Anda di halaman 1dari 21

PROSES BELAJAR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Umum I

Disusun oleh :

Evita Nisa Nur A. (200207083)

Fatimah Az Zahra (200207087)

Gifa Ghaitsa (200207096)

Fakultas Sosial Humaniora

Program Studi Psikologi

Universitas Muhammadiyah Bandung

2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penyusun dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “Proses Belajar” dengan lancar. Dalam
pembuatan makalah ini, penyusun mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan
ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Ibu Anggi Anggraeni,
M.Psi.,Psikolog selaku dosen mata kuliah Psikologi Umum I yang telah membimbing dan
memberikan edukasi yang sangat bermanfaat dalam mata kuliah Psikologi Umum I. Penyusun
juga berterima kasih kepada seluruh anggota kelompok 4 yang memberi semangat dan turut
membantu sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar. Dan pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang ikut membantu pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca untuk dapat menambah
wawasannya mengenai Proses Belajar, sebagai salah satu materi pada mata kuliah Psikologi
Umum I. Penulis juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna
untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan. Akhir
kata penyusun, kami sampaikan terimakasih.

Bandung, 23 Oktober 2020

Penyusun,

Gifa Ghaitsa (NIM 200207096)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................1
1.1. Pengertian Proses Belajar............................................................................................................1
1.2. Fase dalam Proses Belajar...........................................................................................................1
1.2.1. Fase dalam Proses Belajar menurut Jerome S. Bruner........................................................2
1.2.2. Fase dalam Proses Belajar menurut Wittig..........................................................................2
1.2.3. Fase dalam Proses Belajar menurut Robert Gagne...............................................................3
1.3. Kondisi / Tipe Belajar..................................................................................................................5
1.4. Kapabilitas dari Hasil Belajar....................................................................................................10
BAB II.......................................................................................................................................................16
PENUTUP.................................................................................................................................................16
2.1. Kesimpulan................................................................................................................................16
2.2. Saran..........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

ii
BAB I

PEMBAHASAN

1.1. Pengertian Proses Belajar


Proses adalah kata yang berasal dari bahasa latin “processus” yang berarti “berjalan
ke depan”. Kata ini mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah
pada suatu sasaran atau tujuan. Menurut Chaplin, proses adalah: Any change in any
object or organism, particulary a behaioralor psychological change (Proses adalah suatu
perubahan khususnya yang menyangkut perubahan tingkah laku atau perubahan
kejiwaan). Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus
yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu.
Jika kita perhatikan ungkapan any change in any object or organism dalam definisi
Chaplin di atas dan kata-kata “cara-cara atau langkah-langkah” (manners or operations)
dalam definisi Reber tadi, istilah “tahapan perubahan” dapat kita pakai sebagai padanan
kata proses. Jadi, proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotor yang terjadi dalam diri pelajar. Perubahan tersebut
bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan
sebelumnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses belajar adalah suatu aktifitas
psikis ataupun mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang
menghasilkan setumpuk perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman, keterampilan
dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.

1
1.2. Fase dalam Proses Belajar
Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam
kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya
disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus
bersama dengan isi ingatan mempengaruhi pelajar sedemikian rupa sehingga
perbuatannya (performance) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke
waktu setelah ia mengalami situasi tadi.

1.2.1. Fase dalam Proses Belajar menurut Jerome S. Bruner


Tahap proses belajar menurut Jerome S.Bruner :
1. Tahap informasi (penerimaan materi).
Dalam tahap ini, seorang individu mendapatkan pengetahuan mengenai materi
yang sedang dipelajari. Pengetahuan yang didapat ada yang baru dan ada yang
tidak,berfungsi sebagai tambahan, perluasan, pendalaman, atau bisa juga sebagai
pertentangan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
2. Tahap transformasi (pengubahan materi).
Tahap ini merupakan tahapan dimana pengetahuan yang telah diperoleh diubah
menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual, hal ini sebagai upaya agar pengetahuan
dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih luas nantinya
3. Tahapan evaluasi (penilaian materi).
Pada tahap ini,individu mulai menilai seberapa jauh informasi yang telah
didapatkan dan ditransformasikan dalam memahami gejala atau memecahkan masalah
yang akan di selesaikan.

