Anda di halaman 1dari 7

Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 1

DUA DINASTI DI KERAJAAN MATARĀM KUNA:


Tinjauan Prasasti Kalasan
Hariani Santiko
Departemen Arkeologi FIB UI

Abstract. Who was the ruler at center of Java in 8 th-10th centuries at Ancient
Mataram Kingdom is still a debatable problem. There are two opinion groups. The
one opinion states that there are two dynasties (Sanjaya dynasty and Syailendra
dynasty), and the other opinion declares only one dynasty based on assumption
Rakai Panagkaran, The son of King Sanjaya, changed his religion to Buddha
Mahayana. Based on retranslation inscription of Kalasan, there were two kings on
this inscription, namely Śri Mahārāja Dyah Pañcapanam Panamkarana and King
Śailendravamsatilaka that was remain as “raja bawahan” (“lower king”) of Śri
Mahārāja Dyah Pañcapanam Panamkarana who still had Siwa religion. Rakai
Panangkaran was remain as King of Sanjaya Dynasty (Sanjayavamśa) and
Śailendravamsatilaka was becoming a king in his “Growing Kingdom”.

Key Words: Śańkara, anŗtagurubhayas, Dhātŗ, inscription of Kalasan,


Śailendravamsatilaka.

Penelitian arkeologi mengenai kerajaan Buddha, misalnya candi Kalasan, Sari,


Matarām Hindu (Matarām Kuna) sangatlah Plaosan dan lain-lain.
menarik, tidak saja mengenai tinggalan Penelitian mengenai tokoh-tokoh
arkeologi berupa sarana ritual yang secara yang terkait dengan bangunan-bangunan suci
umum disebut candi sangat berlimpah, tetapi tersebut telah banyak dilakukan dengan
juga tentang tokoh-tokoh sejarah yang memakai data sumber tertulis khususnya
bertanggung jawab akan kehadiran sarana prasasti, di antaranya Prasasti Tuk Mas,
ritual keagamaan tersebut. Candi-candi dari Prasasti Canggal (654 Saka/732 Masehi),
wilayah Jawa Tengah ini mempunyai gaya Prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi),
arsitektural yang sangat unik, yang memper- Prasasti Kelurak (704 Saka/782 Masehi) dan
lihatkan kemahiran si seniman (śilpin) dalam sebagainya, serta berita-berita Cina.
usahanya menuangkan pengalaman dengan
Tuhannya ke dalam karya seni yang indah Kerajaan Matarām Kuna
dan megah, sehingga orang-orang Belanda Nama kerajaan tertua yang disebut
yang datang ke Jawa pada abad 18, sangat dalam sumber prasasti di wilayah Jawa
mengagumi karya seni keagamaan tersebut. Tengah adalah kerajaan Matarām1) yang lebih
Karya seni keagamaan itu mereka sebut dikenal sebagai kerajaan Matarām Kuna
kesenian Klasik, karena mengingatkan untuk membedakan dengan kerajaan
mereka pada kesenian Romawi dan Yunani Mataram Islam, dengan rajanya bernama
yang dikenal sebagai “Classical Period”. Sanjaya. Prasasti tersebut adalah prasasti
Di samping itu, candi-candi tersebut Canggal (654 Saka/732 Masehi), yang
masih dikelompokkan berdasarkan gaya ditemukan di halaman percandian di atas
arsitektural dan latar belakang keagamaan- gunung Wukir di Kecamatan Salam,
nya. Kelompok candi-candi tipe utara, Magelang. Prasasti Canggal memakai huruf
bersifat agama Siwa, misalnya candi Dieng, Pallawa, berbahasa Sansekerta, dan mem-
Gedongsanga, Prambanan, dan candi-candi bicarakan raja Sanjaya yang beragama Siwa,
tipe selatan yang berlatar belakang agama yang mendirikan sebuah linga di bukit
Sthīranga. Selain Prasasti Canggal, nama
2 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013

