Anda di halaman 1dari 27

MATA KULIAH KONSELING LINTAS BUDAYA

Konseling Meng-Indonesia (Spritualitas di Indonesia, Mitos-mitos di Indonesia


dan Implikasi dalam Konseling)

ANGGOTA KELOMPOK 10

Anita Nur Hasanah 201601500591

Aldi Muhammad Yusuf 201601500490

Ade Elina 201601500519

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena

atas berkat dan rahmat-Nya lah penulisan makalah konseling pernikahan dan keluarga

ini yang berjudul “Konseling Meng-Indonesia (Spritualitas di Indonesia, Mitos-

mitos di Indonesia dan Implikasi dalam Konseling)” dapat selesai tepat pada

waktunya.

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua

anggota kelompok yang telah membantu kelancaran penulisan ini. Yang senantiasa

bersama-sama memberikan masukan, kritik, dan saran atas pembuatan makalah agar

dapat menyelesaikan makalah ini.

Kelompok kami menyadari bahwa apa yang kami tulis dalam makalah ini

masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kebaikan dan kesempurnaan makalah ini. Namun demikian,

kelompok kami berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 20 Oktober 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Spritualitas Masyarakat Indonesia 3

B. Mitos-mitos Masyarakat Indonesia 8

C. Implikasi Dalam Konseling13

BAB III PENUTUP 23

A. Simpulan 23

B. Saran 23

Daftar Pustaka 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terkenal dengan kergaman budaya dan beragam pula suku yang

ada di Indonesia, namun Indonesia memilki motto yaitu Bineka Tunggal Ika yang

berarti walaupun berbeda-beda namun tetap satu, dari arti kata tersebut maka

sudah menunjukkan jika badaya yang ada di Indonesia sangat beragam dan tidak

hanya budaya dan suku saja, namun dari ras maupun agama juga beragam. Dari

banyaknya perbedaan tersebut, tidak ada alasan untuk tetap saling menghargai

perbedaan yang ada di Indonesia yaitu rasa toleransi yang perlu diajarkan dan

diciptakan sejak dini menjadi suatu hal yang penting. Dengan adanya rasa

toleransi tersebut maka setiap warga Indonesia akan bias memahami setiap

perbedaan itu dan dengan memahami perbedaan tersebut maka pemahaman warga

Inonesia akan menjadi lebih luas tentang mengenai sistem dari budaya, ras, suku

dan agama yang ada di Indonesia.

Dari pernyataan diatas, maka dapat terlihat dengan keragaman yang

berbeda dan system yang berbeda, sebagai warga Indonesia perlu mengenal lebih

jauh lagi terutama dalam sipritualitas/agama dan budaya yang ada di Indonesia,

karena Indonesia memiliki beragam agama yang dianut oleh warga Indonesia

1
setiap agama pasti mengajarkan kebaikkan dan dalam budaya di Indonesia

memilki beberapa mitos-mitos tertentu yang di percaya oleh warga Indonesia.

Sebagai seorang konselor perlu memahami hal tersebut, karena konseli

yang datang untuk melakukan konseling pastinya akan memiliki latar belakang

agama ataupun budaya yang berbeda dengan konselor itu sendiri, bahkan konseli

yang berasal dari latar belakang agama dan badaya yang berbeda akan memilki

pemahaman yang berbeda pula, maka dari itu konselor harus mampu memahami

apa yang dirasakan oleh konseli saat proses konseling berlangsung.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana keberadaan spritualitas yang ada di Indonesia?

2. Apa saja mitos-mitos yang ada di Indonesia?

3. Bagaimana implikasinya dalam Konseling?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai spritualitas yang dianut oleh

masyarakat Indonesia

2. Mengetahui mitos-mitos dari setiap daerah yang ada di Indonesia

3. Memahami implikasi dalam konseling lintas budaya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Spritualitas Masyarakat Indonesia

Di Indonesia, kata “spiritual” mempunyai arti yang lebih luas lagi, yaitu

segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat ghaib, tidak

empiris, terutama berupa mahluk-mahluk halus, tetapi tidak termasuk di

dalamnya Tuhan atau Sang Maha Pencipta. Seorang “tokoh spiritual” biasanya

diartikan sebagai seseorang yang mengetahui atau dapat berhubungan dengan

dunia “spirit”, dunia mahluk-mahluk ghaib.

Oleh karena itu, makna kata “spiritualitas” juga berbeda. Di Indonesia

“spiritualitas” biasanya diartikan sebagai tingkat keyakinan, kemampuan atau

praktek seseorang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ghaib, terutama

mahluk-mahluk ghaib. Seseorang yang spiritualitasnya tinggi adalah seseorang

yang memiliki keyakinan yang kuat mengenai mahluk-mahluk ghaib dan

memiliki kemampuan yang besar untuk berhubungan dengan mereka, sehingga

praktek-praktek atau berbagai aktivitasnya sehari-hari sangat dipengaruhi atau

selalu ada hubungannya dengan mahluk-mahluk ghaib tersebut.

Jadi spiritualisme adalah suatu sistem kepercayaan yang berpandangan

bahwa roh-roh orang yang telah meninggal dapat melakukan komunikasi dengan

3
mereka yang masih hidup, atau dapat menyatakan kehadiran mereka kepada yang

masih hidup dengan cara-cara tertentu, terutama melalui seorang ‘medium’ atau

perantara. Bisa juga diartikan sebagai sistem ajaran (doktrin) dan praktek yang

didasarkan pada sistem kepercayaan seperti itu, atau sebagai kepercayaan akan

keberadaan dan pengaruh mahluk-mahluk spiritual (ghaib) terhadap manusia dan

kehdupannya.

Di Indonesia, spiritualisme seperti ini sebenarnya masih merupakan

suatu hal yang umum dan biasa dijumpai dalam masyarakat, atau dalam setiap

sukubangsa di Indonesia, walaupun dengan kadar atau tingkatan yang berbeda-

beda. Dengan kata lain spiritualitas suatu sukubangsa, masyarakat atau komunitas

berbeda-beda, dan ini disebabkan oleh berbagai faktor.

1. Spritualitas menurut para ahli

Menurut Aman (2013:20), Spiritual dalam pengertian luas merupakan

hal yang berhubungan dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki

kebenaran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering

dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara,

Didalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural

seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi.

Spiritual dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih

4
tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup

seseorang dan lebih dari pada hal yang bersifat inderawi.

Spiritualitas merupakan dimensi yang berbeda dari perbedaan

individu. Sebagai dimensi yang berbeda, spiritualitas membuka pintu untuk

memperluas pemahaman kita tentang motivasi manusia dan tujuan kita,

sebagai makhluk, mengejar dan berusaha untuk memuaskan diri. Kita tidak

harus menjadi terlalu antusias tentang kemampuan spiritualitas untuk

memberikan jawaban akhir untuk pertanyaan kami tentang kondisi manusia.

(Piedmont, 2001:9-10).

2. Bentuk spritualitas masyarakat Indonesia

Spiritualitas yang tinggi dari bangsa Indonesia dapat dilihat dalam banyak

hal yaitu diantaranya adalah:

a. Pada umumnya orang Indonesia masih percaya bahkan menyukai hal-hal

yang bersifat ghaib, dan ingin sekali mengetahui keadan dunia ghaib

tersebut. Ini terlihat misalnya pada beberapa acara di televisi, yang

berhubungan dengan dunia mahluk ghaib, dengan dunia “lain”.

Diselenggarakannya acar tersebut menunjukkan bahwa ada stasiun televisi

yang menyukai acara tersebut, atau crew stasiun tersebut berpendapat

bahwa masyarakat kita masih banyak yang menggemari acara-acara

seperti itu, dan ini terbukti karena acara seperti itu masih tetap

5
berlangsung. Jika acara seperti itu tidak lagi digemari atau rendah

ratingnya, tentu sudah sejak lama dihentikan.

b. Orang Indonesia juga masih banyak yang mempercayai adanya individu-

individu yang mampu berhubungan dengan mahluk-mahluk ghaib, dan

kemudian dapat membuat mahluk-mahluk tersebut melakukan apa yang

mereka inginkan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa masih banyak orang

Indonesia yang mempunyai guru-guru atau “penasehat spiritual”, yang

biasanya kata-katanya sangat dipercayai, nasehat-nasehatnya selalu

diikuti, dengan tujuan agar mereka dapat selalu memperoleh

keberuntungan, entah itu usaha dagang yang lancar, kedudukan yang

langgeng, ketenaran yang semakin bertambah, dan sebagainya.

