Anda di halaman 1dari 71

PENERAPAN WORKPLACE STRETCHING EXERCISE

MENURUNKAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL DAN

STRES AKADEMIK SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP HASIL


BELAJAR

PESERTA DIDIK DI SMAN BALI MANDARA

OLEH

NI MADE RINA PUSPITA DEWI

NIM 1813041053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN BIOLOGI DAN PERIKANAN KELAUTAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

Pendidikan diibaratkan sebagai suatu pondasi dalam kemajuan suatu


bangsa, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu
negara maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas sumber daya
manusia dari negara tersebut. Pendidikan menjadi hal yang sangat
diutamakan karena pendidikan memiliki peranan penting untuk menciptakan
sumber daya manusia yang unggul dan kompeten sehingga dapat
mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diharapkan ,maka proses pembelajaran menjadi salah satu
hal yang harus diperhatikan. Proses pembelajaran yang baik akan
menciptakan suasana belajar yang efektif bagi peserta didik, dimana
diharapkan akan berkontribusi terhadap hasil belajar mereka, namun tidak
dapat dipungkiri bahwa masih banyak hal yang dapat menjadi faktor pemicu
dalam ketidakefektivan proses pembelajaran. Disamping itu saat ini juga
sering dijumpai permasalahan terhadap psikologi peserta didik, mengingat
peserta didik masih dalam usia remaja yang membuat kondisi emosi mereka
masih labil, maka tentu saja ada banyak masalah-masalah muncul yang akan
sangat berpengaruh negatif terhadap proses pembelajaran. Oleh karena itu
penting bagi tenaga pendidik ataupun guru memberikan inovasi di dalam
proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran tidak cenderung monoton
dan peserta didik tidak merasa tertekan selama belajar dan mereka lebih
antusias dalam mengikuti pembelajaran sehingga dapat memberikan umpan
balik yang postif bagi diri mereka sendiri dan juga orang-orang di sekitarnya.

Tercapainya tujuan pembelajaran dan meningkatnya hasil belajar


peserta didik sangat terkait dengan sarana dan suasana pembelajaran serta
pendekatan atau cara pembelajaran yang diterapkan oleh pengajar. Adapun
indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan dari pendekatan,
metode, dan teknik pembelajaran yaitu dengan melihat hasil belajar atau
prestasi belajar peserta didik dari hasil tes atau kuis yang diberikan.
Berdasarkan konsep tersebut maka pembelajaran dikelas diharapkan dapat
memperhatikan suasana belajar peserta didik, sarana dan prasana belajar, dan
pendekatan pembelajaran yang diterapkan oleh pengajar. Suasana
pembelajaran diharapkan dibangun dalam kondisi yang menyenangkan dan
terbuka, sehingga peserta didik terbebas dari rasa bosan ketika belajar.
Namun, sering dilupakan bahwa peserta didik mempunyai kemampuan dan
keterbatasan tertentu yang seharusnya digunakan sebagai parameter fisiologis
seperti kemampuan otot, kemampuan kardiovaskular dan kemampuan
psikologis seperti rasa bosan, malas, dan menurunnya konsentrasi. Banyak
sekolah yang belum memerhatikan kondisi fisiologis dan psikologis peserta
didik, misalnya SMA Negeri Bali Mandara yang masih belum menerapkan
acuan antropometri peserta didik yang dapat dilihat dari kondisi meja, tempat
duduk, posisi papan tulis dan LCD yang menyulitkan beberapa peserta didik
ketika memperhatikan guru yang sedang mengajar. (Irwanti, 2010; 2020;
Sutajaya, 2019).

Keluhan muskuloskeletal (Musculosceletal Disorders) adalah suatu


kondisi dimana terjadinya berbagai macam cedera, kelainan, dan nyeri pada
sistem muskuloskeletal yang terdiri dari tulang, jaringan otot, saraf, ligamen,
tendon serta sendi. Pada proses pembelajaran yang dilakukan di ruang kelas
melibatkan aktivitas fisik dan mental, dan umumnya lebih didominasi oleh
kontraksi otot statis. Peserta didik lebih sering duduk di tempat duduknya
selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Selain itu, sarana dan prasarana
dalam pembelajaran misalnya meja dan kursi. Kursi dapat berpengaruh
terhadap kenyamanan belajar peserta didik karena peserta didik cenderung
lebih banyak duduk dengan posisi statis. Kondisi peserta didik yang seperti
ini dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal. Peserta didik mengalami
keluhan muskuloskeletal sangat bervariasi, misalnya keluhan sakit pada
punggung, pinggang, bahu, dan bokong. Penyebab utama dari keluhan
muskuloskeletal pada peserta didik karena aktivitas peserta didik yang duduk
statis selama pembelajaran berlangsung. Proses pembelajaran yang dilakukan
di ruang kelas umumnya didominasi oleh kontraksi otot statis karena peserta
didik saat mendengar, mencatat, melihat informasi di papan tulis atau layar
OHP dan mengemukakan pendapatnya cenderung tetap berada di tempat
duduk. Kondisi seperti ini menyertai peserta didik minimal dua jam dan jika
ditambah dengan sikap kerja yang tidak alamiah diduga kuat dapat bertindak
sebagai penyebab munculnya keluhan musculoskeletal. Hal ini juga menjadi
salah satu permasalahan yang ada di Indonesia, bahwa ditemukan adanya
kecenderungan munculnya keluhan muskuloskeletal pada anak usia sekolah
dikarenakan pertumbuhan tulang yang belum matang, sehingga kebiasaan-
kebiasaan yang tidak baik akan memperngaruhi pertumbuhan tubuh, misalnya
posisi membaca, menulis, dan duduk yang tidak ergonomis, sehingga dapat
menimbulkan rasa pegal pada beberapa bagian tubuh (Hastuti, 2017;
Nurhaliza, 2020; Prawira et al., 2017; Sutajaya, 2019).

Selain terjadinya keluhan muskuloskeletal pada proses pembelajaran


yang melibatkan aktivitas fisik, faktor psikis peserta didik juga menjadi
perhatian yang sangat serius, salah satunya yaitu adanya stres akademik
dalam proses pembelajaran. Stres akademik merupakan stres yang disebabkan
oleh academic stresor. Academic stresor adalah stres yang dialami peserta
didik yang bersumber dari proses pembelajaran atau hal-hal yang
berhubungan dengan kegiatan belajar seperti: tekanan untuk naik kelas, lama
belajar, mencontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan, keputusan
menentukan jurusan atau karier serta kecemasan ujian dan manajemen stres.
Kondisi stres dapat menjadi hambatan bagi peserta didik untuk menjalani
aktivitas sehari-hari khususnya di sekolah, sehingga tujuan pembelajaran
tidak dapat dicapai dengan baik. Peserta didik yang duduk di bangku SMA
sedang berada pada masa remaja, masa remaja merupakan masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional. Remaja yang masih duduk
di bangku sekolah menjadi perhatian utama terkait dengan kondisi
psikologisnya. Sekolah merupakan sumber stres utama bagi peserta didik,
masa-masa sekolah idealnya dapat menjadi suatu pengalaman yang
menyenangkan, namun ketika peserta didik dihadapkan dengan berbagai
tuntutan dan perubahan kurikulum, hal itu membuat mereka merasa tertekan
sehingga menimbulkan stres akademik di kalangan peserta didik. Selain itu
stres akademik yang dialami oleh peserta didik juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti, harapan yang tinggi, kebiasaan belajar yang buruk,
permasalahan dalam pembelajaran, media pembelajaran yang berubah-ubah,
dan keadaan sosial ekonomi yang rendah (Mufadal et al., 2017; Netrawati,
2018; Rani, 2018).

Berbagai tekanan yang dialami peserta didik akan memicu ketegangan


fisik, psikologis dan tingkah laku serta dapat mempengaruhu prestasi belajar.
Suasana yang tidak nyaman saat belajar, kesulitan dalam belajar dan
hilangnya motivasi belajar bisa menjadi sumber stres akademik pada peserta
didik. Stres akademik dapat berdampak positif dan negatif, sesuai dengan
bagaimana peserta didik memandang tuntutan yang ada tersebut. Peserta
didik yang mengalami stres akademik pada tingkat yang tinggi disebabkan
salah satunya karena peserta didik memandang tuntutan akademik sebagai
sumber tekanan, hal itu membentuk konstruk berpikir peserta didik terhadap
situasi-situasi akademik dengan negatif. Sebaliknya, peserta didik yang
mengalami stres akademik pada tingkat yang rendah karena peserta didik
memandang tuntutan akademik sebagai sebuah tantangan untuk
mengembangkan potensinya. Pola pikir peserta didik menjadi salah satu
faktor penentu, jika peserta memandang tuntutan yang ada sebagai tantangan
untuk mengembangkan diri, maka tuntutan sekolah menjadi motivasi bagi
dirinya. Lain halnya, bila memandang tuntutan sebagai suatu hal yang
mengancam dan melebihi batas kemampuan dirinya, maka hal itu akan
memicu terjadi stres akademik. Stres akademik yang dialami peserta didik
dalam belajar dapat menghambat dalam pemenuhan tugas perkembangan
peserta didik, salah satu tugas peserta didik SMA berdasarkan Standar
Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) yaitu perlu memiliki
kematangan intelektual, artinya peserta didik perlu memiliki kemampuan
mengikuti proses belajar. Apabila peserta didik mengalami stres akademik
tinggi tentunya akan menghambat dalam pencapaian tugas tersebut yang
nantinya secara tidak langsung dapat berkontribusi terhadap hasil belajar
peserta didik (Desmita, 2017; Livia, 2021; Rahmah, 2020; Yeo, 2017).
SMA Negeri Bali Mandara (SMANBARA) merupakan suatu lembaga
pendidikan yang letaknya di Jalan Raya Air Sanih, Kecamatan
Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. SMA Negeri Bali Mandara merupakan
sekolah unggulan berasrama, dimana peserta didik yang diterima berdasarkan
hasil seleksi yang ketat sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh
sekolah. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, dalam proses
pembelajaran yang dilakukan di SMA Negeri Bali Mandara ditemukan bahwa
peserta didik mengalami keluhan muskuloskeletal dan stres akademik.
Keluhan muskuloskeletal ini terjadi karena posisi tempat duduk peserta didik
yang kurang ergonomis, dimana pada beberapa ruang kelas yang digunakan
merupakan ruang laboratorium sehingga peserta didik mengalami keluhan
muskuloskeletal, umumnya di daerah punggung, pinggang dan bahu. Selain
itu peserta didik di SMA Negeri Bali Mandara dituntut untuk menjadi calon
sumber daya manusia yang unggul dan kompeten sesuai dengan visi misi
sekolah, oleh karena itu banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus
mereka hadapi baik dari bidang akademik maupun non akademik non
akademik, jika hal tersebut tidak tercapai dengan baik maka dapat
menyebabkan tekanan pada peserta didik yang memicu peningkatan stres
akademik.

Berdasarkan beberapa permasalahan yang ditemukan di sekolah, maka


ergonomi menjadi hal penting yang perlu diterapkan. Ergonomi
sesungguhnya berusaha untuk mengupayakan agar ruang belajar menjadi
nyaman untuk dimanfaatkan sebagai tempat belajar, sehingga energi
sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan belajar saja dan tidak
terbuang percuma karena harus menghadapi kondisi lingkungan belajar yang
tidak ergonomis. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dikaji mengani kaidah-
kaidah ergonomi yang dapat dimanfaatkan di dalam mendesain ruang belajar
sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam proses
pengelolaan kelas. Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mengurangi keluhan muskuloskeletal dan stres akademik peserta didik
sebagai bentuk penerapan ergonomi yaitu dengan memberikan Workplace
Stretching Exercise (WSE). Workplace Stretching Exercise merupakan
bentuk latihan yang didesain dengan bentuk gerakan Stretching (peregangan
otot) yang dilakukan ditempat kerja. Peregangan otot yaitu usaha untuk
memperpanjang otot sehingga mengakibatkan otot menjadi rileks dan lentur.
Posisi duduk statis yang dilakukan oleh peserta didik ketika proses
pembelajaran berlangsung akan menyebabkan keluhan muskuloskeletal,
sehingga ketika diberikan Workplace Stretching Exercise maka peserta didik
akan bergerak dari posisi statis menjadi dinamis. Otot akan mengalami
relaksasi sehingga keluhan otot akan berkurang. (Mustika, 2016; Wahyono, et
al., 2014; Harwanti, et al.,2017; Sutajaya, 2019).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan terhadap 27 orang peserta didik


di kelas X MIPA 1 nilai rerata keluhan muskuloskeletal sebelum proses
pembelajaran yang didata menggunakan kuesioner Nordic Body Map adalah
sebesar 33,09 dan sesudah proses pembelajaran adalah sebesar 69,11 yang
artinya terjadi peningkatan keluhan muskuloskeletal peserta didik antara
sebelum dan sesudah proses pembelajaran sebesar 52,12%. Sedangkan nilai
rerata stres akademik peserta didik sebelum proses pembelajaran yang didata
menggunakan kuesioner stres akademik sebelum proses pembelajaran sebesar
63,85 dan sesudah proses pembelajaran sebesar 77,96 yang artinya terjadi
peningkatan stres akademik peserta didik antara sebelum dan sesudah proses
pembelajaran sebesar 18,10%. Peningkatan keluhan muskuloskeletal dominan
diakibatkan penataan dan kondisi tempat duduk peserta didik kurang
memerhatikan aspek ergonomis dan kontraksi otot statis yang mengakibatkan
terjadinya keluhan muskuloskeletal peserta didik, disamping itu kondisi
belajar yang menegangkan dan adanya tuntutan untuk menjadi peserta didik
yang teladan serta berprestasi menjadi pemicu meningkatnya stres akademik
peserta didik. Sedangkan hasil studi pendahuluan mengenai kontribusinya
terhadap hasil belajar peserta didik didapatkan hasil rerata sebesar 71,85
sementara kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang ditetapkan di sekolah
yaitu sebesar 76 yang artinya hasil belajar peserta didik kelas X MIPA 1
dikategorikan rendah. Selain itu pembelajaran yang statis dan monoton serta
tuntutan akademik yang begitu banyak dapat memicu terjadinya keluhan
muskuloskeletal dan stres akademik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka keluhan muskuloskeletal dan stres
akademik peserta didik perlu untuk diperhatikan karena secara tidak langsung
akan berkontribusi pada hasil belajar peserta didik. Dengan penerapan
Workplace Stretching Exercise maka kondisi peserta didik akan kembali
bugar dan otot-otot akan berelaksasi sehingga suasana kelas akan kembali
rileks dan tingkat stres peserta didik akan menurun yang ditandai dengan
meningkatnya konsentrasi dan semangat belajar peserta didik. Kondisi
pembelajaran akan kembali kondusif dan efektif dimana akan memudahkan
untuk tercapainya tujuan pembelajaran dan meningkatknya hasil belajar
peserta didik.

