Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Keteladanan Guru

1. Definisi Harfiah Keteladanan dan Guru

Kata keteladanan di dalam bahasa Arab disebut dengan uswah

dan qudwah. Sedangkan dalam bahasa Inggris, keteladanan diartikan

sebagai role model, Di dalam KBBI, keteladanan maknanya adalah hal

yang dapat ditiru atau dicontoh1. Padanan kata keteladanan adalah

‘panutan’, ‘contoh’. Di lingkungan pesantren, kata ‘guru’ memiliki

banyak sekali sebutan atau padanan kata, misal Kiai, Ustadz, Mua’allim,

Mudarris, Murabbi. Di luar pesantren luar Jawa, guru juga disebut

dengan Tuan Guru Bajang, Tuan Guru. Di lingkungan sekolah, sebutan

untuk guru hanya satu yaitu ‘guru’, seseorang yang mengajar dan

mendidik murid. Di lingkungan akademik perguruan tinggi, guru disebut

dengan dosen. Jika kontribusi pengetahuannya telah besar, maka disebut

Guru Besar. Diberi pula gelar Prof.


1
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/keteladanan
Dalam tradisi pendidikan Islam di Arab, guru memiliki istilah

cukup banyak yaitu Syaikh, Ustadz, Mu’allim, Murabbi. Apabilah

seorang guru itu memiliki kecakapan keilmuan di atas rata-rata maka

diberikan pula sebutan khusus seperti Imam, al-Hafidz, al-Musnid, dan

lain sebagainya.

Dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan

Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, definisi guru adalah pendidik

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan

pendidikan menengah.

2. Macam-macam Guru

Karena peneliti berangkat dari tradisi pendidikan Islam klasik,

yaitu pesantren, maka peneliti memaparkan klasifikasi guru berdasarkan

tradisi ulama klasik, yaitu a) Murabbi : seorang guru yang tidak hanyak

memberikan murid ilmu tapi juga yang mengawasi murid selama 24 jam,

di manapun dan kapanpun. Seorang Murabbi, berbeda dengan guru

seperti biasanya. Seorang Murabbi akan benar-benar mendidik muridnya

dari hal yang terkecil. Apabila si murid melakukan kesalahan kecil saja,

maka sang Murabbi tidak segan mengingatkan. Misalnya, tidak

menjalankan sunnah, tidak sholat malam, dll.


b) Mu’allim. yaitu guru yang berperan menanamkan informasi ke

dalam kognisi seorang murid, sehingga ia menjadi berwawasan luas,

dapat memahami ilmu-ilmu yang dhahir, serta memiliki kemampuan

menerangkan pelajaran yang telah diterangkan oleh gurunya. c)

Muaddib, yaitu guru yang memperhatikan kedisiplinan murid, mulai dari

tatakramanya, sopan santunnya, sehingga ia menjadi orang yang beradab.

d) mursyid, yaitu guru yang menyampaikan murid agar wushul (sampai)

kepada Allah Swt. Guru mursyid akan ditemui oleh seorang murid

manakala ia menempuh jalan ber-thariqah.

3. Tugas Seorang Guru Menurut Imam al-Ghazali

Dalam keterangan yang disampaikan oleh KH. Zuhri Zaini,

Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa

Timur, seorang pembimbing-pengajar atau disebut juga al-mursyid al-

mu’allim itu memiliki empat tugas. Pertama, berbelas kasih kepada

santri/pelajar dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Hal ini

sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

‫انما انا لكم كالوالد لولده‬

“Sesungguhnya aku pada kalian itu seperti seorang ayah (orang

tua) pada anaknya”. Di sini Imam Ghazali menyebut guru sebagai orang

tua hakiki, karena ayah adalah sebab yag mengantarkan kita hidup di

dunia fana ini. Sedang guru adalah sebab/perantara untuk kehidupan

yang kekal, maka hak guru didahulukan daripada hak orang tua.
Kedua, yakni mengikuti Nabi Muhammad SAW. menurut Imam

Ghazali (tanpa basa-basi) langsung memberi penekanan, “maka

janganlah kamu mencari upah dari mengajar”. Sebagaimana Firman

Allah dalam surat al-Insan ayat 76:

‫ال يريد منكم جزاء وال شكورا‬

“Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula

(ucapan) terima kasih”. Kendati seorang pengajar itu berjasa bagi para

santri atau murid, tapi para santri memiliki jasa pada dirinya. Karena

merekalah menjadi sebab bagi para guru untuk mendekat pada Allah

dengan cara menanam ilmu dan keimanan dalam hati para murid.

Ketiga, seorang guru jangan menyimpan nasehat untuk hari esok.

Seperti guru melarang muridnya mencari kedudukan sebelum mereka

layak mendapatkannya. Juga melarang mereka untuk menekuni ilmu

batin sebelum mengokohkan ilmu yang nyata (zahir). Keempat,

menasehati para murid dan melarang mereka dari akhlak buruk. Hal ini

tidak boleh dilakukan dengan cara terang-terangan, akan tetapi dengan

cara yang bijak. Sebab menasehati secara terang-terangan dapat

membuka aib dan merusah kewibawaan. Hendaknya, bagi guru harus

berperilaku lurus terlebih dahulu, lalu ia menuntut para muridnya untuk

berperilaku lurus pula. Bisa prinsip ini dilanggar maka nasehatnya tidak

berguna. Seperti kata Imam Ghazali,

‫ألن االقتداء باألفعال اكد من االقتداء باالقوال‬


“Karena, memberikan keteladanan dengan sikap itu lebih baik

daripada dengan menggunakan kalimat/bahasa lisan”. Hal ini selaras

dengan yang dikatakan oleh KH. Zuhri, “Kalau orang yang di atas pandai

menyuruh-nyuruh, maka jangan heran apabila rakyatnya memberontak.”2

4. Urgensi Keteladanan Guru bagi Perkembangan Kecerdasan

Intelektual, Emosional, dan Spiritual Santri

Keteladanan dari seorang guru memiliki pengaruh sentral

terhadap perkembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual

santri. hal ini disebabkan seorang guru adalah acuan para

murid/santri/peserta didik dalam berperilaku dan termasuk pula semangat

mereka dalam menjalani alur kehidupan. Dalam kitab Taysirul Kholaq,

Syaikh Hafidz Hasan al-Mas’udi mengatakan “guru adalah acuan murid

dalam hal kesempurnaannya dalam menguasari ilmu dan pengetahuan.

Karenanya, ia disyarakat memiliki sifat-sifat yang terpuji, karena ruh

seorang murid itu masih lemah dibanding ruh guru. Apabila guru itu

menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang sempuna, maka murid akan

mengikuti sifat gurunya pula.”3 Apa yang ditunjukkan oleh Syaikh

Hafidz tersebut cukup untuk memberi argumentasi bahwa guru memang

sumber ilmu bagi murid. Dari sumber ilmu inilah kecerdasan intelektual

seorang murid akan terstimulus dan berkembang dengan baik, terlebih

jika murid memiliki ta’alluq (ikatan batiniyah) antara dirinya dengan

guru secara kuat. Tentu dalam hal ini, yang dimaksud kecerdasan

2
https://www.nuruljadid.net/10612/tugas-seorang-guru-menurut-imam-al-ghazali
3
Terjemah Taysirul Kholaq, h. 15.
intelektual adalah kecerdasan yang dibarengi dengan tingginya adab.