Sanjaya disebut di Prasasti Mantyasih yang Matarām Kuna, karena Rakai Panangkaran
dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah
Balitung tahun 907 Masehi. Dalam Prasasti Śankhara Śri Sangramadhananjaya adalah
Mantyasih terdapat daftar nama raja-raja anak Sanjaya yang berganti agama dari
yang memerintah di Medang (rahyangta agama Siwa ke agama Buddha Mahayana.
rumuhun ri mdang ri poh pitu). Dalam daftar Pendapat Boechari ini berdasarkan pem-
tersebut, Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya bacaannya pada sebuah prasasti yang dipahat
disebut pertama, yang kemudian diikuti oleh di atas batu dan dijadikan koleksi Bapak
sederetan nama raja yang bergelar Śri Adam Malik. Prasasti berbahasa Sansekerta
Mahārāja (Soemadio II, 1993:100 dst). ini bagian atas rusak sehingga tidak ada nama
Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya prasasti atau pun angka tahunnya. Boechari
dianggap sebagai pendiri dinasti Sanjaya memberi nama prasasti Śankhara, sesuai
(Sanjayavamśa) yang berkuasa di kerajaan dengan nama anak raja pada prasasti tersebut,
Matarām. Namun penelitian yang me- dan usia prasasti diperkirakan antara Prasasti
rekonstruksi jalannya sejarah Matarām kuna, Canggal dan Prasasti Hampran (750 Masehi)
telah menghasilkan nama Śailendravamśa di (Soemadio II, 1993:102-103). Prasasti
samping Sanjayawamśa. Śailendrawamśa Śankhara pernah ditranskripsi dan di-
ditemui dalam beberapa prasasti, antara lain terjemahkan oleh Boechari, tetapi belum
dalam Prasasti Kalasan (700 Saka/778 diterbitkan.2)
Masehi), Prasasti Kalurak (704 Saka/782 Secara garis besar Prasasti Śankhara
Masehi), Prasasti Abhayagiriwihara dari membicarakan ayah Śankhara yang sangat
bukit Ratu Baka (714 Saka/792 Masehi), patuh kepada gurunya, memberi “emas yang
Prasasti Kayumwungan (824 Masehi), dan enam” kepada Śankhara dengan sebuah janji
sebagainya. (?) yang harus dipenuhi. Kemudian ayah
Berita prasasti sangatlah penting Śankhara jatuh sakit selama 8 hari kemudian
untuk penelitian arkeologi, namun banyak- meninggal. Melihat keadaan itu, Śankhara
nya jumlah prasasti tidak menjamin dapat menjadi takut pada “guru yang tidak benar”
mengungkapkan data yang kita harapkan lalu meninggalkan agama Siwa dan memeluk
untuk diketahui. Misalnya perihal kerajaan agama Buddha Mahayana.
Matarām Kuna masih banyak masalah yang Menurut Boechari, ayah Śankhara
belum terungkap: adalah raja Sanjaya, sedangkan Śankhara
1. Siapakan pendiri Sanjayavamśa dan sendiri adalah Rakai Panangkaran, ia me-
siapakah pendiri Śailendrawamśa? mindahkan pusat kerajaannya ke timur.
2. Ada berapa wangsa-kah di wilayah Letak ibu kotanya yang baru, kemungkinan
Jawa Tengah periode Matarām di sekitar Sragen, di sebelah timur Bengawan
Kuna? Solo atau di daerah Purwodadi/Grobogan.
3. Benarkan raja kedua dalam daftar Setelah itu ia membangun beberapa candi
Prasasti Mantyasih yaitu Śri Buddha, yaitu candi Kalasan, Sewu, Plaosan
Mahārāja Panangkaran berganti Lor, dan sebagainya. Dari uraiannya tersebut
agama, yang semula beragama Siwa Boechari telah mengidentifikasikan Panang-
beralih memeluk agama Buddha karan dengan “Śailendrawanśatilaka” yang
Mahayana? disebut dalam beberapa prasasti, bahkan
Dalam makalah ini tidak akan menurut Boechari, apabila Panangkaran
dibicarakan lagi pendapat-pendapat tersebut, identik dengan Śailendravamśatilaka, maka
kecuali pendapat Boechari, yang me- seperti yang tertera dalam Prasasti Nalanda,
ngemukakan hanya ada satu dinasti di ia berputera Samaragravira dan Balaputra-
Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 3