1.2 Identifikasi Masalah

Bertolak dari hasil studi pendahuluan terhadap penerapan workplace


stretching exercise dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal dan stres
akademik peserta didik serta kontribusinya terhadap hasil belajar peserta
didik, dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut.
1. Meningkatnya keluhan muskuloskeletal peserta didik antara sebelum
dan sesudah proses pembelajaran sebesar 52,12% dilihat dari hasil studi
pendahuluan yang diyakini diakibatkan oleh kurangnya penerapan
Workplace Stretching Exercise.
2. Meningkatnya stres akademik peserta didik antara sebelum dan sesudah
proses pembelajaran sebesar 18,10% dilihat dari studi pendahuluan
yang diyakini akibat proses pembelajaran yang menegangkan dan
kurang variatif sehingga peserta didik cenderung merasa tertekan.
3. Rendahnya hasil belajar peserta didik yaitu sebesar 71,85 dilihat dari
studi pendahuluan yang diyakini akibat munculnya keluhan
muskuloskeletal dan stres akademik.
4. Kurangnya semangat belajar dan perhatian dari peserta didik pada saat
proses pembelajaran yang diyakini diakibatkan karena stres akademik
pada peserta didik.
5. Ketidaknyamanan kondisi belajar peserta didik dikarenakan sarana dan
prasarana pembelajaran yang ada di ruang kelas kurang ergonomis.
6. Tingginya frekuensi waktu duduk peserta didik sehingga didominasi
oleh kontraksi otot statis.

1.3 Pembatasan Masalah


Pada penelitian ini permasalahan yang diteliti dibatasi pada masalah
yang berkaitan dengan workplace stretching exercise pada peserta didik.
Penelitian ini hanya mengungkap penurunan keluhan muskuloskeletal dan
stres akademik akibat penerapan workplace stretching exercise, disamping itu
juga akan dilihat konstribusinya terhadap hasil belajar peserta didik.
Pembatasan terhadap permasalahan tersebut disebabkan oleh terbatasnya
instrumen penelitian, variabel yang bisa diteliti, dan subjek yang bisa
dilibatkan dalam penelitian.

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah
penelitian maka dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut.
1. Apakah penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan
keluhan muskuloskeletal peserta didik?
2. Apakah penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan stres
akademik peserta didik?
3. Apakah penurunan keluhan muskuloskeletal akibat penerapan workplace
stretching exercise berkontribusi terhadap hasil belajar kognitif peserta
didik?
4. Apakah penurunan stres akademik akibat penerapan workplace stretching
exercise berkontribusi terhadap hasil belajar kognitif peserta didik?

1.5 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, tujuan yang diharapkan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan
keluhan muskuloskeletal peserta didik.
2. Mengetahui penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan
stres akademik peserta didik.
3. Mengetahui kontribusi penurunan keluhan muskuloskeletal akibat
penerapan workplace stretching exercise terhadap hasil belajar kognitif
peserta didik.
4. Mengetahui kontribusi penurunan stres akademik akibat penerapan
workplace stretching exercise terhadap hasil belajar kognitif peserta
didik.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan
praktis sebagai berikut.
1.6.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian adalah sebagai berikut.
a. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam memahami Workplace
Stretching Exercise yang sesuai dengan kaidah-kaidah ergonomi.
b. Sebagai sumber informasi tambahan bagi peneliti lain jika ingin
melakukan penelitian yang sejenis.
c. Sebagai penunjang pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti
terutama yang berkaitan dengan ergonomi.

1.6.2 Manfaat Praktis


Manfaat praktis penelitian adalah sebagai berikut.
a. Bagi peserta didik dapat diimplementasikan dalam proses
pembelajaran sebagai pemahaman terhadap peregangan otot
sehingga dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal dan stres
akademik
b. Bagi sekolah dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran
yang merupakan penerapan kaidah-kaidah ergonomi pada proses
pembelajaran
c. Bagi masyarakat umum Workplace Stretching Exercise dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai salah satu
upaya dalam menjaga kesehatan
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teoritis


2.1.1 Keluhan Muskuloskeletal
a. Pengertian Keluhan Muskuloskseletal (Musculoskeletal Disoders)
Keluhan muskuloskeletal adalah suatu keluhan yang terjadi pada otot
rangka sebagai akibat posisi kerja yang tidak alamiah sehingga otot rangka
mengalami rasa nyeri. Selain posisi kerja yang tidak alamiah, posisi kerja
yang monoton dalam durasi lama dapat meningkatkan terjadinya keluhan
muskuloskeletal. Posisi kerja yang tidak ergonomis dan kurangnya waktu
untuk melakukan peregangan dinilai dapat memicu keluhan-keluhan
muskuloskeletal seperti nyeri punggung, nyeri otot dan sakit dibagian otot
rangka lainnya. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan yang dialami oleh
tubuh terutama pada bagian otot, keluhan ini biasanya berupa rasa sakit yang
dapat dirasakan dengan skala tertentu dari yang sangat ringan hingga keluhan
yang dirasakan sangat sakit. Beberapa bagian tubuh yang seringkali
mengalami keluhan muskuloskeletal terutama pada otot yang terdapat di
anggota gerak seperti leher, bahu, dan punggung bagian atas. Jika otot
mengalami gangguan, maka aktivitas sehari-hari seperti melakukan pekerjaan
dapat terganggu karena kekuatan otot merupakan salah satu bagian terpenting
dari organ tubuh manusia agar tubuh dapat bergerak. Timbulnya rasa sakit
pada otot ini dapat berakibat pada menurunnya produktivitas kerja seseorang
(Nooryana, 2020; Sulasmi, 2018; Savitri, 2015; Widyaningtyas, 2019).
Adapun faktor-faktor yang diketahui dapat memicu terjadinya keluhan
muskuloskeletal berupa faktor yang disebut health hazard di tempat kerja,
faktor-faktor tersebut antara lain terbagi faktor biologis, kimia, fisika,
ergonomis dan lingkungan. Adapun faktor ergonomik merupakan sebuah
faktor yang berkaitan dengan posisi kerja dari seorang pekerja ketika bekerja.
Beberapa faktor yang yang diyakini menyebabkan timbulnya keluhan adalah
adanya aktivitas fisik dapat memicu terjadinya terjadi keluhan
muskuloskeletal. Beberapa penyebab yang dapat menyebabkan keluhan
muskuloskeletal diantaranya postur kerja yang dinilai tidak alamiah (tidak
ergonomis), penggunaan tenaga yang berlebihan, suatu kegiatan dengan
pengulangan berkali-kali (repititive motion), dan postur kerja statik (static
posture), durasi bekerja yang lama, adanya sifat pekerja yang monoton, serta
penggunaan sarana dan prasana kerja yang tidak sesuai dengan prinsip
antropometri pekerja (Sutajaya, 2019).
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal.
Secara umum keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, dengan
penjelasan sebagai berikut (Sutajaya, 2018).
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada
saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut
akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat
menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa
sakit pada otot masih terus berlanjut (Sutajaya, 2018).

b. Keluhan Muskuloskeletan dalam Proses Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran keluhan muskuloskeletal seringkali terjadi


ketika proses pembelajaran berlangsung dengan posisi tubuh yang kurang
ergonomi. Nooryana (2020) menyatakan bahwa posisi yang tidak ergonomis
dapat mempengaruhi kejadian muskuloskeletal pada peserta didik. Peserta
didik memiliki resiko terkena gangguan muskuloskeletal sebagai akibat posisi
duduk yang monoton dan dalam jangka waktu yang relatif lama, kejadian ini
terjadi berulang-ulang sehari selama masa sekolah. Masa istirahat yang
diberikan di sela-sela pelajaran dirasakan kurang efektif dalam mengatasi
masalah keluhan muskuloskeletal (Pratama, 2020). Dengan adanya keluhan
muskuloskeletal yang dirasakan peserta didik akan menyebabkan
ketidaknyamanan dalam proses pembelajaran sehingga akan menurunkan
konsentrasi belajar yang akan berdampak pada hasil belajar peserta didik.
Aktivitas peserta didik disekolah sangat rentan terkena gangguan
muskuloskeletal hal ini dikarenakan segala aktivitas yang dilakukan peserta
didik, sebagian besar aktivitas yang melibatkan fisik. Keluhan
muskuloskeletal yang sering dirasakan oleh peserta didik yaitu sakit
punggung maupun pinggang serta asam urat karena duduk yang terlalu lama
dan tidak melakukan peregangan selama proses pembelajaran. Selain itu
keluhan muskuloskeletal dapat diakibatkan aktivitas fisik psikologis seperti
penggunaan sarana prasarana sekolah, masalah emosional, dan riwayat
keluhan muskuloskeletal lainnya. Kegiatan belajar yang sangat padat serta
monoton dapat menyebabkan bosan, disisi lain peserta didik dituntut untuk
bisa menguasi materi yang diberikan, dengan tekanan ini dapat memicu stres
pada peserta didik dan juga diiringi dengan sarana pembelajaran yang tidak
ergonomi akan menimbulkan keluhan muskuloskeletal. Sutajaya (2019)
menyatakan bahwa pada proses pembelajaran yang dilakukan di ruang kelas
umumnya didominasi oleh kontraksi otot statis karena peserta didik saat
mendengar, mencatat, melihat informasi di papan tulis atau layar OHP dan
mengemukakan pendapatnya cenderung tetap berada di tempat duduk.
Kondisi seperti ini menyertai peserta didik minimal dua jam dan jika
ditambah dengan sikap kerja yang tidak alamiah diduga kuat dapat bertindak
sebagai penyebab munculnya keluhan muskuloskeletal.

2.1.2 Stres Akademik


a. Pengertian Stres Akademik
Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya
disebut dengan stres akademik. Stres akademik adalah respons yang muncul
karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus dikerjakan peserta
didik. Kondisi stres disebabkan adanya tekanan untuk menunjukkan prestasi
dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik yang semakin meningkat
sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan tuntutan. Stres
akademik yang dialami peserta didik merupakan hasil persepsi yang subyektif
terhadap adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber
daya aktual yang dimiliki oleh peserta didik (Barseli,2020). Stres akademik
merupakan stres yang disebabkan oleh academic stresor. Academic stresor
adalah stres yang dialami peserta didik yang bersumber dari proses
pembelajaran atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar seperti:
tekanan untuk naik kelas, lama belajar, mencontek, banyak tugas, mendapat
nilai ulangan, keputusan menentukan jurusan atau karier serta kecemasan
ujian dan manajemen stres (Mufadal, dkk, 2017). Morgan, dkk (2019)
menyatakan bahwa ketika seseorang tidak mampu menangani tekanan dan
tuntutan yang ada maka orang tersebut akan mengalami cemas, stres dan pada
jangka waktu yang panjang akan memberikan dampak negatif bagi kesehatan
tubuh, karena adanya pikiran dan tubuh sangat kuat, apabila pikiran tertekan
maka tubuh akan menderita. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa
stres akademik adalah stres yang bersumber dari tuntutan lingkungan dan
tantangan dalam pendidikan. Suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi
ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang
dimiliki sehingga menimbulkan respon seperti cemas dan dampak lain bagi
kesehatan tubuh.
b. Jenis-jenis Stres Akademik
Ada dua jenis stres akademik yang sering dialami oleh peserta didik
dalam menghadapi tugas sekolah peserta didik yaitu eustres atau stres positif
dan distres atau stres negative. Kedua jenis stres akademik tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Distres (Stres negatif)
Jenis stres ini adalah jenis stres yang buruk (bad stress). Stres ini
berasal dari situasi-situasi yang penuh dengan tekanan yang terjadi
(dialami) secara terus menerus sehingga dapat menyebabkan mundurnya
kesehatan fisik seseorang. Apabila distres terjadi terus menerus maka
seseorang akan sakit, baik secara fisik ataupun mental. Distres merupakan
stres yang bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu
keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau
gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,
menyakitkan, atau timbul keinginan untuk menghindarinya.
2. Eustres (Stres positif)
Ini adalah jenis stres yang biasa disebut sebagai stres baik (good
stress). Disebut stres baik karena stres jenis ini dapat menyediakan
tantangan sehingga seseorang dapat termotivasi untuk mencapai tujuannya
dengan bekerja sebaik mungkin. Eustres ini tidak menyebabkan dampak
buruk baik secara fisik ataupun psikis, melainkan bersifat menyenangkan
dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustres dapat
meningkatkan kewaspadaan, koginisi, performansi individu dan juga dapat
meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.

c. Gejala-gejala Stres Akademik


Individu yang mengalami stres akademik akan menunjukkan gejala
sebagai berikut (Mufadal, 2017).
1. Gejala Emosional
Peserta didik yang mengalami stres akademik secara emosional
ditandai dengan gelisah atau cemas, sedih atau depresi karena tuntutan
akademik, dan merasa harga dirinya menurun atau merasa tidak
mampu untuk melaksanakan tuntutan dari pendidikan atau akademik.
2. Gejala Kognitif
Peserta didik yang mengalami stres akademik secra kognitif
ditandai dengan merasa sulit berkonsentrasi, takut gagal dalam tugas
atau ujian, kacau pikirannya, daya ingat menurun, suka melamun
berlebihan dalam kelas, kehilangan kepercayaan diri dan pikiran
hanya dipenuhi satu pikiran saja.
3. Gejala Fisik
Peserta didik yang mengalami stres akademik secara fisik ditandai
dengan sakit kepala, pusing, tidur tidak teratur, susah tidur, sakit
punggung, diare, lelah atau kehilangan energi untuk belajar.
4. Gejala Perilaku
Peserta didik yang mengalami stress akademik secara perilaku
ditandai dengan dahi berkerut, tindakan agresif, kecenderungan
menyendiri, ceroboh, menyalahkan orang lain, melamun, gelak tawa
gelisah bernada tinggi, berjalan mondar- mandir, dan perilaku sosial
yang berubah.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Akademik
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stres akademik yaitu faktor
internal dan faktor eksternal dengan penjelasan sebagai berikut (Barseli,
2017).
1. Faktor Internal
a. Pola Pikir
Individu yang berpikir tidak dapat mengendalikan situasi,
cenderung mengalami stres lebih besar. Semakin besar kendali bahwa
ia dapat melakukan sesuatu, semakin kecil kemungkinan stres yang
akan dialami peserta didik.
b. Kepribadian
Kepribadian seorang peserta didik dapat menentukan tingkat
toleransinya terhadap stres. Tingkat stres peserta didik yang optimis
biasanya lebih kecil dibandingkan peserta didik yang sifatnya pesimis.
c. Keyakinan
Keyakinan terhadap diri memainkan peranan penting dalam
menginterpretasikan situasi-situasi di sekitar individu. Penilaian yang
diyakini peserta didik dapat mengubah pola pikirnya terhadap suatu
hal bahkan dalam jangka panjang dapat membawa stres secara
psikologis.
2. Faktor Eksternal
a. Beban akademik
Kurikulum dalam sistem pendidikan standarnya semakin lebih
tinggi. Akibatnya persaingan semakin ketat, waktu belajar bertambah,
dan beban peserta didik semakin meningkat. Walaupun beberapa
alasan tersebut penting bagi perkembangan pendidikan dalam negara,
tetapi tidak dapat menutup mata bahwa hal tersebut menjadikan
tingkat stres yang dihadapi peserta didik meningkat.
b. Tekanan untuk berprestasi tinggi
Para peserta didik sangat ditekan untuk berprestasi dengan baik
dalam ujian-ujian mereka. Tekanan ini terutama datang dari orangtua,
keluarga, guru, tetangga, teman sebaya, dan diri sendiri.
c. Dorongan status social
Pendidikan selalu menjadi simbol status sosial. Orang-orang
dengan kualifikasi akademik tinggi akan dihormati masyarakat dan
yang tidak berpendidikan tinggi akan dipandang rendah. Peserta didik
yang berhasil secara akademik sangat disukai, dikenal, dan dipuji oleh
masyarakat. Sebaliknya, peserta didik yang tidak berprestasi di
sekolah disebut lambat, malas atau sulit. Mereka dianggap sebagai
pembuat masalah, cenderung ditolak oleh guru, dimarahi orangtua,
dan diabaikan teman-teman sebayanya.
d. Orang tua saling berlomba
Pada kalangan orangtua yang lebih terdidik dan kaya informasi,
persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan
dalam berbagai aspek juga lebih keras. Seiring dengan perkembangan
pusat-pusat pendidikan informal, berbagai macam program tambahan,
kelas seni rupa, musik, balet, dan drama yang juga menimbulkan
persaingan peserta didik terpandai, terpintar, dan serba bisa.
e. Dampak stres Akademik
Stres akademik ini memberikan dampak terhadap kehidupan
pribadi peserta didik baik secara fisik, psikologis, dan psikososial atau
tingkah laku. Selain itu, juga berpengaruh pada penyesuaian akademik.
Peserta didik yang mengalami stres akademik dalam kategori tinggi
dimungkinkan berani menentang dan berbicara di belakang guru, sering
membuat keributan di kelas, dan sering merasa pusing serta sakit perut. Selain
itu diperkirakan 10% sampai 30% remaja yang sangat cemas di sekolah
sangatlah mengganggu prestasi akademiknya. Dapat disimpulkan bahwa
tuntutan yang ada disekolah menjadikan sumber stres tersendiri bagi peserta
didik sehingga berdampak pada turunnya prestasi di sekolah, menjadikan
peserta didik lebih agresif, tingkah laku maladaptif dan berbagai masalah
dalam segi psikososial. Pendapat lain menyebutkan bahwa stres akademik ini
tidak selamanya memberikan dampak yang negatif, melainkan juga dapat
bermakna lebih positif apabila berbagai tuntutan yang ada dijadikan sebagai
tantangan tersendiri untuk mengatasinya. Adapun stres akademik yang di
respon dengan positif (eustress) justru dapat menjadi sebuah motivasi untuk
meningkatkan prestasi belajar.

