Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KODE ETIK PSIKOLOGI

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Dosen Pengampu : Dr. Gustiarti Leila, Psikolog


Disusun Oleh : Kelompok 2

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN 2022
NO. NAMA NIM NILAI NILAI
INDIVIDU KELOMPOK
1. JOICE RUT CAHAYA 221301029
MALAU
2. SOFIA ZAHRA 221301030
HARAHAP
3. RAYHAN RIVALDO 221301031
4. OLGA RAINES .S 221301032
5. NURUL HIKMAH 221301033
6. APRIANI LAUREN 221301034
SIMBOLON
7. ICA CARNAVALIN 221301035
PURBA
8. ASNITA RAMADANI .S 221301036
9. DEVIN FAYZUL HAQ 221301093
GINTING
10. FEBIAN UNTARI 221301094
KATA PENGANTAR

Puji syukur tim penyusun sampaikan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat, karunia serta kasih sayangNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebebasan dan Tanggung Jawab” ini dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kasus/kegiatan
sehari-hari yang melibatkan Kebebasan dan Tanggung Jawab dan kaitannya dengan teori
yang dipelajari, serta untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Kode Etik
Psikologi. Pada kesempatan ini tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bu Dr.
Gustiarti Leila, Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Kode Etik Psikologi dan
seluruh pihak yang telah memberikan dukungan terhadap pembuatan makalah ini.
Meskipun telah berusaha menyelesaikan makalah ini dengan baik, kami menyadari
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca agar kami dapat meningkatkan kualitas serta
menyempurnakan segala kekurangan yang ada di dalam penyusunan makalah sebagaimana
mestinya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi tim penyusun dan para pembaca.

Medan, 20 November 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebebasan serta tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dihadapi manusia
merupakan suatu proses untuk membentuk dan menjadi dirinya sendiri. Kemampuan untuk
melakukan dan membuat suatu pilihan bebas akan menjadi tak berguna jika ia sendiri tidak
dapat mengetahui dan memahami pilihan yang baik. Seseorang dapat membuat pertimbangan
yang dapat membedakan pilihan yang baik dari yang buruk berdasarkan hati nuraninya.
Sebagai prasyarat yang esensial dari moral yang benar dan salah, hati nurani merupakan
prinsip dasar yang eksistensial dari suatu pilihan bebas.

1.2 Rumusan Masalah


1.
BAB II
TEORI
2.1 Kebebasan
2.1.1 Pengalaman tentang Kebebasan
Dalam hidup setiap orang kebebasan adalah suatu unsur hakiki. Kita semua
mengalami kebebasan justru karena kita manusia. Salah satu tugas pokok filsafat adalah
secara kritis merefleksikan serta menjalankan apa yang kita alami secara spontan karena
kebebasan merupakan unsur penting dalam pengalaman kita sebagai manusia, maka
kebebasan itu menjadi salah satu tema filsafat yang khas. Kesulitannya baru dimulai bila kita
ingin mengungkapkan pengalaman pada taraf refleksi. Seperti dalam renungannya
Augustinus (354-430), ia sendiri heran karena sebenarnya ia sudah tahu apa itu waktu,
mengerti bila kita berbicara tentang waktu, dan juga mengerti bila mendengar orang lain
berbicara tentang waktu. Tetapi sebenarnya apa itu waktu? Hal yang sama dapat dikatakan
juga tentang kebebasan. Kalau tidak ada orang yang bertanya apa arti kebebasan itu, kita
yakin kita tahu, karena kita sendiri mengalaminya. Tapi saat ditanya kita menjadi bingung
dan tidak bisa menjawab.
Maksud Augustinus adalah perbedaan antara pengetahuan yang dinyatakan secara
eksplisit dan pengetahuan yang hanya tersirat dalam bentuk empiris (pengalaman). Jenis
pengalaman ini tidak boleh disamakan dengan jenis lain, terutama pengalaman yang
merupakan titik awal dan dasar ilmu empiris, karena mengacu pada pengalaman lahiriah dan
bersifat empiris (berdasarkan fakta yang diketahui). Dalam pengertian ini, kebebasan tidak
pernah dapat didefinisikan. Dari fakta ini, Awalnya para filsuf tidak setuju tentang adanya
kebebasan karena mereka melihat dari sisi pengalaman lain. Namun, terdapat suata
pengalaman yang disebut dengan pengalaman batin. Dalam pengalaman batin, saksinya
adalah ‘diri saya sendiri’. Pengalaman ini adalah apa yang saya alami tentang diri saya dan
hal itu tidak pernah terbuka bagi orang lain. Pengalaman batin itu menyatakan kebebasan
saya. Dalam perbuatan-perbuatan yang saya lakukan saya tahu dengan pasti bahwa saya
bebas.
Pengalaman batin itu menyatakan kebebasan saya. Dalam perbuatan-perbuatan yang
saya lakukan, saya tahu dengan pasti bahwa saya bebas. Sehingga seorang filsuf Prancis,
Henri Bergson (1859-1941), berpikir tentang pengalaman mengenai kebebasan sampai pada
kesimpulan. Jadi, kebebasan merupakan suatu fakta dan diantara fakta-fakta yang ditetapkan
orang tidak ada yang lebih jelas. Dengan kata “fakta” disini tidak mempunyai arti seperti
dalam ilmu ilmu empiris, yang dimaksud dengan fakta di sini adalah daya langsung dari
pengalaman batin. Bergson mengatakan kebebasan adalah hubungan antara “aku konkret”
dan perbuatan yang dilakukannya. Tugas filsafat lah secara kritis merefleksikan serta
menjelaskan apa yang kita alami secara spontan. Kebebasan merupakan unsur penting dalam
pengalaman kita sebagai manusia, kebebasan merupakan suatu tema abadi bagi filsafat, yang
tidak akan pernah terbahas sampai habis. Salah satu usaha filsafat yaitu membedakan serta
menganalisis semua arti “bebas” dan menciptakan kejelasan. Kebebasan mempunyai banyak
aspek dan banyak karakteristik, suatu realitas yang amat kompleks.
Sudah ada berbagai nuansa bagaimana kata “bebas” digunakan dalam bahasa
sehari-hari, dan setelah dicermati lebih jauh masih banyak makna yang tidak boleh
disamakan. Salah satu upaya pertama filsafat adalah membedakan dan menganalisis banyak
makna, sehingga menciptakan kejelasan. Perlu dicatat bahwa para filsuf telah mengusulkan
berbagai cara untuk membagi dan membedakan makna kebebasan. Tidaklah berguna dan
tidak mungkin untuk menyebutkan di sini semua arti yang berbeda sepanjang sejarah filsafat.
Selain itu, perbedaan mereka seringkali tidak sesuai satu sama lain karena didasarkan pada
beberapa prinsip yang tidak sama.