dewa, raja Sriwijaya, adalah cucunya Perlu dikemukakan disini, pada baris
(Soemadio II, 1993:109-110). selanjutnya (pada bait 3) terdapat kata
Pendapat bahwa Rakai Panangkaran “anŗtagurubhayas”6) yang diartikan “takut
berpindah agama, menurut Boechari tertera pada guru yang tidak benar” (Soemadio II,
dalam Prasasti Śankhara, khususnya bait 3 1993:109), kemungkinan terkait dengan janji
yang diawali dengan kalimat: Śankhara yang disebut pada awal-awal
So ‘yam tyaktānyabhaktir jagadaśi- prasasti. Tidak jelas isi janjinya, kemung-
vaharāc chamkarāc chamkarākhyah… kinan Śankhara berjanji kepada guru mem-
Terjemahannya sebagai berikut: “Ia, yang buatkan bangunan suci untuk Dhātŗ dengan
bernama Śankhara, setelah meninggalkan “emas yang enam” itu sebagai biayanya,
kebaktian kepada (dewa) yang lain, dari dengan harapan agar ayahnya sembuh?
Śankhara yang melenyapkan ketidak- Tetapi ketika ayahnya meninggal, Śankhara
tenteraman di dunia”3). menyalahkan gurunya, yang disebut
Pada dasarnya penulis setuju dengan anŗtaguru-. Namun kemudian, karena takut
terjemahan tersebut di atas, hanya ada sedikit pada gurunya, ia dengan kemauannya sendiri
perbedaan, sebagai berikut: (svātmabuddhes) memenuhi janjinya dengan
“Ia yang bernama Śankhara, yang membuat prāsāda tersebut.
kebaktiannya ke yang lain telah Untuk memperkuat pendapat bahwa
ditinggalkan, daripada Śankhara, Panangkaran bukan raja dari dinasti
Siwa yang menguasai dunia….”4) Śailendra dan tidak beragama Buddha, akan
Dari terjemahan tersebut, penulis meragukan penulis sampaikan terjemahan Prasasti
bahwa Śankhara berpindah agama, apalagi ke Kalasan, prasasti berbahasa Sansekerta,
agama Buddha Mahayana. Pendapat ini memakai huruf Pra-Nagari dari tahun 700
diperkuat oleh syair pada bait 4, dikatakan Saka/778 Masehi, sebagai berikut:7)
setelah ia mendirikan prasāda untuk Dhātŗ, Namo bhagavatyai āryātārāyai
ia membicarakan moksa yang merupakan 1. yā tārayatyamitaduhkhabhavādbhi
kebahagiaan tertinggi. Moksa diperoleh oleh magnam lokam vilokya vidhivattrividhair
para vratin (pertapa) yang suci melalui upayaih Sā 8) vah surendranaralokavi
pengetahuan (jñāna), yang diperoleh dari bhūtisāram tārā diśatvabhimatam
puteri Dhātŗ (Saraswati ?). (śreyo moksān na jagadekatārā
param adhikam kathyate jñānavidbhir, 2. āvarjya 9) mahārājam dyāh pañcapanam
moksās so’pi vratibhir anaghair labhyate panamkaranām Śailendra rājagurubhis
jñānahetoh , tac ca jñānam vratibhir amalam tārābhavanam hi kāritam śrīmat
labhyate yat prasādād, dhatuh putrī janaya 3. gurvājñayā kŗtajñais 10) tārādevī kŗtāpi
tu(s)tarām vanditā (n)ah kavitvam). tad bhavanam vinayamahāyānavidām
Konsep moksa tidak dipakai dalam bhavanam cāpyāryabhiksūnām
agama Buddha. Demikian pula pada bait 4. pangkuratavānatīripanāmabhir
penutup selain Bhiksu dan Sanggha, disebut ādeśaśastribhīrājñah Tārābhavanam
tokoh/ kelompok lain, yaitu puteri Dhātŗ, kāritam idam api cāpy āryabhiksūnam
vratin, kulapati, raja (nrpatir) pelindung para 5. rājye pravarddhamāne 11) rājñāh
Dasyu, sehingga dengan menyebut Buddha śailendravamśatilakasya
dan Bhiksu tidak menjamin raja beragama śailendrarajagurubhis tārābhavanam
Buddha. Bagian ini sebagai penutup prasasti kŗtam kŗtibhih
yang mendoakan semua yang disebut 6. śakanŗpakālātītair varsaśataih saptabhir
bernasib baik. mahārājah akarod gurupūjārtham 12)
tārābhavanam panamkaranah
4 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013