c. Orang Indonesia juga masih banyak yang melakukan ziarah kubur, tidak

dengan maksud untuk mendoakan yang telah meninggal, tetapi

mendapatkan pertolongan dari roh-roh mereka. Pada malam-malam

tertentu mereka mengunjungi makam-makam tertentu dengan maksud

untuk mendapatkan ketenteraman terutama dalam kehidupan di dunia,

baik itu yang berhubungan dengan harta, kedudukan, ketenaran, dan

sebagainya.

d. Orang Indonesia juga masih banyak yang biasa melakukan “tirakat”, “laku

prihatin”. Diharapkan dengan laku prihatin ini, -entah dengan berpuasa,

berjaga atau melakukan “semedi” semalam suntuk, berendam di sumber

6
air tertentu, dan sebagainya- mereka akan mendapatkan imbalan dari

“alam ghaib” -entah siapapun yang dimaksud-, berupa kehidupan duniawi

yang lebih baik, atau seperti yang telah diperoleh. Dengan laku tersebut

mereka yakin bahwa dari “dunia spiritual”, “alam ghaib” akan ada

kekuatankekuatan tertentu yang kemudian akan dapat memberikan

pengaruh yang menguntungkan terhadap kehidupan mereka.

e. Tidak sedikit orang Indonesia yang juga masih percaya pada adanya

“kekuatan-kekuatan tertentu” dalam berbagai benda yang jika dapat

“disapa”, diajak berkomunikasi, juga akan dapat memberikan

perlindungan kepada, atau memberikan apa yang diinginkan oleh pemilik

benda tersebut. Tindakan “menyapa” atau “komunikasi” dengan kekuatan-

kekuatan tersebut ada berbagai macam bentuknya, misalnya sajen berupa

makanan, bunga, atau penyembelihan hewan tertentu.

3. Penguatan tauhid dalam spritualitas masyarakat Indonesia

a. Yang pertama adalah bahwa masyarakat Indonesia menganut pandangan

bahwa Tuhan, Allah itu ada, dan Maha Esa. Tuhan tersebut juga Maha

Pencipta, Maha Bijaksana, Maha Kuasa, Maha dalam segala yang bersifat

baik. Tanpa anggapan akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta ini, yang

berkuasa terhadap kehidupan manusia, solusi spiritual berupa

“ketauhidan” tidak akan ada artinya.

7
b. Kedua, Tuhan Yang Maha Pencipta ini tidak dapat diduakan dengan yang

lain-lain. Tindakan penduaan atau menyekutukan Tuhan bertentangan

dengan pandangan keMaha-an Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, unsur-

unsur spiritual lainnya tidak perlu diperhatikan lagi. Perhatian utama

cukup dan harus diberikan pada sumber dari segala spiritualitas, yaitu

Tuhan atau Allah tiu sendiri.

c. Ketiga, ketauhidan yang kuat akan menghasilkan ketunggalan

spiritualitas, yaitu spiritualitas yang memfokus pada sumber spiritualitas

yang satu, sehingga enerji manusia dapat dipusatkan sepenuhnya pada

upaya untuk memuliakan “Sang Spirit”, “Roh dari segala Roh”. Hanya

dengan tauhid yang kokoh inilah proses adaptasi yang cepat dan tepat,

yang membawa selamat, di dunia dan di akhirat, dapat terwujud.

B. Mitos-mitos Masyarakat Indonesia

1. Pengertian Mitos

Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi  oleh

para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia  lain

(kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar  terjadi oleh yang

empunya cerita atau penganutnya. Mitos juga disebut Mitologi, yang kadang

diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan

bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat,

8
dan konsep dongeng suci. Jadi, mitos adalah cerita tentang asal-usul alam

semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan

mengandung arti yang dalam. Mitos juga mengisahkan  petualangan para

dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka dan sebagainya.

2. Contoh-contoh Mitos

Begitu banyak contoh-contoh mitos yang ada di dindonesia. karena

kita tahu sendiri bahwa memang Mitos sangat berhubungan dengan terjadinya

tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongen suci. ini

adalah beberapa contoh Mitos yang ada di Indonesia.

a. Cerita terjadinya mado-mado atau marga di Nias (Sumatra Utara).

b. Cerita barong di Bali.

c. Cerita pemindahan Gunung Suci Mahameru di India oleh para dewa ke

Gunung Semeru yang dianggap suci oleh orang Jawa dan Bali.

d. Cerita Nyai Roro Kidul (Ratu Laut Selatan).

e. Cerita Joko Tarub.

f. Cerita Dewi Nawangwulan

Contoh mitos lainnya:

