Anda di halaman 1dari 58

PSIKOLOGI BELAJAR

INTRODUCTION TO THE STUDY OF LEARNING

Disusun Oleh :

Kelas B Kelompok 1

Farah Humaira 221301096

Raisah Salimah Harahap 221301027

Sofia Zahra Harahap 221301030

Nabilla Khanza Muzar 221301110

Eunique Ruth Triani Surbakti 221301182

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

yang telah memberikan jalan dan kemudahan sehingga pada

kesempatan ini kami dapat menyelesaikan Ebook Psikologi Belajar

yang berjudul “Introduction To The Study of Learning“ dengan baik

dan tepat pada waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ibu Ika Sari

Dewi, S.Psi., M.Pd., Psikolog selaku dosen mata kuliah Psikologi

Belajar. Ebook ini disusun untuk melengkapi tugas kelompok Psikologi

Belajar.

Kami menyadari bahwa ebook yang kami susun ini masih jauh

dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan

saran yang membangun . Kami berharap semoga karya tulis ini

bermanfaat bagi banyak orang.

Medan, 12 Februari 2023

Kelompok 1
2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

INTRODUCING TO THE STUDY OF LEARNING 1

1.1 Learning Defined 1

1.2 Precursors of Modern Learning Theories 3

1.3 Learning Theory and Research 17

1.4 Assessment Of Learning 24

1.5 Relation of Learning and Instruction 29

1.6 Critical Issues for Learning Theories 33

1.7 Three Learning Scenarios 37

DAFTAR PUSTAKA 41

3
INTRODUCING TO THE STUDY OF LEARNING

1.1 Learning Defined

Banyak orang setuju bahwa belajar itu penting, tetapi mereka

memiliki pandangan yang berbeda tentang proses, penyebab, dan akibat

dari belajar. Tidak ada satu definisi belajar yang diterima secara

universal oleh para ahli teori, peneliti, dan praktisi (Shuell, 1986).

Meskipun orang-orang tidak setuju tentang sifat pembelajaran yang

tepat, berikut ini adalah definisi umum pembelajaran yang sejalan

dengan fokus kognitif dan yang sesuai dengan kriteria yang dianggap

oleh sebagian besar profesional pendidikan sebagai pusat pembelajaran.

Definisi umum tersebut yaitu “Belajar adalah perubahan perilaku

yang bertahan lama, atau kapasitas untuk berperilaku dengan cara

tertentu, yang dihasilkan dari latihan atau bentuk pengalaman lainnya”.

Mari kita telaah definisi umum ini secara mendalam untuk

mengidentifikasi 3 kriteria pembelajaran yaitu:

1
● Belajar melibatkan perubahan.

● Belajar bertahan dari waktu ke waktu.

● Pembelajaran dapat terjadi melalui pengalaman.

Salah satu kriterianya adalah bahwa belajar melibatkan perubahan.

Orang belajar ketika mereka mampu melakukan sesuatu secara berbeda.

Pada saat yang sama, kita harus ingat bahwa belajar adalah inferensial.

Kami tidak mengamati pembelajaran secara langsung melainkan

mengamati dari produk atau hasilnya. Pembelajaran dinilai berdasarkan

apa yang orang katakan, tulis, dan lakukan. Tetapi kami juga

menambahkan bahwa pembelajaran melibatkan perubahan kapasitas

untuk berperilaku dengan cara tertentu karena tidak jarang orang

mempelajari keterampilan, pengetahuan, kepercayaan, atau perilaku

tanpa melibatkannya pada saat proses pembelajaran.

Kriteria kedua adalah bahwa belajar bertahan dari waktu ke waktu.

Ini tidak termasuk perubahan perilaku sementara (misalnya, bicara

cadel) yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti obat-obatan, alkohol,

dan kelelahan. Perubahan semacam itu bersifat sementara karena ketika


2
penyebabnya dihilangkan, perilaku akan kembali ke keadaan semula.

Masih bisa diperdebatkan berapa lama perubahan harus berlangsung

untuk diklasifikasikan sebagai dipelajari, tetapi kebanyakan orang

setuju bahwa perubahan dalam durasi singkat tidak memenuhi syarat

sebagai pembelajaran karena terjadinya lupa saat proses belajar.

Kriteria ketiga adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui

pengalaman (misalnya, praktek, observasi orang lain). Kriteria ini

mengecualikan perubahan perilaku yang terutama ditentukan oleh

faktor keturunan, seperti perubahan maturasi pada anak-anak (misalnya,

merangkak, berdiri). Meskipun demikian, perbedaan antara pematangan

dan pembelajaran seringkali tidak jelas. Orang mungkin secara genetik

cenderung untuk bertindak dengan cara tertentu, tetapi perkembangan

sebenarnya dari perilaku tertentu bergantung pada lingkungan,

contohnya ialah bahasa. Saat alat vokal manusia semakin matang, ia

akan mampu menghasilkan bahasa, tetapi kata-kata aktual yang

dihasilkan tersebut dipelajari dari interaksi dengan orang lain.

Meskipun genetika sangat penting untuk penguasaan bahasa anak,

3
pengajaran dan interaksi sosial dengan orang tua, guru, dan teman

sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada pencapaian bahasa anak

(Mashburn, Justice, Downer, & Pianta, 2009). Dengan cara yang sama,

perkembangan normal seorang anak dalam merangkak dan berdiri,

terjadi karena adanya genetika, tetapi lingkungan harus tetap tanggap

dan membiarkan perilaku ini terjadi.

1.2 Precursors of Modern Learning Theories

Bagian ini menelusuri asal-usul teori belajar kontemporer,

dimulai dengan diskusi posisi filosofis tentang asal usul pengetahuan

dan hubungannya dengan lingkungan dan diakhiri dengan beberapa

pandangan psikologis awal tentang belajar. Kajian ini bersifat selektif

dan memuat materi sejarah yang relevan dengan pembelajaran di

lingkungan pendidikan.

Learning Theory and Philosophy. Dari perspektif filosofis, belajar

dapat didefinisikan dalam tajuk epistemologi, yang merujuk pada kajian

tentang asal mula, hakikat, batasan, dan metode pengetahuan.

4
Bagaimana kita bisa tahu? Bagaimana kita bisa belajar sesuatu yang

baru? Apa sumber pengetahuan? Kompleksitas cara manusia belajar

diilustrasikan dalam kutipan dari Meno karya Plato (427?–347? SM):

“Saya tahu, Meno, apa yang Anda maksud. . . Anda berpendapat bahwa

seseorang tidak dapat menanyakan (sic) baik tentang apa yang dia

ketahui, atau tentang apa yang tidak dia ketahui; karena jika dia tahu,

dia tidak perlu bertanya (sic); dan jika tidak, dia tidak bisa; karena dia

tidak mengetahui subjek yang harus dia selidiki (sic). (1965, hal.16)

Asal usul pengetahuan dan hubungannya dengan lingkungan terbagi

menjadi 2 yaitu rasionalisme dan empirisme.

Rasionalisme. Rasionalisme mengacu pada gagasan bahwa

pengetahuan berasal dari akal tanpa adanya bantuan dari indra. Yang

menonjol dalam pandangan rasionalis tentang pengetahuan manusia

yaitu perbedaan antara pikiran dan materi yang dapat ditelusuri ke

Plato, dimana ia membedakan pengetahuan yang diperoleh melalui

indra dan yang diperoleh dengan akal. Plato percaya bahwa

benda-benda (misalnya rumah, pohon) diungkapkan melalui indra,

5
sedangkan individu memperoleh ide dengan penalaran atau pemikiran

mengenai apa yang mereka ketahui. Orang memiliki gagasan tentang

dunia karena mereka mempelajari atau menemukan gagasan ini dengan

merenungkannya. Nalar adalah kemampuan mental tertinggi karena

melalui akal orang dapat belajar ide-ide abstrak.

