, hal tersebut dapat diartikan bahwa pembelaja- ran
harus sesuai dengan keadaan masyarakat, sehingga hasil pembelajaran dapat diterapkan dalam
aktivitas sehari-hari. Dimenasi pengem- bangan kemampuan anak usia dini meliputi ke-
mampuan kognitif, afektif dan psikomotor, semua aspek tersebut harus menjadi indikator dalam
menentukan tujuan pembelajaran.

a. Kognitif
Perkembangan kognitif anak usia dini merupakan faktor yang sangat penting untuk memahami
tahapan perkembang anak usia dini. “Cognitive ability is an aspect related to intel- lectual or
thinking that include knowledge, comprehension, application, design, decompo- sition, and
assessment” (Aloqaili, 2012). Semua aspek tersebut menjadi indikator

perkembangan kemampuan kognitif anak usia dini. Dalam aspek kognitif ini, anak usia dini
mampu memahami percakapan orang tua, perintah orang tua dan memilih tindakan yang sesuai
dengan keadaan, pada tahap yang lebih jauh anak mampu untuk memberikan penilaian terhadap
tindakan yang dilakukan.

Kaitannya dengan pendidikan jasmani yaitu anak mampu memahami aktivitas yang aman dan
berbahaya untuk dilakukan, anak dapat mengikuti peraturan permainan dan anak mampu
melakukan tindakan yang tidak meru- gikan diri dan orang lain.

Kemampuan kognitif merupakan indi- kator utama perkembangan anak dan menjadi tolok ukur
penilaian perkembangan anak. Se- hingga dapat dipahami bahwa aspek kognitif merupakan
aspek yang berkaitan dengan nalar atau proses berpikir, yaitu kemampuan dan ak- tivitas otak
dalam mengembangkan kemampu- an rasional.

b.Afektif

Pengembangan kemampuan afektif anak usia dini merupakan aspek yang sangat penting untuk
anak dalam menjalani aktivitas sehari- hari di masyarakat. “This affective ability is closely
related to the care of children in social- izing with peers, showed mutual behavior and
selflessness” (Burdelski, 2013).

Kaitannya dengan pendidikan jasmani anak usia dini yaitu kegiatan pembelajaran ha- rus
ditujukan untuk meningkatkan sense of be- longing anak usia dini melalui permainan-
permainan yang edukatif, hal tersebut dikare- nakan pendidikan jasmani untuk anak usia dini
tidak ditujukan untuk mengembangkan penge- tahuan mengenai teori-teori atau konsep-konsep
tentang kesehatan, akan tetapi lebih ditujukan untuk membentuk karakter anak yang mempu-
nyai kepedulian sosial.

Pengembangan dimensi afektif anak usia dini merupakan aspek yang sangat penting, ka- rena
kecerdasan anak tidak bisa diterapkan da- lam kehidupan sehari-hari jika anak tidak mem- iliki
karaker yang baik (Aryani, 2015). Maka pengembangan kemampuan afektif merupakan
penunjang pengembangan kemampuan kognitif, sehingga tercapai integrasi antara pengetahuan
dan sikap anak yang dapat menghadapi tan- tangan zaman.

c. Prikomotor

Dimensi pengembangan kemampuan psikomotor erat kaitannya dengan gerak tubuh anak dalam
proses pembelajaran. Penelitian terdahulu menunjukan bahwa persepsi Guru mengenai
pendidikan jasmani yaitu adanya gerak tubuh pada anak usia dini (An et al., 2016). Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa dalam kegiatan pembelajaran jasmani anak usia dini
selalu ditujukan untuk adanya gerak tubuh anak.

Dalam penerapan pendidikan jasmani anak usia dini, dimensi psikomtor tidak di- tujukan agar
anak melakukan aktivitas gerak olahraga. Aspek psikomotor seharusnya dis- esuaikan dengan
tahap pertumbuhan anak usia dini, sehingga Guru dalam penerapan pembela- jaran jasmani tidak
boleh memaksakan gerak tubuh pada anak. Pengembangan aspek psikomotor merupakan
pelengkap dari pengembangan ke- mampuan kognitif dan afektif sebagai tujuan dari pendidikan
jasmani anak usia dini. Sehing- ga mewujudkan anak yang cerdas secara pengetahuan, sopan
dalam melakukan aktivitas dan mempunyai kecekatan yang efektif.

Model Bermain Edukatif Berbasis Alam

Kegiatan bermain yang dilakukan oleh anak usia dini merupakan cara untuk dapat
mengembangkan kemampuan emosional, fisik, sosial dan daya berpikir anak (Putra, Nugroho,
& Puspitarini, 2016). Hal tersebut dikarenakan dalam kegiatan permainan terdapat proses in-
teraksi antar teman sebaya, sehingga dapat membentuk sikap menghargai dan peduli ter- hadap
sesama. Berkaitan dengan konteks sosial, model bermain edukatif berbasis alam akan memper-
baiki keadaan sosial dengan ditandainya aktivi- tas anak usia dini yang sering berinteraksi lang-
sung dan mengurai penggunaan teknologi komunikasi.

