FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN 2022
NO. NAMA NIM NILAI NILAI
INDIVIDU KELOMPOK
1. JOICE RUT CAHAYA 221301029
MALAU
2. SOFIA ZAHRA 221301030
HARAHAP
3. RAYHAN RIVALDO 221301031
4. OLGA RAINES .S 221301032
5. NURUL HIKMAH 221301033
6. APRIANI LAUREN 221301034
SIMBOLON
7. ICA CARNAVALIN 221301035
PURBA
8. ASNITA RAMADANI .S 221301036
9. DEVIN FAYZUL HAQ 221301093
GINTING
10. FEBIAN UNTARI 221301094
KATA PENGANTAR
Puji syukur tim penyusun sampaikan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat, karunia serta kasih sayangNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebebasan dan Tanggung Jawab” ini dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kasus/kegiatan
sehari-hari yang melibatkan Kebebasan dan Tanggung Jawab dan kaitannya dengan teori
yang dipelajari, serta untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Kode Etik
Psikologi. Pada kesempatan ini tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bu Dr.
Gustiarti Leila, Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Kode Etik Psikologi dan
seluruh pihak yang telah memberikan dukungan terhadap pembuatan makalah ini.
Meskipun telah berusaha menyelesaikan makalah ini dengan baik, kami menyadari
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca agar kami dapat meningkatkan kualitas serta
menyempurnakan segala kekurangan yang ada di dalam penyusunan makalah sebagaimana
mestinya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi tim penyusun dan para pembaca.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebebasan serta tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dihadapi manusia
merupakan suatu proses untuk membentuk dan menjadi dirinya sendiri. Kemampuan untuk
melakukan dan membuat suatu pilihan bebas akan menjadi tak berguna jika ia sendiri tidak
dapat mengetahui dan memahami pilihan yang baik. Seseorang dapat membuat pertimbangan
yang dapat membedakan pilihan yang baik dari yang buruk berdasarkan hati nuraninya.
Sebagai prasyarat yang esensial dari moral yang benar dan salah, hati nurani merupakan
prinsip dasar yang eksistensial dari suatu pilihan bebas.
b. Kebebasan Individual
Bagi etika umum lebih penting adalah kebebasan individual. Karena itu untuk
selanjutnya topik yang akan dibahas adalah tentang kebebasan individual saja. Kita mulai
dengan menganalisis beberapa arti kebebasan yang dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Kesewenang-wenangan
Terkadang kebebasan diartikan sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness). Kalau
begitu, orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini
“bebas” dipahami sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Kebebasan dalam
arti ini sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat semau gue.
Kalau tidak berpikir lebih panjang, banyak orang cenderung menerima pengertian
kebebasan ini. Atas pertanyaan “saya bebas, jika saya bisa melakukan apa saja yang saya
mau”. Kesan spontan ini disebabkan, karena orang mencampuradukkan kebebasan dengan
merasa bebas. Bila sekolahnya libur, seorang pelajar sungguh-sungguh merasa bebas. Ia
tidak terikat oleh kewajiban apa pun. Ia bisa melakukan banyak hal yang menjadi pantangan
waktu sekolah, seperti tidur hingga siang, main bulu tangkis sepuas-puasnya, mengunjungi
pamannya di luar kota, dan seribu satu hal lain lagi. Akan tetapi, apakah isi kebebasan hanya
itu?
Kalau kita berefleksi lebih mendalam, akan tampak bahwa kebebasan tidak bisa
disamakan dengan merasa bebas atau merasa dilepaskan dari segala macam ikatan sosial dan
moral.
Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut
“kebebasan”. Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Karena “bebas” sesungguhnya tidak
berarti “lepas dari segala keterikatan”. Dengan demikian penyelidikan singkat ini sudah
membawa kesimpulan yang sangat berharga yaitu kebebasan tidak bertentangan dengan
keterikatan. Sebaliknya, kebebasan yang sejati ialah mengandaikan keterikatan oleh
norma-norma.
2) Kebebasan Fisik
Dalam kebebasan fisik, di sini “bebas” berarti tidak ada paksaan atau rintangan dari
luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa bergerak ke mana saja ia mau
tanpa hambatan apa pun.
