Anda di halaman 1dari 12

TEORI BELAJAR PERSPEKTIF IMAM AL- GHAZALI

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Pembelajaran)

Dosen Pengampu:
Dr. Hj Ratni Bt. H. Bahri, M.Pd.I

Disusun Oleh
Moh. Fandi F

(201032027)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO


FAKULTA ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya makalah ini
tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
Baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW, Keluarganya, Sahabatnya dan semoga cucuran
rahmatnya sampai kepada kita ummatnya yang selalu mengikuti Sunnah-sunnah beliau dan juga
senantiasa menunggu syafaatnya di yaumul kiyamah aamiin yarabbal alamin

Tidak lupa pula ucapan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat iman dan kesehatan,
karena dengan nikmatnyalah, sehingga saya sebagai pemakalah mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dari Mata Kuliah Teori Pembelajaran yang berjudul: TEORI BELAJAR
PERSPEKTIF IMAM AL- GHAZALI.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya mengharapkan kritikan
yang membangun serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini saya selaku pemakalah
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak lupa juga ucapan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen pengampu Mata Kuliah Teori Pembelajaran yang telah
mangamahankan kepada saya untuk membuat dan memaparkan makalah ini.

Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat di fahami oleh dosen pengampu dan
juga teman-teman sekalian. Terima kasih.
BAB I

PENDAHULAN

A. LATAR BELAKANG

Dunia pendidikan tak terlepas dari campur tangan guru, yang merupakan komponen
penting dalam dunia pendidikan. Peran aktif guru, guna mencerdaskan kehidupan bangsa
sangat besar. Guru menjadi panutan, suri tauladan bagi setiap muridnya. Tak dapat
dipungkiri lagi bahwa guru adalah simbol terbentuknya akhlak siswa.

Kehidupan manusia selalu penuh dengan kegiatan yangdilakukan secara sengaja maupun
tidak sengaja, terencana maupun secara tiba-tiba. Kejadian ataukegiatan tersebut
menimbulkan pengalaman hidup.Sedang pengalaman hidup sendiri pada dasarnya
adalahhasil belajar.

Dalam pengertian belajar banyak cakupannya, seperti belajar itu suatu proses perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut merupakan perubahan yang positif artinya perubahan yang
menuju ke arah kemajuan atau perbaikan.

Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting,sehingga hampir setiap
saat manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar. Kalaulah di ambil makna yang luas dari
kata belajar, sehingganya tidak hanya melibatkan kognisi (proses berfikir yang melibatkan
akal/pikiran), tetapi juga hati (emosi dan spiritual), serta berlandaskan iman (keinginan kuat
untuk menemukan-Nya). 1

B. Rumusan Masalah
1. Kenapa perlu untuk belajar Tentang Teori Pembelajaran
2. Apa saja Syarat menjadi guru yang baik menurut Imam al ghazali
3.

1
Muhammad Jafar Sodiq, ‘Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali’, LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 7.2 (2017), 136
<https://doi.org/10.21927/literasi.2016.7(2).136-152>.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Belajar dan Pembelajaran Menurut Imam Al-Gazali

Imam Al-Ghazali termasuk ke dalam sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar
terhadap pendidikan, tidak mengherankan jika ia mendapat gelar Imam al-Murabin. Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir di Ghazaleh propinsi Tus wliayah Khurasan pada
tahun 450 H yang bertepatan dengan 1059 M. dan wafat di Tabristan wilayah Tus pada tahun
505 H yang bertepatan pada 1111 M.
Imam Al-Ghzali memulai pendidikannya di tempat kelahirannya, lalu melanjutkannya ke
Nisyafur dan Khurasan yang say itu terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di
dunia Islam. Di sana Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al- Juwainy
seorang guru besar dan ulama bermadzhab Syafi’i. Di kota tersebut ia mempelajari Teologi,
Hukum Islam, Filsafat, Logika, Sifisme dan Ilmu-ilmu alam yang mempengaruhi sikap dan
pandangan ilmiahnya dikemudian hari.2
Berkaitan dengan belajar Al-Ghazali menyatakan belajar itu suatu proses pengalihan ilmu
pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran siswa membutuhkan seorang guru dalam
memperoleh ilmunya.Pendidikan yang dilakukan oleh seorang syeikh seperti pekerjaan yang
dilakukan oleh petani, yang menyingkirkan duri dari tanaman liar yang mengganggu agar
tanaman dapat tumbuh dengan baik dan produktif. Oleh karena itu, seorang salik harus
memiliki syeikh yang akan mendidik dan menuntunnya ke jalan Allah Ta’ala. Dalam hadits
Rasulullah mengungkapkan bahwa wajib hukumnya belajar (menuntut ilmu).

َ ‫ طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬:‫صلَّى هَّللا عَليه و َساَّل م‬


‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُمسلِ ٍم َو ُم ْسلِ َم ٍة‬ َ ‫قَ َل سُوْ ُل هَّللا‬
“Rosulullah SAW bersabda: Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, bagi muslim laki-laki
dan muslim perempuan”3

Dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai ayat yang menerangkan keutamaan belajar, yaitu
firman Allah Ta’ala: (Q.S: At-Taubah: 122)

‫َو َما اَك َن الْ ُمْؤ ِمنُ ْو َن ِل َي ْن ِف ُر ْوا اَك ۤف َّ ً ۗة فَلَ ْواَل ن َ َف َر ِم ْن لُك ِ ّ ِف ْرقَ ٍة ِّمهْن ُ ْم َط ۤاى َف ٌة لِّ َي َت َفقَّه ُْوا ىِف ّ ِادل ْي ِن‬
ِٕ
‫َو ِل ُي ْن ِذ ُر ْوا قَ ْو َمه ُْم ِا َذا َر َج ُع ْوٓا ِالَهْي ِ ْم لَ َعلَّه ُْم حَي ْ َذ ُر ْو َن‬
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk

2
http://pai.unida.gontor.ac.id/kriteria-guru-dan-murid-ideal-pemikiran-pendidikan-imam-al-ghazali/
3
Asep Hermawan, ‘Konsep Belajar Dan Pembelajaran Menurut Al-Ghazali’, Jurnal Qathruna, 1.1 (2014), 84–98
<http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/qathruna/article/view/247>.
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapatmenjaga
dirinya.”

Berkaitan dengan belajar, imam al-Ghazâlî memandang anak sebagai suatu anugerah Allah
dan sekaligus sebagai amanah bagi orang tuanya.Orang tua menurut imam al-Ghazâlî–
memegang peranan penting dalamupaya mencapai keberhasilan belajar anak. Oleh karenanya,
jika orangtua dapat melaksanakan amanah, ia akan mendapat pahala di sisi Allah,dan
sebaliknya jika ia melalaikan tugas dan amanah, ia akan mendapatkan dosa.

Imam al-Ghazâlî menyatakan bahwa wajib hukumnya menunut ilmu, ini beliau kutip dari
sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China sekalipun.

Berkaitan dengan tujuan belajar al-Ghazâlî menekankan belajar sebagai upaya mendekatkan
diri kepada Allah. Imam al-Ghazâlî tidak membenarkan belajar dengan tujuan duniawi. Dalam
hal ini, imam al-Ghazâlî menyatakan:“Hasil dari ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah
mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan sekalian alam, dan menghubungkan diri dengan
malaikat yang tinggi dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan
penghormatan secara naluriyah."4

Pandangan imam al-Ghazâlî di atas bersumber dari pandangan ekstrimnya bahwa segala
bentuk ibadah (yang di dalamnya termasuk belajar) harus diniatkan untuk mencari keridhaan
Allah, melalui pendekatan (taqarrub) atau upaya mendekatkan diri kepada-Nya.5

Dalam belajar dan pembelajaran, imam al-Ghazâlî mengajarkan bahwa belajar adalah proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran yang bertahap, dimana proses
pembelajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri
kepada Allah menjadi manusia sempurna.

Berdasarkan pernyataan di atas, ada beberapa hal yang menjadi perhatian imam al-Ghazâlî,
yaitu:

1. Belajar dan pembelajaran adalah proses memanusiakan manusia. Prinsip ini sesuai
dangan aliran psikologi belajar humanisme, yang menawarkan prinsip-prinsip belajar
humanistik, yaitu :
 Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
 Belajar berarti jika mata palajaran sesuai dengan maksudnya sendiri.