Sejauh ini, kebanyakan masyarakat Jawa masih percaya dengan

beberapa pertanda atau kejadian-kejadian di alam sekitar yang berhubungan

dengan perkara ghaib. Beberapa juga begitu percaya dengan mitos-mitos yang

telah tersebar luas di masyarakat sejak jaman dulu dan membekas hingga

9
sekarang. Memang, tidak sedikit orang yang kini sudah melupakan mitos dan

tidak mempercayainya. Beberapa yang lain juga mengatakan jika mitos ini

dianggap suatu yang magis dan suatu hal yang musryik. Terlepas dari magis

tidaknya, musryik tidaknya, benar atau tidaknya mitos ini, sampai kini masih

ada beberapa mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat Jawa.

Mitos-mitos yang masih dipercaya dan dianggap sebagai pertanda tertentu

antara lain adalah sebagai berikut.

a. Burung Pipit Berkicau Terus Menerus

Burung pipit disebut juga sebagai burung prenjak. Jika burung ini berkicau

secara terus menerus di halaman atau sekitar rumah, ini pertanda akan ada

tamu datang. Orang jaman dulu mengungkapkan jika burung pipit bertengger

di kanan rumah, maka tamu akan membawa kabar baik. Tapi jika burung pipit

bertengger di kiri rumah, tamu yang datang akan membawa kabar buruk.

b. Kupu-Kupu Masuk Rumah

Pernah mendapati kupu-kupu masuk rumah? Beberapa orang Jawa percaya

jika ada kupu-kupu masuk ke rumah maka rumah tersebut akan kedatangan

tamu. Tamu ini bisa keluarga, kerabat, sahabat atau orang terdekat.

c. Burung Gagak di Atas Rumah

Selama ini, burung gagak sering dikaitkan dengan hal-hal mistis. Termasuk

ketika ada burung gagak yang terbang atau berputar-putar di atas rumah atau

10
sekedar bertengger di pekarangan, ini bisa menjadi tanda bahwa salah seorang

penghuni rumah akan sakit parah atau bahkan meninggal dunia.

d. Ayam Jantan Berkokok di Sore & Malam Hari

Orang tua jaman dulu mempercayai jika ada ayam berkokok di sore atau

malam hari akan datang wabah penyakit. Tidak sedikit yang percaya ini

menandakan akan adanya wanita di lingkungan tersebut yang hamil di luar

nikah. Tapi, setiap daerah di Jawa umumnya memiliki tanda yang tak sama.

Di beberapa daerah, ayam berkokok ini menandakan akan adanya

pencurian/perampokan.

e. Menabrak Kucing akan Celaka

Ketika berkendara dan tiba-tiba menabrak kucing, ini dipercaya menjadi

pertanda orang yang menabrak akan celaka. Untuk itu, penting untuk selalu

hati-hati dan waspada di mana pun berada. Orang yang menabrak kucing tapi

tidak meminggirkan dan menolong kucing dipercaya akan mengalami sial.

Jadi, disarankan untuk menolong kucing yang ditabrak dan meminggirkannya

dari tengah jalan.

f. Anak Gadis & Duduk di Pintu

Menurut budaya Jawa, anak gadis yang duduk di pintu sangatlah tidak sopan.

Beberapa sampai percaya jika perilaku ini bisa membuatnya jauh dari jodoh.

g. Bersiul di Sore & Malam Hari

11
Banyak orang tua yang melarang anak-anaknya bersiul saat sore atau malam

tiba. Orang tua jaman dulu percaya jika bersiul di sore dan malam hari akan

mengundang makhluk halus. Ini juga bisa menyebabkan adanya gangguan

mistis yang datang ke rumah.

h. Makan di Depan Rumah

Menurut mitos Jawa, makan di depan rumah bisa mengurangi rezeki atau

menyebabkan kesialan. Di luar mitos yang ada, makan di depan rumah

memang merupakan aktivitas yang terbilang cukup tak sopan.

i. Larangan Menikah di Bulan Sura (Muharram)

Sejauh ini, banyak masyarakat khususnya masyarakat Jawa yang masih sangat

percaya akan larangan menikah atau menggelar hajatan besar di bulan Sura

(Muharram). Mitos yang ada menyebutkan jika bulan ini Ratu Pantai Selatan

sedang menggelar hajatan sehingga orang Jawa tidak diperkenankan

menggelar hajatan juga. Menggelar hajatan di bulan Sura juga dipercaya bisa

mendatangkan banyak kesialan.

j. Nyapu Tidak Bersih, Akan Mendapatlan Suami Brewokan

Sering dimarahi ibu karena menyapumu tidak bersih dan diancam jika

menikah suamimu bakal brewokan? Inilah mitos yang sampai saat ini masih

sering terdengar di masyarakat luas. Ya, meski mitos ini sudah mulai

memudar dan hanya menjadi candaan.