2.1.3 Workplace Stretching Exercise


Peregangan otot merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot
(relaksasi), sehingga kelenturan (fleksibilitas) otot akan menjadi meningkat
dengan melakukan gerakan peregangan. Ketidakseimbangan mekanis pada
tubuh dapat terjadi karena kurangnya kelenturan pada pada tubuh.
Peregangan otot memiliki peran penting dalam kegiatan sehari-hari
khususnya pada peserta didik yang melakukan kerja otot statis dalam waktu
yang relatif lama, sehingga akan dapat menyebabkan keluhan pada otot
(Sutajaya, 2019).
Terdapat beberapa metode peregangan otot (stretching) yang dapat
dilakukan sebagai langkah untuk mencegah dan mengurangi keluhan
muskuloskeletal. Salah satu metode alternatifnya adalah dengan melakukan
Workplace Stretching Exercise (WSE) yang didesain dengan prinsip gerakan
stretching. Workplace Stretching-Exercise (WSE) merupakan bentuk latihan
yang didesain dengan prinsip gerakan stretching (peregangan otot).
Peregangan otot yaitu usaha untuk memperpanjang otot sehingga
mengakibatkan otot menjadi rileks dan lentur. Adapun tinjauan fisiologis
manfaat Workplace Stretching Exercise (WSE) secara umum yaitu
berdasarkan sifat kerja otot secara garis besar dibedakan menjadi dua,
antagonis dan sinergis. Sifat kerja otot sinergis adalah dua kelompok otot atau
lebih yang cara kerjanya selaras untuk menghasilkan suatu gerakan. Untuk
menghasilkan gerakan yang baik, satu kelompok otot tidak dapat bekerja
sendiri, namun harus bekerjasama dengan kumpulan otot yang lain. Sifat
kerja otot antagonis adalah dua kumpulan otot atau lebih yang cara kerjanya
berlawanan untuk menghasilkan suatu koordinasi gerak, artinya jika satu
kelompok otot berkontraksi, maka kelompok otot lain mengalami relaksasi.
(Hastuti, 2017).

2.1.4 Hasil Belajar


a. Pengertian Hasil Belajar

Penilaian merupakan serangkaian kegiatan yang sistematis dan


berkesinambungan untuk memperoleh data dan informasi tentang proses dan
hasil belajar peserta didik. Penilaian digunakan untuk mengumpulkan data
dan informasi tentang kekuatan dan kelemahan dalam proses pembelajaran
sehingga dapat dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan dan perbaikan
proses pembelajaran. Penilaian yang dimaksud dalam konten ini adalah
penilaian hasil belajar. Hasil belajar adalah hasil yang dicapai dari proses
belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan (Purwanto,2013).

Pembelajaran merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan


pembelajaran yang telah dirumuskan. Bagi guru untuk mengetahui
pembelajaran yang dilakukan telah berhasil dapat ditentukan dengan
meninjau dari segi proses dan hasilnya (Abdul, 2013). Hasil belajar
merupakan perubahan tingkah laku seseorang baik dari segi pengetahuan
ataupun sikap setelah melakukan proses pembelajaran baik secara formal
maupun nonformal. Rusmono (2017) menyatakan bahwa hasil belajar adalah
perubahan perilaku individu yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Perubahan perilaku tersebut diperoleh setelah peserta didik
menyelesaikan program pembelajarannya melalui interaksi dengan berbagai
sumber belajar dan lingkungan belajar.

b. Hasil Belajar Kognitif


Hasil belajar kognitif merupakan hasil belajar yang ada kaitanya
dengan ingatan, kemampuan berfikir atau intelektual. Pada ranah ini hasil
belajar terdiri dari tujuh tingkatan yang sifatnya hierarkis. Ketujuh hasil
belajar kognitif ini meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, evaluasi dan kreativitas (Deni, 2019). Ketujuh aspek atau jenjang
proses berfikir tersebut mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang
yang paling tinggi. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa tujuan aspek
kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan
intelektual yang lebih sederhana yaitu mengingat sampai pada kemampuan
memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan
menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari
untuk memecahkan masalah (Suhartono, 2018).

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar


Hasil belajar peserta didik dapat meningkat ataupun menurun dalam
setiap waktu, hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Hasil belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu berasal
dari dalam diri peserta didik (intern) dan faktor yang berasal dari luar peserta
didik (ekstern). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah
sebagai berikut (Saputra, 2018).
1. Faktor Internal
a. Faktor jasmaniah, terdiri dari faktor kesehatan dan cacat tubuh
b. Faktor psikologis, seperti: intelegensi, perhatian, minat, bakat,
motif, kematangan, dan kesiapan belajar.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor keluarga, seperti cara orang tua mendidik, relasi antara
anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi
keluarga.
b. Faktor sekolah, seperti metode mengajar, kurikulum, relasi antara
warga sekolah, disiplin sekolan, sarana pembelajaran, waktu
sekolah, standar pelajaran dan metode belajar.
c. Faktor masyarakat, seperti kegiatan peserta didik dalam
masyarakat, media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan
masyarakat.

2.1.5 Ergonomi
1. Pengertian Ergonomi
Ergonomi merupakan istilah dari bahasa Yunani yaitu ergon (kerja)
dan nomos (aturan). Definisi ergonomi merupakan teknologi, ilmu, dan seni
untuk menyerasikan alat, kemampuan pada lingkungan dan cara kerja,
kemampuan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan
lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan efisien sehingga tercapai
produktivitas kerja yang setinggi-tingginya. Ergonomi sangat di dalam suatu
kegiatan yang melibatkan manusia di dalamnya dengan memperhitungkan
kemampuan dan tuntutan tugas. Dampak negatif dari pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat ditekan dengan penerapan ergonomi, karena
dengan menerapkan ergonomi dapat menghindari dan menekan berbagai
penyakit akibat kerja, kesalahan unsur manusia, kecelakaan, ketidakpuasan
kerja, pencemaran dan keracunan (Sutajaya, 2018).
2. Manfaat Ergonomi dalam Pembelajaran
Pemanfaatan prinsip-prinsip ergonomi dalam mendesain suatu prosuk
membuat produk tersebut menjadi lebih sesuai dengan pemakai (user
friendly), memuaskan, nyaman, dan aman. Banyak sekolah yang belum
menerapkan prinsip-prinsip ergonomi secara optimal dalam mendesain ruang
belajar dengan sarana pendukungnya. Misalnya penempatan papan tulis,
penggunaan lampu penerang, pembuatan tulisan pada power point,
penampilan tulisan pada LCD, ukuran tempat duduk, meja belajar, dan lai-
lain (Sutajaya, 2013).
Peserta didik merupakan insan yang mempunyai kemampuan dan
keterbatasan tertentu yang dapat dijadikan sebagai parameter fisiologis yang
berkaitan dengan faktor psikologis seperti malas, bosan, emosi, konsentrasi,
dan kemampuan otot. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu diterapkan
prinsip-prinsip ergonomi dalam proses pembelajaran untuk meminimalkan
kelelahan, keluhan muskuloskeletal, dan kebosanan sehingga kualitas proses
pembelajaran dapat ditingkantkan (Sutajaya, 2019).

2.1.6 Deskripsi SMA Negeri Bali Mandara


a. Sejarah SMA Negeri Bali Mandara

SMA Negeri Bali Mandara (SMANBARA) merupakan suatu lembaga


pendidikan yang letaknya di Jalan Raya Air Sanih, Kecamatan
Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. SMAN Bali Mandara adalah sekolah
berasrama yang didirikan pada tanggal 8 April 2011 berdasarkan Keputusan
Gubernur Bali No. 608/03-A/HK/2011. Sekolah ini khusus memberikan akses
kepada peserta didik dari keluarga yang tidak mampu. Terdapat kesepakatan
bersama Pemerintah Provinsi Bali dengan Putera Sampoerna Foundation No.
075/11/KB/B.PEM/2009 dan No. 2420/PSF/10/09 berdasarkan surat tersebut,
Putera Sampoerna Foundation menyiapkan biaya operasional sekolah,
sedangkan Pemerintah Provinsi Bali menyiapkan biaya pembangunan fisik.
Pemerintah Provinsi Bali berkewajiban dalam menyiapkan lahan sekolah,
fasilitas pendukung serta bangunan sementara Putera Sampoerna Foundation
berkewajiban dalam menyiapkan biaya operasional sekolah seperti buku-
buku, biaya makan dan minum, pakaian seragam peserta didik, alat-alat
laboratorium, biaya kegiatan non akademik dan gaji guru serta pegawai. SMA
Negeri Bali Mandara memiliki kelengkapan pada sarana belajar mengajar.
Peserta didik di SMA Negeri Bali Mandara memiliki kelengkapan pada
sarana belajar mengajar. Peserta didik di SMA Negeri Bali Mandara tinggal
di asrama yang disediakan. I Nyoman Darta merupakan kepala sekolah yang
profesional dan kompeten dalam memimpin sekolah, dan adanya proses
seleksi yang sangat ketat untuk memilih tenaga pengajar terbaik, baik guru
berstatus pegawai negeri ataupun honorer. SMA Negeri Bali Mandara
merupakan sekolah bersama yang memiliki akses pendidikan internasional
bagi peserta didik yang kurang mampu dalam segi ekonomi tetapi memiliki
prestasi di bidang pendidikan dengan baik. Sekolah ini memiliki program
berbeda dalam mengembangkan kedalaman intelektual, meningkatkan
berpikir tinggkat tinggi serta meningkatkan kreativitas produktif dalam
menyiapkan peserta didik yang bertanggung jawab untuk kepemimpinan serta
pelayanan bagi masyarakat dan negara. Peserta didik yang diterima di sekolah
berdasarkan prestasi serta kurang mampu dari segi ekonomi. SMA Negeri
Bali Mandara mengkombinasikan kurikulum International General
Certificate of Secondary Education (IGCSE) dari Universitas Cambridge
serta Standar Nasional Pendidikan secara bersama agar dapat diarahkan
sebagai sekolah yang bertaraf internasional untuk mempersiapkan peserta
didik yang berkualitas serta mampu bersaing secara global.
b. Karakteristik Pendidikan di SMA Negeri Bali Mandara

Pelaksanaan penerimaan peserta didik baru di SMA Negeri Bali


Mandara terdapat tiga tahapan yang mesti dilalui oleh calon peserta didik
baru yaitu tahap paper based, tahap home visit dan tahap bootcamp. Pada
tahap paper based komite SMA Negeri Bali Mandara mempelajari terkait
setiap formulir yang diterima dan melakukan penilaian terhadap beberapa hal
pada calon peserta didik baru seperti nilai akademik, karangan singkat,
pernyataan pribadi, kondisi ekonomi dan keunikan peserta didik. Dilanjutkan
dengan tahap home visit, dimana dalam tahap ini tim PPDB melakukan
kunjungan ke rumah calon peserta didik untuk melakukan visitasi yang
meliputi beberapa hal seperti kondisi rumah, aset dan pola hidup dengan
mempergunakan instrumen kemiskinan yang telah disiapkan oleh tim PPDB.
Tahap yang terakhir yaitu Bootcamp, pada tahap ini calon peserta didik ke
SMA Negeri Bali Mandara untuk mengikuti wawancara terkait kesiapan
calon peserta didik dalam tinggal di asrama, kegiatan bootcamp dilaksanakan
selama tiga hari dua malam.

Guru atau tenaga pendidik di SMA Negeri Bali Mandara direkrut


melalui CAT untuk PNS, interview untuk tenaga kontrak. Mengenai terkait
mewujudkan visi sekolah “Menciptakan Pemimpin Masa Depan” maka dalam
bidang akademik kurikulum SMA Negeri Bali Mandara menerapkan TOEFL
dan JLLPT dengan tetap berlandaskan budaya Bali. Beban belajar
menerapkan sistem SKS (Sistem Kredit Semester) sehingga peserta didik
dapat menyelesaikan pendidikannya dalam 2 tahun, 3 tahun atau 4 tahun
tergantung dari bakat, minat dan kecerdasannya. Pada bidang nonakademik di
SMA Negeri menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler, leadership,
enterprenerhip, lifelong learning, outreach, kesemaptaan, pendidikan
berbasis kesadaran dan riset based school.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan


Adapun penelitian yang relevan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Khairul, et al. (2019) melaporkan bahwa hasil menunjukkan adanya
penurunan tingkat stres akademik sebelum dan sesudah diberikannya
perlakuan senam zumba sebesar 40,1%.
2. Zulis, et al. (2020) melaporkan bahwa pemberian terapi relaksasi otot
progresif dapat menurunkan tingkat stres pada mahasiswa tingkat
akhir sebesear 34,1%.
3. Dewi, et al. (2018) melaporkan bahwa pemberian latihan peregangan
di tempat kerja dan modifikasi kondisi kerja dapat menurunkan
keluhan muskuloskeletal sebesar pada pekerja pengaduk dodol
18,3%.
4. Ferdyastari, et al. (2018) melaporkan bahwa hasil penelitian
menunjukkan workstation improvement dan pemberian stretching
dapat
mengurangi keluhan muskuloskeletal terjadi penurunan sebesar
21,61%.
5. Harwanti (2017) melaporkan bahwa pemberian WSE menurunkan
keluhan muskuloskeletal pada pekerja batik sebesar 17,6%.
6. Hastuti (2017) melaporkan bahwa pemberian workplace stretching
exercise berpengaruh menurunkan kebosanan belajar dan kelelahan
belajar pada mahasiswa Poltekkes Surakarta.
7. Wijana, et al. (2009) melaporkan bahwa pembelajaran inovatif
berorientasi ergonomis menurunkan kebosanan siswa sebesar 30,25%
dan meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 27,91%.

