Anda di halaman 1dari 75

1

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK COGNITIVE BEHAVIOUR


THERAPY (CBT) DENGAN TEKNIK THOUGHT STOPPING DAN
TEKNIK SELF INTRUCTION UNTUK MEREDUKSI PERILAKU
PROKRASTINASI AKADEMIK SISWA KELAS IX SMP NEGERI 20
SEMARANG

PROPOSAL TESIS

Dosen Pembimbing:

1. Prof. Dr. Mungin Edy W., M.Pd., Kons.


2. Dr. Drs. Edy Purwanto, M.Si.

Oleh:
SUGENG WIDODO
0106518026

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021
2

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal tesis dengan judul “EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK


COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY (CBT) DENGAN TEKNIK
THOUGHT STOPPING DAN TEKNIK SELF INTRUCTION UNTUK
MEREDUKSI PERILAKU PROKRASTINASI AKADEMIK SISWA
KELAS IX SMP NEGERI 20 SEMARANG” karya,
Nama : SUGENG WIDODO
NIM : 0106518026
Program Studi : Bimbingan dan Konseling
Telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke seminar proposal tesis.

Semarang, ....................

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Mungin Edy W., M.Pd., Kons. Dr. Drs. Edy Purwanto, M.Si.
NIP 195211201977031002 NIP. 196301211987031001
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang berfungsi sebagai
wadah bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan potensinya. Pendidikan di
sekolah tidak hanya ditujukan untuk membantu mengasah kemampuan berpikir
dan menalar peserta didik, akan tetapi juga membantu perserta didik agar dapat
menjadi pribadi yang mandiri dan dapat berkembang secara optimal pada aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Yusuf (dalam Dewi, Hasan, dan AR, 2016: 38) yang
mengemukakan bahwa “sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan formal
yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan atau
pelatihan dalam rangka membantu para peserta didik agar mampu
mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral-
spritual, intelektual, emosional, sosial, maupun fisik-motoriknya”.
Selama menjalani pendidikan formal di sekolah, peserta didik atau siswa
pasti tidak lepas dari kewajiban untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas-
tugas akademiknya. Tugas dan tanggung jawab peserta didik diantaranya yaitu:
peserta didik harus mengumpulkan tugas akademik tepat waktu, mengerjakan PR
di rumah, rajin belajar, memiliki rasa percaya diri dalam mengerjakan tugas dan
harus mampu manajemen waktu dengan baik (Sholikhah, Sugiharto, dan Tadjri,
2017: 63) Setiap akhir pelajaran, biasanya guru memberikan tugas akademik
seperti memberikan PR kepada peserta didik. Peserta didik diharapkan dapat
mengerjakan semua tugas akademik yang diberikan oleh guru dengan sebaik
mungkin dan harus mengumpulkannya dengan tepat waktu agar peserta didik
memperoleh banyak ilmu yang bermanfaat, memperoleh nilai yang bagus dan
dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Akan tetapi biasanya tidak semua
peserta didik dapat menyelesaikan tugas-tugas akademiknya dengan tepat waktu.
Ada peserta didik yang memiliki kebiasaan buruk yaitu suka menunda untuk
4

mengerjakan ataupun menunda untuk menyelesaikan tugas akademik yang


diberikan oleh guru.

Kebiasaan suka menunda mengerjakan tugas akademik biasa disebut dengan


prokrastinasi akademik. Hal tersebut sesuai dengan apa yang di sampaikan oleh
(Wahyuni dan Muhari, 2014: 2) yang mengungkapkan bahwa prokrastinasi
akademik merupakan suatu tindakan penghindaran atau menunda-nunda yang
dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang dalam memulai atau menyelesaikan
suatu tugas akademik yang mempunyai batas waktu atau tenggat waktu
pengerjaan dan menggantinya dengan aktivitas lain yang lebih menyenangkan
dirinya serta tidak begitu penting sehingga menghambat kinerja akademik
individu maupun orang lain. Senada dengan hal tersebut, (Febriani, Suarni, dan
Aspin, 2017: 87) juga mengungkapkan bahwa prokrastinasi akademik merupakan
bentuk penundaan yang dilakukan oleh peserta didik secara sengaja dan berulang-
ulang, dengan melakukan aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam pengerjaan
tugas akademik.

Prokrastinasi akademik masih banyak di alami oleh pelajar pada saat ini.
Chehrzad et al., (dalam Zarrin, Gracia, & Paixão, 2020: 35) mengungkapkan
bahwa sebagian besar mahasiswa jurusan Ilmu Kedokteran di Guilan University
yang berjumlah 459 orang mengalami masalah prokrastinasi akademik dengan
persentase: 14% mahasiswa mengalami prokrastinasi pada kategori yang tinggi,
70% mahasiswa mengalami prokrastinasi pada kategori yang sedang dan 16%
mahasiswa mengalami prokrastinasi pada kategori yang rendah. Selain itu, Ellis
dan Knaus (dalam Laforge, 1998: 1) mengungkapkan bahwa sebanyak 70%
mahasiswa Amerika terlibat dalam penundaan yang sering.

Prokrastinasi akademik nyatanya juga masih banyak di alami oleh pelajar


yang ada di Indonesia pada saat ini. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Indra, Yusuf, dan Jamna (2016: 178) yang menunjukkan bahwa
dari 210 siswa kelas VII MTs Negeri Koto Tangah Padang terdapat
kecenderungan prokrastinasi akademik siswa dengan persentase 8% pada kategori
sangat tinggi, 40% dengan kategori tinggi, 19% dengan kategori sedang, 25%
5

dengan kategori rendah dan 8% dengan kategori sangat rendah. Selanjutnya,


penelitian yang dilakukan oleh Putro dan Sugiharto (2016: 21) juga menunjukkan
bahwa tingkat prokrastinasi akademik siswa kelas XI SMA Negeri 5 kota
Magelang dari keseluruhan jumlah responden yang diberikan instrumen yaitu 256
siswa, terdapat 93 (36%) siswa dengan kategori tinggi, 136 (53%) siswa dengan
kategori sedang, 23 (9%) siswa dalam kategori rendah, dan 4 (2%) siswa dengan
kategori sangat rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muyana (2018: 49) terhadap


Mahasiwa prodi BK Universitas Ahmad Dahlan yang berjumlah 229 mahasiswa
menunjukkan bahwa cukup banyak mahasiswa yang mengalami masalah
prokrastinasi akademik, dengan persentase: 3 (1%) siswa berada pada kategori
sangat tinggi, 161 (70%) siswa berada pada kategori tinggi, 65 (29%) siswa
berada pada kategori rendah dan 0 (0%) berada pada kategori sangat rendah.

Beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa prokrastinasi akademik


masih banyak terjadi hampir di seluruh tingkatan pendidikan. Prokrastinasi
akademik nyatanya juga terjadi di SMP Negeri 20 Semarang. Berdasarkan hasil
studi pendahuluan yang dilakukan di SMP Negeri 20 Semarang melalui
wawancara dengan guru bimbingan dan konseling dan guru mata pelajaran,
menunjukkan bahwa ada cukup banyak siswa yang sering melakukan tindakan
prokrastinasi akademik, terutama siswa kelas IX. Siswa kelas IX yang seharusnya
lebih rajin mengerjakan tugas dan rajin belajar untuk mempersiapkan ujian justru
malah sering melakukan tindakan prokrastinasi akademik. Adapun prokrastinasi
akademik yang terjadi pada siswa kelas IX SMP Negeri 20 Semarang ditandai
dengan: cukup banyak siswa yang sering tidak mengerjakan PR, cukup banyak
siswa yang sering mengerjakan PR di sekolah, serta siswa berulang kali terlambat
mengumpulkan tugas akademik seperti PR dengan alasan waktunya terlalu
singkat dan tugasnya sulit.

Masalah prokrastinasi akademik siswa di atas tentu sangat berdampak


negatif bagi peserta didik. Hen & Goroshit (dalam Zarrin et al., 2020: 35)
mengungkapkan bahwa prokrastinasi akademik sebagai penghalang keberhasilan
6

akademis. Senada dengan hal tersebut Wahyuni dan Muhari (2014: 3) juga
mengungkapkan bahwa apabila prokrastinasi akademik dibiarkan berkelanjutan
maka dampak utama yang akan terjadi adalah rendahnya prestasi belajar siswa.
Hal tersebut disebabkan karena siswa tidak mengerjakan tugas dengan baik,
sungguh-sungguh dan sebagaimana mestinya. Waktu yang diberikan oleh guru
tidak dimanfaatkan dengan baik, sehingga pada saat mendekati waktu
pengumpulan tugas, siswa baru mengerjakan tugas dengan tergesa-gesa dan
dengan seadanya. Tugas yang dikerjakan dengan tergesa-gesa hasilnya tidak akan
optimal. Selain itu, siswa akan kurang memahami materi karena tidak sempat
membaca kembali tugas yang telah dikerjakannya.

Selain hal di atas Junita, Yuwono, dan Sugiharto (2014: 19)


mengungkapkan bahwa dampak dari prokrastinasi akademik diantaranya yaitu:
individu akan mengalami stres, mengganggu pencapaian sukses pribadi dan
akademik, serta prestasi menjadi rendah. Lebih lanjut, peserta didik yang
mengalami prokrastinasi akademik akan mengalami ketidak nyamanan psikologis
yang dapat menyusahkan dirinya, seperti rasa bersalah serta penyesalan yang
mendalam akibat tidak dapat menjalankan atau menyelesaikan tugasnya dengan
baik dan tepat waktu.

Banyaknya dampak negatif dari prokrastinasi akademik di atas, tentu sangat


merugikan bagi peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang tepat agar
dapat membantu peserta didik untuk mereduksi prokrastinasi akademik yang
dialaminya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu peserta didik
agar dapat mereduksi prokrastinasi akademik yang dialaminya yaitu dengan
memberikan layanan bimbingan dan konseling dengan metode layanan konseling
kelompok.

Natawidjaja (dalam Wibowo, 2019:132) mengungkapkan bahwa konseling


kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok
yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta diarahkan kepada pemberian
kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya. Senada dengan
hal tersebut, Prayitno (dalam Failasufah, 2016: 20) mengungkapkan bahwa
7

layanan konseling kelompok merupakan layanan konseling yang


diselenggarakan dalam suasana kelompok, yang memungkinkan siswa
memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami
melalui dinamika kelompok. Lebih lanjut, Wibowo (2019: 61) mengungkapkan
bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok adalah membantu
pengembangan pribadi anggota kelompok, serta pembahasan dan pemecahan
masalah pribadi yang dialami oleh anggota kelompok agar anggota kelompok
terhindar dari masalah dan masalah yang dialami anggota kelompok dapat
terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa konseling kelompok


dapat digunakan untuk membantu mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam memecahkan masalah dan juga untuk membantu peserta didik mengatasi
masalah pribadi yang dialaminya, termasuk membantu mengatasi masalah
prokrastinasi akademik. Hal tersebut terbukti dari penelitian yang telah dilakukan
oleh Haris, Dahliana, dan A’yuna (2018: 92) yang menunjukkan bahwa layanan
konseling kelompok yang dilakukannya efektif untuk menurunkan perilaku
prokrastinasi akademik peserta didik. Namun demikian, layanan konseling
kelompok yang diberikan dalam penelitian tersebut merupakan layanan konseling
kelompok konvensional yang belum menggunakan atau menerapkan pendekatan
ataupun teknik konseling tertentu. Maka dari itu, penelitian tersebut memberikan
saran kepada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lanjutan dengan
menerapkan pendekatan ataupun teknik konseling yang tepat dan sesuai untuk
mereduksi perilaku prokrastinasi akademik.

Salah satu pendekatan dalam layanan konseling kelompok yang dapat


digunakan untuk membantu peserta didik untuk mereduksi masalah prokrastinasi
akademik yaitu pendekatan Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Cognitive
Behaviour Therapy (CBT) merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada
prinsip bahwa pikiran adalah salah satu penyebab terbentuknya perasaan dan
perilaku seseorang (Beck dalam Erfantinni, Purwanto, & Japar, 2016: 120).
Senada dengan hal tersebut, David A. Tomb (dalam Purwanti et al., 2016: 50)
8

mengungkapkan bahwa Cognitive Behaviour Therapy merupakan suatu


gabungan antara terapi kognitif dan terapi perilaku, dimana terapi tersebut
menganggap kesulitan-kesulitan emosional berasal dari pikiran atau keyakinan
yang salah dan menyebabkan suatu perilaku yang tidak produktif. Jadi,
penyimpangan perilaku seperti perilaku prokrastinasi akademik terjadi karena
adanya penyimpangan fungsi kognitif peserta didik. Begitupun sebaliknya, ketika
cara berfikir peserta didik positif dan benar maka akan menunjang perilaku yang
positif.

Dari sudut pandang cognitive behaviour therapy, prokrastinasi akademik


terjadi disebabkan karena adanya pemikiran irasional yang dimiliki individu.
Pemikiran irasional tersebut disebabkan karena kesalahan persepsi individu
terhadap kemampuan dirinya sendiri dan kesalahan persepsi individu terhadap
tugas akademik yang diberikan. Seorang peserta didik cenderung memandang
tugas akademik sebagai sesuatu hal yang sulit dan tidak menyenangkan
(aversiveness of the task dan fear of failure) (Ellis & Knaus dalam Abdillah &
Fitriana, 2021: 13). Hal tersebut menyebabkan peserta didik yang memiliki
pemikiran irasional seperti menganggap dirinya tidak pintar atau tidak memiliki
kemampuan yang baik dalam menyelesaikan tugas serta menganggap tugas
akademik sebagai hal yang sulit atau hal yang tidak menyenangkan, lebih memilih
untuk menunda-nunda mengerjakan ataupun menyelesaikan tugas akademiknya.
Maka dari itu, dengan diberikannya layanan konseling kelompok dengan
pendekatan cognitive behaviour therapy diharapkan dapat membantu peserta didik
agar memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap tugas
akademik, sehingga peserta didik dapat merasa percaya diri dalam mengerjakan
tugas dan dapat menyikapi tugas akademik dengan lebih baik serta dapat
menyelesaikan tugas akademiknya dengan tepat waktu.

Dalam pendekatan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) terdapat beberapa


teknik konseling yang dapat digunakan agar dapat memberikan hasil konseling
yang lebih optimal. Salah satu teknik dalam layanan konseling kelompok
pendekatan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) yang dapat digunakan untuk
9

mereduksi perilaku prokrastinasi akademik individu adalah teknik self intruction.


Menurut Setiawan, Solehuddin, & Hafina (2019: 2) self intruction merupakan
salah satu teknik dari teori cognitive-behavior yang menggunakan pola verbalisasi
diri untuk membantu siswa agar dapat mengelola dirinya dengan memberikan
instruksi-instruksi yang positif. Senada dengan hal tersebut, Chusna & Nursalim
(2015: 145) juga mengungkapkan bahwa teknik self intruction merupakan suatu
teknik yang digunakan untuk membangun kembali sistem kognisi konseli, yang
terpusat pada pola verbalisasi overt (disuarakan secara lantang/keras) dan
verbalisasi covert (disuarakan dalam hati). Jadi teknik self instruction, merupakan
teknik yang digunakan untuk melatih peserta didik agar dapat mengintruksikan
dirinya dari pikiran/pernyataan negatif menjadi pikiran/pernyataan yang positif.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa teknik self instruction
dapat digunakan untuk membantu peserta didik agar dapat selalu memberikan
intruksi yang positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap tugas-tugas
akademiknya. Hal tersebut akan membuat peserta didik selalu memberikan
instruksi pada dirinya sendiri bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan tugas-
tugas akademik yang diberikan dan selalu menginstruksikan dirinya sendiri untuk
selalu semangat mengerjakan tugas-tugas akademiknya, sehingga tingkat
prokrastinasi akademik peserta didik dapat berkurang.
Selain teknik self intruction, dalam pendekatan Cognitive Behaviour
Therapy (CBT) juga terdapat teknik thought stopping yang dapat digunakan untuk
membantu mereduksi perilaku prokrastinasi akademik siswa. Menurut Videbeck
(dalam Fadhli & Siregar, 2020: 2) teknik thought stopping merupakan salah satu
bagian dari terapi perilaku yang dapat digunakan untuk membantu individu
mengubah proses berpikir. Selanjutnya Cormier, Nurius dan Osborn (dalam
Gustanti & Wibowo, 2019: 157) juga mengungkapkan bahwa teknik thought
stopping merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk mengubah dan
menghentikan pikiran negatif yang dimiliki oleh konseli dengan membantu
mereka menyusun kembali pikiran negatif menjadi pikiran yang positif. Hal
tersebut menunjukkan bahwa teknik thought stopping dapat digunakan untuk
membantu menghentikan dan mengubah pikiran negatif peserta didik terhadap
10

dirinya sendiri dan terhadap tugas akademiknya menjadi pikiran yang lebih
positif. Dengan pikiran yang positif terhadap dirinya sendiri dan tugas
akademiknya, akan memunculkan semangat peserta didik untuk mengerjakan dan
menyelesaikan tugas-tugas akademiknya dengan baik dan tepat waktu.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa konseling kelompok
pendekatan cognitive behavior Therapy teknik thought stopping dan teknik self
intruction dapat digunakan untuk membantu mereduksi prokrastinasi akademik
peserta didik dengan cara menghentikan dan merubah pikiran negatif, pernyataan
diri negatif dan keyakinan yang irasional, serta menginstruksikan dan meyakinkan
peserta didik agar selalu memiliki pikiran yang positif, pernyataan diri positif
serta memiliki keyakinan yang rasional. Dengan hal tersebut akan membuat
peserta didik dapat berpikir lebih positif dan memiliki keyakinan yang lebih
rasional terhadap dirinya serta terhadap tugas akademik, sehingga siswa memiliki
kepercayaan diri dan motivasi yang tinggi untuk menyelesaikan tugas-tugas
akademik yang diterimanya dengan baik dan tepat waktu.
Aulia, Prathama, dan Sodjakusumah (2018) melakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan Cognitive Behavior Therapy
(CBT) untuk menurunkan perilaku prokrastinasi akademik pada mahasiswa.
Subyek dalam penelitian tersebut adalah 4 mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran yang memiliki perilaku prokrastinasi yang berada pada
taraf cenderung tinggi sampai dengan tinggi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif
menurunkan perilaku prokrastinasi akademik pada mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
Chusna & Nursalim (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menguji keberhasilan penggunaan konseling kelompok teknik self instruction
untuk menurunkan prokrastinasi akademik yang dialami siswa. Subyek
penelitiannya adalah 6 siswa kelas VIII C SMP Muhammdiyah 9 Surabaya. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok self instruction
dapat menurunkan tingkat prokrastinasi akademik siswa kelas VIII C SMP
Muhammdiyah 9 Surabaya.
11