7. grāmah kālasanāmā dattah samghāyā 5. Sebuah bangunan suci Tārā telah


sāksinah kŗtvā pankuratavānatiripa didirikan oleh guru-guru raja Śailendra di
desādhyaksān mahāpurusān kerajaan Permata Wangsa Śailendra yang
8. bhuradaksineyam 13) atulā dattā sedang tumbuh
samghāyā rājasimhena 6. Mahārāja Panangkarana mendirikan
śailendrarajabhūpair bangunan suci Tārā untuk menghormati
anuparipālyārsantatyā guru pada tahun yang telah berjalan 700
9. sang pangkurādibhih sang tahun.
tāvānakādibhih sang tīripādibhih 7. Desa bernama Kalasa telah diberikan
pattibhiśca sādubhih , api ca, untuk Samgha setelah memanggil para
10. sarvān evāgāminah pārthivendrān bhūyo saksi orang-orang terkemuka penguasa
bhūyo yācate rājasimhah, sāmānyoyam desa yaitu Pangkura, Tavana, Tiripa.
dharmmasetur narānām kāle kāle 8. Sedekah “bhura” yang tak ada
pālanīyo bhavadbhih bandingannya diberikan untuk Sangha
11. anena punyena vīhārajena pratītya jāta 14) oleh “raja yang bagaikan singa”
arthavibhāgavijñāh bhavantu sarve (rājasimha-) oleh raja-raja dari wangsa
tribhavopapannā janājinānām Śailendra dan para penguasa selanjutnya
anuś𝑎sanajñāh berganti-ganti.
12. kariyānapanamkaranah śrimān 9. Oleh para Pangkura dan pengikutnya,
abhiyācate bhāvinŗpān, bhūyo bhūyo sang Tavana dan pengikutnyam sang
vidhivad vīhāraparipālan ārtham iti. Tiripa dan pengikutnya, oleh para prajurit,
dan para pemuka agama, kemudian
Terjemahan: selanjutnya,
10. “Raja bagaikan singa” (rājasimhah)
Hormat untuk Bhagavatī Ārya Tārā minta berulang-ulang kepada raja-raja
1. Setelah melihat mahluk2 di dunia yang yang akan datang supaya Pengikat
tenggelam dalam kesengsaraan, ia Dharma agar dilindungi oleh mereka
menyeberangkan (dengan) Tiga Pe- yang ada selama-lamanya.
ngetahuan yang benar, Ia Tarā yang 11. Baiklah, dengan menghibahkan vihara,
menjadi satu-satunya bintang pedoman segala pengetahuan suci, Hukum Sebab
arah di dunia dan (tempat) dewa-dewa. Akibat, dan kelahiran di tiga dunia
2. Sebuah bangunan suci untuk Tārā yang (sesuai) ajaran Buddha, dapat difahami.
indah benar2 telah disuruh buat oleh guru- 12. Kariyana Panangkarana minta berulang
guru raja Śailendra, setelah memperoleh -ulang kepada yang mulia raja-raja yang
persetujuan Mahārāja dyāh Pancapana akan datang senantiasa melindungi
Panamkarana vihara yang penting ini sesuai peraturan.
3. Dengan perintah guru, sebuah bangunan
suci untuk Tārā telah didirikan, dan Berdasarkan terjemahan prasasti
demikian pula sebuah bangunan untuk tersebut, dalam Prasasti Kalasan terdapat
para bhiksu yang mulia ahli dalam ajaran dua orang raja, yaitu Śri Mahārāja
Mahāyana, telah didirikan oleh para ahli Dyāh Pancapana Panamkarana dan raja
4. Bangunan suci Tārā dan demikian juga itu Śailendravamsatilaka (permata wangsa
(bangunan) milik para bhiksu yang mulia Śailendra). Bahwa ada dua orang raja pada
telah disuruh dirikan oleh para pejabat Prasasti Kalasan, telah dikemukakan
raja, yang disebut Pangkura, Tavana, oleh Van Naerssen (1947) dan J.G.de
Tiripa. Casparis (1950). Menurut mereka, Rakai
Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 5