1.2.2. Fase dalam Proses Belajar menurut Wittig


Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning, setiap proses
belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu :
a. Actuation (tahap perolehan/penerimaan informasi)
Pada tingkatan acquisition seorang pelajar mulai menerima informasi sebagai
stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman
dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi pada asimilasi antara pemahaman dengan
perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya. Proses acquisition dalam belajar

2
merupakan tahap paling mendasar. Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan
kegagalan pada tahap-tahap berikutnya.
b. Storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tingkatan storage seorang pelajar secara otomatis akan mengalami proses
penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia proleh ketika menjalani proses
acquitision. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan fungsi short term dan long term
memori.
c. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Pada tingkatan retrieval seorang pelajar akan mengaktifkan kembai fungsi-fungsi
sistem memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan
masalah. Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam
mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori
berupa informasi, simbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respons atau
stimulus yang sedang dihadapi.

1.2.3. Fase dalam Proses Belajar menurut Robert Gagne


Fase-fase dalam Proses Pembelajaran yang dikemukakan oleh Robert Gagne :
a. Motivation
Motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai
penggerak perilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Pengajar merupakan
faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya fungsi-fungsi tersebut
dengan cara memenuhi kebutuhan pelajar. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman, kebutuhan untuk
diterima dan dicintai, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan untuk
merealisasikan diri.
b. Apprehencion
Adalah suatu tahapan pada diri pelajar untuk memberikan perhatian pada
bagian-bagian yang esensial dari suatu kejadian instruksional bila belajar akan
terjadi, dimana dalam fase ini seseorang memperhatikan stimulus tertentu
kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian
ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Misalnya “golden eye” bisa ditafsirkan
sebagai jembatan di Amerika atau sebuah judul film. Stimulus itu dapat spontan

3
diterima atau seorang pengajar dapat memberikan stimulus agar pelajar
memperhatikan apa yang akan diucapkan.
c. Acquistion
Fase perolehan adalah suatu tahapan pada diri pelajar untuk memperhatikan
informasi yang relevan, maka pelajar telah siap menerima pelajaran. Pada fase ini
seseorang akan dapat memperoleh suatu kesanggupan yang belum diperoleh
sebelumnya dengan menghubung-hubungkan informasi yang diterima dengan
pengetahuan sebelumnya. Atau boleh dikatakan pada fase ini pelajar membentuk
asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
d. Retention
Adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka
pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam
memori jangka pendek dapat dipindahkan kememori jangka panjang, hal ini terjadi
melalui pengulangan kembali(rehearsal), praktek (practice), elaborasi dan lain-lain.
Fase ini berhubungan langsung dengan ingatan, sedangkan ingatan sendiri ada 2
macam, yaitu :
a) Memori jangka pendek, yakni jenis memori yang menyimpan informasi untuk
diproses dalam jangka waktu yang cukup panjang.
b) Memori jangka panjang, berarti suatu informasi disimpan secara permanen. Maka
organisasi, makna, dan konteks adalah merupakan elemen penting dalam memori
jangka panjang. Karena tidak semua informasi bisa disimpan dalam memori
jangka panjang, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pengajar dalam
membantu memori pelajar, yakni pengajar selalu menganjurkan pelajar untuk:
1) Membuat ringkasan, yang meliputi arti dan struktur dari apa yangakan diingat.
2) Menemukan, bagaimana suatu informasi bisa berhubungan denganapa yang
diketahui sebelumnya.
3) Membagi apa yang harus dipelajari ke dalam bagian-bagian kecil secara logis.
e. Recall and Retrieval
Adalah Fase pemanggilan dimaksudkan bahwa informasi dalam memori
jangka panjang dapat hilang sehingga bagian penting dari belajar adalah belajar
untuk memperoleh hubungan dari apa yang telah kita pelajari untuk memanggil

4
informasi yang telah dipelajari sebelumnya. Fase mengingat kembali atau
memanggil kembali informasi yang ada dalam memori ini, kadang-kadang dapat
saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori
jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang
lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-
pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.
f. Generalisation
Adalah penerapan tahapan atau fase transfer informasi, pada situasi-situasi
baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, pelajar dapat diminta mengaplikasikan
sesuatu dengan informasi baru tersebut.
g. Performance
Adalah fase penampilan adalah suatu tahapan pada diri pelajar untuk
memperlihatkan kemampuan mereka bahwa pelajar dapat belajar dari sesuatu melalui
penampilan yang tampak, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka
dapat membuat kalimat yang benar.
h. Feedback
Adalah suatu tahapan pada diri pengajar untuk memberikan umpan balik kepada
pelajar sebagai perwujudan bahwa pelajar telah mengerti atau belum mengerti tentang
apa yang diajarkan.