2.3 Kerangka Berpikir

Tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan maksimal


apabila dibarengi dengan proses pembelajaran yang baik. Dalam proses
pembelajaran tentunya ada banyak faktor yang mendukung mulai dari peserta
didik, tenaga pendidik, model pembelajaran, media pembelajaran, dan yang
lainnya. Jika semua faktor yang berperan dapat dijalankan dengan baik maka
akan terbentuk proses pembelajaran yang efektif. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa akan ada beberapa kendala yang mungkin berpengaruh
terhadap jalannya proses pembelajaran, peserta didik tentunya cenderung lebih
bersemangat dan antusias jika proses pembelajaran dilaksanakan secara
menyenangkan, dinamis, dan tidak menegangkan dibandingkan dengan proses
pembelajaran yang statis serta monoton. Disamping hal tersebut peserta didik
yang masih tergolong dalam masa remaja memiliki kondisi emosi yang masih
labil, tanpa disadari bahwa sekolah ataupun proses pembelajaran turut
berperan terhadap kondisi psikologis peserta didik. Penerapan prinsip
ergonomi ternyata penting diterapkan di sekolah untuk mendukung kelancaran
dan keefektifan proses pembelajaran, jika ditinjau dari pembelajaran yang
cenderung statis dan monoton , kondisi ruang kelas yang kurang ergonomis,
tekanan atau tuntutan yang harus dipenuhi, maka dapat diyakini hal tersebut
akan menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal dan stres akademik
pada peserta didik. Dengan demikian hal tersebut tidak dapat diabaikan begitu
saja, karena kondisi kesehatan baik fisik maupun psikologis dari peserta didik
akan berdampak besar terhadap hasil belajar peserta didik tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang relevan dapat diketahui bahwa


terdapat hubungan yang signifikan antara workplace stretching exercise
terhadap penurunan keluhan muskuloskeletal dan stres akademik. Olahraga
atau aktivitas fisik merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
terhindar dari masalah kesehatan baik fisik maupun psikis, oleh karena itu
dalam proses pembelajaran hendaknya diselipkan aktivitas fisik sebagai
bentuk peregangan otot dengan gerakan yang simpel dan variatif. Penelitian
menunjukkan bahwa pemberian peregangan otot seperti workplace stretching
exercise berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, adanya kontraksi dinamis
otot-otot saat melakukan workplace stretching exercise yang dapat
memperbanyak pasokan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan dalam proses
metabolisme, di samping itu pemberian aktivitas fisik juga dapat membantu
tubuh lebih kebal terhadap pengaruh stres, membantu menghadapi stres fisik
serta emosional dengan lebih baik. Sehingga dengan diberikannya workplace
stretching exercise sebagai bentuk aktivitas fisik saat pembelajaran dapat
mengurangi keluhan muskuloskeletal dan juga efektif dalam menurunkan stres
akademik peserta didik, jika kondisi peserta didik sudah rileks, suasana belajar
menjadi nyaman maka hal tersebut dapat meningkatkan motivasi dan
perhatian peserta didik pada saat proses pembelajaran, sehingga dengan hal
tersebut tujuan pembelajaran akan dicapai dengan baik dan hasil belajar
peserta didik menjadi meningkat.

Berdasarkan beberapa permasalahan yang ditemukan pada proses


pembelajaran di dalam kelas, maka tenaga pendidik atau guru perlu
memperhatikan kondisi dan suasana belajar. Kondisi dan suasana belajar yang
tidak kondusif dan bersifat monoton dapat menyebabkan peserta didik
mengalami gangguan dan ketidaknyamanan seperti keluhan muskuloskeletal
dan munculnya stres akademik. Keluhan muskuloskeletal dapat terjadi karena
sarana dan prasarana yang tidak mengacu aspek ergonomis, selain itu aktivitas
peserta didik yang duduk dalam waktu relatif lama dalam kondisi otot statis
merupakan penyebab utama munculnya keluhan muskuloskeletal. Salah satu
upaya alternatif yang dapat dilakukan untuk menurunkan keluhan
muskuloskeletal dan stres akademik dengan pemberian workplace stretching
exercise di sela-sela pembelajaran sehingga akan berdampak positif terhadap
peningkatan hasil belajar peserta didik. Melalui pendekatan ergonomi
diharapkan dapat menurunkan keluhan muskuloskkeletal dan stres akademik
di SMA Negeri Bali Mandara, penerapan ergonomi dapat mengupayakan agar
siswa selalu dalam kondisi yang sehat dan terbebas dari kondisi stres dalam
pembelajaran. Jika hal ini diabaikan maka kesehatan fisik dan psikologis
peserta didik akan terganggu serta dapat menurunkan hasil belajar peserta
didik. Keluhan muskuloskeletal dan stres akademik juga dipengaruhi oleh
karakter peserta didik (umur, jenis kelamin dan kesehatan), instrumen (meja
dan kursi), dan lingkungan (suhu, kelembaban relatif, intensitas pencahayaan,
sirkulasi udara dan kebisingan).

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, dapat dibuat bagan kerangka


berpikir sebagai berikut.

Instrumental input :
a. Meja belajar
b. Tempat duduk
Raw input :
Karakteristik peserta
didik
Process : Output :
a. Umur
b. Berat badan Menerapkan 1. Keluhan
c. Tinggi badan Workplace Stretching muskuloskeletal
d. Jenis kelamin
Exercise dalam 2. Stres akademik
e. Kesehatan
pembelajaran 3. Hasil belajar
f. IMT
g. Antropometri peserta
didik

Enviromental input :
a. Suhu
b. Kelembaban
c. Intensitas Cahaya
d. Kebisingan
e. Sirkulasi udara

Keterangan :

: Diteliti

: Dikontrol

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berpikir, maka hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut.
1. Penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan keluhan
muskuloskeletal peserta didik.
2. Penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan tingkat
stress akademik peserta didik
3. Penurunan keluhan muskuloskeletal akibat penerapan workplace
stretching exercise berkontribusi terhadap hasil belajar kognitif
peserta didik.
4. Penurunan stres akademik akibat penerapan workplace stretching
exercise berkontribusi terhadap hasil belajar kognitif peserta didik.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri Bali Mandara yang
berlokasi di Jalan Raya Air Sanih, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten
Buleleng. Penelitian ini berlangsung dari proposal sampai dengan penyusunan
skripsi yaitu bulan Januari s.d. Mei 2022.

3.2 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental semu (quasi
experimental) dengan rancangan randomized pre and post test group design
(treatment by subject design) dan bagannya dapat dilihat seperti Gambar 3.1.

P---Rs---S---O1---(PI)---O2---WOP/Adaptasi--O3---(PII)---O4

Gambar 3.1 Bagan Rancangan Penelitian

Keterangan:
P : Populasi
Rs : Random sampling
S : Sampel
O1 & O3 : Pendataan sebelum pembelajaran
O2 & O4 : Pendataan setelah pembelajaran
WOP : Washing Out Periods/Adaptasi yang dilakukan
selama 3 hari
(PI) : Perlakuan tanpa Workplace Stretching Exercise
pada Periode I
(PII) : Perlakuan berupa Workplace Stretching Exercise
pada Periode II
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Target


Populasi target pada penelitian ini adalah semua peserta didik SMA
Negeri Bali Mandara.

3.3.2 Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua peserta didik
kelas X MIPA yang berada di SMA Negeri Bali Mandara dengan jumlah 81
orang.

3.3.3 Kriteria Sampel


Untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh karakteristik
subjek dibuat kriteria untuk membatasi jumlah subjek yang bisa dilibatkan
dalam penelitian ini.
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah sebagai berikut.
a. Bersedia sebagai subjek penelitian.
b. Tidak mengalami gangguan otot dan tulang.
c. Tidak memiliki cacat tubuh.
2. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi yang ditetapkan adalah sebagai berikut.
a. Peserta didik yang dibelajarkan di kelas yang tidak
memungkinkan untuk melakukan workplace stretching exercise.
3. Kriteria Drop Out
Kriteria drop out yang ditetapkan adalah sebagai berikut.
a. Tidak hadir saat penelitian.
b. Tidak kooperatif saat penelitian.
c. Sedang melakukan kegiatan lain saat penelitian.

3.3.4 Besar Sampel


Jumlah sampel yang dilibatkan pada penelitian ini adalah 26 peserta
didik yang ditentukan berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Colton
(Colton,T.,2007) sebagai berikut.

( )
( Zα + Zβ ) . SD 2
μ 1−μ 2
x f (a . β)

Keterangan:
µ1 : rerata sebelum (data hasil pendahuluan)
µ2 : rerata sesudah (prediksi perubahan 20% dari µ1)
SD : standar deviasi atau simpang baku dari µ1
Zα : 1,64 (taraf signifikasnsi 5%)
Zβ : 1,282 (power of test minimal 90%)
f(α, β) : α = 0,05 dan β = 90% → 13
Perhitungan keluhan muskuloskeletal

µ1 : 33,09

µ2 : 33,09 – 6,62 = 26,47

SD : 2,927

( )
( Zα + Zβ ) . SD 2
μ 1−μ 2
x f (a . β)

( ( 1,64+1,282 ) .2,927 2
33,09−26,47
x 13)
( 2,922 .2,927 2
6,62 )
x 13

( )
2
8,55
x 13
6,62

(1,30)2 x 13 = 1,69 x 13 = 21,97

Perhitungan stres akademik

µ1 : 63,85
µ2 : 63,85 – 12,77 = 51,08

SD : 2,287

( )
( Zα + Zβ ) . SD 2
μ 1−μ 2
x f (a . β)

( ( 1,64+1,282 ) .2,287 2
63,85−51,08 )
x 13

( ( 1,64+1,282 ) .2,287 2
63,85−51,08 )
x 13

( 2,922 .2,287 2
12,77 )
x 13

( 6,68 2
12,77 )x 13

(0,52)2 x 13 = 0,27 x 13 = 3,52

Perhitungan hasil belajar

µ1 : 70,74

µ2 : 70,74 + 14,15 = 84,89

SD: 3,152

( )
( Zα + Zβ ) . SD 2
μ 1−μ 2
x f (a . β)

( ( 1,64+1,282 ) .3,152 2
70,74−84,89 )
x 13

( ( 1,64+1,282 ) .3,152 2
70,74−84,89 )
x 13

( 2,922 .3,152 2
−14,15 )
x 13
( )
2
9,21
x 13
−14,15

(-0,65)2 x 13 = 0,42 x 13 = 5,46

Hasil perhitungan jumlah sampel dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Perhitungan Jumlah Sampel

Variabel µ1 µ2 SB n

Keluhan 33,09 26,47 2,927 21,97


Muskuloskeletal

Stres Akademik 63,85 51,08 2,287 3,52

Hasil Belajar 70,74 84,89 3,152 5,46

Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sampel pada Tabel 3.1 dapat


diketahui bahwa sampel minimal yang dilibatkan adalah 22 peserta didik.
Akan tetapi pada penelitian ini digunakan 26 orang peserta didik karena
menggunakan keseluruhan populasi peserta didik dalam satu kelas yang
digunakan sebagai subjek penelitian.

3.3.5 Teknik Pemilihan Sampel


Jumlah sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 1
(satu) kelas yang dipilih dengan teknik pengambilan sampel multistage
random sampling. Teknik penentuan besar sampel adalah sebagai berikut.
1. Dari tiga tingkatan kelas yaitu kelas X, kelas XI, dan kelas XII dipilih
satu tingkatan kelas secara acak sederhana dengan cara undian yang
terpilih adalah kelas X.
2. Mengacu kepada jumlah populasi terjangkau sebanyak 81 peserta
didik yang tersebar di tiga kelas X MIPA yang ada di SMA Negeri
Bali Mandara dibuat daftar nama peserta didik.
3. Kemudian ketiga kelas dirandom sehingga diperoleh satu kelas yaitu
X MIPA 1 yang dijadikan sampel penelitian dengan jumlah 26 orang.
3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Hubungan antar Variabel


Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu penerapan workplace
stretching exercise.
b. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu keluhan muskuloskeletal
dan stres akademik peserta didik.
c. Variabel kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini yaitu kondisi subjek (umur,
berat badan, dan tinggi badan) dan kondisi lingkungan di tempat
belajar (suhu, kelembaban relatif, intensitas pencahayaan,
kecepatan angin, dan kebisingan).
Berdasarkan variabel tersebut, dapat dibuat bagan hubungannya dan

Variabel bebas : Variabel terikat:


Workplace Stretching Keluhan Muskuloskeletal
Exercise Stres Akademik peserta didik
Hasil belajar peserta didik

Variabel kontrol:
Kondisi subjek (umur, berat badan, dan tinggi badan)
Kondisi lingkungan di tempat kerja (suhu, kelembaban relatif,
intensitas pencahayaan, kecepatan angin, dan kebisingan)