Saat masa rasionalisme ini, pengetahuan sejati, atau

pengetahuan ide diasumsikan sebagai bawaan dari dalam diri dan

dibawa ke kesadaran melalui refleksi. Belajar adalah memanggil

kembali apa yang ada dalam pikiran. Informasi diperoleh melalui indra

yang dilakukan dengan mengamati, mendengarkan, mengecap,

mencium, atau menyentuh merupakan dasar dari sebuah gagasan.

Doktrin rasionalis juga terlihat dalam tulisan-tulisan René

Descartes (1596–1650), seorang filsuf dan matematikawan Prancis.

Descartes menggunakan keraguan sebagai metode penyelidikan.

Dengan ragu, dia sampai pada kesimpulan yang merupakan kebenaran

mutlak dan tidak dapat diragukan lagi. Tetapi, fakta tersebut

membuatnya dari yang awalnya ragu menjadi percaya bahwa pikiran itu
6
ada, sebagaimana tercermin dalam diktumnya, "Saya berpikir, maka

saya ada." Melalui penalaran deduktif dari premis umum ke contoh

spesifik, ia membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan menyimpulkan

bahwa gagasan yang muncul melalui akal pasti benar.

Seperti Plato, Descartes menetapkan dualisme pikiran-materi.

Namun, bagi Descartes, dunia luar memiliki sifat mekanis, seperti

halnya tindakan hewan. Orang dibedakan oleh kemampuan mereka

untuk bernalar. Jiwa manusia, atau kapasitas untuk berpikir,

mempengaruhi tindakan mekanis tubuh yang dimana tubuh bertindak

atas pikiran dengan menghadirkan pengalaman indrawi. Meskipun

begitu, Descrates juga menduga atau membuat hipotesis mengenai

interaksi pikiran-materi.

Perspektif rasionalis diperluas lebih lanjut oleh filsuf Jerman

Immanuel Kant (1724–1804). Dalam Critique of Pure Reason (1781),

Kant membahas dualisme pikiran-materi dan mengatakan bahwa dunia

luar itu tidak teratur tetapi dianggap teratur karena keteraturan

dipaksakan oleh pikiran. Pikiran mengambil dunia luar melalui indera


7
dan mengubahnya sesuai dengan hukum subyektif bawaan. Dunia tidak

pernah bisa diketahui sebagaimana adanya tetapi hanya dapat dirasakan.

Persepsi oranglah yang menciptakan tatanan dunia. Kant menegaskan

kembali peran akal sebagai sumber pengetahuan, tetapi ia juga

berpendapat bahwa akal tersebut beroperasi karena adanya pengalaman.

Tidak ada pengetahuan absolut yang tidak tersentuh oleh dunia luar.

Sebaliknya, pengetahuan bersifat empiris dalam arti bahwa informasi

diambil dari dunia dan ditafsirkan oleh pikiran.

Singkatnya, rasionalisme adalah doktrin bahwa pengetahuan itu

muncul melalui pikiran. Meskipun ada dunia luar, dimana awal setiap

orang untuk berpikir dengan cara membentuk sebuah gagasan yang

diperoleh melalui informasi indrawi. Descartes dan Kant percaya akal

bertindak atas informasi yang diperoleh dari dunia, serta Plato

berpendapat bahwa pengetahuan dapat bersifat mutlak dan diperoleh

dengan akal murni.

Empirisme. Berbeda dengan rasionalisme, empirisme mengacu

pada gagasan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber


8
pengetahuan. Posisi ini berasal dari Aristoteles (384–322 SM), yang

merupakan murid dan penerus Plato. Aristoteles tidak membuat

perbedaan tajam antara pikiran dan materi. Dunia luar adalah dasar bagi

kesan-kesan indra manusia, yang, pada gilirannya, ditafsirkan sebagai

halal (konsisten, tidak berubah) oleh pikiran. Hukum-hukum alam tidak

dapat ditemukan melalui kesan-kesan indrawi, melainkan melalui

penalaran ketika pikiran mengambil data dari lingkungan. Tidak seperti

Plato, Aristoteles percaya bahwa ide tidak ada secara independen dari

dunia luar. Yang terakhir adalah sumber dari semua pengetahuan.

Aristoteles berkontribusi pada psikologi dengan prinsip

asosiasinya yang diterapkan pada ingatan. Pengingatan suatu objek atau

ide memicu penarikan kembali objek atau ide lain yang mirip, berbeda

dari, atau dialami dekat, dalam ruang atau waktu, dengan objek atau ide

asli. Semakin banyak dua objek atau ide diasosiasikan, semakin besar

kemungkinan mengingat salah satu akan memicu mengingat yang lain.

Gagasan pembelajaran asosiatif menonjol dalam banyak teori

pembelajaran.

9
Tokoh berpengaruh lainnya adalah filsuf Inggris John Locke

(1632–1704), yang mengembangkan aliran pemikiran yang empiris

tetapi berhenti menjadi benar-benar eksperimental (Heidbreder, 1933).

Dalam Essay Concerning Human Understanding (1690), Locke

mencatat bahwa tidak ada ide bawaan; semua pengetahuan berasal dari

dua jenis pengalaman: kesan indrawi dari dunia luar dan kesadaran

pribadi. Saat lahir pikiran seperti sebuah wadah kosong. Ide diperoleh

dari impresi indrawi dan refleksi pribadi atas impresi tersebut. Tidak

ada yang bisa ada dalam pikiran yang tidak berasal dari indera. Pikiran

terdiri dari ide-ide yang telah digabungkan dengan cara yang berbeda.

Pikiran hanya dapat dipahami dengan memecah gagasan menjadi

unit-unit sederhana. Gagasan pemikiran atomistik ini bersifat

asosiasionis; ide-ide kompleks adalah kumpulan ide-ide sederhana.

Isu-isu yang diangkat Locke diperdebatkan oleh para pemikir

mendalam seperti George Berkeley (1685–1753), David Hume

(1711–1776), dan John Stuart Mill (1806–1873). Berkeley percaya

bahwa pikiran adalah satu-satunya realitas. Dia adalah seorang empiris

10
karena dia percaya bahwa ide berasal dari pengalaman. Hume setuju

orang tidak pernah bisa yakin tentang realitas eksternal, tetapi dia juga

percaya orang tidak bisa yakin tentang ide mereka sendiri. Individu

mengalami realitas eksternal melalui ide-ide mereka, yang merupakan

satu-satunya realitas. Pada saat yang sama, Hume menerima doktrin

empiris bahwa ide berasal dari pengalaman dan menjadi terkait satu

sama lain. Mill adalah seorang empiris dan asosiasi, tetapi dia menolak

gagasan bahwa ide-ide sederhana digabungkan secara teratur untuk

membentuk yang kompleks. Mill berpendapat bahwa ide-ide sederhana

menghasilkan ide-ide kompleks, tetapi yang terakhir tidak perlu terdiri

dari yang pertama. Ide-ide sederhana dapat menghasilkan pemikiran

kompleks yang mungkin memiliki sedikit hubungan yang jelas dengan

ide-ide yang menyusunnya. Keyakinan Mill mencerminkan gagasan

keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya, yang

merupakan asumsi integral psikologi Gestalt.