4
Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûmuddîn, Juz I (tt: Masyadul Husaini, tt), hlm.10
5
Abdul Halim Mahmood, Hal Ihwal Tasawwuf, dari al Munqidz Min al Dlalâl, ter. Abu Bakar Basymeleh (Jakarta:
Darul Ihya’, 1994), hlm.179
 Belajar akan bermakna jika siswa melakukannya, bertanggung jawab,
berinisiatif, percaya diri, kreatif, introspeksi, dan terbuka.6

2. Waktu belajar adalah seumur hidup, dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Bahkan Imam al-Ghazali menegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan belajar
anak, orang tua sebagai pembelajar anak yang pertama memulai proses
pembelajarannya sebelum anak itu lahir, yaitu ketika ia hendak melakukan hubungan
suami istri, karena hal itu mempengaruhi kualitas anak yang dilahirkan.

Dalam kaitan ini Imam Al-Ghazali menyatakan dalam Adab al-Mu’asyarah (Adab
Pergaulan Suami Istri), dalam melakukan hubungan suami istri yang benar menurut sunah
Rasul, antara lain disebutkan harus dalam keadaan suci dari hadats kecil (berwudhu), membaca
basmalah, surat al-Ikhlas, membaca takbir, tahlil dan doa-doa lainnya.7

Belajar adalah sebuah pengalihan ilmu pengetahuan. Ini sesuai dengan pendapat salah
seorang tokoh psikologi kognitif Reber dan Wilkle, sebagai berikut: “Learning is a relatively
permanent change in respons potentiality which occurs as a result of enforced practice”.
(Belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil
latihan yang diperkuat).8

Demikian juga, Winkle berpendapat bahwa “Belajar adalah suatu proses mental yang
mengarah pada suatu penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebiasaan atau sikap yang
semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang
progresif dan adaptif”.9

Berkaitan dengan tujuan belajar, Imam Al-Ghazali menekankan belajar sebagai upaya
mendekatkan diri kepada Allah SWT, Imam Al-Ghazali tidak membenarkan belajar dengan
tujuan duniawi. Imam Al-Ghazali berpesan: “Jika niatmu adalah untuk memperoleh harta,
kesenangan dunia, kedudukan dan untuk menyombongkan diri terhadap kawan dan hal-hal
semacamnya, maka sungguh merugi kau…, sungguh merugi kau…, jika tujuanmu untuk
menghidupkan syari’ah Nabi Saw, memperbaiki akhlak, menundukkan nafsu amarah, maka
sungguh beruntung kau”.10
B. Motivasi dalam Belajar
Salah satu cara memahami hakekat manusia adalah dengan pendekatan yang lebih mengarah
kepada teori tentang kepribadian manusia. Dewasa ini telah banyak hasil yang dicapai oleh para
ahli psikologi dalam usaha untuk menyusun teori kepribadian . Pembahasan tentang

6
Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin Pendidkan, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 137-
140
7
Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûmuddîn, Juz II, hlm. 43
8
Arthur Reber, Peguin Dictionary of Psychology (Ringwood Victoria: Peguin Book Australia Ltd, 1988,) hlm.32.
9
W.S. Winkle, Psikologi Pendidikan (Jakarta : Gramedia, 1983), hlm. 162
10
Abu ‘Abdillah al-Husainy.Terj.Ayyuhal Walad., loc cit., hlm. 16.
kepribadian ini berkaitan erat dengan perilaku manusia yang salah satu determinannya adalah
motivasi.
Berdasarkan penggolongan determinan perilaku manusia itulah para ahli psikologi
mengemukakan teori-teorinya tentang motivasi. Di antara teori motivasi yang dikemukakan
adalah teori aktualisasi diri yang pertama kali dikemukakan oleh Carl Rogers dan kemudian
dikembangkan oleh Abraham H. Maslow. Abraham H. Maslow ini dianggap sebagai tokoh
madzhab ketiga dari aliran psikologi yang melakukan penelitan dengan cara meneliti orang-
orang yang sehat sebagai obyeknya.
Di sisi lain, Imam Al-Ghazâli melalui pendekatan tasawufnya banyak mengungkap hakikat
dan perilaku manusia. Dari pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazâli yang fenomenal ini banyak
terlahir pemikir-pemikir baru di bidang psikologi Islam. Diantara pemikiran Imam Al-Ghazâli
adalah konsepnya tentang fitrah yang dikenal dengan sebutan al-Nafs al-Rabbâniyyah. Konsep
fitrah Imam Al-Ghazâli berkaitan erat dengan pembahasan tentang motivasi. Untuk
menjelaskan motivasi perilaku manusia, Imam Al-Ghazâli menyuguhkan konsep syahwat
sebagai motivasi mendekat (al-sabab al-dâkhili) dan ghadlab sebagai motivasi menjauh (al-
sabab al-khâriji).11
C. Kriteria Memilih Ilmu atau Pembelajaran Menurut Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali lebih menekankan pada proses belajar dan pembelajaran yang mengarah
kepada perubahan tingkah laku, sebagaimana dinyatan oleh Imam Al-Ghazali sebagai berikut :
 Belajar merupakan proses jiwa
 Belajar menuntut konsentrasi.
 Berlajar harus didasari sikap tawadhu.
 Belajar bertukar pendapat hendaknya harus mantap dasarnya.
 Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu yang sedang dipelajari.
 Belajar secara bertahap.
 Tujuan belajar adalah membentuk akhlaq yang mulia.12

