Anda di halaman 1dari 19

Sifat Rendah Hati dan Merantau Bagi Penuntut Ilmu

Disusun Untuk Memenuhi Tugdas Individu Mata Kuliah Qira’atul Kutub


Smester VIII (Delapan)

Dosen pengampuh :
Ali Zaimun, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Layyinah
NIM: 18.11.34.0101.0313

Nur Aini
NIM: 18.11.34.0101.0319

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MEMPAWAH (STAIM)
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa di limpahkan Allah Kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang
setia hingga hari pembalasan kelak. Dan tak lupa kami bersyukur atas tersusun
nya Makalah kami yang berjudul (Sifat Rendah Hati dan Merantau Bagi Penuntut
Ilmu).
Tujuan saya menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya
ilmu pengetahuan kita semua, dan untuk memenuhi tugas mata kuliah.Qira’atul
Kutub. Dengan terselesaikan nya makalah ini, maka tidak lupa kami mengucap
kan terima kasih kepada pihak- pihak yang berperan dalam membantu
penyusunan makalah ini hingga selesai seperti saat ini.
Akhir kata saya mengharap kan adanya kritik dan saran atas kekurangan
saya dalam penyusunan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan berguna khususnya bagi Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam
Mempawah dan juga kita semuanya.

Mempawah, 23 Maret, 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................................1
B.    Rumusan Masalah..................................................................................................1
C.    Tujuan Masalah......................................................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Adab Dalam Menuntut Ilmu..................................................................................1
B.    Rendah Hati............................................................................................................1
C.    Merantau Untuk Menuntut Ilmu............................................................................5
D.    Sejarah Tokoh Islam Dalam Merantau..................................................................6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN....................................................................................................10
B. SARAN.................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama adalah risalah yang di sampaikan Allah kepada nabi sebagai petunjuk
bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam
menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dengan
tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat
alam sekitarnya.
Agama sebagai sumber sistem nilai merupakan petunjuk,pedoman,dan
pendorong bagi manusia untuk memecahkan berbagai masalah hidupnnya seperti
dalam ilmu agama,politik,ekonomi,sosial,budaya dan militer sehingga terbentuk pola
motivasi,tujuan hidup dan perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah
( Akhlak ).
Dengan demikian budaya itu dilahirkan dari agama islam sehingga tidaklah
benar kalau agama dianggap sebagai bahagian dari budaya. Yang di sebut agama
islam adalah ajaran Allah dan Rasul nya yang di fahami dan di praktekan secara
benar sebagimana yang di inginkan oleh Allah dan Rasul nya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Adab Dalam Menuntut Ilmu?


2. Apa yang dimaksud Rendah Hati Bagi Penuntut Ilmu?
3. Bagaimana Sejarah Tokoh Islam Merantau Untuk Menuntut Ilmu?

C. Tujuan Makalah

1. Mengetahui Bagaimana Adab Dalam Menuntut Ilmu


2. Mengetahui Apa yang dimaksud Rendah Hati Bagi Penuntut Ilmu
3. Mengetahui Sejarah Tokoh Islam yang Merantau Untuk Menuntut Ilmu

1
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Adab dalam Menuntut Ilmu

Ilmu dan adab tidaklah dapat dipisahkan, seorang penuntut ilmu harus beradab
ketika menerima ilmu dari gurunya, beradab terhadap gurunya, beradab dengan
teman-temannya, bahkann beradab terhadap buku yang ia pelajari. Kondisi
kebanyakan majelis ilmu saat ini sangatlah memprihatinkan, antara lain kurang hormt
dengan gurunya, terlambat ketika menghadiri majelis ilmu, tidak mengulangi pelajran
sebelumnya, banyak bermain-main. Padahal di zaman keemasannya adab menuntut
ilmu sangat diperhatikan para ulama, misalnya datang ke majelis ilmu sebelum
pelajaran dimulai bahkan ada yang sampai menginap, menghafal beberpa buku
sebelum belajar ke ulama, menjaga suasana belajar dengan fokus dan tidak bermain-
main.