Singkatnya, empirisme berpendapat bahwa pengalaman adalah

satu-satunya bentuk pengetahuan. Dimulai dengan Aristoteles, para

11
empiris berpendapat bahwa dunia luar berfungsi sebagai dasar bagi

kesan orang. Sebagian besar menerima gagasan bahwa objek atau ide

diasosiasikan untuk membentuk rangsangan kompleks atau pola mental.

Locke, Berkeley, Hume, dan Mill adalah di antara filsuf terkenal yang

mendukung pandangan empiris.

Beginnings of the Psychological Study of Learning. Sangat

sulit ditentukan pada awal terbentuknya psikologi sebagai ilmu

(Mueller, 1979). Meskipun penelitian psikologis sistematis mulai

muncul di bagian akhir abad kesembilan belas, terdapat dua orang yang

memiliki pengaruh signifikan terhadap teori belajar yaitu Wundt dan

Ebbinghaus.

Wundt’s Psychological Laboratory. Laboratorium psikologi

pertama dibuka oleh Wilhelm Wundt (1832–1920) di Leipzig, Jerman,

pada tahun 1879, meskipun William James telah memulai laboratorium

pengajaran di Universitas Harvard empat tahun sebelumnya (Dewsbury,

2000). Wundt ingin menetapkan psikologi sebagai ilmu baru.

Laboratoriumnya memperoleh reputasi internasional dengan


12
sekelompok pengunjung yang mengesankan dan dia mendirikan jurnal

untuk melaporkan penelitian psikologis. Laboratorium penelitian

pertama di Amerika Serikat dibuka pada tahun 1883 oleh G. Stanley

Hall.

Mendirikan laboratorium psikologis sangat penting karena hal

tersebut menandakan adanya transisi dari teori filosofis formal ke

penekanan pada eksperimen dan instrumentasi (Evans, 2000).

Laboratorium merupakan kumpulan ilmuwan yang melakukan

penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena secara ilmiah

(Benjamin, 2000). Dalam bukunya Principles of Physiological

Psychology (1873), Wundt berpendapat bahwa psikologi adalah studi

tentang pikiran. Metode psikologis harus mengikuti pola metode

fisiologis; yaitu, proses yang sedang dipelajari harus diselidiki secara

eksperimental dalam kaitannya dengan rangsangan yang terkendali dan

tanggapan yang terukur.

Laboratorium Wundt menyelidiki fenomena seperti sensasi, persepsi,

waktu reaksi, asosiasi verbal, perhatian, perasaan, dan emosi. Wundt

13
juga menjadi mentor bagi banyak psikolog yang kemudian membuka

laboratorium laboratorium di Amerika Serikat (Benjamin, Durkin, Link,

Vestal, & Acord, 1992). Meskipun laboratorium Wundt tidak

menghasilkan penemuan-penemuan psikologis yang hebat atau

eksperimen-eksperimen kritis, ia menetapkan psikologi sebagai suatu

disiplin dan eksperimentasi sebagai metode untuk memperoleh dan

menyempurnakan pengetahuan.

Ebbinghaus’s Verbal Learning. Hermann Ebbinghaus

(1850–1909) adalah seorang psikolog Jerman yang tidak berhubungan

dengan laboratorium Wundt tetapi juga membantu memvalidasi metode

eksperimen dan menetapkan psikologi sebagai ilmu. Ebbinghaus

melakukan penelitian tentang ingatan. Dia menerima prinsip asosiasi

dan percaya bahwa belajar dan mengingat informasi yang dipelajari

tergantung pada frekuensi paparan materi.

Ebbinghaus adalah seorang peneliti yang rajin yang sering menjadikan

dirinya sebagai subjek penelitian. Dalam eksperimen tipikal, dia akan

menyusun daftar suku kata yang tidak masuk akal, melihat setiap suku
14
kata secara singkat, berhenti sejenak, dan kemudian melihat suku kata

berikutnya. Dia menentukan berapa kali melalui percobaan yang

diperlukan untuk mempelajari seluruh daftar. Dia membuat lebih sedikit

kesalahan dengan mempelajari daftar berulang kali, membutuhkan lebih

banyak percobaan untuk mempelajari lebih banyak suku kata, lupa

dengan cepat pada awalnya tetapi kemudian secara bertahap, dan

membutuhkan lebih sedikit percobaan untuk mempelajari kembali suku

kata daripada mempelajarinya untuk pertama kali. Dia juga mempelajari

daftar suku kata beberapa saat setelah pembelajaran awal dan

menghitung skor tabungan, yang didefinisikan sebagai waktu atau

percobaan yang diperlukan untuk pembelajaran ulang sebagai

persentase usia dari waktu atau percobaan yang diperlukan untuk

pembelajaran asli. Dia menghafal beberapa petikan yang bermakna dan

menemukan bahwa kebermaknaan membuat pembelajaran menjadi

lebih mudah. Ebbinghaus menyusun hasil penelitiannya dalam buku

Memory (1885/1964).

15
Meski penting secara historis, ada kekhawatiran tentang penelitian ini.

Ebbinghaus biasanya mempekerjakan hanya satu peserta (dirinya

sendiri), dan sepertinya dia tidak memihak atau pelajar biasa. Kita juga

mungkin mempertanyakan seberapa baik hasil pembelajaran suku kata

yang tidak masuk akal digeneralisasikan untuk pembelajaran yang

bermakna (misalnya, bagian teks). Meskipun demikian, dia adalah

seorang peneliti yang cermat, dan banyak temuannya kemudian

divalidasi secara eksperimental. Dia adalah pelopor dalam membawa

proses mental yang lebih tinggi ke dalam laboratorium percobaan.

Structuralisme. Edward B. Titchener (1867–1927) adalah

murid Wundt di Leipzig. Pada tahun 1892 ia menjadi direktur

laboratorium psikologi di Universitas Cornell. Dia mengimpor metode

eksperimental Wundt ke dalam psikologi AS.

Psikologi Titchener, yang akhirnya dikenal sebagai strukturalisme,

merupakan kombinasi dari asosiasionisme dengan metode

eksperimental. Kaum strukturalis percaya bahwa kesadaran manusia

adalah bidang penyelidikan ilmiah yang murni dan mereka mempelajari


16
struktur atau susunan proses mental. Mereka mengatakan bahwa pikiran

terdiri dari asosiasi ide dan untuk mempelajari kompleksitas pikiran,

seseorang harus memecah asosiasi ini menjadi ide tunggal (Titchener,

1909).

Metode eksperimen yang sering digunakan oleh Wundt,

Titchener, dan para strukturalis lainnya adalah introspeksi, yang

merupakan salah satu jenis analisis diri. Titchener mencatat bahwa para

ilmuwan bergantung pada pengamatan fenomena dan introspeksi adalah

bentuk pengamatan. Peserta dalam studi introspeksi secara lisan

melaporkan pengalaman langsung mereka setelah terpapar objek atau

peristiwa. Misalnya, jika diperlihatkan sebuah tabel, mereka mungkin

melaporkan persepsi mereka tentang bentuk, ukuran, warna, dan tekstur.

Mereka diberitahu untuk tidak melabeli atau melaporkan pengetahuan

mereka tentang objek atau makna dari persepsi mereka. Jadi, jika

mereka mengucapkan "meja" sambil melihat meja, mereka

memperhatikan rangsangan daripada proses sadar mereka.

17
Introspeksi adalah proses psikologis yang unik dan membantu

membatasi psikologi dari ilmu-ilmu lain. Itu adalah metode profesional

yang membutuhkan pelatihan dalam penggunaannya sehingga seorang

introspeksi dapat menentukan kapan individu memeriksa proses

kesadaran mereka sendiri daripada interpretasi mereka terhadap

fenomena.

Sayangnya, introspeksi seringkali bermasalah dan tidak dapat

diandalkan. Sulit dan tidak realistis mengharapkan orang mengabaikan

makna dan label. Saat diperlihatkan sebuah tabel, wajar jika orang

mengatakan "meja", memikirkan kegunaannya, dan memanfaatkan

pengetahuan terkait. Pikiran tidak terstruktur untuk

mengkotak-kotakkan informasi dengan begitu rapi, sehingga dengan

mengabaikan makna para introspeksionis mengabaikan aspek sentral

dari pikiran. Watson mencela penggunaan introspeksi, dan

masalah-masalahnya membantu menggalang dukungan bagi psikologi

objektif yang hanya mempelajari perilaku yang dapat diamati

(Heidbreder, 1933). Edward L. Thorndike, seorang psikolog terkemuka

18
, berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan pada fakta ilmiah,

bukan opini (Popkewitz, 1998). Penekanan berikutnya pada psikologi

perilaku mendominasi psikologi AS untuk paruh pertama abad kedua

puluh.

Functionalisme. Saat Titchener berada di Cornell,

perkembangan di tempat lain menantang validitas strukturalisme. Di

antaranya adalah karya para fungsionalis. Fungsionalisme adalah

pandangan bahwa proses mental dan perilaku organisme hidup

membantu mereka beradaptasi dengan lingkungannya (Heidbreder,

1933). Aliran pemikiran ini berkembang di Universitas Chicago

bersama John Dewey (1867–1949) dan James Angell (1869–1949).

Seorang fungsionalis yang sangat menonjol adalah William James

(1842–1910). Fungsionalisme adalah perspektif psikologis Amerika

yang dominan dari tahun 1890-an hingga Perang Dunia I (Green, 2009).

Karya utama James adalah seri dua jilid, The Principles of

Psychology (1890), yang dianggap sebagai salah satu tes psikologi

terbesar yang pernah ditulis (Hall, 2003). Versi singkat diterbitkan


19
untuk penggunaan di kelas (James, 1892). James adalah seorang

empiris yang percaya bahwa pengalaman adalah titik awal untuk

memeriksa pemikiran, tetapi dia bukan seorang asosiasi. Dia berpikir

bahwa ide-ide sederhana bukanlah salinan pasif dari input lingkungan

melainkan produk dari pemikiran dan studi abstrak (Pajares, 2003).

James (1890) mengatakan bahwa kesadaran adalah proses yang

berkesinambungan daripada kumpulan informasi yang terpisah. "Aliran

pemikiran" seseorang berubah saat pengalaman berubah. “Kesadaran,

sejak hari kelahiran kita, terdiri dari beragam objek dan hubungan, dan

apa yang kita sebut sensasi sederhana adalah hasil dari perhatian

diskriminatif seringkali di dorong pada tingkat yang sangat tinggi” (Vol.

I, hal. 224). James menggambarkan tujuan kesadaran sebagai

membantu individu beradaptasi dengan lingkungan mereka.

Fungsionalis memasukkan ide Yakobus ke dalam doktrin

mereka. Dewey (1896) berpendapat bahwa proses psikologis tidak

dapat dipecah menjadi bagian-bagian terpisah dan kesadaran harus

dilihat secara holistik. “Stimulus” dan “response” menggambarkan

20
peran yang dimainkan oleh objek atau peristiwa, namun peran tersebut

tidak dapat dipisahkan dari realitas secara keseluruhan (Bredo, 2003).

Dewey mengutip contoh dari James (1890) tentang seorang bayi yang

melihat lilin menyala, meraihnya, dan mengalami jari-jari yang

terbakar. Dari perspektif stimulus-respons, melihat lilin adalah stimulus

dan menjangkau adalah respons; terbakar (nyeri) merupakan stimulus

untuk respon menarik tangan. Dewey berpendapat bahwa urutan ini

lebih baik dipandang sebagai satu tindakan besar yang terkoordinasi di

mana melihat dan menjangkau saling mempengaruhi.

Fungsionalis dipengaruhi oleh tulisan Darwin tentang evolusi

dan mempelajari kegunaan proses mental dalam membantu organisme

beradaptasi dengan lingkungannya dan bertahan hidup (Bredo, 2003;

Green, 2009). Faktor fungsional adalah struktur tubuh, kesadaran, dan

proses kognitif seperti berpikir, merasakan, dan menilai. Fungsionalis

tertarik pada bagaimana proses mental beroperasi, apa yang mereka

capai, dan bagaimana mereka berbeda dengan kondisi lingkungan.

Mereka juga melihat pikiran dan tubuh sebagai sesuatu yang berkaitan.

21
Fungsionalis menentang metode introspeksi, bukan karena

mempelajari kesadaran melainkan karena cara mempelajari kesadaran.

Introspeksi berusaha untuk mengurangi kesadaran menjadi

elemen-elemen diskrit, yang menurut para fungsionalis tidak mungkin

dilakukan. Mempelajari suatu fenomena dalam isolasi tidak

mengungkapkan bagaimana hal itu berkontribusi pada kelangsungan

hidup suatu organisme.

Dewey (1900) berpendapat bahwa hasil eksperimen psikologis harus

diterapkan pada pendidikan dan kehidupan sehari-hari. Meskipun tujuan

ini patut dipuji, namun juga terdapat permasalahan karena agenda

penelitian fungsionalisme terlalu luas. Kelemahan ini membuka jalan

bagi munculnya behaviorisme sebagai kekuatan dominan dalam

psikologi AS. Behaviorisme menggunakan metode eksperimental, dan

itu adalah penekanan psikologi pada eksperimen dan fenomena yang

dapat diamati yang membantu mengamankan posisinya sebagai sains

(Asher, 2003; Tweney & Budzynski, 2000).

22
1.3 Learning Theory and Research

a. Function of Theory

Teori adalah sejumlah prinsip yang dapat diterima secara ilmiah

yang ditawarkan untuk menjelaskan sebuah fenomena. Teori

menyediakan kerangka kerja untuk menginterpretasikan pengamatan

lingkungan dan berfungsi sebagai jembatan antara penelitian dan

pendidikan (Suppes, 1974). Temuan penelitian dapat diorganisir dan

dihubungkan secara sistematis dengan teori-teori. Tanpa teori, orang

dapat melihat temuan penelitian sebagai kumpulan data yang tidak

terorganisir, karena para peneliti dan praktisi tidak memiliki kerangka

kerja menyeluruh yang dapat menghubungkan data tersebut. Bahkan

ketika peneliti mendapatkan temuan yang tampaknya tidak terkait

langsung dengan teori, mereka masih harus berusaha untuk memahami

data dan menentukan apakah data tersebut mendukung prediksi teoritis.

Teori-teori mencerminkan fenomena lingkungan dan

menghasilkan penelitian baru melalui hipotesis, atau asumsi, yang dapat

diuji secara empiris. Hipotesis sering kali dapat dinyatakan sebagai


23
pernyataan jika-maka: "Jika saya melakukan X, maka Y akan terjadi,"

di mana X dan Y bisa berupa peristiwa seperti "memuji siswa atas

kemajuan mereka dalam belajar" dan "meningkatkan kepercayaan diri

dan prestasi mereka". dan prestasi mereka," masing-masing.

b. Conducting Research

Kita harus mendefinisikan fenomena yang kita pelajari dengan

tepat. Kita memberikan definisi konseptual fenomena dan juga

mendefinisikannya secara operasional, atau dalam hal operasi,

instrumen, dan prosedur yang kita gunakan untuk mengukur fenomena.