2.1.2 Beberapa Arti Kebebasan


a. Kebebasan Sosial-Politik
Kebebasan hak sosial dan politik menjadi sebuah jaminan yang sangat diperlukan
untuk dapat mencapai sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi sehingga aspirasi
yang ada dapat tersalurkan dengan baik. Subjek dari kebebasan sosial-politik ini adalah
suatu bangsa atau rakyat. Perbedaan antara kebebasan sosial-politik dengan kebebasan
individual adalah, bebas yang disebut di sosial-politik adalah suatu bangsa atau rakyat
sedangkan subjek kebebasan individual adalah manusia perorangan.

1) Kebebasan Rakyat versus Kekuasaan Absolut

2) Kemerdekaan versus Kolonialisme


Kebebasan sosial-politik dapat direalisasikan dalam proses dekolonisasi yang dimana
zaman sekarang ini biasanya kita sebut dengan “kemerdekaan”. Amerika Serikat adalah
negara pertama yang melepaskan diri dari kekuasaan Inggris dengan The Declaration of
Independence pada tahun 1776. Dalam hal ini mereka justru mewujudkan ide kebebasan yang
mulai mekar di negara penjajah, Inggris. Revolusi Amerika ini pada gilirannya
mempengaruhi Revolusi Prancis di Eropa. Bolivia mencapai kemerdekaannya sebagai negara
Amerika Selatan terakhir pada tahun 1825. Antara tahun 1776 dan 1825 ini hampir semua
negara di benua Amerika memperoleh kemerdekaannya.
Disini juga perlu ditekankan bahwa ide di belakang proses dekolonisasi itu bersifat
etis. Bagaimanapun pandangan di abad abad sebelumnya, di zaman modern timbul keyakinan
bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa lain. Dan karena itu situasi
kolonialisme tidak pernah boleh terjadi lagi. Aspek etis itu dirumuskan dengan tepat dalam
kalimat pertama Pembukaan UUD 1945 : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peikemanusiaan dan perikeadilaan”. Pada tahun 1960 negara negara
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa menyepakati sebuah deklarasi yang pada mempunyai isi
yang sama yaitu hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk menentukan nasibnya
sendiri.

b. Kebebasan Individual
Bagi etika umum lebih penting adalah kebebasan individual. Karena itu untuk
selanjutnya topik yang akan dibahas adalah tentang kebebasan individual saja. Kita mulai
dengan menganalisis beberapa arti kebebasan yang dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Kesewenang-wenangan
Terkadang kebebasan diartikan sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness). Kalau
begitu, orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini
“bebas” dipahami sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Kebebasan dalam
arti ini sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat semau gue.
Kalau tidak berpikir lebih panjang, banyak orang cenderung menerima pengertian
kebebasan ini. Atas pertanyaan “saya bebas, jika saya bisa melakukan apa saja yang saya
mau”. Kesan spontan ini disebabkan, karena orang mencampuradukkan kebebasan dengan
merasa bebas. Bila sekolahnya libur, seorang pelajar sungguh-sungguh merasa bebas. Ia
tidak terikat oleh kewajiban apa pun. Ia bisa melakukan banyak hal yang menjadi pantangan
waktu sekolah, seperti tidur hingga siang, main bulu tangkis sepuas-puasnya, mengunjungi
pamannya di luar kota, dan seribu satu hal lain lagi. Akan tetapi, apakah isi kebebasan hanya
itu?
Kalau kita berefleksi lebih mendalam, akan tampak bahwa kebebasan tidak bisa
disamakan dengan merasa bebas atau merasa dilepaskan dari segala macam ikatan sosial dan
moral.
Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut
“kebebasan”. Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Karena “bebas” sesungguhnya tidak
berarti “lepas dari segala keterikatan”. Dengan demikian penyelidikan singkat ini sudah
membawa kesimpulan yang sangat berharga yaitu kebebasan tidak bertentangan dengan
keterikatan. Sebaliknya, kebebasan yang sejati ialah mengandaikan keterikatan oleh
norma-norma.

