Anda di halaman 1dari 3

 

Kata berkah berasal dari bahasa Arab, barakah, yang maknanya menurut Imam al-


Ghazali adalah ziyadah al-khair, yakni bertambahnya nilai kebaikan. 

Ilmu yang berkah memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu
tandanya adalah ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain
serta mendatangkan kebaikan.
Beberapa hal perlu diperhatikan agar keberkahan datang
1. Niat
Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Demikian pesan Imam
az-Zarnuji (1981: 32) dalam kitab Ta’līm al-Mutallim Tharīq al-Ta’allum. Beliau
mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan
Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri
dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam.

2. Selain niat, keberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya
terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut, yaitu guru. Az-Zarnuji
mengatakan, “Ketahuilah, seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan
dapat ilmu yang bermanfaat, kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan
menghormati keagungan guru.”
Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzim) terhadap ustaz/guru benar-benar
telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam. Hal ini bisa kita
lihat dari contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia.
Misalnya, sahabat Ali bin Abi Thalib yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai Bab
al-‘Ilmi atau pintu ilmu. Beliau mengatakan, “Saya menjadi hamba sahaya orang yang
telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan, ataupun
tetap menjadi hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi
kepada para guru anak-anaknya. Pada masa keemasan Islam, para orang tua sangat
antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama). As-Shalabi (2006:
117) menyebutkan dalam kitabnya, Fatih al-Qasthinthiniyah, al-Sulthan Muhammad al-
Fatih, suatu ketika, guru Sang Sultan yaitu Syekh Aq Syamsuddin masuk ke istana. Saat
itu, Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. 
Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh
hormat. Kemudian, beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya,
“Perasaan hormatku kepada Syekh Aq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-
orang lain berada di sisiku, tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya, apabila aku
melihatnya (Syekh Aq Syamsuddin), tanganku yang bergetar."

Dalam sebuah kisah inspiratif diceritakan, ada seorang lelaki yang ingin memfitnah Syekh Abdul Qadir
Jiilani. Lelaki itu mengintip rumah Syekh Abdul Qadir melalui sebuah lubang. Saat itu ia melihat Syekh
Abdul Qadir sedang makan makan daging ayam kesukaannya. Ia makan ditemani muridnya. Lalu ia
memakan separuh dan menyisihkan sisanya untuk muridnya.  Lelaki yang mengintip menyaksikan hal
itu. Timbullah rencana liciknya. Dia lalu mendatangi bapak murid yang menemani Syekh Abdul Qadir.  

“Bapak punya anak namanya ini?”  “Iya,” jawabnya. Lelaki itu menjelaskan bahwa anaknya diperlakukan
seperti hamba sahaya dan seperti kucing oleh gurunya, Syekh Abdul Qadir. Maka datanglah bapak itu ke
rumah Syekh Abdul Qadir. Lalu mempertanyakan perilaku Syekh Abdul Qadir yang memperlakukan
anaknya seperti kucing. Karena itulah Si Bapak itu meminta anaknya kembali, tak rela diperlakukan
seperti anak kucing. Setelah pulang dari Syekh Abdul Qadir, Si Bapak baru mengklarifikasi peristiwa itu
kepada anaknya. Ternyata jawaban anaknya tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dituduhkan Si
Bapak. Si Bapak menyesalinya dan berniat untuk mengembalikan anaknya kepada Syekh Abdul Qadir.

”Bukan aku tidak mau menerima anak itu kembali, tapi Allah sudah menutup futuh (terbuka)-nya untuk
mendapat ilmu disebabkan seorang ayah yang tidak beradab kepada guru,” jelas Syekh Abdul Qadir.
Oleh karena itu sebagai orang tua,  kita harus bisa menjaga adab anak-anak dan orang tua sendiri
terhadap gurunya. Jangan sampai gara-gara adab orang tua buruk, sedangkan adab anak sudah baik,
maka si anak menjadi santri yang ilmunya tidak berkah. Kisah di atas merupakan menceritakan seorang
ayah yang tidak beradab kepada seorang guru. Bagaimana jadinya kalau diri sendiri yang tiada beradab,
memaki dan mengaibkan gurunya? Kata salah satu ulama, satu prasangka buruk saja kepada
gurumu, maka Allah haramkan seluruh keberkahan yang ada pada gurumu kepadamu. Semoga karena
orang tua dan anak telah menjaga adab kepada gurunya menjadi washilah kita semua dicintai Allah
SWT. Semoga Allah SWT menjadikan kita orang yang beradab kepada makhluknya, terlebih lagi kepada
guru yang mengajarkan ilmu kepada kita. Padahal, selain anak, orang tua juga harus memiliki adab
kepada guru anaknya. Mesti diingat adab lebih mulia daripada ilmu. 
3. Perbanyak istighfar kepada allah dan dekat diri dengan al qur’an

4. Memiliki teman dan lingkungan yang kondusif untuk terus beramal dan menuntut ilmu

5. Berdoa agar diberikan kemudahan dan keberkahan dengan rizki dan ilmu yang dicari

6. Tidak pelit dengan harga dan ilmu yang dimiliki untuk diberikan untuk mengejar dan mewujudkan
tujuan berilmu

7. Perbanyak infaq dan shodaqoh…

8. Menjauhkan diri dari segala bentuk cara dan harta yang haram, termasuk cara -cara yang tidak baik,
seperti tidak jujur dalam ujian, dll

9. Menjaga segala kewajiban dalam agama. Sholat 5 waktu dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai