ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 5
1.4 Target Luaran .................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Pengetahuan ........................................... 6
2.2 Tinjauan Umum Pola Asuh Orangtua ................................. 11
2.3 Tinjauan Tentang Anak Usia Toddler ................................ 18
2.4 Tinjauan Tentang Toilet Training ...................................... 21
2.5 Kerangka Teori .................................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tahap-tahap Penelitian....................................................... 30
3.2 Lokasi Penelitian ............................................................... 30
3.3 Peubah ............................................................................... 30
3.4 Rancangan Penelitian ......................................................... 32
3.5 Tehnik Pengumpulan Data ................................................. 32
3.6 Analisa Data ...................................................................... 33
BAB IV BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
4.1 Biaya Penelitian ................................................................. 35
4.2 Jadwal Penelitian ............................................................... 35
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Hasil .................................................................................... 36
5.2.Pembahasan ......................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
RINGKASAN
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang
berbeda tetapi berlangsung sama, saling berkaitan sehingga sulit dipisahkan.
Perkembangaan anak yang kurang akan berakibat kualitas sumber daya
manusia (SDM) yang buruk di masa mendatang. Kualitas perkembangan anak
terutama ditentukan pada usia batita yang usia kisarannya 0-3 tahun
(Soetjiningsih 2012).
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita,
dimana diperlukan rangsangan atau stimulus yang tepat agar potensi yang ada
pada anak berkembang secara optimal (Maryanti 2011). Setiap anak
mempunyai tugas perkembangan yang harus dilewati dengan baik, terlebih
pada anak usia toddler (12-36 bulan). Salah satu tugas perkembangan pada
anak usia toddler adalah toilet training. Toilet training adalah kemampuan
untuk dapat mengontrol buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK).
Secara psikoseksual toddler berada pada fase anal, yaitu fase dimana anak bisa
mendapat kepuasan dengan bisa BAB dan BAK secara mandiri. Toilet training
perlu mendapat perhatian karena toilet training selain melatih anak dalam
mengontrol buang air juga dapat bermanfaat dalam pendidikan seks
(Soetjiningsih 2012).
Kebiasaan mengompol pada anak usia di bawah usia 2 tahun masih
dianggap sebagai hal yang wajar. Anak mengompol di bawah usia 2 tahun
disebabkan karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara
sempurna. Beberapa hasil penelitian dan literatur menyebutkan kira-kira
setengah dari anak usia 3 tahun masih mengompol. Setengah juta anak di
Inggris dan antara 5-7 juta anak di Amerika Serikat pada tahun 2012 sering
mengompol yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan orang tua dan
keluarga dalam membantu anak mengontrol kebiasaan buang air kecilnya
sehingga akan menyebabkan anak sering mengompol, celananya sering basah,
dan buang air sembarangan. Kasus yang ditemukan di Indonesia anak usia 6
tahun yang masih mengompol sekitar 12%. Diperkirakan jumlah balita di
Indonesia mencapai 30% dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut
survei kesehatan rumah tangga (SKRT) nasional tahun 2013 diperkirakan
jumlah balita yang susah mengontrol BAB dan BAK (ngompol) di usia toddler
mencapai 75 juta anak (Musfiroh dan Wisudaningtyas 2014)
Mendidik anak dalam melakukan BAB dan BAK akan efektif apabila
dilakukan sejak dini. Kebiasaan baik dalam melakukan BAK dan BAB yang
dilakukan sejak dini akan dibawa sampai dewasa. Salah satu cara yang dapat
dilakukan orang tua dalam mengajarkan BAB dan BAK pada anak adalah
melalui toilet training. Toilet training merupakan cara untuk melatih anak
agar bisa mengontrol buang air kecil dan buang air besar. Hal ini penting
dilakukan untuk melatih kemandirian anak dalam melakukan BAK dan BAB
sendiri. Toilet training baik dilakukan sejak dini untuk menanamkan
kebiasaan yang baik pada anak. Toilet training akan dapat berhasil dengan
baik apabila ada kerjasama antara orang tua dengan anak. Kerja sama yang
baik akan memberikan rasa saling percaya pada orang tua dan anak. Toilet
training sangat penting dalam membentuk karakter anak dan membentuk rasa
saling percaya dalam hubungan anak dan orang tua (Septiari 2012).
Pengetahuan berpengaruh pada penerapan toilet training pada anak. Ibu
yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, diharapkan pemahaman ibu
baik tentang manfaat dan dampak dari toilet training, sehingga ibu akan
mempunyai sikap yang positif terhadap toilet training (Munafiah et al. 2013).
Pengetahuan tentang toilet training sangat penting untuk dimiliki oleh seorang
ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan toilet training pada anak. Ibu yang
mempunyai tingkat pengetahuan yang baik berarti mempunyai pemahaman yang
baik tentang manfaat dan dampak toilet training (Pusparini 2010).
Keberhasilan toilet training juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua
dalam mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan pola asuh
yang tepat diharapkan dapat membentuk seorang anak dengan pribadi yang
baik, penuh semangat dalam belajar dan juga prestasi belajar anak terus
meningkat seiring pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak. Pola
asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan motorik kasar dan
halus, perkembangan bahasa dan kemampuan sosial anak termasuk
2
kemampuan toilet training (Budiarnawan et al. 2014). Salah satu fase tumbuh
kembang pada anak memiliki ciri dan tugas perkembangan seperti ketrampilan
motorik kasar, motorik halus, kemampuan bahasa dan sosial. Kemampuan
tersebut tergambarkan dari tingkah laku anak seperti keinginan untuk bermain,
rasa ingin berpetualang menjelajah dunia luar, dan berimajinasi menciptakan
suatu tingkah laku (Ratne et al. 2016).
Pola asuh dan peran orang tua pada anak usia toddler, dalam
mengajarkan toilet training dengan tepat berfungsi untuk melatih dan
mengontrol buang air besar dan buang air kecil. Latihan toilet training dapat
dimulai dengan pembiasaan anak menggunakan toilet, melatih anak duduk di
toilet, dan dilakukan secara rutin. Toilet training merupakan aspek penting
pada perkembangan anak usia toddler yaitu anak usia 1 sampai 3 tahun dimana
orang tua harus memberikan perhatian yang lebih dalam hal buang air besar
dan buang air kecil. Pembelajaran toilet training pada anak merupakan langkah
awal pembentukan kemandirian anak. Mengajarkan secara tepat dapat
menumbuhkan sikap disiplin anak. Tugas orang tua yaitu memberikan rasa
nyaman pada anak, memberi motivasi dan memberikan contoh yang benar
supaya anak lebih cepat mandiri dalam melakukan BAB dan BAK dengan baik
dan benar. Pada masa usia toddler, anak mengalami perkembangan, rasa ingin
tahu yang lebih tinggi dan juga mendapatkan lingkungan yang lebih luas
karena sudah mulai bisa berjalan (Septiari 2012).
Dampak orang tua tidak menerapkan toilet training pada anak
diantaranya adalah anak menjadi keras kepala dan susah untuk diatur. Selain
itu anak tidak mandiri dan masih membawa kebiasaan mengompol hingga
besar. Toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orang tua
semakin sulit untuk mengajarkan pada anak ketika anak bertambah usianya
(Femilia 2014).
Hasil penelitian Efendi (2013) tentang hubungan antara pengetahuan
dan pola asuh ibu terhadap kemampuan toilet training pada anak usia 2-3 tahun
di Paud Asa Bunda Semarang menunjukkan pengetahuan ibu dalam toilet
training sebagian besar baik yaitu 70,3%. Pola asuh dalam toilet training
demokratis 60,8%. Kemampuan toilet training 86,4%. Hasil uji bivariat
3
menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dan pola asuh ibu dengan
kemampuan toilet training pada anak usia 2-3 tahun.
Penelitian serupa dilakukan oleh Sutik (2016) tentang hubungan pola
asuh orang tua dengan tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia
prasekolah di TK Pembina Semampir Kediri dimana hasil penelitian
didapatkan responden yang menggunakan pola asuh demokratis sebanyak
30%, pola asuh otoriter sebanyak 52,5%, pola asuh permisif sebanyak 12,5%,
pola asuh penelantar sebanyak 5%. Sedangkan untuk tingkat keberhasilan yang
berhasil sebanyak 25%, cukup berhasil sebanyak 67,5%, kurang berhasil
sebanyak 7,5% dengan kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antara
pola asuh orang tua dengan tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia
prasekolah di TK Pembina Semampir Kediri. Semakin ke arah pola asuh
demokratis penerapan toilet training akan berhasil sedangkan semakin kearah
pola asuh penelantar penerapan toilet training kurang berhasil.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 27 April 2018 di
PAUD Asyiyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah data yang diperoleh tentang
jumlah anak usia toddler (1-3 tahun) berjumlah 32 orang dan ada 8 orang
yang masih menggunakan pempers atau popok sekali pakai. Hasil observasi
dan wawancara di peroleh informasi dari 10 orang tua anak yaitu 4 diantaranya
mengatakan bahwa anak mereka masih mengompol, dari 5 orang tua yang
memiliki anak laki-laki mengatakan bahwa mereka memberi kebebasan pada
anak mereka untuk buang air kecil di sembarang tempat. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan orang tua tentang toilet training masih kurang dan pola
asuh yang mereka terapkan pada anak tidak tepat. Berdasarkan uraian di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan
dan pola asuh orang tua dengan kemampuan toilet training pada anak usia
toddler di PAUD Asyiyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah.
4
dengan kemampuan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Asyiyah 2
Provinsi Sulawesi Tengah?
5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan
dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behaviour) (Notoatmodjo 2012).
7
Cara coba-coba ini dilakukan dengan mengunakan beberapa
kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila
kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang
lain. Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode trial (coba) and
error (gagal atau salah) atau metode salah (coba-coba).
b. Cara kekuasaan atau otoritas
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada
orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri
bahwah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula
8
mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang
dimilikinya akan semakin banyak.
2. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
3. Umur
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula
daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang
diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih
berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih
banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri
menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak
menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual,
pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak
ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya
perkembangan selama hidup:
a. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang
dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga
menambah pengetahuannya.
b. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang
sudah tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun
mental. Dapat diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan
bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang
lain seperti misalnya kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa
teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat
sejalan dengan bertambahnya usia.
4. Minat
9
menekuni suatu hal, sehingga memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam.
5. Pengalaman
6. Informasi.
10
melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan
tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang.
8. Lingkungan.
11
Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan
anak, mendidik, membimbing dan mendisplinkan anak dalam mencapai
proses kedewasaan hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang
diharapkan masyarakat pada umumnya. Anak perlu diasuh dan dibimbing
karena mengalami proses petumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan
dan perkembangan itu merupakan suatu proses. Agar pertumbuhan dan
perkembangan berjalan sebaik-baiknya anak perlu diasuh, dan dibimbing
oleh orang dewasa, terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga
(Septiari 2012).
Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua
meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan
lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar
anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola
asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam pendidikan
karakter anak (Septiari 2012).
2.2.2 Jenis pola asuh orang tua
Perkembangan pola asuh orang tua dibagi menjadi pola asuh otoriter,
pola asuh permisif, dan pola asuh demokratis yang diuraikan sebagai berikut
(Septiari 2012) :
1. Pola asuh otoriter (parent centered)
Pola asuh ini memiliki ciri orang tua sebagai pusat dalam
interaksi ini. Orang tua bertindak keras, memaksa, dan semena-mena
terhadap anak. Anak harus menuruti semua perkataan orang tua tanpa
diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat. Pola asuh otoriter
ini juga bersifat kekerasan. Pola asuh ini orang tua tidak segan-segan
memukul anak bila anak melanggar aturan-aturan yang sangat ketat
yang telah dibuat oleh orang tuanya. Hal ini menyebabkan anak menjadi
tidak percaya diri, penakut, kurang inisiatif, nakal, memberontak bahkan
melarikan diri. Anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang
baik jika mendapatkan kasih sayang yang melandasi dalam sebuah
keluarga.
12
2. Pola asuh permisif (children centered)
Pola asuh ini memiliki ciri anak sebagai pusat dalam interaksi ini,
yakni pola asuh yang cenderung memberikan kebebasan ditangan anak
tanpa kontrol sama sekali. Pola asuh ini membentuk pribadi yang manja,
anak menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab dan
kurang disiplin dalam aturan-aturan sosial yang ada. Ketidakadekuatan
peran orang tua dapat berakibat jangka panjang dalam perkembangan
anak, yang mengakibatkan anak tidak paham paham bahkan tidak
mengetahui aturan yang ada
3. Pola asuh demokratis (authoritative)
Pola asuh demokratis ini adalah pola asuh dimana kedudukan
orang tua dan anak adalah sama. Orang tua dan anak mempunyai
kebebasan yang sama dalam mengutarakan pendapat masing-masing.
Setiap keputusan yang diambil akan berdasarkan kesepakatan bersama,
dan tidak ada yang merasa dihakimi pada pola asuh ini. Pola asuh ini
akan membentuk keharmonisan antara orang tua dan anak, karena anak
merasa dirinya memiliki hak dalam mempertahankan dan
memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Pola asuh ini akan
mendorong anak untuk belajar bertanggung jawab dengan apa yang
dikatakannya namun, kebebasan yang diberikan pada anak tetap dalam
pengawasan orang tua, sehingga orang tua masih dengan mudah
mengontrol apa yang dilakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat
perkembangan usia anak. Kebutuhan pokok anak dapat diakomodasikan
dengan wajar pada penerapan pola asuh demokrasi ini, sehingga jika
kebutuhan pokok manusia dapat terpenuhi maka akan tercipta suasana
psikologis maupun sosial yang menggembirakan.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua
Beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam menerapkan
pola asuh kepada anak (Teviana dan Yusiana 2012) yaitu:
1. Jenis pola asuh yang diterima oleh orang tua sebelumnya
Tidak sedikit orang tua yang menerapkan pola asuh yang sama
pada anaknya seperti yang mereka terima dari orang tua mereka
13
sebelumnya tanpa melihat perkembangan zaman yang juga memiliki
peran dalam pembentukan perilaku anak. Sangat disayangkan jika pola
asuh yang mereka terima sebelumnya termasuk kedalam pola asuh yang
kurang benar, maka mereka akan menerapkannya pada anak-anak
mereka dan jika kita melihat perkembangan zaman sekarang yang begitu
pesat, jika pola asuh tersebut tidak dikendalikan dengan tepat, maka
akan menghasilkan perilaku anak yang tidak diinginkan.
2. Usia orang tua
Usia dapat menentukan tingkat kedewasaan orang tua
berdasarkan pengalaman hidup yang telah dilaluinya. Akibat usia yang
masih terlalu muda, anak cenderung mendapatkan pengawasan yang
lebih longgar karena sifat toleransi orang tua.