dapat dilihat pada Gambar 3.2


Gambar 3.2 Bagan Hubungan Antar Variabel Penelitian

3.4.2 Definisi Operasional Variabel


Untuk menghindari terjadinya penyalahtafsiran terhadap variabel yang
diteliti, diuraikan definisi operasional sebagai berikut.
1. Keluhan muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan sekelompok kondisi patologis
dimana dapat mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem
muskuloskeletal yang mencakup sistem saraf, tendon, otot dan
struktur penunjang bagian tubuh. Untuk mendata keluhan
muskuloskeletal digunakan kuesioner Nordic Body Map dengan 4
Skala Likert yang pada dasarnya dibuat dengan ketentuan kelompok
otot yang ada pada organ tersebut. Pendataan keluhan muskuloskeletal
dilakukan di awal (sesaat sebelum peserta didik mengikuti
pembelajaran) pada pukul 07.00 s.d. 07.30 WITA dan diakhir
pembelajaran pada pukul 13.00 WITA. Pendataan keluhan
muskuloskeletal dilakukan dua kali dalam proses pembelajaran. Jadi,
pendataan keluhan muskuloskeletal dilakukan sebanyak 12 kali
selama 6 hari pengambilan data. Adapun kategori rasa sakit
berdasarkan skor yang diperoleh untuk tiap-tiap subjek adalah sebagai
berikut.
a. Skor 28 kategorinya tidak sakit
b. Skor 29 s.d. 57 kategorinya sedang
c. Skor 58 s.d. 86 kategorinya berat
d. Skor 87 ke atas kategorinya sangat berat
2. Stres Akademik
Stres akademik merupakan persepsi seseorang terhadap kemampuan
yang dimiliki untuk menghadapi tuntutan atau tugas yang harus
dikerjakan dan bagaimana reaksi fisik, emosi, perilaku dan kognitif
terhadap stressor tersebut. Tingkat stres akademik dapat didata
melalui kuesioner stres akademik yang sudah valid dan reliabel,
kuesioner ini merupakan hasil adaptasi dan modifikasi dari alat ukur
skala Depression Anxiety and Stress Scale 42 (DASS 42). Skala stres
akademik mencakup tiga aspek yaitu emosi, fisik dan perilaku. Skala
yang digunakan adalah skala likert dengan rentang pilihan jawaban :
Tidak pernah, Kadang-kadang, Sering dan selalu. Pendataan stres
akademik dilakukan di awal (sesaat sebelum peserta didik mengikuti
pembelajaran) pada pukul 07.00 s.d. 07.30 WITA dan diakhir
pembelajaran pada pukul 13.00 WITA. Pendataan stres akademik
dilakukan dua kali dalam proses pembelajaran. Jadi, pendataan stres
akademik dilakukan sebanyak 12 kali selama 6 hari pengambilan data.
Adapun kategori penilaian tingkat stres akademik berdasarkan skor
yang diperoleh tiap-tiap subjek adalah sebagai berikut.
a. Skor 25 kategorinya normal
b. Skor 26 s.d. 35 kategorinya stres ringan
c. Skor 36 s.d. 55 kategorinya stres sedang
d. Skor 56 s.d. 75 kategorinya stres berat
e. Skor ≥ 75 kategorinya stres sangat berat
3. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik
meliputi faktor kognitif setelah mengkuti proses pembelajaran biologi
yang didata dengan menggunakan instrumen tes objektif materi
perubahan lingkungan sebanyak 10 butir soal setiap periodenya
dengan rentang nilai 0 s.d. 100 dengan nilai KKM yaitu sebesar 76,00
sehingga diperoleh data berskala rasio. Pendataan hasil belajar
dilaksanakan sesudah kegiatan pembelajaran.
4. Workplace Stretching Exercise (WSE)
Workplace Stretching Exercise (WSE) merupakan bentuk latihan yang
didesain dengan prinsip gerakan stretching (peregangan otot).
Peregangan otot yaitu usaha untuk memperpanjang otot sehingga
mengakibatkan otot menjadi rileks dan lentur. Workplace Stretching
Exercise merupakan stretching yang dilakukan ditempat kerja dimana
pada peserta didik dilakukan di dalam kelas di sela pembelajaran.
Gerakan stretching yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
gerakan peregangan yang sudah valid dan reliabel serta sudah
digunakan pada penelitian workplace stretching exercise sebelumnya.
Adapun perbedaan gerakan workplace stretching exercise dengan
gerakan peregangan pada umumnya yaitu pada workplace stretching
exercise peregangan hanya dilakukan di masing-masing tempat belajar
peserta didik (workplace). Gerakan workplace stretching exercise
dilakukan sebanyak dua kali dalam proses pembelajaran. Pemberian
workplace stretching exercise dilakukan sebanyak 6 (enam) kali pada
Periode II yaitu pada hari Rabu, Kamis dan Jumat.
Beberapa gerakan Workplace Stretching Exercise yang dilakukan
oleh peserta didik untuk menurunkan keluhan muskuloskeletal dan
stres akademik adalah sebagai berikut (Dendy, 2020).
A. Peregangan otot leher, gerakan peregangan ini terdiri dari beberapa
gerakan sebagai berikut.
1. Perlahan menundukkan kepala, dan biarkan berak kepala bertumpu
pada leher. Lakukan dengan hitungan 8 s.d. 10 detik diulangi
sebanyak dua kali.
2. Perlahan menolehkan atau memutarkan kepala ke arah kanan dan
kiri hingga batas maksimal. Lakukan dengan hitungan 8 s.d. 10
detik diulangi sebanyak dua kali.
3. Perlahan miringkan kepala ke arah kanan dan kiri, biarkan bahu
dalam kondisi rileks. Lakukan dengan hitungan 8 s.d. 10 detik
diulangi sebanyak dua kali.
B. Peregangan otot pinggang dan perut, gerakan peregangan ini terdiri
dari beberapa gerakan sebagai berikut.
1. Meletakkan tangan dipinggang, memutar badan ke arah samping
kanan dan ke arah samping kiri. Lakukan dengan hitungan 8-10
detik diulangi sebanyak dua kali.
2. Mencondongkan badan ke samping kanan dan ke samping kiri.
Lakukan dengan hitungan 8 s.d. 10 detik diulangi sebanyak dua
kali.
C. Peregangan otot lengan dan tangan, gerakan peregangan ini terdiri
dari beberapa gerakan sebagai berikut.
1. Menekuk tangan kiri menyamping ke kanan dan ditahan
menggunakan tangan kiri. Lakukan dengan hitungan 8 s.d 10 detik
duilangi sebanyak dua kali. Lakukan pada tangan sebaliknya.
2. Menekuk telapak tangan ke atas dan ke bawah. Lakukan dengan
hitungan 8 s.d. 10 detik diulangi sebanyak dua kali.
3. Meregangkan kedua tangan ke depan dan menekuk kedua telapak
tangan ke depan. Lakukan dengan hitungan 8 s.d.10 detik diulangi
sebanyak dua kali.
4. Menekuk tangan kanan ke belakang kepala dan ditahan
menggunakan tangan kiri. Lakukan dengan hitungan 8 s.d.10 detik
diulangi sebanyak dua kali. Lakukan sebaliknya pada tangan kiri.
D. Peregangan otot punggung, gerakan peregangan ini terdiri dari
beberapa gerakan sebagai berikut.
1. Posisi berdiri, letakan kedua telapak tangan di bagian pinggang,
condongkan punggung ke arah depan. Lakukan dengan hitungan 8
s.d.10 detik diulangi sebanyak dua kali.
E. Peregangan otot bahu, gerakan peregangan ini terdiri dari beberapa
gerakan sebagai berikut.
1. Menarik kedua bahu ke atas ke bagian telinga. Lakukan dengan
hitungan 8 s.d. 10 detik diulangi sebanyak dua kali.
5. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan merupakan kondisi yang berpengaruh terhadap
kondisi peserta didik yang terdiri atas suhu, kelembaban relatif,
intensitas pencahayaan, kebisingan, dan kecepatan angin.

3.5 Instrumen Penelitian


Dalam proses pendataan digunakan alat ukur atau instrumen penelitian
sebagai berikut.
1. Kuesioner Nordic Body Map yang sudah valid dan reliabel,
digunakan untuk mendata keluhan muskuloskeletal peserta didik.
2. Kuesioner Stres Akademik yang sudah valid dan reliabel,
digunakan untuk mendata tingkat stres akademik peserta didik.
3. Daftar isian biodata untuk mendata riwayat hidup subjek.
4. Tes objektif yang sudah valid dan reliabel digunakan untuk
mendata hasil belajar peserta didik.
5. Aplikasi Accu Weather untuk mengukur suhu dan kelembaban
relatif di ruang kelas
6. Meteran logam merek Essen untuk mengukur meja dan kursi serta
antropometri peserta didik.
7. Light meter merek Krisbow KW08-291 Buatan Negara Indonesia
untuk mengukur intensitas pencahayaan di ruang kelas.
8. Sound level meter merek Krisbow KW08-291 buatan Negara
Indonesia untuk mengukur kebisingan di ruang kelas.
9. Anemometer merek Lutron AM-4201 buatan Taiwan untuk
mengukur sirkulasi udara di ruang kelas.

3.6 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian ini terdiri atas dua tahapan yaitu tahap persiapan
dan tahap pelaksanaan.

3.6.1 Tahap Persiapan


Persiapan yang dilakukan sebelum proses penelitian adalah sebagai
berikut.
a. Menentukan lokasi penelitian yaitu di SMA Negeri Bali Mandara.
b. Mengurus perijinan dan administrasi yang digunakan untuk
mendukung proses penelitian.
c. Mempersiapkan alat dan formulir pencatatan data.
3.6.2 Tahap Pelaksanaan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan
penelitian adalah sebagai berikut.
a. Dilakukan pendataan terhadap kondisi subjek untuk mengetahui
umur, berat badan, tinggi badan, kesehatan dengan cara wawancara
dengan peserta didik.
b. Dilakukan pendataan terhadap kondisi lingkungan kerja yang
dilakukan di lima titik yaitu setiap pojok ruang kerja dan bagian
sentral. Pengukuran tersebut meliputi: suhu, kelembaban relatif,
intensitas pencahayaan, kebisingan dan kecepatan angin
lingkungan di ruang kelas.
c. Dilakukan pengumpulan data sebelum dan sesudah perlakuan
dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Keluhan muskuloskeletal yang didata dengan kuesioner Nordic
Body Map, dilakukan sebelum dan sesudah belajar dengan cara
memberi tanda silang (X) pada jawaban yang tersedia.
2. Stres akademik yang didata dengan kuesioner stres akademik,
dilakukan sebelum dan sesudah belajar dengan cara memberi
tanda silang (X) pada jawaban yang tersedia.
d. Dilakukan perlakuan dengan pemberian workplace stretching
exercise yang diberikan sebelum dan sesudah pembelejaran pada
periode II Selama 5 menit yang akan dilakukan oleh peserta didik
disela-sela proses pembelajaran.
e. Hasil belajar didata dengan pemberian tes objektif di akhir
pembelajaran.

3.6.3 Protokol Penelitian


Adapun protokol yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Protokol untuk subjek
a. Subjek harus tiba pada tempat penelitian sebelum
pembelajaran dimulai.
b. Subjek menerima penjelasan tentang tata cara pengisian
kuesioner.
c. Pendataan pada Periode I dilakukan hari Rabu s.d Jumat
(tanggal 20 s.d 22 April 2022). Pada pukul 07.30 WITA
peserta didik melakukan pengisian kuesioner keluhan
muskuloskeletal dan stres akadmik sebelum memulai kegiatan
pembelajaran tanpa disertai workplace stretching exercise.
Pada pukul 13.00 WITA peserta didik kembali mengisi
kuesioner keluhan muskuloskeletal dan stres akademik di akhir
kegiatan pembelajaran. Sedangkan pengkuran hasil belajar
dilakuan pada hari ketiga (Jumat) pada mata pelajaran Biologi
dengan menjawab tes yang sudah disediakan sesuai materi
pembelajaran yang sedang dibahas.
d. Hari Sabtu s.d. Senin (tanggal 23 s.d. 25 April 2022) peserta
didik diberikan Washing out periods atau adaptasi.
e. Pendataan Periode II dilakukan pada hari Selasa s.d Kamis
(tanggal 26 s.d. 28 April 2022). Pada pukul 07.30 WITA
subjek melakukan pengisian kuesioner keluhan
muskuloskeletal dan stres akademik sebelum memulai kegiatan
pembelajaran. Setelah 3 jam pelajaran (3 x 30 menit) pada
pukul 09.30 WITA peserta didik melakukan gerakan
workplace stretching exercise yang diarahkan oleh peneliti
kurang lebih selama 5 menit dengan dua kali pengulangan
gerakan. Setelah selesai melakukan workplace stretching
exercise peserta didik kembali melanjutkan kegiatan
pembelajaran. Pemberian workplace stretching exercise yang
kedua dilakukan pada pukul 11.30 WITA yang diarahkan oleh
peneliti. Selanjutnya pada pukul 13.00 peserta didik kembali
mengisi kuesioner keluhan muskuloskeletal dan stres akademik
di akhir kegiatan pembelajaran. Sedangkan pengukuran hasil
belajar dilakuan pada hari ketiga (Kamis) pada mata pelajaran
Biologi dengan menjawab tes yang sudah disediakan sesuai
materi pembelajaran yang sedang dibahas.
2. Protokol untuk surveyor
a. Peneliti memberikan panduan terkait pengisian kuesioner
keluhan muskuloskeletal dan stres akademik sebelum peserta
didik memulai pembelajaran.
b. Peneliti membagikan kuesioner keluhan muskuloskeletal dan
stres akademik sebelum dan setelah pembelajaran
c. Melakukan pengukuran kondisi lingkungan setiap sebelum dan
setelah pembelajaran.

3.7 Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan cara sebagai
berikut.
3.7.1 Uji Deskriptif
1. Data kondisi subjek dianalisis secara deskriptif dengan mencari
rerata dan simpang baku atau standar deviasinya.
2. Data antropometri peserta didik dianalisis dengan uji persentil
5,50 dan 95.
3. Data keluhan muskuloskeletal, stres akademik, hasil belajar, dan
kondisi lingkungan (suhu, kelembaban relatif, intensitas cahaya,
sirkulasi udara, dan kebisingan) dianalisis dengan uji deskriptif
dengan mencari rerata dam simpang baku atau standar deviasinya.

3.7.2 Uji Asumsi


Uji normalitas terhadap data keluhan muskuloskseletal dan stres
akademik dengan uji Kolmogorof-Smirnov SPSS 25 for Windows.
Kriteria pengujian data menggunakan taraf signifikansi 5% dengan
ketentuan jikan nilai p< 0,05 berarti data tidak berdistribusi normal
dan sebaliknya jika nilai p> 0,05 berarti data berdistribusi normal
sehingga dapat dilanjutkan dengan uji t paired pada signifikansi 5%.

3.7.3 Uji Hipotesis


Uji hipotesis terhadap keluhan muskuloskeletal dan stres akademik
dianalisis dengan uji t paired karena datanya berdistribusi normal
pada taraf signifikansi 5%.
Adapun hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a. H0 : µ1 = µ2 (rerata keluhan muskuloskeletal pada Periode I sama
dengan rerata keluhan muskuloskeletal pada Periode II).
H1 : µ1 > µ2 (rerata keluhan muskuloskeletal pada Periode I lebih
besar dibandingkan dengan rerata keluhan muskuloskeletal pada
Periode II).
Adapun kriteria ujinya adalah sebagai berikut.
H0 diterima (tidak ada perbedaan bermakna antara keluhan
muskuloskeletal pada Periode I dan Periode II), jika nilai p > 0,05.
H1 diterima (ada perbedaan bermakna antara keluhan
muskuloskeletal pada Periode I dan Periode II), jika nilai p < 0,05.
b. H0 : µ1 = µ2 (rerata stres akademik pada Periode I sama dengan
rerata stres akademik pada Periode II).
H1 : µ1 > µ2 (rerata stres akademik pada Periode I lebih besar
dibandingkan dengan rerata stres akademik pada Periode II).
Adapun kriteria ujinya adalah sebagai berikut.
H0 diterima (tidak ada perbedaan bermakna antara stres akademik
pada Periode I dan Periode II), jika nilai p > 0,05.
H1 diterima (ada perbedaan bermakna antara stres akademik pada
Periode I dan Periode II), jika nilai p < 0,05.