Sebab sebagaimana nasehat para ulama’, bahwa futuh (terbukanya hati

dan pikiran seorang murid itu) bergantung pada kadar adabnya terhadap

gurunya. Para ulama berkata, “al-Madad bi qodril masyhad”.

Salah satu sebab mengapa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra.,

Sayyidina Umar bin Khattab ra., Sayyidina Utsman bin ‘Affan ra.,

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra., dan para sahabat lain mendapatkan

kedudukan yang tinggi di hadapan Allah, adalah karena mereka melihat

Nabi Muhammad SAW., bukan dari sisi basyariyyahnya sebagai

manusia, akan tetapi karena beliau adalah utusan Allah. Berbalik dengan

Abu Jahal, yang melihat Nabi Muhammad SAW., hanya sebagai

keponakannya. Dan keteladanan itu sendiri, menurut Habib Muhammad

Assegaf, tidaklah dipelajari dari buku, namun ia dipelajari dengan

berguru.

5. Mengenal Perspektif al-Qur’an Mengenai Keteladanan Guru

Keteladan seorang guru di dalam al-Qur’an setidaknya

menggunakan 3 term. Pertama yaitu term uswah. Term ini diulang

sebanyak tiga kali. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an surat Al-

Ahzab ayat 21,

‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َرسُوْ ِل هّٰللا ِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكانَ يَرْ جُوا هّٰللا َ َو ْاليَوْ َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْير ًۗا‬

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”


Dalam al-Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 4 dan 6 juga

disebutkan,

ْ ‫وا لِقَ ۡو ِم ِهمۡ ِإنَّا ب َُر ٰ َٓء‬


‫ُؤا ِمن ُكمۡ َو ِم َّما ت َۡعبُ ُدونَ ِمن‬ ْ ُ‫قَ ۡد َكان َۡت لَ ُكمۡ ُأ ۡس َوةٌ َح َسنَةٌ فِ ٓى ِإ ۡب ٰ َر ِهي َم َوٱلَّ ِذينَ َم َع ٓۥهُ ِإ ۡذ قَال‬

َ ‫دُو ِن ٱهَّلل ِ َكفَ ۡرنَا بِ ُكمۡ َوبَدَا بَ ۡينَنَا َوبَ ۡينَ ُك ُم ۡٱل َع ٰ َد َوةُ َو ۡٱلبَ ۡغ‬
ْ ُ‫ضٓا ُء َأبَدًا َحتَّ ٰى تُ ۡؤ ِمن‬
‫وا بِٱهَّلل ِ َو ۡح َد ٓۥهُ ِإاَّل قَ ۡو َل ِإ ۡب ٰ َر ِهي َم‬

ِ ‫ك َأن َۡبنَا َوِإلَ ۡيكَ ۡٱل َم‬


‫صي ُر‬ َ ‫ك تَ َو َّك ۡلنَا َوِإلَ ۡي‬
َ ‫ك ِمنَ ٱهَّلل ِ ِمن َش ۡى ٍء َّربَّنَا َعلَ ۡي‬ َ َ‫َأِلبِي ِه َأَل ۡست َۡغفِ َر َّن ل‬
ُ ِ‫ك َو َمٓا َأمۡ ل‬
َ َ‫ك ل‬

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada

Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka

berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri

daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami

ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan

dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah

saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:

‫ُوا ٱهَّلل َ َو ۡٱليَ ۡو َم ۡٱل َءا ِخ َر َو َمن يَت ََو َّل فَِإ َّن ٱهَّلل َ ه َُو ۡٱل َغنِ ُّى‬
ْ ‫لَقَ ۡد َكانَ لَ ُكمۡ فِي ِهمۡ ُأ ۡس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َمن َكانَ يَ ۡرج‬

‫ۡٱل َح ِمي ُد‬

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada

teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap

(pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa

yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi

Maha Terpuji.

Kedua, iqtida’, di dalam al-Qur’an disebutkan dalam surat Al-

An’am ayat 90,


ٰۤ ُ
َ‫ك الَّ ِذ ْينَ هَدَى هّٰللا ُ فَبِه ُٰدىهُ ُم ا ْقتَ ِد ۗ ْه قُلْ ٓاَّل اَ ْسـَٔلُ ُك ْم َعلَ ْي ِه اَجْ ر ًۗا اِ ْن هُ َو اِاَّل ِذ ْك ٰرى لِ ْل ٰعلَ ِم ْين‬
َ ‫ول ِٕى‬ ‫ࣖ ا‬
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah,

maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak

meminta imbalan kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur'an).” Al-

Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh

alam.”

Ketiga, yaitu ittiba’. Di dalam al-Qur’an terletak di empat tempat

dan empat surat yaitu surat at-Taubah ayat 100, ath-Thur ayat 21, Yusuf

ayat 108, Asy-syu’ara’ ayat 215.

ُ‫َّض َي هّٰللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرضُوْ ا َع ْنه‬


ِ ‫ار َوالَّ ِذ ْينَ اتَّبَعُوْ هُ ْم بِاِحْ َسا ۙ ٍن ر‬
ِ ‫ص‬َ ‫َوال ٰ ّسبِقُوْ نَ ااْل َ َّولُوْ نَ ِمنَ ْال ُم ٰه ِج ِر ْينَ َوااْل َ ْن‬

ٍ ّ‫َواَ َع َّد لَهُ ْم َج ٰن‬


َ ِ‫ت تَجْ ِريْ تَحْ تَهَا ااْل َ ْن ٰه ُر ٰخلِ ِد ْينَ فِ ْيهَٓا اَبَدًا ٰۗذل‬
‫ك ْالفَوْ ُز ْال َع ِظ ْي ُم‬

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk

Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang

mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka

pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang

mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-

lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”

‫َوالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َواتَّبَ َع ْتهُ ْـم ُذ ِّريَّتُهُ ْم بِا ِ ْي َما ٍن اَ ْل َح ْقنَا بِ ِه ْم ُذرِّ يَّتَهُ ْم َو َمٓا اَلَ ْت ٰنهُ ْم ِّم ْن َع َملِ ِه ْم ِّم ْن َش ْي ۗ ٍء ُكلُّ ا ْم ِرٍئ‬

‫ب َر ِهي ٌْن‬
َ ‫ۢبِ َما َك َس‬

“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang

mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan

anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit

pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa

yang dikerjakannya.”
َ‫ص ْي َر ٍة اَن َ۠ا َو َم ِن اتَّبَ َعنِ ْي ۗ َو ُسب ْٰحنَ هّٰللا ِ َو َمٓا اَن َ۠ا ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِك ْين‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫قُلْ ٰه ِذ ٖه َسبِ ْيلِ ْٓي اَ ْدع ُْٓوا اِلَى ِ ۗع َٰلى ب‬

“Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang

yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin,

Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”

َ‫ك لِ َم ِن اتَّبَ َعكَ ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬ ْ ‫ۚ و‬


َ ‫اخفِضْ َجنَا َح‬ َ

“dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman

yang mengikutimu.”