1.3. Kondisi / Tipe Belajar


Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam
delapan tipe. Delapan tipe belajar yang dimaksud adalah:
1. Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak ada persyaratan,
namun merupakan hirarki yang harus dilalui untuk menuju jenjang belajar yang
paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai penguasaan pola-pola dasar
perilaku bersifat involuntary ( tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe
ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk
berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak
dan perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning Ini mirip

5
dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman
tertentu. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional selain timbulnya dengan
tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Contoh : Memasak makanan dan
menghidangkannya dengan rasa senang .Memasak adalah isyarat yang menimbulkan
perasaan tertentu.
Belajar isyarat mirip dengan conditioned respons atau respon bersyarat. Seperti
menutup mulut dengan telunjuk, isyarat mengambil sikap tidak bicara. Lambaian
tangan, isyarat untuk datang mendekat. Menutup mulut dan lambaian tangan adalah
isyarat, sedangkan diam dan datang adalah respons. Tipe belajar semacam ini
dilakukan dengan merespons suatu isyarat. Jadi respons yang dilakukan itu bersifat
umum, kabur dan emosional.
2. Belajar Stimulus – respons (Stimulus Respons Learning)
Stimulus learning ini termasuk ke dalam instrumental conditioning atau belajar
dengan trial and error (mencoba-coba). Kondisi yang diperlukan untuk
berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus
pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R
berikutnya, semakin kuat reinforcement. Contoh: Anjing dapat diajar “memberi’
salam”. Dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan “Kasih tangan! ” atau
“Salam “. Ucapan `kasih tangan’ merupakan stimulus yang menimbulkan respons
`memberi’ salam’ oleh anjing itu.
Berbeda dengan belajar isyarat, respons bersifat umum, kabur dan emosional.
Tipe belajar S – R, respons bersifat spesifik. 2 x 3 = 6 adalah bentuk suatu hubungan
S-R. Mencium bau masakan sedap, keluar air liur, itupun ikatan S-R. Jadi belajar
stimulus respons sama dengan teori asosiasi (S-R bond). Setiap respons dapat
diperkuat dengan reinforcement. Hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus
respons.
3. Belajar Rangkaian (Chaining)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons)
yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe
belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah
satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan,

6
pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Rangkaian atau rantai dalam chaining adalah semacam rangkaian antar S-R yang
bersifat segera, hal ini terjadi dalam rangkaian motorik. Contoh: Dalam bahasa kita
banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampung-halaman, selamat tinggal, dan
sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini, misalnya pulang
kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. seperti gerakan dalam mengikat
sepatu, makan, minum, atau gerakan verbal seperti selamat tinggal, bapak-ibu.
Chaining terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi
segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan contiguity.
4. Asosiasi Verbal (Verbal Assosiation)
Baik chaining maupun verbal association, yang kedua tipe belajar ini,
menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan lain. Bentuk verbal association
yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan dapat
mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila melihat bolanya.
Sebelumnya, ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal
`bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, `saya’,
dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang
satu segera mengikuti satu lagi (conntiguity).
5. Belajar Diskriminasi ( Discrimination Learning)
Discrimination learning atau belajar membedakan. Tipe ini individu mengadakan
seleksi dan pengujian di antara perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya,
kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama
berlangsung proses belajar ini adalah individu sudah mempunyai pola aturan
melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Tipe belajar ini
adalah pembedaan terhadap berbagai rangkaian. Seperti membedakan berbagai
bentuk wajah, waktu, binatang, atau tumbuh-tumbuhan. Contoh:. Guru mengenal
peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di
antara anak itu.
Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu
berserta namanya. Untuk mengenal model lain diadakannya chain baru dengan
kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi. Makin banyak yang