Saputra, Purwanto, & Awalya (2017) melakukan penelitian yang bertujuan


untuk mengidentifikasi keefektifan konseling kelompok dengan teknik self
instruction dan cognitive restructuring untuk mengurangi perilaku prokratinasi
akademik siswa, serta untuk membandingkan antara kedua teknik tersebut mana
yang lebih efektif untuk mengurangi perilaku prokrastinasi akademik siswa.
Subyek dalam penelitian tersebut adalah 21 siswa SMP Negeri 24 Palembang
yang mengalami masalah prokrastinasi akademik dalam kategori tinggi. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik self
instruction dan cognitive restructuring efektif untuk mengurangi perilaku
prokratinasi akademik siswa. Selain itu, dari hasil penelitian tersebut juga
diketahui bahwa konseling kelompok dengan teknik self instruction lebih efektif
dibandingkan dengan teknik cognitive restructuring dalam mengurangi perilaku
prokratinasi akademik siswa SMP Negeri 24 Palembang.
Toker & Avcı (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pelatihan keterampilan berbasis cognitive behavioral
therapy (CBT) untuk mengurangi perilaku prokastinasi akademik pada mahasiswa
Universitas Mugla Sitki Kocman, Turki. Subyek dalam penelitian tersebut yaitu
26 mahasiswa Universitas Mugla Sitki Kocman tahun akademik 2012/2013 yang
mengalami masalah prokrastinasi akademik dalam kategori tinggi. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan berbasis cognitive
behavioral therapy (CBT) berpengaruh untuk mengurangi perilaku prokastinasi
akademik pada mahasiswa Universitas Mugla Sitki Kocman dan memiliki efek
jangka panjang.
Kim & Seo (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara prokrastinasi akademik dan kinerja akademik. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif dan signifikan
antara prokrastinasi akademik dengan kinerja akademik. Artinya, jika tingkat
prokrastinasi akademik individu tinggi maka akan membuat kinerja akademik
rendah, begitupun sebaliknya. Penelitian tersebut menggunakan model penelitian
meta-analisis. Penelitian tersebut melakukan meta-analisis terhadap 33 penelitian
atau studi yang relevan, dengan jumlah total 38.529 peserta untuk mensintesis
12

temuan tersebut. Dari 33 penelitian atau studi yang relevan tersebut diketahui
bahwa 5 (15,15%) adalah penelitian atau studi yang dilakukan terhadap siswa
sekolah menengah dan 28 (84,85%) adalah penelitian atau studi yang dilakukan
terhadap mahasiswa perguruan tinggi.
Grunschel, Patrzek, & Fries (2013) melakukan penelian terhadap 36
mahasiswa dari 2 kampus yang ada di Jerman. Penelitian tersebut berhasil
mengungkapkan sebab dan juga dampak dari prokrastinasi akademik secara luas.
Hasil dari penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa prokrastinasi akademik
yang dilakukan oleh mahasiswa dikarenakan oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Namun penelitian tersebut sebatas pada memperoleh informasi
mengenai sebab dan dampak dari prokrastinasi akademik, sehingga belum ada
usaha pemberian intervensi konseling. Oleh karena itu, peneliti dalam penelitian
tersebut menyarankan untuk melakukan penelitian lanjutan terkait penanganan
masalah prokrastinasi dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik
konseling yang tepat.
Penelitian yang dilakukan oleh Balkis, Duru, & Bulus (2013) terhadap 281
mahasiswa dari sebuah Universitas yang berada di Turki menunjukkan bahwa
keyakinan akademik yang rasional/irasional memiliki pengaruh langsung terhadap
prokrastinasi akademik dan preferensi waktu belajar untuk ujian. Selain itu,
keyakinan akademik yang rasional/irasional juga berdampak secara tidak
langsung pada prestasi akademik dengan mediasi prokrastinasi akademik dan
preferensi waktu belajar untuk ujian. Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa prokrastinasi akademik berdampak pada prestasi akademik
baik secara langsung maupun melalui mediasi preferensi waktu belajar untuk
ujian. Penelitian tersebut menyarankan bahwa ada hubungan antara keyakinan
akademik dan prokrastinasi akademik yang perlu dibahas lebih lanjut dalam
intervensi konseling.
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, terdapat
persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Dari banyaknya penelitian yang
telah dilakukan selama ini terkait dengan masalah prokrastinasi akademik, masih
jarang sekali atau bahkan belum ada penelitian yang menguji tentang keefektifan
13

konseling kelompok pendekatan CBT teknik thought stopping untuk membantu


mereduksi masalah prokrastinasi akademik yang dialami oleh peserta didik. Selain
itu, yang menjadi pembaruan dalam penelitian ini yaitu melakukan penggabungan
teknik thought stopping dan teknik self intruction dalam setting konseling
kelompok dengan pendekatan CBT untuk mereduksi prokrastinasi akademik yang
dialami oleh peserta didik.
Berdasarkan pemaparan di atas, yang mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Efektivitas Konseling Kelompok Cognitive Behaviour
Therapy (CBT) dengan Teknik Thought Stopping dan Teknik self intruction untuk
Mereduksi Perilaku Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas IX SMP Negeri 20
Semarang”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul diantaranya yaitu:
1.2.1 Masih banyak siswa yang mengalami masalah prokrastinasi akademik yang
ditandai dengan: siswa jarang mengerjakan PR, siswa sering mengerjakan
PR di sekolah, siswa berulang kali terlambat mengumpulkan tugas
akademik seperti PR dengan alasan waktunya terlalu singkat ataupun
tugasnya sulit.
1.2.2 Keyakinan yang tidak rasional serta pikiran yang negatif terhadap diri
sendiri dan tugas akademik sangat berpengaruh terhadap perilaku
prokrastinasi akademik.
1.2.3 Siswa yang mengalami prokrastinasi akademik cenderung memiliki prestasi
akademik yang rendah.
1.2.4 Sebagian besar peserta didik mengalami masalah prokrastinasi akademik
dan belum terlayani secara optimal.
1.2.5 Pelaksanaan Konseling Kelompok Pendekatan Cognitive Behaviour
Therapy (CBT) dengan penggabungan teknik teknik Thought Stopping dan
Self Intruction masih jarang dilakukan atau bahkan belum pernah dilakukan
untuk membantu mengatasi masalah prokrastinasi akademik.
14

1.3 Cakupan Masalah


Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, maka perlu dilakukan
cakupan masalah agar pembahasannya lebih terfokus atau tidak meluas. Adapun
cakupan masalah dalam penelitian ini yaitu terbatas pada efektivitas konseling
kelompok cognitive behaviour therapy (CBT) dengan teknik thought stopping dan
teknik self intruction untuk mereduksi perilaku prokrastinasi akademik siswa
kelas IX SMP Negeri 20 semarang.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini diantaranya yaitu:
1.4.1 Apakah konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT) dengan
teknik thought stopping efektif untuk mereduksi perilaku prokrastinasi
akademik siswa kelas IX SMP Negeri 20 semarang?
1.4.2 Apakah konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT) dengan
teknik self intruction efektif untuk mereduksi perilaku prokrastinasi
akademik siswa kelas IX SMP Negeri 20 semarang?
1.4.3 Apakah konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT) dengan
menggunakan gabungan teknik thought stopping dan teknik self intruction
efektif untuk mereduksi perilaku prokrastinasi akademik siswa kelas IX
SMP Negeri 20 semarang?

1.5 Tujuan Penelitian


Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1.5.1 Menganalisis keefektifan konseling kelompok cognitive behaviour therapy
(CBT) dengan teknik thought stopping untuk mereduksi perilaku
prokrastinasi akademik siswa kelas IX SMP Negeri 20 semarang?
1.5.2 Menganalisis keefektifan konseling kelompok cognitive behaviour therapy
(CBT) dengan teknik self intruction untuk mereduksi perilaku prokrastinasi
akademik siswa kelas IX SMP Negeri 20 semarang?
1.5.3 Menganalisis keefektifan konseling kelompok cognitive behaviour therapy
15

(CBT) dengan menggunakan gabungan teknik thought stopping dan teknik


self intruction untuk mereduksi perilaku prokrastinasi akademik siswa kelas
IX SMP Negeri 20 semarang.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun secara praktis. Berikut ini adalah manfaat yang dihasilkan dari
penelitian ini:

1.6.1 Manfaat Teoretis


Manfaat teoretis dalam penelitian ini yaitu diharapkan mampu
menunjukkan keefektifan konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT)
dengan teknik thought stopping dan teknik self intruction untuk mereduksi
perilaku prokrastinasi akademik khususnya untuk siswa SMP. Selain itu, hasil dari
penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya keilmuan bimbingan dan konseling, terutama yang berkaitan dengan
konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT) teknik thought stopping
dan teknik self intruction untuk mereduksi perilaku prokrastinasi akademik
peserta didik.
1.6.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini diantaranya yaitu:
1.6.2.1 Bagi guru BK atau konselor sekolah
Memberikan gambaran mengenai praktik penanganan bagi peserta
didik yang mengalami masalah prokrastinasi akademik melalui layanan
konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT) dengan teknik
thought stopping dan teknik self intruction untuk mereduksi perilaku
prokrastinasi akademik peserta didik.
1.6.2.2 Bagi Pihak Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pentingnya layanan konseling kelompok cognitive behaviour therapy
(CBT) dengan teknik thought stopping dan teknik self intruction untuk
16

mereduksi perilaku prokrastinasi akademik peserta didik, sehingga dapat


mendukung serta memfasilitasi program dan pelaksanaan layanan BK di
sekolah
1.6.2.3 Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta
dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian lanjutan yang sejenis
mengenai layanan konseling kelompok cognitive behaviour therapy (CBT)
dengan teknik thought stopping dan teknik self intruction untuk mereduksi
perilaku prokrastinasi akademik peserta didik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA
BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka


Kajian pustaka berisi tentang penelitian terdahulu yang relevan. Penelitian
yang relevan menguraikan tentang penelitian yang sudah pernah dilakukan dan
memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan pada saat ini. Penelitian
terdahulu bertujuan untuk memberikan gambaran hasil penelitian sebelumnya
yang dapat mendukung pada penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang
digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini diantaranya yaitu:
Balkis et al., (2013) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji
hubungan antara keyakinan akademik yang rasional/irasional, prokrastinasi
akademik, preferensi/pengutamaan waktu belajar untuk ujian dan prestasi
akademik dengan menggunakan model persamaan struktural. Subyek dalam
penelitian tersebut adalah 281 mahasiswa dari sebuah Universitas yang berada di
Turki. Secara umum, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keyakinan
akademik yang rasional/irasional memiliki pengaruh langsung terhadap
prokrastinasi akademik dan preferensi/pengutamaan waktu belajar untuk ujian.
Keyakinan akademik yang rasional/irasional juga berdampak secara tidak
langsung pada prestasi akademik dengan mediasi prokrastinasi akademik dan
preferensi waktu belajar untuk ujian. Selain itu, hasil penelitian tersebut juga
17

menunjukkan bahwa prokrastinasi akademik berdampak pada prestasi akademik


baik secara langsung maupun melalui mediasi preferensi/pengutamaan waktu
belajar untuk ujian. Penelitian tersebut menyarankan bahwa ada hubungan antara
keyakinan akademik dan prokrastinasi akademik yang perlu dibahas lebih lanjut
dalam intervensi konseling.
Fauziah (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi prokrastinasi akademik pada
mahasiswa serta membuat alat ukur prokrastinasi akademik. Subyek dalam
penelitian tersebut adalah 113 mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada 3 faktor yang
menyebabkan prokrastinasi akademik yaitu faktor fisik, psikis dan lingkungan
dengan nilai korelasi sebesar 0,50 untuk aspek fisik, 0,55 untuk aspek psikis dan
0,92 untuk aspek lingkungan.
Kim & Seo (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara prokrastinasi akademik dan kinerja akademik. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif dan signifikan
antara prokrastinasi akademik dengan kinerja akademik. Artinya, jika tingkat
prokrastinasi akademik individu tinggi maka akan membuat kinerja akademik
rendah, begitupun sebaliknya. Penelitian tersebut menggunakan model penelitian
meta-analisis. Penelitian tersebut melakukan meta-analisis terhadap 33 penelitian
atau studi yang relevan, dengan jumlah total 38.529 peserta untuk mensintesis
temuan tersebut. Dari 33 penelitian atau studi yang relevan tersebut diketahui
bahwa 5 (15,15%) adalah penelitian atau studi yang dilakukan terhadap siswa
sekolah menengah dan 28 (84,85%) adalah penelitian atau studi yang dilakukan
terhadap mahasiswa perguruan tinggi.
Senécal, Koestner, & Vallerand (1995) melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui keterkaitan antara regulasi diri dengan prokrastinasi akademik.
Jenis penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif korelasional. Subyek dalam
penelitian tersebut adalah 498 siswa Perancis yang bersekolah di sebuah SMA
yang berada di daerah Montreal, Canada. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa ada keterkaitan yang signifikan dan negatif antara regulasi diri dengan
18

tingkat prokrastinasi akademik yang dialami oleh siswa. Artinya, siswa yang
memiliki regulasi diri dalam belajar tinggi mengalami prokrastinasi akademik
yang rendah, begitupun sebaliknya.
Grunschel et al., (2013) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengembangkan dan mengevaluasi pelatihan kelompok dengan metode self
regulated learning untuk mengurangi prokrastinasi akademik. Subyek dalam
penelitian tersebut adalah 106 siswa yang ada di Jerman. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pelatihan kelompok dengan teknik self-regulated learning
secara signifikan efektif mengurangi perilaku prokrastinasi akademik siswa yang
tinggi dan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam meregulasi diri dalam
belajarnya, seperti: lebih pandai memanajemen waktu belajarnya, dapat membuat
prioritas dalam pendidikannya dan lebih berkonsentrasi dalam belajar.
Savira dan Sudarsono (2013) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara Self Regulated Learning dengan prokrastinasi
akademik pada siswa akselerasi SMA Negeri di Kota Malang. Subyek penelitian
yang dilibatkan dalam penelitian tersebut adalah 48 siswa kelas XI program
akselerasi SMA Negeri di Kota Malang dengan usia 13-15 tahun. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat
signifikan antara Self Regulated Learning dengan prokrastinasi akademik pada
siswa akselerasi. Hal tersebut berarti bahwa siswa yang memiliki Self Regulated
Learning tinggi akan diikuti prokrastinasi akademik yang rendah, dan sebaliknya
siswa yang memiliki Self Regulated Learning rendah maka akan diikuti
prokrastinasi akademik yang tinggi.
Wahyuni & Muhari (2014) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menguji keberhasilan penggunaan konseling kelompok realita untuk mengurangi
perilaku prokrastinasi akademik siswa kelas VIII C SMP Negeri 20 Surabaya.
Subyek dalam penelitian tersebut adalah 7 siswa kelas VIII C SMP Negeri 20
Surabaya, yang terindikasi memiliki kecenderungan perilaku prokrastinasi
akademik yang tinggi. Hasil dari Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penerapan konseling kelompok realita dapat mengurangi perilaku prokrastinasi
akademik siswa kelas VIII C SMP Negeri 20 Surabaya.
19

Wachyudin (2019) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui


efektivitas konseling kelompok pendekatan REBT terhadap penanganan perilaku
prokrastinasi akademik pada siswa kelas VIII SMP PIRI Ngaglik, Sleman. Subyek
dalam penelitian tersebut adalah 12 siswa kelas VIII SMP PIRI Ngaglik, Sleman
yang memiliki kecenderungan perilaku prokrastinasi akademik yang tinggi. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok pendekatan REBT
efektif mengurangi perilaku prokrastinasi akademik pada siswa kelas VIII SMP
PIRI Ngaglik, Sleman.
Gading (2020) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
keefektifan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam mengurangi
perilaku prokrastinasi akademik pada siswa SMA. Subyek dalam penelitian
tersebut yaitu sebanyak 61 siswa dari 4 sekolah menengah atas yang ada di pulau
Bali yang teridentifikasi memiliki perilaku prokrastinasi akademik tinggi. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan
Gestalt efektif dalam mengatasi perilaku prokrastinasi akademik pada siswa SMA
yang ada di pulau Bali.
Toker & Avcı (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji
keefektifan cognitive behavioral teraphy (CBT) untuk mengurangi perilaku
prokastinasi akademik pada mahasiswa Universitas Mugla Sitki Kocman. Subyek
dalam penelitian tersebut yaitu 26 mahasiswa Universitas Mugla Sitki Kocman
tahun akademik 2012/2013 yang mengalami masalah prokrastinasi akademik
dalam kategori tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa cognitive
behavioral teraphy (CBT) efektif untuk mengurangi perilaku prokastinasi
akademik pada mahasiswa Universitas Mugla Sitki Kocman dan memiliki efek
jangka panjang.
Aulia dkk (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
efektivitas penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk menurunkan
perilaku prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Subyek dalam penelitian
tersebut adalah 4 mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran yang
memiliki perilaku prokrastinasi akademik yang berada pada taraf cenderung tinggi
sampai dengan tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Cognitive
20

Behavior Therapy (CBT) dapat menurunkan perilaku prokrastinasi akademik pada


mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Erfantinni dkk (2016) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji
efektivitas konseling kelompok cognitive-behavior therapy teknik cognitive
restructuring untuk mereduksi prokrastinasi akademik ditinjau dari jenis kelamin
pada siswa SMK PGRI 2 Ponorogo. Suyek dalam penelitian ini adalah 16 siswa
laki-laki dan perempuan SMK PGRI 2 Ponorogo yang memiliki kecenderungan
perilaku prokrastinasi akademik yang tinggi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa konseling kelompok CBT teknik cognitive restructuring
efektif untuk mereduksi prokrastinasi akademik siswa dan teknik cognitive
restructuring cocok untuk siswa laki-laki maupun perempuan.
Ernawati dan Sumarwoto (2016) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menguji efektivitas layanan konseling kelompok dengan pendekatan behavioral
melalui teknik shaping untuk mengurangi prokrastinasi akademik siswa kelas VIII
SMA Negeri 2 Barat Kabupaten Magetan. Subyek dalam penelitian ini adalah 10
siswa VIII SMA Negeri 2 Barat Kabupaten Magetan yang mengalami masalah
prokrastinasi akademik pada kategori tinggi. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dengan pendekatan behavioral
melalui teknik shaping efektif diterapkan untuk mengurangi prokrastinasi
akademik siswa kelas VIII SMA Negeri 2 Barat Kabupaten Magetan.
Rokhman, Sucipto, & Masturi (2019) melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab prokrastinasi
akademik siswa SMA 1 Gebog Kudus dan untuk mengetahui keberhasilan
layanan konseling behavioristik dengan teknik behavior contract untuk mengatasi
prokrastinasi akademik siswa SMA 1 Gebog Kudus. Subyek dalam penelitian
tersebut adalah 3 siswa SMA 1 Gebog Kudus yang memiliki tingkat prokrastinasi
akademik tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan ada dua faktor yang
menyebabkan prokrastinasi individu, diantaranya yaitu: faktor internal (kondisi
psikologis) dan faktor eksternal (gaya pengasuhan orang tua dan kondisi
lingkungan). Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa layanan
konseling behavioristik dengan teknik behavior contract dapat digunakan untuk
21

mengatasi prokrastinasi akademik siswa SMA 1 Gebog Kudus.