Sebagai contoh, kita dapat mendefinisikan self-efficacy secara

konseptual sebagai kemampuan yang dirasakan seseorang untuk belajar

atau melakukan suatu tugas dan secara operasional dengan menentukan

bagaimana kita menilai self-efficacy dalam penelitian kita (misalnya,

skor seseorang pada kuesioner 30 item). Sebagai tambahan untuk

mendefinisikan secara operasional fenomena yang kita pelajari, kita

juga harus akurat tentang prosedur yang kita ikuti. Idealnya, kita

24
menentukan kondisi dengan sangat tepat sehingga, setelah membaca

deskripsi, peneliti lain dapat meniru penelitian kita.

Studi penelitian yang mengeksplorasi pembelajaran

menggunakan berbagai jenis paradigma (model). Paragraf berikut

menjelaskan paradigma korelasional, eksperimental, dan kualitatif,

diikuti dengan diskusi tentang studi laboratorium dan lapangan.

1. Correlational Research

Penelitian korelasional berhubungan dengan

mengeksplorasi hubungan yang ada di antara variabel. Seorang

peneliti mungkin berhipotesis bahwa self-efficacy berkorelasi

positif dengan (terkait dengan) prestasi sehingga semakin tinggi

efikasi diri siswa, semakin tinggi prestasi yang akan mereka

capai.

Penelitian korelasional membantu memperjelas

hubungan antar variabel. Temuan korelasional sering kali

memberikan arahan untuk penelitian lebih lanjut. Jika peneliti

mendapatkan korelasi positif yang tinggi antara self-efficacy dan


25
prestasi, penelitian berikutnya mungkin merupakan eksperimen

yang mencoba meningkatkan self-efficacy siswa untuk belajar

dan menentukan apakah peningkatan tersebut menghasilkan

prestasi yang lebih tinggi. apakah peningkatan tersebut

menghasilkan prestasi yang lebih tinggi.

Keterbatasan penelitian korelasional adalah bahwa

penelitian ini tidak dapat mengidentifikasi sebab dan akibat.

Korelasi positif antara self-efficacy dan prestasi dapat berarti

bahwa (a) self-efficacy mempengaruhi prestasi, (b) prestasi

mempengaruhi self-efficacy, (c) self-efficacy dan prestasi saling

mempengaruhi satu sama lain, atau (d) self-efficacy dan prestasi

dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terukur (misalnya,

orang tua, guru). Untuk menentukan sebab dan akibat,

diperlukan studi eksperimental.

2. Experimental Research

Penelitian eksperimental dapat memperjelas hubungan

sebab-akibat, yang membantu kita memahami sifat alami dari

26
pembelajaran. Pada saat yang sama, penelitian eksperimental

seringkali memiliki cakupan yang sempit. Para peneliti biasanya

hanya mempelajari beberapa variabel dan mencoba

meminimalkan efek dari variabel lain, yang sulit dilakukan dan

seringkali tidak realistis. Ruang kelas dan tempat belajar lainnya

adalah tempat yang kompleks di mana banyak faktor bekerja

sekaligus. Mengatakan bahwa satu atau dua variabel saja yang

menyebabkan hasil mungkin akan terlalu menekankan

pentingnya variabel tersebut. Penting untuk mereplikasi

eksperimen dan memeriksa variabel lain untuk lebih memahami

efek.

3. Qualitative Research

Penelitian kualitatif sangat berguna ketika peneliti

tertarik pada struktur peristiwa daripada distribusi

keseluruhannya, ketika makna dan perspektif individu menjadi

penting, ketika eksperimen yang sebenarnya tidak praktis atau

tidak etis, dan ketika ada keinginan untuk mencari hubungan

27
sebab akibat baru yang potensial yang belum ditemukan oleh

metode eksperimental (Erickson, 1986). Penelitian ini bervariasi

dan dapat berkisar dari analisis interaksi verbal dan nonverbal

dalam satu pelajaran hingga observasi dan wawancara

mendalam dalam jangka waktu yang lebih lama. Metode yang

digunakan dapat berupa observasi, penggunaan catatan yang

ada, wawancara, dan protokol think-aloud (yaitu, peserta

berbicara dengan suara keras saat melakukan tugas). Yang

menjadi ciri khas dari pendekatan ini bukanlah pilihan metode

yang digunakan–semua metode yang disebutkan di atas dapat

digunakan dalam penelitian korelasional atau

eksperimental–melainkan kedalaman dan kualitas analisis dan

interpretasi data.

Peneliti kualitatif mungkin ingin tahu tentang bagaimana

self-efficacy berkontribusi pada pengembangan keterampilan

dari waktu ke waktu. Dia mungkin bekerja dengan sekelompok

kecil siswa selama beberapa bulan. Melalui observasi,

28
wawancara, dan bentuk pengumpulan data lainnya, peneliti

dapat memeriksa bagaimana self-efficacy siswa untuk belajar

berubah dalam kaitannya dengan peningkatan kemampuan

membaca, menulis, dan matematika.

4. Laboratory and Field Research

Penelitian laboratorium dilakukan dalam kondisi yang

terkendali, sedangkan penelitian lapangan dilakukan di tempat

partisipan tinggal, bekerja, atau bersekolah. Selama paruh

pertama abad ke-20, sebagian besar penelitian pembelajaran

dilakukan pada hewan di laboratorium. Saat ini, sebagian besar

penelitian pembelajaran dilakukan pada manusia, dan banyak

yang dilakukan di lapangan. Salah satu dari model penelitian

sebelumnya (eksperimental, korelasional, kualitatif) dapat

diterapkan di laboratorium atau lapangan.

Laboratorium menawarkan tingkat kontrol yang tinggi

terhadap faktor-faktor luar yang dapat mempengaruhi hasil,

seperti telepon berdering, orang yang berbicara, jendela yang

29
dapat melihat keluar, dan orang lain di dalam ruangan yang

bukan merupakan bagian dari penelitian. Cahaya, suara, dan

suhu dapat diatur. Laboratorium juga memungkinkan peneliti

untuk meninggalkan peralatan mereka dalam jangka waktu yang

lama dan memiliki semua bahan yang dapat mereka gunakan.

Kontrol seperti itu tidak mungkin dilakukan di lapangan.

Sekolah berisik, dan sering kali sulit menemukan ruang untuk

bekerja. Ada banyak gangguan: Murid dan guru berkeliaran,

lonceng berdering, pengumuman publik dibacakan, dan latihan

kebakaran diadakan. Ruangan mungkin terlalu terang atau

gelap, dingin atau hangat, dan digunakan untuk tujuan lain

sehingga peneliti harus menyiapkan peralatan setiap kali

bekerja. Menginterpretasikan hasil penelitian dengan adanya

gangguan-gangguan ini bisa menjadi masalah.

Keuntungan dari penelitian lapangan adalah bahwa

hasilnya sangat dapat digeneralisasikan ke pengaturan serupa

lainnya karena penelitian dilakukan di tempat orang biasanya

30
belajar. Sebaliknya, generalisasi temuan laboratorium ke

lapangan dilakukan dengan keyakinan yang lebih rendah.

Penelitian laboratorium telah menghasilkan banyak wawasan

penting tentang pembelajaran, dan para peneliti sering berusaha

untuk mereplikasi temuan laboratorium di lapangan.