Kalau hanya itulah yang kita maksudkan dengan “ bebas” maka pengertian kita
tentang kebebasan masih terlalu dangkal. Bisa saja orang tidak menikmati kebebasan fisik,
namun sungguh-sungguh bebas. Banyak pahlawan pernah ditahan dan mereka tetap bebas
sepenuh-penuhnya. Memang benar apa yang dikatakan Friedrich Schiller, penyair Jerman
akhir abad ke-18. Ia mengatakan “Manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas, sekalipun
lahir terbelenggu”. Tidak adanya kebebasan fisik bisa disertai adanya kebebasan dalam arti
lebih mendalam. Dan sebaliknya, kalau orang dapat bergerak dengan cara bebas, hal itu
belum menjamin bahwa ia bebas sungguh-sungguh.
Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud sebuah arti kebebasan yang
sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti
kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka
kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu. Kebebasan ini sangat bermanfaat dan sangat
dibutuhkan untuk menjadi orang yang bebas dalam arti yang sebenarnya.
3) Kebebasan Yuridis
Arti "kebebasan" lain dapat disebut kebebasan yuridis, sebab akan kita lihat lagi
berkaitan erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum. Sebenarnya kebebasan yuridis
ini merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia, dalam Deklarasi Universal tentang
Hak-hak Asasi Manusia (1948) dan juga dalam dokumen-dokumen lain tentang hak-hak
manusia berulang kali dibicarakan tentang "hak-hak dan kebebasan-kebebasan". Tidak
mengherankan bahwa hak-hak disini disebut bersamaan dengan kebebasan, karena setiap hal
mengandung kemungkinan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dengan bebas dan
tak terganggu. Disini kita akan membahas hal dari segi kebebasan. Yang dimaksud dengan
kebebasan dalam arti ini adalah Syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita
dapat menjalankan kebebasan kita secara konkret. Dapat dikatakan juga yang dimaksud
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat mengembangkan
Kemungkinan-kemungkinannya dengan semestinya. Kebebasan-kebebasan yuridis ini
menandai situasi kita sebagai manusia. Kebebasan manusiawi tidak menciptakan (seperti
halnya dengan kebebasan Tuhan). Kebebasan kita bersifat berhingga dan karena itu
membutuhkan lingkup gerak di mana ia bisa dijalankan. Kebebasan kita memperoleh nilai
lebih besar, sejauh wilayah dimana kita dapat mewujudkannya, lebih besar pula. Sebuah
contoh dapat menjelaskan hal ini. Lingkup kebebasan seorang yang menyandang tunanetra
tentu kurang luas, dibandingkan dengan kita yang dapat melihat. Suatu dimensi seluruhnya
tidak berperanan sama sekali dalam hidupnya dan akibatnya di bidang itu ia tidak dapat
mewujudkan kebebasannya yaitu dimensi visual. Seni lukis, film televisi, fotografi, warna,
pemandangan alam, ekspresi pada wajah seluruh "dunia visual" Itu bagi dia tidak ada. Orang
tunanetra tidak bebas untuk menjadi pelukis atau sutradara, umpamanya. Dengan contoh ini
kita telah memandang berkurangnya lingkup kebebasan yang tidak dikuasai oleh manusia.
Bahwa seseorang dilahirkan buta atau dapat melihat merupakan nasib yang harus diterima
begitu saja. Tetapi tidak jarang tergantung dari manusia sendirilah apakah dia mau menjamin
dan mengadakan lingkup kebebasan yang sama bagi semua orang. Dengan
kebebasan-kebebasan yuridis ini dimaksudkan semua syarat hidup di bidang ekonomis, sosial
dan politik yang diperlukan untuk menjalankan kebebasan manusia secara kongkret dan
mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang terpendam dalam setiap manusia. Peranan
negara disini sangat penting, karena negara, yang bertujuan mengupayakan kesejahteraan
umum, harus menjamin dan memajukan kebebasan-kebebasan ini, hal itu akan dilakukannya
dengan membuat undang-undang yang cocok bagi keadaan kongkret. Namun peranan negara
tidak sama terhadap semua kebebasan yuridis. Perlu dibedakan dua macam kebebasan
yuridis, tergantung pada dasarnya. Dasarnya bisa hukum kodrat dan hukum positif. Karena
itu kita membedakan kebebasan yuridis yang didasarkan pada hukum kodrat dan kebebasan
yuridis yang didasarkan pada hukum positif.