3. Beberapa alasan mengapa manusia mudah menerima mitos

12
a. Keterbatasan pengetahuan manusia, pada umunya manusia

memperoleh informasi dari cerita orang yang mengetahui akan suatu hal.

Kemudian hal ini bepindah telinga kepada manusia yang lain. yang

menjadi masalah adalah kebenaran tentang informasi atau pengetahuan

yang muncul dan telah menyebar tersebut.

b. Keterbatasan manusia dalam menalarkan sesuatu, ini dikarenakan

kemampuan berpikir manusia pada saat itu masih latih. Sehingga

pemikiran yan dihasilkan dapat benar dan dapat pula salah.

c. Keingintahuan manusia yang telah terpenuhi untuk sementara,

mengadung pengertian bahwa ketika manusia tlah mampu menalarkan

sedikit hal yang ada dalam pikirannya maka disitulah letak kepuasan

manusia yang diterimanya secara intuisi.

d. Keterbatasan alat indera manusia, selain beberapa hal diatas

keterbatasan manusia terhadap bagaimana Ia menggunakan alat inderanya

masih terbatas, sehingga jangkauan yang sangat detail dalam suatu

penciptaan hal yang baru masih bisa diragukan.

C. Implikasi dalam Konseling

1. Kompetensi dan keterampilan konselor

Secara umum konselor adalah tenaga ahli dalam bidang pendidikan

dan psikologi, memiliki pengetahuan yang luas tentang teori-teori psikologi,

13
konseling dan pendidikan. Namun secara khusus konselor dituntut untuk lebih

mendalami dan menguasai empat domain yang ada pada diri individu; fisik,

emosi, psikis dan spiritual. Menurut Sukartini (2005: 5-7) ada karakteristik

kepribadian yang bersifat umum dan karakteristik khusus yang disajikan oleh

Corey (1997: 234-235), yaitu:

a. Karakteristik Kepribadian (umum)

1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME

2) Berpandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk

spiritual, bermoral, individual, dan social.

3) Mengahargai harkat, martabat manusia dan hak asasinya serta

bersikap demokratis.

4) Menampilkan nilai, norma, moral yang berlaku dan berakhlak mulia.

5) Menampilkan integritas dan stabilitas kepribadian dan kematangan

emosional.

6) Cerdas, kreatif, mandiri, dan berpenampilan menarik.

b. Karakteristik Kepribadian (khusus)

1) Memiliki cara-cara sendiri (gaya yang khas).

2) Memiliki kehormatan diri dan apresiasi diri.

3) Mempunyai kekuatan yang utuh, mengenal dan menerima kemampuan

sendiri.

14
4) Terbuka terhadap perubahan dan mau mengambil resiko yang lebih

besar.

5) Terlibat dalam proses-proses pengembangan kesadaran tentang diri

dan klien.

6) Memiliki kesanggupan untuk menerima dan memberikan toleransi

terhadap ketidak menentuan.

7) Memiliki identitas diri.

8) Mempunyai rasa empati yang tidak posesif.

9) Peduli dalam menjalani hidup dan bukan sekedar hidup semata-mata.

10) Otentik nyata, sejalan, jujur, dan bijakasana.

11) Memberi dan menerima kasih saying.

12) Hidup pada masa kini.

13) Mau mengakui kesalahan.

14) Dapat terlibat dalam pekerjaan/kegiatan yang kreatif.

Keterampilan dalam menciptakan dan membina hubungan konseling

kepada klien (helping relationship); seperti menciptakan suasana yang hangat,

simpatik, empati, yang didukung sikap dan perilaku konselor yang tulus dan

ikhlas untuk membantu klien, jujur dan bertanggung jawab, terbuka, toleran,

dan setia. Keterampilan dalam menerapkan wawancara konseling (Hosking,

1978: 12) dan (Brammer: 1979) yaitu:

15
a. Keterampilan penampilan.

b. Keterampilan membuka percakapan.

c. Keterampilan membuat paraphrase.

d. Keterampilan mengidentifikasikan perasaan.

e. Keterampilan merefleksi perasaan.

f. Keterampilan konfrontasi.

g. Keterampilan memberi informasi.

h. Keterampilan memimpin.

i. Keterampilan menginterpretasi.

j. Keterampilan membuat ringkasan

2. Pendekatan konseling

Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya.

Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas,

komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.

Kedua, pendekatan emik (kekhususan budaya) yang menyoroti

karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-

kebutuhan konseling khusus mereka.

Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak

diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul

Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans

sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan

16
bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan

resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990)

yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif

disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik;

dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-

karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi

spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut:

a. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari

pendekatan konseling yang digunakannya.

b. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.

c. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan

konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.

d. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas

budaya.

Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural

sebagai berikut:

a. Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk

kepentingan konseling.

b. Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain.

17
c. Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap

outcome konseling.

3. Model konseling lintas budaya

Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model

konseling lintas budaya, yakni culture centred model, integrative model, dan

ethnomedical model.

a. Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)

Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya

barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme,

sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme,

determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum

tidak dikhotomus.

Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu

kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.

Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor

dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam

budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya

yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami

keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak

memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.

Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya,

18
fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai

budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.

Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan

konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini

mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi

pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

b. Model Integratif (Integrative Model)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika,

Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel

sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni

sebagai berikut :

1) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial

oppression).

2) Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).

3) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).

4) Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family

experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya

sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut.

Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen

yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai

19
suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud

adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan

baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang

diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious

(ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai budaya yang diturunkan dari

generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak

pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki

individu dari berbagai varibel di atas.

c. Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser

(1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).

Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada

paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas

transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit

dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka

pikirnya.

1) Konsepsi sakit (sickness conception) Seseorang dikatakan sakit apa

bila:

a) Melakukan penyimpangan norma-norma budaya.

b) Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa.

c) Melakukan pelanggaran hokum.

20
d) Mengalami masalah interpersonal.

2) Causal/healing beliefs

a) Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling.

b) Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan

konseli.

c) Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor.

d) Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu

berbagi (share) tentang keyakinan yang sama.

3) Kriteria sehat (wellbeing criteria)

Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara

dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya

adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam

komunitasnya.

a) Mampu menentukan sehat dan sakit.

b) Memahami permasalahan sesuai dengan konteks.

c) Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal.

d) Menyadari dan memahami budayanya sendiri

1)

2)

3)

4) Body function beliefs

21
a) Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir pebih

bermakna.

b) Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan

sehari-hari.

c) Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli

5) Health practice efficacy beliefs

Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan

atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

22
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam konseling meng-Indonesia, sebagai seorang konselor perlu

memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan budaya yang ada di Indonesia,

karena budaya di Indonesia sangat beragam akan menjadi tantangan bagi konselor

untuk dapat memahami keseluruhan system dari budaya yang ada, terutama

dalam budaya yang beragam meliputi ras, suku dan agama yang masing-masing

di milki setiap masyarakat Indonesia.

Oleh sebab itu, konselor dituntut untuk menguasai pelaksanaan konseling

lintas budaya, konselor harus mengetahui nilai-nilai yang ada agar dapat

mengarahkan konseli yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda secara

baik dan tetap dapat melaksanakan layanan konseling sampai masalah yang di

alami oleh konseli dapat terselesaikan dengan baik dan menjadi pribadi yang baik

sesuai dengan norma-norma yang ada.

23
B. Saran

Sebagai calon konselor, harus menguasai pengetahuan mengenai

kebudayaan yang ada di Indonesia, agar layanan konseling dapat dirasakan oleh

segenap masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke.

DAFTAR PUSTAKA

https://infodanpengertian.blogspot.com/2016/02/pengertian-spiritualitas-

menurut-para.html

http://devafortunella.blogspot.com/2017/03/pengertian-mitos-contoh-nya.html

https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3813842/menurut-budaya-

jawa-ini-mitos-mitos-yang-masih-dipercaya-hingga-kini

Bangsa, M., & Bangsa, M. (2012). SPIRITUALITAS BANGSA.

Santoso, A. (2014). Konseling spiritual. Retrieved from

http://digilib.uinsby.ac.id/20035/

Supriatna, M. (2009). Bimbingan dan konseling lintas budaya. PLPG Sertifikasi

Guru, 4.

24

Anda mungkin juga menyukai