Daftar Referensi

DAFTAR PUSTAKA

Alim, M. L. (2016). Upaya Meningkatkan Ke- mampuan Fisik Motorik Kasar Anak me- lalui
Kegiatan Melambungkan dan Me- nangkap dengan Berbagai Media Anak Usia Dini di TK Al-
Fajar Pekanbaru. Jurnal PAUD Tambusai, 2(1), 79–89.

Aloqaili, A. S. (2012). The relationship between reading comprehension and critical think- ing:
A theoretical study. Journal of King Saud University - Languages and Translation, 24(1), 35–41.
http://doi.org/10.1016/ j.jksult.2011.01.001

An, M. B. A., Awal, P., Holis, A., Istiarini, R.,

Kusbiantoro, D., Media, P., … Dusenbury,

L. (2016). Belajar Melalui Bermain untuk Pengembangan Kreativitas dan Kognitif Anak Usia
Dini. Surya, 1(1), 23–37.

Aryani, N. (2015). Konsep Pendidikan Anak Usia Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Jurnal Potensia, 14(2), 213–220.

Billett, S. (2014). Learning in the circumstances of practice. International Journal of Lifelong


Edu- cation, 33(5), 674–693. http:// doi.org/10.1080/02601370.2014.908425

Burdelski, M. (2013). Socializing children to hon- orifics in Japanese: Identity and stance in
Interaction. Multilingua, 32(2), 247–273. http://doi.org/10.1515/multi-2013-0012

Choirun Nisak Aulina. (2013). Penanaman Disiplin Pada Anak Usia Dini. Pedagogia, 2 (1), 36–
49. http://doi.org/10.21070/ pedagogia.v2i1.45

Gottman, J., & Gottman, J. (2017). The Natural Principles of Love. Journal of Family Theory
and Review, 9(1), 7–26. http:// doi.org/10.1111/jftr.12182
Hidayah, R., Yunita, E., & Utami, Y. W. (2015). Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan
Kecerdasan Emosional Anak Usia Pra- sekolah (4-6 Tahun) Di Tk Senaputra Kota Malang.
Jurnal Keperawatan, 4(2), 131–135. http://doi.org/10.22219/JK.V4I2.2363

Hoving, C., Visser, A., Mullen, P. D., & van den Borne, B. (2010). A history of patient educa-
tion by health professionals in Europe and North America: From authority to shared decision
making education. Patient Education and Counseling, 78(3), 275–281. http://
doi.org/10.1016/j.pec.2010.01.015

Khasanah, I., Prasetyo, A., & Rakhmawati, E. (2011). Permainan Tradisional Sebagai Me- dia
Stimulasi Aspek Perkembangan Anak Usia Dini. Jurnal Penelitian PAUDIA, Volume 1 No. 1
2011, 1(1), 91–105.

Kusbiantoro, D. (2015). PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA


PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK- KANAK ABA 1 LAMONGAN. Surya, 7

(1), 1–8.

Leonardo, Z. (2010). Learning in Places: The In- formal Education Reader. Anthropology and
Education Quarterly, 41(1), 115–116. http:// doi.org/10.1111/j.1548-1492.2010.01070.x

Maisya, I. B., & Susilowati, A. (2014). Faktor pada Remaja Muda dan Tersedianya Media
Informasi Hubungannya dengan Perilaku Berisiko. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 5(3 Des),
127–133.

Pechtel, P., & Pizzagalli, D. A. (2011). Effects of early life stress on cognitive and affective
function: An integrated review of human literature. Psychopharmacology. http://
doi.org/10.1007/s00213-010-2009-2

Putra, D. W., Nugroho, A. P., & Puspitarini, E.

W. (2016). Game Edukasi Berbasis Android Sebagai Media Pembelajaran Untuk Anak Usia
Dini. Jurnal Informatika Merdeka Pasuru- an, 1(1), 46–58.

Saragih, A. H. (2008). Kompetensi Minimal Seorang Guru Dalam Mengajar. Jurnal Tab-
ularasa, 5(1), 23–34.

Satya Yoga, D., Suarmini, N. W., & Prabowo, S. (2015). Peran Keluarga Sangat Penting da- lam
Pendidikan Mental, Karakter Anak serta Budi Pekerti Anak. Jurnal Sosial Hu- maniora, 8(1), 46.
http://doi.org/10.12962/ j24433527.v8i1.1241

Solihin, D. M., Faisal, A., & Dadang, S. (2013). Kaitan Antara Status Gizi,Perkembangan
Kognitif, Dan Perkembangan Motorik Pada Anak Usia Prasekolah. Penelitian Gizi Dan
Makanan, 36(1), 62–72.

Tollefson, M. M., & Frieden, I. J. (2012). Early Growth of Infantile Hemangiomas: What
Parents’ Photographs Tell Us. PEDIAT- RICS, 130(2), e314–e320. http://

doi.org/10.1542/peds.2011-3683

Anda mungkin juga menyukai