Sholikhah dkk (2017) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menghasilkan dan menguji keefektifan model konseling kelompok dengan teknik
penguatan positif untuk mereduksi prokrastinasi akademik siswa. Subyek dalam
penelitian tersebut adalah 8 siswa SMK Pelayaran Semarang yang memiliki
kecenderungan perilaku prokrastinasi akademik yang tinggi. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik penguatan
positif efektif untuk mereduksi prokrastinasi akademik siswa.
Kunwijaya, Wibowo, dan Awalya (2019) melakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui efektifitas layanan penguasaan konten dengan teknik
self-management untuk mengurangi prokrastinasi akademik siswa SMP Negeri 4
Purwokerto. Subyek dalam penelitian tersebut adalah 32 siswa kelas VII A di
SMP Negeri 4 Purwokerto yang memiliki prokrastinasi akademik yang tinggi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa layanan penguasaan konten dengan
teknik self-management efektif untuk mengurangi prokrastinasi akademik siswa
SMP Negeri 4 Purwokerto.
Meilindani (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
efektivitas teknik self management untuk mengurangi prokrastinasi akademik
siswa kelas XI Nautika A SMK Pelayaran Hang Tuah Kediri Tahun Ajaran
2017/2018. Subyek dalam penelitian tersebut adalah 5 siswa kelas XI Nautika A
SMK Pelayaran Hang Tuah Kediri yang mengalami masalah prokrastinasi
akademik dengan kategori tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
teknik self management efektif untuk mengurangi prokrastinasi akademik siswa
kelas XI Nautika A SMK Pelayaran Hang Tuah Kediri Tahun Ajaran 2017/2018.
Yospina & Pribadi (2019) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui seberapa efektif konseling kelompok dengan teknik self management
dalam mengurangi perilaku prokrastinasi akademik siswa SMA Negeri 3 Tarakan.
Subyek dalam penelitian tersebut yaitu 20 siswa kelas XI SMA Negeri 3 Tarakan
yang mengalami prokrastinasi akademik dalam kategori tinggi. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik self
management efektif untuk mengurangi perilaku prokrastinasi akademik siswa
22

SMA Negeri 3 Tarakan.


Chusna dan Nursalim (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menguji keberhasilan penggunaan konseling kelompok teknik self instruction
untuk menurunkan prokrastinasi akademik yang dialami siswa. Subyek
penelitiannya adalah 6 siswa kelas VIII C SMP Muhammdiyah 9 Surabaya. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok self instruction
dapat menurunkan tingkat prokrastinasi akademik siswa kelas VIII C SMP
Muhammdiyah 9 Surabaya.
Saputra dkk (2017) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengidentifikasi keefektifan konseling kelompok dengan teknik self instruction
dan cognitive restructuring untuk mengurangi perilaku prokratinasi akademik
siswa, serta untuk membandingkan antara kedua teknik tersebut mana yang lebih
efektif untuk mengurangi perilaku prokrastinasi akademik siswa SMP Negeri 24
Palembang. Subyek dalam penelitian tersebut adalah 21 siswa SMP Negeri 24
Palembang yang mengalami masalah prokrastinasi akademik dalam kategori
tinggi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling kelompok
dengan teknik self instruction dan cognitive restructuring efektif untuk
mengurangi perilaku prokratinasi akademik siswa. Selain itu, dari hasil penelitian
tersebut juga diketahui bahwa konseling kelompok dengan teknik self instruction
lebih efektif dibandingkan dengan teknik cognitive restructuring dalam
mengurangi perilaku prokratinasi akademik siswa SMP Negeri 24 Palembang.
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, terdapat
persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Dari banyaknya penelitian yang
telah dilakukan selama ini terkait dengan masalah prokrastinasi akademik, masih
jarang sekali atau bahkan belum ada penelitian yang menguji tentang keefektifan
konseling kelompok pendekatan CBT teknik thought stopping untuk membantu
mereduksi masalah prokrastinasi akademik yang dialami oleh peserta didik. Selain
itu, dalam penelitian sebelumnya juga belum ditemukan penelitian yang menguji
keefektifan penggabungan teknik thought stopping dan teknik self intruction
dalam setting konseling kelompok dengan pendekatan CBT untuk mereduksi
prokrastinasi akademik peserta didik. Hal tersebut yang mendasari peneliti untuk
23

melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Konseling Kelompok Cognitive


Behaviour Therapy (CBT) dengan Teknik Thought Stopping dan Teknik self
intruction untuk Mereduksi Perilaku Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas IX
SMP Negeri 20 Semarang”.

2.2 Kerangka Teoritis


Teori-teori yang digunakan sebagai kerangka teoretis dalam penelitian ini meliputi
konsep prokrastinasi akademik, konseling kelompok pendekatan Cognitive
Behaviour Theraphy teknik Thought Stopping dan teknik self intruction.
2.2.1 Konsep Prokrastinasi Akademik
2.2.1.1 Definisi Prokrastinasi Akademik
Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa latin “procrastinare’ yang berarti
menunda sampai hari selanjutnya. Para ahli psikologi sering menggunakan istilah
prokrastinasi untuk menunjukkan suatu kecenderungan menunda-nunda
pengerjaan atau penyelesaian suatu tugas atau pekerjaan. Menurut Ellis & Knaus
(dalam Salsabiela et al., 2018: 179) prokrastinasi merupakan suatu kebiasaan
menunda-nunda menyelesaikan aktivitas yang penting sampai akhir waktu yang
telah ditentukan. Lebih lanjut Solomon & Rothblum (1984: 505) mengungkapkan
bahwa prokrastinasi adalah suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai
maupun menyelesaikan kinerja secara keseluruhan untuk melakukan aktivitas lain
yang tidak berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah
menyelesaikan tugas tepat waktu, serta sering terlambat dalam menghadiri
pertemuan-pertemuan.
Prokrastinasi dapat terjadi dalam seluruh bidang kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang akademik. Prokrastinasi akademik merupakan suatu
penundaan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan
aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam pengerjaan tugas akademik (Ghufron
dan Risnawita, 2012: 155).
Prokrastinasi akademik merupakan suatu penundaan tugas dan tanggung
jawab yang berkaitan dengan sekolah, atau untuk menyimpannya hingga menit
terakhir (Haycock, McCarthy, & Skay dalam Deniz, Traş, & Aydoǧan, 2009:
24

624). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku


prokrastinasi akademik adalah kebiasaan menunda-nunda melaksanakan
kewajiban sebagai seorang pelajar dan menunda mengerjakan tugas akademiknya.
Wolter (dalam Muyana, 2018: 47) mengungkapkan bahwa “prokrastinasi
akademik merupakan kegagalan dalam mengerjakan tugas akademik dalam
kerangka waktu yang diinginkan atau menunda mengerjakan tugas sampai saat-
saat terakhir”. Schouwenburg (dalam Kurniawan, 2017: 98) menjelaskan bahwa
prokrastinasi akademik adalah suatu perilaku menunda pengerjaan tugas ataupun
menunda kegiatan belajar untuk ujian dan digantikan dengan kegiatan lain yang
tidak perlu. Pengerjaan tugas dilakukan setelah mendekati batas tenggang waktu,
sehingga pengerjaannya menimbulkan tekanan, ketakutan, serta kecemasan.
Prokrastinasi akademik merupakan prokrastinasi ataupun penundaan yang
berkaitan dengan unsur-unsur tugas dalam area akademik. Solomon & Rothblum
(1984: 506) menyatakan bahwa terdapat 6 area prokrastinasi dalam bidang
akademik yang diantaranya yaitu: (1) tugas membuat laporan/paper; (2) tugas
belajar dalam menghadapi ujian; (3) tugas membaca mingguan; (4) tugas
administratif (mengembalikan buku perpustakaan, menulis catatan materi
pelajaran dan sebagainya); (5) menghadiri pertemuan (presensi ataupun jam
kehadiran di kelas); (6) tugas akademik secara umum. Sementara itu Ferrari
(dalam Kurniawan, 2017: 98) membagi pengertian prokrastinasi dari berbagai
batasan tertentu, yaitu: (1) prokrastinasi hanya sebagai perilaku penundaan, yaitu
bahwa setiap perbuatan untuk menunda dalam mengerjakan suatu tugas disebut
sebagai prokrastinasi, tanpa mempermasalahkan tujuan serta alasan penundaan
yang dilakukan; (2) prokrastinasi sebagai suatu kebiasaan atau pola perilaku yang
dimiliki individu, yang mengarah kepada trait, yaitu penundaan yang dilakukan
sudah merupakan respon tetap yang selalu dilakukan seseorang dalam
menghadapi tugas, biasanya disertai oleh adanya keyakinan-keyakinan yang
irasional; (3) prokrastinasi sebagai suatu trait kepribadian, dalam pengertian ini
prokrastinasi tidak hanya sebuah perilaku penundaan saja, akan tetapi
prokrastinasi merupakan suatu trait yang melibatkan komponen-komponen
perilaku maupun struktur mental lain yang saling terkait yang dapat diketahui
25

secara langsung maupun tidak langsung.


Millgram (dalam Muyana, 2018: 47) mengungkapkan bahwa prokrastinasi
akademik merupakan perilaku spesifik yang tersusun atas 4 komponen, yaitu: (1)
suatu perilaku yang melibatkan unsur penundaan baik saat memulai maupun
menyelesaikan suatu tugas; (2) menghasilkan akibat-akibat yang lebih jauh
seperti, keterlambatan menyelesaikan tugas, atau kegagalan dalam mengerjakan
tugas; (3) melibatkan suatu tugas yang dipresepsikan oleh pelaku prokrastinasi
sebagai suatu tugas yang penting untuk dikerjakan, misalnya tugas kantor, sekolah
maupun rumah tangga; (4) menghasilkan keadaan emosional yang tidak
menyenangkan, misalnya perasaan cemas, panik,bersalah, marah dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa prokrastinasi akademik merupakan suatu perilaku individu yang suka
menunda-nunda dalam memulai mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas
akademik yang diterimanya dan menggantinya dengan aktivitas lain yang tidak
begitu penting, dimana perilaku tersebut sering dilakukan atau dilakukan secara
terus menerus baik itu penundaan jangka pendek, penundaan beberapa saat
menjelang deadline ataupun penundaan jangka panjang hingga melebihi deadline,
sehingga mengganggu kinerja akademik individu dan sangat berdampak negatif
terhadap individu.

2.2.1.2 Ciri-ciri atau Karakteristik Prokrastinasi Akademik


Prokrastinasi sebagai suatu perilaku penundaan mempunyai karakteristik.
Seorang prokrastinator memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, yang disebut
sebagai “kode prokrastinasi”. Kode prokrastinasi ini merupakan cara berpikir
yang dimiliki oleh seorang prokrastinator, yang dipengaruhi oleh asumsi-asumsi
yang tidak realistis sehingga menyebabkannya memperkuat prokrastinasi yang
dilakukannya dan dapat mengakibatkan frustrasi. Menurut Balsam et al.,(dalam
Rahmaniah, 2019: 13) kode-kode prokrastinasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kurang percaya diri
Individu yang menunda biasanya berjuang dengan perasaannya yang
kurang percaya diri dan kurang menghargai diri sendiri. Individu yang
26

demikian ini kemungkinan ingin berada pada penampilan yang bagus sehingga
menunda. Prokrastinator merasa tidak sanggup menghasilkan sesuatu dan
terkadang menahan ide-ide yang dimilikinya karena takut tidak diterima orang
lain.
2. Perfeksionis
Prokrastinator merasa bahwa segala sesuatunya itu harus sempurna. Lebih
baik menunda daripada bekerja keras dan mengambil resiko kemudian dinilai
gagal. Prokrastinator akan menunggu sampai dirasa saat yang tepat bagi
dirinya untuk bertindak agar dapat memperoleh hasil yang sempurna.
3. Tingkah laku menghindari
Prokrastinator menghindari tantangan. Segala sesuatu yang dilakukannya,
bagi prokrastinator seharusnya terjadi dengan mudah dan tanpa usaha.

Rachmahana (dalam Wahyuni dan Muhari, 2014: 03) mengungkapkan ciri-


ciri prokrastinasi akademik antara lain:
1) Takut gagal (fear of failure)
Takut gagal merupakan suatu bentuk kekhawatiran individu terhadap
sesuatu yang buruk yaitu kegagalan itu sendiri. Ini terjadi karena individu
memiliki standar yang lebih dari kemampuannya, sehingga yang muncul dalam
pikirannya adalah kegagalan di depan mata.
2) Kurang berhati-hati (impulsiveness)
Impulsivitas berarti individu kurang mampu menahan keinginannya. Ia
tidak tahan dalam situasi yang menekan, ia cenderung lebih menyukai sesuatu
yang mendatangkan kesenangan bagi dirinya.
3) Perfeksionis
Prokrastinator itu memiliki ciri perfeksionis, ia melakukan prokrastinasi
karena ingin melengkapi tugas agar sempurna.
4) Pasif
Keinginan untuk mencapai kesempurnaan dalam menyelesaikan tugas
pada diri procrastinator seringkali tidak diimbangi dengan usaha yang nyata,
hingga pada akhirnya ia hanya bersikap pasif terhadap tugas itu.
27

5) Menunda hingga melebihi batas waktu


Perilaku ini sangat nampak pada procrastinator, yang dengan berbagai
alasan selalu menunda-nunda dalam penyelesaian tugasnya.

Menurut Ferrari, Jhonson & McCown (dalam Ami dan Yuniantaq, 2020:
415) ciri-ciri seseorang yang memiliki masalah prokrastinasi diantaranya yaitu:
(1) penundaan dalam memulai dan menyelesaikan tugas; (2) keterlambatan dalam
mengerjakan tugas; (3) kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual; (4)
melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan.
Seseorang dikatakan melakukan prokrastinasi apabila ia menunjukkan ciri-
ciri antara lain: takut gagal, impulsif, perfeksionis, pasif dan menunda-menunda
sehingga melebihi tenggat waktu (Ellis & Knaus, 1977; Birner, 1994; Rumiani,
2006: 38)
Menurut Solomon L. J & Rothblum (dalam Ramadhan dan Winata, 2016:
156) indikator prokrastinasi akademik yang penting dalam prestasi belajar
terdapat enam aspek diantaranya yaitu: 1) Terlambatnya dalam mengerjakan tugas
mengarang 2) Menunda belajar saat mengahadapi ujian 3) Menunda Kegiatan
membaca 4) Penundaan kinerja tugas administratif 5) Menunda untuk menghadiri
tatap muka 6) Penundaan kinerja akademik secara keseluruhan.

2.2.1.2 Aspek-Aspek Prokrastinasi Akademik


Menurut Tuckman (dalam Riyani dan Prasetya, 2012: 129) terdapat 3
aspek prokrastinasi diantaranya yaitu:
1) Tendency to delay or put off doing things (pembuang waktu). Ini merupakan
kecenderungan untuk membuang waktu secara sia-sia dalam menyelesaikan
tugas yang perlu diprioritaskan demi melakukan hal-hal lain yang kurang
penting.
2) Tendency to have difficulty doing unpleasant things and when possible to
avoid or circumvent the unpleasantness (kesulitan dan penghindaran dalam
melakukan sesuatu yang tidak disukai). Ini merupakan kecenderungan untuk
merasa berkeberatan mengerjakan hal-hal yang tidak disukai dalam tugas yang
28

harus dikerjakannya tersebut atau jika memungkinkan akan menghindari hal-


hal yang dianggap mendatangkan perasaan tidak menyenangkan.
3) Tendency to blame others for one’s own plight (menyalahkan orang lain).
Merupakan kecenderungan untuk menyalahkan pihak lain atas penderitaan
yang dialami diri sendiri dalam mengerjakan sesuatu yang ditundanya.

Menurut Mustakim (dalam Ami dan Yuniantaq, 2020: 415) aspek-aspek


prokrastinasi akademik diantaranya yaitu:
1) Perceived time
Seorang yang gagal menepati janji jadwal pengumpulan tugas, lebih
memikirkan saat ini dari pada waktu-waktu selanjutnya dan biasanya memiliki
perilaku malas.
2) Intention-action
Hubungan antara keinginan dan tindakan yang digambarkan dengan
seorang siswa yang memiliki keinginan untuk mengerjakan namun tidak
memiliki waktu.
3) Emotional distress
Menimbulkan perasaan cemas karena belum mengerjakan tugasnya
dengan jangka waktu yang hampir habis
4) Perceived ability
Merasa percaya terhadap diri sendiri bahwa dia mampu menyelesaikannya
sendiri, diikuti dengan perasaan gelisah, takut, menyalahkan diri sendiri.

2.2.1.4 Faktor Penyebab Prokrastinasi Akademik


Prokrastinasi akademik yang dialami oleh peserta didik tidak terjadi begitu
saja, namun terdapat penyebab yang melatar belakanginya. Menurut Burka &
Yuen (dalam Riyani dan Prasetya, 2012: 129) faktor-faktor yang mempengaruhi
prokrastinasi diantaranya yaitu:
1) Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu
yang mempengaruhi prokrastinasi. Yang termasuk faktor eksternal meliputi: 1)
29

pemberontakan terhadap kontrol dari figur otoritas, 2) pengalaman dalam


suatu kelompok, 3) model-model sukses maupun kegagalan.
2) Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu
yang mempengaruhi prokrastinasi akademik. Yang termasuk faktor internal
meliputi: 1) fear of failure atau adanya ketakutan terhadap kemungkinan
terjadinya kegagalan, 2) fear of success atau adanya ketakutan akan akibat
yang mungkin didapat dari keberhasilan yang dicapai, 3) fear of losing the
battle atau adanya ketakutan akan kehilangan kontrol terhadap dirinya, 4) fear
of attachment atau adanya ketakutan akan menjadi terkungkung, terbatasi
apabila individu membiarkan orang lain menjalin hubungan yang dekat
dengannya, 5) fear of separation adalah pada saat seorang individu merasa
ketakutan akan menjadi sendirian.
Ferrari (Zakiyah dkk, 2010: 160) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi prokrastinasi akademik, diantaranya yaitu:
1) Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor dalam diri individu yang turut membentuk
perilaku prokrastinasi, yang meliputi: 1) faktor fisik seperti kondisi fisiologis
seseorang yang mendorong kearah prokrastinasi misalnya kelelahan.; 2) faktor
psikologis seseorang seperti tipe kepribadian dan motivasi, semakin tinggi
motivasi intrinsik yang dimiliki individu ketika menghadapi suatu tugas, akan
semakin rendah kecenderungan untuk melakukan prokrastinasi.
2) Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor dari luar diri individu yang turut
membentuk perilaku prokrastinasi, yang meliputi: 1) banyaknya tugas yang
menuntut penyelesaian pada waktu yang hampir bersamaan, 2) kondisi
lingkungan, dan 3) gaya pengasuhan orang tua.
Selain hal di atas, Ferrari, Johnson, & Mc Cown (dalam Muyana, 2018:
48) menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya
perilaku prokrastinasi akademik, diantaranya yaitu:
1) Adanya pikiran irrasional dari prokrastinator, yaitu anggapan bahwa suatu
30

tugas harus diselesaikan dengan sempurna.