2) Kebebasan Fisik
Dalam kebebasan fisik, di sini “bebas” berarti tidak ada paksaan atau rintangan dari
luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa bergerak ke mana saja ia mau
tanpa hambatan apa pun.
Kalau hanya itulah yang kita maksudkan dengan “ bebas” maka pengertian kita
tentang kebebasan masih terlalu dangkal. Bisa saja orang tidak menikmati kebebasan fisik,
namun sungguh-sungguh bebas. Banyak pahlawan pernah ditahan dan mereka tetap bebas
sepenuh-penuhnya. Memang benar apa yang dikatakan Friedrich Schiller, penyair Jerman
akhir abad ke-18. Ia mengatakan “Manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas, sekalipun
lahir terbelenggu”. Tidak adanya kebebasan fisik bisa disertai adanya kebebasan dalam arti
lebih mendalam. Dan sebaliknya, kalau orang dapat bergerak dengan cara bebas, hal itu
belum menjamin bahwa ia bebas sungguh-sungguh.
Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud sebuah arti kebebasan yang
sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti
kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka
kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu. Kebebasan ini sangat bermanfaat dan sangat
dibutuhkan untuk menjadi orang yang bebas dalam arti yang sebenarnya.

3) Kebebasan Yuridis
Arti "kebebasan" lain dapat disebut kebebasan yuridis, sebab akan kita lihat lagi
berkaitan erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum. Sebenarnya kebebasan yuridis
ini merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia, dalam Deklarasi Universal tentang
Hak-hak Asasi Manusia (1948) dan juga dalam dokumen-dokumen lain tentang hak-hak
manusia berulang kali dibicarakan tentang "hak-hak dan kebebasan-kebebasan". Tidak
mengherankan bahwa hak-hak disini disebut bersamaan dengan kebebasan, karena setiap hal
mengandung kemungkinan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dengan bebas dan
tak terganggu. Disini kita akan membahas hal dari segi kebebasan. Yang dimaksud dengan
kebebasan dalam arti ini adalah Syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita
dapat menjalankan kebebasan kita secara konkret. Dapat dikatakan juga yang dimaksud
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat mengembangkan
Kemungkinan-kemungkinannya dengan semestinya. Kebebasan-kebebasan yuridis ini
menandai situasi kita sebagai manusia. Kebebasan manusiawi tidak menciptakan (seperti
halnya dengan kebebasan Tuhan). Kebebasan kita bersifat berhingga dan karena itu
membutuhkan lingkup gerak di mana ia bisa dijalankan. Kebebasan kita memperoleh nilai
lebih besar, sejauh wilayah dimana kita dapat mewujudkannya, lebih besar pula. Sebuah
contoh dapat menjelaskan hal ini. Lingkup kebebasan seorang yang menyandang tunanetra
tentu kurang luas, dibandingkan dengan kita yang dapat melihat. Suatu dimensi seluruhnya
tidak berperanan sama sekali dalam hidupnya dan akibatnya di bidang itu ia tidak dapat
mewujudkan kebebasannya yaitu dimensi visual. Seni lukis, film televisi, fotografi, warna,
pemandangan alam, ekspresi pada wajah seluruh "dunia visual" Itu bagi dia tidak ada. Orang
tunanetra tidak bebas untuk menjadi pelukis atau sutradara, umpamanya. Dengan contoh ini
kita telah memandang berkurangnya lingkup kebebasan yang tidak dikuasai oleh manusia.
Bahwa seseorang dilahirkan buta atau dapat melihat merupakan nasib yang harus diterima
begitu saja. Tetapi tidak jarang tergantung dari manusia sendirilah apakah dia mau menjamin
dan mengadakan lingkup kebebasan yang sama bagi semua orang. Dengan
kebebasan-kebebasan yuridis ini dimaksudkan semua syarat hidup di bidang ekonomis, sosial
dan politik yang diperlukan untuk menjalankan kebebasan manusia secara kongkret dan
mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang terpendam dalam setiap manusia. Peranan
negara disini sangat penting, karena negara, yang bertujuan mengupayakan kesejahteraan
umum, harus menjamin dan memajukan kebebasan-kebebasan ini, hal itu akan dilakukannya
dengan membuat undang-undang yang cocok bagi keadaan kongkret. Namun peranan negara
tidak sama terhadap semua kebebasan yuridis. Perlu dibedakan dua macam kebebasan
yuridis, tergantung pada dasarnya. Dasarnya bisa hukum kodrat dan hukum positif. Karena
itu kita membedakan kebebasan yuridis yang didasarkan pada hukum kodrat dan kebebasan
yuridis yang didasarkan pada hukum positif.
a. Dengan kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat dimaksudkan
semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terkait begitu erat dengan kodrat
manusia, sehingga tidak pernah boleh diambil dari anggota-anggota masyarakat.
Kebebasan-kebebasan ini tidak boleh dipisahkan daripadanya. Kebebasan-kebebasan ini tidak
diciptakan oleh negara, tapi seolah-olah menjadi milik manusia sebelum ia masuk
masyarakat. Secara kongkret kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat ini
sama dengan hak-hak asasi manusia seperti dirumuskan dalam Deklarasi Universal Tentang
Hak-hak Asasi Manusia. Manusia bebas untuk bekerja, memilih profesinya, mempunyai
milik sendiri, menikah, mendapatkan pendidikan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan
banyak lain lagi. Dalam arti ini pula terdapat kebebasan hati nurani, kebebasan beragama,
kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berkumpul, dan
seterusnya. Dalam undang-undang Dasar banyak negara modern kebebasan-kebebasan
seperti itu dicantumkan secara eksplisit. Juga dalam UUD 1945 sebagian
kebebasan-kebebasan ini disebut dalam pasal 28 dan 29. Tapi itu sekali-kali tidak berarti
bahwa negara hanya terikat karena kebebasan-kebebasan ini dicantumkan dalam
undang-undang Dasar. Sumbernya jauh lebih mendalam, yaitu kodrat manusia sendiri.

b. Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum positif diciptakan oleh negara.


Kebebasan-kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-undangan. Seandainya tidak
dirumuskan, kebebasan-kebebasan yang langsung berasal dari hukum kodrat. Tapi pada
kenyataannya kebebasan-kebebasan yang berdasarkan hukum positif ini hanya merupakan
penjabaran dan perincian kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
Terutama dibidang inilah mudah terjadi bahwa kebebasan beberapa orang atau kebebasan
menurut suatu aspek tertentu mesti dibatasi untuk mencapai kebebasan sebesar mungkin bagi
semua orang. Misalnya peraturan-peraturan lalu lintas diadakan untuk menjamin pemakaian
jalan yang bebas. Orang tidak bebas lagi untuk berjalan dimanapun orang mau mengebut di
jalan raya tidak dapat dibenarkan. Jika mau berbelok ke kiri atau kanan harus diperhatikan
dulu rambu-rambu. Dan banyak aturan lain lagi. Namun pembatasan kebebasan ini perlu
supaya jalan dapat dipakai sebaik mungkin oleh semua orang. Contoh ini kiranya memang
cocok untuk mengilustrasikan jenis kebebasan ini, karena pada kenyataannya di semua
negara peraturan lalu lintas tidak sama. Lalu lintas bisa berjalan disebelah kiri atau disebelah
kanan jalan, cara pengaturan bisa berbeda-beda tapi yang penting ialah bahwa pemakaian
jalan umum diatur, hanya dengan demikian bisa terjamin pemakaian jalan yang bebas. Di
bidang sosial ekonomis dan politik banyak pengaturan bermaksud menciptakan
kebebasan-kebebasan sejenis.

4) Kebebasan Psikologis
Salah satu arti "kebebasan" Yang sangat penting adalah kebebasan psikologis. Dengan
kebebasan psikologis kita maksudkan kemampuan yang dimiliki manusia untuk
mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini menyangkut kehendak,
bahkan merupakan ciri khas nya. Karena itu suatu nama lain untuk kebebasan psikologis
adalah "kehendak bebas" (Free will). Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk berasio. Ia bisa berpikir sebelum bertindak. Dalam tingkah lakunya
ia tidak membabi-buta, melainkan berkelakuan dengan sadar dan pertimbangan sebelumnya.
Jika manusia bertindak bebas, itu berarti ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebabnya
diperbuatnya. Berkat kebebasan ini ia dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya.
Kemungkinan untuk memilih merupakan aspek penting dari kebebasan psikologis, namun itu
tidak berarti bahwa kebebasan ini lebih besar sejauh kemungkinan untuk memilih lebih luas.
Kemungkinan untuk memilih tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan ini.
Misalnya sebagai orang muda saya bebas untuk memilih suatu profesi yang cocok untuk
saya. Saya bisa menjadi dokter dan dengan demikian mengabdi kepada sesama yang
menderita. Karena bakat khusus saya, saya bisa menjadi Seniman dan ikut meningkatkan
keindahan di dunia ini. Saya bisa menjadi insinyur di tanah air. Semua kemungkinan ini
terbentang di depan saya, setelah tamat SMA dengan nilai bagus dan mempunyai orang tua
yang sanggup membiayai studi lanjut tapi kebebasan saya tidak bertambah besar dengan
menangguhkan setiap pilihan. Seorang perawat yang bekerja di rumah sakit dan setiap hari
siap melayani pasien-pasiennnya, jauh lebih bebas daripada seorang bimbang hati yang tidak
mampu mengambil keputusan tentang masa depannya. Kebebasan psikologis memang
dialami lebih jelas pada saat pemilihan. Tapi itu tidak berarti bahwa kebebasan terbatas pada
saat itu saja atau bahwa peranannya paling penting pada ketika itu. Tidak kalah penting
adalah pelaksanaan. Walaupun kebebasan psikologis selalu disertai kemungkinan untuk
memilih dan tidak ada kebebasan kalau tidak ada kemungkinan untuk memilih, namun
pemilihan tidak melupakan hakikat kebebasan psikologis. Yang menjadi hakikat adalah
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Saya adalah bebas dalam arti ini, bila
sayalah yang menentukan diriku dan bukan faktor-faktor dari luar maupun dari dalam.
Kebebasan psikologis adalah auto determinasi: "penentuan aku oleh aku", sebagaimana
dikatakan filsuf Prancis Henri Bergson. Disini "Aku" Adalah subyek dan obyek sekaligus.
Yang menentukan adalah saya yang ditentukan adalah saya juga.

5) Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan dengan kebebasan psikologis namun tidak bisa
disamakan. Kebebasan moral mengandaikan pada kebebasan psikologis, sehingga kebebasan
psikologis tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Cara paling jelas untuk membedakan
kebebasan psikologis dengan kebebasan moral adalah:
1. Kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja (free).
2. Kebebasan moral berarti sukarela (voluntary).
Terdapat kebebasan moral bila orang tidak mengalami tekanan atau paksaan moral
dalam menentukan diri. Contohnya, seorang sandera dipaksa oleh teroris menandatangani
sepucuk surat pernyataan. Secara psikologis perbuatan itu bebas, tetapi dari segi kebebasan
moral perbuatan tersebut tidak bebas karena sandera melakukannya akibat paksaan atau
karena takut dibunuh. Perbuatan itu dilakukan dengan bebas (dalam arti kebebasan
psikologis), tapi tidak dengan suka rela (tidak ada kebebasan moral).

6) Kebebasan Eksistensial
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh
pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup
seluruh eksistensi manusia. Kebebasan eksistensial adalah bentuk kebebasan tertinggi dimana
ia dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif. Orang yang bebas secara eksistensial
seakan-akan “memiliki dirinya sendiri”. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas,
kematangan rohani.
Kebebasan eksistensial ini jarang sekali direalisasikan dengan sempurna. Kebebasan
ini merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada
kehidupan manusia.
Contohnya, seorang seniman dapat dikatakan bebas dalam arti kebebasan eksistensial
bila ia menciptakan lukisan, patung atau barang-barang seni lainnya secara otonom. Ia
mengagumi seniman-seniman besar di masa lampau dan ia menganggap mereka sebagai
contoh teladan, tetapi dalam pekerjaannya ia tidak menjiplak karya mereka. Ia tidak menjadi
budak dari teknik atau materi yang dipergunakannya, tetapi ia betul-betul menguasai teknik
dan materi itu. Ia menjadi seorang seniman yang kreatif dan bebas.

2.1.3 Beberapa Masalah Mengenai Kebebasan


a. Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Terdapat dua aspek yang melekat pada arti kebebasan, yaitu aspek negatif dan positif.
Dua aspek ini bisa dimengerti sebagai “kebebasan dari…” dan “kebebasan untuk…”.
Kebebasan paling mudah dimengerti dengan cara negatif (kebebasan dari…). Hal itu mudah
dilihat pada arti-arti kebebasan yang telah dibahas sebelumnya.
● Yang bebas adalah orang yang terlepas dari paksaan fisik (kebebasan fisik).
● Yang bebas juga adalah orang yang tidak dirampas hak-haknya (kebebasan yuridis).
● Yang bebas juga adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis (kebebasan
psikologis).
● Yang bebas pula adalah orang yang terlepas dari paksaan moral (kebebasan moral).
● Akhirnya, yang bebas adalah orang yang terlepas dari inotentisitas dan keterasingan
(kebebasan eksistensial).
Menjelaskan kebebasan secara positif lebih sulit daripada menjelaskan kebebasan
secara negatif. “Kebebasan untuk…” harus diisi oleh manusia itu sendiri. Kesulitan ini tidak
terbatas pada kebebasan individual saja. Kebebasan sosial-politik pun sulit dijelaskan secara
positif.

b. Batas-batas Kebebasan
Kebebasan memiliki beberapa batasan-batasan dalam pelaksanaannya antara lain:
1) Faktor-faktor dari dalam
Kebebasan pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun
psikis. Singkatnya selalu ada struktur badani dan psikis tertentu yang sangat membatasi
kemungkinan-kemungkinan seseorang.
2) Lingkungan
Kebebasan dibatasi juga oleh lingkungan, baik alamiah maupun sosial. Seperti
Indonesia tidak bebas menjadi pusat olahraga ski, karena hawanya tropis. Anak yang berasal
dari keluarga yang berekonomi sulit tidak bebas mengemban pendidikan yang layak.
3) Kebebasan orang lain
Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pembatasan ini
berkonsekuensi paling besar bagi etika, inilah alasan utama mengapa diperlukan tatanan
moral diantara manusia. Mengakui kebebasan orang lain berarti menghormati hak-haknya.
4) Generasi-generasi mendatang
Kebebasan dibatasi oleh masa depan umat manusia atau generasi sesudah kita.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan menguasai dan mengeksploitasi alam harus
dibatasi untuk dasar hidup generasi mendatang atau sustainable development.

c. Kebebasan dan Determinisme


Dengan 'Determinisme' dimaksudkan di sini suatu sifat yang menandai alam. Maksudnya,
kejadian-kejadian dalam alam berkaitan satu sama lain menurut keterikatan yang tetap,
sehingga kejadian satu pasti mengakibatkan kejadian lain. Bila suhu menurun di bawah 0°
Celcius, pasti air membeku menjadi es. Bila dipanasi sampai 100° Celcius, pasti air akan
mendidih. Bila di dekatnya dengan api, pasti bensin akan menyala. Keterikatan ini
memperlihatkan skema 'kalau A, maka B' (Kalau suhu rendah, maka air menjadi es). Ilmu
pengetahuan alam hanya mungkin karena determinisme alam ini. Determinisme alam
merupakan syarat mutlak supaya bisa dirumuskan hukum-hukum alam.