Imam al-Ghazali merumuskan klasifikasi ilmu pengetahuan yang diintrodusir dari wahyu
(alqur`an dan hadis) dan spirit sebagai landasan pokok.

Imam al-Ghazali, merumuskan klasifikasi ilmu pengetahuannya dengan berdasarkan pada


upaya mengembalikan dominasi spirit dan memberi status dan keunggulan wahyu sebagai
sumber pengetahuan. Ia mencoba membuktikan bahwa rasa, nalar dan intelek manusia tanpa
bantuan pengetahuan yang diwahyukan dan spirit tidak akan mencapai kepastian. Sumber
pengetahuan tersebut disebutnya dengan al-nubuwwah, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu
dan pada manusia biasa berbentuk ilham.13

Menurut Al Ghazali tujuan utama pendidikan Islam itu adalah bertaqarrub kepada
Allah Sang Khaliq, dan manusia yang paling sempurna dalam pandangannya adalah manusia
yang selalu mendekatkan diri kepada Allah.14
11
https://supraptojielwongsolo.wordpress.com/2008/05/24/teori-motivasi-al-ghazali-dan-maslow/
12
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, hlm. 53.
13
Ed. Ibrahim Agah Cubukcu dan Husseyin Atay, Al-Iqtisad fi- al-I’tiq (Ankara: Ankara University, 1962), h. 18.
14
Ramayulis, Filsafat PendidikanIslam, (Jakarta Kalam Mulia), hal. 121.
Untuk mencapai tujuan dari sistem pendidikan apapun, dua faktor asasi berikut ini mutlak
adanya yaitu:

1. Aspek-aspek ilmu pengetahuan yang harus dibekalkan kepada murid atau dengan makna
lain ialah kurikulum pelajaran yang harus dicapai oleh murid.
2. Metode yang telah digunakan untuk menyampaikan ilmu-ilmu atau materi-materi
kurikulum kepada murid, sehingga ia benar-benar menaruh perhatiannya kepada
kurikulum dan dapat menyerap faidahnya. Dengan ini, murid akan sampai kepada tujuan
pendidikan dan pengajaran yang dicarinya.15

Dari hasil studi terhadap pemikiran Al Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua: Pertama, tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita
mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir
dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa
mengabaikan masalah duniawi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa Imam Al Ghazali sangat menekankan
tujuan pendidikannya pada pembentukan agama dan akhlak seseorang dimana fadhilah
(keutamaan) dan taqarrub (upaya mendekatkan diri) kepada Allah merupakan tujuan yang
paling penting dalam pendidikan untuk menjadikan seseorang menjadi insan paripurna yang
nantinya akan membuatnya hidup bahagia di dunia dan di akhirat.16

Dalam rangka mewujudkan konsep pendidikannya, Imam Al Ghazali menggunakan metode


pengajaran yang menggunakan keteladanan, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat
keutamaan pada diri muridnya. Hal ini sejalan dengan prinsipnya yang mengatakan bahwa
pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi, yaitu guru
dan murid.