3.7.4 Uji Regresi


Uji regresi terhadap kontribusi keluhan muskuloskeletal dan stres
akademik terhadap hasil belajar dengan menggunakan SPSS 25 for
Windows pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05).
a. H0 : keluhan muskuloskeletal tidak berkontribusi terhadap hasil
belajar.
H1 : keluhan muskuloskeletal berkontribusi terhadap hasil belajar.
Adapun kriteria ujinya adalah sebagai berikut.
H0 diterima (tidak ada kontribusi antara keluhan muskuloskeletal
terhadap hasil belajar), jika nilai p > 0,05.
H1 diterima (ada kontribusi antara keluhan muskuloskeletal
terhadap hasil belajar), jika nilai p < 0,05.
b. H0 : stres akademik tidak berkontribusi terhadap hasil belajar.
H1 : stres akademik berkontribusi terhadap hasil belajar.
Adapun kriteria ujinya adalah sebagai berikut.
H0 diterima (tidak ada kontribusi antara stres akademik terhadap
hasil belajar), jika nilai p > 0,05.
H1 diterima (ada kontribusi antara stres akademik terhadap hasil
belajar), jika nilai p < 0,05.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Hasil Analisis Deskriptif


Hasil analisis data kondisi subjek dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Hasil Analisis Data Kondisi Subjek (n=26)

Variabel Rerata SB
Umur (th) 15,65 0,63
Tinggi Badan (cm) 158,62 7,90
Berat Badan (kg) 49,54 8,22
IMT (kg/m2) 19,63 2,49

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa rerata
umur peserta didik adalah 15,65 dengan simpang baku 0,65. Rerata tinggi badan
adalah 158,62 dengan simpang baku 7,90. Rerata berat badan adalah 49,54 dengan
simpang baku 8,22. Rerata IMT adalah 19,63 dengan simpang baku 2,49. Dihat
dari rerata tinggi badan dan berat badan dapat dinyatakan bahwa Indeks Masa
Tubuh (IMT) peserta didik termasuk dalam rentangan ideal dengan umur yang
masih remaja.
Hasil analisis data antropometri peserta didik pada posisi duduk dapat
dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Hasil Analisis Data Antopometri Peserta Didik Posisi Duduk

Variabel Persentil 5 Persentil 50 Persentil 95


Tinggi duduk (cm) 70,70 79,25 86,50
Tinggi mata posisi duduk (cm) 60,72 67,50 71,83
Tinggi bahu posisi duduk (cm) 41,35 47,40 53,90
Tinggi siku posisi duduk (cm) 19,87 22,50 25,86
Jarak Buttock-Poplitea (cm) 35,67 37,25 45,59
Tinggi Poplitea (cm) 34,10 37,00 46,00
Jangkauan ke samping (cm) 53,18 62,10 69,17
Jangkauan ke depan (cm) 50,28 54,00 60,98

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.2 yaitu hasil analisis data
antropometri peserta didik, data dianalisis dengan persentil 5, 50, dan 95 yang
digunakan sebagai acuan dalam menentukan kesesuaian antara peserta didik
dengan meja dan tempat duduk. Hasil analisis data antropometri peserta didik
pada posisi duduk dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Data tinggi duduk pada posisi duduk persentil 5 adalah 70,70 cm,
digunakan untuk mendesain ukuran tinggi sandaran kepala peserta didik
pada posisi duduk.
2. Data tinggi mata pada posisi duduk pada persentil 5 adalah 60,72 cm,
digunakan untuk mendesain ukuran tinggi papan tulis dan berbagai
informasi yang dapat dilihat peserta di sekitar ruang kelas dari meja dan
tempat duduknya.
3. Data tinggi bahu pada posisi pada persentil 5 adalah 41,35 cm, digunakan
untuk mendesain ukuran sandaran tempat duduk peserta didik.
4. Data tinggi siku pada persentil 5 adalah 19,87 cm, digunakan untuk
mendesain ukuran tinggi sandaran peserta didik.
5. Jarak Buttock-Poplitea pada persentil 5 adalah 35,67 cm, digunakan untuk
mendesain lebar tempat duduk peserta didik pada proses pembelajaran.
6. Tinggi Poplitea pada persentil 5 adalah 34,10 cm, digunakan untuk
mendesain tinggi tempat duduk peserta didik pada proses pembelajaran.
7. Jangkauan ke samping pada persentil 5 adalah 53,18 cm, digunakan untuk
menentukan jarak penempatan buku tulis maupun buku ajar di samping
tubuh peserta didik.
8. Jangkauan ke depan pada persentil 5 adalah 50,28 cm, digunakan untuk
menentukan jarak penempatan buku tulis maupun buku ajar di depan
tubuh peserta didik pada proses pembelajaran.

Hasil analisis deskriptif data kondisi lingkungan kelas yang digunakan


oleh peserta didik yang melibatkan pengukuran suhu, kelembaban relatif,
intensitas cahaya, sirkulasi udara, dan kebisingan dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Hasil Analisis Deskriptif Data Kondisi Lingkungan di Ruang Kelas

Variabel Rerata SB
Suhu (oC) 29,50 2,39
Kelembaban (%) 75,25 8,81
Intensitas Cahaya (lux) 228,10 12,90
Sirkulasi Udara (m/dt) 0,21 0,017
Kebisingan Db (A) 66,17 5,12
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa rerata suhu adalah 29,50oC
dengan simpang baku 2,39oC , Rerata suhu tersebut ternyata lebih tinggi 1,50oC
dari suhu nyaman untuk orang Indonesia yaitu antara 18 s.d. 28oC. Rerata
kelembaban adalah 75,25% dengan simpang baku 8,81%, nilai tersebut sudah
berada pada kondisi nyaman karena berada pada rentangan 70 s.d. 80%. Rerata
intensitas cahaya adalah 228,10 lux dengan simpang baku 12,90 lux, nilai tersebut
menunjukkan bahwa sudah berada pada kondisi nyaman karena berada pada
rentangan 200 s.d. 500 lux. Rerata sirkulasi udara adalah 0,21 m/dt dengan
simpang baku 0,017 m/dt, nilai tersebut lebih tinggi sebesar 0,01 m/dt dari
rentangan nilai sirkulasi dara yang ideal yaitu 0,1 s.d. 0,2 m/dt. Rerata kebisingan
adalah 66,17 Db(A) dengan simpang baku 5,12 Db(A), nilai kebisingan tersebut
ternyata lebih tinggi sebesar 16,17 DB(A) dibandingkan dengan nilai kebisingan
yang diperbolehkan untuk kegiatan pembelajaran yaitu ≤50 Db(A).

Hasil analisis deskriptif keluhan muskuloskeletal dan stres akademik dapat


dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Hasil Analisis Deskriptif Data Keluhan Muskuloskeletal dan Stres
Akademik (n=26)

Variabel Periode I Periode II Keterangan


Rerata SB Rerata SB
Keluhan 33,73 2,84 31,86 2,35 Berbeda
muskuloskeletal 5,54%
sebelum
pembelajaran
Keluhan 66,67 4,58 38,45 2,98 Berbeda
muskuloskeletal 42,33%
sesudah
pembelajaran
Selisih keluhan 32,94 5,31 6,59 3,10 Berbeda
muskuloskseletal 79,99%
Stres akademik 36,23 1,70 36,14 2,05 Berbeda
sebelum 0,25%
pembelajaran
Stres akademik 70,02 3,93 47,85 5,61 Berbeda
sesudah 31,66%
pembelajaran
Selisih stres 33,80 3,65 11,70 5,86 Berbeda
akademik 65,38%

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa
rerata keluhan muskuloskeletal sebelum pembelajaran pada Periode I adalah 33,73
(keluhan muskuloskeletal dalam kategori sedang) dengan simpang baku 2,84 dan
rerata keluhan muskuloskeletal sebelum pembelajaran pada Periode II adalah
31,86 (keluhan muskuloskeletal dalam kategori sedang) dengan simpangan baku
2,35 (berbeda 5,54%). Rerata keluhan muskuloskeletal sesudah pembelajaran
pada Periode I adalah 66,67 (keluhan muskuloskeletal dalam kategori berat)
dengan simpangan baku 4,58 dan rerata keluhan muskuloskeletal sesudah
pembelajaran pada Periode II adalah 38,45 (keluhan muskuloskeletal dalam
kategori sedang) dengan simpangan baku 2,98 (berbeda 42,33%). Rerata selisih
keluhan muskuloskeletal pada Periode I adalah 32,94 dengan simpangan baku
5,31 dan rerata selisih keluhan muskuloskeletal pada Periode II adalah 6,59
dengan simpangan baku 3,10 (berbeda 79,99%).

Rerata stres akademik sebelum pembelajaran pada Periode I adalah 36,23


berada pada kategori stres sedang dengan simpang baku 1,70 dan rerata stres
akademik sebelum pembelajaran pada Periode II adalah 36,14 berada pada
katagori stres sedang dengan simpang baku 2,05 (berbeda 0,25%). Rerata stres
akademik sesudah pembelajaran pada Periode I adalah 70,02 berada pada kategori
stres berat dengan simpang baku 3,93 dan rerata stres akademik sesudah
pembelajaran pada Periode II adalah 47,85 berada pada kategori stres sedang
dengan simpang baku 5,61 (berbeda 31,66%). Rerata selisih stres akademik pada
Periode I adalah 33,80 dengan simpang baku 3,65 dan rerata selisih stres
akademik pada Periode II adalah 11,70 dengan simpang baku 5,86 (berbeda
65,38%).

Hasil analisis deskriptif data hasil belajar peserta didik dapat dilihat pada
Tabel 4.5

Tabel 4.5 Hasil Analisis Deskriptif Data Hasil Belajar Peserta Didik (n=26)
Variabel Rerata SB
Hasil Belajar PI 56,15 13,29
Hasil Belajar PII 80,19 5,91

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 4.5 dapat dijelaskan bawa
rerata hasil belajar peserta didik pada Periode I adalah 56,15 dengan simpang
baku 13,29 sedangkan rerata hasil belajar peserta didik pada Periode II adalah
80,19 dengan simpang baku 5,91. Rerata hasil belajar peserta didik pada Periode I
dapat dikategorikan rendah karena berada di bawah nilai Kriteria Ketuntasan
Minimum (KKM) yaitu 76, sedangkan rerata hasil belajar peserta didik pada
Periode II sudah berada di atas Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).

4.1.2 Pengujian Asumsi

Hasil pengujian asumsi dengan uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Data Keluhan Muskuloskeletal dan Stres
Akademik serta Hasil Belajar Periode I dan Periode II pada Peserta Didik
(n=26)

Variabel Rerata SB Nilai Nilai Keterangan


z p
Keluhan muskuloskeletal 33,73 3,84 0,101 0,200 Normal
PI (sebelum
pembelajaran)
Keluhan muskuloskeletal 66,67 4,57 0,126 0,200 Normal
PI (sesudah
pembelajaran)
Keluhan muskuloskeletal 31,86 2,35 0,170 0,051 Normal
PII (sebelum
pembelajaran)
Keluhan muskuloskeletal 88,45 2,98 0,148 0,148 Normal
PII (sesudah
pembelajaran)
Stres Akademik PI 36,23 1,70 0,202 0,008 Tidak Normal
(Sebelum pembelajaran)
Stres Akademik PI 70,02 3,93 0,92 0,200 Normal
(sesudah pembelajaran)
Stres Akademik PII 36,14 2,050 0,115 0,200 Normal
(Sebelum pembelajaran)
Stres Akademik PII 47,85 5,61 0,129 0,200 Normal
(Sesudah pembelajaran)
Selisih keluhan 32,94 5,31 0,117 0,200 Normal
muskuloskeletal PI
Selisih keluhan 6,60 3,10 0,109 0,200 Normal
muskuloskeletal PII
Selisih stres akademik PI 33,80 3,66 0,147 0,151 Normal
Selisih stres akademik PII 11,70 5,87 0,063 0,200 Normal
Hasil belajar Periode I 56,15 13,29 0,119 0,200 Normal
Hasil belajar Periode II 80,19 5,91 0,272 0,000 Tidak Normal

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 4.6 dapat dinyatakan bahwa
data keluhan muskuloskeletal pada Periode I (sebelum pembelajaran) dengan nilai
p=0,200 (p>0,05) berarti data berdistribusi normal. Data keluhan musculoskeletal
pada Periode I (sesudah pembelajaran) dengan nilai p=0,200 (p>0,05) berarti data
berdistribusi normal. Data selisih keluhan musculoskeletal pada Periode I dengan
nilai p=0,200 (p>0,05) berarti data berdistribusi normal. Data keluhan
musculoskeletal pada Periode II (sebelum pembelajaran) dengan nilai p=0,051
(p>0,05) berarti data berdistribusi normal. Data keluhan musculoskeletal pada
Periode II (sesudah pembelajaran) dengan nilai p=0,148 (p>0,05) berarti data
berdistribusi normal. Data selisih keluhan musculoskeletal pada Periode II dengan
nilai p=0,200 (p>0,05) berarti data berdistribusi normal.

Berdasarkan hasil analisis data stres akademik dapat dijelaskan bahwa data
stres akademik pada Periode I (sebelum pembelajaran) dengan nilai p=0,008
(p<0,05) berarti data tidak berdistribusi normal. Data stress akademik pada
Periode I (sesudah pembelajaran) dengan nilai p=0,200 (p>0,05) berarti data
berdistribusi normal. Data selisih stress akademik pada Periode I dengan nilai
p=0,151 (p> 0,05) berarti data berdistribusi normal. Data stress akademik pada
Periode II (sebelum pembelajaran) dengan nilai p=0,200 (p>0,05) berarti data
berdistribusi normal. Data stress akademik pada Periode II (sesudah
pembelajaran) dengan nilai p=0,200 (p>0,05) berarti data berdistribusi normal.
Data selisih stress akademik pada Periode II dengan nilai p=0,200 (p>0,05) berarti
data berdistribusi normal.
Berdasarkan hasil analisis data hasil belajar peserta didik dapat dijelaskan
bahwa data hasil belajar peserta didik pada Periode I dengan nilai p=0,200
(p>0,05) berarti data berdistribusi normal. Data hasil belajar peserta didik pada
Periode II dengan nilai p=0,000 (p<0,05) berarti data tidak berdistribusi normal.
Data yang berdistribusi normal dilanjutkan dengan uji parametric berupa uji t
paired dengan taraf signifikansi 5%, sedangkan data yang tidak berdistribusi
normal dilanjutkan dengan uji non parametric berupa uji wilcoxon dengan taraf
signifikansi 5%.

4.1.3 Pengujian Hipotesis

Pada pengujian prasyarat diperoleh data yang berdistribusi normal dan tidak
normal. Data yang berdistribusi normal dilanjutkan dengan uji parametric berupa
uji t paired dengan taraf signifikansi 5%, sedangkan data yang tidak berdistribusi
normal dilanjutkan dengan uji non parametric berupa uji wilcoxon dengan taraf
signifikansi 5%. Hasil uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Tabel 4.8

Tabel 4.7 Hasil Uji Hipotesis terhadap Keluhan Muskuloskeletal Peserta


Didik (n=26)

Variabel Periode I Periode II Nilai t Nilai Keterangan


Rerata SB Rerata SB p
Keluhan 33,73 2,84 31,86 2,35 2,794 0,010 Berbeda
Muskuloskeleta Bermakna
l sebelum
pembelajaran
Keluhan 66,67 4,57 38,45 2,98 25,131 0,000 Berbeda
Muskuloskeleta Bermakna
l sesudah
pembelajaran
Selisih keluhan 32,94 5,31 6,60 3,10 18,673 0,000 Berbeda
musculoskeletal Bermakna
Tabel 4.8 Hasil Uji Hipotesis terhadap Stres Akademik Peserta Didik (n=26)

Variabel Periode I Periode II Nilai z Nilai Keterangan


Rerata SB Rerata SB p
Stres akademik 36,23 1,70 36,14 2,05 -0,086 0,932 Tidak
sebelum Berbeda
pembelajaran Bermakna
Stres akademik 70,02 3,93 47,85 5,61 -4,458 0,000 Berbeda
sesudah Bermakna
pembelajaran
Selisih stress 33,80 3,65 11,70 5,86 -4,458 0,000 Berbeda
akademik Bermakna
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa rerata
keluhan musculoskeletal sebelum pembelajaran antara Periode I dan Periode II
berbeda bermakna dengan nilai p=0,010 (p<0,05). Ini berarti kondisi awal peserta
didik dilihat dari keluhan muskuloskeletal pada Periode I dan Periode II sama atau
sudah komparabel sehingga yang digunakan untuk menentukan perubahan
keluhan muskuloskeletal adalah berdasarkan data keluhan muskuloskeletal
sesudah pembelajaran. Sedangkan keluhan muskuloskeletal sesudah pembelajaran
pada Periode I dan Periode II berbeda bermakna yang ditunjukkan oleh nilai
p=0,000 (p<0,05). Dengan demikian nilai keluhan muskuloskeletal sesudah
pembelajaran pada Periode I (tanpa workplace stretching exercise) dengan
Periode II (dengan workplace stretching exercise) adalah berbeda bermakna. Hal
ini berarti H1 diterima (ada perbedaan bermakna antara keluhan muskuloskeletal
pada Periode I dan Periode II). Hasil analisis membuktikan bahwa pembelajaran
dengan menerapkan workplace stretching exercise menurunkan keluhan
muskuloskeletal peserta didik sebesar 42,33% secara signifikan (p<0,05).