6. Mengenal Perspektif Hadits Nabi Mengenai Keteladanan Guru

Ibnu ‘Umar berkata:

َ‫اري ا ْستِرْ خَ ا ٌء فَقَا َل يَا َع ْب َد هَّللا ِ ارْ فَ ْع ِإزَ ا َرك‬


ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوفِي ِإز‬
َ ِ ‫ت َعلَى َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ْ‫َم َرر‬

‫اف السَّاقَ ْي ِن‬


ِ ‫ص‬َ ‫ال َأ ْن‬
َ َ‫ت َأتَ َحرَّاهَا بَ ْع ُد فَقَا َل بَعْضُ ْالقَوْ ِم ِإلَى َأ ْينَ فَق‬
ُ ‫ت فَ َما ِز ْل‬
ُ ‫فَ َرفَ ْعتُهُ ثُ َّم قَا َل ِز ْد فَ ِز ْد‬

“Aku melewati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

sedangkan sarungku turun, maka beliau bersabda: “Wahai ‘Abdullâh,

angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Lalu beliau bersabda;

“Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya

lagi). Setelah itu aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya:

“Sampai mana?” Ibnu ‘Umar berkata: “Pertengahan betis”. [HR. Muslim,

no: 2086. Riyâdhus Shâlihîn, no: 800]4

7. Mengenal Perspektif Qaul Ulama Mengenai Keteladanan Guru

َ َ‫اويَةُ يَ ْستَلِ ُم اَأْلرْ َكانَ ُكلَّهَا فَق‬


ٍ ‫ال لَهُ ابْنُ َعبَّا‬
‫س لِ َم‬ ِ ‫اويَةَ بِ ْالبَ ْي‬
ِ ‫ت فَ َج َع َل ُم َع‬ ِ ‫س َأنَّهُ طَافَ َم َع ُم َع‬
ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬

ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْستَلِ ُمهُ َما فَقَا َل ُم َع‬


َ ‫اويَةُ لَي‬
‫ْس َش ْي ٌء ِم ْن‬ َ ِ ‫تَ ْستَلِ ُم هَ َذ ْي ِن الرُّ ْكنَ ْي ِن َولَ ْم يَ ُك ْن َرسُو ُل هَّللا‬

َ‫ص َد ْقت‬ ِ ‫س { لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرسُو ِل هَّللا ِ ُأ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ } فَقَا َل ُم َع‬
َ ُ‫اويَة‬ ٍ ‫ت َم ْهجُورًا فَقَا َل ابْنُ َعبَّا‬ ْ
ِ ‫البَ ْي‬.

4
https://almanhaj.or.id/3623-memahami-makna-nabi-muhammad-adalah-uswah-hasanah.html
Dari Ibnu ‘Abbâs, dia mengerjakan tawaf di Baitullâh bersama

Mu’âwiyah. Lalu Mu’âwiyah mulai menyentuh semua sudutnya (sudut

Ka’bah). Maka Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Mengapa Anda

menyentuh dua pojok (Syami) ini, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi

wa sallam tidak pernah menyentuh keduanya?”. Mu’awiyah menjawab,

“Tidak ada sesuatu (pojok) dari Baitullâh ini yang ditinggalkan!”. Maka

Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri)

Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Maka Mu’âwiyah berkata,

“Engkau benar!”. [HR. Ahmad, no. 1877]

8. Konsep Keteladanan Guru dalam Ilmu Pendidikan Islam

Menurut Rakhmi Ifada, dalam artikelnya “Qudwah dalam Islam”,

terdapat kajian uswah dan qudwah di lama kitab kitab 10 Qowaid Fii

Tazkiyatun Nafs yang membahas tentang kaidah keempat yaitu,

‫( اتخاذأالســوةوالقدوة‬menjadikan uswah dan qudwah). Perbedaan kedua hal

tersebut yaitu terletak pada bentuknya. Seperti uswah yang memiliki arti

panutan yang bersifat ilmu pengetahuan dan akhlak. Sementara qudwah

memiliki arti panutan yang bersifat perbuatan. Namun, keduanya sangat

berat untuk dilakukan. Sehingga yang perlu kita jadikan panutan adalah

para rasul, terutama Rasulullah saw, teladan kita semua.

Tentang uswah dan qudwah tersebut difirmankan Allah swt dalam

Qs. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sungguh ada dalam diri Rasulullah

uswatun hasanah bagi seseorang yang mengharapkan Allah, hari akhir,

dan zikir kepada Allah.”


Menurut tafsir Ibnu Katsir, (Ibnu Katsir, jilid 6, hlm. 391) bahwa

ayat ini merupakan pedoman bergaya hidup. Yang mana dengan

pedoman itu seseorang dapat mengontrol diri dan selalu mengintrospeksi

kesesuaian gaya hidup sehari-harinya sebagai hamba Allah yang saleh.

Ayat tersebut merupakan pokok paling besar di dalam penjelasan tentang

keteladanan Rasulullah saw dalam ucapan, dalam perbuatan dan dalam

sikap-sikapnya. Sehingga keteladanan pada diri Rasulullah merupakan

totalitas. Dan ketika kita mengikuti ajaran beliau, itu merupakan bukti

cinta kepada Allah. Kita tidak dapat melakukan tazkiyatun nafs jika tidak

mengikuti sunah nabi.

Keteladanan (qudwah/uswah hasanah) dijadikan sebagai metode

dalam pendidikan Islam secara psikologi didasarkan akan fitrah manusia

yang memiliki sifat gharizah (kecenderungan mengimitasi atau meniru

orang lain). Al quran memberikan petunjuk pada manusia kepada siapa

mereka harus mengikuti dan meneladani agar mereka tidak tersesat.5

9. Konsep keteladanan dalam Ilmu Pendidikan (Perspektif Albert

Bandura)

Salah satu ilmuwan yang membicarakan ‘keteladanan’ dalam

proses pembelajaran secara spesifik dan mendalam adalah Albert

Bandura dalam teorinya Social Learning Theorys, and Modelling.

Bandura pada awalnya dipengaruhi oleh penelitian Robert Sears terkait

dengan familial antecedents dari perilaku sosial dan pembelajaran

identifikasi. Dia mengarahkan penelitian awalnya ke peran pemodelan


5
https://www.agpaii.org/berita-utama/qudwah-dalam-islam/
sosial dalam motivasi, pemikiran, dan tindakan manusia. Bekerja sama

dengan Richard Walters, mahasiswa doktoral pertamanya, ia terlibat

dalam studi pembelajaran sosial dan agresi. Upaya bersama mereka

menggambarkan peran penting pemodelan dalam perilaku manusia dan

mengarah ke program penelitian tentang faktor penentu dan mekanisme

pembelajaran observasional.

Teori pembelajaran Sosial merupakan pengembangan dari teori

belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori ini menerima

sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi

memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat

perubahan perilaku, dan pada proses -proses mental internal. Jadi dalam

teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan

reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk

memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar

sosial “ manusia” itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam

dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan.

Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan

yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-

lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui

perilakunya sendiri. Menurut Bandura, “sebagian besar manusia belajar

melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang

lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan


pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam

pembelajaran terpadu.

Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama,

pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang

dialami orang lain. Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji

dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru

melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh

gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian

yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan

meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan

positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan

model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh

pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan

apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak

harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga

menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.

Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori

pembelajaran sosial berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh

Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia diperoleh

dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk

menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori-

teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks sosial di mana

tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak


peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain.

Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan

belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan

orang lain sebagai model bagi dirinya.6

B. Konsep Adab

1. Definisi Harfiah Adab

Secara etimologi, kata ‘adab’ dalam bahasa Indonesia berasal dari

bahasa Arab ‘ ٌ‫ ’أدَب‬yang berarti ‘sopan santun’, ‘tata krama’. Bentuk

َ ‫أ َّد‬,
jama’ dari ‫ أدب‬yaitu ‫آداب‬. Sedangkan kata kerjanya yaitu ‫ب – يَُؤ دِّبُ – تَأ ِد ْيبًا‬

artinya mendidik, mendisiplinkan. Orang yang mendidik/mendisiplinkan

namanya muaddibun. Yang dididik/objek pendidikan namanya

muaddabun. Untuk orang yang beradab maka disebut adiibun. Dalam

kamus al-Maany, kata adab memiliki sinonim dengan kalimat ‫ـ‬،‫تهــذيب‬

‫ حياء‬، ‫ احتشام‬، ‫ لياقة‬،‫ عفّة‬،‫ طهارة‬،‫ رزانة‬،‫ حشمة‬. Sedangkan lawan kata dari adab

adalah ‫ فسق‬، ‫ فحش‬، ‫ فجــور‬، ‫ خالعــة‬، ‫تهتــك‬. Dalam kamus Ar-Raaid, adab

bermakna :

‫رياضة النفس بالتعليم والتهذيب على ما ينبغي‬

“Membiasakan diri dengan belajar dan disiplin sesuai dengan

apa yang harus dilakukan.” Atau diistilahkan juga sebagai:

‫ما يستحب أن يكون في التصرف‬

“sesuatu yang baik untuk dijadikan sebagai perilaku (tabiat)” Di

dalam kalam Arab disebutkan :

‫ راضه على محاسن األخالق والعادات‬: ‫أدب فالنا‬


6
https://www.indopositive.org/2019/09/albert-bandura-biografi-teori-dan.html
‫ وجّهه إلى محاسن األخالق والعادات الحميدة‬: ‫أدب الولد‬

Artinya ialah, “Mendidik si Fulan: melatihnya pada akhlak-akhlak

dan kebiasaan yang baik”, “Mendidik anak: mengarahkannya pada

akhlak yang baik dan kebiasaan yang terpuji”.

2. Urgensi Adab Bagi Santri (Peserta Didik) dalam Perspektif al-

Qur’an, Hadits, dan Qaul Ulama’

Dalam tradisi pendidikan Islam, para Ulama memberikan

perhatian besar terhadap persoalan adab ini. Abdullah bin Al-Mubaarok

rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang melalaikan adab, maka ia

dihukum dengan melalaikan perkara-perkara sunnah. Dan barangsiapa

yang melalaikan perkara-perkara sunnah, ia dihukum dengan melalaikan

perkara-perkara fardhu dan barangsiapa yang melalaikan ibadah fardhu ia

dihukum dengan tidak mendapatkan ma’rifah”.7

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah juga menjelaskan, “Adab seseorang

adalah tanda kebahagiaan dan keberuntungannya. Dan kurangnya adab

adalah tanda kesengsaraannya. Kebaikan dunia dan akhirat tidak di dapat

melainkan dengan adab. Serta seseorang tidak terhalangi dari kebaikan

keduanya melainkan karena kurangnya adab. Perhatikanlah adab kepada

kedua orangtua, bagaimana ia menyelamatkan orang tersebut dari gua,

ketika bebatuan menutupi pintu gua tersebut. Dan lihat pula ketika

melalaikan adab kepada ibu, karena ia menganggap sholat sunnah lebih

penting dari memenuhi panggilannya. Lihatlah bagaimana akhirnya ia


7
http://www.albayyinah.sch.id/hukuman-orang-yang-tidak-beradab/
diuji dengan dihancurkannya tempat ibadahnya, dipukul oleh manusia

dan dituduh melakukan perbuatan nista”8

3. Ragam Pembagian Adab dalam Literatur Kitab Klasik

Para Ulama memiliki cara perincian yang berbeda-beda dalam

menerangkan macam-macam adab di kitab mereka, tergantung pada

kompleksitas pembaca yang dituju. Dalam kitab Mausuu’ah al-Adab al-

Islamy misalnya, Syaikh Abdul Aziz bin Fathi bin as-Sayyid Nada

mengklasifikan adab menjadi dua. Yaitu adab kepada Allah SWT dan

adab kepada Rasulullah SAW. Kitab ini ditulis dalam bentuk ensiklopedi,

di mana Syaikh Abdul Aziz mencoba menyajikan adab dalam Islam

secara komprehensif yang telah ditulis para Ulama dalam berbagai

kitabnya. Sebab banyak dan komprehensif itulah, beliau kemudian

membuat babnya sesuai dengan urutan huruf Hijaiyah mulai dari alif

sampai wawu. Terkait alasan beliau menyusun kitab berdasarkan adab

wajib kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, beliau berkata,

‫ ورسوله صلى هللا عليه وسلم‬،‫ في بيان بعض اآلداب الواجبة مع هللا تعالى‬: ‫المبحث الثالث‬

‫ ألن التزام المسلم بأي أدب قولي أو‬،‫ وهي األصل لكل ما في هذا الكتاب‬،‫فإنها أعظم اآلداب‬

‫ فهذا في الحقيقة هو خير تمهيد بين يدي‬.‫فعلي ال يتحقق إال من خالل األدب مع هللا ورسوله‬

‫الكتاب‬.

“Bab tiga : menjelaskan adab-adab yang wajib bagi seorang

muslim kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, karena hal tersebut

merupakan adab yang paling tinggi. Dan merupakan inti dari tulisan ini,

karena kewajiban seorang muslim untuk beradab baik secara perbuatan


8
http://www.albayyinah.sch.id/hukuman-orang-yang-tidak-beradab/
maupun perkataan, tidaklah bisa terealisasikan kecuali dari segi

(mengutamakan) adab kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Ini sebenarnya

pengantar terbaik buku ini.

Kitab kedua yaitu Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim Fi Maa

Yahtaaju Ilaihi Al-Muta’allim Fi Ahwaali Ta’liimihin Wa Maa

Yatawaqqafu ‘Alaihi Al-Mu’allim Fi Maqaamaati Ta’liimihi yang

dikarang oleh Hadlrotusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.

Dalam kitab tersebut, beliau membagi pembahasan terkait adab dalam

delapan bab. 1) Keutamaan ilmu, ulama’, mempelajari ilmu dan

mengajarkannya, 2) adab seorang murid kepada dirinya sendiri terdiri

dari 10 macam adab, 3) adab seorang murid kepada gurunya terdiri dari

12 macam adab, 4) adab seorang murid dalam belajar dan yang berkaitan

dengan guru dan teman, terdiri dari 13 macam adab, 5) Adab guru pada

dirinya sendiri terdiri dari 20 adab, 6) adab guru terhadap pelajaran, 7)

adab guru terhadap murid terdiri dari 14 macam adab, 8) adab terhadap

kitab yang merupakan perangkat ilmu, da hal-hal yang berkaitan dengan

mendapatkannya, meletakkannya, dan menulisnya. Ada 15 macam adab.