Panangkaran adalah raja bawahan raja Selanjutnya Raja Śailendravamśa-


Śailendravamsatilaka, yang disuruh mem- tilaka disebut dalam beberapa prasasti, yaitu
bangun Tārābhavanam untuk raja Śailendra Prasasti Kelurak (782 Masehi), Prasasti
(Sumadio II, 1984:89-90). Namun sebalik- Abhayagirivihara di bukit Ratu Baka (792
nya, menurut pendapat penulis, justru Masehi), Prasasti Kayumwungan (824
Śailendravansatilaka-lah raja bawahan Masehi), Prasasti Ligor B (775 Masehi), dan
Panangkaran, dengan alasan sebagai berikut: Prasasti Nalanda (abad 9). Dalam Prasasti
1. Rakai Panangkaran bergelar “Śri Kelurak, Śailendravamsatilaka yang bergelar
Mahārāja”, sedangkan Śailendravam- Śri Wirawairimathana (pembunuh musuh
śatilaka bergelar “rāja” saja yang gagah berani), ia mendirikan sebuah
2. Tārābhavanam didirikan “di kerajaan bangunan suci untuk Mañjusri atau
Śailendravamśatilaka yang sedang Mañjugosha, diresmikan oleh gurunya
tumbuh/ berkembang” (5. rājye pravard pendeta Kumaragosha yang datang dari
dhamane rājñah śailendravamśatila- Gaudidvipa. Bangunan suci yang disebut
kasya ….). dalam Prasasti Kelurak adalah candi Sewu,
3. Untuk mendirikan bangunan suci itu pun walaupun bukan bentuknya yang sekarang,
raja Śailendra mengutus guru-gurunya karena candi Sewu dibangun tiga kali
minta perkenan Śri Mahārāja dyāh (Kusen, 1991-1992:57; Santiko, 2010).
Pancapana Panamkarana. Kalau Rupanya raja Śailendravamśatilaka
Panangkaran raja bawahannya, mengapa tahun 782 keadaannya sudah lebih baik
ia harus minta ijin pada Panangkaran daripada saat mendirikan Tārābhavanam di
terlebih dulu? “grāma-kālasanāma--” tahun 778 Masehi.
4. Usaha guru-guru itu disetujui Pada Prasasti Nalanda dari raja
oleh Panangkaran untuk tujuan Devapaladeva dari abad 9, kita jumpai nama
“gurupūjārtham” yang berarti “ber- Śailendravamśatilaka yang bergelar Śri
tujuan menghormat Guru”. Dengan Viravairimathana. Ia raja Jawa, berputera
demikian persetujuan Panangkaran Samaratunga yang kawin dengan Tārā, anak
untuk mendirikan Tārābhavanam adalah raja Dharmasetu dari Somawamśa. Dari
“untuk menghormat guru” (guru- pernikahan ini lahirlah raja Balaputradewa,
pūjārtham) yang menghadap Panang- raja Sriwijaya, yang beragama Buddha, dan
karan untuk minta perkenan mendirikan telah mendirikan sebuah vihara di Nalanda
Tarabhavanam, dan bukan karena (Sumadio II, 1993:112).
Panangkaran beragama Buddha Maha- Dengan adanya pendapat 2 dinasti di
yana yang berkepentingan dengan Jawa tengah, maka Samaratungga bukan
pemujaan di Tārābhavanam tersebut. anak Panangkaran, melainkan anak raja
Bahwa seorang raja bawahan maupun Śailendravamśatilaka yang memerintah di
rakyat tidak harus mempunyai agama Jawa. Bagaimana kelanjutan hubungan kedua
yang sama dengan rajanya, dibuktikan dinasti raja tersebut, hingga kini berbagai
oleh banyaknya sisa-sisa candi Saiwa di penelitian masih mengikuti pendapat De
sekitar candi Borobudur. 15) Casparis tentang terjadinya hubungan
Dari prasasti Kalasan ini kita ketahui pernikahan antara Rakai Pikatan (Sanjaya-
raja Śailendravamśatilaka, mungkin baru vamśa) dengan Pramodhawarddhani, puteri
datang atau baru mendirikan kerajaannya, Samarotungga (De Casparis 1956).
dan menjadi raja bawahan Śri Mahārāja
Panangkaran, seorang raja Sanjayavamśa.,
anak raja Sanjaya.
6 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013

Penutup terlebih dahulu ke Śri Mahārāja Panam-


Berdasarkan terjemahan Prasasti karana, melalui guru-gurunya.
Kalasan (700 Saka/778 Masehi), di wilayah Rakai Panangkaran tidak beralih
Jawa Tengah abad 8-10 terdapat 2 dinasti, agama, ia menyetujui pendirian Tārā-
yaitu dinasti Sanjaya (Sanjayavamśa) dan bhavanam untuk “menghormati” para guru
dinasti Śailendra (Śailendravamśa). Raja (gurupūjārtham). Mungkin hal ini pulalah
Śailendravamśa ketika itu berkedudukan alasan yang dipakai oleh raja Śailendra untuk
sebagai raja bawahan Śri Mahārāja Dyāh mengirim guru-gurunya minta perkenan
Pancapana Panangkarana. Oleh karenanya Maharaja Panangkaran untuk mendirikan
untuk mendirikan Tārābhavanam di kerajaan- Tarabhavanam.
nya sendiri pun yang dikatakan
sedang berkembang / tumbuh (…rājye
pravarddhamane…), ia harus minta ijin