2) Adanya kecemasan karena kemampuannya dievaluasi, ketakutan akan
kegagalan dan susah mengambil keputusan, atau karena membutuhkan bantuan
orang lain untuk mengerjakan tugasnya.
3) Malas dan kesulitan mengatur waktu dan tidak menyukai tugasnya.
4) Adanya punishment dan reward juga dapat menyebabkan prokrastinasi
sehingga merasa lebih aman jika tidak melakukan dengan segera karena dapat
menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.
5) Adanya faktor lingkungan, yaitu kurangnya pengamatan dari lingkungan
seperti keluarga atau di lingkungan sekolah juga menyebabkan seseorang
melakukan prokrastinasi
6) Selain itu prokrastinasi disebabkan karena tugas yang menumpuk, terlalu
banyak dan harus segera dikerjakan, sehingga penundaan tugas yang satu dapat
menyebabkan tugas lain tertunda
Ellis & Knaus (dalam Wahyuni dan Muhari, 2014: 04) memberikan
penjelasan tentang prokrastinasi akademik dari sudut pandang cognitive-
behavioral. Prokrastinasi akademik terjadi karena adanya keyakinan irasional
yang dimiliki oleh seseorang. Keyakinan irasional tersebut dapat disebabkan suatu
kesalahan dalam mempersepsikan tugas sekolah.

2.2.1.4 Dampak Prokrastinasi Akademik


Prokrastinasi akademik yang dialami peserta didik jika tidak diidentifikasi
dan tidak segera berusaha diatasi akan berdampak negatif bagi siswa. Ferrari
(dalam Febriani dkk, 2017: 87) menyebutkan bahwa prokrastinasi akademik
memunculkan dampak atau konsekuensi negatif terhadap siswa, seperti:
meningkatnya jumlah absen di kelas, tugas-tugas menjadi terbengkalai,
menghasilkan tugas yang kurang maksimal, waktu menjadi terbuang sia-sia dan
bahkan berdampak pada penurunan prestasi. Hal inilah yang seringkali dialami
oleh siswa sehingga berdampak pada hambatan kemajuan ataupun kegagalan
akademiknya. Selain itu menurut Solomon & Rothblum (dalam Munawaroh,
Alhadi, dan Saputra, 2017: 27) prokrastinasi berkorelasi dengan rendahnya harga
31

diri, depresi, pikiran-pikiran irasional, kecemasan, dan kurang percaya pada


kemampuan diri.
Wahyuni & Muhari (2014: 03) mengungkapkan bahwa dampak negatif
yang ditimbulkan dari perilaku prokrastinasi akademik adalah membentuk sifat
pembohong, siswa akan menjadi terdorong untuk mencari alasan tidak
mengerjakan tugas atau menundanya. Selain itu menimbulkan rasa cemas, takut,
dan khawatir karena waktu mengerjakan tugas yang semakin sempit dan tugas
yang belum terselesaikan. Jika prokrastinasi akademik dibiarkan berkelanjutan
maka dampak yang akan terjadi adalah rendahnya prestasi belajar siswa. Hal
tersebut disebabkan siswa tidak mengerjakan tugas sebagaimana mestinya. Waktu
yang diberikan oleh guru tidak dimanfaatkan dengan baik, sehingga pada saat
mendekati waktu pengumpulan tugas, siswa mengerjakan dengan tergesa-gesa.
Tugas yang dikerjakan dengan tergesa-gesa hasilnya tidak akan optimal, selain itu
siswa tidak memahami materi karena tidak sempat membaca kembali tugasnya.
Prokrastinasi akademik juga berdampak negatif terhadap kegiatan
akademik siswa. Siswa yang melakukan prokrastinasi akademik memiliki
kecenderungan mendapat nilai rendah pada setiap mata pelajaran dan nilai ujian
akhir. (Tice & Baumeister, 1997; Steel, Brothen & Wambach, 2001; Munawaroh
dkk, 2017: 27)
2.2.1.5 F

2.2.2 Konseling Kelompok


2.2.2.1 Definisi Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan layanan dalam bimbingan konseling yang
dilaksanakan dalam suasana kelompok untuk membantu konseli mengentaskan
permasalahannya. Wibowo (2019: 56) mengungkapkan bahwa konseling
kelompok merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan
kelompok untuk membantu, memberikan umpan balik dan memberikan
pengalaman belajar yang dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika
32

kelompok. Selain itu, konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang


dilaksanakan untuk membantu konseli mengatasi masalah yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari sehingga konseli dapat berkembang secara optimal.
Menurut Prayitno (Murniasih dkk, 2020: 271) konseling kelompok
merupakan suatu upaya pemberian bantuan kepada siswa melalui dinamika
kelompok agar siswa mendapatkan informasi dan keterampilan yang berguna
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, menyusun rencana masa depan
dengan baik, membuat keputusan dengan tepat, serta membantu siswa agar dapat
memperbaiki dan mengembangkan pemahaman terhadap diri sendiri, orang lain
dan lingkungan untuk membentuk perilaku yang lebih efektif.
Menurut Tohirin (dalam Ernawati dan Sumarwoto, 2016: 44) layanan
konseling kelompok merupakan upaya pemberian bantuan kepada individu atau
siswa yang mengalami masalah-masalah pribadi melalui kegiatan kelompok agar
tercapai perkembangan yang optimal. Dinamika pemecahan masalah yang
dihadapi siswa dapat lebih efektif dan efisien jika dalam melakukan proses
konseling kelompok anggota kelompok memiliki pemahaman dan
pengaktualisasian teknik-teknik konseling.
Menurut Corey (2012: 4) konseling kelompok merupakan layanan yang
cenderung berorientasi pada masalah dan merupakan proses bantuan yang
diberikan kepada anggota kelompok agar anggota kelompok dapat menemukan
kekuatan dalam dirinya dan mengembangkan kemampuannya tersebut sehingga
dapat menghadapi krisis, konflik, masalah pribadi dan masalah interpersonal
dengan baik.
Menurut Myrick (2011: 224) konseling kelompok adalah suatu
pengalaman pendidikan yang unik dimana para siswa dapat bekerja bersama
untuk menggali gagasan, sikap, perasaan dan prilaku khususnya yang
berhubungan dengan perkembangan pribadi dan kemajuan di sekolah. Konselor
bertugas memfasilitasi interaksi antar peserta, dimana mereka terlibat dalam suatu
hubungan yang di rancang sehingga anggota saling memberi umpan balik, saling
mendengarkan dan terbuka satu sama lain.
Dinkmeyer & Muro (Saputra, 2016: 11) mendefinisikan konseling
33

kelompok sebagai suatu proses interpersonal yang dipimpin oleh konselor terlatih
yang profesional dan dijalankan dengan individu-individu yang menghadapi
masalah perkembangan. Konseling kelompok merupakan sebuah layanan bantuan
yang dalam pelaksanaannya membutuhkan sebuah dinamika kelompok,
sedangkan dinamika kelompok akan tercipta apabila hubungan interpersonal
didalam kelompok dapat terjalin dengan baik.
Dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa konseling
kelompok merupakan suatu layanan bantuan yang diberikan oleh konselor kepada
sekelompok konseli dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk membantu
mengentaskan permasalahan yang dialami oleh konseli agar konseli dapat
berkembang secara optimal. Dalam layanan konseling kelompok konselor
bertugas sebagai pemimpin kelompok yang mengatur dan memandu konseli atau
anggota kelompok agar dapat mengikuti proses konseling dengan baik.

2.2.2.2 Tujuan Konseling Kelompok


Setiap layanan yang dilaksanakan selalu memiliki tujuan yang akan
dicapai, begitu pula dengan konseling kelompok. Adapun tujuan konseling
kelompok menurut Wibowo (2019: 61) adalah membantu pengembangan pribadi
anggota kelompok, serta pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang
dialami oleh anggota kelompok agar anggota kelompok terhindar dari masalah
dan masalah yang dialami anggota kelompok dapat terselesaikan dengan cepat
melalui bantuan anggota kelompok yang lain.
Selanjutnya menurut Dinkmeyer & Muro (dalam Saputra, 2016: 12)
mengemukakan tujuan konseling kelompok adalah sebagai berikut: (a) membantu
anggota kelompok memahami dan mengenali diri sendiri dan mencari identitas
diri; (b) sebagai hasil pemahaman diri, pengembangkan penerimaan diri, dan
perasaan berharga sebagai pribadi; (c) membantu anggota kelompok
mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal anggota kelompok yang
memungkinkan mereka mengatasi tugastugas perkembangan bidang pribadi dan
sosial; (d) membantu anggota kelompok mengembangkan kemampuan
selfdirection, problem-solving dan decisionmaking, dan mengalihkan kemampuan
34

ini untuk digunakan di hubungan sosial; (e) membantu anggota kelompok


mengembangkan sensitifitas terhadap kebutuhan orang lain yang menimbulkan
peningkatan pengakuan tanggung jawab atas perilakunya sendiri; (f)
mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi perasaan orang lain serta
mengembangkan kemampuan berempati; (g) membantu anggota kelompok
menjadi pendengar yang empatik yang mendengar tidak hanya apa yang dikatakan
tetapi juga perasaan yang mengiringi apa yang telah dikatakan; (h) membantu
meningkatkan kemampuan anggota kelompok untuk kongruen dengan diri sendiri,
benar-benar menyajikan secara tepat apa yang dipikirkan dan dipercayainya; dan
(i) membantu anggota kelompok untuk merumuskan tujuan yang spesifik untuk
dirinya sendiri yang dapat di ukur dan diamati, dan membantu dirinya membuat
komitmen untuk tergerak menuju tujuan yang telah dirumuskan.
Menurut Corey (2012: 5) tujuan dari konseling kelompok diantaranya
yaitu:
1) Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri, serta untuk
mengembangkan identitas sebagai pribadi yang unik.
2) Untuk mengenali kesamaan kebutuhan dan masalah anggota dan untuk
mengembangkan rasa keterhubungan
3) Untuk mengetahui kesamaan kebutuhan dan masalah sesama anggota, serta
untuk mengembangkan rasa keterhubungan.
4) Untuk membantu anggota kelompok belajar bagaimana membangun
hubungan yang bermakna.
5) Untuk membantu anggota kelompok dalam menemukan sumber daya dalam
keluarga dan masyarakat sebagai cara mengatasi keprihatinan mereka.
6) Untuk meningkatkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri dan untuk
mencapai pandangan baru tentang diri sendiri dan orang lain.
7) Untuk mempelajari cara mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat.
8) Untuk mengembangkan kepedulian dan kasih sayang untuk kebutuhan dan
perasaan orang lain.
9) Untuk menemukan cara alternatif untuk menangani masalah yang sedang
berkembang dan untuk menyelesaikan konflik tertentu.
35

10) Untuk meningkatkan pengarahan diri sendiri, saling ketergantungan, dan


tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
11) Untuk menjadi sadar akan pilihan seseorang dan mampu membuat pilihan
yang bijak.
12) Untuk membuat rencana yang spesifik untuk mengubah perilaku tertentu.
13) Untuk mempelajari cara dalam menantang orang lain secara baik-baik, peduli,
jujur dan terus terang.
14) Untuk memperjelas nilai-nilai seseorang dan memutuskan apa dan bagaimana
mengubah perilaku mereka
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
koseling kelompok adalah untuk membantu anggota kelompok agar dapat lebih
memahami dirinya dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dalam
menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah, agar anggota kelompok dapat
terhindar dari masalah dan dapat menyelesaikan masalah dengan baik melalui
dinamika kelompok atau melalui bantuan anggota kelompok yang lain, sehingga
anggota kelompok dapat berkembang secara optimal. Konseling kelompok juga
bertujuan agar anggota kelompok dapat memiliki keterampilan sosial dan
interpersonal yang baik.

2.2.2.3 Kelebihan dan Keterbatasan Konseling Kelompok


Konseling kelompok merupakan salah satu dari sekian banyak layanan
yang ada di bimbingan konseling yang bisa dimanfaatkan untuk membantu
konseli dalam mengentaskan masalahnya. Selain memiliki kelebihan, konseling
kelompok juga memiliki keterbatasan. Kelebihan konseling kelompok menurut
Wibowo (2019: 172) meliputi:
1) Kepraktisan, yaitu dalam waktu yang relatif singkat konselor dapat
berhadapan dengan sejumlah siswa dalam kelompok dalam upaya untuk
membantu memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pencegahan,
pengembangan pribadi dan pengentasan masalah.
2) Dalam konseling kelompok anggota akan belajar untuk berlatih tentang
perilaku baru.
36

3) Dalam konseling kelompok anggota kelompok akan memperoleh


pembelajaran pengalaman.
4) Dalam konseling kelompok terdapat kesempatan luas untuk berkomunikasi
dengan teman-teman mengenai segala kebutuhan yang terfokus pada
pengembangan pribadi, pencegahan dan pengentasan masalah yang dialami
oleh setiap anggota kelompok.
5) Konseling kelompok memberi kesempatan para anggota kelompok untuk
mempelajari keterampilan sosial.
6) Anggota kelompok mempunyai kesempatan untuk saling memberi bantuan,
menerima bantuan dan berempati dengan tulus di dalam konseling kelompok.
7) Motivasi manusia muncul dari hubungan kelompok kecil. Manusia
membutuhkan penerimaan, pengakuan dan afiliasi yang mana bila unsur-
unsur tersebut terpenuhi semua maka perilaku, sikap, pendapat dan apa yang
disebut ciri-ciri pribadi sebagai ciri unik individu yang berakar dari pola
afiliasi kelompok yang menentukan konteks sosial seseorang hidup dan
berfungsi dapat diwujudkan melalui intervensi konseling kelompok.
8) Setiap usaha untuk mengubah perilaku manusia di luar lingkungan alam
dimana individu bekerja dan hidup sangat tergantung pada efektivitas tingkat
transfer pelatihan, yaitu perilaku-perilaku baru, pemahaman sikap yang harus
ditransfer secara sukses dari setting konseling kelompok ke kehidupan
konseli.
9) konseling kelompok mempunyai manfaat besar untuk bertindak sebagai
miniatur situasi sosial, atau laboratorium yang mana anggota kelompok tidak
hanya mempelajari perilaku-perilaku baru tapi bisa mencoba, mempraktekkan
dan menguasai perilaku-perilaku tersebut dalam satu situasi yang hampir
sama dengan lingkungan yang sebenarnya individu berasal.
10) Konseling kelompok mempunya manfaat untuk pembentukan nilai.
11) Melalui konseling kelompok, individu-individu mencapai tujuannya dan
berhubungan dengan individu-individu lain dengan cara yang produktif dan
inovatif.
12) Konseling kelompok lebih sesuai bagi siswa yang membutuhkan untuk
37

belajar lebih memahami orang lain dan lebih menghargai kepribadian orang
lain; membutuhkan bertukar pikiran dan berbagi perasaan dengan orang lain;
yang mudah berbicara tentang dirinya; yang dapat mengambil manfaat dari
umpan balik yang diberikan oleh seorang teman serta tertolong dengan
umpan balik itu.
13) Dalam konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok
merupakan sesuatu yang khas, yang tidak mungkin terjadi pada konseling
individu.
14) Konseling kelompok merupakan wilayah penjajagan awal bagi anggota
kelompok untuk memasuki konseling individual.

Dibalik segala kelebihan dari konseling kelompok, ada beberapa


keterbatasan yang dimilikinya. Myrick (2011: 269) menyatakan bahwa konseling
kelompok memiliki keterbatasan diantaranya yaitu: (1) perlu lebih banyak waktu
untuk membangun kepercayaan dan hubungan kerja yang dekat daripada
konseling individual karena ada lebih banyak hubungan yang bermain. (2)
konselor mungkin merasa kurang terkendali karena ada orang yang membutuhkan
perhatian khusus ada lebih banyak interaksi untuk diamati dan dikelola. (3)
kerahasiaan lebih sulit dijaga, karena semakin banyak orang berbagi dalam
komunikasi (4) beberapa masalah mungkin terlalu sensitif, terlalu emosional atau
terlalu rumit untuk dikerjakan dalam kelompok. (5) Meskipun setiap orang
biasanya mendapat giliran, mungkin tidak ada cukup waktu bagi beberapa orang
yang membutuhkan bantuan dan perhatian khusus. (6) Konselor harus siap untuk
melawan beberapa perilaku fasilitatif oleh anggota kelompok. (7) Proses
konseling lebih kompleks karena ada lebih banyak variabel dimana konselor perlu
hadir. (8) Lebih sulit untuk mengatur kelompok daripada memanggil satu siswa
dan kontinuitas topik dan konten bergantung pada lebih banyak orang untuk hadir.
Penjadwalan sebuah kelompok bisa menjadi tugas yang sulit. (9) Terkadang
sistem sekolah memerlukan izin orang tua untuk konseling kelompok kecil
berbeda dengan pekerjaan individual. Namun, ini bukan prosedur yang disarankan
karena konselor adalah pejabat sekolah dan konseling kelompok kecil merupakan
38

bagian dari layanan bimbingan. Terkadang, karena sensitivitas topik atau konten,
izin orang tua mungkin disarankan, terutama jika sulit untuk melihat bagaimana
pekerjaan kelompok terkait dengan pembelajaran. Dalam situasi lain, orang tua
dibeii tahu tapan siswa berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang berjalan yang
membawa mereka dari kelas.
Dari uraian ahli di atas dapat di simpulkan bahwa kelebihan dan kekurangan
konseling kelompok tentu ada, oleh karena itu dari kelebihan dan kekurangan ini
konselor dapat melihat untuk di jadikan sebagai rujukan pengembangan konseling
kelompok berikutnya. Untuk kelebihan konseling kelompok selain untuk
membantu konseli dalam mengentaskan permasalahannya dalam konseling
kelompok juga setiap anggota kelompok dapat belajar menyesuaikan diri dengan
suasana baru dengan anggota lain yang mempunyai masalah. Selanjutnya,
konseling kelompok juga menekankan pentingnya dinamika dalam kelompok
yang mana dari dinamika kelompok tersebut akan menyatukan berbagai macam
pribadi setiap anggota kelompok sehingga terjadi interaksi teratur dan saling
menghargai satu sama lain tanpa harus takut. Selain itu, dinamika yang terjadi
didalam kelompok juga memperkaya solusi yang bisa diberikan kepada konseli
yang mengalami permasalahan.
Kelemahan konseling kelompok diantaranya adalah beberapa masalah
mungkin terlalu sensitif, terlalu emosional atau terlalu rumit untuk dibahas dan
dikerjakan dalam kelompok. Kemudian beberapa individu terkadang menolak
hubungan emosional yang menghasilkan keterbukaan sehingga ketika mereka
mengungkapkan masalah, memberikan saran maupun tanggapan akan terbatas dan
cenderung lebih suka mendengarkan daripada berbicara dan menanggapi hal-hal
yang dibahas dalam kelompok. Selain itu, kerahasiaan lebih sulit dijaga, karena
semakin banyak orang berbagi dalam komunikasi kelompok.