3. Status sosial ekonomi orang tua
Terpenuhinya kebutuhan pokok sebuah keluarga dapat
menentukan perilaku keluarga tersebut. Terdapat keterkaitan antara pola
asuh orang tua dengan status sosial ekonomi keluarga. Semakin rendah
status sosial ekonomi keluarga, maka orang tua akan semakin depresi
karena tertekan dalam tuntutan kebutuhan keluarga sehingga membuat
orang tua menerapkan pola asuh yang keras dan memaksa (otoriter).
4. Dominasi orang tua
Ibu adalah seseorang yang mengandung dan melahirkan anak,
tidak heran jika ibu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan anaknya.
Ikatan batin yang dimiliki ibu ini akan membentuk pola asuh yang lebih
lembut dibandingkan pola asuh ayah. Orang tua perempuan cenderung
menerapkan pola asuh autoratif, sedangkan orang tua laki-laki
cenderung menerapkan pola asuh otoriter. Jenis kelamin dan kondisi
anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Anak perempuan
cenderung memiliki perasaan yang lebih lembut, karena memilih
bermain boneka, sedangkan anak laki-laki lebih memilih bermain
dengan berlarian. Terutama dalam hal bergaul. Anak perempuan lebih
rentan untuk terjerumus kedalam pergaulan yang membahayakan masa
depannya.
14
2.2.4 Pola asuh orang tua menggunakan toilet training pada anak
Septiari (2012) mengemukakan bahwa mengajarkan anak
menggunakan toilet training adalah dengan cara :
1. Orang tua seharusnya memutuskan dengan hati-hati kata-kata apa yang
akan digunakan untuk menggambarkan bagian-bagian tubuh, urin, dan
BAB. Sebaiknya orang tua menggunakan kata-kata yang sudah umum
digunakan supaya tidak membingungkan atau mempermalukan anak.
Menghindari penggunaan kata-kata “kotor”, “nakal” atau jorok untuk
menggambarkan urin atau fases. Istilah negatif ini akan membuat anak
merasa malu dan bingung. Ajarkan BAB dan BAK dengan cara
sederhana. Anak mungkin ingin tahu dan mencoba untuk bermain
dengan fasesnya oleh karena itu orang tua harus dapat mencegah hal ini
tanpa membuat anak anda sedih, katakan bahwa fases bukan sesuatu
untuk dimainkan.
2. Ketika anak anda sudah siap, orang tua sebaiknya memilih pot (potoilet
traingy chair) untuk BAK atau BAB. Pot lebih mudah digunakan untuk
anak kecil, karena pendek sehingga anak tidak sulit untuk duduk
diatasnya dan kaki anak dapat mencapai lantai.
3. Anak-anak sering tertarik dengan aktivitas dalam kamar mandi
keluarga. Membiarkan mereka memperhatikan orang tuanya saat pergi
ke kamar mandi. Melihat orang dewasa menggunakan toilet akan
membuat merteka mempunyai keinginan yang sama. Jika
memungkinkan ibu sebaiknya memperlihatkan cara yang benar kepada
anak perempuannya, sedangkan ayah kepada anak laki-lakinya. Anak-
anak dapat juga mempelajari cara ini dari kakak atau teman-temannya.
4. Mengajarkan anak untuk memberitahukan bila dia ingin BAB atau
BAK, anak anda sering memberitahu pada saat dia sudah mengompol
atau BAB. Hal ini merupakan tanda bahwa anak mulai mengenal fungsi
tubuhnya. Ajarkan anak lain kali harus memberi tahu anda sebelumnya.
15
5. Sebelum BAB anak mungkin merintih, atau mengeluarkan suara-suara
aneh, jongkok, atau berhenti beberapa saat. Saat mengedan wajahnya
akan menjadi merah. Menjelaskan pada anak tanda-tanda terebut adalah
petunjuk saatnya menggunakan toilet. Kadang-kadang lebih lama
mengenal keinginan untuk BAK dari pada keinginan untuk BAB.
Beberapa anak belum dapat mengontrol keinginan BAK selama
beberapa bulan setelah mereka dapat mengontrol BAB. Beberapa anak
mampu mengontrol BAK terlebih dahulu. Sebagian besar anak laki-laki
belajar BAK dengan cara duduk terlebih dahulu, kemudian baru dengan
cara berdiri.
6. Ketika anak tampak ingin BAK atau BAB, pergilah ke pot. Biarkan anak
duduk di pot beberapa menit. Jelaskan bahwa ingin BAB atau BAK
disitu. Bergembiralah, jangan memperlihatkan ketegangan. Jika anak
anda protes dengan keras, jangan memaksa. Mungkin anak belum
saatnya untuk memulai toilet training.
7. Sebaiknya anak dilatih menggunakan pot secara rutin, misalnya menjadi
kegiatan pertama di pagi hari ketika anak anda bangun, setelah makan,
atau sebelum tidur siang. Ingatlah bahwa orang tua tidak dapat
mengontrol kapan anak anda BAB atau BAK.
8. Keberhasilan toilet training tergantung pada cara pengajaran bertahap
yang sesuai dengan anak. Orang tua harus mendukung usaha anak.
Jangan menginginkan hasil yang terlalu cepat. Berikan anak pelukan
dan pujian jika mereka berhasil. Bila terjadi kesalahan jangan memarahi
atau membuat mereka sedih. Hukuman akan membuat mereka merasa
bersalah dan membuat toilet training menjadi lebih lama.
9. Mengajarkan anak kebiasaan menjaga kebersihan. Menunjukkan cara
membilas yang benar. Anak perempuan seharusnya membersihkan dari
depan ke belakang untuk mencegah penyebaran kuman dari rektum ke
vagina atau kendung kemih. Memastikan anak laki-laki maupun
perempuan mencuci tangan mereka setelah BAB atau BAK.
10. Beberapa anak percaya bahwa urin atau faeses adalah bagian dari tubuh
mereka, melihat faesesnya disiram mungkin menakutkan dan sulit untuk
16
dimengerti. Beberapa anak takut mereka akan tersedot ke dalam toilet
bila disiram saat mereka masih duduk di atasnya. Orang tua harus
mengajarkan mereka keinginan untuk mengontrol, membiarkan mereka
mencoba menyiram tisu ke dalam toilet. Hal tersebut akan
menghilangkan ketakutan mereka terhadap suara berisik air dan mereka
dapat melihat benda yang menghilang, masuk ke dalam toilet.
11. Ketika anak anda mulai sering berhasil, tingkatkan dengan
menggunakan celana latihan (training pants). Kejadian terebut menjadi
sangat istimewa. Anak anda akan merasa bangga telah mendapat
kepercayaan dan merasa tumbuh. Bagaimana pun juga bersiaplah
terhadap terjadinya “kecelakaan”. Membutuhkan waktu berminggu-
minggu, bahkan berbulan-bulan sebelum toilet training selesai.
Sebaiknya tetap melanjutkan latihan duduk di pot di siang hari. Jika
anak dapat menggunakan pot dengan sukses, ini merupakan kesempatan
untuk memuji. Bila tidak ini masih merupakan latihan yang baik.
12. Awalnya, banyak anak akan BAB atau BAK segera setelah diangkat dari
toilet. Perlu waktu untuk anak belajar relaksasi otot-ototnya untuk
mengontrol BAB atau BAK. Bila sering terjadi “kecelakaan” seperti ini,
berarti anak belum siap untuk toilet training.
13. Kadang-kadang anak anda akan meminta popok saat merasa akan BAB
dan berdiri di suatu tempat tertentu untuk defekasi. Ajak anak mengenali
tanda-tanda keinginan BAB. Anjurkan kemampuannya dengan duduk di
atas pot tanpa popok.