7
dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan
atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.
6. Belajar Konsep (Concept Learning)
Konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari hasil membuat tafsiran
terhadap fakta. Dengan konsep dapat digolongkan binatang bertulan belakang
menurut ciri-ciri khusus (kelas), seperti kelas mamalia, reptilia, amphibia, burung,
ikan. Dapat pula digolongkan, manusia berdasarkan ras (warna kulit) atau
kebangsaan, suku bangsa atau hubungan keluarga. Kemampuan membentuk konsep
ini terjadi jika orang dapat melakukan diskriminasi. Concept learning adalah belajar
pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan
objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang
diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamen-
tal sebelumnya.Belajar konsep dapat dilakukan karena kesanggupan manusia untuk
mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan
bahasa. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya
mengabstraksi.
Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya. Dalam hal
ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan
dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh peserta didik dengan
perintah: “Ambilkan botol yang di tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta
didik harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus
dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak
termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara
berangsur-angsur.
7. Belajar Aturan (Rule Learning)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini
individu belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal sehingga dapat menemukan konklusi tertentu yang
mungkin selanjutnya dipandang sebagai “rule “(Hukum, dalil atau rumus adalah rule
(aturan)). Tipe belajar ini banyak terdapat dalam semua pelajaran di sekolah, seperti
benda memuai jika dipanaskan, besar sudut dalam segitiga sama dengan 180 derajat.

8
Belajar aturan ternyata mirip dengan verbal chaining (rangkaian verbal), terutama jika
aturan itu tidak diketahui artinya. Oleh karena itu setiap dalil atau rumus yang
dipelajari harus dipahami artinya.
8. Belajar Pemecahan masalah (Problem Solving Learning)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini individu
belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan
yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang
mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya.
Belajar memecahkan masalah itu berlangsung saat Individu menyadari masalah
bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan
adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah, adalah
sebagai berikut:
1) Merumuskan dan Menegaskan Masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan
mencari jalan pemecahannya. la menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan
dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai
pegangan.
2) Mencari Fakta Pendukung dan Merumuskan Hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk
pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa.
Kemudian mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang
dapat dirumuskan sebagai pertanyaan dan jawaban sementara yang memerlukan
pembuktian (hipotesis).
3) Mengevaluasi Alternatif Pemecahan yang dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya.
Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang
paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.
4) Mengadakan Pengujian atau Verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif
pemecahan yang dipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan

9
itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah
dirumuskan.
5) Memecahkan masalah
Upaya pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan berbagai
urusan yang relevan dengan masalah itu. Dalam pemecahan masalah diperlukan
waktu, adakalanya singkat adakalanya lama. Juga seringkali harus dilalui berbagai
langkah, seperti mengenal tiap unsur dalam masalah itu, mencari hubungannya
dengan aturan (rule) tertentu. Dalam segala langkah diperlukan pemikiran.
Dengan ulangan-ulangan masalah tidak terpecahkan, dan apa yang dipecahkan
sendiri-yang penyelesaiannya ditemukan sendiri- lebih baik dan dapat ditransfer
kepada situasi atau problem lain. Kesanggupan memecahkan masalah
memperbesar kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah lain.

1.4. Kapabilitas dari Hasil Belajar


Belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas.
Timbulnya kapabilitas disebabkan ; (1) stimulusi yang berasal dari lingkungan; dan (2)
proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan,
pengetahuan, sikap dan nilai. Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah
seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulai ligkungan, melewati
pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru.
Kapabilitas belajar (learning capabilities) adalah perubahan memori pada diri
pembelajar yang memungkinkannya untuk memprediksi banyak hal dalam kinerja; hasil
dari belajar. Pada manusia yang menjadi kapasitas itu adalah berkaitan dengan
kemampuan seseorang untuk dapat mempelajari sesuatu dan kapabilitas adalah berkaitan
dengan kemampuan seseorang untuk bermanfaat. Untuk dapat mempelajari suatu ilmu
dibutuhkan keinginan yang kuat, kemauan dan keterbukaan berpikir, keihklasan
mengorbankan sesuatu, kesabaran dan ketekunan belajar, serta kelapangan hati menerima
perbedaan. Untuk dapat bermanfaat bagi orang lain, maka kita perlu memiliki sifat
senang memberi dan memiliki sesuatu yang dapat kita beri, baik ide, pemikiran,
kemampuan/ kompetensi, tenaga, materi, ataupun waktu.