2.2.2.4 Tahap-tahap Konseling Kelompok


Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam melaksanakan layanan
konseling kelompok, diantaranya yaitu: (1) tahap pembentukan, merupakan tahap
awal untuk mempersiapkan layanan konseling, termasuk menyaring, memilih,
39

mengumumkan dan mempersiapkan anggota kelompok untuk dapat mengikuti


layanan konseling; (2) tahap orientasi, adalah waktu eksplorasi selama awal sesi,
(3) tahap transisi, ditandai dengan menangani konflik, defensive (pertahanan) dan
resistance (ketahanan); (4) tahap kerja, ditandai dengan diskusi tentang masalah
pribadi dan mendiskusikan tindakan yang harus dilakukan; (5) tahap konsolidasi
dan terminasi, yaitu tahap menerapkan apa yang telah dipelajari dalam kelompok
ke dalam kehidupan sehari-hari. Tahap 6, evaluasi dan tindak lanjut, merupakan
suatu usaha untuk mengetahui seberapa jauh keefektifan dari kegiatan kelompok
yang dilakukan dan berusaha untuk mengembangkan strategi berkelanjutkan
untuk kelompok (Corey, 2012: 70).
Wibowo (2019: 289-357) mengungkapkan tahapan konseling kelompok
meliputi enam tahap yaitu:
1) Tahap Sebelum Memasuki Kelompok (The Pregroup Stage)
Tahap sebelum memasuki kegiatan konseling kelompok yang harus
dilakukan oleh konselor yaitu konselor menyaring calon peserta konseling
kelompok. Semua peserta dalam kelompok ini memiliki pengalaman kelompok
sebelumnya membuat keputusan untuk menjadi bagian dari kelompok ini, para
anggota kelompok berpartisipasi dalam pertemuan pra-kelompok ini di mana
mereka bertemu satu sama lain dan konselor sebagai pemimpin kelompok.
Pada saat ini mereka memiliki kesempatan untuk berkenalan satu sama lain dan
untuk menentukan apakah mereka ingin berpartisipasi dalam jenis pengalaman
kelompok khusus ini, yaitu konseling kelompok.
Ini sangat ideal untuk mengatur pertemuan kelompok sebelum anggota
kelompok disaring dan dipilih pertemuan ini adalah sesi orientasi di mana
pemimpin kelompok dapat memberikan informasi lebih lanjut mengenai
kelompok untuk membantu anggota memutuskan apakah kelompok ini cocok
untuk mereka. Jika pertemuan pra-kelompok tidak praktis, maka pertemuan
kelompok pertama dapat digunakan untuk mengarahkan dan mempersiapkan
anggota untuk pengalaman kelompok yang sukses. Mem ban gun persiapan
pra-kelompok ke dalam desain suatu kelompok membutuhkan banyak upaya,
waktu yang terlibat membuahkan hasil ketika kelompok berevolusi banyak
40

hambatan potensial terhadap kemajuan kelompok dapat dihindari dengan


perencanaan dan persiapan yang cermat & dapat mensukseskan konseling
kelompok.
2) Tahap Permulaan (Beginning Stage)
Salah satu pertimbangan terpenting untuk sesi pertama adalah bagaimana
melalui kelompok, bagaimana pemimpin kelompok membuka sesi akan
meiniliki pengaruh penting pada proses konseling kelompok pemimpin
kelompok harus menyampaikan kehangatan, kepercayaan, bantuan, pengertian,
dan hal positif. Pemimpin kelompok perlu mempersiapkan teibentuknya
kelompok yang kohesif dengan membangun iklim pemberian kebebasan dan
kekompakan yang berfungsi sebagai dasar kepercayaan yang memungkinkan
peningkatan persyaratan perilaku di tahap kelompok selanjutnya ketika fokus
utama bergerak dan pembeniukan perasaan nyaman awal terhadap orientasi
pemecahan masalah.
Proses kelompok mengacu pada interaksi dan pertukaran energi antara
anggota dan pemimpin, bagaimana pemimpin kelompok bereaksi terhadap
anggota kelompok dan bagaimana para anggota berbieara satn sama lain dan
pemimpin salah satu dinamika kelompok yang paling penting untuk diamanti
adalah siapa yang berbieara kepada siapa dan beberapa sering setiap anggota
berbieara ini bukan hal yang tidak bisa di tahap awal kelompok untuk beberapa
anggota mencoba mendominasi. jika ini terjadi, pemimpin harus mengubah
pola dengan menggunakan keterampilan memotong dan menggambar kadang-
kadang anggota menjadi terbiasa berbicara hanya kepada pemimpin atau
anggota kelompok terpilih dari pada ke seluruh kelompok.
Pemimpin biasanya akan ingin mengubah dinamika ini dan meminta
anggota untuk menangani seluruh anggota kelompok karena hanya berbicara
kepada pemimpin atau beberapa anggota lain tidak akan mengarah pada kohesi
kelompok anggota kelompok diam dapat atau tidak dapat menciptakan
dinamika kelompok negatif. Dalam kebanyakan kelompok, partisipasi semua
anggota diinginkan ketika seorang anggota hampir benar-benar diam beberapa
yang lain biasanya menjadi tidak nyaman, terutama jika pola ini berlanjut
41

selama beberapa minggu dan kelompok tersebut adalah konseling, terapi, atau
kelompok pendukung dalam kelompok pendidikan, diskusi, dan tugas-tugas
tertentu, anggota yang diam tidak dapat menghasilkan dinamika negatif karena
dalam kelompok ini anggota kelompok biasanya tidak sensitif terhadap
keheningan.
3) Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum
masa bekerja (kegiatan), sebelum suatu kelompok maju ke tahap bekerja yaitu
melakukan pekerjaan yang lebih dalam mereka biasanya melewati tahap
transisi yang agak menantang yang ditandai dengan kegelisahan, pertahanan,
perlawanan, perjuangan untuk kontrol dan konflik antar anggota. Selama tahap
transisi adalah tugas anggota untuk memantau pikiran, perasaan, dan tindakan
mereka dan belajar untuk mengekspresikannya secara lisan pemimpin dapat
membantu anggota kelompok untuk mengenali dan menerima keengganan
mereka dan pada saat yang sama mendorong anggota untuk menantang
kecenderungan mereka menuju penghindaran agar anggota dapat maju ke
tingkat eksplorasi yang lebih dalam, mereka harus berbicara tentang kecemasan
dan pertahanan yang mungkin mereka alami di atas semua itu perjuangan
anggota perlu dihormati, dipahami dan dieksplorasi.
Tahap transisi berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan
kekuatan, dan kepercayaan antara anggota kelompok merupakan masalah yang
berkaitan dengan interaksi verbal komentar-komentar negatif, penilaian dan
kritik, sering muncul pada tahap ini, saat anggota kelompok menghadapi
masalah kontrol dan sejenisnya, selama masa ini anggota kelompok berfokus
pada masalah isi pesan. Pemimpin kelompok yang memiliki ekspektasi tinggi
yang tidak realitis bagi kelompok dapat menjadi frustasi dengan kurangya
kemajuan dan karenanya kehilangan objektivitas sehingga pada tahap ini dapat
memecahkan kebuntuan itu dan mencairkan suasana.
4) Tahap Kerja (Working Stage)
Tahap kegiatan sering juga disebut sebagai tahap kerja pada tahap ini
merupakan tahap kehidupan yang sebenarnya dari konseling kelompok yaitu
42

para anggota memusatkan perhatian terhadap tujuan yang akan dicapai,


mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan
tugas dan mempraktekkan perilaku-perilaku baru tahap ini seringkali dianggap
sebagai tahap yang paling produktif dan pencapaian hasil. Para anggota
kelompok memperoleh keuntungan atau pengaruh-pengaruh positif dari
kelompok dan merupakan saatnya bagi kelompok memutuskan seberapa besar
mereka mau terlibat dalam kegiatan kelompok.
Pada tahap kegiatan ini kehidupan kelompok sehat dengan terwujudnya
dan berkembangnya kohesi kelompok sehingga memudahkan untuk mencapai
tujuan kohesi kelompok adalah rasa kebersamaan, atau komunitas, daiam
kelompok. Kelompok yang kohesif adalah satu di mana anggota memiliki
insentif untuk tetap tinggal daiam kelompok dan berbagi perasaan memiliki
keterkaitan, pada tahap awal sebuah kelompok para anggota kelompok tidak
saling mengenal dengan cukup baik agar bisa terbentuk komunitas nyata
biasanya ada beberapa kecanggungan saat anggota berkenalan meskipun
peserta berbicara tentang diri mereka sendiri, kemungkinan mereka
menampilkan lebih banyak citra diri mereka dari pada aspek yang lebih daiam
dari diri pribadi mereka. Kohesi sejati biasanya berbagi rasa sakit dan telah
berkomitmen untuk mengambil risiko yang signifikan tapi fondasi kohesi bisa
mulai terbentuk pada tahap awal.
Tahap kerja merupakan tahapan kelompok kohesi berkaitan dengan
kepastian kelompok untuk membentuk ikatan sebagai kelompok dan
menggunakan ikatan itu sebagai kekuatan untuk menahan kelompok bersama-
sama karena mulai menangani isu-isu yang semakin menegangkan. Pemimpin
kelompok memiliki kesempatan selama tahap awal untuk mengamati dan
mempengaruhi bagaimana anggota kelompok mulai terhubung sebagai
kelompok dan satu sama lain sebagai individu.
Sasaran kelompok pada tahap kerja menjadi kohesi yaitu anggota
kelompok mengembangkan dan memperkuat kohesi di dalam kelompok dan
antar kelompok, kelompok bersama-sama mencoba menetapkan tujuan mereka
sendiri, anggota bersama-sama mencoba menetapkan tujuan mereka sendiri,
43

anggota individu yang mengindifikasi dengan kelompok, membangun metode


komunikasi kelompok, kegiatan kelompok yang sesungguhnya ini ditandai
oleh tingkat moral yang tinggi dan rasa memiliki kelompok pula yang tinggi
anggota kelompok mulai memenuhi agenda yang dikemukakannya.
5) Tahap Pengakhiran (Termination Stage)
Kegiatan suatu konseling kelompok tidak mungkin berlangsung terns
menerus tanpa berhenti setelah kegiatan kelompok memuncak pada tahap
kegiatan, kegiatan kelompok ini kemudian menurun dan selanjutnya kelompok
akan mengakhiri kegiatan pada saat yang dianggap tepat karena tujuan utama
dari setiap pengalaman kelompok terapeutik pada akhimya membubarkan
kelompok tersebut dengan menyelesaikan masalah di bahas kelompok yang di
organisir tahap penutupan berfungsi sebagai fungsi peralihan yang berharga hal
ini di tandai oleh anggota yang aktif mengejar perubahan dalam kehidupan
mereka di luar kelompok sambil tetap mendapat dukungan, dorongan dan
pertanggung jawaban kelompok tersebut. Begitu individu mulai mengalami
kesuksesan, baik melalui cara eksternal maupun internal, dan mulai
mendapatkan pujian atas perubahan tersebut, penghentiannya tepat penutupan
membawa pengalaman kelompok berakhir dengan memungkinkan anggota
bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, memperkuat perubahan yang telah
teijadi dan memberikan anggota membantu untuk bergerak dengan lancer
kembali ke arus utama kehidupan mereka.
Tujuan akhir dari tugas pemimpin kelompok pada tahap akhir konseling
kelompok adalah membantu anggota secara efektif menyelesaikan pengalaman
kelompok mereka. Dalam tahap akhir ini konseling kelompok ditandai oleh
pencapaian tujuan dimana kelompok tersebut dibentuk baik memicu
pembubaran kelompok atau mendorongnya untuk merumuskan visi atau tujuan
baru dalam konteks organisasi dimana itu ada kontinuitas difasilitasi melalui
proses penutupan sebagai transisi ke papan loncatan kegiatan berikutnya,
prosedur untuk mengakhiri serangkaian kelompok memungkinkan anggota
memutuskan bagaimana mereka akan berakhir kepada konselor yang memulai
diskusi tentang persaan yang terkait dengan akhir dari kelompok, sehingga
44

latihan isu-isu spesifik yang terkait dengan penghentian.


Prosedur untuk mengakhiri serangkaian kelompok memungkinkan anggota
memutuskan bagaimana mereka akan berakhir, kepada konselor yang memulai
diskusi tentang perasaan yang terkait dengan akhir dari kelompok, hingga
latihan terstruktur yang berfokus pada isu-isu spesifik yang terkait dengan
penghentian dengan menyepakati kegiatan lanjutan apabila tujuan belum
tercapai sesuai yang di rencakan, ada empat tugas ditangani selama
penghentian:
a) Agenda atau tujuan yang belum selesai.
b) Tetapkan tujuan untuk apa yang harus dilakukan setelah konseling
kelompok berakhir.
c) Pertimbangkan alternative rencana tindakan seperti konseling lanjutan.
d) Jelajahi makna pribadi akhir kelompok untuk setiap anggota.
Dapat dipahami dari kutipan ahli di atas tentang tahapan-tahapan dalam
konseling kelompok mempunyai lima tahapan mulai dari pra-kelompok,
permulaan, transisi, keija, dan pengakhiran serta dilanjutkan dengan evaluasi
apabila telah selesai dilaksanakan konseling kelompok. Dimulai dari pra-
kelompok setiap anggota kelompok yang nanti hendak memasuki konseling
kelompok melalui proses pra-kelompok dimana konselor mengumpulkan
terlebih dahulu anggota kelompok yang mempunyai permasalahan yang sama
dan menyatukan kesepakatan bersama, berkenalan satu sama lain, menentukan
kesiapan mereka ingin berpartisipasi dalam satu kelompok bersama.
Pada tahap pembukaan dilakukan upaya untuk menumbuhkan minat bagi
terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya
konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan, pengertian, tujuan dan
kegunaan konseling kelompok ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan
serta kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggaraan
konseling kelompok dimana pada pertemuan awal adalah hal yang sangat
penting bagi konselor untuk membentuk kelompok dan menjelaskan tujuan
dari konseling kelompok dengan istilah-istilah yang mudah dipahami oleh
siswa yang tergabung dalam kelompok, membangun hubungan yang baik dan
45

kepercayaan.
Kegiatan awal ini membuahkan suasana yang memungkinkan siswa untuk
memasuki kegiatan kelompok, tahap permulaan kelompok secara konseptual
dimulai dari ide konselor dan berakhir setelah ide-ide bam yang lain
diungkapkan dan selanjutnya para anggota kelompok mulai bekeija setelah itu
isu-isu yang lebih produktif dapat dihadapkan secara individual maupun secara
kolektif.
Pada tahap transisi merupakan perpindahan antara tahap pembentukan
dengan tahap kegiatan dimana pada tahap ini konselor atau pemimpin
kelompok sekali lagi hams jeli dalam melihat dan membaca situasi apabila
masih terlihat gejala-gejala penolakan, rasa enggan, salah paham, kurang
bersemangat dalam melaksanakan kegiatan maka konselor atau pemimpin
kelompok tidak boleh bingung apalagi berputus asa. Menghadapi keadaan
seperti diatas konselor atau pemimpin kelompok hendaknya memiliki kepekaan
yang tinggi melalui penghayatan indera dan rasa tugas konselor atau pemimpin
kelompok menghadapi situasi seperti itu mendorong anggota kelompok secara
sukarela membuka diri untuk mengikuti kegiatan kelompok, penampilan
konselor atau pemimpin kelompok menggambarkan sikap yang tulus, wajar,
hormat, hangat dan empati akan sangat membantu mencairkan suasana menuju
tahap kegiatan dan perlu beberapa hal pokok yang sudah dibahas pada tahap
pertama dapat dibahas kembali seperti pengertian, tujuan, dan asas konseling
kelompok.
Tahap kegiatan mempakan tahap inti dari proses konseling kelompok dan
mempakan kehidupan yang sebenamya dari kelompok, tahapan kegiatan selalu
dianggap sebagai tahapan yang selalu produktif dalam perkembangan
konseling kelompok yang bersifat membangun dan dengan pencapaian hasil
yang baik selama tahapan kerja hubungan anggota kelompok lebih bebas dan
lebih menyenangkan hubungan antara anggota kelompok berkembang dengan
baik saling tukar pengalaman, membuka diri secara bebas, saling tanggap dan
tukar pendapat dan saling membantu. Dalam perkembangan konseling
kelompok tahapan kegiatan merupakan kekuatan terapeutik seperti keterbukaan
46

terhadap diri sendiri dan orang lain dan munculnya ide-ide baru yang
membangun apapun yang menjadi tujuan, suatu kelompok yang sehat akan
menampilkan keakraban, keterbukaan, umpan balik, kerja kelompok,
konfrontasi dan humor perilaku- perilaku positif yang dinyatakan dalam
hubungan interpersonal antara anggota akan muncul dalam hubungan sebaya
tahap ini sangat menentukan keberhasilan kegiatan konseling kelompok.
Tahap pengakhiran secara keseluruhan merupakan akhir dari serangkaian
pertemuan kelompok keseluruhan pengalaman yang diperoleh anggota selama
proses kegiatan konseling kelompok ini memerlukan perhatian khusus dari
pemimpin kelompok terutama ketika kelompok hendak dibubarkan,
pembubaran kelompok secara keseluruhan idealnya dilakukan setelah tujuan
kelompok tercapai tetapi ada kalanya terjadi lebih cepat dari yang direncanakan
atau yang disebut pembubaran dini. Sesungguhnya pembubaran kelompok
dalam proses konseling kelompok adalah proses alamiah yang harus disadari
oleh konselor atau pemimpin kelompok dan anggota-anggotanya dan mereka
diharapkan dapat mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk
menghadapi pembubaran itu dengan konselor sebagai pemimpin kelompok
membahas kesan dan pesan kepada setiap anggota kelompok kemudian
membahas kegiatan lanjutan dan menyepakati bersama sesama anggota
kelompok.
6) Evaluasi Kerja Konseling Kelompok
Keberhasilan suatu kegiatan adanya suatu evaluasi untuk melihat tingkat
keberhasilan yang dicapai melalui konseling kelompok yang telah
dilaksanakan, evaluasi juga merupakan aspek dasar dari setiap pengalaman
kelompok yang bisa bermanfaat bagi anggota kelompok dan pemimpin
kelompok untuk memberi kesan yang bagus bagaimana masing-masing
anggota kelompok mengalami dan mengevaluasi kelompok tersebut.
Menurut Wibowo (2019: 372-377) menjelaskan bahwa pemimpin
kelompok harus mengembangkan prosedur evaluasi yang relevan dengan jenis
kelompok yang mereka pimpin dan diuraikan dalam proses kelompok yang
melekat dalam kelompok. Evaluasi dalam konseling kelompok dibagi menjadi
47

2 yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses merupakan evaluasi
program yang mengukur proses, yaitu: fungsi program, kekuatan, kelemahan
dan sejauh mana program memenuhi harapan dalam melayani populasi target,
evaluasi proses juga dikenal sebagai evaluasi formatif berguna untuk
pengambilan keputusan program dan perbaikan program. Evaluasi hasil
merupakan evaluasi program yang mengukur hasil, yaitu: efektivitas program
dalam mencapai tujuan yang dimaksudkan penting untuk membangun
hubungan kausal antara program konseling sekolah dan perubahan siswa,
terutama prestasi akademik. Evaluasi hasil juga disebut sebagai evaluasi
sumatif yang berusaha menjawab pertanyaan penting tentang keberhasilan
layanan konseling yang lakukan.
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa evaluasi dalam konseling
kelompok ada dua, yaitu: evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses
dilakukan melalui observasi selama penyelenggaraan kegiatan konseling
kelompok berlangsung biasanya dilakukan oleh rekan konselor yang
profesional untuk mengamati proses konseling kelompok tersebut melihat
bagaimana prosesnya berjalan dan hasil dari pengamatan itu nantinya akan
menjadi catatan bagi konselor atau pemimpin kelompok untuk pengembangan
konseling kelompok selanjutnya. Kemudian evaluasi hasil dilakukan melalui
pengisian lembar penilaian segara yang berisi pemahan dan pengalaman yang
diperoleh setiap anggota kelompok, perasaan yang dimiliki anggota kelompok
setelah mengikuti kegiatan konseling kelompok, serta rencana tindakan yang
akan dilakukan setelah konseling kelompok, apakah perlu dilakukan konseling
individu setelah konseling kelompok untuk masalah yang belum bisa
diselesaikan dalam kelompok.