14. Pola defekasi bervariasi. Beberapa anak 2-3 kali per hari. Anak lain 2-3
hari sekali. Fases yang lunak membuat toilet training lebih mudah untuk
anak dan orang tua. Terlalu memaksa anak dalam toilet training dapat
menimbulkan
masalah BAB jangka panjang.
15. Sebagian besar anak dapat mengontrol BAB dan BAK di siang hari saat
usia 3-4 tahun. Bahkan setelah anak tidak mengompol di siang hari
masih perlu waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk tidak
mengompol di malam hari. Sebagian besar anak perempuan dan lebih
17
dari 75% anak laki-laki mampu tidak mengompol di malam hari setelah
usia 5 tahun. Anak akan menunjukkan kepada orang tua jika dia sudah
siap pindah dari pot ke toilet sesungguhnya.
Anak usia toddler adalah anak usia 12 – 36 bulan (1-3 tahun) pada
periode ini anak berusaha mencari tahu bagaimana sesuatu bekerja dan
bagaimana mengontrol orang lain melalui kemarahan, penolakan dan
tindakan keras kepala. Hal ini merupakan periode yang sangat penting
untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan intelektual secara
optimal (Soetjiningsih 2010).
18
sepanjang rentang kehidupan individu. Senada dengan Allen dan Marotz
(2010) menyebutkan bahwa perkembangan mengacu pada bertambahnya
kompleksitas yaitu perubahan dari sesuatu yang sangat sederhana menjadi
lebih rumit. Proses bertahap penambahan sedikit demi sedikit dimana
setiap aspek baru perkembangan melibatkan dan dibangun atas perubahan
sebelumnya.
1. Perkembangan Kognitif
Menurut Jean Piagiet pada usia 1-3 tahun anak sudah dapat :
19
2. Bahasa
3. Sosial
Sebagian besar anak toddler merasa cukup aman tanpa kehadiran orang
tuanya mereka dapat enak berinteraksi dengan anak lain maupun
dengan orang dewasa.
20
dengan baik, anak sudah dapat menaikkan dan menurunkan celananya
sendiri, anak merasakan tidak nyaman bila mengenakan popok sekali pakai
yang basah atau kotor, anak menunjukkan keinginan dan perhatian
terhadap kebiasaan ke kamar mandi, anak dapat memberitahu bila ingin
buang air besar atau kecil, menunjukkan sikap kemandirian, anak sudah
memulai proses imitasi atau meniru segala tindakan orang, kemampuan
atau keterampilan dapat mencontoh atau mengikuti orang tua atau
saudaranya dan anak tidak menolak dan dapat bekerja sama saat orang tua
mengajari buang air. Kemampuan kognitif anak bila anak sudah mampu
melakukan toilet training, seperti dapat mengikuti dan menuruti instruksi
sederhana, memiliki bahasa sendiri seperti peepee untuk buang air kecil,
poopoo untuk buang air besar dan anak dapat mengerti reaksi tubuhnya bila
ingin BAB atau BAK dan dapat memberitahukan bila ingin buang air
(Septiari 2012).
Toilet training merupakan salah satu tugas utama anak pada usia
toddler, yakni latihan bagi anak agar mengenali rasa untuk mengeluarkan,
menahan buang air besar dan buang air kecil serta mampu
mengomunikasikan sensasi buang air kecil dan buang air besar kepada
orang tua (Wong et al. 2009). Toilet training merupakan suatu usaha untuk
melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan
buang air besar (Hidayat 2008). Toilet training merupakan langkah penting
menuju otonomi dan kontrol diri (Papalia 2008).
21
2.3.2 Kesiapan toilet training
22
air besar. Cara ini bener dilakukan oleh orang tua dan mempunyai nilai
yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil
dan buang air besar. Dimana kesiapan psikologis anak akan semakin
matnag sehingga anak mampu melakukan buang air kecil dan buang air
besar
2. Teknik modeling
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil dan
buang air besar dengan cara memberikan contoh dan anak
menirukannya. Cara ini juga dapat dilakukan dengan membiasakan anak
uang bair kecil dan buang air besar dengan cara mengajaknya ke toilet
dan memberikan pispot dalam keadaan yang aman. Namun dalam
memberikan contoh orang tua harus melakukannya secara benar dan
mengobservasi waktu memberikan contoh toilet training dan
memberikan pujian saat anak berhasil dan tidak memarahi saat anak
gagal dalam melakukan toilet training.
2.3.4 Hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training
Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama toilet training Wong et
al. (2009) adalah sebagai berikut:
1. Menghindari pemakain popok sekali pakai
2. Mengajari anak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan
buang air kecil dan buang air besar
3. Memotivasi anak untuk melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci
tangan dan kaki sebelum tidur dan cuci muka disaat bangun tidur
4. Tidak memarahi bila anak salah dalam melakukan toilet training
2.3.5 Pedoman toilet training
Pengaturan buang air besar dan berkemih diperlukan untuk
ketrampilan sosial, mengajarkan toilet training (TT) membutuhkan waktu,
pengertian dan kesabaran. Hal terpenting untuk diingat adalah bahwa anda
tidak dapat memaksakan anak untuk menggunakan toilet. The American
Academy of Pediatrics telah mengembangkan brosur ini untuk membantu
anak anda melewati tahap penting perkembangan sosial (Wong et al. 2009).
23
Wong et al. (2009) mengemukakan bahwa pedoman toilet training
adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan Konsep toilet training
Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa
mengontrol hajatnya apakah itu saat ia ingin buang air kecil BAK atau
buang air besar BAB. Selain itu anak diharapkan mampu BAK dan BAB
di tempat yang telah ditentukan.
2. Strategi pengenalan toilet training
a. Untuk BAK
1) Mengenalkan dulu istilah istilah BAK pis pipis terutama saat si
kecil selesai melakukan aktitivas tersebut
2) Mengenalkan suasana kamar mandi
3) Membiarkan si kecil bereksplorasi dengan isi kamar mandi
4) Mengenali tanda tanda saat si kecil akan BAK. Ini bisa dimulai
dengan cara membawanya ke toilet setiap 2- 3 jam sekali atau
lebih mudahnya setengah jam hingga satu jam setelah minum
5) Memuji bila ia berhasil meskipun kemajuannya tidak secepat
yang diinginkan
b. Untuk BAB
1) Mengenalkan dulu istilah istilah BAB pup eek dan lain-lain
terutama saat si kecil selesai melakukan aktitivas tersebut.
2) Memastikan si kecil sudah bisa duduk dengan baik tapi tetap
Anda pegang selama proses BAB
3) Memeluk si kecil saat berlangsungnya BAB tapi jangan terlalu
erat hanya untuk memastikan bahwa dia aman dan otomatis
pelukan ini bisa memberikan kenyamanan ketenangan buat si
kecil
4) Mengajak si kecil menyanyi Ya benar cara ini efekfif untuk
mengurangi ketegangan si kecil saat melakukan proses BAB
atau bisa juga diajak cerita tentang hal-hal yang dia sukai.
Memainkan ekspresi, ikuti ekspresi muka si kecil saat
24
mengedan Ini akan mempermudah nantinya untuk meminta si
kecil mengedan pada proses BAB.
5) Sekali waktu si kecil bosan dan tidak sabaran, tidak masalah
menuruti keinginannya dan tidak memaksakan ia duduk
melakukan proses BAB karena justru prosesnya dijamin gagal,
lama kelamaan si kecil akan paham bahwa proses mengedan
lebih enak dan nyaman dilakukan di atas toilet dari pada berdiri.
6) Proses akan disertai dengan pembilasan. Biasanya akan berebut
selang atau gayung. Basuh pantat si kecil sambil
memperlihatkan kotoran dan menyampaikan bahwa itu kotoran
yang harus dibuang.