1.4 Assessment Of Learning

Penilaian melibatkan "upaya formal untuk menentukan status

siswa sehubungan dengan variabel pendidikan yang diminati" (Popham,

2008, hal. 6).

a. Direct Observation

Pengamatan langsung merupakan indeks pembelajaran

yang valid jika langsung dan melibatkan sedikit inferensi oleh

pengamat. Misalnya, seorang guru olahraga mengambil nilai

muridnya melakukan lompat jauh dengn cara menginstruksikan

muridnya melakukan lompat jauh dan ia mengamatinya secara

langsung

31
Masalah untuk pengamatan langsung adalah bahwa

mereka hanya fokus pada apa yang dapat diamati dan karena itu

melewati proses kognitif dan afektif yang mendasari tindakan.

Contohnya, guru kimia mengetahui bahwa siswa telah

mempelajari prosedur laboratorium. Tetapi dia tidak tahu apa

yang dipikirkan siswa saat melakukan prosedur atau seberapa

percaya diri mereka tentang kinerja yang baik.

Selain belajar, banyak faktor yang dapat mempengaruhi

kinerja. Siswa mungkin tidak melakukan tindakan yang

dipelajari karena memang tidak termotivasi, sakit, atau sibuk

melakukan tugas lain.

b. Written Responses

Pembelajaran sering dinilai berdasarkan tanggapan

tertulis siswa pada tes, kuis, pekerjaan rumah, makalah, dan

laporan. Contohnya seperti UTS dan UAS yang diberikan

dosen.. Pretest yang diberikan sebelum pembelajaran dimulai

akan mendukung keyakinan guru jika nilai siswa buruk. Guru

32
melakukan tes ulang siswa yang mengikuti unit pembelajaran.

Keuntungan dari nilai tes yaitu mengarahkan guru untuk

menyimpulkan bahwa siswa telah memperoleh beberapa

pengetahuan. Penggunaannya sedikit lebih mudah dan

kapasitasnya untuk menutupi berbagai jenis material tanggapan

tertulis indikator pembelajaran yang diinginkan. tetapi banyak

faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perilaku, bahkan ketika

siswa telah mempelajarinya. Tanggapan tertulis mengharuskan

kita untuk percaya bahwa siswa mencoba yang terbaik dan

bahwa tidak ada faktor asing seperti kelelahan, penyakit,

kecurangan, dan sebagainya yang beroperasi sedemikian rupa

sampai membuat karya tulis mereka tidak mewakili apa yang

telah mereka pelajari. Kita harus mencoba mengidentifikasi

faktor asing yang dapat mempengaruhi kinerja dan penilaian

pembelajaran.

c. Oral Responses

33
Tanggapan lisan merupakan bagian integral dari budaya

sekolah. Guru meminta siswa untuk menjawab pertanyaan dan

menilai pembelajaran berdasarkan apa yang mereka katakan.

Siswa juga mengajukan pertanyaan selama pelajaran.

Contohnya tanya jawab yang dilakukan oleh dosen kepada

mahasiswa.

Tanggapan lisan merupakan cerminan yang valid dari

apa yang telah diketahui siswa, dan mungkin tidak selalu benar.

Selanjutnya, verbalisasi adalah tugas, dan mungkin ada

yang menjadi masalah dalam menerjemahkan apa yang

diketahui seseorang ke dalam ekspresi lisannya, bisa karena

terminologi yang tidak dikenal, kecemasan tentang berbicara,

atau kesulitan bahasa. Guru mungkin mengulang apa yang

dikatakan siswa, tetapi pengulangan seperti itu mungkin tidak

secara akurat mencerminkan sifat pemikiran siswa.

d. Rating by Others

34
Penilaian orang lain adalah cara lain untuk menilai

pembelajaran yang ditujukan kepada individu (misalnya, guru,

orang tua, administrator, peneliti, teman sebaya) untuk menilai

siswa pada kuantitas atau kualitas pembelajaran mereka.

Contohnya seperti, "Seberapa baik Timmy dapat memecahkan

masalah tipe 52 x 36?"

“Berapa banyak kemajuan yang Alessia buat dalam

keterampilan mencetaknya dalam 6 bulan terakhir?” dan

sebagainya.

e. Self - Reports

1. Questionnaires

Kuesioner menyajikan responden dengan item

atau pertanyaan yang menanyakan tentang mereka

pikiran dan tindakan. Responden dapat mencatat jenis

kegiatan yang mereka rasakan, dan menilai seberapa

35
sering atau berapa lama mereka terlibat di dalamnya.

Contohnya seperti, “Berapa lama anda belajar bahasa

Spanyol?”, atau "Seberapa sulit bagi Anda untuk

mempelajari teorema geometri?”.

2. Interviews

Wawancara adalah jenis kuesioner di mana

pewawancara mengajukan pertanyaan atau poin untuk

didiskusikan dan responden menjawab secara lisan.

Contoh, “Menurut Anda, seberapa baik Anda akan

melakukannya?” dan “Menurutmu bagaimana cuaca

hari ini?”.

3. Stimulated Recall

Ingatan pikiran yang menyertai penampilan

seseorang pada waktu tertentu. orang mengerjakan suatu

tugas dan kemudian mengingatnya kembali pikiran di

berbagai titik selama tugas. Pewawancara menanyai

36
mereka. Contohnya, Apa yang Anda berpikir tentang

kapan Anda terjebak di sini? Jika pertunjukan itu

direkam dengan video, responden kemudian menonton

dan mengingatnya kembali, terutama ketika

pewawancara menghentikan perekaman dan mengajukan

pertanyaan

4. Think-alouds

Think-alouds adalah prosedur dimana siswa

mengungkapkan pikiran, tindakan, dan perasaan saat

mengerjakan tugas. Responden diharuskan

mengungkapkannya secara verbal. Berbicara dengan

suara keras mungkin tampak canggung bagi sebagian

orang, dan mereka mungkin merasa sadar diri atau

kesulitan mengungkapkan pikiran mereka.

5. Dialogue

Dialog merupakan percakapan antara dua orang

atau lebih banyak orang saat terlibat dalam tugas belajar.

37
Seperti berpikir-keras, dialog bisa dicatat dan dianalisis

untuk pernyataan yang menunjukkan pembelajaran dan

faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi belajar di

setting.

1.5 Relation of Learning and Instruction

a. Historical Perspective

Kita telah melihat bagaimana teori dan temuan penelitian

membantu dalam pembelajaran. Historisnya sedikit tumpang

tindih antara bidang pembelajaran dengan instruksi (Shuell,

1988). Banyak peneliti belajar awal yang menggunakan spesies

nonhuman. Instruksi merupakan domain pendidik, yang

berkaitan secara langsung dengan penerapan metode pengajaran

di kelas dan pengaturan pembelajaran lainnya.

Alasan kedua yaitu karena kurangnya integrasi

pembelajaran dengan instruksi berasal dari kepercayaan umum

bahwa pengajaran adalah seni dan bukan ilmu seperti psikologi.

38
Seperti Highet (1950), disebut seni pengajaran karena dia

percaya bahwa pengajaran adalah seni, bukan ilmu. Highet

mengatakan, bahwa pengajaran tidak dapat dipisahkan dari

pembelajaran. Guru yang baik terus belajar tentang bidang

subjek dan cara untuk mendorong pembelajaran siswanya.

Gage (1978) mencatat bahwa penggunaan "seni" dalam

mengacu pada pengajaran adalah metafora. Sebagai cara untuk

memahami dan meningkatkan pengajaran, "seni pengajaran"

telah mendapat perhatian yang tidak memadai. Pengajaran

sebagai seni bisa menjadi objek penyelidikan dan penyelidikan

ilmiah yang sama seperti jenis seni lainnya, termasuk gambar,

lukisan, dan komposisi musik. Dengan demikian, pengajaran

bisa ditingkatkan melalui studi ilmiah.