Menurut Mahler (dalam Myrick, 2011: 229) ada beberapa tahapan dalam
pelaksanaan konseling kelompok, diantaranya yaitu:
1) Tahap Involvement (Pembuka)
2) Tahap Transition (Transisi)
3) Tahap Working (Kerja)
48

4) Tahap Ending (Pengakhiran)

Tahap pertama dalam layanan konseling kelompok adalah tahap involvement


(pembuka), yaitu suatu tahap yang bertujuan untuk mengklarifikasi alasan anggota
kelompok bergabung dalam kelompok, untuk berkenalan dan untuk mulai
membangun kepercayaan serta penerimaan terhadap anggota kelompok.
Tahap selanjutnya yaitu tahap transition (transisi), yaitu tahap dimana setiap
anggota kelompok belajar bagaimana berbagi ide dan perasaan mereka secara
lebih mendalam, memunculkan pola perilaku dan meningkatkan pemahaman
tentang perilaku. Yang paling penting selama tahap ini yaitu memberikan
perhatian terhadap resistensi (ketahanan) yang muncul pada diri anggota
kelompok yang disebabkan oleh anxieties (kecemasan) dan self defense
(pertahanan diri), serta belajar untuk saling memfasilitasi antar anggota kelompok.
Pada tahap ini kelompok berusaha terus membangun kekompakan dan rasa
memiliki.
Tahap working (kerja), merupakan tahap yang penting dalam proses
konseling kelompok. Jika tahap kerja ini berjalan dengan baik maka akan
membuat anggota kelompok lebih tahu tentang bagaimana bekerja dalam
kelompok dan memahami peraturan-peraturan yang berlaku dalam kegiatan
konseling kelompok. Selain itu, anggota kelompok akan lebih percaya diri dalam
kelompok, aktif memberi dan menerima umpan balik, mampu belajar lebih
banyak dan dapat membantu anggota kelompok lainnya, serta menemukan
beberapa cara untuk mengambil tindakan yang bertanggung jawab pada situasi
dan permasalahan di kehidupannya. Pada tahap ini kepedulian dan dukungan antar
anggota kelompok menjadi tinggi, karena setiap anggota kelompok belajar lebih
banyak tentang diri sendiri dan orang lain.
Sampai tibalah pada tahap ending (pengakhiran), yaitu tahap dimana anggota
kelompok mulai berpikir untuk mengaplikasikan apa yang telah dipelajari dalam
kelompok ke dalam kehidupan nyatanya.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat
langkah pelaksanaan layanan konseling kelompok, diantaranya yaitu: tahap
49

pembentukan, tahap transisi, tahap kegiatan dan tahap pengakhiran. Pada


pelaksanaan layanan konseling kelompok yang akan dilakukan pada tahap ke
tiga yaitu tahap kegiatan, intervensi terhadap permasalahan konseli mengacu
pada prosedur pelaksanaan teknik thought stopping dan teknik self instruction
untuk mengurangi perilaku prokrastinasi akademik siswa SMP Negeri 20
Semarang.

2.2.3 Konseling Kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Stallard (2002) menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik
yang bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif
dengan mengembangkan proses kognitif. CBT didasarkan pada asumsi bahwa
afektif dan tingkah laku individu adalah produk dari kondisi kognitifnya.
Intervensi kognitif behaviour dapat membawa perubahan dalam pikiran,
perasaan dan tingkah laku individu. Pendekatan CBT bertujuan untuk
menciptakan keterampilan yang memungkinkan individu untuk meningkatkan
kesadaran akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi
pikiran dan perilaku mempengaruhi perasaan, serta untuk meningkatkan
kemampuan untuk merubah pikiran dan perilaku maladaptive menjadi lebih
adaptive.
Cognitive behavior therapy merupakan suatu pendekatan dengan
sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian
utama konseling Matson (1988). Oemarjoedi (2003) mengungkapkan bahwa
pendekatan cognitive behavior pada dasarnya meyakini pola pemikiran
manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR) yang
saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia,
dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak. Dengan mengubah kondisi pikiran dan
perasaan, diharapkan dapat mengubah tingkah laku konseli yang negatif
menjadi tingkah laku yang lebih positif.

2.2.4 Teknik Self Instruction


50

2.2.4.1 Pengertian Teknik Self Instruction


Metode self instruction merupakan salah satu metode dari pendekatan cognitive behavior,
yang melibatkan identifikasi keyakinan-keyakinan disfungsional yang dimiliki seseorang dan
mengubahnya menjadi lebih realistis, serta melibatkan teknik-teknik modifikasi perilaku (Bos
dkk, 2006). Senada dengan hal tersebut, Meichenbaum (dalam Martin & Pear, 2003)
mengungkapkan bahwa teknik self-instruction merupakan suatu teknik modifikasi perilaku yang
berguna untuk mengganti pemikiran negatif menjadi pemikiran yang positif serta dapat digunakan
untuk mengarahkan perilaku (Meichenbaum dalam Martin & Pear, 2003).
Meichenbaum (Baker dan Butler, 1984) mengungkapkan bahwa individu
yang mengalami perilaku salah (maladjustment) adalah karena pikiran irasional
yang diakibatkan kesalahan dalam melakukan verbalisasi diri (self verbalization).
Oleh karena itu verbalisasi diri sangat penting untuk dilakukan agar konseli
memiliki pikiran yang rasional yang akan membawa pada perilaku yang lebih
positif. Salah satu strategi yang dapat digunakan agar individu mampu melakukan
verbalisasi diri adalah dengan menggunakan teknik self intruction. Seperti yang
dijelaskan oleh Tang (2006: 76) bahwa teknik self instruction merupakan sebuah
latihan untuk meningkatkan kontrol diri individu dengan menggunakan verbalisasi
diri sebagai rangsangan dan penguatan selama menjalani treatment. Teknik self
instruction dengan menggunakan verbalisasi diri positif atau ungkapan verbal
yang positif bertujuan untuk mengurangi pikiran negatif dan dalam rangka upaya
untuk meningkatkan kendali konseli atas dirinya sendiri melalui pikirannya.
Meichenbaum (Dobson & Dozois, 2001) menjelaskan bahwa perubahan
kognitif pada individu bisa diubah dengan menggunakan verbalisasi diri.
Ditambahkan pula oleh Skinner (Hughes, 1985) bahwa verbalisasi diri dapat
digunakan oleh individu sebagai cara untuk mengontrol diri.
Teknik self-instruction merupakan teknik yang tepat untuk menangani
masalah emosional dan masalah perilaku, karena self instruction dirancang untuk
memberikan individu strategi pemecahan masalah yang dapat diaplikasikan
terhadap perilakunya sendiri (Bryant & Budd dalam Hughes, 1985). Burgio et al.
(1980) berhasil melakukan penelitian dengan menggunakan self-instruction dalam
mengembangkan kontrol diri dengan area perilaku yang luas, variabel perilaku
yang ditelitinya antara lain, resistance to temptation, attentional problems,
51

aggression, academic performance, serta berbagai perilaku pribadi dan sosial.


Sementara itu, Bugenthal et al. (1978) menemukan hasil bahwa self-instruction
memberikan keuntungan jangka panjang dalam peningkatan persepsi anak
terhadap kemampuannya untuk mengontrol performa akademiknya sendiri.
Berdasarkan pemaparan mengenai teknik self-instruction dari beberapa ahli
di atas maka dapat disimpulkan bahwa teknik Self instruction merupakan suatu
teknik yang digunakan untuk membantu individu mengubah perilakunya dengan
cara menggunakan verbalisasi diri atau memberikan instruksi verbal yang positif
terhadap kognisinya. Penggunaan teknik self instruction yang digunakan dalam
mereduksi prokrastinasi akademik ini bertujuan untuk melakukan restrukturisasi
sistem berpikir melalui perubahan verbalisasi diri yang positif sehingga
melahirkan prilaku yang lebih adaptif yaitu perilaku siswa yang dapat
menyelesaikan tugas-tugas akademiknya dengan baik dan tepat waktu.

2.2.4.2 Langkah-Langkah Teknik Self Instruction


Meinchenbeum (dalam Corey, 2011) menggambarkan proses tahapan
teknik self-instruction adalah sebagai berikut: (1) Observasi Diri: di awal
intervensi, siswa diminta untuk mendengarkan dialog internal dalam diri mereka
dan mengenali karakteristik pernyataan negatif yang ada. Proses ini melibatkan
kegiatan meningkatkan sensitivitas terhadap pikiran, perasaan, perbuatan, reaksi
fisiologis dan pola reaksi terhadap orang lain; (2) Memulai Dialog Internal Baru:
Setelah siswa belajar untuk mengenali tingkah laku maladaptifnya, mereka mulai
mencari kesempatan untuk mengembangkan alternatif tingkah laku adaptif dengan
cara merubah dialog internal dalam diri mereka. Dialog internal yang baru
diharapkan dapat menghasilkan tingkah laku baru, yang juga akan memberikan
dampak terhadap struktur kognisi siswa; (3) Belajar keterampilan Baru: Siswa
kemudian belajar teknik mengatasi masalah yang secara praktis dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, siswa diharapkan untuk tetap
memusatkan perhatian kepada tugas membuat pernyataan baru dan mengamati
perbedaan hasilnya.
Cormier (2009) menjelaskan langkah-langkah prosedur penerapan teknik
52

self-instruction dalam konseling kelompok diantaranya adalah sebagai berikut:


1) Dasar Pemikiran Perlakuan (Treatment Rasionale)
Pemimpin kelompok menjelaskan dasar pemikiran bahwa apa yang
difikirkan oleh klien dapat mempengaruhi perilaku klien, self talk yang negatif
akan mempengaruhi kinerja atau kegiatan yang dilakukan oleh klien.
Pemimpin kelompok membantu klien melakukan suatu cara yang diinginkan
dengan memeriksa self talk yang digunakan saat melakukan sesuatu hal dan
menghasilkan beberapa perencanaan yang bermanfaat. Pemimpin kelompok
menunjukkan apa yang dikatakannya kepada diri sendiri saat melakukan suatu
hal, setelah itu meminta kepada klien untuk melakukannya, sementara
pemimpin kelompok hanya memandu dan mengarahkan
2) Model Penugasan Kognitif dan Verbalisasi Diri (Cognitive Modeling Of The
Task And Of The Self Verbalization)
Pemimpin kelompok memberikan instruksi kepada klien untuk
mendengarkan apa yang dilakukan, Pemimpin kelompok berkata kepada diri
sendiri saat melakukan tugas. Selanjutnya Pemimpin kelompok memberikan
contoh (self talk) dengan berbicara atau mengemukakan didalam kelompok.
3) Bimbingan eksternal secara terbuka (Overt External Guidance)
Setelah Pemimpin kelompok memberikan contoh secara verbal didepan
klien atau didalam kelompok, klien diinstruksikan untuk melakukan tugas
seperti apa yang sudah dicontohkan oleh Pemimpin kelompok, sementara
Pemimpin kelompok menginstruksikan dan melatih. Jika kehadiran lainnya
tampaknya mengganggu kinerja atau aktivitas klien, pemimpin kelompok dapat
berkata, “Orang-orang itu mungkin mengalihkan perhatian anda. Perhatikan
saja apa yang anda lakukan. ”Jenis pemyataan untuk mengatasi situasi ini dapat
dimasukkan dalam verbalizations Pemimpin kelompok pada bimbingan
ekstemal yang terbuka untuk membuat ini bagian dari prosedur menyerupai apa
yang sebenamya akan dihadapi klien.
4) Bimbingan Dengan Diri Sendiri Secara Terbuka (Overt Self Guidance)
Pemimpin kelompok selanjutnya memberikan instruksi kepada klien untuk
melakukan tugas seperti apa yang sudah dicontohkan oleh Pemimpin
53

kelompok, menginstruksikan diri sendiri atau membimbing diri sendiri dengan


keras (disampaikan didepan anggota kelompok yang lain). Tujuannya adalah
agar klien dapat mempraktekan jenis self talk yang akan memperkuat terhadap
tuntutan tugas dan akan meminimalkan hambatan dari luar. Praktisi harus
memperhatikan dengan seksama konten dari verbalisasi diri klien.
Verbalizations ini harus mencakup lima bagian komponen (pertanyyan,
perencanaan, fokus keperhatian, evaluasi diri, penguatan), dan klien harus
didorong untuk menggunakan kata- katanya sendiri. Jika klien bimbingan diri
tidak lengkap atau jika klien mengalami kesulitan, praktisi dapat
mengintervensi dan melatih. Jika perlu, praktisi dapat kembali ke langkah
sebelumnya — baik pemodelan lagi atau melatih klien saat klien melakukan
tugas (terang-terangan) bimbingan ekstemal). Setelah klien menyelesaikan
langkah ini, praktisi harus memberikan umpan balik tentang bagian dari latihan
bahwa telah selesai klien dengan memadai dan mengoreksi kesalahan apa pun
atau kelalaian yang dilakukan oleh klien.
5) Faded Overt Self Guidance
Klien melakukan tugas sambil berbisik (melakukan self talk didalam hati),
memperkirakan hasil prosedur secara berturut-turut
6) Bimbingan pada diri sendiri secara tertutup (Covert Self Guidance)
Praktisi meminta klien untuk bcriatih self instruksi secant tcrtutup atau
didaJam hati dan pemikirannya Sctclah klien mclakukan ink praktisi mungkin
meminta penjelasan ten tang instruksi diri terselubung. Jika mengganggu atau
menghalangi pcmbicaraan-diri tciah tcriadi, praktisi bisu mcnavutrkan saran
untuk verbalisasi yang lebih tepat atau self-talk yang tepat dan dapat memulai
latihan tambahan diluar sesi atau kelompok. Schingga klien siap untuk
menggunakan prosedur di luar sesi.
7) Pekerjaan rumah dan tindak lanjut
Praktisi menetapkan pekerjaan rumah kepada klien hal ini sangat penting
untuk gencralisasi dari wawancara yang tcriadi di lingkungan klien. Pemimpin
kelompok menginstruksikan klien untuk menggunakan verbalizations dal am
hati saat melakukan perilaku yang diinginkan pada saat klien sendiri atau diluar
54

sesi konseling. Pekcrjaan rumah yang diberikan hams mentukan apa yang klien
akan lakukan seberapa banyak atau seberapa string. dan kapan serta di mana
klien menerapkan self instruksi. Pemimpin kelompok juga harus menyediakan
cara bagi klien untuk memantau dan menghargai dirinya sendiri untuk
penyelesaian pekeijaan rumah. Pemimpin kelompok juga harus menjadwalkan
upaya tindak lanjut tugas pekerjaan rumah.
Langkah-langkah intervensi yang dilakukan oleh Meichenbaum (dalam
Martin & Pear, 2003) menggunakan teknik self-instruction diantaranya yaitu: 1)
Identifikasi keyakinan diri yang negatif, 2) Pembelajaran positive self-talk untuk
melawan negative self-statement, 3) Pembelajaran teknik self-instruction untuk
melakukan langkah-langkah perilaku yang akan dilakukan, 4) Menentukan self-
reinforcement apabila berhasil mengatasi situasi
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka peneliti akan
mengaplikasikan prosedur penerapan teknik self-instruction dalam konseling
kelompok seperti yang dikemukakan oleh Cormier (2009).

2.2.5 Teknik Thought Stopping


2.2.5.1 Pengertian Teknik Thought Stopping
Teknik thougth stopping dikembangkan oleh Joseph Wolpe pada tahun
1990 (Townsend, 2009) yang menekankan bahwa kontrol pikiran penting
untuk perkembangan mental yang sehat. Pikiran yang menganggu dan
mengakibatkan ansietas dapat mengakibatkan seseorang tidak produktif dan
mengalami ketidaknyamanan secara psikologis. Pikiran yang mengakibatkan
ansietas ini akhirnya dapat menghasilkan suatu perilaku yang maladaptif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa fokus dari teknik thougth stopping
adalah untuk kontrol pikiran negatif sehingga mengurangi ketidak nyamanan
dan ansietas. Stuart dan Laraia (2005) mengungkapkan bahwa teknik thougth
stopping merupakan suatu proses terapi yang dapat membantu menghentikan
pikiran yang mengganggu. Sedangkan menurut Videbeck (2008) terapi thougth
stopping merupakan bagian dari terapi perilaku yang digunakan untuk membantu
mengubah proses berpikir. Lebih lanjut Townsend (2009) menjelaskan bahwa
55

thought stopping (penghentian pikiran) merupakan sebuah tehnik penghentian


yang dipelajari sendiri oleh seseorang yang dapat digunakan setiap kali individu
ingin menghilangkan pikiran mengganggu atau negatif dan pikiran yang tidak
diinginkan dari kesadaran. Teknik thought stopping melatih konseli untuk
menyingkirkan, seawal mungkin setiap pikiran yang tidak diinginkan biasanya
dengan memberikan perintah “Berhenti” atau “Stop” untuk menginterupsi
(memotong/memutus) pikiran yang tidak diinginkan (Wolpe dalam Erford, 2016).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teknik thought
stopping (penghentian pikiran) merupakan suatu teknik atau strategi yang
digunakan untuk membantu ketidakmampuan seseorang mengontrol pikiran dan
gambaran-gambaran dari diri sendiri dengan cara menekan atau menghilangkan
pikiran atau keyakinan negatif tersebut. Penggunaan teknik thought stopping
(penghentian pikiran) sangat bermanfaat untuk menghentikan pikiran dan
keyakinan yang negatif dan menggantinya menjadi pikiran dan keyakinan yang
lebih positif, karena pikiran dan keyakinan individu yang negatif bisa
menyebabkan perilaku yang negatif pula, begitupun sebaliknya. Dengan
demikian, perilaku bermasalah yaitu perilaku prokrastinasi akademik dapat diubah
dengan mengubah pikiran dan keyakinan individu menjadi lebih positif.