2.3.6 Prinsip toilet training
Deslidel (2012) mengemukakan beberapa prinsip toilet training
adalah sebagai berikut :
1. Tidak berharap terlalu banyak;
2. Tidak memarahi, menghukum, atau mempermalukan anak;
3. Tidak menghentikan minumnya;
4. Tidak menggunakan cara yang tidak alami untuk mencapai tujuan;
5. Tidak berbicara terus;
6. Tidak memaksa;
7. Tidak jadikan masalah toilet sebagai isu moral. Tidak soal baik atau
buruh dalam hal toilet, hanya siap dan tidap siap;
8. Tidak mendiskusikan kemajuan dan kemunduran dihadapan anak;
9. Tidak merasa bersalah atau tersinggung atas proses yang lambat;
10. Tidak menjadikan kamar mandi sebagai area peperangan;
11. Tidak berputus asa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membiasakan toilet
training bagi balita (Deslidel 2012) adalah sebagai berikut:
1. Konsisten
Pastikan semua yang terlibat daam pembiasaan toilet training
pada balita anda (seperti orang tua, pengasuh nenek/kakek, paman/bibi)
mampu berlaku konsisten dalam melaksanakan pembisaaan toilet
25
training seperti yang anda terapkan. Beri informasi lengkap dan detail
mengenai kebiasaan dan jadwal buang air balita anda. Sikap konisten
membuat balita lebih cepat paham dan terampil dalam menggunakan
toilet.
2. Mencoba berbagai cara yang berbeda
Sebagai orang tua, harus kreatif dalam mengajak balita
membiasakan toilet training agar tidak terasa amat memaksa dan
membosankan, misalnya : tempelkan stiker kesukaan si kecil di kloset
yang akan ia gunakan atau memperbolehkan balita membawa mainan
favorit mereka ketika pipis atau pup ataupun berbagai cara kreatif
lainnya.
3. Memberi penghargaan
Apabila balita berhasil melakukan pipis dan pup dengan benar,
berilah penghargaan pada mereka. Penghargaan dapat berupa pujian
ataupun hadiah kecil, seperti stiker untuk ditempel dipapan yang sudah
disediakan untuk menempel ‘reward’ yang mereka peroleh sehingga si
kecil senang melihat hasil prestasinya. Sedapat mungkin proses
pembiasaan toilet training yang merupakan hal penting dalam hidup si
kecil dilakukan dengan menyenangkan dan tanpa paksaan. Kalaupun
dalam prakteknya sering terjadi ‘kecelakaan’, sedapat mungkin hindari
unruk memberikan hukuman pada si kecil, cukup katakan saja bahwa
anda kecewa dengan ‘kecelakaan’ tersebut. Kemarahan anda tidak akan
membantu proses pembiasaan toilet training si kecil, malahan dapat
membuat balita anda menjadi ketakutan sehingga kemungkinan si kecil
justru tidak mau mengatakan jika ia ingin pipis ataupun pup.
2.3.7 Faktor yang mempengaruhi keberhasilam bimbingan toilet training pada anak
26
1. Pengetahuan
Orang tua yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik
tentang toilet training akan menetapkan sesuai dengan kemampuan dan
kesiapan anak. Sebaliknya pada orang tua yang kurang dalam
pengetahuan tentang toilet training akan menerapkan tidak sesuai
dengan usia serta kemampuan anak. Hal ini dapat menimbulkan
kecemasan, stres dan muncul rasa marah jika melihat anak tidak mampu
melakukan toilet training. Pengetahuan tentang toilet training sangat
penting untuk dimiliki oleh seorang ibu, hal ini akan berpengaruh
pada penerapan toilet training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat
pengetahuan yang baik berarti mempunyai pemahaman yang baik
tentang manfaat dan dampak toilet training, sehingga ibu akan
mempunyai sikap yang positif terhadap konsep toilet training.
2. Pola Asuh
Keterampilan toilet training pada anak biasanya dipengaruhi
oleh pola asuh orang tua. Ketika anak berusia balita biasanya
keterampilan toilet training sudah dilatih atau dibiasakan. Pola asuh
orang tua yang tidak tegaan untuk melatih kedisiplinan dalam toilet
training turut berpengaruh dalam perkembangan kemampuan toilet
training. Kebiasaan untuk selalu menolong dan memanjakan
menjadikan anak sangat tergantung pada pengasuhan.
3. Motivasi stimulasi dari orang tua.
Orang tua akan mudah menerima dan mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu yang disebabkan oleh adanya keinginan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Motivasi yang baik untuk melakukan
stimulasi toilet training akan membantu keberhasilan toilet training.
2.3.8 Faktor yang menghambat pelatihan toilet training
27
3. Tekanan dari lingkungan atau orang lain memaksakan pelatihan. Orang
tua atau pengasuh berpendapat bahwa anak harus mengalami toilet
training sesegera mungkin untuk membuktikan keberhasilan
pendidikan dan menunjukkan keunggulan si anak
4. Perselisihan antara anak dan orang tua dalam menjalani toilet training.
5. Memberikan hukuman pada anak yang gagal dalam menyelesaikan
proses BAB atau BAK di toilet dengan baik.
6. Adanya faktor stres pada kehidupam anak
7. Adanya gangguan fisik atatu organik pada anak, misalnya kerusakan
sistem pencernaan sehingga menyebabkan gangguan fsiologis
berkemih dan defekasi. Hal ini tampak apabila anak terlalu sering BAB
atau BAK yaitu BAB atau BAK mengandung darah, ataupum nyeri.
Berdasarkan teori mengenai f;aktor yang mempengaruhi keberhasilan
toilet training di atas, faktor yang mendominasi adalah kesiapan fisik,
kesiapan psikologis dan kesiapan intelektual dari anak, serta faktor yang
berasal dari orang tua yaitu kesiapan orang tua, tingkat pengetahuan
orang tua tentang toilet training, pola asuh dan motivasi orang tua dalam
menstimulasi toilet training pada anak.
2.3.9 Manfaat keberhasilan toilet training
1. Anak memiliki rasa malu, tidak ingin dianggap sebagai anak kecil lagi.
3. Anak telah mengerti kebersihan diri seperti, anak tahu najis sehingga
telah terbiasa mencuci tangan dan duburnya selesai BAK dan BAB dan
menjaga keberhasilan toilet training.
28
dan diteruskan hingga berusia dewasa) dan kebiasaan dalam membuang air
besar (BAB) sembarangan (Subagyo et al. 2010). Hidayat (2008)
menyatakan bahwa kegagalan dalam melakukan toilet training memiliki
dampak yang kurang baik pada anak seperti anak akan terganggu
kepribadiannya, cenderung bersifat retentif, keras kepala bahkan kikir.
Sikap tersebut dapat disebabkan oleh sikap orang tua yang sering
memarahi anak pada saat melatih buang air besar atau buang air kecil.
Apabila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training
maka anak dapat mengalami kepribadian eksprensif, yaitu anak lebih tega,
cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan seenaknya
dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kegagalan toilet training pun akan
menyebabkan anak mengalami enuresis atau mengompol.
Pola Asuh
Otoriter
Permisif Jenis pola asuh yang diterima
Demokratis oleh orang tua sebelumnya
Usia orang tua
Status sosial ekonomi orang tua
Kemampuan Toilet Dominasi orang tua
Training
29
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.3. Peubah
Peubah dalam penelitian ini terdiri dari peubah independen dan
peubah dependen. Peubah independen terdiri dari pengetahuan dan pola asuh
orangtua. Peubah dependen pada penelitian ini adalah kemampuan toilet
traning. Adapun defenisi operasional dari masing-masing peubah adalah
sebagai berikut:
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui dan dipahami orang tua
tentang toilet training pada anak usia toddler.