B. Rendah diri

Jika kita mempunyai ilmu yang banyak, kepada siapapun tidak boleh
menyombongkan dirinya. adab seorang murid adalah, bersikap tawadhu‘ atau tidak
meninggikan diri di hadapan gurunya. Seorang murid seharusnya mempercayakan
segala urusan keilmuannya kepada sang guru, dan tunduk kepada segala aturan yang
telah diberikan, seperti pasien yang patuh kepada nasihat dokter pribadinya jika ingin
segera sembuh dari sakit yang tengah diderita.
Asy-Sya‘bi meriwayatkan sebuah kisah: “Suatu ketika Zaid bin Tsabit r.a.
melaksanakan shalat jenazah. Setelah selesai melaksanakan shalat tersebut, segera
Ibnu ‘Abbas r.a. mendekatkan tali kekang pada bighal (1885) miliknya untuk
dikendarai. Menyaksikan sikap Ibnu ‘Abbas, Zaid pun berkata: “Tidak usah wahai
anak paman Rasulullah.” Ibnu ‘Abbas pun menyahut: “Beginilah cara yang
diperintahkan kepada kami untuk menghormati para ulama dan orang-orang mulia.”
Mendapati ucapan itu, Zaid bin Tsabit pun segera memegang dan mencium telapak
tangan Ibnu ‘Abbas sambil mengatakan: “Seperti inilah aturan (adab) yang
3

diperintahkan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. untuk memperlakukan keluarga


dekat beliau.” (1896).
Sebagaimana Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:
‫ب ْال ِع ْل ِم‬ ُ ُّ‫ق ْال ُمْؤ ِم ِن التَّ َمل‬
ِ َ‫ق ِإاَّل فِ ْي طَل‬ ِ ‫ْس ِم ْن َأ ْخاَل‬
َ ‫لَي‬.
“Bukan merupakan kebiasaan (adab) seorang Mu’min dengan merendahkan diri di
hadapan orang lain; kecuali pada saat sedang menuntut ilmu (belajar).” (1907).

Ilmu dan hikmah merupakan harta milik kaum Mu’min yang hilang. Oleh
karena itu, setiap kita harus bisa menemukannya di mana saja kita bisa meraihnya.
Dan, ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang sudi membawakannya ke hadapan
kita. Dikatakan dalam sebuah sya‘ir:
“Ilmu dan hikmah sama artinya dengan perjuangan,
Yang dilakukan oleh pemuda berkeinginan mulia.
Layaknya air bah (banjir) yang tengah berjuang,
Menemukan tempat menuju hilir.”
Penya‘ir lainnya mengatakan:
“Ilmu itu enggan menyambut pemuda yang sombong,
Laksana banjir yang malas mencapai tempat yang tinggi.”

Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan jiwa
pencarinya. Sebagaimana Allah s.w.t. telah berfirman:

‫ِإ َّن فِ ْي ذلِكَ لَ ِذ ْك َرى لِ َم ْن َكانَ لَهُ قَ ْلبٌ َأوْ َأ ْلقَى ال َّس ْم َع َو هُ َو َش ِه ْي ٌد‬.

“Sesungguhnya hal demikian itu menjadi peringatan bagi siapa yang mempunyai
qalbu atau mau menggunakan pendengarannya, sementara ia menjadi saksi.” (Qāf
[50]: 37).

Makna “mempunyai qalbu” adalah jiwa yang mantap dalam menerima ilmu
dan qalbu yang siap untuk memahami ilmu. Apa saja yang disampaikan dan
dianjurkan oleh guru, maka murid harus mengikutinya, dan mengesampingkan
4

pendapatnya sendiri. Para murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diizinkan
oleh gurunya; pada saat proses belajar mengajar tengah dilaksanakan. Dalam hal ini,
ada contoh yang telah dikisahkan oleh Allah s.w.t. dalam al-Qur’an, yaitu kisah
tentang Nabi Musa dan Nabi Khidhir a.s. Nabi Khidhir berkata kepada Nabi Musa:

ْ ‫ َو َك ْيفَ تَصْ بِ ُر َعلَى َما لَ ْم تُ ِح‬.‫ص ْبرًا‬


‫ط بِ ِه ُخ ْبرًا‬ َ َّ‫ِإن‬.
َ ‫ك لَ ْن تَ ْستَ ِط ْي َع َم ِع َي‬

“Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan


bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau sendiri belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (al-Kahfi [18]: 67-68).

