Anda di halaman 1dari 4

10 Nasehat Mbah Hasyim untuk

Para Guru (Bagian 1)


Tak hanya murid saja yang harus mempunyai adab, seorang guru juga
harus memiliki adab dan tata krama dalam mendidik murid atau santri.

Sadar Pengawasan Allah SWT


Seorang guru harus selalu merasa di awasi Allah Swt saat sendiri atau
bersama orang lain. Muraqabah atau selalu sadar pengawasan Allah SWT
kapan pun dan dimanapun. Seorang guru yang sadar pengawasan Allah
akan selalu berusaha menjaga etika dan menjadi guru yang baik.

Takut Kepada Allah dalam Segala Hal


Seorang guru harus senantiasa takut kepada Allah SWT dalam setiap gerak,
diam, ucapan dan perbuataan, sebab ilmu, hikmah dan takut adalah amanah
yang dititipkan kepadanya, sehingga bila tidak dijaga maka termasuk
berkhianat. Allah SWT telah berfirman, “Janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) jangan kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-
Anfal: 27)

Tenang, Wara, Tawadhu’ dan Khusuk (Ketiga, keempat, kelima dan


keenam)
Ketiga, keempat, kelima dan keenam, selalu tenang, wara`, tawadhu` dan
khusyuk kepada Allah SWT. Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar
Rasyid dalam suratnya, “Apabila engkau mengetahui suatu ilmu, hendaknya
tampak pada dirimu pengaruh dari ilmu itu, juga kewibawaan, ketenangan
dan kesantunan dari ilmu itu. Karena Rasul pernah bersabda bahwa ulama
adalah ahli waris para nabi.”
Sahabat Umar ra berkata, “ Pelajari ilmu beserta sikap tenang dan wibawa.”
Sebagian ulama salaf berkata, “Wajib bagi orang yang berilmu bersikap
rendah diri di hadapan Allah Swt, baik dalam keadaan sendirian maupun
ketika bersama orang lain; menjaga jarak dengan hawa nafsunya dan
berhenti dari hal-hal yang akan menyulitkannya.”
Memasrahkan Semua Urusan Kepada Allah
Seorang guru hendaknya memasrahkan semua urusan kepada Allah SWT.
Seorang guru bisa berusaha memberikan ilmu kepada murid.  Namun, hasil
tidaknya harus dipasrahkan kepada Allah SWT.

Tidak Menjadikan Ilmu Batu Loncatan


Sangat berbahaya jika ilmu dibuat sebagai batu loncatan. Seorang guru
tidak boleh menjadikan ilmunya sebagai batu loncatan untuk memperoleh
tujuan-tujuan duniawi seperti jabatan, harta, perhatian orang, ketenaran
atau keunggulan atas teman-teman seprofesinya. Semua didasarkan pada
keikhlasan karena Allah dan tanpa tendensi lain yang mengganggu
kemurnian hubungan guru-murid.

Tidak Memuliakan Penghama Dunia


Seorang guru tidak boleh memuliakan para penghamba dunia dengan cara
berjalan dan berdiri untuk mereka, kecuali bila kemaslahatan yang
ditimbulkan lebih besar dari ke-mafsadahan-nya. Hendaknya juga tidak
mendatangi tempat calon murid guna mengajarkan ilmu kepadanya,
meskipun murid itu orang berpangkat tinggi. Sebaiknya guru memelihara
kehormatan ilmunya sebagaimana ulama salaf memeliharanya.

Sangat banyak cerita tentang bagaimana ulama salaf memelihara


kehormatan ilmu di hadapan para khalifah dan para pejabat lainnya, seperti
cerita yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas bahwasanya dia pernah
bertutur, “Aku mendatangi Harun ar-Rasyid, lalu dia berkata padaku, ‘Wahai
Abu Abdillah, sepatutnya engkau sering mengunjungi kami agar anak-
anakku bisa mempelajari kitab Muwatho` darimu.’ Akupun balik berkata,
‘Semoga Allah memuliakan raja. Sesungguhnya ilmu ini telah keluar dari
anda; ia akan mulia bila anda memuliakannya dan menjadi hina bila anda
merendahkannya. Ilmu itu dihampiri bukan menghampiri.’ Khalifah berkata,
‘Engkau benar. (Hai anak-anakku) pergilah kalian ke masjid dan belajarlah
bersama orang-orang’.”