Pola asuh orang tua adalah merupakan cara orang tua memperlakukan anak,
mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak usia toddler dalam
melakukan toilet training.
Kemampuan toilet training pada anak usia toddler adalah merupakan
kemampuan yang dimiliki anak usia toddler dalam mengontrol dan mengenali
serta mengomunikasikan ketika ingin buang air besar dan buang air kecil.
Selengkapnya jenis dan kategori peubah dibuat dalam tabel berikut:
31
Kemampuan Merupakan Kuesioner 1. Baik dengan Ordinal
toilet kemampuan yang skor median
training pada dimiliki anak usia ≥36.
anak usia toddler dalam 2. Kurang
toddler mengontrol dan dengan skor
mengenali serta median ≤36
mengomunikasikan
ketika ingin buang
air besar dan buang
air kecil
32
2) Peneliti akan memperkenalkan diri, akan menjelaskan tujuan penelitian,
cara pelaksanaannya, manfaat bagi peneliti dan responden, risiko yang
akan mungkin terjadi dan cara mengatasinya.
3) Bila calon responden bersedia berpartisipasi, peneliti menyiapkan lembar
persetujuan (informed consent) untuk disetujui dan tanda tangan.
4) Peneliti akan menjelaskan cara pengisian kuesioner dan jika selama
proses pengisian, responden berhak bertanya mengenai pertanyaan yang
terdapat dalam lembar kuesioner.
5) Pengumpulan kuesioner sesegera mungkin, lalu peneliti akan mengelola
data dan dilanjutkan ketahap analisis dat6a.
P= x 100%
Keterangan: P = Persentase
f = Frekuensi
n = Sampel
b. Analisis Bivariat
Data dianalisis secara bivariat. Analisi dilakukan untuk melihat kemaknaan
hubungan antara variabel bebas yaitu pengetahuan dan pola asuh dengan
variabel terikatnya yaitu kemampuan toilet training pada anak usia toddler.
Uji yang digunakan adalah uji Fisher’s Exact menggunakan software
pengolahan data statistik dengan derajat kemaknaan 5%. Dilakukan uji
33
Fisher’s Exact karena terdapat cells (25%) yang memiliki frekuensi
harapan (expected count ) kurang dari 5 lebih dari 20%.
34
35
BAB IV
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
BAB V
5.1. HASIL
5.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PAUD Aisyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah.
PAUD Aisyah 2 tepatnya berada di jalan Durian No. 45 Palu dan
merupakan salah satu sekolah PAUD yang berdiri sejak tahun 1965
sebagai sekolah milik yayasan swasta dan telah bekerja sama dengan
dinas pendidikan. Memiliki 7 kelas dan 1 kelas bermain.
Karakteristik f %
Pendidikan
Tamat SD 1 3,12
Tamat SMP 9 28,1
SMA 13 40,6
Perguruan Tinggi 9 28,1
Total 32 100
Pekerjaan
URT/Tidak bekerja 11 34,4
Swasta 4 12,5
Wiraswasta 9 28,1
PNS 8 25
Total 32 100
Sumber: Data primer 2020
Tabel 5.1 Menunjukkan bahwa dari 32 responden, sebagian besar
adalah responden yang memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu 13
responden 40,6%) dan responden yang tidak bekerja (URT) yaitu 11
responden (34,4%).
Pengetahuan ibu f %
Kurang baik 8 25
Baik 24 75
Total 32 100
Sumber: Data primer 2020
37
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 32 responden, sebagian besar
adalah orang tua dengan pola asuh yang baik yaitu berjumlah 25 responden
(78,1%).
5.1.3.1. Hubungan pengetahuan dengan kemampuan toilet training pada anak usia
toddler.
38
Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan hubungan pengetahuan
dengan kemampuan toilet training pada anak usia toddler di
PAUD Aisyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah
5.1.3.2. Hubungan pola asuh orang tua dengan kemampuan toilet training pada
anak usia toddler.
39
Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa dari 25 orang tua yang memiliki
pola asuh yang baik, 21 (84,0%) anak usia toddler memiliki kemampuan
toilet training baik. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa 7 orang tua
yang memiliki pola asuh kurang baik, 6 (85,7%) anak usia toddler
memiliki kemampuan toilet training kurang.
Hasil uji Fisher’s Exact didapatkan nilai p=0,001 (p Value <
0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan pola asuh orang tua dengan
kemampuan toilet training pada anak usia toddler.
5.2. PEMBAHASAN
5.2.1. Pengetahuan Ibu tentang Toilet Training pada Anak Usia Toddler.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki
pengetahuan baik tentang toilet training pada anak usia toddler. Hal ini
baik karena ibu yang memiliki pengetahuan baik tentang toilet training
akan mampu mengajarkan toilet training pada anaknya.
Menurut asumsi peneliti pengetahuan para ibu yang baik terjadi
karena telah banyak memperolah informasi tentang toilet training pada
anak usia toddler, baik dari petugas kesehatan maupun melalui media cetak
dan media elektronik baik secara audio, visual, maupun audiovisual serta
informasi dari bahan bacaan berupa buku dan majalah kesehatan tentang
tentang toilet training pada anak usia toddler. Pengetahuan sangat erat
kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan
pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Sebagian responden bekerja sehingga banyak bertemu
dengan orang lain dan saling memberi informasi sehingga pengetahuan
lebih baik. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula
pengetahuan yang diperoleh.
Sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2012) yang mengatakan
bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Umumnya semakin tinggi tingkat
40
pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima informasi. Hal
ini akan berdampak terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh orang
tersebut, pendidikan yang telah ditempuh seseorang di bangku sekolah
secara formil akan memberikan informasi baik itu tentang bidang
keilmuan ataupun hal lain secara umum.
Orang tua merupakan faktor terdekat dalam interaksi dengan
anak. Pengetahuan orang tua tentang toilet training berperan besar dalam
keberhasilan ataupun persentase pencapaian dalam toilet training. Orang
tua harus benar-benar mengerti dan paham tentang toilet training karena
hal ini berdampak pada aplikasinya terhadap anak. Pengetahuan orang tua
tentang toilet training bisa didapatkan dengan cara inisiatif sendiri, yaitu
mencari informasi melalui media massa atau internet, petugas kesehatan
melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan tentang toilet training
(Widyastuti 2011).
5.2.2. Pola Asuh Orangtua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar adalah orang
tua dengan pola asuh yang baik. Menurut peneliti hal ini juga terjadi karena
sebagian besar ibu memiliki pengetahuan baik sehingga mempengaruhi
mereka dalam menerapkan pola asuh. Selain itu faktor lain yang
mempengaruhi pola asuh ibu adalah usia dan pengalaman mengasuh
sebelumnya. Usia dan pengalaman mengasuh orang tua akan
mempengaruhi persiapan mereka dalam menjalankan pengasuhan.
Diketahui bahwa sebagian besar orang tua berusia dewasa awal. Dimana
pada usia tersebut seseorang sudah siap secara psikologis, mental dan
tanggung jawab untuk menjadi orang tua.
Hal tersebut dapat sejalan dengan pendapat Supartini (2014)
bahwa semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan untuk siap
menjadi orang tua lebih baik. Didukung pula Santrock (2009) mengatakan
bahwa pola asuh orang tua yang baik mendorong anak lebih mandiri,
namun orang tua harus dapat memegang kendali anak. Orang tua
merupakan paling dekat dengan anak. Pola asuh orang tua merupakan
interaksi antara orang tua dengan anaknya selama pengasuhan, orang tua
41
mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satunya adalah mengasuh
putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua memiliki berbagai
metode.