10
Ada Lima kategori kapabilitas belajar menurut Robert Mills Gagne yaitu yang
meliputi :
1) Informasi Verbal
Kapabilitas belajar informasi verbal adalah kapabiltas yang paling rendah
tingkatannya. Pembelajar telah belajar dan memiliki kapabilitas belajar informasi
verbal apabila ia dapat mengingat kembali informasi itu. Kapabilitas belajar yang
berupa informasi verbal ini bersifat mengingat saja pesan yang diperoleh dalam
proses belajar mengajar. Oleh karena itu indikator yang biasanya gunakan untuk
mengukur kapabilitas belajar ini adalah menyebutkan atau menuliskan informasi
seperti nama, kalimat, alasan, argument, proposisi, atau seperangkat proposisi yang
terkait.
2) Keterampilan Intelektual
Kapabilitas belajar keterampilan intelektual memiliki dimensi yang penting dalam
proses belajar. Kapabilitas belajar ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari
kapabilitas verbal. Pembelajar telah belajar dan memiliki kapabilitas belajar
keterampilan intelektual dan dapat menggunakan keterampilan intelektual apabila ia
mampu berinteraksi dengan lingkungan yang ditandai dengan simbol-simbol bahasa
atau angka. Kapabilitas belajar keterampilan intelektual ini mencakup lima katagori,
yaitu:
a) Diskriminasi
Kapabilitas keterampilan intelektual diskriminasi ini merupakan
kemampuan yang digunakan untuk melakukan respon yang berbeda pada
perangsang yang memiliki dimensi fisik berbeda pula. Dengan kapabilitas belajar
ini seseorang secara intelektual mampu membedakan secara fisik. Seseorang
dikatakan telah melakukan proses belajar dan memiliki kapabilitas diskriminasi
apabila ia mampu menyatakan bahwa sesuatu itu sama atau berbeda dengan yang
lain berdasarkan dimensi fisiknya, seperti ukuran besar kecil, warna, bentuk atau
suara, halus dan kasarnya. Misalnya pembelajar mampu membedakan besar dan
kecilnya suatu obyek, mampu membedakan warnah benda satu dengan benda
yang lain, mampu membedakan suara teman teman yang lainnya, dan lain-lain.
b) Konsep Konkrit

11
Kapabilitas belajar keterampilan intelektual konsep konkrit memiliki
tingkatan yang lebih tinggi dari kapabilatas keterampilan intelektual diskriminasi.
Kapabilitas ini ditandai dengan kemampuan pembelajar untuk mengkonkritkan
konsep yang ada dengan apa yang ada dengan benda riil yang ada. Ketika
seseorang dikatakan telah melakukan proses belajar dan memiliki kapabilitas
belajar keterampilan intelektual konsep kongkrit jika dia mampu memberikan
sesuatu yang kongkrit atas konsep yang di tunjukkan. Contoh ketika kita memiliki
konsep bola, roda maka kita bisa mewujudkan kongkritnya dari konsep itu adalah
bola yang digunakan permainan, sedangkan roda adalah berkaitan dengan
komponen pada kendaraan, baik sepeda pancal, motor, maupun mobil. Begitu
halnya ketika konsep gudang garam dimunculkan maka orang bisa
mengkongritkan dengan nama atau merek rokok atau gudang yang digunakan
untuk menyimpan garam sebelum dibawah ke pabrik untuk di olah lebih lanjut.
c) Konsep Abstrak
Kapabilitas belajar keterampilan intelektual konsep abstrak ini memiliki
tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapabilitas kongkrit. Orang yang
telah melakukan proses belajar dan memiliki kapabilitas belajar berupa
keterampilan intelektual berbentuk konsep abstrak jika orang itu mampu
menggunakan konsep abstrak yang dimiliki untuk mengklasifikasi contoh contoh
yang tidak dipelajari sebelumnya. Misalnya ketika kita disajikan konsep definisi
keluarga, maka bisa diklasifikasikan orang tua (ayah dan ibu), dan anak. Konsep
definisi orang asing, maka kita akan mengklasifikasikan orang Arab, orang
Amerika, orang China, dan lain-lain. Demikian juga dengan konsep definisi
sepatu, maka kita akan mengklasifikasikan sepatu kantor, sepatu olahraga, sepatu
roda, dll. Konsep sepatu, kaluarga, dan orang asing adalah contoh konsep abstrak
yang digunakan untuk mengkasifikasikan contoh yang tidak dipelajari
sebelumnya.
d) Kaidah
Kapabilitas belajar keterampilan intelektual ini berkaitan dengan
penggunaan kaidah tersebut pada contoh-contoh yang sebelumnya tidak pernah
dipelajari. Oleh karena itu kapabilitas keterampilan intelektual berbentuk kaidah