Setelah itu, Nabi Khidhir a.s. memberikan satu persyaratan kepada Nabi Musa a.s.:
“Engkau tidak boleh bertanya tentang apa yang aku lakukan.” Sebagaimana
disebutkan di dalam firman-Nya s.w.t.:

‫ك ِم ْنهُ ِذ ْكرًا‬ َ ‫فَِإ ِن اتَّبَ ْعتَنِ ْي فَاَل تَ ْسَأ ْلنِ ْي ع َْن َش ْي ٍء َحتِّى ُأحْ ِد‬.
َ َ‫ث ل‬

“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang


sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.” (al-
Kahfi [18]: 70).

Namun, kemudian diungkap dalam al-Qur’an, pada penjelasan ayat


berikutnya, bahwa persyaratan yang diajukan oleh Nabi Khidhir ternyata tidak
dipatuhi oleh Nabi Musa. Sebab, Nabi Musa masih juga mengajukan pertanyaan
kepada Nabi Khidhir. Dan, karena itu pula Nabi Khidhir memutuskan untuk berpisah
dengan Nabi Musa.

Jika ditanyakan, mengapa kita diperintahkan untuk bertanya manakala kita


tidak mengetahui atas sesuatu, sebagaimana difirmankan oleh Allah s.w.t. sendiri
dalam al-Qur’an:

َ‫فَ ْسَألُوْ ا َأ ْه َل ال ِّذ ْك ِر ِإ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬.


5

“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian
tidak mengetahui.” (an-Nahl [16]: 43).

Jawaban yang dapat diberikan atas pertanyaan tersebut adalah, diperolehkan


seorang murid bertanya kepada gurunya jika pertanyaan yang tersedia diperintahkan
oleh sang guru yang mengajar untuk dipertanyakan. Sebab, semua itu berkaitan erat
dengan sampainya murid atas materi bahasan yang tengah diajarkan, atau
dikhawatirkan sang murid belum sampai pada materi bahasan yang diajukan
pertanyaan atasnya. Dan, ini akan menjadikan kendala tersendiri dalam penyerapan
pelajaran yang diberikan kepada murid.

C. Merantau untuk menuntut ilmu

Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak
akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernha pergi dalam
masa belajranya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak
akan didatangi untuk belajar darinya. Spirit Islam Untuk Merantau
Islam menganjurkan kita untuk merantau sudah sejak zaman Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Sejarah para Nabi selalu diwarnai dengan dunia pengembaraan atau
dalam bahasa lain rihlah thalabul ‘ilmi. Tokoh-tokoh sukses dan hebat saat ini pun
kisahnya tidak luput dari cerita tentang kisahnya dalam perantauan. Bagaimanapun,
merantau merupakan suatu proses mematangkan diri baik di kampung orang, kota
orang atau bahkan negeri orang.
Para perantau tentunya bersusah payah pergi jauh meninggalkan tempat
tinggalkan demi menggapai tujuan mulia yakni menuntut ilmu. Banyak sekali hikmah
yang dapat diambil dari buah perantauan. Dalam al-Qur’an pun Allah Subhanahu wa
Ta’ala menganjurkan kaum muslimin untuk merantau, karena dengannya kita bisa
melihat kekuasaan Allah yang lebih luas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam al-Qur’an, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
6

berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan


hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)
Sebagai manusia yang berakal, sudah seharusnya kita sadar. Karena sudah
jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menjadikan bumi itu terbentang dan mudah yakni untuk ditinggali dan
dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makan sebagian dari rezeki-
Nya. Alam semesta tidak selebar daun kelor. Islam membangkitkan kesadaran agar
kita tidak menghabiskan waktu kita untuk molor. Banyak hal yang perlu kita
eksplorasi. Sudah lama kita menjadi pengekor, sekarang sudah saatnya kita menjadi
pelopor.