5.2.3. Kemampuan Toilet Training pada Anak Usia Toddler.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak usia
toddler memiliki kemampuan toilet training yang baik. Menurut asumsi
peneliti, hal ini terjadi karena tingkat keberhasilan dalam menggunakan
toilet training pada anak usia toddler ditentukan oleh pola asuh orang tua
atau ibu yang selalu dengan anaknya. Orang tua atau ibu yang penuh kasih
sayang dengan pengertian dan kesabaran mengajari anaknya akan selalu
berhasil membimbing anak usia toddler dalam menggunakan toilet
training seperti anak memberitahu jika celana/popok sekali pakainya
sudah basah, anak memegang alat kelamin atau minta ke kamar kecil
sebagai alarm bahwa anak ingin buang air kecil dan buang air besar, anak
mampu membuka dan memakai celananya secara mandiri jika akan buang
air kecil dan buang air besar, anak masih meminta bantuan pada saat
membuka celana ketika ingin buang air kecil dan buang air besar, anak
mencoba menyiram toiletnya sendiri dan meminta bantuan pada orangtua
untuk cebok setelah BAB dan BAK
Keberhasilan toilet training selain dipengaruhi oleh pola asuh,
juga dipengaruhi oleh kesiapan anak. Kesiapan anak yang perlu
diperhatikan orangtua sebelum memulai toilet training adalah kesiapan
fisik, psikologis dan intelektual. Kesiapan fisik berupa kematangan atau
kekuatan otot-otot sehingga anak menjadi mampu dan sanggup untuk
dilatih. Kesiapan psikologis dapat dilihat dari sikap ketertarikan yang
ditunjukkan anak, dan kesiapan intelektual merupakan keadaan dimana
anak sudah mulai paham tentang kegunaan toilet. Anak yang telah
memperlihatkan tanda kesiapan fisik, psikologis dan intelektual
menunjukkan bahwa anak sudah siap untuk toilet training. Jika anak belum
siap, maka sebaiknya orangtua tidak memaksa, namun terus melakukan
stimulasi perkembangan, khususnya pada ketiga aspek tersebut dan
memulai toilet training pada saat yang tepat (Septiari 2012).
42
Kesiapan anak sebelum memulai toilet training merupakan hal
utama yang harus dimiliki untuk mempermudah anak dalam mencapai
keberhasilan karena jika anak sudah menunjukkan tanda-tanda
kesiapannya maka anak senang melakukan toilet training, bukan karena
terpaksa melaksanakan perintah orangtuanya. Dengan demikian, orangtua
akan lebih mudah bekerja sama dan mengarahkan anaknya (Subagyo et al.
2010).
Keberhasilan toilet training ini tidak terlepas dari peran serta
orangtua atau ibu dalam menerapkan toilet training dalam sehari-hari.
Pentingnya orangtua memberikan reinforcement (penghargaan) ketika
anak menunjukkan kemajuan dalam toilet training sesuai dengan
pernyataan Ginanjar (2008) dalam penelitian Frima (2013) tentang
manfaat dari reinforcement positif bahwa dengan adanya reinforcement
positif maka anak yang berhasil akan termotivasi untuk melakukan hal
yang sama di hari berikutnya sehingga tanpa sadar akan menjadikannya
sebagai suatu perilaku yang bersifat lebih menetap.
5.2.4. Hubungan Pengetahuan dengan Kemampuan Toilet Training pada
Anak Usia Toddler.
Hasil uji statistik Fisher’s exact didapatkan nilai p=0,000 (p value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan pengetahuan dengan
kemampuan toilet training pada anak usia toddler. Anak usia toddler yang
memiliki kemampuan toilet training baik berpeluang terjadi pada ibu yang
memiliki pengetahuan baik tentang toilet training. Anak usia toddler yang
memiliki kemampuan toilet training kurang baik pada ibu yang memiliki
pengetahuan baik terjadi karena kemampuan toilet training bukan saja
dipengaruhi oleh pengetahuan maupun pola asuh orang tua akan tetapi
faktor anak sendiri juga mempengaruhi kemampuan anak dalam
melakukan toilet training diantaranya kesiapan anak melakukan toilet
training. Selain itu ibu memiliki pendidikan tinggi sehingga
mempengaruhi pengetahuan mereka tentang toilet training menjadi lebih
baik. Sebaliknya ibu yang memiliki pengetahuan kurang baik akan tetapi
memiliki anak usia toddler yang memiliki kemampuan toilet training baik
43
terjadi karena ibu memiliki pengalaman dalam mengurus anaknya yang
terdahulu sehingga anak usia toddler yang memiliki kemampuan toilet
training baik.
Menurut peneliti hal ini terjadi karena seorang ibu yang memiliki
pengetahuan baik tentang toilet training akan mampu mengajarkan toilet
training pada anaknya. Pengetahuan berpengaruh pada penerapan toilet
training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik,
diharapkan pemahaman ibu juga baik tentang manfaat dan dampak dari
toilet training.
Sejalan dengan pendapat Munafiah et al. (2013) yang
mengemukakan bahwa pengetahuan berpengaruh pada penerapan toilet
training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik,
diharapkan pemahaman ibu juga baik tentang manfaat dan dampak dari
toilet training, sehingga ibu akan mempunyai sikap yang positif terhadap
toilet training. Didukung pendapat Pusparini (2010) yang mengatakan
bahwa pengetahuan tentang toilet training sangat penting untuk dimiliki
oleh seorang ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan toilet training
pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik berarti
mempunyai pemahaman yang baik tentang manfaat dan dampak toilet
training.
Didukung hasil penelitian Efendi (2013) tentang hubungan antara
pengetahuan dan pola asuh ibu terhadap kemampuan toilet training pada
anak usia 2-3 tahun di Paud Asa Bunda Semarang yang menunjukkan
bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan pola asuh ibu dengan
kemampuan toilet training pada anak usia 2-3 tahun.
5.2.5. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemampuan Toilet Training
pada Anak Usia Toddler.
Hasil uji statistik Fisher’s exact didapatkan nilai p=0,000 (p value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan pola asuh orang tua dengan
kemampuan toilet training pada anak usia toddler. Anak usia toddler yang
memiliki kemampuan toilet training baik berpeluang terjadi pada ibu yang
memiliki pola asuh yang baik. Anak usia toddler yang memiliki
44
kemampuan toilet training kurang baik pada ibu yang memiliki pola asuh
yang baik terjadi karena anak diasuh oleh orang lain atau pengasuhnya
maupun neneknya. Hal ini mempengaruhi kemampuan anak dalam hal
melakukan toilet training.. Sebaliknya ibu yang memiliki pola asuh kurang
baik akan tetapi memiliki anak usia toddler yang memiliki kemampuan
toilet training baik terjadi karena ibu juga memiliki pengalaman dalam
mengurus anaknya yang terdahulu.
Menurut asumsi peneliti, hal ini terjadi karena tingkat
keberhasilan dalam menggunakan toilet training pada anak usia toddler
ditentukan juga oleh pola asuh ibu, dimana ibu yang pola asuh baik akan
berhasil mengajari anaknya dalam menggunakan toilet training. Ibu yang
memberikan pelukan dan pujian jika anaknya berhasil akan menimbulkan
semangat pada anak usia toddler untuk mampu berbuat yang lebih baik
lagi. Jika anak usia toddler juga tidak berhasil, ibu sebaiknya tidak
langsung lekas memarahi anak usia toddler agar semangat anak usia
toddler untuk mau terus belajar bisa di tingkatkan sampai berhasil.