12
dimiliki oleh orang yang belajar jika mampu ia menggunakan kaidah pada contoh
contoh yang ada, baik dua contoh maupun lebih. Contoh rumus ohm digunakan
untuk mengukur kuat arus listrik, V=I.R untuk memecahkan masalah dalam
rangkaian listrik. Kapabilitas kaidah ini cenderung pada penggunaan kaidah yang
diperoleh dari hasil belajar untuk memecahkan masalah atau contohcontoh dalam
kehidupan sehari-hari.
e) Kaidah Tingkat Lebih Tinggi
Keterampilan intelektual kaidah tingkat lebih tinggi adalah kapabilitas
keterampilan intelektual paling tinggi disamping kaidah, abstrak, konkrit, dan
diskriminasi. Seseorang yang belajar bisa dikatakan telah memiliki keterampilan
intelektual kaidah tingkat lebih tinggi jika dia mampu menggunakan dua atau
lebih kaidah yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memecahkan
masalahmasalah baru yang dihadapinya. Oleh karena itu kapabilitas ini
mempersyaratkan penguasaan kapabilitas keterampilan intelektual dibawahnya
yaitu diskriminasi, konsep, kongkrit, abstrak dan kaidah. Sejumlah kaidah, atau
konsep yang telah diperoleh harus diintegrasikan untuk dapat memecahkan
masalah. Karena masalah yang dihadapi oleh orang yang belajar selalu baru,
maka ia harus melakukan kajian atau memelih sendiri mana kaidah-kaidah
optimal digunakan dalam pemecahan masalah tersebut.

Berkaitan dengan hubungan antar keterampilan intelektual tersebut, Gagne


memberikan hipotesis bahwa keterampilan-keterampilan intelektual tersebut bersifat
kontinum dari yang sederhana ke kompleks, dan memiliki hubungan yang hirarkis.
Dengan demikian dalam belajar keterampilan intelektual yang lebih tinggi memerlukan
memerlukan penguasaan keterampilan intelektual yang lebih rendah. Atau keterampilan
intelektual yang lebih rendah menjadi prasyarat bagi orang yang belajar untuk
memperoleh katerampilan intelektual yang lebih tinggi.

Model prasyarat penguasaan keterampilan intelektual yang rendah untuk memiliki


keterampilan intelektual yang lebih tinggi oleh Degeng seperti dalam diagram di bawah
ini:

13
Gambar 1 Hubungan prasyarat diantara jenis-jenis keterampilan intelektual

(diadopsi dari Degeng, 2013: 95)

3) Strategi Kognitif
Pembelajar yang telah melakukan kegiatan belajar dan telah memiliki kapabilitas
belajar strategi kognitif apabila ia telah mengembangkan cara-cara untuk
meningkatkan keefektifan dan efisiensi proses berfikir dan proses belajarnya.
Andriyani (2008) menjelaskan bahwa strategi kognitif merupakan kemampuan yang
mengatur bagaimana pembelajar mengelola belajarnya, seperti mengingat atau
berfikir dalam rangka mengendalikan sesuatu untuk mengatur suatu tindakan. Hal ini
berpangaruh terhadap perhatian pembelajar dan informasi yang tersimpan dalam
ingatannya serta menemukan kembali ingatan itu. Strategi ini adalah suatu proses
informasi atau induksi di mana seseorang mengingat objek-objek kejadian untuk
memperoleh suatu kejelasan mengenai suatu gejala tertentu untuk menghasilkan
induksi.
Orang yang memiliki kapabilitas strategi kognitif cenderung memiliki
kemandirian dalam belajar dan memecahkan masalah dengan kemampuannya
menganalisis menjadi masalah-masalah yang lebih rinci. Sehingga akhirnya masalah
tersebut mudah untuk dipecahkan. Contoh dari implementasi kapabilitas belajar
strategi kognitif adalah kemampuan membuat resum atau rangkuman dari materi
untuk memudahkan memahami materi pelajaran, menghafal dengan menggunakan
metode mnemonic, menyajikan ingatan dengan menyanyikan dalam syair lagu, dan
lain lainnya.
4) Sikap

14
Sikap adalah keadaan mental yang kompleks dari pembelajar yang dapat
mempengaruhi pelihannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pribadi
terhadap orang lain, benda, atau peristiwa. Seseorang dianggap telah belajar dan
mendapatkan kapabilitas belajar sikap jika ia mampu memilih dan melakukan
tindakan yang sama untuk situasi yang sama secara berulang-ulang. Kapabilitas
belajar sikap hanya nampak apabila ada perilaku yang konsisten dilakukan dalam
berbagai situasi yang serupa. Pilihan-pilihan ini bersifat pribadi dan ditunjukkan
secara konsisten. Contoh kapabilitas belajar sikap misalnya seorang anak lebih
menyukai musik rock dari pada dangdut, maka ketika musik rock dinyanyikan maka
ia akan ikut menirukan lagunya. Sebaliknya ketika musik dangdut yang dinyayikan,
maka ia menyatakan ketidak sukaannya. Begitu halnya seorang sopir akan
menjalankan kecepatan kendaraan dalam batas kecepatan 100 KM/Jam. Seseorang
merasa takut pada ular, dll. Sikap itu terus menerus menjadi pilihanya,
5) Keterampilan Motorik
Kapabilitas belajar keterampilan motorik pada pembelajar di tandai dengan
kemampuan mengembangkan ketrampilan motorik apabila ia telah menampilkan
gerakan-gerakan fisik dalam menggunakan bahan-bahan atau peralatan-peralatan
menurut prosedur. Secara operasional kapabilitas belajar motorik ini diwujudkan
dalam bentuk gerakan dalam berbagai gerakan motorik yang terorganisasi. Bentuk
implementasi kapabilitas belajar keterampilan motorik misalnya keterampilan dalam
mengendarai sepeda motor, mengendarai sepeda, mobil, kemampuan menulis surat,
kemampuan bermain bola, dan lain-lain. Kategorisasi kapabilitas belajar ini penting
sekali bagi bagi pemahaman tentang pembelajaran karena setiap kategori menuntut
penggunaan metode pembelajaran yang berbeda. Menurut Gagne, proses belajar telah
terjadi apabila orang yang belajar telah memperoleh kapabilitas tertentu untuk
melakukan sesuatu. Oleh karena itu kapabilitas dari orang yang belajar menunjukkan
kompetensi orang tersebut dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu.

15
BAB II

PENUTUP

2.1. Kesimpulan
Proses belajar adalah suatu aktifitas psikis ataupun mental yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
setumpuk perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman, keterampilan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.

2.2. Saran
Dari uraian yang telah kami susun di atas, maka pembaca dalam
melaksanakan proses belajar sebaiknya belajar dengan baik dan tekun supaya
dapat mengimplikasikannya untuk masa yang sekarang ataupun untuk masa depan
yang lebih baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Urbaniah. 2016. Proses dan Fase Belajar. Muara Bungo : Sekolah Tinggi Agama Islam.
2. Moh. Satomo. 2017. Kapabilitas Belajar dalam Proses Pembelajaran (Kajian Konsep
Teori Gagne dalam Praktek Pembelajaran). Dalam Falasifa: Jurnal Studi Keislaman.
Jember : Institut Agama Islam Negeri.
3. Tunas Fuaidah. 2011. Teori Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner. Diakses di
https://8tunas8.wordpress.com/teori-belajar-mengajar-menurut-jerome-s-bruner/ pada
tanggal 6 November 2020.
4. Yanuari Eksa. 2014. Fase-fase Belajar Menurut Para Ahli. Diakses di
http://yanuariaeksa.blogspot.com/2014/06/fase-fase-belajar-menurut-para-ahli.html pada
tanggal 6 November 2020.
5. Dedi. 2013. 8 Tipe Belajar Menurut Gagne. Diakses di
http://dedi26.blogspot.com/2013/03/8-tipe-belajar-menurut-gagne.html pada tanggal 6
November 2020.

17
6. Dian Pelita. 2011. Teori-teori dan Proses Belajar. Diakses di
https://dianpelita.wordpress.com/2011/02/21/teori-teori-dan-proses-belajar/ pada tanggal
6 November 2020.
7. Septia Lesmana. 2014. Proses Belajar. Diakses di
https://septialesmana.wordpress.com/2014/03/12/proses-belajar/ pada tanggal 6
November 2020.

18

Anda mungkin juga menyukai