Kitab ketiga yaitu Kitab Ta’lim Muta’allim Thariqut Ta’allum

karya Burhanul Islam az-Zarnuji. Dalam kitab tersebut beliau membagi

pembahasannya mengenai cara mencari ilmu/adab mencari ilmu menjadi

13, yaitu 1) Apa itu ilmu, fiqih, dan keutamaannya, 2) Niat dalam

mencari ilmu, 3) Memilih ilmu, guru, teman dan keteguhan dalam

mencari ilmu, 4) memuliakan ilmu dan pakarnya, 5) bersungguh-


sungguh, tekun, dan bersemangat dalam mencari ilmu, 6) ilmu yang

prioritas dipelajari, takaran dan urutannya, 7) tawakkal, 8) waktu untuk

belajar, 9) berbelaskasih dan memberikan nasehat, 10) mengambil dan

menyalin ada dari para Ulama’ 11) Wara’ tatkala dalam kondisi mencari

ilmu, 12) Perkara yang dapat menguatkan hafalan dan perkara yang dapat

menyebabkan lupa, 13) Perkara yang dapat mendatangkan rezeki dan

yang mencegahnya, serta perkara yang dapat menambah umur dan yang

bisa menguranginya.

Kitab keempat yaitu At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an karya

Abi Zakariyya Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi asy-Syafi’i atau lebih

dikenal dengan Imam an-Nawawi. Dalam kitab tersebut beliau membagi

pembahasan kitabnya menjadi sepuluh bab, yaitu 1) Keutamaan

membaca al-Qur’an dan menghafalnya, 2) keunggulan membaca al-

Qur’an dan pembacanya di antara yang lain, 3) memuliakan ahlul qur’an,

4) adab bagi pengajar dan yang belajar al-Qur’an, 5) adab penghafal al-

Qur’an, 6) adab membaca al-Qur’an, 7) adab bagi manusia secara umum

terhadap al-Qur’an, 8) Adab mengenai ayat dan surat yang sunnah dibaca

pada waktu dan kondisi tertentu, 9) Adab menulis al-Qur’an dan

memuliakan Mushaf, dan 10) Keterangan mengenai istilah nama dan

bahasa yang digunakan dalam kitab sesuai urutan tata letaknya.

Kitab kelima yaitu Kitab Fathul Karim al-Mannan fi Adabi

Hamalatil Qur’an karya Syaikh ‘Ali Muhammad al-Ma’ruf bi adl-Dliba’

al-Mishry. Dalam kitab tersebut, beliau membagi pembahasan kitabnya


menjadi lima, yaitu 1) Adab pembaca al-Qur’an, 2) Adab memegang al-

Qur’an, menyentuh dan menulisnya, 3) Adab bagi pengajar al-Qur’an

dan syarat pengajar al-Qur’an, 4) Adab orang yang belajar al-Qur’an, 5)

Adab bagi manusia dan yang mendengarkan al-Qur’an.

Dari klasifikasi adab yang telah disusun oleh para Ulama salaf

tersebut, maka penulis berupaya menyederhanakan adab yang berkaitan

dengan al-Qur’an -agar lebih mudah dipahami- menjadi dua yaitu 1) adab

seorang peserta didik ketika sedang mencari ilmu, dan 2) adab seorang

guru ketika telah mendapatkan ilmu. Pembagian ini didasarkan pada

individu yang berkecimpung dalam pendidikan yaitu pendidik dan

peserta didik. Dan didasarkan pada sabda Rasulillah SAW,

‫خيركم من تعلم القرآن وعلمه‬

Sebaik-baik di antara kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan

mengajarkannya”. Dari hadits tersebut maka dalam adab yang berkaitan

dengan pembelajaran al-Qur’an dapat pula dikategorikan pada dua aspek,

yaitu adab bagi guru dan adab bagi murid.

4. Adab guru terhadap hak dirinya sendiri

5. Adab guru terhadap murid

6. Adab guru terhadap pelajaran

7. Adab santri terhadap guru

8. Adab santri terhadap dirinya sendiri

9. Adab santri terhadap ilmu, kitab, dan yang berkaitan dengannya

C. Konsep Syair Manaqib


1. Defnisi Harfiah Syair

Lafal syair merupakan jenis karya sastra yang cukup masyhur di

kalangan masyarakat Arab Jahiliyyah, bahkan menjadi ciri khas yang

kian melekat di kehidupan sehari-hari masyarakat Arab Jahiliyyah.

Popularitas sebuah syair tidak terlepas dari keindahan bahasa yang

terkandung di dalamnya sehingga siapapun yang mendengarnya akan

terbawa secara emosional. Hal inilah yang kemudian menjadikan para

penyair mendapat tempat yang istimewa di tengah-tengah masyarakat

Arab Jahiliyyah. Mereka dianggap sebagai kaum intelektual yang tahu

berbagai pengetahuan yang dibutuhkan oleh bangsa Arab di masanya,

seperti pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah, dan ilmu lainnya

yang masyhur saat itu.9 Sebagaimana pendapat Abu Hilal al-Askari

bahwa syair disebut sebagai diwaanul ‘arab, “antologi kehidupan bangsa

Arab” karena isinya mengandung sejarah, baik sejarah individu, kabilah,

maupun kondisi masyarakat saat itu. syair digunakan untuk mengingat

sebuah peristiwa sejarah yang penting, mengingat jalur nasab seseorang,

dan membentuk opini mengenai kemuliaan seseorang.

Dalam kamus Lisan al-Arab, syair berasal dari kata sya’ara yang

artinya “ilmu dan makrifah”. Pengertian ini kemudian berkembang

seiring digunakannya syair sebagai sebutan untuk karya sastra berbentuk

puisi, sebagaimana disebutkan dalam al-Lisan,

‫ غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية‬،‫والشعر منظوم القول‬

9
Wildana & Laily, Sastra Arab Masa Jahiliyyah dan Islam. Hal. 87
Syair merupakan ucapan yang tersusun dengan baik, yang

mengacu pada kesesuaian wazan dan qafiyah. Wazan atau bahr dikenal

juga sebagai ritme (dalam puisi lama), sedangkan qafiyah ialah rima

akhir atau kesesuaian akhir baris (satr). Pengetahuan mengenai wazan

atau bahr ini dipelajari dalam ilmu ‘arudl. Masyarakat Arab jahiliyyah

dalam memproduksi sebuah syair masih sangat berpegang ketat pada

aturan ini, karena kuatnya tradisi ‘arudl dan qafiyah dalam tradisi sastra

Arab.10 Hal ini nampak dari kasidah Burdah karangan Imam Bushiri asal

Mesir (608-695 H) yang sangat masyhur di Indonesia dan dibaca di saat-

saat isitimewa seperti Maulid Nabi saw. Kasidah ini menggunakan bahr

basit sehingga sangat lembut dan emosional ketika dilafalkan maupun

didengarkan, terutama untuk syair pujian (madih).

Namun seiring perkembangan waktu, syair Arab tradisional yang

terikat pada wazan dan qafiyah (secara utuh dan konsisten) yang semula

mendominasi model syair di tanah-tanah Arab, kini mulai sepi peminat

seiring munculnya al-Syi’r al-Mursal, al-Syi’r al-Muwasysyahat, dan al-

Syi’r al-Hurr (puisi bebas). Ketiga jenis syair ini –sebagaimana pendapat

para penyair modern- lahir karena syair Arab tradisional telah kehilangan

daya dukung puitisnya dalam mengekspresikan luapan keindahan rasa

dan ketajaman gagasan tertinggi.11 Mustafa ‘Abdul al-Latif as-Saharti,

salah seorang pengusung puisi bebas, mengatakan bahwa puisi bebas

Arab telah mewadahi kepentingan ketajaman filosofis dan keindahan

10
Sukron Kamil. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Hal. 10-11
11
Ibid, hal. 35
emosi serta imajinasi penyair secara sempurna.12 Oleh karena itu, tema

yang diangkat dalam puisi bebas tidak hanya berkutat pada kisah

peperangan, kepahlawanan, atau musibah (sebagaimana puisi tradisional

Arab), tapi juga berkisah tentang cinta, spiritualitas, pujian kepada Rasul,

ketidakadilan, despotisme, eksistensialisme, kerusakan lingkungan,

kejahatan kemanusiaan, nasionalisme, bahkan ideologi. Semua terwadahi

dalam puisi bebas Arab.