Pola pengasuhan atau aturan toilet training yang diterapkan
dengan baik oleh ibu atau orang tua, maka akan memberikan manfaat
kepada anak berupa kemandirian anak dalam melakukan aktivitas personal
hygiene anak terutama dalam hal buang air besar dan buang air kecil atau
toilet training. Semakin baik pola asuh orang tua atau ibu yang diterapkan
kepada anak tentang toilet training, maka akan memberikan pengaruh
positif kepada anak berupa kemandirian anak dalam melakukan toilet
training. Keberhasilan toilet training dapat dicapai karena pola asuh yang
positif yang diberikan oleh ibu kepada anak nya atau juga sebelumnya ibu
pernah mempunyai pengalaman dalam mengasuh anak.
Sejalan dengan pendapat Munafiah et al. (2013) mengemukakan
bahwa pengalaman merupakan suatu proses belajar yang informal.
Pengalaman dalam memberikan toilet training dapat diperoleh dengan cara
melihat orang lain yang mempunyai anak yang usianya sama atau
melakukannya sendiri. Hal ini memungkinkan dapat mempengaruhi pola
asuh ibu dalam menyiapkan anak untuk toilet training. Keberhasilan toilet
45
training dapat dicapai apabila ibu menerapkan pola asuh demokratis. Ibu
yang demokratis dalam pelatihan toilet training kemungkinan besar jauh
dari tindakan kekerasan sehingga anak lebih siap untuk toilet training dan
keberhasilan yang dicapai juga lebih maksimal. Dalam penelitian ini pola
asuh ibu sangat berperan dalam keberhasilan toilet training.
Didukung pula dengan pendapat Subagyo et al. (2010) yang
mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilam orang tua
dalam memberikan bimbingan toilet training pada anak adalah pola asuh
orang tua. Ketika anak berusia balita biasanya keterampilan toilet training
sudah dilatih atau dibiasakan. Pola asuh orang tua yang tidak tegaan untuk
melatih kedisiplinan dalam toilet training turut berpengaruh dalam
perkembangan kemampuan toilet training. Kebiasaan untuk selalu
menolong dan memanjakan menjadikan anak sangat tergantung pada
pengasuhan.
Keberhasilan toilet training pada anak diperlukan dukungan dari
orang tua. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak sangat
berperan penting dalam keberhasilan toilet training. Seperti yang
disampaikan oleh Zuraidah (2014) dalam penelitiannya tentang hubungan
pola asuh orang tua dan kesiapan psikologi anak dengan keberhasilan toilet
training pada anak usia prasekolah, didapatkan hasil pola asuh dan
kesiapan psikologi anak berperan penting dalam keberhasilan toilet
training.
Didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutik (2016)
tentang hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat keberhasilan toilet
training pada anak usia prasekolah di TK Pembina Semampir Kediri
dimana hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan
antara pola asuh orang tua dengan tingkat keberhasilan pada anak usia
prasekolah di TK Pembina Semampir Kediri. Semakin ke arah pola asuh
demokratis penerapan toilet training akan berhasil sedangkan semakin
kearah pola asuh penelantar penerapan toilet training kurang berhasil.
46
DAFTAR PUSTAKA
Allen KE, Marotz RL. 2010. Profil Perkembangan Anak Perkelahiran Hingga
Usia 12 Tahun. Jakarta (ID) : PT Indexs.
Aprilyanti E. 2008. Keberhasilan orang tua dalam penerapan toilet training pada
anak balita usia 4-5 tahun. [Skripsi]. Malang (ID) Universitas
Muhammadiyah Malang.
Budiansyah B. 2017. Kuisioner Keberhasilan Toilet Training Pada Anak Usia Pra
Sekolah [Internet]. [diunduh 2018 April 10] tersedia pada
http://www.academia.edu///12658996.
Deslidel H. 2012. Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta (ID): EGC.
Dita N. 2017 Pengetahuan ibu tentang toilet training pada anak usia toddler (1-3
tahun) di posyandu Nglemi Desa Turi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan. [Tesis]. Ponorogo (ID): Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Efendi W. 2013. Hubungan antara pola asuh dan pengetahuan terhadap kemampuan
toilet training pada anak usia 2-3 Tahun di Paud Asa Bunda Semarang. Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes 61 Volume II Nomor Khusus Hari
Kesehatan Nasional, ISSN: 2086-3098
Femilia J. 2014. Perilaku ibu dalam menyiapkan toilet training pada anak usia
toddler. [skripsi]. Ponorogo (ID): Universitas Muhammadiyah. Ponorogo.
Hidayat AAA. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta (ID): Salemba
Medika
____________. 2011. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta ID): Salemba Medika.
Maryanti. 2011. Buku Ajar Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta (ID) : Penerbit Trans
Info Media
Santrock JW. 2009. Life Span Deplopment (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta
(ID): Erlangga.
Septiari BB. 2012. Mencetak Balita Cerdas dan Pola Asuh Orang Tua. Yogyakarta
(ID): Nuha Medika.
Supatini. 2014. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta (ID): EGC
Sutik. 2016. Hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat keberhasilan toilet
training pada anak usia prasekolah di TK Pembina Semampir Kediri. Jurnal
Keperawatan. Stikes Ganesha Husada Kediri Vol. 1 (2).
Teviana Fenia, Yusiana Maria Anita. 2012. Pola Asuh Orang Tua Terhadap Tingkat
Kreativitas Anak. Jurnal STIKES. [Internet]. [diunduh 2018 April 10]; 5 (1)
48-60. Tersedia pada
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jlj/article/view.
Zuraidah. 2014. Hubungan pola asuh orang tua dan kesiapan psikologis anak
dengan keberhasilan Toilet Training pada Anak Usia Prasekolah di PAUD
Ar-Risalah Kota Lubuklinggau [Internet]. [diunduh 2018 Juli 10]; 1 (2): 20-
43. Tersedia pada http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-
ekanurulaf-6681-2-bab1.pdf.
STIKES WIDYA NUSANTARA PALU
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Sekretariat : JL. Untad I Kelurahan Tondo Kec.Mantikulore Telp. (0451) 429782
Email :stikeswitara@ymail.com , Website : www.stikeswnpalu.ac.id
SURAT TUGAS
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Widya Nusantara Palu menugaskan kepada dosen/peneliti yang namanya tertera di bawah ini
untuk melaksanakan penelitian, dengan judul “Hubungan pengetahuan dan pola asuh orang tua
dengan kemampuan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Asyiyah 2 Provinsi Sulawesi
Tengah” selama satu tahun mulai tanggal 3 November 2019 sampai dengan 3 November 2020, di
PAUD Asyiyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah.
SURAT TUGAS
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Widya Nusantara Palu menugaskan kepada mahasiswa yang namanya tertera di bawah ini untuk
melaksanakan penelitian, dengan judul “Hubungan pengetahuan dan pola asuh orang tua dengan
kemampuan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Asyiyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah”
selama satu tahun mulai tanggal 3 November 2019 sampai dengan 3 November 2020, di PAUD
Asyiyah 2 Provinsi Sulawesi Tengah.
Kepada Yth,
KEPALA SEKOLAH PAUD AISYIYAH II PALU
Tempat
SURAT KETERANGAN
Nomor : 487.5/SMKN-KSBR/2020
Yang bertanda tangan dibawah ini, Kepala Sekolah SMKN 1 Kasimbar Kabupaten Parigi
Moutong, menerangkan bahwa :
Judul Penelitian : Hubungan Pengetahun dan Pola Asuh Orangtua dengan Kemampuan Toilet
Traning Pada Anak Usia Toddler di PAUD Aisyiyah II Palu.