Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 66 TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN

Pendahuluan

Manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain adalah untuk menyembah Kepada-Nya

sekaligus sebagai khalifah di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia diciptakan lebih

sempurna daripada makhluk lainnya dengan dibekali akal, pikiran, dan hati.

Tugasnya sebagai khalifah adalah melestarikan dan memanfaatkan segala apa yang ada di

muka bumi ini untuk kemakmuran umat manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan

ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada

pemeluknya.

Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya pendidikan. Pendidikan itu tidak akan

terjadi apabila tidak ada komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan pendidikan

tersebut, di antaranya adalah pendidik (subyek pendidikan), anak didik (obyek

pendidikan), materi pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, yang

akan saya bahas dalam makalah ini adalah tentang subyek pendidikan yang diilhami dari

cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir.

Pembahasan

TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 66 TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN

A.Bunyi Ayat dan Terjemahannya

Artinya: " Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau
mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk

menjadi) petunjuk?". (QS al-Kahfi:66).

B. Tafsiran Ayat

Dalam ayat ini Allah menyatakan maksud Nabi Musa as datang kepada Al Khidir, yaitu

untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Al Khidir berkata

kepadanya: "Saya adalah Musa". Al Khidir bertanya: "Musa dari Bani Israel?" Musa

menjawab: "Ya, benar! Maka Al Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata: "Apa

keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa menjawab, bahwa beliau datang kepadanya

supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya Al Khidir mau mengajarkan

kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada Al Khidir itu, yaitu ilmu yang

bermanfaat dan amal saleh.

Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid

kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu

berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan mohon diperkenankan mengikutinya,

supaya Al Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya.

Sikap yang demikian menurut Al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar

dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.

Dalam buku tafsir yang dikarang oleh Tim penafsir UII Yogyakarta, ayat ini menyatakan

bahwa maksud Nabi Musa as datang kepada al-Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya.
Nabi Musa as memberi salam kepada al-Khidir seraya berkata, "Saya adalah Musa". Al-

Khidir bertanya kepadanya (Nabi Musa as), "Musa dari Bani Isra'il?". Musa menjawab,

"Ya benar!". Maka al-Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata, "Apa

keperluannmu datang kemari?". Nabi Musa as menjawab, bahwa beliau datang

kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya al-Khidir mau

mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada al-Khidir itu,

yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh.

Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa as sebagai calon

murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan,

itu berarti Nabi Musa as sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau

menempatkan dirinya seorang yang bodoh dan mohon diperkenankan mengikutinya

supaya al-Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya.

Sedangkan di dalam tafsir al-Mishbah karangan Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab

dijelaskan bahwa ucapan Nabi Musa as terhadap al-Khidir tersebut sangat halus. Beliau

tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan,

"Bolehkah aku mengikutimu?". Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang

diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut

dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara

pribadi, yakni untuk menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan

keluasan ilmu hamba yang shaleh itu sehingga Nabi Musa as mengharap kiranya dia

mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu Nabi

Musa as tidak menyatakan "apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah" karena beliau

sepenuhnya beliau sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni dari
Allah Yang Maha Mengetahui. Memang, Nabi Musa as dalam ucapannya itu tidak

menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran karena hal tersebut telah merupakan

aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan hamba yang shaleh

itu juga penuh dengan tata karma. Beliau tidak langsung menolak permintaan Nabi Musa

as, tetapi menyampaikan penilaiannya bahwa nabi agung itu tidak akan bersabar

mengikutinya sambil menyampaikan alas an yang sungguh logis dan tidak menyinggung

perasaan tentang ketidaksabaran tersebut.

C. Penjelasan

Agama Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah sebagai

rahmatan li al-'Alamin (rahmatan bagi seluruh alam) dan diutusnya Nabi Muhammad

SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dengan demikian tentunya

agama Islam sangat memperhatikan aspek akhlak di mana pun, kapan pun, dan

bagaimana pun, baik itu pada aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan

aspek lainnya. Namun, yang akan saya paparkan dalam makalah ini adalah betapa

pentingnya memperhatikan etika-etika yang baik dalam aspek pendidikan.