Dalam batas batas tertentu ilmu ilmu manusia memang bisa merumuskan hukum hukum
dan akibatnya juga membuat ramalan. Ekonomis misalnya adalah ilmu yang cukup
berhasil dalam hal ini. Tapi apakah itu berarti bahwa tingkah laku manusia tidak bebas?
Kesimpulan terakhir ini tidak pada tempatnya. Hal itu bisa menjadi lebih jelas, jika kita
melihat mengapa ilmu ilmu manusia dapat merumuskan hukum hukum tetap. Hukum
hukum yang dihasilkan oleh ilmu ilmu manusia dimungkinkan karena tiga alasan.
Pertama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kebebasan manusia itu terbatas. Ada faktor
faktor dari luar yang membatasi kebebasan (lingkungan,pendidikan) dan faktor faktor lain
membatasi dari dalam (bakat,watak,sikap). Kedua, sering kali manusia tidak menggunakan
kebebasannya. Ia merasa lebih senang atau barangkali lebih aman untuk berperilaku
menurut rutin,kebiasaan, atau adat. Ketiga, ini merupakan alasan yang paling penting,
kebebasan tidak berarti bahwa perbuatan manusia tidak ditentukan. Kebebasan, sudah kita
lihat, adalah auto determinasi: kehendak yang menentukan dirinya sendiri.

Bersama dengan E.F. Schumacher dapat kita bedakan empat tahap kemungkinan untuk
mengadakan ramalan dalam konteks tingkah laku manusia. Dengan itu hubungan antara
determinisme dan kebebasan dilukiskan dengan baik

* Dalam alam di luar manusia pada prinsipnya terdapat kemungkinan sepenuhnya untuk
mengadakan ramalan. Kemungkinan itu hanya dibatasi oleh keterbatasan pengetahuan dan
teknik manusia. Misalnya, seandainya kita tahu persis semua faktor yang menentukan
cuaca, kita bisa meramalkan dengan tepat cuaca hari besok di suatu daerah tertentu, kita
bisa meramalkan panjangnya musim kemarau dan seterusnya. Tapi sayangnya sampai kini
kita belum mengetahui semua faktor itu dengan eksakta
* Kemungkinan untuk meramal adalah relatif besar dalam kaitan dengan pola-pola tingkah
laku kelompok besar manusia yang melakukan hal-hal "normal" atau yang berkelakuan
secara rutin. Di sini terjadi bahwa manusia mengikuti motif-motif yang berlaku bagi
masyarakat kebanyakan, seperti membeli barang dengan harga semurah mungkin.
* Kemungkinan hampir sepenuhnya untuk meramal ditemukan pada perbuatan-perbuatan
manusia yang dijalankan menurut suatu rencana. Di sini manusia sengaja menyingkirkan
kebebasan lebih lanjut. Jika guru dan pelajar setiap pagi masuk kelas pukul tujuh, itu tidak
berarti mereka tidak bebas. Itu hanya berarti bahwa mereka tunduk pada jadwal yang
diterima dengan bebas.
* Keputusan yang diambil manusia perorangan pada prinsipnya tidak bisa diramalkan,
terutama kalau keputusan itu menyangkut suatu hal penting. Sulit untuk diramalkan
apakah seorang politikus akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam pemilihan
presiden baru. Setinggi-tingginya dapat kita usahakan turut mempertimbangkan
motif-motif yang sedang dipertimbangkan oleh orang itu.

2.2 Tanggung Jawab


Dalam pemakaian kata “tanggung jawab” ada kaitannya dengan “jawab”.
Bertanggung jawab artinya : dapat menjawab bahkan harus bisa memberi jawab bila ditanyai
tentang perbuatannya. Jawaban itu harus diberikan kepada diri sendiri, orang lain, masyarakat
luas bahkan kepada Tuhan

2.2.1 Tanggung Jawab dan Kebebasan


Dalam “tanggung jawab” terkait pengertian “penyebab” yang artinya orang
bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Tetapi, untuk bertanggung
jawab, tidaklah cukuplah orang menjadi penyebab, perlu juga orang menjadi penyebab
bebas. Kebebasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab.

2.2.2 Tingkat-tingkat Tanggung Jawab


Kebebasan dan tanggung jawab saling berhubungan, kalau tidak ada kebebasan maka
tidak ada tanggung jawab. Tapi karena kebebasan kita bisa kurang atau lebih, demikin
tanggung jawab ada tingkat-tingkatnya. Bisa saja dalam kasus yang yang sama (contohnya
pencurian), tanggung jawab yang satu bisa lebih ringan daripada yang lainnya. Hal ini
dikarenakan beberapa aspek yang melatarbelakanginya, untuk itu kita bisa membahas
beberapa kasus berikut ini lalu mempelajari derajat tanggung jawabnya :

1) Ali mencuri, tapi tidak tahu bahwa ia mencuri.


Ali keliru mengambil tas karena tas itu mirip dengan tasnya. Ternyata tas itu milik
orang lain dan di dalamnya ada uang satu juta rupiah. Dalam kasus ini, ia tidak bebas dan
tidak bertanggung jawab dalam melakukan tindak “pencurian” itu karena perbuatan itu
tidak dilakukan dengan sengaja. Namun, Perbuatannya bisa dikatakan sebagai pencurian jika
Ia yang sudah sadar akan kekeliruannya malah menganggap uang itu miliknya. Disitulah ada
kebebasan yang cukup besar untuk memulangkan atau tidak dan Ali bisa dituntut
pertanggungjawabannya. Supaya Ali tidak bertanggung jawab, mestinya ia melapor kepihak
yang berwajib atau mencari cara lain mencari pemilik yang berhak atas tas itu..