a. Dengan kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat dimaksudkan
semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terkait begitu erat dengan kodrat
manusia, sehingga tidak pernah boleh diambil dari anggota-anggota masyarakat.
Kebebasan-kebebasan ini tidak boleh dipisahkan daripadanya. Kebebasan-kebebasan ini tidak
diciptakan oleh negara, tapi seolah-olah menjadi milik manusia sebelum ia masuk
masyarakat. Secara kongkret kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat ini
sama dengan hak-hak asasi manusia seperti dirumuskan dalam Deklarasi Universal Tentang
Hak-hak Asasi Manusia. Manusia bebas untuk bekerja, memilih profesinya, mempunyai
milik sendiri, menikah, mendapatkan pendidikan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan
banyak lain lagi. Dalam arti ini pula terdapat kebebasan hati nurani, kebebasan beragama,
kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berkumpul, dan
seterusnya. Dalam undang-undang Dasar banyak negara modern kebebasan-kebebasan
seperti itu dicantumkan secara eksplisit. Juga dalam UUD 1945 sebagian
kebebasan-kebebasan ini disebut dalam pasal 28 dan 29. Tapi itu sekali-kali tidak berarti
bahwa negara hanya terikat karena kebebasan-kebebasan ini dicantumkan dalam
undang-undang Dasar. Sumbernya jauh lebih mendalam, yaitu kodrat manusia sendiri.
4) Kebebasan Psikologis
Salah satu arti "kebebasan" Yang sangat penting adalah kebebasan psikologis. Dengan
kebebasan psikologis kita maksudkan kemampuan yang dimiliki manusia untuk
mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini menyangkut kehendak,
bahkan merupakan ciri khas nya. Karena itu suatu nama lain untuk kebebasan psikologis
adalah "kehendak bebas" (Free will). Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk berasio. Ia bisa berpikir sebelum bertindak. Dalam tingkah lakunya
ia tidak membabi-buta, melainkan berkelakuan dengan sadar dan pertimbangan sebelumnya.
Jika manusia bertindak bebas, itu berarti ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebabnya
diperbuatnya. Berkat kebebasan ini ia dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya.
Kemungkinan untuk memilih merupakan aspek penting dari kebebasan psikologis, namun itu
tidak berarti bahwa kebebasan ini lebih besar sejauh kemungkinan untuk memilih lebih luas.
Kemungkinan untuk memilih tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan ini.
Misalnya sebagai orang muda saya bebas untuk memilih suatu profesi yang cocok untuk
saya. Saya bisa menjadi dokter dan dengan demikian mengabdi kepada sesama yang
menderita. Karena bakat khusus saya, saya bisa menjadi Seniman dan ikut meningkatkan
keindahan di dunia ini. Saya bisa menjadi insinyur di tanah air. Semua kemungkinan ini
terbentang di depan saya, setelah tamat SMA dengan nilai bagus dan mempunyai orang tua
yang sanggup membiayai studi lanjut tapi kebebasan saya tidak bertambah besar dengan
menangguhkan setiap pilihan. Seorang perawat yang bekerja di rumah sakit dan setiap hari
siap melayani pasien-pasiennnya, jauh lebih bebas daripada seorang bimbang hati yang tidak
mampu mengambil keputusan tentang masa depannya. Kebebasan psikologis memang
dialami lebih jelas pada saat pemilihan. Tapi itu tidak berarti bahwa kebebasan terbatas pada
saat itu saja atau bahwa peranannya paling penting pada ketika itu. Tidak kalah penting
adalah pelaksanaan. Walaupun kebebasan psikologis selalu disertai kemungkinan untuk
memilih dan tidak ada kebebasan kalau tidak ada kemungkinan untuk memilih, namun
pemilihan tidak melupakan hakikat kebebasan psikologis. Yang menjadi hakikat adalah
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Saya adalah bebas dalam arti ini, bila
sayalah yang menentukan diriku dan bukan faktor-faktor dari luar maupun dari dalam.