Alasan yang ketiga memungkinkan akar dari gagasan

bahwa berbagai prinsip teoritis dapat mengatur dua domain

tersebut. Sternberg (1986) berpendapat bahwa kognisi (atau

pembelajaran) dan instruksi memerlukan teori yang terpisah.


39
Shuell (1988) mencatat "Belajar dari instruksi berbeda dari

konsepsi pembelajaran dan pengajaran tradisional yang

dianggap terpisah".

Keempat, metode penelitian tradisional mungkin tidak

memadai untuk mempelajari instruksi dan belajar secara

bersamaan. Penelitian produk-produk berfokus terutama pada

prestasi belajar dengan biaya atas hasil lain yang relevan dengan

pembelajaran (mis., Harapan, nilai). Singkatnya, model

produk-produk tidak dirancang dengan baik untuk memeriksa

bagaimana siswa belajar.

Pada saat yang sama, banyak penelitian pembelajaran

yang menggunakan metode eksperimental, dimana beberapa

kondisi bervariasi dan perubahan hasil ditentukan.

Untungnya, peneliti saat ini lebih memperhatikan pola

pengajaran daripada perilaku pengajaran lain (Seidel &

Shavelson, 2007). Pembelajaran anak-anak telah mendapat

40
perhatian yang diperhatikan (Siegler, 2000, 2005), dan lebih

banyak penelitian dikhususkan untuk bagaimana yang dipelajari

di sekolah terkait dengan keterampilan apa yang penting di luar

sekolah (Anderson, Reder, & Simon, 1996).

b. Instructional Commonalities

Terlepas dari perspektifnya, kebanyakan teori

pembelajaran berbagi prinsip yang diprediksi akan

meningkatkan pembelajaran dari instruksi. Salah satunya adalah

bahwa pelajar berkembang melalui tahap atau fase pembelajaran

yang dapat dibedakan dengan berbagai cara, seperti dalam hal

tingkat keterampilan progresif: pemula, pemula lanjut,

kompeten, mahir, dan ahli (Shuell, 1990).

Pengajaran dan pembelajaran menekankan berbagai

faktor yang penting dalam memperoleh keterampilan, strategi,

dan perilaku. Ini termasuk pengorganisasian materi yang akan

diajarkan, presentasi material dalam langkah pendek, peluang

untuk praktek, penyediaan umpan balik korektif, dan sesi review

41
(Rosenshine & Stevens, 1986; Shuell, 1988, 1990).

Perkembangan keterampilan memerlukan waktu dan energi

siswa, serta akses terhadap bahan-bahan instruksional, guru, dan

fasilitas. Orang tua atau orang dewasa lainnya sering

menginvestasikan sumber daya keuangan, waktu, dan usaha

mereka untuk meningkatkan keterampilan anak-anak mereka.

c. Integration of Theory and Practice

Teori pembelajaran bukanlah pengganti pengalaman.

Teori tanpa pengalaman bisa salah arah karena bisa

mengabaikan efek faktor situasional. Jika benar digunakan, teori

menyajikan kerangka kerja untuk digunakan dalam membuat

keputusan pendidikan.

Sebaliknya, pengalaman tanpa teori sering sia-sia dan

berpotensi merusak. Pengalaman tanpa landasan teori berarti

setiap situasi diperlakukan sebagai khusus, sehingga

pengambilan keputusan didasarkan pada uji coba dan kesalahan

sampai ada sesuatu yang bekerja. Teori dan praktek saling

42
mempengaruhi satu sama lain. Praktik pendidikan juga

mempengaruhi teori. Pengalaman bisa mengkonfirmasi prediksi

teoritis atau menyarankan revisi.

1.6 Critical Issues for Learning Theories

Teori perilaku mendefinisikan pembelajaran sebagai perubahan

tingkat, frekuensi terjadinya, atau bentuk perilaku atau tanggapan,

terutama terjadi sebagai fungsi faktor lingkungan. Teori perilaku

berpendapat bahwa pembelajaran melibatkan pembentukan asosiasi

antara rangsangan dan tanggapan. Behaviorisme merupakan kekuatan

dalam psikologi di tahun-tahun pertama abad ke-20, dan teori

pembelajaran yang terdahulu adalah perilaku. Teori-teori ini

menjelaskan pembelajaran dalam suatu hal yang dapat diamati. Para

teori perilaku berpendapat bahwa penjelasan untuk pembelajaran tidak

perlu meliputi kejadian internal seperti pemikiran, kepercayaan,

perasaan, bukan karena proses ini tidak ada, melainkan karena

penyebab pembelajaran akan terjadi peristiwa lingkungan.

43
1. How Does Learning Occur?

Behavioral theories menetapkan lebih sedikit

kepentingan untuk perbedaan pelajar daripada teori kognitif.

Dua variabel pembelajar yang dipertimbangkan oleh teori-teori

perilaku adalah sejarah penguatan dan status perkembangan.

Cacat kognitif akan menghambat pembelajaran keterampilan

kompleks, dan cacat fisik dapat menghalangi perolehan perilaku

motorik.

Cognitive theories mengakui peran kondisi lingkungan

sebagai pengaruh pada pembelajaran. Teori kognitif berpendapat

bahwa faktor instruksional tidak sepenuhnya memperhitungkan

pembelajaran siswa (Pintrich, Cross, Kozma, & McKeachie,

1986). Apa yang dilakukan oleh siswa dengan informasi.

bagaimana mereka menghadirkannya, berlatih, mengubah,

mengadopsi, menyimpan, dan mengambilnya secara kritis.

2. What Is the Role of Memory?

44
Perspektif seseorang terhadap peran memori memiliki

implikasi penting untuk mengajar. Teori perilaku yang positif

yang berkala, ulasan spasi mempertahankan kekuatan tanggapan

dalam direktori peserta didik. Teori kognitif menempatkan

penekanan lebih besar pada saat ini membuat bahwa peserta

didik dapat mengaturnya, menghubungkannya dengan apa yang

mereka ketahui, dan ingatlah dengan cara yang berarti.

3. What Is the Role of Motivation?

Behavioral theories menentukan motivasi sebagai

tingkat peningkatan atau kemungkinan terjadinya perilaku, yang

hasil dari mengulangi perilaku sebagai respon terhadap

rangsangan atau sebagai konsekuensi penguatan. Teori

pengkondisian operasional Skinner (1968) , tidak memiliki

prinsip baru untuk memperhitungkan motivasi: Perilaku

termotivasi meningkat, atau terus merespon dengan penguatan.

Siswa menunjukkan perilaku yang dimotivasi karena

sebelumnya diperkuat untuk itu dan karena penguat yang efektif

45
hadir. Teori perilaku tidak membedakan motivasi dari belajar

tapi menggunakan prinsip yang sama untuk menjelaskan semua

perilaku.

Sebaliknya, cognitive theories melihat motivasi dan

pembelajaran yang terkait namun tidak identik (Schunk, 1991).

Seseorang bisa dimotivasi tapi tidak belajar; Seseorang bisa

belajar tanpa termotivasi untuk melakukannya. Teori kognitif

menekankan bahwa motivasi dapat membantu untuk

memperhatikan dan mempengaruhi bagaimana informasi

diproses.

4. How Does Transfer Occur?

Behavioral theories menekankan bahwa transfer

tergantung pada elemen identik atau fitur serupa (rangsangan)

antara situasi. Perilaku transfer (atau generalisasi) saat situasi

lama dan baru berbagai elemen umum. Dengan demikian,

seorang siswa yang mengetahui bahwa 6 X 3 = 18 harus dapat

melakukan perkalian ini di berbagai tempat (sekolah, rumah)

46
dan bila jumlah yang sama muncul dalam format masalah yang

sama (misalnya, 36 X 23= ?).