D. Sejarah tokoh Islam dalam Merantau

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Bin Al-Abbas bin Utsman Bin Syafi’
Asy-Syafi’i atau yang lebih akrab dengan julukan Imam Syafi’i v merupakan seorang
ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara penuh hikmah.
Salah satu mujtahid mutlak yang dijuluki nasirussunnah waddin, penolong sunnah
dan agama. Dari segi keilmuan, tentunya sudah tidak diragukan lagi akan kecerdasan
beliau.
Para penulis biografi mencatat bahwa Imam Syafi’i merupakan seseorang
yang lahir dari keluarga miskin. Sejak masih kecil, ia sudah ditinggal ayahnya dan
menjadi seorang yatim. Menginjak usia 14 tahun, Imam Syafi’i memiliki keinginan
besar untuk merantau, hal ini dikarenakan akan semangatnya beliau demi menuntut
ilmu. Fatimah al-Azdiy, ibunda Imam Syafi’i memahami gelora semangat yang
sedang bergejolak dihati anaknya untuk menggali ilmu Allah. Tidak ada pilihan lain
selain melepas sang anak untuk menimba ilmu di negri orang.
Kepergian Imam Syafi’i ke banyak negeri mulai dari Makkah, Madinah,
Yaman, Baghdad Iraq, hingga Mesir untuk menuntut ilmu bukanlah dari harta yang
mengiringinya, akan tetapi untaian doa tulus nan indah yang mengantarkan
kepergiannya “Ya Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam. Anakku ini akan
7

berjalan jauh meninggalkanku menuju keridhoanmu. Aku rela melepaskannya untuk


menuntut ilmu peninggalan utusanMu. Oleh karena itu, aku bermohon kepada Mu ya
Allah, mudahkanlah urusannya, peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya
agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh ilmu yang
berguna”.
Imam Syafi’i merupakan seseorang yang tekun dalam menuntut ilmu, karena
ketekunannya, di usia sembilan tahun, Imam Syafi’i sudah mampu menghafal al-
Qur’an dan sejumlah hadits. Bukan hanya hafalan, keilmuannya pun sudah luas dan
mendalam. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, kemudian ibunya membawanya
ke Makkah. Fatimah al-Azdiy, Ibu dua anak ini dengan keadaan miskin dan serba
kekurangan memiliki cita-cita mulia untuk menjadikan anaknya menjadi anak yang
berilmu.
Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak dapat
menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan, sehingga dengan terpaksa beliau
mencari kertas yang tidak terpakai, atau sudah terbuang tetapi masih dapat digunakan
untuk menulis. Setelah usai mempelajari al-Qur’an dan hadits, Imam asy-Syafi’i
melengkapi ilmunya denganmendalami bahasa dan sastra Arab. Karena itu ia pergi ke
pedesaan dan bergabung bersama Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih
bahasanya. Dari suku inilah, Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab
sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik.
Hikmah dari Merantau
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka
Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)
Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan “menempuh jalan untuk
mencari ilmu” ada dua bentuk. Pertama, menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan
berjalan menuju tempat majelis ilmu. Seperti misalnya berjalan menuju masjid atau
tempat pengajian untuk menuntut ilmu. Kedua, menempuh jalan secara maknawi,
yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal,
8

mempelajari, mengulang-ulang pelajaran, menelaah, menulis, membaca kitab dan


memahaminya, serta perbuatan lainnya yang merupakan cara untuk mendapatkan
ilmu.
Dengan ilmu, kunci-kunci kesuksesan akan dipegang oleh pemilik ilmu.
Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya ia berilmu. Barang siapa
yang menginginkan akhirat, maka hendak ia berilmu. Barang siapa yang dunia dan
akhirat, maka hendaknya ia berilmu. Orang yang berilmu maka akan Allah angkat
derajatnya, dan dimudahkan jalan baginya menuju surga.
Selain hadits diatas, juga terdapat nasehat dari Imam Syafi’i agar seseorang
pergi untuk merantau, meninggalkan zona nyaman, menuju wilayah baru, suasana
baru, pengalaman baru, berkenalan dengan orang-orang baru karena dengan itu
semua, secara implisit akan kita temukan banyak hikmah didalamnya. Nasihat ini
diabadikan dalam bait-bait sya’irnya:

“Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman #


Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang).”
“Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan
(kerabat dan kawan) # Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang.”
“Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan # Jika mengalir menjadi
jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.”
“Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa # Anak panah jika
tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.”
“Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam # tentu manusia
bosan padanya dan enggan memandang.”
“Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum
ditambang) # Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.”
“Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya #
Jika biji memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.”
9

Dari bait diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya dengan merantau


melakukan perjalanan, akan menantang, mendewasakan diri sekaligus memberikan
peluang untuk mengeksplorasi pengalaman yang mana akan menjadi warisan
berharga. Selama merantau, kita juga akan mendapatkan ganti dari apa yang kita
tinggalkan, karena sesungguhnya nikmatnya hidup ada setelah lelahnya perjuangan.
Hal terakhir yang perlu diingat bahwa kemuliaan itu tak kan didapat dengan
kemalasan.
‫‪BAB III‬‬
‫‪PENUTUP‬‬

‫‪A. Kesimpulan‬‬

‫الوظيفة الثانية‪ :‬أن يقلل عالئقه من االشتغال بالدنيا ويبعد عن األهل والوطن فإن‬
‫العالئق شاغلة وصارفة ]ما جعل هللا لرجل من قلبين في جوفه[ (األحزاب‪.)4 :‬‬
‫ومهما توزعت الفكرة قصرت عن درك الحقائق ولذلك قيل العلم ال يعطيك‬
‫بعضه حتى تعطيك كلك فإذا أعطيته كلك فأنت من إعطائه إياك بعضه على‬
‫خطر والفكرة المتوزعة على أمور متفرقة كجدول تفرق ماؤه فنشفت األرض‬
‫‪.‬بعضه واختطف الهواء بعضه فال يبقى منه ما يجتمع ويبلغ المزدرع‬

‫الوظيفة الثالثة‪ :‬أن ال يتكبر على العلم وال يتأمر على معلم بل يلقى إليه زمام‬
‫أمره بالكلية في كل تفصيل ويذعن لنصيحته إذعان المريض الجاهل للطبيب‬
‫المشفق الحاذق وينبغي أن يتواضع لمعلمه ويطلب الثواب والشرف بخدمته قال‬
‫الشعبي‪ :‬صلى زيد بن ثابت على جنازة فقربت إليه بغلته ليركبها فجاء ابن عباس‬
‫فأخذ بركابه فقال‪ :‬زيد خل عنه يا ابن عم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال‬
‫ابن عباس‪ (( :‬هكذا أمرنا أن نفعل بالعلماء والكبراء))‪ ¹،‬فقبل زيد بن ثابت يده‬
‫وقال‪(( :‬هكذا أمرنا أن نفعل بأهل بيت نبينا صلى هللا عليه وسلم))[‪ .]132‬وقال‬
‫صلى هللا عليه وسلم‪(( :‬ليس من أخالق المؤمن التملق إال في طلب العلم))[‬
‫‪ .]133‬فال ينبغي لطالب العلم أن يتكبر على المعلم ومن تكبره على المعلم أن‬
‫يستنكف عن االستفادة إال من المرموقين المشهورين وهو عين الحماقة فإن العلم‬
‫سبب النجاة والسعادة ومن يطلب مهربا من سبع ضار يفترسه لم يفرق بين أن‬
‫يرشده إلى الهرب مشهور أو خامل وضراوة سباع النار بالجهال باهلل تعالى أشد‬
‫من ضراوة كل سبع فالحكمة ضالة المؤمن يغتنمها حيث يظفر بها‬