Kebebasan psikologis adalah auto determinasi: "penentuan aku oleh aku", sebagaimana
dikatakan filsuf Prancis Henri Bergson. Disini "Aku" Adalah subyek dan obyek sekaligus.
Yang menentukan adalah saya yang ditentukan adalah saya juga.
5) Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan dengan kebebasan psikologis namun tidak bisa
disamakan. Kebebasan moral mengandaikan pada kebebasan psikologis, sehingga kebebasan
psikologis tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Cara paling jelas untuk membedakan
kebebasan psikologis dengan kebebasan moral adalah:
1. Kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja (free).
2. Kebebasan moral berarti sukarela (voluntary).
Terdapat kebebasan moral bila orang tidak mengalami tekanan atau paksaan moral
dalam menentukan diri. Contohnya, seorang sandera dipaksa oleh teroris menandatangani
sepucuk surat pernyataan. Secara psikologis perbuatan itu bebas, tetapi dari segi kebebasan
moral perbuatan tersebut tidak bebas karena sandera melakukannya akibat paksaan atau
karena takut dibunuh. Perbuatan itu dilakukan dengan bebas (dalam arti kebebasan
psikologis), tapi tidak dengan suka rela (tidak ada kebebasan moral).
6) Kebebasan Eksistensial
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh
pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup
seluruh eksistensi manusia. Kebebasan eksistensial adalah bentuk kebebasan tertinggi dimana
ia dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif. Orang yang bebas secara eksistensial
seakan-akan “memiliki dirinya sendiri”. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas,
kematangan rohani.
Kebebasan eksistensial ini jarang sekali direalisasikan dengan sempurna. Kebebasan
ini merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada
kehidupan manusia.
Contohnya, seorang seniman dapat dikatakan bebas dalam arti kebebasan eksistensial
bila ia menciptakan lukisan, patung atau barang-barang seni lainnya secara otonom. Ia
mengagumi seniman-seniman besar di masa lampau dan ia menganggap mereka sebagai
contoh teladan, tetapi dalam pekerjaannya ia tidak menjiplak karya mereka. Ia tidak menjadi
budak dari teknik atau materi yang dipergunakannya, tetapi ia betul-betul menguasai teknik
dan materi itu. Ia menjadi seorang seniman yang kreatif dan bebas.
b. Batas-batas Kebebasan
Kebebasan memiliki beberapa batasan-batasan dalam pelaksanaannya antara lain:
1) Faktor-faktor dari dalam
Kebebasan pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun
psikis. Singkatnya selalu ada struktur badani dan psikis tertentu yang sangat membatasi
kemungkinan-kemungkinan seseorang.
2) Lingkungan
Kebebasan dibatasi juga oleh lingkungan, baik alamiah maupun sosial. Seperti
Indonesia tidak bebas menjadi pusat olahraga ski, karena hawanya tropis. Anak yang berasal
dari keluarga yang berekonomi sulit tidak bebas mengemban pendidikan yang layak.
3) Kebebasan orang lain
Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pembatasan ini
berkonsekuensi paling besar bagi etika, inilah alasan utama mengapa diperlukan tatanan
moral diantara manusia. Mengakui kebebasan orang lain berarti menghormati hak-haknya.
4) Generasi-generasi mendatang
Kebebasan dibatasi oleh masa depan umat manusia atau generasi sesudah kita.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan menguasai dan mengeksploitasi alam harus
dibatasi untuk dasar hidup generasi mendatang atau sustainable development.
Dalam batas batas tertentu ilmu ilmu manusia memang bisa merumuskan hukum hukum
dan akibatnya juga membuat ramalan. Ekonomis misalnya adalah ilmu yang cukup
berhasil dalam hal ini. Tapi apakah itu berarti bahwa tingkah laku manusia tidak bebas?