Rerata stres akademik peserta didik sebelum pembelajaran antara Periode I dan
Periode II tidak berbeda bermakna dengan nilai p=0,932 (p>0,05). Ini berarti
kondisi awal peserta didik dilihat dari skor stres akademik pada Periode I dan
Periode II sama atau sudah komparabel sehingga yang digunakan untuk
menentukan perubahan stres akademik adalah berdasarkan data stres akademik
sesudah pembelajaran. Sedangkan stres akademik peserta didik sesudah
pembelajaran pada Periode I dan Periode II berbeda bermakna yang ditunjukkan
oleh nilai p=0,000 (p<0,05). Dengan demikian skor stres akadmeik peserta didik
sesudah pembelajaran antara Periode I (tanpa workplace stretching exercise)
dengan Periode II (dengan workplace stretching exercise) adalah berbeda
bermakna, Hal ini berarti H1 diterima (ada perbedaan bermakna antara kebosanan
pada Periode I dan Periode II). Hasil analisis ini membuktikan bahwa dengan
menerapkan workplace stretching exercise dapat menurunnkan stres akademik
peserta didik sebesar 31,66% secara signifikan (p<0,05).

4.1.4 Pengujian Regresi


Hasil uji regresi untuk mengetahui kontribusi keluhan musculoskeletal dan
stress akademik terhadap hasil belajar peserta didik dapat dilihat pada Tabel 4.9

Tabel 4.9 Hasil Uji Regresi Data Keluhan Muskuloskeletal, dan Stres
Akademik terhadap Hasil Belajar Peserta Didik (n=26)

Variabel R2 Nilai p Keterangan


Kontribusi keluhan 0,004 0,763 Tidak
muskuloskeletal terhadap berkontribusi
hasil belajar
Kontribusi stres akademik 0,017 0,522 Tidak
terhadap hasil belajar berkontribusi

Berdasarkan hasil uji regresi pada Tabel 4.9 dapat dijelaskan bahwa data
keluhan muskuloskeletal terhadap hasil belajar peserta didik dengan nilai R2
adalah 0,004 dan nilai p=0,763 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa keluhan
musculoskeletal tidak berkontribusi terhadap hasil belajar karena kontribusinya
hanya sebesar 0,4 % dengan nilai p=0,770 (p>0,05). Hasil uji regresi data stres
akademik terhadap hasil belajar dengan nilai R2 adalah 0,017 dan nilai p=0,522
(p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa stres akademik tidak berkontribusi terhadap
hasil belajar karena kontribusinya hanya sebesar 1,7 % dengan nilai p=0,522
(p>0,05).

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian


4.2.1 Kondisi Subjek
Pada penelitian ini subjek yang digunakan sebanyak 26 peserta didik yang
terdiri atas 17 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Kondisi subjek yang
dijelaskan pada penelitian ini yaitu umur, tinggi badan, dan berat badan.
Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini dapat dijelaskan bahwa rerata
umur peserta didik yang dilibatkan sebagai subjek penelitian ini adalah 15,65
tahun dengan rentangan umur peserta didik antara 15 s.d. 17 tahun yang
merupakan umur kondisi maksimal untuk peserta didik yang duduk di bangku
kelas X. Berdasarkan data umur peserta didik tersebut ternyata dalam kategori
produktif sehingga kemampuan fisik dan ototnya berada pada kondisi maksimal.
Kondisi umur sangat mempengaruhi kemampuan fisik setiap individu (Kroemer
& Grandjean, 2000; Sutajaya, 2019)
Temuan tersebut bersinergi dengan temuan peneliti lain yaitu: (1) Purba dan
Putri (2020) melaporkan bahwa umur peserta didik yang digunakan sebagai
subjek penelitian berada pada rentangan 15 s.d. 17 tahun; (2) Pratama (2020)
melaporkan hal yang serupa bahwa usia 15 s.d. 17 tahun merupakan peserta
didik yang bersekolah di jenjang SMA; (3) Ardiyanti (2020) menyatakan bahwa
peserta didik dengan rentangan umur 15 s.d. 17 tahun merupakan usia yang
sesuai untuk kategori SMA.
Rerata tinggi badan adalah 158,62 dengan rentangan 137 s.d. 171 dan rerata
berat badan 49,54 dengan rentangan 39 s.d 69 Kg. Rerata Indeks Masa Tubuh
(IMT) adalah 19,63 kg/m2. Dilihat dari rerata tinggi badan dan berat badan
peserta didik ternyata didapatkan rerata IMT yang berada dalam kategori ideal
atau normal. Rerata IMT peserta didik yang dijadikan sebagai sebjek penelitian
memperlihatkan bahwa peserta didik memiliki indeks massa tubuh yang normal
karena berada di antara rentangan 18,5 s.d 25,0 sehingga hal tersebut bukan
diasumsikan sebagai faktor penyebab munculnya keluhan muskuloskeletal dan
stres akademik pada peserta didik (Depkes, 2006). Hasil penelitian yang serupa
juga disampaikan oleh beberapa temuan peneliti lain yaitu: (1) Swari (2019)
melibatkan 20 sampel penelitian dengan rerata IMT sebesar 20,90 kg/m2 dengan
rentangan IMT berkisar antara 19,00 s.d. 22,90 kg/m2 .

4.2.2 Antropometri Peserta Didik pada Posisi Duduk


Antropometri peserta didik merupakan salah satu hal yang perlu
diperhatikan dalam mendesaian ruang belajar agar dalam proses pembelajaran
peserta didik dalam kondisi nyaman dan tidak menimbulkan keluhan. Berdasakan
hasil analisis antropometri peserta didik pada pada posisi duduk menunjukkan
bahwa meja dan tempat duduk yang digunakan serta penempatan papan tulis
maupun layar LCD tidak sesuai dengan antropometri peserta didik.
Ketidaksesuaian inilah yang dapat menjadi salah satu pemicu munculnya keluhan
muskuloskeletal dan stres akademik pada peserta didik, karena posisi belajar yang
tidak alamiah atau fisiologis.
Berdasarkan hasil pengukuran antropometri peserta didik pada posisi duduk
dapat diketahui bahwa: (a) tinggi duduk peserta didik pada persentil 5 adalah
70,70 cm, akan tetapi tempat duduk yang digunakan oleh peserta didik tidak
memiliki sandaran kepala, sandaran hanya sampai bagian pinggang saja. Kondisi
tersebut menyebabkan bagian punggung hingga kepala tidak tertopang ketika
disandarkan; (b) tinggi mata pada posisi duduk pada persentil 5 adalah 60,72 cm
tidak sesuai dengan tinggi papan tulis yang tingginya 130 cm. Kondisi tersebut
menyebabkan bagian kepala peserta didik harus mengadah untuk dapat melihat
informasi yang ditampilkan pada papan tulis, sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan rasa sakit pada leher peserta didik; (c) tinggi bahu pada posisi
duduk pada persentil 5 adalah 41,35 cm, sedangkan tinggi sandaran pada kursi
peserta didik hanya 34 cm, sehingga tidak dapat menopang bagian bahu atas
ketika disandarkan; (d) tinggi meja yang digunakan oleh peserta didik adalah 78
cm, sedangkan tinggi meja yang sesuai dengan antropometri peserta didik pada
persentil 5 adalah 53,97 cm yang diukur berdasarkan penjumlahan tinggi siku
pada posisi duduk pada persentil 5 yaitu 19,87 cm dan tinggi poplitea posisi
duduk pada persentil 5 adalah 34,10 cm, sehingga lengan peserta didik akan
terangkat yang dapat menyebabkan keluhan pada bagian lengan peserta didik; (e)
jarak buttock-politea pada persentil 5 adalah 35,67 sedangkan lebar tempat duduk
yang digunakan oleh peserta didik adalah 40 cm, sehingga peserta didik dapat
duduk dengan nyaman, karena lebar tempat duduk lebih besar dibandingkan
dengan jarak buttock-poplitea; (f) tinggi poplitea pada persentil 5 adalah 34,10 cm
tidak sesuai dengan tempat duduk yang tingginya 48 cm, sehingga tungkai peserta
didik menggantung.
Sarana pembelajran yang digunakan di SMA Negeri Bali Mandara kurang
mengacu atau menyesuaikan dengan kaidah-kaidah ergonomi. Hal ini dapat
dilihat dari (a) ukuran meja dan tempat duduk yang tidak disesuaikan dengan
antropometri peserta didik; (b) penempatan papan tulis yang tidak disesuaikan
dengan tinggi mata peserta didik persentil 5 pada posisi duduk; dan (c) posisi
tempat duduk peserta didik yang kurang ergonomis. Oleh karena itu diperlukan
penerapan kaidan-kaidah ergonomi dalam mendesain sarana pembelajaran.
Dengan penerapan kaidah-kaidah ergonomi, nantinya dapat; (a) meminimalkan
keluhan otot peserta didik; (b) memperlambat atau meminimalisir munculnya
keluhan muskuloskeletal dan kelelahan dalam proses pembelajaran, karena
penggunaan energi dapat difokuskan untuk kegiatan pembelajaran dan tidak
terbuang percuma untuk melawan kondisi belajar yang tidak fisiologis; (c)
menghindari munculnya kebosanan peserta didik saat mengikuti proses
pembelajaran (Sutajaya, 2018). Meja dan kursi yang tidak sesuai dengan
antropometri peserta didik akan mengakibatkan munculnya keluhan
muskuloskeletal pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran di kelas berlangsung
cukup lama berkisar 5 s.d. 7 jam di sekolah, posisi duduk dalam waktu yang
lamadan monoton akan menimbulkan nyeri dan kelelahan pada bagian punggung,
Keluhan nyeri tersebut akan meningkat apabila tinggi kursi terlalu pendek, duduk
akan membungkuk karena lutut akan lebih tinggi dari posisi pantat. Salah satu
lingkungan fisik yang harus diperhatikan adalah penggunaan meja dan kursi yang
disesuaikan dengan kaidan ergonomi (Santoso, 2012).
Temuan ini bersinergi dengan beberapa temuan peneliti lain yaitu: (1)
Setiawan (2017) menyatakan bahwa redesain antropometri dapat meningkatkan
produktivitas dan kualitas kerja sehingga terhindar dari keluhan muskuloskeletal,
karena faktor kenyamanan dalam melakukan aktivitas memiliki pengaruh yang
nyata dalam hal peningkatan efisiensi dan keefektivan; (2) Biomi (2021)
melaporkan bahwa sikap belajar yang tidak alamiah yang disebabkan karena kursi
kurang tinggi maka dilakukan penambahan kursi sebesar 2 cm untuk
mengimbangi tinggi meja yang telah disesuaikan dengan tinggi poplitea dan tinggi
siku pada posisi duduk, dengan melakukan perbaikan pada kursi dapat
menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 42,14%.

4.2.3 Kondisi Lingkungan


Pada Penelitian ini kondisi lingkungan yang diukur meliputi suhu,
kelembaban relatif, intensitas cahaya, sirkulasi udara, dan kebisingan di ruang
kelas. Berdasarkan hasil analisis data kondisi lingkungan didapatkan rerata suhu
yaitu 29,50oC, hal ini berarti bahwa suhu tersebut lebih tinggi dari kondisi suhu
yang dikategorikan nyaman. Manuaba (2008) menyatakan bahwa kisaran suhu
yang nyaman untuk aklimatisasi orang indonesia adalah 18 s.d. 28 oC. Meski lebih
tinggi dari suhu normal orang Indonesia namun hal tersebut tidak menggangu
adanya proses pembelajaran karena lebih tinggi 1,50oC saja sehingga peserta didik
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang didapatkan oleh beberapa peneliti yaitu; (1) Ardiyanti (2020)
menyatakan bahwa suhu dalam proses pembelajaran berkisar antara 27,94 s.d.
29,38; (2) Dewi, et al., (2018) menyatakan bahwa rerata suhu basah sebesar
28,90oC dan rerata suhu kering sebesar 36,48oC.
Rerata kelembaban relatif pada lingkungan belajar adalah 75,25% sudah
dalam kategori nyaman karena berada pada rentangan 70 s.d. 80%. Kondisi
lingkungan terutama kelembaban udara relatif akan sangat berpengaruh terhadap
kehilangan cairan tubuh peserta didik sehingga akan mempengaruhi kesehatan
peserta didik (Manuaba, 2008). Temuan tersebut bersinergi dengan temuan
peneliti lain yaitu: (1) Pratama, (2020) melaporkan bahwa rerata kelembaban
relatif pada lingkungan kelas adalah 76,33%; (2) Ayustina, (2020) menyatakan
bahwa rerata kelembaban relatif adalah 74,19% yang dikategorikan nyaman.
Pada ruang kelas didapatkan rerata intensitas pencahayaan sebesar 228,10
lux. Rerata intensitas pencahayaan tersebut kurang memadai dikarenakan standar
pencahayaan ruang kelas di Indonesia berkisar antara 250 s.d.300 lux. Namun hal
ini tidak berpengaruh begitu besar karena pada ruang kelas juga dilengkapi
dengan ventilasi sebagai tempat masuknya sinar matahari dan pencahayaan buatan
berupa lampu berwarna putih. Pencahayaan yang tidak tepat dapat merusak
atmosfer ruang sehingga menimbulkan perasaan kurang nyaman, selain itu juga
menimbulkan tekanan secara psikologis terhadap pengguna ruang, gangguan
penghliatan, dan intensitas cahaya perlu diatur untuk menghasilkan kesesuaian
kebutuhan penghliatan di dalma ruang berdasarkan jenis aktivitasnya. (Abdullah,
2018).
Rerata sirkulasi udara adalah 0,21 m/dt, nilai tersebut lebih tinggi sebesar
0,01 m/dt dari rentangan nilai sirkulasi udara yang ideal yaitu 0,1 s.d. 0,2 m/dt.
Temuan tersebut bersinergi dengan temuan beberapa peneliti lain yaitu: (1)
Ayustina (2020) melaporkan bahwa rerata sirkulasi udara pada ruang kelas kurang
memadai yaitu sebesar 0,21 m/dt, dimana nilai tersebut lebih besar kisaran nilai
standar unruk sirkulasi udara; (2) Suryanada (2020) melaporkan bahwa pada
lingkungan sekolah sirkulasi udara mencapai 0,15m/dt. Sirkulasi udara tersebut
berada pada rentangan 0,1 s.d 0,2 m/dt yang berarti sirkulasi pada ruangan
tersebut memadai sehingga keadaan siswa dalam beraktivitas menjadi nyaman.
Pada ruang kelas peserta didik diperoleh rerata kebisingan sebesar 66,17
dB(A), nilai kebisingan tersebut ternyata lebih tinggi sebesar 16,17 dB(A)
dibandingkan dengan nilai kebisingan yang diperbolehkan untuk kegiatan
pembelajaran yaitu ≤50 dB(A). Sehingga nilai kebisingan pada ruang kelas
tersebut masih berada dalam kategori tidak nyaman. Temuan tersebut bersinergi
dengan beberapa temuan peneliti lain yaitu: (1) Haqqi, et al., (2018) melaporkan
bahwa rerata kebisingan yang diperoleh di ruang kelas sebagai tempat penelitian
adalah 62,13 dB(A), dimana kondisi tersebut berada di atas kategori nyaman yaitu
diatas 50 dB(A); (2) Swari (2019) melaporkan bahwa rerata kebisingan yang
diperoleh dalam penelitian adalah 73,10 dB(A) kondisi tersebut berada pada
kategori tidak nyaman.
Berdasarkan uraian mengenai kondisi lingkungan belajar pada tempat
penelitian secara umum berada pada kategori nyaman dan tidak terlalu
mempengaruhi kegiatan pembelajaran, karena pada ruang kelas sudah dilengkapi
fasilitas yang dapat membantu membuat kondisi lingkungan menjadi lebih
nyaman seperti, ventilasi udara, kipas angin, dan lampu penerangan. Disamping
itu tempat penelitian merupakan sekolah yang berasrama, serta letak asramanya
masih dalam lingkup sekolah, jadi peserta didik sudah dapat beradaptasi dengan
baik pada kondisi lingkungan tersebut.