Meskipun puisi bebas mendapat kritik dari berbagai pihak karena

dianggap merusak dan melenceng dari tradisi bersyair Arab pada

umumnya dan telah berlangsung berabad-abad, puisi bebas Arab justru

semakin mapan dan mendapatkan tempat. Di antara tokoh penyair dan

kritikus yang mendukung lahirnya syair bebas Arab adalah Ahmad Zakki

Abu Syadi di Mesir, Badr Syakir as-Sayyab, Nazib Malaikah di Irak, dan

Ali Ahmad Sa’id (Adonis) penyair Suriah dan Lebanon. Adapun kritikan

yang dimaksud adalah anggapan bahwa mereka yang mencipta puisi

bebas Arab adalah mereka yang tidak mampu membuat syair

sebagaimana syair tradisional Arab. Menurut Abdul Mun’im Khafaji,

puisi bebas Arab merupakan pembaharuan dalam puisi yang ekstrem dan

sulit diterima dalam budaya sastra Arab, bahkan dari segi metodologinya

sekalipun. Begitu pula Abdul Razzaq Muhiddin, mengatakan bahwa puisi

bebas Arab bukan saja berlawanan dengan kaidah ‘arudl dan qafiyah,

tapi juga prinsip-prinsip puisi Arab tradisional. Sehingga mereka

menolaknya sebagai bagian dari puisi Arab.


12
Ibid, hal. 34
Menanggapi tuduhan tersebut, Jibran Khalil Jibran, salah seorang

penyair terkemuka Lebanon yang juga pengusung puisi bebas Arab,

menulis sebuah puisi tradisional Arab yang berdasarkan pada bahr basit

dan bahr khafif. Kumpulan puisinya tersebut kemudian dinamakan al-

Mawaakib (arak-arakan). Seiring terjadinya pergolakan dan perdebatan

mengenai puisi bebas Arab, maka konsepsi mengenai puisi bebas Arab

kian diperjelas. Puisi bebas Arab bukanlah puisi yang seutuhnya lepas

dari tradisi bahr sebagaimana yang dituduhkan oleh para pengkritik puisi

bebas. Puisi bebas Arab justru menggabungkan banyak bahr tidak hanya

satu, juga ada yang hanya memakai satu jenis bahr tertentu yang

memiliki satu taf’ilah saja seperti bahr kamil, ramal, hajaz, rajaz,

mutaqarib, dan khafif. Sekalipun tidak terikat oleh ‘arudl, bukan berarti

puisi bebas Arab tidak memilki ritme, justru ia memiliki sisi ritme dan

musikalitas yang menarik sekalipun berbeda dengan apa yang diciptakan

oleh Khalil bin Ahmad di masa klasik.13

Khalil bin Ahmad merupakan pencipta kaidah matra tradisional

yang kemudian digunakan oleh banyak penyair dalam merangkai syair

Arab klasik, dan dalam pandangan Nazik al-Malaikah, puisi bebas Arab

sejatinya tidak pernah lepas maupun keluar dari tradisi bahr dalam puisi

Arab secara keseluruhan, melainkan hanya keluar dari kaidah matra

tradisional yang dibuat oleh Khalil bin Ahmad.

2. Macam-macam Syair

13
Ibid, hal. 22
Seorang kritikus sastra dari Mesir, Thaha Husein menulis sebuah

kitab berjudul fi adabil jahili, di mana dalam buku tersebut, Thaha

Husein membagi syair menjadi tiga kategori yaitu syi’r qishashi (syair

cerita), syi’r ghina’i (syair lirik), dan syi’r tamtsili (syair drama).14 syi’r

qishashi biasanya digunakan oleh masyarakat Arab jahiliyah untuk

menceritakan kisah-kisah peperangan, menggambarkan musibah-

musibah yang mereka alami dan beratnya ujian yang mereka hadapi.

Sedangkan syi’r ghina’i adalah syair yang mengungkap dalamnya

perasaan jiwa dan keinginan-keinginannya, yang menggambarkan

kehidupan seseorang dengan penggambaran karakter yang begitu kuat.

Dari sinilah kemudian muncul jenis-jenis syair dilihat dari gaya

pengungkapannya, di antaranya yaitu ghazal, ratsa’, madh dan hija’.

Ketika sajak-sajak itu telah penuh, maka mereka akan

mendendangkannya sebagaimana orang-orang Arab biasa menyanyikan

syairnya. Dalam hal ini terdapat seorang penyair terkemuka yang dikenal

dengan ketajaman lidahnya, ialah A’sya bin Qays. Jenis syair ini

kemudian semakin berkembang di era bani Umayyah dan Bani

Abbasiyyah, dan dibuatlah sebuah kitab yang khusus membahas tentang

lagu berjudul “al-Aghaany”. Terakhir, yaitu syi’r tamtsili merupakan

sebuah syair yang di dalamnya terdapat dialog (al-hiwaar). Contoh dari

syair ini dapat kita temui dari syair Umru’ul Qays ketika bertemu

kekasihnya, atau kumpulan puisi (diwan) milik Ibnu Abi Rabi’ah.15

14
Dampak konlik sastra Arab, Muhammad Affanfi
15
Thaha Husein, Fi Adab al-Jahili, hal. 289
Kedua jenis terakhir, yaitu syi’r ghinai dan syi’r tamtsili,

keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh puisi asing terhadap

puisi Arab sehingga di dalam puisi Arab, dikenal tiga jenis tersebut yaitu

syi’r qishashi, syi’r ghina’i, dan syi’r tamtsili. Adapun para qudama’ dan

muhadditsiin berpendapat bahwa kedua jenis puisi (ghina’i dan tamtsili)

terpengaruh dari puisi asing karena tidak bersandar pada kisah-kisah

peperangan yang saat itu sudah menjadi bagian dari kehidupan

masyarakat Arab Jahiliyyah. Selain itu, kedua jenis syair tersebut juga

tidak bersandar pada kisah-kisah kepahlawanan, melainkan lebih

menekankan pada estetika lafadz (kata) dan makna yang terkandung

dalam puisi.16

Syair lagu misalnya, mengandung kata yang cukup panjang

hingga membentuk diri seperti kasidah-kasidah yang terdiri dari ribuan

bait (sajak). Kata-katanya juga terikat oleh bermacam-macam wazan dan

musik (bisa dilagukan). Syair tersebut biasanya juga mengandung cerita-

cerita peperangan, kesulitan, dan kepahlawanan, tapi juga menyebutkan

kisah-kisah dewa, menggambarkan kepribadian penyair, serta kondisi

masyarakat (sesuatu yang sebelumnya belum ditemukan dalam syair

Arab).17

Begitu pula syair drama, menurut Thaha Husein syair drama tidak

bersandar pada dialog yang dikenal dalam syair Arab seperti ada lafadz

qaala, qaalat, ajaaba, maupun ajaabat. Akan tetapi dialog yang

16
Ibid
17
Ibid
dimaksud adalah dialog dengan makna yang benar (makna al-shahih) di

setiap kalimatnya.18

3. Definisi Harfiah Manaqib dan Urgensinya

Istilah manaqib berasal dari kata bahasa Arab “Manaaqibun”

yang artinya riwayat hidup, jejak hidup. Padanan lain dari kata Manaqib

adalah sirah, qishshoh, taarikh, dan tarjamah. Manaqib biasanya

dikhususkan untuk menyebut riwayat hidup orang-orang sholih untuk

kemudian diteladani.