2) Budi mencuri karena dia seorang kleptoman.


Kleptomania adalah kelainan Psikis pada seseorang yang membuatnya mengalami
paksaan batin untuk mencuri. Disini Budi tidak ada kebebasan Psikologis dan akibatnya ia
tidak bertanggung jawab. Tetapi jika perbuatannya tidak sungguh- sungguh dari
kleptomania, maka dia punya keputusan yang bebas dan dikenakan pertanggungjawaban
walaupun bobot tanggung jawabnya kurang dibandingkan orang yang “normal”

3) Cipluk Mencuri, karena dalam hal ini ia sangka boleh mencuri.


Cipluk ini seorang janda yang memiliki 5 anak yang masih kecil. Mereka sudah
beberapa hari tidak makan karena uang mereka sudah habis. Cipluk sudah mencoba semua
cara untuk mendapatkan uang tetapi selalu gagal. Suatu ketika, terdapat kesempatan emas
untuk mendapatkan uang walau Cipluk tahu mencuri itu tidak boleh. Cipluk mengalami
konflik kewajiban, yaitu kewajiban untuk menghormati hak orang lain dan caranya adalah
tidak mencuri, kewajiban lainnya adalah Cipluk adalah seorang Ibu yang berkewajiban
memperjuangkan keselamatan anaknya. Cipluk memprioritaskan kewajibannya sebagai ibu
dan melakukan pencurian. Disini Cipluk melakukan perbuatannya secara bebas dan
karena itu ia bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Tapi jika dipandang dari sudut
etika, dalam hal ini Cipluk tidak bersalah.

4) Darso mencuri, karena dipaksa orang lain dan nyawanya terancam.


Darso dipaksa majikannya untuk mencuri tas berisi uang didalam kamar seseorang.
Postur tubuh Darso yang cocok membuatnya terus dipaksa dan akan disiksa kalau dia
menolak. Akibatnya, Ia mau tidak mau mencuri daripada nyawanya terancam. Dalam Kasus
ini, Darso tidak bebas (dalam arti kebebasan moral) dan tidak bertanggung jawab atas
perbuatannya.

5) Eko mencuri karena tidak bisa mengendalikan nafsunya.


Eko sudah lama mendambakan pesawat televisi berwarna tapi tidak punya uang yang
cukup sehingga saat ada kesempatan emas untuk mendapatkan uang, Ia melakukan tindak
pencurian untuk memuaskan nafsunya (memiliki pesawat televisi berwarna). Disini ia
bertindak bebas dan karena itu ia bertanggung jawab. Tetapi bisa saja kebebasan Eko
dikurangi dan tanggung jawabnya dikurangi pula jika latar belakang keluarganya adalah
pencuri yang berpikir mencuri itu adalah hal yang biasa atau jika Eko memakai narkotika dan
tidak bisa melawan kecanduannya sehingga mencuri.

Dari kasus diatas, kita tahu bahwa menentukan bertanggung jawab tidaknya seseorang
adalah hal yang tidak mudah dan sulit sekali memastikan tingkat-tingkat tanggung jawab itu.
Sebenarnya hanya orang yang bersangkutan sendiri dan Tuhannya yang dapat mengetahui
dalam suatu kasus ia bertanggung jawab sejauh mana. Namun, tanggung jawab itu perlu
dipastikan oleh orang lain khususnya pengadilan. Bisa saja penjahat dikurangi hukumannya
karena sebagian ia tidak bebas (misalnya Kleptomania), dan dia akan tetap dihukum tapi
hukumannya akan lebih ringan. Karena itu, Instansi kehakiman perlu bantuan jasa Psikiatri
untuk menentukan apakah seseorang melakukan tindak kejahatan karena tidak melawan
dorongan batinnya atau tidak bisa melawan dorongan batinnya.