2.2.5.2 Langkah-langkah Teknik Thought Stopping


Merujuk pada pendapat Nursalim (2014: 46-49) menyebutkan tujuh
langkah teknik thought stopping dalam konseling kelompok, diantaranya yaitu:
1) Rasional Strategi.
Pertama-tama pemimpin kelompok akan menerangkan dasar pemikiran
untuk thought stopping ini. Sebelum memakai strategi ini, semua anggota
kelompok harus sadar akan pikiran-pikirannya yang menyalahkan dirinya yang
senang muncul. Tahap ini berlangsung seperti berikut: (a) Pemimpin kelompok
memberikan rasional/menjelaskan maksud penggunaan strategi; (b) Pemimpin
kelompok memberikan overview tahapan-tahapan implementasi strategi; (c)
Pemimpin kelompok memberikan gambaran tentang pikiran-pikiran yang
merusak diri (negatif) dan cara anggota kelompok keluar dari masalah itu.
56

2) Berhenti Memikirkan yang Diarahkan Oleh Pemimpin Kelompok.


Pada tahap ini pemimpin kelompok yang bertanggung jawab untuk
menginterupsi pikiran anggota kelompok. Interupsi ini terbuka (overt), yaitu
dengan mengucapkan kata “stop” yang keras, dapat pula disertai dengan
tepukan tangan, mengetuk meja atau dengan siulan. Tahap ini berlangsung
seperti berikut: (a) Pemimpin kelompok meminta anggota kelompok
menyatakan semua pikiran dalam situasi problem; (b) Pada saat anggota
kelompok secara bergantian mengungkapkan pikiran-pikiran yang merusak diri
(self defeating), pemimpin kelompok bersama anggota kelompok yang lain
menginterupsi dengan keras kata “stop”, dan dapat disertai tepuk tangan, siulan
atau menepuk meja; (3) Pemimpin kelompok menunjukkan bagaimana
interupsi yang tidak terduga tadi efektif dalam menghilangkan pikiran-pikiran
negatif.
3) Berhenti Memikirkan yang Diarahkan Oleh Anggota Kelompok (Overt
Interruption Client).
Setelah anggota kelompok belajar untuk mengontrol pikiran negatifnya
sebagai respons dari interupsi pemimpin kelompok tadi, maka anggota
kelompok menerima tanggung jawab untuk menginterupsinya sendiri. Pertama-
tama anggota kelompok mengarahkan diri sendiri seperti apa yang telah
diarahkan oleh konselor tadi. Tahap ini berlangsung seperti berikut: (a)
Anggota kelompok dengan sengaja membangkitkan pikiran-pikirannya; dan (b)
Meminta anggota kelompok untuk mengatakan “stop” dengan suara keras
kapan pun bila konseli menemukan pikiran-pikiran negatif.
4) Berhenti Memikirkan yang Diarahkan Oleh Anggota Kelompok (Covert
Interruption).
Setelah anggota kelompok belajar untuk mengontrol pikiran negatifnya
sebagai respons dari interupsi pemimpin kelompok tadi, maka anggota
kelompok menerima tanggung jawab untuk menginterupsinya sendiri. Tahap
ini berlangsung seperti berikut: (a) Anggota kelompok dengan sengaja
membangkitkan pikiran-pikirannya; dan (b) Meminta anggota kelompok untuk
mengatakan “stop” dalam hati kapan pun bila konseli menemukan pikiran-
57

pikiran yang negatif.


5) Pergantian ke Pikiran Asertif, Positif atau Netral.
Untuk mengurangi kegelisahan yang masih tersisa, pemimpin kelompok
beserta anggota kelompok lain dapat menyarankan agar anggota kelompok
menemukan pikiran-pikiran yang lebih asertif, jika anggota kelompok telah
menginterupsi pikiran-pikiran negatifnya, karena diasumsikan bahwa tingkah
laku yang asertif ini dapat mencegah kecemasan, kegelisahan, walaupun
anggota kelompok telah belajar untuk menekan pikiran yang tidak dikehendaki.
Tahap ini berlangsung sebagai berikut: (a) Pemimpin kelompok menjelaskan
tujuan pindah ke pikiran yang lebih asertif, positif atau netral; (b) Pemimpin
kelompok memodelkan pikiran positif; (c) Pemimpin kelompok meminta
anggota kelompok mempraktekan pikiran positif.
6) Pekerjaan Rumah dan Tindak lanjut.
Pekerjaan rumah ini diperlukan agar anggota kelompok terus berlatih dan
dapat menguatkan kontrol konseli dalam menghentikan pikiran yang merusak
(self- defeating) jika sewaktu-waktu muncul. Tahap ini berlangsung dengan
anggota kelompok memberikan tugas rumah dengan cara meminta anggota
kelompok untuk mempraktikkan keterampilan yang diperoleh untuk mengatasi
masalah yang dialaminya.
7) Terminasi dimana Pemimpin Kelompok Menghentikan Program Bantuan.
Gardner (2002) menyebutkan ada enam langkah dalam pelaksanaan teknik
thought stopping yang diantaranya yaitu:
1) Langkah pertama: identifikasi pikiran yang tidak diharapkan.
Pada langkah ini sebanyak tiga atau empat tentang pikiran yang tidak
sering muncul dan klien tidak bisa menghentikan pikiran mengganggu
tersebut.
2) Langkah kedua: identifikasi pikiran yang menyenangkan.
Pada langkah ini, klien mencatat tiga atau empat topik tentang pikiran
yang menyenangkan seperti olahraga yang digemari, hobby yang
menyenangkan, sedang rekreasi, mendapat penghargaan atau keberhasilan,
tempat atau sesuatu yang menyenangkan dalam hidup. Langkah ini bukan
58

bertujuan untuk mengganti pikiran yang tidak diharapkan tersebut, akan


tetapi langkah ini bertujuan agar klien membayangkan bagaimana
kalau pikiran menyenangkan dilakukan pada saat pikiran yang tidak
diharapkan.
3) Langkah ketiga: Fokus pada pikiran yang tidak menyenangkan.
Pada langkah ini klien disuruh untuk memfokuskan pada pikiran yang
tidak menyenangkan. Klien menutup mata dan berkosentrasi penuh pada
pikiran yang tidak menyenangkan tersebut.
4) Langkah keempat: putuskan pikiran yang tidak menyenangkan.
Pada tahap ini klien mengatakan kata “STOP” dengan suara yang keras
ketika sudah tidak nyaman lagi dengan pikiran yang tidak menyenangkan
tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghentikan konsentrasi terhadap pikiran
yang menganggu.
5) Langkah kelima: Ganti dengan pikiran yang menyenangkan.
Tahap ini klien disuruh untuk mengosongkan pikiran dari pikiran yang
mengganggu dan mengantinya dengan memikirkan sesuatu yang
menyenangkan selama kurang lebih 30 detik. Jika pikiran yang tidak
menyenangkan kembali muncul sebelum 30 detik, klien disuruh mengatakan
kata ”stop “lagi.
6) Langkah keenam: Ulangi dengan variasi.
Pada langkah ini, klien mencoba untuk mengulangi menghentikan pikiran
yang tidak menyenangkan dengan berbagai variasi. Ketika klien sudah berhasil
memutus dengan mengatakan kata “STOP” dengan keras maka klien mencoba
mengulangi dengan nada suara normal dan dengan bisikan. Kemudian jika
sudah berhasil dengan bisikan , maka dilanjutkan dengan mengatakan dalam
hati dengan membayangkan seakan-akan ada tanda “STOP” secara otomatis
dalam pikiran klien
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, tahapan teknik thought stopping yang
akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tahapan dari Nursalim (2014)
yang diantaranya yaitu: (1) peneliti sebagai pemimpin kelompok akan
menerangkan dasar pemikiran untuk thought stopping ini kepada anggota
59

kelompok yakni, siswa yang mengalami prokrastinasi akademik; (2) melatih


anggota kelompok untuk berhenti memikirkan yang diarahkan oleh pemimpin
kelompok; (3) berhenti memikirkan yang diarahkan oleh anggota kelompok (overt
interruption client); (4) berhenti memikirkan yang diarahkan oleh anggota
kelompok (covert interruption); (5) pemimpin kelomok dapat menyarankan agar
anggota kelompok menemukan pikiran-pikiran yang lebih asertif; (6) adanya
pekerjaan rumah dan tindak lanjut untuk mempraktikkan keterampilan yang
diperoleh untuk mengatasi masalah yang dialaminya.
2.2.5.3 Hh
2.2.5.4 Hhh
2.2.5.5

2.2.6 A
2.2.7

2.3 Ff
2.4 dd
60

Ghufron dan Risnawita. 2012. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.


Deniz M. E, Tras Z, & Aydogan Didem. 2009. An Investigation of Academic
Procrastination, Locus of Control, and Emotional Intelligence. Journal
Educational Sciences: Theory & Practice. 9 (2): 623-632.
61

Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2013: 59) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah yang didasarkan atas teori yang relevan. Berdasarkan hal
tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu: “Ada Pengaruh Layanan
Bimbingan Kelompok dengan Teknik Modeling terhadap Perencanaan Karir
Siswa Kelas X SMA Negeri Pecangaan Jepara Tahun Pelajaran 2016/2017.”

Kerangka Berpikir

TEKNIK THOUGHT
STOPPING
Teknik yang digunakan untuk
mengubah dan menghentikan
pikiran negatif atau keyakinan
yang irasional yang dimiliki
oleh konseli dengan
membantunya menyusun
kembali pikiran negatif atau
keyakinan yang irasional
menjadi pikiran yang positif
atau keyakinan yang rasional.
62

Peserta didik dengan


prokrastinasi akademik
Peserta didik dengan
rendah
prokrastinasi akademik
1. Selalu mengerjakan PR
tinggi
1. Sering tidak mengerjakan dengan baik.
PR. KONSELING KELOMPOK 2. Selalu mengerjakan PR di
2. Sering mengerjakan PR di Rumah.
sekolah. 3. Selalu mengumpulkan tugas
3. Berulang kali terlambat akademik seperti PR dengan
mengumpulkan tugas dengan tepat waktu.
akademik seperti PR dengan 4. Menganggap tugas
alasan waktunya terlalu TEKNIK SELF INTRUCTION akademik sebagai hal yang
singkat. Pola verbalisasi diri yang wajar dan selalu berpikir
4. Menganggap tugas akademik bahwa dirinya pasti mampu
digunakan untuk membantu
sulit dan berpikir negatif untuk mengerjakan tugas
membangun kembali sistem akademik yang di berikan.
bahwa dirinya tidak mampu
mengerjakan tugas akademik kognisi konseli agar dapat
yang di berikan. mengelola dirinya dengan
memberikan instruksi-instruksi
positif, serta terpusat pada pola
verbalisasi overt (disuarakan secara
lantang/keras) dan verbalisasi
covert (disuarakan dalam hati).
Teknik self instruction digunakan
untuk melatih konseli agar dapat
mengintruksikan dirinya dari
pikiran/pernyataan negatif menjadi
pikiran/pernyataan yang positif.

DAFTAR PUSTAKA
63

Abdillah, F., & Fitriana, S. (2021). Penerapan Konseling Cognitive Behaviour


dengan Teknik Self Management untuk Mengatasi Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa. Sultan Agung Fundamental Research Journal, 2(1), 11–24.
Ami, D., & Yuniantaq, T. N. H. (2020). Profil Karakter Prokrastinasi Akademik
Pada Siswa SMP Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Cendekia :
Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1), 414–423.
https://doi.org/10.31004/cendekia.v4i1.241
Aulia, P., Prathama, A. G., & Sodjakusumah, T. I. (2018). Penerapan Cognitive
Behavior Therapy Dalam Mahasiswa. Jurnal Psikologi Insight, 2(1), 22–32.
Balkis, M., Duru, E., & Bulus, M. (2013). Analysis of the relation between
academic procrastination, academic rational/irrational beliefs, time
preferences to study for exams, and academic achievement: A structural
model. European Journal of Psychology of Education, 28(3), 825–839.
https://doi.org/10.1007/s10212-012-0142-5
Chusna, M., & Nursalim, M. (2015). Penerapan Konseling Kelompok Teknik Self
Instruction untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik pada Siswa Kelas
VIII SMP Muhammdiyah 9 Surabaya. Analisis Standar Pelayanan Minimal
Pada Instalasi Rawat Jalan Di RSUD Kota Semarang, 3, 103–111.
Deniz, M. E., Traş, Z., & Aydoǧan, D. (2009). An investigation of academic
procrastination, locus of control, and emotional intelligence. Kuram ve
Uygulamada Egitim Bilimleri, 9(2), 623–632.
Dewi, N., Hasan, H., & AR, M. (2016). Perilaku Bullying yang Terjadi di SD
Negeri Unggul Lampeuneurut Aceh Besar. 1, 37–45.
Erfantinni, I., Purwanto, E., & Japar, M. (2016). Efektifitas Pendekatan Cognitive
Behavioral Therapy dengan Setting Kelompok untuk Meningkatkan Motivasi
Belajar Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 119–125.
Ernawati, E., & Sumarwoto, V. D. (2016). Efektivitas Layanan Konseling
Kelompok Dengan Pendekatan Behavioral Melalui Teknik Shaping Untuk
Mengurangi Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas Viii Smp Negeri 2 Barat
Kabupaten Magetan. Counsellia: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 6(1), 41.
64

https://doi.org/10.25273/counsellia.v6i1.456
Fadhli, T., & Siregar, I. K. (2020). Mengatasi Kecamasan Diri Terhadap Isu Virus
Corona-19: Efektivitas Pendekatan Solution Focused Brief Counseling
dengan Teknik Thought Stoping. Jurnal Kajian Konseling Dan Pendidikan,
3(1), 1–9.
Failasufah, F. (2016). EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK REALITA
UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA (Studi
Eksperimen pada Siswa MAN Yogyakarta III). Hisbah: Jurnal Bimbingan
Konseling Dan Dakwah Islam, 13(1), 18–40.
https://doi.org/10.14421/hisbah.2016.131-02
Fauziah, H. (2015). Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung (Hana Hanifah
Fauziah). Journal.Uinsgd.Ac.Id, 2(105).
Febriani, R., Suarni, W. O., & Aspin. (2017). Konseling Kelompok Behavioral
dengan Teknik Asertif untuk Mengatasi Perilaku Prokrastinasi Akademik
Siswa di MTs Negeri 1 Kendari. 1(2), 74–85.
Gading, I. K. (2020). Group counseling with the gestalt technique to reduce
academic procrastination. International Journal of Emerging Technologies
in Learning, 15(14), 262–268. https://doi.org/10.3991/ijet.v15i14.14465
Grunschel, C., Patrzek, J., & Fries, S. (2013). Exploring reasons and
consequences of academic procrastination: An interview study. European
Journal of Psychology of Education, 28(3), 841–861.
https://doi.org/10.1007/s10212-012-0143-4
Gustanti, I., & Wibowo, M. E. (2019). CBT Group Counseling with Stress
Inoculation Training and Thought-Stopping Techniques to Improve Students
’ Academic Hardiness. Jurnal Bimbingan Konseling, 8(2), 156–162.
Haris, A., Dahliana, & A’yuna, Q. (2018). Efektifitas Layanan Konseling
Kelompok dalam Mereduksi Perilaku Prokrastinasi Siswa di SMAN 1 Ingin
Jaya. 3(September), 84–92.
Indra, S., Yusuf, A., & Jamna, J. (2016). Efektivitas Team Assisted
Individualization Untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik. JURNAL
65

EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 175.


https://doi.org/10.22373/je.v1i2.604
Junita, E. D., Yuwono, D., & Sugiharto, P. (2014). Upaya Mengurangi
Prokrastinasi Akademik Melalui Layanan Penguasaan Konten. Indonesian
Journal of Guidance and Counseling, 3(1), 17–23.
Kim, K. R., & Seo, E. H. (2015). The relationship between procrastination and
academic performance: A meta-analysis. Personality and Individual
Differences, 82, 26–33. https://doi.org/10.1016/j.paid.2015.02.038
Kunwijaya, I., Wibowo, M., & Awalya. (2019). Indonesian Journal of Guidance
and Counseling. Indonesian Journal of Guidance and Counseling : Theory
and Application, 5(1), 39–44.
Kurniawan, D. E. (2017). Pengaruh Intensitas Bermain Game Online terhadap
Perilaku Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling
Universitas PGRI Yogyakarta. Jurnal Koseling Gusjigang, 3(1), 97–103.
Retrieved from
http://jurnal.umk.ac.id/index.php/gusjigang/article/download/1120/1071
Laforge, M. C. (1998). Applying Explanatory Style to Academic Procrastination.
(1992), 1–7.
Meilindani, G. S. (2018). Keefektifan Teknik Self Management Untuk
Mengurangi Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas XI Nautika A SMK
Pelayaran Hang Tuah Kediri Tahun Pelajaran 2017/2018. Jurnal Pedagogla,
2(6), 1–9.
Munawaroh, M., Alhadi, S., & Saputra, W. (2017). Tingkat Prokrastinasi
Akademik Siswa Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 9 Yogyakarta.
Jurnal Kajian Bimbingan Dan Konseling, 2(1), 26–31.
https://doi.org/10.17977/um001v2i12017p026
Muyana, S. (2018). Prokrastinasi akademik dikalangan mahasiswa program studi
bimbingan dan konseling. Counsellia: Jurnal Bimbingan Dan Konseling,
8(1), 45. https://doi.org/10.25273/counsellia.v8i1.1868
Putro, H., & Sugiharto, D. (2016). Model Konseling Kelompok Teknik Self
Regulated Learning untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik Siswa.
66

Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 15–22.