Imam Zuhri berkata, “Satu hal yang membuat llmu hina, yaitu bila guru
mendatangi rumah murid dengan membawa ilmu untuk diajarkan.” Jika
terdapat suatu keadaan mendesak yang menghendaki untuk berbuat seperti
di atas atau ada tuntutan kemaslahatan yang lebih besar dari
kemafasadahan hinanya ilmu, maka perbuatan tersebut diperbolehkan
selama dalam kondisi seperti itu. Faktor inilah yang menjadi dasar dari apa
yang dilakukan oleh sebagian ulama salaf ketika mereka menemui sebagian
raja dan para pejabat lainnya.
Intinya, siapa yang mengagungkan ilmu maka Allah akan
mengagungkannya. Dan siapa yang menghina ilmu maka Allah akan
menghinakannya. Dan ini jelas.

Wahb bin Munabbih berkata, “Para ulama yang mendahuluiku merasa cukup
dengan ilmu mereka, tanpa mendambakan dunia orang lain karena
kecintaan mereka terhadap ilmu. Tapi sekarang orang yang berilmu
memberikan ilmu mereka pada orang yang mempunyai banyak harta karena
ingin mendapatkan harta mereka, sehingga yang terjadi orang yang
memiliki harta tidak suka ilmu karena mereka memandang rendah ilmu.

Sungguh indah apa yang disampaikan oleh Qodhi Abu al-Husain al-Jurjani
dalam bait-bait syairnya. Dia berkata:

Aku belum pernah memenuhi hak ilmu. Setiap kali muncul ketamakan aku
menjadikan ilmu sebagai anak tangga.

Aku belum pernah merendahkan jiwaku untuk melayani ilmu. Bukannya aku


melayani orang yang aku temui, tapi malah aku ingin dilayani.

Apakah aku menanam ilmu yang mulia, lalu aku memanen hina. Karena itu,
memilih kebodohan bisa jadi lebih menyelamatkan.

Andai orang yang berilmu menjaga ilmunya, maka ilmu itu yang akan
menjaga mereka. Dan andai mereka memuliakannya dalam jiwa, niscaya ia
menjadi mulia.

Namun mereka menghinakannya, ia pun hina. Dan mereka


kotori mukanya dengan ketamakan hingga ia bermuram durja.

Zuhud dan Mengambil Dunia Sekedar Cukup


Guru harus memiliki perangai zuhud dan mengambil dunia sekedar cukup
untuk diri sendiri dan keluarganya sesuai standar qana`ah. Orang berilmu
yang paling rendah derajatnya adalah orang yang menganggap jijik sikap
ketergantungan kepada dunia, sebab dia lebih mengetahui kekurangan
dunia dan fitnah yang ditimbulkannya, juga mengetahui bahwa dunia cepat
sirna dan sangat melelahkan. Dialah orang yang berhak untuk bersikap tak
acuh pada dunia dan tak terlalu menyibukkan diri mengejar iming-iming
dunia.
Rasulullah saw berkata, “Mulia orang yang qana`ah dan hina orang yang
tamak.” Imam Syafi`i berkata, “Andai aku berwasiat, maka orang yang
paling pintar akan memberikannya pada ahli zuhud. Maka siapa yang paling
berhak dibanding ulama, sebab mereka memilki kelebihan dan
kesempurnaan akal?”

Yahya bin Muadz berkata, “Andai dunia emas lantak yang hancur sedangkan
akhirat tembikar yang abadi, niscaya orang berakal akan lebih memilih
tembikar yang abadi dibanding emas lantak yang rusak. Namun
(kenyataannya) dunia tembikar yang rapuh dan akhirat emas lantak yang
abadi.

Bagi orang yang tahu bahwa harta akan ditinggalkan untuk ahli waris dan
akan ditimpa kemusnahan, seharusnya zuhudnya lebih kuat daripada
cintanya pada harta serta dia akan lebih memilih untuk meninggalkan harta
daripada mencarinya.

Anda mungkin juga menyukai