Kesimpulan terakhir ini tidak pada tempatnya. Hal itu bisa menjadi lebih jelas, jika kita
melihat mengapa ilmu ilmu manusia dapat merumuskan hukum hukum tetap. Hukum
hukum yang dihasilkan oleh ilmu ilmu manusia dimungkinkan karena tiga alasan.
Pertama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kebebasan manusia itu terbatas. Ada faktor
faktor dari luar yang membatasi kebebasan (lingkungan,pendidikan) dan faktor faktor lain
membatasi dari dalam (bakat,watak,sikap). Kedua, sering kali manusia tidak menggunakan
kebebasannya. Ia merasa lebih senang atau barangkali lebih aman untuk berperilaku
menurut rutin,kebiasaan, atau adat. Ketiga, ini merupakan alasan yang paling penting,
kebebasan tidak berarti bahwa perbuatan manusia tidak ditentukan. Kebebasan, sudah kita
lihat, adalah auto determinasi: kehendak yang menentukan dirinya sendiri.
Bersama dengan E.F. Schumacher dapat kita bedakan empat tahap kemungkinan untuk
mengadakan ramalan dalam konteks tingkah laku manusia. Dengan itu hubungan antara
determinisme dan kebebasan dilukiskan dengan baik
* Dalam alam di luar manusia pada prinsipnya terdapat kemungkinan sepenuhnya untuk
mengadakan ramalan. Kemungkinan itu hanya dibatasi oleh keterbatasan pengetahuan dan
teknik manusia. Misalnya, seandainya kita tahu persis semua faktor yang menentukan
cuaca, kita bisa meramalkan dengan tepat cuaca hari besok di suatu daerah tertentu, kita
bisa meramalkan panjangnya musim kemarau dan seterusnya. Tapi sayangnya sampai kini
kita belum mengetahui semua faktor itu dengan eksakta
* Kemungkinan untuk meramal adalah relatif besar dalam kaitan dengan pola-pola tingkah
laku kelompok besar manusia yang melakukan hal-hal "normal" atau yang berkelakuan
secara rutin. Di sini terjadi bahwa manusia mengikuti motif-motif yang berlaku bagi
masyarakat kebanyakan, seperti membeli barang dengan harga semurah mungkin.
* Kemungkinan hampir sepenuhnya untuk meramal ditemukan pada perbuatan-perbuatan
manusia yang dijalankan menurut suatu rencana. Di sini manusia sengaja menyingkirkan
kebebasan lebih lanjut. Jika guru dan pelajar setiap pagi masuk kelas pukul tujuh, itu tidak
berarti mereka tidak bebas. Itu hanya berarti bahwa mereka tunduk pada jadwal yang
diterima dengan bebas.
* Keputusan yang diambil manusia perorangan pada prinsipnya tidak bisa diramalkan,
terutama kalau keputusan itu menyangkut suatu hal penting. Sulit untuk diramalkan
apakah seorang politikus akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam pemilihan
presiden baru. Setinggi-tingginya dapat kita usahakan turut mempertimbangkan
motif-motif yang sedang dipertimbangkan oleh orang itu.
Dari kasus diatas, kita tahu bahwa menentukan bertanggung jawab tidaknya seseorang
adalah hal yang tidak mudah dan sulit sekali memastikan tingkat-tingkat tanggung jawab itu.
Sebenarnya hanya orang yang bersangkutan sendiri dan Tuhannya yang dapat mengetahui
dalam suatu kasus ia bertanggung jawab sejauh mana. Namun, tanggung jawab itu perlu
dipastikan oleh orang lain khususnya pengadilan. Bisa saja penjahat dikurangi hukumannya
karena sebagian ia tidak bebas (misalnya Kleptomania), dan dia akan tetap dihukum tapi
hukumannya akan lebih ringan. Karena itu, Instansi kehakiman perlu bantuan jasa Psikiatri
untuk menentukan apakah seseorang melakukan tindak kejahatan karena tidak melawan
dorongan batinnya atau tidak bisa melawan dorongan batinnya.
3.2 Pembahasan
DA