‫‪10‬‬
‫‪11‬‬

‫ويتقلد المنة لمن ساقها إليه كائنا من كان فلذلك قيل العلم حرب للفتى المتعالي‬
‫كالسيل حرب للمكان العالي فال ينال العلم إال بالتواضع وإلقاء السمع قال هللا‬
‫تعالى‪] :‬إن في ذلك لذكرى لمن كان له قلب أو ألقى السمع وهو شهيد[ (ق‪.)37:‬‬
‫ومعنى كونه ذا قلب أن يكون قابال للعلم فهما ثم ال تعينه القدرة على الفهم حتى‬
‫يلقى السمع وهو شهيد حاضر القلب ليستقيل كل ما ألقى إليه بحسن اإلصغاء‬
‫والضراعة‪ ¹‬والشكر والفرح وقبول المنة فليكن المتعلم لمعلمه كأرض دمثة نالت‬
‫مطرا غزيرا فتشربت جميع أجزائها وأذعنت بالكلية لقبوله ومهما أشار عليه‬
‫المعلم بطريق في التعلم فليقلده وليدع رأيه فإن خطأ مرشده أنفع له من صوابه‬
‫في نفسه إذ التجربة تطلع على دقائق يستغرب سماعها مع أنه يعظم نفعها فكم من‬
‫مريض محرور يعالجه الطبيب في بعض أوقاته بالحرارة ليزيد في قوته إلى حد‬
‫يحتمل صدمة العالج فيعجب منه من ال خبرة له به وقد نبه هللا تعالى بقصة‬
‫الخضر وموسى عليهما السالم حيث قال الخضر‪] :‬إنك لن تستطيع معي صبرا‬
‫وكيف تصبر على ما لم تحط به خبرا[ (الكهف‪ 67 :‬و‪ .)68‬ثم شرط عليه‬
‫السكوت والتسليم فقال‪] :‬فإن اتبعتني فال تسألني عن شيء حتى أحدث لك منه‬
‫ذكرا[ (الكهف‪ .)70 :‬ثم لم يصبر ولم يزل في مراودته إلى أن كان ذلك سبب‬
‫الفراق بينهما وبالجملة كل متعلم استبقى لنفسه رأيا واختيارا دون اختيار المعلم‬
‫فاحكم عليه باإلخفاق والخسران فإن قلت فقد قال هللا تعالى‪] :‬فاسألوا أهل الذكر‬
‫إن كنتم ال تعلمون[ (النحل‪ .)43 :‬فالسؤال مأمور به فاعلم أنه كذلك ولكن فيما‬
‫يأذن المعلم في السؤال عنه فإن السؤال عما لم تبلغ مرتبتك إلى فهمه مذموم‬
‫ولذلك منع الخضر موسى عليه السالم من السؤال أي دع السؤال قبل أوانه‬
‫فالمعلم أعلم بما أنت أهل له وبأوان الكشف وما لم يدخل أوان الكشف في كل‬
12

‫درجة من مراقي الدرجات ال يدخل أوان السؤال عنه وقد قال علي رضي هللا‬
‫ وال تلح‬،‫ وال تعنته في الجواب‬،‫ (إن من حق العالم أن ال تكثر عليه بالسؤال‬:‫عنه‬
‫ وال تغتابن أحدا‬،‫ وال تفشي له سرا‬،‫ وال تأخذ بثوبه إذا نهض‬،‫عليه إذا كسل‬
‫ وعليك أن توقره وتعظمه هلل‬،‫ وإن زل قبلت معذرته‬،‫ وال تطلبن عثرته‬،‫عنده‬
‫ وإن كانت له حاجة سبقت‬،‫ وال تجلس أمامه‬،‫تعالى ما دام يحفظ أمر هللا تعالى‬
)‫القوم إلى خدمته‬.

Kewajiban kedua atas adab seorang murid adalah, mengurangi keterpautannya


kepada urusan duniawi dan berusaha mencari tempat yang berbeda dari lingkungan
keluarga serta kerabat dekatnya. Sebab, ilmu tidak mungkin diperoleh di lingkungan
yang kurang atau tidak kondusif. Dan, hendaknya mengurangi berbagai
ketergantungan yang ada pada qalbu, serta sebisa mungkin berhijrah, supaya qalbu
bisa terfokus pada ilmu. Karena alasan itu, Allah s.w.t. berfirman:

‫ َما َج َع َل هللاُ لِ َر ُج ٍل ِم ْن قَ ْلبَي ِْن فِ ْي َجوْ فِ ِه‬.

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua jiwa dalam rongga
dadanya.” (al-Aḥzāb [33]: 4).