2.2.3 Masalah Tanggung Jawab Kolektif


Tanggung jawab kolektif merupakan tanggung jawab yang dilakukan sebagai
kelompok atau keseluruhan, tidak secara pribadi. Contoh tanggung jawab kolektif yaitu
peristiwa perkelahian massal antara suporter sepak bola Inggris dengan Italia dalam rangka
pertandingan Piala Champions bulan Mei 1985 yang menelan 39 korban jiwa warga negara
Italia. Pemerintah London merasa bersalah dan menawarkan ganti rugi. Tanggung jawab
bangsa Inggris disebut sebagai tanggung jawab kolektif karena Inggris menerima tanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukan beberapa warganya.
Sulit untuk menerima tanggung jawab moral yang kolektif karena seseorang belum
tentu bersedia bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Bagaimanapun
juga, tidak masuk akal suatu bangsa bertanggung jawab sebagai bangsa, tanggung jawab
selalu berkaitan dengan kebebasan pribadi. Rasa tanggung jawab kolektif ada karena alasan
psikologis seperti suatu kelompok terikat atas faktor-faktor afektif (famili atau bangsa yang
sama), solidaritas dan faktor sejarah maupun tradisi. Karena alasan-alasan ini lah suatu
kelompok bisa merasa bertanggung jawab walaupun bukan dirinya yang melakukan
melainkan beberapa anggotanya.
Rasa tanggung jawab kolektif sangatlah baik dan terpuji. Seperti pada contoh diatas
tadi, tidak bisa diharapkan pemberian ganti rugi dari pelakunya sebab tidak dapat dipastikan
secara spesifik siapa pelakunya dan apa yang dilakukan, hanya diketahui pasti suporter
Inggris. Oleh karena itu Inggris memberi ganti rugi untuk menjaga nama baik bangsanya.
Tanggung jawab kolektif juga dapat di salah gunakan oleh pelaku sebenarnya untuk
melarikan diri dari kewajiban bertanggung jawab.
BAB III
KASUS
3.1 Contoh Kasus
Muhammad Raihan, bocah berusia 10 tahun yang diduga korban malpraktik dari
Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH). Pada hari Sabtu, 22 September 2012, pukul
04.00 WIB Raihan dibawa oleh Ibundanya, Oti Puspa Dewi, ke Rumah Sakit Medika
Permata Hijau (RSMPH) Jakarta dengan maksud untuk mendapatkan pengobatan atas sakit
yang diderita Raihan. Penanganan awal ditangani oleh bagian IGD Rumah Sakit Medika
Permata Hijau (MPH) Jakarta. Setelah pihak IGD melakukan tindakan, selanjutnya Raihan
dimasukkan di ruang rawat inap anak di lantai 5 Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH)
Jakarta. Sekitar pukul 10.00 WIB, Dokter spesialis Anak melakukan kunjungan pada Raihan
dan melakukan diagnosa awal dan menduga Raihan mengalami sakit usus buntu. Sekitar
pukul 13.00 WIB, Ibunda Raihan melakukan konsultasi ke dokter Bedah Umum dan
mendapat penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh Raihan adalah usus buntu dan
disampaikan secara mendesak agar segera dilakukan tindakan operasi. Pukul 13.30 WIB,
terjadi pembicaraan via telepon antara ayahanda Raihan, Muhammad Yunus (yang sedang
berada di Kalimantan Selatan) dengan dokter bedah umum Rumah Sakit Medika Permata
Hijau (MPH) Jakarta yang telah menyarankan untuk segera dilakukan operasi pada Raihan.
Muhammad Yunus pun menanyakan mengapa anaknya harus segera dioperasi. Dijelaskan
oleh dokter bedah umum bahwa Raihan mengalami usus buntu akut yang secepatnya untuk
segera dioperasi, jika tidak dioperasi dikhawatirkan akan terjadi infeksi. Dalam pembicaraan
via telepon antara Yunus dengan dokter bedah umum tersebut, Yunus memohon kepada
dokter tersebut untuk dilakukan semacam second opinion atas dugaan usus buntunya Raihan.
Dan sekalian meminta dirawat inapkan terlebih dahulu guna dilakukan observasi lebih lanjut
atas dugaan dokter tersebut. Namun, dokter bedah umum tersebut tetap menyatakan Raihan
menderita usus buntu akut dan harus sesegera mungkin diambil langkah operasi sore hari itu
juga. Muhammad Yunus menanyakan apa efek yang akan terjadi jika dilakukan operasi dan
jika tidak dilakukan operasi secepat itu seperti permintaan dokter bedah tersebut. Dokter
tersebut menjawab, bahwa operasi yang akan dilakukan Raihan adalah operasi kecil dan biasa
dilakukan oleh dokter tersebut. Lalu 2 atau 3 hari setelah operasi dokter meyakinkan bahwa
Raihan sudah bisa pulang. Namun jika tidak segera dioperasi, dikhawatirkan akan terjadi
infeksi atau pecah dan kemungkinan bisa menjadi operasi besar. Bukan hanya Yunus yang
meminta untuk tidak dilakukan operasi tersebut, istrinya Oti Puspa Dewi juga melakukan hal
yang sama. Oti meminta untuk dilakukan pemeriksaan berupa dilakukannya USG untuk
melihat kebenaran dugaan tersebut, namun tidak dilakukan oleh dokter tersebut dan
menyatakan tidak perlu. Karena menurut pengalamannya, hal ini umum terjadi dan sudah 99
persen usus buntu akut. Penolakan awal untuk tidak segera dilakukan operasi tersebut
mengingat kondisi psikologis Raihan, terlebih saat itu ayahnya sedang tidak berada di
sampingnya. Dan orangtua Raihan merasa bahwa hal ini tidak separah dugaan dokter tersebut
sambil menunggu kepulangan ayahnya dari Kalimantan. Sekitar pukul 16.00 s/d selesai
Akhirnya setelah menerima keyakinan dokter tersebut dan harapan terbaik untuk Raihan,
operasi pada Raihan dilakukan dengan dokter yang terlibat dalam operasi itu adalah dokter
bedah umum dan dokter anestesi. Sekitar pukul 18.00 Tiba-tiba ibunda Raihan, Oti Puspa
Desi, dipanggil ke dalam ruang operasi untuk melihat Raihan yang sudah dalam keadaan
kritis dan terkulai tidak sadarkan diri tanpa adanya pertolongan yang maksimal. Pihak
keluarga pun akhirnya menyangsikan kelengkapan peralatan di ruangan operasi tersebut.

3.2 Pembahasan
DA

Anda mungkin juga menyukai