TEORI
PELANGGARAN
HARAPAN
Dari Judee Bargoon
Disusun oleh:
Marzalia Raisa (0803622005)
Btari Sekar Ayu (0803622015)
Bagian penting dari setiap diskusi komunikasi adalah peran komunikasi nonverbal. Apa
yang kita lakukan dalam percakapan (atau bagaimana kita mengatakan sesuatu) bisa lebih
penting daripada apa yang sebenarnya kita katakan.
Mengutip dari buku Teori Komunikasi Manusia oleh Littlejohn (2017), seperti yang kita
ketahui dari teori adaptasi interaksi, kita memiliki harapan tentang perilaku orang lain
berdasarkan norma-norma sosial serta pengalaman kita sebelumnya dengan orang lain dan situasi
di mana perilaku itu terjadi. Harapan ini dapat melibatkan hampir semua perilaku nonverbal,
termasuk, contohnya, kontak mata, jarak, dan sudut tubuh.
Teori pelanggaran harapan berpendapat bahwa penafsiran sebuah pesan tidak sesederhana
seperti yang dikatakan atau bagaimana pesan dikatakan. Lebih dari itu, penafsiran sebuah pesan
ditentukan oleh situasi, nilai ganjaran orang lain, dan bagaimana pesan-pesan memenuhi harapan
seseorang atau tidak. Ketika apa yang kita harapkan terjadi dalam suatu interaksi tidak terjadi,
maka kita akan mencatat seberapa sering hal itu terjadi dan memberi perhatian lebih terhadap
berbagai kejadian yang ada.
Contoh lain menurut Littlejohn, bayangkan bahwa anda baru saja diperkenalkan dengan
orang baru yang menarik, kemudian mulai mengobrol apa saja.Tiba-tiba anda sadar bahwa orang
ini berdiri sangat dekat dengan anda anda mencoba mundur tetapi orang tersebut terus mendekat.
kecenderungan pertama anda menafsirkan perilaku ini dan menilainya.anda mungkin
menafsirkan ini sebagai ajakan.jika anda menyukai orang ini anda mungkin akan menilai
gerakan ini sebagai sesuatu yang baik.
Jadi, Expectancy Violations Theory (EVT) adalah teori yang menjelaskan konsekuensi
atau dampak dari pelanggaran harapan nonverbal terkait perubahan jarak dan ruang pribadi
selama interaksi komunikasi antarpribadi berlangsung.
Menurut West & Turner, Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang
dalam percakapan mereka dan juga perpepsi orang lain akan penggunaan ruang. Banyak orang
menganggap hubungan ruang yang ada antara komunikator sebagai sesuatu yang sewajarnya,
tetapi penggunaan ruang seseorang dapat mempengaruhi makna dan pesan.
Ide ruang pribadi tidak orisinal dari Burgoon. Pada 1960-an, antropolog Institut Teknologi
Illinois Edward Hall menciptakan istilah proksemik untuk merujuk pada studi tentang
penggunaan ruang oleh orang-orang sebagai elaborasi khusus budaya. Dia memberi judul
bukunya Dimensi Tersembunyi karena dia yakin bahwa kebanyakan interpretasi spasial berada
di luar kesadaran kita. Dia mengklaim bahwa ada empat zona proksemik – intim, pribadi, sosial,
dan publik—dan setiap zona digunakan untuk alasan yang berbeda.
Zona Proksemik
Jarak Intim. Zona ini mencakup perilaku yang ada dalam rentang yang mencakup 0–18
inci. Hall mencatat bahwa ini termasuk perilaku yang berkisar dari sentuhan (misalnya, bercinta)
hingga mampu mengamati karakteristik wajah seseorang. Penting untuk dipahami bahwa
beberapa invasi ruang pribadi dapat ditafsirkan sebagai pelecehan seksual, terlepas dari niat.
Untuk itu, kita perlu tetap peka terhadap berbagai persepsi tentang jarak intim.
Jarak Pribadi/Personal. Merupakan zona yang mencakup perilaku yang terdapat pada area
yang berkisar 18 inchi atau 46cm sampai 4 kaki atau 1,2 meter. Perilaku dalam jarak personal ini
seperti bergandengan tangan sampai menjaga jarak dengan orang sejauh panjang lengan. Jarak
ini dapat kita temui dalam kehidupan bersama keluarga dan teman-teman.