Cognitive theories mendalil bahwa transfer terjadi saat

peserta didik mengerti bagaimana menerapkan pengetahuan

dalam pengaturan yang berbeda. Bagaimana informasi disimpan

dalam memori itu penting. Penggunaan pengetahuan disimpan

bersamaan dengan pengetahuan itu sendiri atau dapat dengan

mudah diakses dari lokasi penyimpanan memori lain.

5. Which Processes Are Involved in Self-Regulation?

Periset perilaku berpose bahwa peraturan diri melibatkan

penyitaan kontinjensi pengendali seseorang; Artinya,

rangsangan yang mana merespon dan konsekuensi dari

tanggapan seseorang. Tidak ada proses baru yang diperlukan

untuk memperhitungkan perilaku yang diatur sendiri. Periset

perilaku fokus pada tanggapan spidemik yang melintasi:

pemantauan diri, instruksi diri, penguatan diri.

47
Periset kognitif menekankan aktivitas mental seperti

perhatian, latihan, penggunaan strategi pembelajaran, dan

pemantauan pemahaman. Para teoritikus ini juga menekankan

keyakinan motivasi tentang self-efficacy, hasil, dan nilai belajar

yang dianggap (Schunk, 2001). Elemen kunci adalah pilihan:

untuk peraturan diri terjadi, peserta didik harus memiliki

beberapa pilihan dalam motif atau metode untuk belajar, waktu

yang dihabiskan pembelajaran, tingkat kriteria belajar,

pengaturan di mana terjadi terjadi, dan kondisi sosialnya berlaku

(Zimmerman, 1994, 1998, 2000).

6. What Are the Implications for Instruction?

Behavioral Theories menekankan pembentukan asosiasi

antara rangsangan dan tanggapan melalui penguatan selektif

respons yang benar. Teori perilaku tampak paling cocok untuk

menjelaskan bentuk pembelajaran yang lebih sederhana yang

melibatkan asosiasi, seperti fakta perkalian, makna kata bahasa

asing, dan kota-kota ibu kota.

48
Cognitive theories menjelaskan pembelajaran dengan

faktor-faktor tersebut sebagai pengolahan informasi, jaringan

memori, dan persepsi siswa dan interpretasi faktor kelas (guru,

rekan kerja, bahan, organisasi). Teori kognitif tampaknya lebih

tepat untuk menjelaskan bentuk pembelajaran yang kompleks,

seperti memecahkan masalah kata matematika, menarik

kesimpulan dari teks, dan menulis esai.

1.7 Three Learning Scenarios

a. Kathy Stone’s Third-Grade Class

Kathy Stone merupakan seorang guru yang mengajar

salah satu dari lima kelas mandiri, yaitu kelas tiga di sekolah

dasar K–5 dengan jumlah 550 siswa. Sekolahnya terletak di

pinggir kota di dekat komunitas perumahan yang besar. Ia telah

mengajar disana selama 8 tahun dan sebelumnya pernah

mengajar kelas dua selama 4 tahun di sekolah lain. Kathy aktif

dalam mengembangkan kurikulum, memimpin beberapa komite

49
sekolah dan sistem untuk mengimplementasikan program kreatif

agar dapat dimasukkan ke dalam program reguler.

Ada 21 siswa di kelas Kathy dengan latar belakang etnis

yang beragam. Ada 10 anak perempuan dan 11 anak perempuan

yang berusia sekitar 8 sampai 10 tahun. Sebagian besar siswa

memiliki semangat belajar, namun sebagian lagi mengalami

kesulitan, baik karena ketidakmampuan dalam belajar, masalah

keluarga maupun emosional. Siswanya hadir mulai pukul 08.15

hingga 14.45 setiap harinya. Mereka mempelajari bidang

akademik utama seperti menulis, mengeja, membaca, sains,

matematika, studi sosial, kesehatan, dan komputer bersama

Kathy. Sedangkan untuk seni, musik, pendidikan jasmani, dan

sebagainya, mereka akan mengunjungi guru-guru lainnya. Para

siswa memiliki waktu satu jam untuk makan siang dan istirahat

yang diawasi oleh petugas kafetaria dan taman bermain.

b. Jim Marshall’s U.S. History Class

50
Jim Marshall mengajar kursus sejarah AS serta kursus

lain di departemen sejarah. Jim telah mengajar di sekolah ini

selama 14 tahun dan telah menerima beberapa penghargaan

pengajaran. Total murid di kelas Jim ada 23 orang, dimana 4

diantaranya adalah murid yang gagal di kelas tahun lalu.

Sebagian besar siswa adalah kelas menengah dengan latar

belakang etnis yang berbeda. Sebagian besar merupakan siswa

berprestasi, meskipun beberapa tidak memiliki dorongan untuk

berpartisipasi ataupun menyelesaikan tugas. Selain itu, 3

diantaranya memiliki ketidakmampuan dalam belajar dan

menerima bantuan dari guru sumber.

Kursus berjalan selama 50 menit setiap harinya dengan

tujuan agar siswa menjadi lebih akrab dengan periode utama

dalam sejarah AS yang dimulai dengan pembentukan 13 koloni

sampai sekarang. Kursus meliputi ceramah dan demonstrasi,

diskusi kelompok kecil, penelitian siswa, proyek sejarah, tugas

online, dan permainan peran.

51
c. Gina Brown’s Educational Psychology Class

EDUC 107, Psikologi Pendidikan untuk Guru,

merupakan mata kuliah wajib tiga kredit pada program sarjana

pendidikan guru di universitas besar. Beberapa bagian kursus

ditawarkan di setiap semester. Gina Brown merupakan seorang

profesor di College of Education, yang mengajar satu bagian

dari kursus. Gina telah mengajar di fakultas selama 7 tahun.

Ada 30 siswa di kelasnya, 12 merupakan jurusan dasar,

10 kelas menengah atau jurusan sekunder, dan 8 lainnya jurusan

pendidikan khusus. Sebagian besar siswa adalah kelas

menengah dengan latar belakang etnis yang berbeda-beda, yang

berusia 18 hingga 37 tahun. Kursus berlangsung selama 3 jam

per minggu, termasuk di dalamnya kuliah, diskusi, video kelas,

dan tugas online. Siswa mengambil kelas pengalaman untuk ke

lapangan sebanyak satu kredit bersamaan yang diawasi oleh

Gina. Isi kursus adalah standar untuk kursus psikologi

pendidikan. Topiknya meliputi pengembangan, pembelajaran,

52
perbedaan individu, motivasi, manajemen kelas, siswa

berkebutuhan khusus, dan penilaian. Siswa menyelesaikan

proyek lapangan dan diuji pada konten kursus. Motivasi siswa

umumnya tinggi karena mereka percaya bahwa memahami topik

ini penting untuk kesuksesan mereka di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Schunk, D.H. 2012. 6th ed. Learning Theories: An Educational

Perspective.

53
LAMPIRAN KONTRIBUSI KERJA

No Nama NIM Kontribusi Persentas

. e

1. Farah Humaira 22130109 E-book, 20%

6 PPT

54
2. Raisah Salimah 22130102 E-book, 20%

Harahap 7 PPT

3. Sofia Zahra Harahap 22130103 E-book, 20%

0 PPT

4. Nabilla Khanza Muzar 221301110 E-book, 20%

PPT

5. Eunique Ruth Triani 22130118 E-book, 20%

Surbakti 2 PPT

55

Anda mungkin juga menyukai