Rahmaniah. (2019). Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Prokrastinasi
Akademik Siswa di SMP Negeri 1 Tanete Riaja. Jurnal Bimbingan Dan
Konseling, 6, 10–18. Retrieved from
https://jurnal.stkipmb.ac.id/index.php/bkmb/article/view/52
Ramadhan, R. P., & Winata, H. (2016). Prokrastinasi Akademik Menurunkan
Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, 1(1),
154. https://doi.org/10.17509/jpm.v1i1.3260
Riyani, S., & Prasetya, B. (2012). Perbedaan Prokrastinasi Akademik Dalam.
127–136.
Rokhman, M. K., Sucipto, & Masturi. (2019). Mengatasi Prokrastinasi Akademik
Melalui Behavioristik Dengan Teknik Behavior Contract Konseling. Jurnal
Prakarsa Paedagogia, 2(1).
Rumiani. (2006). Prokrastinasi Akademik Ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan
Stres Mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3(2), 37–48.
Salsabiela, A.-, Atieq, B.-, Husna, A. A., Utami, A. N., Qurrotaa’yun, N. N., &
Qudsyi, H.-. (2018). TRASI (Training Motivasi) untuk Menurunkan
Prokrastinasi Akademik Siswa-Siswi MTs (Madrasah Tranawiyah).
Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 7(2), 177–186.
https://doi.org/10.30996/persona.v7i2.1501
Saputra, R., Purwanto, E., & Awalya. (2017). Konseling Kelompok Teknik Self
Instruction dan Cognitive Restructuring untuk Mengurangi Prokrastinasi
Akademik Abstrak. 6(1), 84–89.
Savira, F., & Sudarsono, Y. (2013). self-Regulated Learning (SRL) dengan
Prokrastnasi Akademic pada Siswa Akselerasi. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 01(01), 66–75.
Senécal, C., Koestner, R., & Vallerand, R. J. (1995). Self-regulation and academic
procrastination. Journal of Social Psychology, 135(5), 607–619.
https://doi.org/10.1080/00224545.1995.9712234
Setiawan, B., Solehuddin, M., & Hafina, A. (2019). Bimbingan Kelompok dengan
Teknik Self-Instruction untuk Meningkatkan Self-Regulation Siswa.
67

KONSELING: Jurnal Ilmiah Penelitian Dan Penerapannya, 1(1), 1–10.


https://doi.org/10.31960/konseling.v1i1.317
Sholikhah, L. D., Sugiharto, D., & Tadjri, I. (2017). Model Konseling Kelompok
dengan Teknik Penguatan Positif untuk Mereduksi Prokrastinasi Akademik
Siswa. Pendidikan, 6(1), 62–67.
Solomon, L. J., & Rothblum, E. D. (1984). Academic procrastination: Frequency
and cognitive-behavioral correlates. Journal of Counseling Psychology,
31(4), 503–509. https://doi.org/10.1037/0022-0167.31.4.503
Toker, B., & Avcı, R. (2015). Effect of cognitive-behavioral-theory-based skill
training on academic procrastination behaviors of university students. Kuram
ve Uygulamada Egitim Bilimleri, 15(5), 1157–1168.
https://doi.org/10.12738/estp.2015.5.0077
Wachyudin, A. A. (2019). Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy
Dalam Konseling Kelompok Terhadap Penanganan Prokrastinasi. Riset
Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling, 5(7), 418–425.
Wahyuni, & Muhari. (2014). Penerapan Konseling Kelompok Realita untuk
Mengurangi Perilaku Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas VIII C Smp
Negeri 20 Surabaya. Bk Unesa, 04, 1–10.
Wibowo, M. E. (2019). Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES
PRESS.
Yospina, Y., & Pribadi, H. (2019). Efektivitas Konseling Kelompok dengan
Teknik Self Management untuk Mengurangi Perilaku Prokrastinasi
Akademik Siswa di SMA Negeri 3 Tarakan. Jurnal Bimbingan Dan
Konseling Borneo, 1(1), 1–6. Retrieved from
http://jurnal.borneo.ac.id/index.php/jbkb/article/view/753
Zakiyah, N., Nuzulia, F., Hidayati, R., & Setyawan, I. (2010). Hubungan Antara
Penyesuaian Diri dengan Prokrastinasi Akademik Siswa Sekolah Berasrama
SMP N 3 Peterongan. Jurnal Psikologi Undip, 8(2), 156–167.
Zarrin, S., Gracia, E., & Paixão, M. (2020). Prediction of Academic
Procrastination by Fear of Failure and Self-Regulation. Educational
Sciences: Theory and Practice, 20(3), 34–43.
68

https://doi.org/10.12738/jestp.2020.3.003
69

Dewi, Nadia dkk. 2016. Perilaku Bullying yang Terjadi di SD Negeri Unggul
Lampeuneurut Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar
FKIP Unsyiah. Vol. 1, No. 2: 37-45
Sholikhah, Linda Dwi dkk. 2017. Model Konseling Kelompok dengan Teknik
Penguatan Positif untuk Mereduksi Prokrastinasi Akademik Siswa. Jurnal
Bimbingan Konseling. Vol. 6, No 1: 62-67
Wahyuni, Wilujeng Dwi & Muhari. 2014. Penerapan Konseling Kelompok
Realita Untuk Mengurangi Perilaku Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas
VIII C SMP Negeri 20 Surabaya. Jurnal BK UNESA. Vol. 04, No. 03: 1-
10
Febriani, Ridha dkk. 2017. Konseling Kelompok Behavioral dengan Teknik
Asertif untuk Mengatasi Perilaku Prokrastinasi Akademik Siswa di MTs
Negeri 1 Kendari. Jurnal BENING. Vol. 1, No. 2: 86-101
Indra, Syaiful dkk. 2015. Efektivitas Team Assisted Individualization untuk
Mengurangi Prokrastinasi Akademik. Jurnal Edukasi. Vol. 1, Nomor. 2:
175-189
Putro, Hijrah Eko & Sugiharto, DYP. 2016. Model Konseling Kelompok Teknik
Self Regulated Learning untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik
Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling. Vol. 5, No. 1: 15-22
Kartadinata, Iven & Tjundjing, Sia. 2008. I Love You Tomorrow: Prokrastinasi
Akademik dan Manajemen Waktu. ANIMA Indonesian Psychological
Journal. Vol. 23, No. 2: 109-119
Junita, Eka Dya dkk. 2014. Upaya Mengurangi Prokrastinasi Akademik melalui
Layanan Penguasaan Konten. Indonesian Journal of Guidance and
Counseling: Theory and Application. Vol. 3, No. 1: 17-23
Sugiyono. 2013. Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung:
Alfabeta.
70

BUKU REWARD & PUNISHMENT DALAM PENDIDIKAN oleh Moh. Zaiful


Rosyid tahun 2018 online melalui link: https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=JwqaDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=teknik+reward+
and+punishment+untuk+Mengatasi+masalah+siswa&ots=-
m39CcVaQh&sig=ITtCPANWWrWSe3nP37Yw2stX1fA&redir_esc=y#v
=onepage&q&f=false atau bisa diakses melalui google scholar

Burgio, L. D. et al. (1980). A Self-Instructional Package for Increasing Attending


Behavior in Educable Mentally Retarded Children. Journal of Applied Behavior
Analysis, 13 (3), hlm. 443-459. DOI: 10.1901/jaba.1980.13-443
Wolters, C. A. (2011). Regulation of Motivation: Contextual and Social Aspects.
Teachers College Record, 113 (2), hlm. 265-283.
Purnama, A. A. (2016). Efektivitas Self-Instruction Training untuk
Meningkatkan Resiliensi Siswa. (Tesis). Bandung: Departemen Psikologi
Pendidikan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, (Tidak
Diterbitkan).

Solomon & Rothblum (1984: 509) Baru-baru ini beberapa ahli telah mulai
menggunakan intervensi untuk penundaan yang menggabungkan strategi
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, F., & Fitriana, S. (2021). Penerapan Konseling Cognitive Behaviour
dengan Teknik Self Management untuk Mengatasi Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa. Sultan Agung Fundamental Research Journal, 2(1), 11–24.
Ami, D., & Yuniantaq, T. N. H. (2020). Profil Karakter Prokrastinasi Akademik
Pada Siswa SMP Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Cendekia :
71

Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1), 414–423.


https://doi.org/10.31004/cendekia.v4i1.241
Aulia, P., Prathama, A. G., & Sodjakusumah, T. I. (2018). Penerapan Cognitive
Behavior Therapy Dalam Mahasiswa. Jurnal Psikologi Insight, 2(1), 22–32.
Balkis, M., Duru, E., & Bulus, M. (2013). Analysis of the relation between
academic procrastination, academic rational/irrational beliefs, time
preferences to study for exams, and academic achievement: A structural
model. European Journal of Psychology of Education, 28(3), 825–839.
https://doi.org/10.1007/s10212-012-0142-5
Chusna, M., & Nursalim, M. (2015). Penerapan Konseling Kelompok Teknik Self
Instruction untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik pada Siswa Kelas
VIII SMP Muhammdiyah 9 Surabaya. Analisis Standar Pelayanan Minimal
Pada Instalasi Rawat Jalan Di RSUD Kota Semarang, 3, 103–111.
Deniz, M. E., Traş, Z., & Aydoǧan, D. (2009). An investigation of academic
procrastination, locus of control, and emotional intelligence. Kuram ve
Uygulamada Egitim Bilimleri, 9(2), 623–632.
Dewi, N., Hasan, H., & AR, M. (2016). Perilaku Bullying yang Terjadi di SD
Negeri Unggul Lampeuneurut Aceh Besar. 1, 37–45.
Erfantinni, I., Purwanto, E., & Japar, M. (2016). Efektifitas Pendekatan Cognitive
Behavioral Therapy dengan Setting Kelompok untuk Meningkatkan Motivasi
Belajar Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 119–125.
Ernawati, E., & Sumarwoto, V. D. (2016). Efektivitas Layanan Konseling
Kelompok Dengan Pendekatan Behavioral Melalui Teknik Shaping Untuk
Mengurangi Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas Viii Smp Negeri 2 Barat
Kabupaten Magetan. Counsellia: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 6(1), 41.
https://doi.org/10.25273/counsellia.v6i1.456
Fadhli, T., & Siregar, I. K. (2020). Mengatasi Kecamasan Diri Terhadap Isu Virus
Corona-19: Efektivitas Pendekatan Solution Focused Brief Counseling
dengan Teknik Thought Stoping. Jurnal Kajian Konseling Dan Pendidikan,
3(1), 1–9.
Failasufah, F. (2016). EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK REALITA
72

UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA (Studi


Eksperimen pada Siswa MAN Yogyakarta III). Hisbah: Jurnal Bimbingan
Konseling Dan Dakwah Islam, 13(1), 18–40.
https://doi.org/10.14421/hisbah.2016.131-02
Fauziah, H. (2015). Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung (Hana Hanifah
Fauziah). Journal.Uinsgd.Ac.Id, 2(105).
Febriani, R., Suarni, W. O., & Aspin. (2017). Konseling Kelompok Behavioral
dengan Teknik Asertif untuk Mengatasi Perilaku Prokrastinasi Akademik
Siswa di MTs Negeri 1 Kendari. 1(2), 74–85.
Gading, I. K. (2020). Group counseling with the gestalt technique to reduce
academic procrastination. International Journal of Emerging Technologies
in Learning, 15(14), 262–268. https://doi.org/10.3991/ijet.v15i14.14465
Grunschel, C., Patrzek, J., & Fries, S. (2013). Exploring reasons and
consequences of academic procrastination: An interview study. European
Journal of Psychology of Education, 28(3), 841–861.
https://doi.org/10.1007/s10212-012-0143-4
Gustanti, I., & Wibowo, M. E. (2019). CBT Group Counseling with Stress
Inoculation Training and Thought-Stopping Techniques to Improve Students
’ Academic Hardiness. Jurnal Bimbingan Konseling, 8(2), 156–162.
Haris, A., Dahliana, & A’yuna, Q. (2018). Efektifitas Layanan Konseling
Kelompok dalam Mereduksi Perilaku Prokrastinasi Siswa di SMAN 1 Ingin
Jaya. 3(September), 84–92.
Indra, S., Yusuf, A., & Jamna, J. (2016). Efektivitas Team Assisted
Individualization Untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik. JURNAL
EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 175.
https://doi.org/10.22373/je.v1i2.604
Junita, E. D., Yuwono, D., & Sugiharto, P. (2014). Upaya Mengurangi
Prokrastinasi Akademik Melalui Layanan Penguasaan Konten. Indonesian
Journal of Guidance and Counseling, 3(1), 17–23.
Kim, K. R., & Seo, E. H. (2015). The relationship between procrastination and
73

academic performance: A meta-analysis. Personality and Individual


Differences, 82, 26–33. https://doi.org/10.1016/j.paid.2015.02.038
Kunwijaya, I., Wibowo, M., & Awalya. (2019). Indonesian Journal of Guidance
and Counseling. Indonesian Journal of Guidance and Counseling : Theory
and Application, 5(1), 39–44.
Kurniawan, D. E. (2017). Pengaruh Intensitas Bermain Game Online terhadap
Perilaku Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling
Universitas PGRI Yogyakarta. Jurnal Koseling Gusjigang, 3(1), 97–103.
Retrieved from
http://jurnal.umk.ac.id/index.php/gusjigang/article/download/1120/1071
Laforge, M. C. (1998). Applying Explanatory Style to Academic Procrastination.
(1992), 1–7.
Meilindani, G. S. (2018). Keefektifan Teknik Self Management Untuk
Mengurangi Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas XI Nautika A SMK
Pelayaran Hang Tuah Kediri Tahun Pelajaran 2017/2018. Jurnal Pedagogla,
2(6), 1–9.
Munawaroh, M., Alhadi, S., & Saputra, W. (2017). Tingkat Prokrastinasi
Akademik Siswa Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 9 Yogyakarta.
Jurnal Kajian Bimbingan Dan Konseling, 2(1), 26–31.
https://doi.org/10.17977/um001v2i12017p026
Muyana, S. (2018). Prokrastinasi akademik dikalangan mahasiswa program studi
bimbingan dan konseling. Counsellia: Jurnal Bimbingan Dan Konseling,
8(1), 45. https://doi.org/10.25273/counsellia.v8i1.1868
Putro, H., & Sugiharto, D. (2016). Model Konseling Kelompok Teknik Self
Regulated Learning untuk Mengurangi Prokrastinasi Akademik Siswa.
Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 15–22.
Rahmaniah. (2019). Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Prokrastinasi
Akademik Siswa di SMP Negeri 1 Tanete Riaja. Jurnal Bimbingan Dan
Konseling, 6, 10–18. Retrieved from
https://jurnal.stkipmb.ac.id/index.php/bkmb/article/view/52
Ramadhan, R. P., & Winata, H. (2016). Prokrastinasi Akademik Menurunkan
74

Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, 1(1),


154. https://doi.org/10.17509/jpm.v1i1.3260
Riyani, S., & Prasetya, B. (2012). Perbedaan Prokrastinasi Akademik Dalam.
127–136.
Rokhman, M. K., Sucipto, & Masturi. (2019). Mengatasi Prokrastinasi Akademik
Melalui Behavioristik Dengan Teknik Behavior Contract Konseling. Jurnal
Prakarsa Paedagogia, 2(1).
Rumiani. (2006). Prokrastinasi Akademik Ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan
Stres Mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3(2), 37–48.
Salsabiela, A.-, Atieq, B.-, Husna, A. A., Utami, A. N., Qurrotaa’yun, N. N., &
Qudsyi, H.-. (2018). TRASI (Training Motivasi) untuk Menurunkan
Prokrastinasi Akademik Siswa-Siswi MTs (Madrasah Tranawiyah).
Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 7(2), 177–186.
https://doi.org/10.30996/persona.v7i2.1501
Saputra, R., Purwanto, E., & Awalya. (2017). Konseling Kelompok Teknik Self
Instruction dan Cognitive Restructuring untuk Mengurangi Prokrastinasi
Akademik Abstrak. 6(1), 84–89.
Savira, F., & Sudarsono, Y. (2013). self-Regulated Learning (SRL) dengan
Prokrastnasi Akademic pada Siswa Akselerasi. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 01(01), 66–75.
Senécal, C., Koestner, R., & Vallerand, R. J. (1995). Self-regulation and academic
procrastination. Journal of Social Psychology, 135(5), 607–619.
https://doi.org/10.1080/00224545.1995.9712234
Setiawan, B., Solehuddin, M., & Hafina, A. (2019). Bimbingan Kelompok dengan
Teknik Self-Instruction untuk Meningkatkan Self-Regulation Siswa.
KONSELING: Jurnal Ilmiah Penelitian Dan Penerapannya, 1(1), 1–10.
https://doi.org/10.31960/konseling.v1i1.317
Sholikhah, L. D., Sugiharto, D., & Tadjri, I. (2017). Model Konseling Kelompok
dengan Teknik Penguatan Positif untuk Mereduksi Prokrastinasi Akademik
Siswa. Pendidikan, 6(1), 62–67.
Solomon, L. J., & Rothblum, E. D. (1984). Academic procrastination: Frequency
75

and cognitive-behavioral correlates. Journal of Counseling Psychology,


31(4), 503–509. https://doi.org/10.1037/0022-0167.31.4.503
Toker, B., & Avcı, R. (2015). Effect of cognitive-behavioral-theory-based skill
training on academic procrastination behaviors of university students. Kuram
ve Uygulamada Egitim Bilimleri, 15(5), 1157–1168.
https://doi.org/10.12738/estp.2015.5.0077
Wachyudin, A. A. (2019). Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy
Dalam Konseling Kelompok Terhadap Penanganan Prokrastinasi. Riset
Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling, 5(7), 418–425.
Wahyuni, & Muhari. (2014). Penerapan Konseling Kelompok Realita untuk
Mengurangi Perilaku Prokrastinasi Akademik Siswa Kelas VIII C Smp
Negeri 20 Surabaya. Bk Unesa, 04, 1–10.
Wibowo, M. E. (2019). Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES
PRESS.
Yospina, Y., & Pribadi, H. (2019). Efektivitas Konseling Kelompok dengan
Teknik Self Management untuk Mengurangi Perilaku Prokrastinasi
Akademik Siswa di SMA Negeri 3 Tarakan. Jurnal Bimbingan Dan
Konseling Borneo, 1(1), 1–6. Retrieved from
http://jurnal.borneo.ac.id/index.php/jbkb/article/view/753
Zakiyah, N., Nuzulia, F., Hidayati, R., & Setyawan, I. (2010). Hubungan Antara
Penyesuaian Diri dengan Prokrastinasi Akademik Siswa Sekolah Berasrama
SMP N 3 Peterongan. Jurnal Psikologi Undip, 8(2), 156–167.
Zarrin, S., Gracia, E., & Paixão, M. (2020). Prediction of Academic
Procrastination by Fear of Failure and Self-Regulation. Educational
Sciences: Theory and Practice, 20(3), 34–43.
https://doi.org/10.12738/jestp.2020.3.003

Anda mungkin juga menyukai