Jarak Sosial. Jarak sosial berkisar antara 4-12 kaki (1,2m-3,6m) Contoh dari jarak ini
adalah percakapan antar rekan kerja satu kantor
Jarak Publik. Jarak yang melampaui 12 kaki atau 3,7 meter dan selebihnya.Titik terdekat
dari jarak publik biasanya digunakan untuk diskusi formal antara guru dan siswa dalam jarak
publik ini kita sulit untuk membaca ekspresi wajah orang lain.
Dalam buku West & Turner, mereka menambahkan fitur tentang territorial, atau
kepemilikan seseorang atas suatu area atau objek. Seringkali, kita mengklaim berbagai wilayah
spasial yang ingin kita lindungi atau pertahankan. Orang memutuskan bahwa mereka ingin
mendirikan pagar, memasang papan nama, atau menetapkan ruang sebagai milik mereka
(misalnya, kamar Marissa, mobil Ibu, dll.). Ada tiga jenis wilayah: primer, sekunder, dan
publik.
Ada tiga konsep inti EVT: harapan, valensi pelanggaran, dan valensi penghargaan
komunikator.
Namun, jika perilaku orang lain menyimpang dari harapan kita, maka telah terjadi
pelanggaran harapan. Hal ini mengakibatkan kita untuk mengambil reaksi khusus menyangkut
perilaku pelanggaran harapan tersebut. Kita akan mengalami gangguan kognitif, emosional
maupun psikologis dalam diri kita. Contohnya kita akan bereaksi (gelisah atau tidak nyaman)
jika seseorang yang belum dikenal meminta duduk sangat dekat dengan kita. Kita akan bereaksi
lain jika orang yang penting bagi kita berada sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta.
Harapan didasarkan pada konteks, hubungan, dan karakter komunikator.
Konteks
Konteks berkaitan dengan norma-norma sosial dan budaya. Termasuk di dalamnya adalah
jarak dan ruang personal yang berbeda-beda di setiap budaya. Konteks juga mencakup setting
dari sebuah percakapan, seperti di sebuah ruang kelas atau pembicaraan pribadi.
Relationship (Hubungan)
Hubungan mencakup kesamaan, kekeluargaan, rasa suka, dan status. Status seseorang
seringkali membuat orang tersebut menjaga jarak dari orang lain yang dianggap memiliki
status berbeda, tetapi kesamaan, kekeluargaan, dan rasa suka cenderung mendekatkan orang
satu dengan yang lain.
Communicator Characteristic (Karakteristik Komunikator)
Karakteristik komunikator mencakup semua aspek demografis, seperti usia, jenis kelamin,
dan tempat lahir. Termasuk penampilan seseorang, misalkan penampilan fisik, cara
berpakaian, kepribadian, dan gaya komunikasi.
Valensi Pelanggaran (Violations Valence). Valensi adalah istilah yang digunakan untuk
mengevaluasi pelanggaran. Ketika harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita akan
melakukan penafsiran kemudian memberikan penilaian apakah pelanggaran tersebut positif atau
negatif. Expectancy Violations Theory berasumsi bahwa perilaku nonverbal adalah penuh arti
dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal yang diharapkan. Perilaku yang tidak
sopan atau isyarat yang menghina divalensi secara negatif (seseorang memelototkankan matanya
padamu). Sedangkan perilaku yang kita anggap sebagai bentuk perwujudan rasa sayang akan
divalensi secara positif.
Expectancy Violations Theory berpendapat bahwa jika perilaku yang diberikan lebih
positif dibandingkan dengan apa yang diharapkan, dalam arti kita menyukai tindakanpelanggaran
tersebut, hasilnya adalah pelanggaran harapan yang positif. Sebaliknya,jika perilaku yang
diberikan lebih negatif dibanding apa yang diharapkan, artinya kita tidak menyukai pelanggaran
tersebut, maka akan menghasilkan pelanggaran harapan yang negative.
Ketika sebuah perilaku telah memiliki makna yang dikenal secara sosial, maka
komunikatorakan dengan mudah menentukan apakah akan menembus apa yang diharapkan
orang lain atau tidak. Tetapi kadang-kadang expectancy violations kerap bermakna ambigu dan
sangat terbuka terhadap interprestansi ganda. Misalnya, sentuhan yang tidak diprediksi
sebelumnya, bisa bermakna tidak disengaja, bisa merupakan pelecehan, atau bisa juga upaya
untuk menjadi lebih dekat.
Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan seorang asing yang baru
diperkenalkan tanpa diduga-duga menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang
itu, perilaku tersebut bisa jadi mengacaukan. Kamu mungkin menginterpretasikan perilaku
tersebut sebagai kasih sayang, suatu undangan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu isyarat
kekuasaan. Menurut Expectancy Violations Theory, pada saat demikian kita perlu
mempertimbangkan reward valence of communicator seperti halnya the valence of violations.
ASUMSI TEORI
Setidaknya ada dua asumsi pokok dari Expectancy Violations Theory, yaitu:
1. Setiap orang memiliki harapan-harapan tertentu pada perilaku nonverbal orang lain
2. Perilaku nonverbal adalah penuh arti dan kita mempunyai sikap dan penilaian tentang
perilaku nonverbal yang diharapkan.
Expectancy Violations Theory berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan-harapan
tertentu pada perilaku nonverbal orang lain. Pelanggaran atas harapan tersebutakan menimbulkan
reaksi orang dengan penilaian positif atau negatif, tergantung bagaimana kita mengartikan
perilaku pelanggaran nonverbal tersebut. Penilaian akan sesuai dengan karakteristik pelaku
pelanggaran. Penilaian suatu pelanggaran berdasarkan pada perasaan kita pada pelaku
pelanggaran akan menimbulkan dampak berbeda. Jika kita menyukai orang tersebut, besar
kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan
menilainya secara positif. Sebaliknya bila sumber atau pelaku pelanggaran dinilai tidak menarik
atau kita tidak menyukainya, maka kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai suatu yang
negatif.
Contohnya, seorang gadis cantik dan baik hati yang sedang ditaksir dua orang pria, sebut
saja si A dan si B. Gadis tersebut menyukai si A. Apa yang akan terjadi jika si A mendekati
gadis tersebut dan duduk terlalu dekat sehingga melanggar jarak komunikasi antarpribadi yang
diterima secara normatif? Kemungkinan besar si gadis akan menilainya positif. “Itulah perilaku
pria sejati yang menandakan perhatian tulus,” pikirnya. Namun, bagaimana jika yang melakukan
tindakan tersebut adalah si B, pria yang tidak disukai si gadis. Tentu si gadis akan bereaksi
negatif (marah atau kesal). “Pria yang tidak sopan dan tidak tahu diri,” pikirnya.
Sebaliknya jika kita yakin telah memiliki kesalahan personal yang positif, maka
pelanggaran atas ekspektasi orang lain (misalnya tentang jarak personal) tidak saja aman untuk
dilakukan, tetapi mungkin akan menghasilkan efek positif terhadap pesan kita.
TEORI Disonansi
Kognitif
Dari Leon Festinger
Disusun oleh:
Marzalia Raisa (0803622005)
Btari Sekar Ayu (0803622015)
Expectancy Violations Theory, namun teori ini tidak terbebas dari kritikan yang
menunjukkankelemahan teori. Salah satunya seperti yang disampaikan Griffin (2000) yang
mengatakan bahwa teori ini tidak sepenuhnya memperhitungkan mengenai hubungan timbal
balik di antara pelaku komunikasi dalam suatu proses interaksi. Tampak jelas bahwa penilaian
terhadap pelanggaran nonverbal dilakukan hanya oleh pihak yang dilanggar, bukan oleh kedua
belah pihak.
DISONANSI: PERSELISIHAN ANTARA PERILAKU DAN KEPERCAYAAN
Disonansi kognitif adalah keadaan mental yang menyedihkan yang dirasakan orang ketika
mereka "menemukan diri mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang mereka
ketahui, atau memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang.”
Konsep ini membentuk inti dari Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory-
CDT) Festinger, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman
yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan itu.
Menurut Roger Brown (1965), dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup
sederhana “Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaan ketidaknyamanan psikologis
atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi. Disonansi adalah
sebuah sebutan untuk ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan.
Menurut Browns dua elemen memiliki untuk memiliki tiga hubungan yang berbeda satu sama
lain diantaranya, Hubungan Konsonan (Consonant Relationship), Hubungan Disonan
(Dissonant Relationship), dan Tidak Relevan (Irrelevant).