Catatan:
1) Nama Holing kita kenal dari berita Cina dari dinasti Tang (618-906 Masehi), yang
menyebut Jawa dengan Holing sampai tahun 818 Masehi, kemudian berubah menjadi She-
p’o. Selain berita Cina tidak (belum?) ditemukan prasasti yang menyebut/ membicarakan
Holing.
2) Transkrip dan terjemahan sementara dari Prof.Boechari, penulis dapat dari Dr Ninie Susanti.
3) Penulis tidak yakin benar apakah terjemahan ini adalah terjemahan Boechari.
4) Kata “hara” dari akar hr, berarti “mengambil, mengangkat, membawa, menguasai”, tetapi
dalam kitab-kitab Purāna, Siwa sebagai “Hara” juga berarti “melenyapkan kesusahan”
5) Dhātŗ adalah nama lain dewa Brahmā, tetapi puteri Brahmā, tidak pernah disinggung baik
dalam Purāna, maupun mitos, kalau isteri Brahma, yaitu Saraswati sering disinggung,
mungkin Dhatr disini yang dimaksud adalah Saraswati, apalagi ia memberi wejangan para
Vratin dalam usaha mencapai moksa.
6) Pada transkrip yang penulis dapat, kata ini berbunyi “amŗtagurubhayas” bukan
“anŗtagurubhayas”.
7) Transkripsi prasasti Kalasan penulis memakai trankripsi Himansu Bhusan Sarkar (l971)
yang dibandingkan dengan transkripsi Lokesh Chandra (1974).
8) Korelasi “sah….yah” diterjemahkan dengan “ia….yang”, ia …itu”
9) Kata āvarjya, dari akar vrj+ā, dalam bentuk absolutif.
10) Kata “krtajnais-“ mempunyai arti yang sama dengan “karmajnais-“ dalam prasasti Dinoyo
yang berarti “para ahli” (Sarkar, 1971: 39, catatan no.37).
11) Kata “pravarddhamane” dari akar vŗdh yang berarti tumbuh, dibentuk dalam partisipium
aktif dengan akhiran kasus lokatif karena menjelaskan “rājye”, yang berarti “ di kerajaan
yang sedang tumbuh/berkembang”.
12) “ gurupūjārtham” berarti “ bertujuan menghormat guru “
13) Bhuradaksina, kata “bhura” ada beberapa arti, banyak, luas, bersinar
14) Kata pratītyajata-, menurut Lokesh Chandra (1994:73) pengertiannya disamakan dengan
pengertian pratītyasamutpada-
15) Pada tahun 1973 dan 1975, penulis melakukan survei di sekitar candi Borobudur dalam
radius 10 km (tahun 1973) dan dalam radius 5 km (tahun 1975) dengan memakai laporan
N.J.Krom dan Verbeek (1914-1924) sebagai acuan. Ternyata sekitar 50 (thn 1975 ada 30,
dan selebihnya tahun 1973) terdapat sisa candi Saiwa dari batu bata ada di sekitar candi
Borobudur, termasuk candi Bowongan (radius 3 km).
Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 7

DAFTAR RUJUKAN Chandra, L. 1994. The Sailendra of Java,


Journal of the Asiatic Society of
Boechari. Transkripsi Sementara Prasasti Bombay, volume 67-68 (New
Batu Koleksi Bapak Adam Malik. Series).
Belum terbit. Poesponegoro, M.D., dan Notosusanto, N.
Casparis, J.G.de, 1950. Inscriptie Uit de 1993. Sejarah Nasional Indonesia II.
Sailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Jakarta: Balai Pustaka.
Bandung: Sumur. Santiko, H. 2010. “Sifat Keagamaan Candi
Casparis, J.G.de. 1956. Selected Inscription Sewu dan Candi Prambanan”, dalam
from the 7th to the 9th Century AD. Menjaga Warisan Umat Manusia,
Bandung: Masa Baru. Pameran Candi Prambanan dan
Kusen. 1991-1992. “Alih Aksara dan Candi Sewu.
Terjemahan Prasasti Manjusrigrha”, Sarkar, H.B. 1971. Corpus of the Inscription
dalam Candi Sewu Sejarah dan of Java (up to 928 AD), vol I,
Pemugarannya, (Anom, eds). hal 93- Calcutta: Firma K.LMukhopadhyaya.
94. Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Van Naerssen. 1947. “The Sailendras
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Interregnum, dalam India Antiqua,” hal.
Jawa Tengah. 249.

Anda mungkin juga menyukai