Dalam uraiannya yang lain, Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa metode pendidikan yang
harus dipergunakan oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip pada child centered
atau yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Metode demikian dapat
diwujudkan dalam berbagai macam metode antara lain:

1) Metode contoh teladan


2) Metode guidance and counsellling(bimbingan dan penyuluhan)
3) Metode cerita

15
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu,(Bandung : CV Diponegoro,
1986), Cet. Ke-1, hal. 28.
16
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakata : PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ke-1,
hal. 86.
4) Metode motivasi
5) Metode reinforcement (mendorong semangat)17

D. Kriteria Memilih Guru Menurut Imam Al-Ghazali


Dalam hal tujuan pendidikan Imam Al-Ghazali memberikan rumusan yang mencerminkan
sikapnya yang zuhud. Ia menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang, jika tujuan
pendidikan diarahkan bukan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt hal itu akan dapat
menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Imam Al-Ghazali memandang dunia ini bukanlah hal yang pokok, tidak abadi dan akan
rusak, sedangkan maut dapat memutusakan kenikmatan setiap saat. Lebih lanjut Al-Ghazali
menjelaskan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia
untuk tujuan akhirat, sehingga derajatnya lebih tinggi di sisi Allah Swt dan lebih luas
kebahagiaanya di akhirat. Rumusan ini dipahami Al-Ghazali berdasarkan pada isyarat Al-
Qur’an:

Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku (Q.S. al-
Dzariyat: 59)

Sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik bagimu dari pada kehidupan dunia
(Q.S. al-Dhuha, 93:4)

Sikap zuhud Al-Ghazali juga terasa ketika ia menjelaskan tipe ideal sorang guru atau
pendidik. H. M. Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam menjelaskan tentang ciri-ciri
pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan menurut Imam Al-Ghazali yaitu:

1) Guru mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya.


2) Guru mengingatkan muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt bukan untuk kebanggan diri atau keuntungan pribadi.
3) Guru mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat yang membawa
kebahagiaan dunia dan akhirat.
4) Guru menjadi contoh yang baik bagi muridnya, seperti berjiwa halus, lapang dada, murah
hati dan berakhlak terpuji lainnya.
5) Guru mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan intelektual dan daya tangkap anak
didiknya.
6) Guru memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya. Sehingga terjalin hubungan yang
akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
7) Guru mampu menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didik.
8) Guru mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya.
9) Guru tidak mengharap materi (upah) sebagai tujuan utama dari ia mengajar. Upahnya
adalah anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.18
17
Wahyuddin Wahyuddin, ‘Konsep Pendidikan Al-Gazali Dan Al-Zarnuji’, Ekspose, 17.1 (2018), 549–61.
18
Muhammad Yusuf Ahmad and Balo Siregar, ‘Guru Profesional Menurut Imam Al-Ghazali Dan Buya Hamka’, Al-
Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan, 12.1 (2015), 21–45
<https://doi.org/10.25299/jaip.2015.vol12(1).1446>.
E. Sikap Akhlak Murid Terhadap Guru
Selain menjelaskan beberapa ciri-ciri guru, Al-Ghazali juga menjelaskan ciri-ciri seorang
murid sebagai pesan dan nasehat bagi para penuntut ilmu.

Dalam kitab Bidayatul Hidayah Karya Imam Al-Ghazali, disebutkan terdapat 13 adab
yang menyatakan adab seorang murid terhadap gurunya, yaitu:
a. Apabila ia menemui gurunya, maka hendaklah ia memberi salam kepadanya
terlebih dahulu.
b. Jangan ia membanyakkan bercakap-cakap di hadapan gurunya.
c. Jangan ia bercakap-cakap sebelum gurunya bertanya kepadanya.
d. Jangan ia bertanya kepada gurunya sebelum ia meminta izin.
e. Jangan ia menyangkal (menunjukkan rasa tidak puas hati) terhadapan gurunya
seperti ia berkata: Si Fulan itu menyalahi akan yang engkau kata ini
f. Jangan ia mengisyaratkan kepada gurunya dengan menyalahi pendapatnya, maka
ia menyangka bahwa ia lebih mengetahui dari pada gurunya.
g. Jangan ia berbisik dengan orang yang duduk di tepinya ketika gurunya
memberikan pelajaran.
h. Jangan ia kiri dan ke kanan di hadapan gurunya tetapi hendaklah ia menundukkan
kepalanya dengan penuh tenang lagi beradab seolaholah dia sedang sembahyang
i. Jangan ia membanyakkan soalan kepada gurunya ketika ia letih.
j. Apabila gurunya berdiri hendaklah ia berdiri untuk menghormatinya.
k. Jangan mengikuti gurunya dengan perkataan atau soalan ketika ia bangkit dari
majelisnya.
l. Jangan bertanya kepada gurunya di tengah jalan sehingga ia sampai ke rumahnya
atau ke tempat duduknya.
m. Jangan jahat sangka terhadap gurunya apabila ia melihat gurunya mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang pada zahirnya menyalahi ilmunya (bukan menyalahi
agama) maka gurunya itu adalah lebih mengetahui dengan rahasia segala
perbuatannya.19