Teori kognitif disonansi adalah menjelaskan mengenai keyakinan dan perilaku mengubah
sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada diantara kognisi-kognisi. Ada empat
asumsi dasar dari teori ini :
1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap dan
perilakunya.
Penjelasan : menekankan sebuah model mengenai sifat dasar manusia yang mementingkan
adanya stabilitas dan konsistensi. Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati
inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari
konsistensi.
2. Disonansi diciptakan oleh inskonsistensi psikologis.
Penjelasan : berbicara mengenai jenis konsistensi yang penting bagi orang. Teori ini tidak
berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sebaliknya teori ini merujuk pada fakta bahwa
kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis (dibandingkan tidak konsisten secara
logis).
3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan
tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur.
Penjelasan : menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis disonansi
tercipta menimbulkan perasaan tidak suka jadi orang tidak senang berada dalam keadaan
disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman.
4. Disonansi mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk
mengurangi disonansi.
Penjelasan : untuk menghindari situasi yang menciptakan inskonsistensi dan berusaha
mencari situasi yang mengembalikan konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar manusia
membingkai teori ini adalah sifat dimana manusia mencara konsistensi psikologis sebagai
hasil rangsangan yang disebabkan oleh kondisi ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak
konsisten.
Mengatasi Disonansi
Meskipun teori disonansi kognitif menjelaskan bahwa disonansi dapat dikurangi baik
melalui perubahan perilaku maupun sikap, kebanyakan penelitian difokuskan kepada sikap.
Banyak cara untuk meningkatkan konsistensi didasarkan pada kognisi. Meskipun CDT
menjelaskan bahwa disonansi dapat dikurangi baik melalui perubahan perilaku maupun sikap,
kebanyakan penelitian difokuskan pada sikap, yaitu : 1) mengurangi pentingnya keyakinan
disonansi kita, 2) menambahkan keyakinan yang konsonan, dan 3) menghapuskan
disonansi dengan cara tertentu.
Justifikasi Minimal
Menawarkan jumlah insentif paling kecil yang dibutuhkan untuk mendapatkan persetujuan.
Festinger (1975) berpendapat bahwa “jika seseorang berkeinginan untuk memperoleh perubahan
pribadi selain persetujuan publik, cara terbaik untuk melakukannya adalah menawarkan cukup
penghargaan atau hukuman untuk memperoleh persetujuan.”
KRITIK
Irving Janis dan Robert Gilmore (1965) berpendapat bahwa ketika orang berpartisipasi
dalam ketidak konsistenan, seperti memperdebatkan posisi yang tidak mereka yakini, mereka
menjadi termotivasi untuk memikirkan semua argumen yang mendukung posisi tersebut sambil
menekan semua argumen yang menentangnya.
Peneliti lain (Cooper & Fazio, 1984) berpendapat bahwa teori asli disonansi kognitif
mengandung banyak "ketidakjelasan konseptual." Beberapa peneliti mencatat bahwa konsep
disonansi dikacaukan oleh konsep diri atau kesan.
Sarjana lain percaya bahwa Teori Disonansi Kognitif pada dasarnya berguna dan
menjelaskan tetapi membutuhkan beberapa penyempurnaan. Misalnya, Wicklund dan Brehm
(1976) berpendapat bahwa CDT tidak cukup jelas tentang kondisi di mana disonansi
menyebabkan perubahan sikap. Mereka percaya bahwa pilihan adalah konsep yang hilang dalam
teori. Wicklund dan Brehm berpendapat bahwa ketika orang percaya bahwa mereka memiliki
pilihan tentang hubungan disonan, mereka akan termotivasi untuk mengubah hubungan itu. Jika
orang berpikir mereka tidak berdaya, maka mereka tidak akan terganggu oleh disonansi, dan
mereka mungkin tidak akan berubah.
Meskipun Teori Disonansi Kognitif memiliki kekurangan, teori ini menawarkan kita
wawasan tentang hubungan antara sikap, kognisi, afek, dan perilaku, dan teori ini menyarankan
rute menuju perubahan sikap dan persuasi. Peneliti kognisi sosial serta sarjana komunikasi terus
menggunakan banyak ide dari CDT. Seperti yang diamati oleh Steven Littlejohn dan Karen Foss
(2017), teori Festinger bukan hanya teori konsistensi yang paling penting, tetapi juga salah satu
teori paling signifikan dalam psikologi sosial.