Dan, disebabkan alasan itu pula seorang ahli hikmah pernah berkata: “Seluruh
bagian ilmu tidak akan diberikan kepada kalian, sampai kalian mampu menundukkan
seluruh jiwa kalian secara utuh kepadanya (mengabdi untuk ilmu). Dengan kata lain,
bahwa ilmu tidak akan memberimu walau sebagiannya saja, sampai engkau
memberikan dirimu utuh kepadanya.”
Kewajiban ketiga atas adab seorang murid adalah, bersikap tawadhu‘ atau
tidak meninggikan diri di hadapan gurunya. Seorang murid seharusnya
mempercayakan segala urusan keilmuannya kepada sang guru, dan tunduk kepada
13

segala aturan yang telah diberikan, seperti pasien yang patuh kepada nasihat dokter
pribadinya jika ingin segera sembuh dari sakit yang tengah diderita.
Asy-Sya‘bi meriwayatkan sebuah kisah: “Suatu ketika Zaid bin Tsabit r.a.
melaksanakan shalat jenazah. Setelah selesai melaksanakan shalat tersebut, segera
Ibnu ‘Abbas r.a. mendekatkan tali kekang pada bighal (1885) miliknya untuk
dikendarai. Menyaksikan sikap Ibnu ‘Abbas, Zaid pun berkata: “Tidak usah wahai
anak paman Rasulullah.” Ibnu ‘Abbas pun menyahut: “Beginilah cara yang
diperintahkan kepada kami untuk menghormati para ulama dan orang-orang mulia.”
Mendapati ucapan itu, Zaid bin Tsabit pun segera memegang dan mencium telapak
tangan Ibnu ‘Abbas sambil mengatakan: “Seperti inilah aturan (adab) yang
diperintahkan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. untuk memperlakukan keluarga
dekat beliau.” (1896).
Sebagaimana Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:

‫ب ْال ِع ْل ِم‬ ُ ُّ‫ق ْال ُمْؤ ِم ِن التَّ َمل‬


ِ َ‫ق ِإاَّل فِ ْي طَل‬ ِ ‫ْس ِم ْن َأ ْخاَل‬
َ ‫لَي‬.

“Bukan merupakan kebiasaan (adab) seorang Mu’min dengan merendahkan diri di


hadapan orang lain; kecuali pada saat sedang menuntut ilmu (belajar).” (1907).
Ilmu dan hikmah merupakan harta milik kaum Mu’min yang hilang. Oleh
karena itu, setiap kita harus bisa menemukannya di mana saja kita bisa meraihnya.
Dan, ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang sudi membawakannya ke hadapan
kita. Dikatakan dalam sebuah sya‘ir:
“Ilmu dan hikmah sama artinya dengan perjuangan,
Yang dilakukan oleh pemuda berkeinginan mulia.
Layaknya air bah (banjir) yang tengah berjuang,
Menemukan tempat menuju hilir.”
Penya‘ir lainnya mengatakan:
“Ilmu itu enggan menyambut pemuda yang sombong,
Laksana banjir yang malas mencapai tempat yang tinggi.”
14

Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan
jiwa pencarinya. Sebagaimana Allah s.w.t. telah berfirman:

‫ِإ َّن فِ ْي ذلِكَ لَ ِذ ْك َرى لِ َم ْن َكانَ لَهُ قَ ْلبٌ َأوْ َأ ْلقَى ال َّس ْم َع َو هُ َو َش ِه ْي ٌد‬.

“Sesungguhnya hal demikian itu menjadi peringatan bagi siapa yang mempunyai
qalbu atau mau menggunakan pendengarannya, sementara ia menjadi saksi.” (Qāf
[50]: 37).