Dan Implikasi atau keterkaitan teori Belajar Imam Al-Ghazali dalam Pembelajaran
Bahasa Arab hanya sebatas memahami AlQur’an dan Al-Hadis dengan menggunakan metode
Gramatika-Terjemahan (Thariqah al-Qawa’id wa al-Tarjamah).20

19
Abu Hamid Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, diterjemahkan oleh Ahmad Fahmi Zamzam, (Banjarbaru: Darussalam
Yasin, 2016), h. 178-179.
20
Muhibin, Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2010), hlm.
133.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan menurut imam Al Ghazali
menekankan pada pendidikan agama dan akhlak. Menurutnya pengertian dan tujuan
pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dan bertujuan dalam proses pembentukan
insan paripurna. Adapundalammembuatsebuah kurikulum, imam Al Ghazali memiliki dua
kecenderungan, yaitu kecenderungan terhadap agama dan kecenderungan pragmatis.Adapun
aspek-aspek materi pendidikan Islam menurut pemikiran imam Al Ghazali adalah meliputi:
pendidikan keimanan, akhlak, akal, sosial dan jasmani. Menurutnya guru yang baik itu selain
cerdas dan sempurna akalnya, juga harus memiliki sifat-sifat yang terpuji. Adapun sifat yang
harus dimiliki oleh seorang murid yaitu rendah hati, mensucikan diri dari segala keburukan
taat dan istiqamah.Sementara yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas
yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.
Konsep pendidikan Islam dalam pemikiran imam Al Ghazali ini sejalan dengan tujuan
pendidikan di Indonesia saat ini. Dimana pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada kepada TuhanYang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab.
Semoga teman-teman dapat memahami apa yang ada dimakalah ini lebih dan kurangnya
saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Daftar Pustaka

Abdul Halim Mahmood, Hal Ihwal Tasawwuf, dari al Munqidz Min al Dlalâl, ter. Abu Bakar Basymeleh (Jakarta:
Darul Ihya’, 1994), hlm.179.

Abu ‘Abdillah al-Husainy.Terj.Ayyuhal Walad., loc cit., hlm. 16.

Abu Hamid Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, diterjemahkan oleh Ahmad Fahmi Zamzam, (Banjarbaru: Darussalam
Yasin, 2016), h. 178-179.

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakata : PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ke-1, hal.
86.

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, hlm. 53.

Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûmuddîn, Juz I (tt: Masyadul Husaini, tt), hlm.10.

Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûmuddîn, Juz II, hlm. 43.

Arthur Reber, Peguin Dictionary of Psychology (Ringwood Victoria: Peguin Book Australia Ltd, 1988,) hlm.32.

Ed. Ibrahim Agah Cubukcu dan Husseyin Atay, Al-Iqtisad fi- al-I’tiq (Ankara: Ankara University, 1962), h. 18.

Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu,(Bandung : CV Diponegoro,
1986), Cet. Ke-1, hal. 28.

http://pai.unida.gontor.ac.id/kriteria-guru-dan-murid-ideal-pemikiran-pendidikan-imam-al-ghazali/

https://supraptojielwongsolo.wordpress.com/2008/05/24/teori-motivasi-al-ghazali-dan-maslow/

Muhibin, Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 133.

Muhammad Jafar Sodiq, ‘Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali’, LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 7.2 (2017), 136
<https://doi.org/10.21927/literasi.2016.7(2).136-152>.

Ramayulis, Filsafat PendidikanIslam, (Jakarta Kalam Mulia), hal. 121.

W.S. Winkle, Psikologi Pendidikan (Jakarta : Gramedia, 1983), hlm. 162.

Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin Pendidkan, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 137-
140.

Anda mungkin juga menyukai