Anda di halaman 1dari 8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kebebasan 2
B. Tanggung Jawab 3
C. Hati Nurani 4
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 6
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti selalu menginginkan kebebasan dalam hidupnya. Kebebasan dalam
berpikir, berekspresi maupun dalam melakukan kegiatannya, yaitu kegiatan yang disadari,
disengaja maupun yang dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan.
Mereka diberi kebebasan dalam melakukan sesuatu asalkan sesuai dengan syariat yang telah
ditetapkan, tidak juga melampaui batas wajar syariat. Manusia hidup didunia pasti memiliki
tanggung jawab dalam melaksanakan kehidupannya, baik itu tanggung jawab terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain, terhadap agama maupun budaya. Adanya akibat ini maka
seorang manusia mempunyai taggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
Kebebasan seseorang akan menyebabkan timbulnya tanggung jawab.Tangung jawab tersebut
membuat manusia melakukan kebebasan berdasarkan hati nurani. Banyak manusia yang tidak
mengetahui dasar-dasar kebebasan yang telah ditentukan , karenanya kita sebagai manusia
yang mayoritas mencintai kebebasan setidaknya kita memahami apa itu kebebasan yang
bertanggung jawab yang berpengaruh pada hati nurani.
Oleh karena itu, hati nurani yang menjadi dasar pertimbangan seseorang dalam berbuat. Jika
seseorang mampu berbuat kebaikan sesuai hati nuraninya maka dengan mudah ia dapat
mempertanggung jawabkan apa yang dibuatnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kebebasan?
2. Apa pengertian tanggung jawab?
3. Apa pengertian Hati Nurani?
4. Bagaiman hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan
akhlak?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebebasan
Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang
adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Para ahli
teologiter membagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa
manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut
kemauannya sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan.
Diibaratkan sebagai wayang yang mengikuti sepenuhnya oleh kehendak dalang.[1]
Di zaman baru, perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut muncul kembali.
Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia
melakukan suatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat
bahwa manusia meliliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[2]
Disebut bebas apabila kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu
paksaan atau keterkaitan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya
dikatakan bebas dari apa, tertapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas
apabila :
a. Dapat menentukan sendiri tujuan – tujuannya dan apa yang dilakukannya,
b. Dapat memilih antara kemungkinan – kemungkinan yang tersedia baginya,
c. Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri
ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri. Oleh kehendak orang lain, Negara
ataupun kekuasaan apapun.[3]
Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari,
disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun
bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerimanya apa
adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan
kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun
keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya
rohaniah. Dengan demikian keterbatasan – keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan
kita.[4]
Dilihat dari sifatnya, kebebasan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Kebebasan Jasmaniyah
Kebebasan jasmaniah merupakan kebebasan dalam mengerakkan dan mempergunakan
anggota badan yang dimiliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauannya yang dapat
dilakukan anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainakan menentukan
sifat dari kebebasan itu.
b. Kebebasan kehendak (rohaniah)
Kebebasan kehendak (rohaniah) merupakan kebebasan untuk menghendaki sesuatu.
Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir, karena
manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja.
c. Kebebasan Moral
Dalam arti luas berarti tidak adanya macam – macam ancaman, tekanan, larangan dan tidak
sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu
kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak.[5]
Manusia dalam bertindak yaitu melakukan sesuatu dengan sengaja, dengan maksud dan
tujuan tertentu. Kebebasan mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak,
yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam
unsur. Manusia bebas berarti manusia dapat menentukan sendiri tindakannya. Dengan
demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-
satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat
menetukan dunianya dan dirinya sendiri.[6]

B. Tanggung Jawab
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan di atas itu ditantang jika berhadapan dengan
kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin
ada tanggung jawab tanpa ada tanggung jawab. Disinilah letak hubungan kebebasan dan
tanggung jawab.[7]
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan
manusia, dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan melakukan tujuan hidupnya.[8]
Tanggung jawab dapat terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, diantaranya :
a. Tanggung Jawab Agama.
Manusia lahir dengan dibekali oleh Allah SWT berbagai potensi yang dimilikinya, potensi
tersebut diberikan Allah agar manusia mampu menjadi khalifah (wakil) Allah dimuka bumi.
Potensi tersebut diberikan sebagai alat untuk mengurus alam dan seisinya dan agar manusia
senantiasa menyembah Allah. Potensi tersebut, tidak diberikan dengan gratis dan tanpa
pengawasan, melainkan agar dimintai pertanggungjawabannya. Tentang bentuk
pertanggungjawabannya perbuatan manusia tersebut, tercantum pada firman Allah:
)٨( ‫ذ ع َِن النَّ ِع ِيم‬Kٍ ‫ثُ َّم لَتُ ْسَألُ َّن يَوْ َمِئ‬
Artinya: “ Kemudian akan ditanya pada hari itu (kiamat) akan nikmat-nikmat (yang telah
dianugerahkan kepadanya).” (QS. At- Takatsur: 8)
b. Tanggung Jawab Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam
kehidupan bermasyarakat tentu ada suatu aturan yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya.
Peraturan tersebut merupakan wujud tanggung jawab perseorangan terhadap lingkungan
sosialnya yang bertujuan untuk ketertiban dan kemamukmaran serta menciptakan kedamaian
dan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut.
c. Tanggung Jawab Akhlak (sosial)
Fitrah manusia adalah cenderung kepada kebaikan, dan tanggung jawab merupakan bagian
dari fitrah manusia. Oleh karena itu, perbuatan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan
dengan moralitas manusia.
d. Tanggung Jawab Hati Nurani
Hati nurani diartikan sebagai kekuatan yang memperingatkan manusia dan mencegahnya
unutk berbuat buruk. Tanggung jawab terhadap hati nurani berbentuk keinginan untuk selalu
mengikuti kehendak hati untuk melakukan kebaikan. Bila tindakan seseorang berlawanan
dengan hati nuraninya maka sudah pasti hidupnya dalam kegelisahan.
e. Tanggung Jawab Amal Perbuatan
Setiap perbuatan manusia betapapun kecilnya pasti ada pertanggung jawabannya. Baik secara
langsung ataupun tidak langsung.

Dengan demikian, tanggung jawab dalam kerangka akhlaq adalah bahwa keyakinan
tindakannya itu baik. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya
dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang
melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut
dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat
hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang dapat
menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertanggung jawab apabila secara
intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada
masyarakat pada umumnya.[9]

C. Hati Nurani
Hati nurani didalam bahasa barat dikenal dengan istilah : Conscience, Conscientia, Gewissen,
Geweten. Conscientia (Latin) merupakan terjemahan dari Suneidesis (Yunani), yang arti
umumnya “sama-sama mengetahui perbuatanorang lain”. Jadi Suneidesis itu di tujukan
kepada perbuatan sendiri, maka Suneidesis dapat diterjemahkan dengan “sadar akan”
(perbuatannya sendiri).[10]
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham
dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka pada
keburukan. Atas dasar ini muncullah paham intuisisme yaitu paham yang mengatakan bahwa
perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk
adalah yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.[11]
Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar
pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan
yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu
pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.[12]

D. Hubungan antara Kebebasan, Tanggung jawab, dan Hati Nurani dengan Akhlaq
Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang
dapat dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan
paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Dengan demikian,
perbuatan yang berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas.
Disinilah letak hubungan antara kebebasan dengan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan
paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya dari
orang yang melakukannya. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dengan akhlak.
Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang
melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan
akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani adalah
merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai
perbuatn akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab,
dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seorang tidak dapat
meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kebebasan merupakan hak seseorang untuk berekspresi dan melakukan segala sesuatu
sesuai kehendaknya tanpa ada tekanan dari pihak lain namun tetap pada batas-batas tertentu.
Kebebasan menurut sifatnya dibedakan menjadi 3: kebebasan jasmaniah, kebebasab
kehendak dan kebebasan moral.
2. Tanggung jawab adalah sikap dimana seseorang dapat dimintai penjelasan mengenai
apa yang telah diperbuat, tidak hanya menjawab tapi juga tidak mengelak.
3. Hati nurani merupakan perasaan/ suara hati manusia yang menjadi dasar pertimbangan
mereka dalam melakukan suatu tindakan, dimana perbuatan tersebut cenderung kepada
kebaikan. Namun tidak selamanya hati nurani berkata benar, meskipun begitu manusia
cenderung untuk tetap menaati apa yang menjadi keyakinannya dalam hati mereka.
4. Hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak sangatlah
jelas dan terikat. Kebebasan muncul karena adanya keinginan dari hati nurani untuk
melakukan sesuatu, perbuatan yang sesuai hati nurani dan cenderung pada kebaikan disebut
sebagai perbuatan akhlaki. Perbuatan sekecil apapun akan memiliki konsekuensi yang
kemudian mengharuskan pelaku bertanggung jawab atas apa yang diperbuat, entah itu
merugikan atau menguntungkan. Tidak akan ada tanggung jawab tanpa adanya kebebasan
yang bersumber dari hati nurani.

DAFTAR PUSTAKA

Zubair, Achmad Charris. 1987. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers.


Nata, Abuddin. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers

[1] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 15, hlm. 109.
[2] Ibid., hlm. 110.
[3] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), cet. 1, hlm. 39-40.
[4] Akhlak tasawuf , Op. Cit., hlm. 113
[5] Ibid., hlm. 111.
[6] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), cet. 1, hlm. 43.
[7] Akhlak tasawuf , Op. Cit., hlm. 113
[8] Ibid., hlm. 113
[9] Akhlak tasawuf , Op. Cit., hlm. 114
[10] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), cet. 1, hlm. 53.
[11] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 15, hlm. 114.
[12] Ibid., hlm. 114

Anda mungkin juga menyukai