Makna “mempunyai qalbu” adalah jiwa yang mantap dalam menerima ilmu
dan qalbu yang siap untuk memahami ilmu. Apa saja yang disampaikan dan
dianjurkan oleh guru, maka murid harus mengikutinya, dan mengesampingkan
pendapatnya sendiri. Para murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diizinkan
oleh gurunya; pada saat proses belajar mengajar tengah dilaksanakan. Dalam hal ini,
ada contoh yang telah dikisahkan oleh Allah s.w.t. dalam al-Qur’an, yaitu kisah
tentang Nabi Musa dan Nabi Khidhir a.s. Nabi Khidhir berkata kepada Nabi Musa:

ْ ‫ر َعلَى َما لَ ْم تُ ِح‬¹ُ ِ‫ َو َك ْيفَ تَصْ ب‬.‫ص ْبرًا‬


‫ط بِ ِه ُخ ْبرًا‬ َ َّ‫ِإن‬.
َ ‫ك لَ ْن تَ ْست َِط ْي َع َم ِع َي‬

“Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan


bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau sendiri belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (al-Kahfi [18]: 67-68).

Setelah itu, Nabi Khidhir a.s. memberikan satu persyaratan kepada Nabi Musa
a.s.: “Engkau tidak boleh bertanya tentang apa yang aku lakukan.” Sebagaimana
disebutkan di dalam firman-Nya s.w.t.:

َ ‫فَِإ ِن اتَّبَ ْعتَنِ ْي فَاَل تَ ْسَأ ْلنِ ْي ع َْن َش ْي ٍء َحتِّى ُأحْ ِد‬.
‫ث لَكَ ِم ْنهُ ِذ ْكرًا‬

“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang


sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.” (al-
Kahfi [18]: 70).
15

Namun, kemudian diungkap dalam al-Qur’an, pada penjelasan ayat


berikutnya, bahwa persyaratan yang diajukan oleh Nabi Khidhir ternyata tidak
dipatuhi oleh Nabi Musa. Sebab, Nabi Musa masih juga mengajukan pertanyaan
kepada Nabi Khidhir. Dan, karena itu pula Nabi Khidhir memutuskan untuk berpisah
dengan Nabi Musa.

Jika ditanyakan, mengapa kita diperintahkan untuk bertanya manakala kita


tidak mengetahui atas sesuatu, sebagaimana difirmankan oleh Allah s.w.t. sendiri
dalam al-Qur’an:

َ‫ َأ ْه َل ال ِّذ ْك ِر ِإ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬¹‫فَ ْسَألُوْ ا‬.

“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian
tidak mengetahui.” (an-Nahl [16]: 43).

Jawaban yang dapat diberikan atas pertanyaan tersebut adalah, diperolehkan


seorang murid bertanya kepada gurunya jika pertanyaan yang tersedia diperintahkan
oleh sang guru yang mengajar untuk dipertanyakan. Sebab, semua itu berkaitan erat
dengan sampainya murid atas materi bahasan yang tengah diajarkan, atau
dikhawatirkan sang murid belum sampai pada materi bahasan yang diajukan
pertanyaan atasnya. Dan, ini akan menjadikan kendala tersendiri dalam penyerapan
pelajaran yang diberikan kepada murid.

B. Saran
Kami selaku penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kesalahan. Menyadari kekurangan itu kami mohon dengan kerendahan hati untuk
memberikan segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca bagi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid al -Gazali, 2018, Bidayatul Hidayah, terj. Ahmad Fahmi Zamzam,
(Permulaan Jalan Hidayah), Edisi Rumi (Cet. II; Malaysia: Pustaka
Darussalam Sdn Bhd, 1995), Di ambil dari URLwww.alkhoirot.org.pdf

Dailami Julis, 2015, “Al -Ghazali : Pemikiran Kependidikan Dan Im plikasinya


Terhadap Pendidikan Islam Di Indonesia”. Al-Fikrah: Jurnal
Kependidikan Islam Sulthan Thaha Saifuddin, Di akses padda 14 Maret
202, di ambil dari URL: https://media.neliti.com/media/publications/56661
-ID-al-ghazali-pemikiran- kependidikan-dan-im.pdf

Fananie Zainuddin, 2011, Pedoman Pendidikan Modern, Solo: Tinta Medina.

Marzuki, 2017, Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah.

Rama Bahaking, 2011, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Kajian Dasar, Makassar:
Alauddin University Press.

Rama Bahaking, Teori dan Pelaksanaan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam,


Makassar: Alauddin University Press.

16

Anda mungkin juga menyukai