KH. Achmad Asrory al-Ishaqy pernah mengarang sebuah kitab

berjudul “al-Muntakhobat fi maa huwa al-manaaqib”. Dalam kitab

tersebut beliau berkata, bahwa membaca manaqib (sejarah hidup para

wali) adalah suatu tradisi (sunnah) yang baik dan justru dapat menjadi

obat bagi hati.

‫ “الحكايات جند من جنود هللا‬:‫قال سيد الطائفة الشيخ أبو القاسم جنيد البغدادي رضي هللا عنه‬

ّ‫ وكال نقص‬:‫ فهل لذلك من شاهد؟ فقال نعم قوله تعالى‬:‫ـ فقيل له‬،‫تعالى يقوى بها قلوب المريدين‬

:‫عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك وجاءك فى هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين (هود‬

)120.

“Syaikh Abul Qasim Junaidi al-Baghdadi ra. berkata: “Cerita-

cerita tentang para kekasih Allah adalah pasukan yang diturunkan oleh

Allah Ta’ala untuk menguatkan hati seorang murid” Kemudian ada yang

bertanya: “Apakah ada dalilnya?” beliau Imam Junaid menjawab: “ada,

yaitu firman Allah Ta’ala, “Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan

kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu kami teguhkan hatimu;


18
Ibid
dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat

dan peringatan bagi orang yang beriman.. (QS.Huud:120).”

Dengan membaca sejarah hidup mereka, Allah akan menguatkan

hati-hati orang mukmin yang sedang diuji dengan beragam musibah.

Sebab di dalam kisah tersebut ada pelajaran dan hikmah yang bisa

diambil. Misal saja kisah Nabi Nuh as. yang berdakwah ratusan tahun,

tapi hanya beberapa puluh orang yang beriman. Jika dibandingkan

dengan jumlah umat Rasulillah SAW yang jutaan, tentu sangat jauh. Tapi

Allah Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Allah tidak

melihat pada kuantitas amal berupa banyaknya pengikut, namun kualitas

kesabaran, keteguhan dan keistikamahan dalam mengemban amanah

sehingga Allah mengaruniakan gelar yang sama yakni gelar ‘Ulul Azmi’.

Artinya beliau mendapat kehormatan sebagaimana kehormatan yang

disandang Rasulilllah SAW. gelar bagi para Nabiyullah yang diberi

cobaan-cobaan berat tapi tetap bersabar atasnya.

Kalau kita renungkan kembali, dengan membaca manaqib para

auliya’illah, kita akhirnya mengetahui perilaku-perilaku mereka. Melalui

perilaku-perilaku para kekasih Allah tersebut, kita seakan dituntun untuk

mengikuti jalan mereka, sebab di balik jalan-jalan itu ada sirr (rahasia

tersembunyi) yang hanya akan ditemukan oleh orang-orang yang berjalan

melewatinya.

Para wali Allah juga diberi karamah yang luar biasa yaitu adanya

pancaran Nur dari Allah ke dalam diri mereka. Sehingga sesiapa saja
yang melihat mereka atau duduk di dalam majlis mereka, maka pancaran

itu akan mengenai hati orang-orang yang melihatnya. Di sinilah

permulaan futuh (terbukanya hati untuk bisa ma’rifat kepada Allah)

dimulai. Selanjutnya hal tersebut akan berdampak pada hati yang

bertambah haus mengenal Allah dan segala sifat-sifat-Nya. Kyai Asrori

berkata,

‫ أحوال قلوب‬،‫ تزيد فى نور المعرفة وغيرها‬،‫ومما يدل على ان رؤية العارف باهلل تعالى‬

‫ـ ولما‬،‫ وهي تحس وتشعر وجود الرسول ﷺ وخالل مجالسته بينهم‬،‫الصحابة رضي هللا عنهم‬

‫ “ما‬:‫ حتى سيدنا أنس رضي هللا عنه يقول‬،‫ أنكرت قلوبهم على ما في أنفسهم‬،‫فرغوا من دفنه‬

‫نفضنا التراب من أيدينا من دفن رسول هللا ﷺ حتى وجدنا النقص فى قلوبنا‬

“Adapun dalil yang menunjukkan bahwa melihat orang yang

ma’rifat terhadap Allah Ta’ala akan menambah cahaya ma’rifat (di dalam

hati seseorang) adalah kondisi hati para sahabat, di mana mereka

senantiasa merasakan keberadaan Rasulillah SAW, dan di dalam majlis-

majlis mereka, seakan Rasulillah ada di antara mereka. Dan manakala

mereka usai memakamkan Rasulillah SAW, mereka tidak percaya atas

apa yang mereka alami, hingga Sayyidina Anas ra. berkata, “Tidaklah

kami mengibaskan debu pada kedua tangan dari debu makam Rasulillah

SAW sehingga kami dapati (cahaya) yang berkurang di hati kami.”

Maka telah jelas, bahwa membaca manaqib para kekasih Allah

bukanlah sesuatu yang unavailing (sia-sia). Justru dengan membiasakan

diri membaca manaqib para kekasih Allah, akan menambah cahaya

ma’rifat di dalam hati dan menumbuhkan mahabbah (kecintaan) kepada


Allah dan Rasul-Nya yang akhirnya mendorong seseorang untuk

berperilaku mulia. Dan tatkala fisik manusia sudah disibukkan dengan

kebaikan, dengan perilaku-perilaku mulia, maka sebagaimana ucapan

para Ulama’ hakikat, “sholahul qolbi bisholaahil jawaarih”. Bagusnya

hati itu ditempuh dengan memperbaiki anggota badan terlebih dahulu.

Ketika anggota badan sibuk pada hal-hal yang kurang baik, maka akan

memberi bekas noda pada hati. Sebaliknya, bila anggota badan sibuk

dalam ketaatan, maka itu menjadi kafarah (penghapus) atas noda-noda

hitam di dalam hati manusia dan menjadi sebab semakin terangnya

pancaran Nur ilahiah yang ada dalam diri mereka masing-masing.

4. Jenis-jenis Manaqib Ulama yang Populer di Indonesia

Ada cukup banyak manaqib ulama’ yang populer di Indonesia,

baik yang berbentuk syair maupun natsr (prosa). Di antara yang

berbentuk prosa adalah manaqib Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani ra. manaqib

ini berisi tentang cerita tentang kewalian Syeikh Abdul Qadir Al Jailani

atau syeikh Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin

Naufal Al Adfawi.19

Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani menceritakan tentang kehidupan

pribadi Syaikh Abdul Qadir Jailani dari masa kecilnya sampai Syeikh

Abdul Qadir Al Jailani tutup usia menceritakan karomah-karomah dan

tidak luput dari hal hal yang tidak bisa dinalar oleh aqal manusia biasa.

Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam wawasan masyarakat

Indonesia dipandang bukan hanya sebagai karya sastra biasa. Dalam


19
https://pesantren.id/manaqib-menurut-syaikh-abdul-qadir-al-jailani-11738/
wawasan masyarakat Kedinding Surabaya atau Jama’ah Al Kidmah

Pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani dianggap bermanfaat

dan melindungi pembaca atau pendengar terhadap segala marabahaya

dunia dan di akhirat, berkat karomah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani kita

bisa dituntun ke jalan yang terang benderang yaitu jalan menuju Allah

SWT.

Terkait tradisi menulis manaqib ini, telah ada dalam era

Rasulullah, sahabat, tabi’in, hingga para ulama salaf. Dalam Hadist-

Hadist Shohih, Mutawatir, Masyhur dan lain sebagainya, Baginda

Habibillah, Rosulillah Muhammad SAW menebutkan dan menceritakan

kisah dan manaqib keluarga dan shohabatnya, baik itu kamu Muhajirin,

Anshor, Shuhada’, dan sebagainya RA. Bahkan Imam Al Bukhory RA

dalam kitabnya menjelaskan dan menulis dalam bab tersendiri dengan

sub pembahasan Kitabul Manaqib, kitabu Fadhoo-ili Ashhabir

RosulillaHh SAW, dan kitab Manaqibil Anshor. Imam Muslim RA

dalam kitabnya yang menjelaskan dan menulis dengan sub pembahasan

Kitabul Fadhoo-il dan kitabu Fadhoo-ilish ShohabaHh. Imam Abi Dawud

RA dalam kitabnya yang menjelaskan dan menulis dengan sub

pembahasan bab Fi Fadhli Ashhabir Rosul SAW. Imam Turmudzi RA

didalam kitabnya yang menjelaskan dan menulis dengan pembahasan

Kitabul Manaqib ‘An Rosulullah SAW. Imam An Nasa’i RA dalam

kitabnya yang menjelaskan dan menulis dengan sub pembahasan Babul

Wafa’ bin nadzri. Imam Ibnu Majah RA dalam kitabnya menjelaskan dan
menulis dengan sub pembahasan Babu Fi Fadhoo-ili Ashhabir Rosulillah

SAW. Dan lain sebagainya dari kitab-kitab yang Mu’tabar dan

mu’tamad, seperti kitab Syamaa-ilil MuhammadiyyaHh Karya Imam

Turmudzi RA, Kitab syamaa-ilir Rosul SAW karya Imam Ibnu Katsir

RA, Kitab Dalaa-ilin NubuwwaHh karya Imam Al Baihaqy RA, Kitab

Syaroful Mushthofa RA karya Imam Abi Sa’d Abdul Malik bin Abi

Utsman Muhammad Al Khorkausyi An Naisabury RA, Kitab Khosho-

isill Kubro karya Imam As Suyuthy RA, Kitab Muhammad SAW Al

Insanul Kamil, Kitab Adz Dzakhoo-irul MuhammadiyyaHh keduanya

adalah karya imam Muhammad Bin Alwy bin Abas Al Maliky Al

Hasany RA.20

D. Kerangka Berpikir

1. Teori Segitiga Makna Charles Sanders Peirce

Teori segitiga makna Charles Sanders Peirce yang merupakan

teori formal dalam penelitian tesis ini, diposisikan sebagai theoritical

framework untuk memahami simbol-simbol yang ada dalam Syair

Kagem Romo KH. Abdul Mannan Syukur dan memperluas kajian

maknanya agar lebih leluasa dipahami oleh pembaca. teori segitiga

makna Charles Sanders Peirce merupakan bagian dari kajian semiotika,

yaitu suatu disiplin ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha

mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya


20
https://pesantren.id/manaqib-menurut-syaikh-abdul-qadir-al-jailani-11738/
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-

hal (things) memak

Bagi Charles Sanders Peirce prinsip mendasar sifat tanda adalah

sifat representatif dan interpretatif. Sifat representatif tanda berarti tanda

merupakan sesuatu yang lain, sedangkan sifat interpretatif adalah tanda

tersebut memberikan peluang bagi interpretasi bergantung pada pemakai

dan penerimanya. Semiotika memiliki tiga wilayah kajian:

a. Tanda itu sendiri. Studi tentang berbagai tanda yang berbeda,

cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna

dan cara tanda terkait dengan manusia yang menggunakannya.

b. Sistem atau kode studi yang mencakup cara berbagai kode yang

dikembangkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat atau

budaya.

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja bergantung pada

penggunaan kode- dan tanda16

Teori semiotika Charles Sanders Peirce sering kali disebut

“Grand Theory” karena gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi

struktural dari semua penandaan, Peirce ingin mengidentifikasi partikel

dasar dari tanda dan menggabungkan kembali komponen dalam

struktural tunggal.1721

Charles Sanders Peirce dikenal dengan model triadic dan konsep

trikotominya yang terdiri atas berikut ini: 1. Representamen adalah

bentuk yang diterima oleh tanda atau berfungsi sebagai tanda.. 2. Object
21
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/8433/1/Nur%20Hikma%20Usman.pdf
merupakan sesuatu yang merujuk pada tanda. Sesuatu yang diwakili oleh

representamen yang berkaitan dengan acuan. 3. Interpretan adalah tanda

yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang yang dirujuk sebuah

tanda. Untuk memperjelas model triadic Charles Sanders Peirce dapat

dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Triangle Meaning18 (Sumber: Nawiroh Vera

“Semiotika dalam Riset Komunikasi) Dalam mengkaji objek, melihat

segala sesuatu dari tiga konsep trikotomi, yaitu sebagi berikut: Pertama,

Sign (Representamen) merupakan bentuk fisik atau segala sesuatu yang

dapat diserap pancaindra dan mengacu pada sesuatu, trikotomi pertama

dibagi menjadi tiga.

a. Qualisign adalah tanda yang menjai tanda berdasarkan sifatnya.

Misalnya sifat warna merah adalah qualisign, karena dapat

dipakai tanda untuk menunjukkan cinta, bahaya, atau larangan.

b. Sinsign adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk

atau rupanya di dalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat

individual bisa merupakan sinsign suatu jeritan, dapat berarti

heran, senang atau kesakitan


c. Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu

peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, suatu kode. Semua

tanda-tanda bahasa adalah legisign, sebab bahasa adalah kode,

setiap legisign mengandung di dalamnya suatu sinsign, suatu

second yang menghubungkan dengan third, yakni suatu peraturan

yang berlaku umum.

Kedua, Objek, tanda diklasifikasikan menjadi icon, (ikon), indekx

(indeks), dan symbol (simbol). a) Ikon adalah tanda yang menyerupai

benda yang diwakilinya atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan

atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya,

kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya,

foto, dan lain-lain. b) Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung

pada keberadaannya suatu denotasi, sehingga dalam terminologi peirce

merupakan suatu secondness. Indeks, dengan demikian adalah suatu

tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang

diwakilinya. c) Simbol adalah suatu tanda, dimana hubungan tanda dan

denotasinya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau

ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama.

Ketiga, interpretan, tanda dibagi menjadi rheme, dicisign, dan

argument. a) Rheme, bilamana lambang tersebut interpretannya adalah

sebuah first dan makna tanda tersebut masih dapat dikembangkan b)

Dicisign (dicentsign), bilamana antara lambang itu dan interpretannya

terdapat hubungan yang benar ada c) Argument, bilamana suatu tanda


dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum (merupakan

thirdness)

Anda mungkin juga menyukai