Pendidikan secara umum adalah sebuah proses transfer ilmu dari satu pihak ke pihak lain

atau dari generasi yang satu ke generasi yang lain secara bertahap yang memiliki tujuan

yang absah dan bernilai. Tujuan dasar pendidikan itu sendiri adalah adanya perubahan

tingkah laku pada diri seorang murid. Sedangkan tujuan akhirnya adalah menghambakan

diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bahagia di dunia dan di akhirat.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah proses

transfer ilmu (ajaran Islam) dari satu pihak ke pihak lain atau dari satu generasi ke

generasi lain yang memiliki tujuan dasar yaitu perubahan tingkah laku pada diri seorang
murid dan memiliki tujuan akhir, yakni menghambakan diri kepada Allah SWT untuk

mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kembali ke pokok bahasan ayat ini, penafsiran ayat di atas kurang lebihnya dapat

dijelaskan, di antaranya adalah mengenai etika interaksi seorang pendidik dengan anak

didiknya. Pendidik dan anak didik adalah komponen dasar dari sebuah pendidikan karena

sangatlah mustahil pendidikan akan terjadi apabila salah satu dari komponen dasar

tersebut tidak ada.

Pendidik dan anak didik keduanya memiliki tugas atau kewajibannya masing-masing.

Seorang pendidik berkewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada anak didik,

sedangkan anak didik berkewajiban menuntut ilmu dari seorang pendidik. Karena peran

seorang pendidik sangat besar terhadap anak didiknya, maka seorang anak didik harus

menghormatinya.Dari sinilah terlihat bahwa penghoramatan terhadap seorang pendidik

termasuk bagian dari aspek akhlak (etika). Penghoramatan seorang anak didik terhadap

seorang pendidiknya telah dicontohkan oleh Nabi Musa as terhadap al- Khidir. Di antara

bentuk-bentuk penghormatan Nabi Musa as terhadap al- Khidir adalah berbicara dengan

lemah lembut, tidak banyak bicara, dan menganggap al-Khidir lebih tahu daripada

dirinya.

Dari gambaran kisah tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa ada beberapa bentuk

penghoramatan seorang anak didik terhadap seorang pendidiknya yang harus

diperhatikan dan diterapkan oleh seorang anak didik, sebagaimana yang terdapat dalam

kitab Ta'lim Muta'alim karangan Syaikh Ibrahim bin Ismail, di antaranya adalah:

1.Jangan berjalan di muka seorang pendidik

2.Jangan menduduki tempat duduk seorang pendidik


3.Jangan mendahului bicara di hadapan gurunya kecuali dengan izinnya

4.Jangan banyak bicara di hadapan guru

5. Jangan bertanya sesuatu yang membosankannya

6.Jika berkunjung pada guru harus menjaga waktu, dan jika guru belum keluar maka

jangan mengetuk-ngetuk pintu, tapi bersabarlah hingga guru itu keluar

7.Selalu memohon keridhaannya

8.Menjauhi hal-hal yang menimbulkan kemarahan guru

9. Melaksanakan perintah guru asal bukan perintah maksiat

10. Menghormati dan memuliakan anak-anak, famili dan kerabat gurunya

Selain itu intisari dari ayat tersebut di antaranya adalah bahwa seorang murid harus

mempunyai tekad yang tinggi dan bersungguh-sungguh terhadap apa yang akan

dipelajarinya, mengapa demikian? Karena dengan tekad yang tinggi dan usaha yang

sungguh-sungguh maka apa yang ia cita-citakan akan tercapai seperti apa yang telah

diucapkan oleh para 'Ulama, "Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan

berhasil".

Seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-

kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, dan mengarahkannya untuk tidak

mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak

sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya. Di sinilah peran guru sangat penting

sebagai penuntun bagi anak didiknya dan sebagai teladan bagi anak didiknya karena

tujuan dasar dari pendidikan, yakni perubahan tingkah laku anak didik, salah satunya

adalah tergantung dari pendidiknya. Jika pendidiknya memberikan teladan yang baik

maka anak didiknya akan mengikutinya, begitu juga sebaliknya jika pendidiknya
memberikan teladan yang tidak baik maka anak didiknya akan mengikutinya.

Perlu dijelaskan kembali bahwa seorang pendidik tidak hanya memberikan teladan yang

baik bagi anak didiknya saja melainkan menuntun anak didiknya. Dalam hal ini seorang

tokoh pendidikan Indonesia yang juga disebut sebagai "Bapak Pendidikan" Indonesia Ki

Hajar Dewantara berkata dalam sebuah ungkapannya yang terkenal:

Ing Ngarso Sung Tulodo

Ing Madyo Mangun Karso

Tut Wuri Handayani

Di depan harus memberikan teladan yang baik, di tengah harus membangun semangat

yang tinggi, dan di belakang harus menuntun ke arah yang baik. Begitu kiranya arti dari

ungkapan Ki Hajar Dewantara tersebut untuk dapat diterapkan oleh seorang pendidik.

Begitu juga keinginan menuntut ilmu timbul bukan atas tuntutan orang lain termasuk

tuntutan dari seorang guru akan tetapi timbul atas tuntutan pribadi karena hal ini akan

memupuk sikap bertanggungjawab atas dirinya sendiri, hal ini telah dicontohkan oleh

Nabi Musa as seperti yang telah disebutkan di atas.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dikenai taklif yang menuntutnya untuk

mempertanggungjawabkan apa yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia, maka

orientasi dari pendidikan itu adalah mencetak manusia yang bertanggungjawab secara

individual maupun secara sosial.

Kesimpulan

Pendidikan adalah suatu proses transfer ilmu dari satu pihak ke pihak lain atau dari satu

generasi ke generasi lain yang mempunyai tujuan dasar yaitu terjadinya perubahan
tingkah laku anak didik dan tujuan akhir yaitu menghambakan diri kepada Tuhan Yang

Maha Esa.

Dalam pendidikan terjadi proses interaksi antara pendidik dan anak didik. Dalam

interaksi inilah tentunya ada aturan-aturan (etika-etika) sendiri dalam Islam seperti apa

yang terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Etika-etika tersebut tentunya mengatur

bagaimana cara interaksi yang baik antara pendidik dengan anak didik, seperti bagaimana

seorang murid berbicara kepada seorang gurunya, bagaimana adab ketika belajar, dan

sebagainya.

Pendidik harus memahami potensi anak didiknya agar pelajaran yang hendak diajarkan

sesuai dengan tingkat kematangan (maturasi) anak didiknya. Pendidik dan anak didik

harus mempunyai tekad yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh. Selain itu, bagi

anak didik keinginan untuk menuntut ilmu adalah timbul dari kenginannya sendiri agar

dapat memupuk rasa tanggungjawab karena pada hakikatnya manusia diciptakan oleh

Tuhan Yang Maha Esa tidak lain adalah untuk menghambakan diri kepada-Nya dan dari

sinilah manusia dikenai taklif yang harus ia tanggungjawabkan nanti di hadapan-Nya.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: PT Syamil Cipta Media,

2005.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah Edisi Baru Vol. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Cet. I.

Team Penafsir UII, Al-Qur'an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, tt.
Bin Ismail, Syeikh Ibrahim, Syarh Ta'lim Muta'alim. Penerjemah Drs. M. Ali Chasan

Umar. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993.


Tmbhkan kode etik guru

Pengertian guru

Ilmu shleh apakah yg d ajarkan nabi stlah nabi musa

Khidir in siapa ?

Knp siswa tdk masuk d objek

Knp tdk dia yg jd nabi khidir sj yg jd nabi

Anda mungkin juga menyukai