4.2.4 Penerapan Workplace Stretching Exercise Menurunkan Keluhan


Muskuloskeletal pada Peserta Didik
Berdasarkan hasil uji t paired pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa rerata
keluhan musculoskeletal sebelum pembelajaran pada Periode I adalah 33,73
sedangkan pada Periode II adalah 31,86, nilai tersebut termasuk keluhan
musculoskeletal dalam kategori sedang. Hasil uji t paired keluhan
musculoskeletal sebelum pembelajaran pada Periode I dan Periode II berbeda
bermakna dengan nilai p=0,010 (p<0,05) sehingga kondisi awal peserta didik
sebelum pembelajaran pada kedua periode sudah komparabel. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa kondisi peserta didik jika dilihat dari keluhan
musculoskeletal sebelum pembelajaran adalah sama.
Hasil uji t paired terhadap rerata keluhan musculoskeletal peserta didik
sesudah proses pembelajaran pada Periode I dan Periode II adalah berbeda
bermakna dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa kondisi peserta didik dilihat dari keluhan musculoskeletal sesudah
pembelajaran pada Periode I dan Periode II adalah berbeda secara signifikan. Hal
ini dapat dilihat dari rerata perubahan keluhan musculoskeletal pada Periode I
(tanpa pemberian Workplace Stretching Exercise) dan pada Periode II (dengan
pemberian Workplace Stretching Exercise) adalah 42,33%. Besarnnya perubahan
nilai keluhan musculoskeletal antara Periode I dan Periode II diakibatkan oleh
kontraksi otot statis pada peserta didik dalam waktu yang relative lama pada
proses pembelajaran dapat diatasi dengan penerapan workplace stretching
exercise. Pada Periode I kegiatan pembelajaran peserta didik cenderung kurang
dinamis, hal ini dapat diamati ketika proses pembelajaran berlangsung peserta
didik tetap di tempat dudukya untuk mendengarkan penjelasan guru, mencatat,
serta melihat informasi yang ada di depan kelas. Sedangkan pada Periode II
diterapkan workplace stretching exercise untuk menjadikan kegiatan
pembelajaran menjadi lebih dinamis, sehingga akan memberikan dampak positif
terhadap kondisi fisik dan psikis peserta didik. Penerapan pemberian Workplace
Stretching Exercise pada Periode II ternyata dapat menurunkan keluhan
musculoskeletal peserta didik secara signifikan sebesar 42,33% (p<0,05).

Adapun faktor-faktor yang mendukung munculnya keluhan muskuloskeletal


pada subjek penelitian yaitu suasana pembelajaran yang terlalu menegangkan
ditambah posisi belajar yang tidak alamiah dalam waktu yang relatif lama,
penempatan papan tulis/LCD yang terlalu tinggi, kondisi meja serta tempat duduk
juga belum sesuai dengan antropometri peserta didik , sehingga hal ini tentu saja
sangat memicu adanya keluhan muskuloskeletal pada peserta didik. Oleh karena
itu diperlukan suatu perbaikan dalam proses pembelajaran tersebut, dalam hal ini
berupa workplace stretching exercise sebagai bentuk aktivitas fisik yang
diharapkan dapat meminimalisir terjadinya keluhan fisik pada peserta didik.
Sutajaya (2018) menyatakan bahwa interaksi manusia dengan alat kerja
merupakan kondisi yang paling berisiko memunculkan keluhan. Itu terjadi sebagai
akibat dari banyaknya kontraksi otot statis sehingga pada beberapa kelompok otot
tertimbun asam laktat pada berapa kelompok otot disebabkan oleh kondisi
anaerob pada otot tersebut sebagai akibat dari kurang asupan oksigen yang
menyebabkan glukosa atau glikogen tidak dioksidasi secara sempurna dan hasil
sampingnnya adalah dalam bentuk asam laktat. Kondisi tersebut dapat diatasi
dengan memperbaiki posisi dan sikap kerja, memberikan peregangan (stretching)
setiap satu jam kerja, atau melalui penerapan istirahat aktif dan istirahat pendek.
Penurunan keluhan muskuloskeletal pada peserta didik setelah melakukan
workplace stretching exercise diakibatkan oleh terjadinya proses daur ulang asam
laktat dari sisa metabolisme yang diubah menjadi protein-protein yang diperlukan
oleh otot, air, glikogen dan CO2 . Kondisi tubuh akan kembali ke kondisi semula
dengan melakukan proses pemulihan. Darah yang terakumulasi di otot skeletal
diupayakan segera ditarik ke peredaran sentral. Proses pemulihan memiliki fungsi
untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme. Sisa hasil metabolisme
yang berada di otot dan darah berupa asam laktat. Hasil sisa metabolisme yang
berupa asam laktat akan didaur ulang menjadi karbondioksida dengan proses
oksidasi (Nala, 1998; Sutajaya, 2019).
Pemberian workplace stretching exercise disela-sela kegiatan pembelajaran,
akan mengakibatkan peserta didik dapat bergerak dinamis, sehingga kontraksi otot
statis yang dialami peserta didik dalam proses pembelajaran dapat dikurangi dan
konsekuensinya frekuensi keluhan musculoskeletal peserta didik dapat dikurangi.
Temuan tersebut bersinergi dengan penelitian Hastuti & Rina (2017) yang
melaporkan bahwa kontraksi otot dinamis yang terjadi ketika melakukan
workplace stretching exercise menyebabkan aliran darah yang menuju ke otot
lebih banyak, sehingga keperluan nutrisi dan oksigen yang digunakan untuk
proses metabolisme dapat terpenuhi. Melakukan workplace stretching exercise
merubah posisi kerja peserta didik dari statis menjadi dinamis. Dengan demikian
proses metabolisme pada tubuh akan dapat berlangsung dengan lancar. Asam
laktat dan CO2 akan berkurang dan diminimalisir yang dapat berdampak pada
kurangnya keluhan musculoskeletal.
Temuan ini juga bersinergi dengan penelitian lain yaitu: (1) Dewi ,et al.,
(2018) yang melaporkan bahwa pemberian peregangan berupa workplace
stretching exercise dapat mengurangi ischemia pada otot yang mengalami spasme
dengan adanya efek peningkatan sirkulasi darah pada otot yang disertai dengan
pembaharuan nutrisi untuk metabolisme dalam sel otot serta pengangkutan sisa
metabolisme. Selain itu peregangan akan meningkatkan fleksibilitas otot,
memberikan kesempatan pada otot untuk kembali ke kondisi resting length,
memutus lingkaran spasme-nyeri-spasme, meningkatkan kebugaran fisik, dan
meningkatkan ROM serta mengurangi kelelahan paada otot; (2) Pratama (2020)
melaporkan bahwa penerapan workplace stretching exercise menurunkan keluhan
muskuloskeletal pada peserta didik sebesar 33,90%; (3) Puspadewi, et al. (2018)
yang melaporkan bahwa pemberian workplace stretching exercise dan berjalan
untuk mengambil minum pada pekerja pembuat keramik di sela waktu kerja akan
memberikan kesempatan kepada otot untuk relaksasi sehingga terjadi pemulihan
sel-sel otot yang dapat menurunkan keluhan musculoskeletal; (4) Harahap (2021)
melaporkan bahwa keluhan musculoskeletal sebelum pemberian workplace
stretching exercise pada pekerja bagian produksi di PT Crown Pratama diperoleh
mean sebesar 42,97, sehingga termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan keluhan
musculoskeletal sesudah pemberian workplace stretching exercise diperoleh mean
sebesar 36,29 sehingga termasuk dalam kategori sedang.

4.2.5 Penerapan Workplace Stretching Exercise Menurunkan Stres Akademik


pada Peserta Didik

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa rerata
stress akademik sebelum pembelajaran pada Periode I adalah 36,23 sedangkan
pada Periode II adalah 36,14, nilai tersebut termasuk ke dalam kategori stress
sedang. Hasil uji Wilcoxon sebelum pembelajaran pada Periode I tidak berbeda
bermakna dengan nilai p=0,932 (p>0,05) sehingga kondisi awal peserta didik
sebelum pembelajaran pada kedua periode tersebut sudah komparabel. Dengan
demikian dapat dinyatakakn bahwa kondisi peserta didik diliihat dari tingkat
stress akademik sebelum pembelajaran adalah sama.

Hasil uji Wilcoxon terhadap rerata stress akademik sesudah proses


pembelajaran pada Periode I dan Periode II adalah berbeda bermakna dengan nilai
p=0,000 (p<0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kondisi peserta
didik dari tingkat stress akademik sesudah pembelajaran pada Periode I dan
Periode II adalah berbeda secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari rerata
perubahan stres akademik antara periode I (tanpa pemberian Workplace Stretching
Exercise) dan Periode II (dengan pemberian Workplace Stretching Exercise)
sebesar 31,66%.

Pemberian workplace stretching exercise yang merupakan salah satu bentuk


aktivitas fisik dalam kegiatan pembelajaran ternyata memberikan dampak yang
positif terhadap peserta didik, bukan hanya manfaat terhadap kondisi fisik tetapi
juga berperan terhadap kondisi psikis/mental dari peserta didik. Pembelajaran di
kelas yang menegangkan, tuntutan agar bisa mencapai indeks pencapaian
kompetensi pada setiap mata pelajaran, dan adanya tuntutan tugas yang harus
dikerjakan sesuai tenggat waktu, hal tersebut membuat peserta didik merasakan
beban akademik yang tentu saja nantinya akan berdampak terhadap kualitas
luaran belajar peserta didik. Disamping itu SMA Negeri Bali Mandara juga
dikenal sebagai salah satu sekolah favorit di Bali karena berhasil mencetak peserta
didik yang berprestasi bahkan sampai kancah internasional, oleh karena itu sistem
pendidikan di sekolah tersebut dirancang sedimikian rupa untuk mempersiapkan
peserta didik yang berkualitas baik secara akademik maupun non akademik yang
nantinya mampu bersaing secara global. Bagi peserta didik yang dapat
menghadapi tantangan, tuntutan dan perubahan yang ada maka mereka dapat
terhindar dari kondisi stres akademik, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa
kondisi peserta didik itu berbeda-beda, sehingga bagi mereka yang merasa tidak
mampu beradaptasi dengan hal tersebut, maka mereka akan merasakan dampak
negatifnya dan mengalami stres akademik. Temuan ini bersinergi dengan
penelitian Putri, et al. (2019) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik sangat
penting untuk kesehatan tubuh manusia serta memiliki banyak manfaat yang
berguna untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Terdapat manfaat yang terkandung
dalam aktivitas fisik jika dilakukan dengan benar dan teratur, yaitu manfaat
fisik/biologis dan juga manfaat psikis/mental. Manfaat untuk fisik meliputi
megatur kestabilan tekanan darah, meningkatkan aktivitas tubuh, memiliki berat
badan ideal, menguatkan tulang dan otot serta kelenturan tubuh. Sedangkan
manfaat aktivitas fisik untuk psikis yaitu untuk menambah rasa percaya diri,
meningkatkan sportifitas, tanggung jawab dan solidaritas serta mengurangi tingkat
stres dan kecemasan.

Gerakan workplace stretching exercise yang tidak begitu berat menjadikan


peserta didik tidak tegang dalam pembelajaran, karena mereka diberikan
kesempatan untuk mengalihkan pikiran dan melepaskan penat sejenak, sehingga
dapat mengurangi stres akadmeik pada peserta didik. Pada bagian akhir workplace
stretching exercise peserta didik akan melakukan Pursed Lip Breathing, dimana
teknik tersebut merupakan teknik menarik nafas melalui hidung kemudian
mengeluarkan nafas melalui mulut. Adapun manfaat melakukan teknik ini yaitu
mengurangi perasaan cemas, meningkatkan konsentrasi, mengurangi sesak nafas,
dan menjadikan tubuh menjadi lebih relaks (Hastuti & Rina, 2017)

Adapun tinjauan fisiologis dari kondisi stres yaitu suatu kondisi yang
merupakan dampak dari peningkatan hormon epinefrin dan kortisol. Hormon
epinefrin dapat mempengaruhi sistem saraf simpatis, yang dapat menimbulkan
berbagai masalah seperti meningkatkan tekanan darah, meningkatkan konsentrasi
glukosa dalam darah, meningkatkan ketegangan otot, dan meningkatkan aktivitas
mental. Peningkatan hormon kortisol memiliki dampak buruk bagi kekebalan
tubuh, karena kortisol menekan peredaran darah sel T dan sel B yang berfungsi
melindungi tubuh dari bakteri, virus dan infeksi yang dapat menimbulkan
penyakit. Seseorang yang memiliki tingkat stres yang tinggi berpengaruh terhadap
menurunnya kebugaran jasmani. Dengan melakukan aktivitas fisik yang terukur,
teratur dan terprogram mampu mengurangi peningkatan hormon-hormon pencetus
stres (Alamsyah, 2017). Dalam menjalani hidup dan kehidupan ini tidak bisa
terlepas dari kondisi yang menegangkan. Hal serupa juga dialami oleh para
pebelajar saat menghadapi ujian atau pembelajaran yang cukup menguras pikiran
dan tenaga. Stres yang berlebihan menyebabkan dilepaskannya kelompok hormon
nonadrenalin. Ini bermanfaat selama masih dalam batas normal, jika sudah
berlebihan akan mengakibatkan tekanan darah meningkat yang tentunya membuat
sirkulasi darah terhambat. Itu berarti suplai darah ke otak akan berkurang.
Akibatnya, nutrisi otak dan oksigenasinya berkurang yang mengakibatkan
munculnya kelelahan otak yang ditandai dengan susah berpikir, konsentrasi
berkurang, kelelitian menurun, kecermatan berkurang dan akhirnya menimbulkan
kebosanan (Sutajaya, 2019).

Adanya stressor yang mengakibatkan munculnya stres akademik pada


peserta didik yang nantinya dapat menganggu atau membuat kondisi belajar tidak
nyaman, ternyata dapat diatasi dengan penerapa workplace stretching exercise.
Hasil analisis membuktikan bahwa penerapan workplace stretching exercise di
sela pembelajaran dapat menurunkan stres akademik pada peserta didik secara
signifikan. Temuan ini bersinergi dengan temuan beberapa peneliti lainnya yaitu:
(1) Lusiana (2018) melaporkan bahwa berdasarkan hasil uji analisis hipotesis
dapat diketahui bahwa pemberian perlakuan berupa relaksasi otot progresif pada
kelompok eksperimen dapat menurunkan stres akademik bagi subjek. Kondisi
tersebut dibuktikan dengan adanya nilai signifikansi sebesar 0,005 (0,005 < 0,05)
dan penurunan skor rata-rata stress akademik pada kelompok eksperimen.
Sedangkan, pada kelompok kontrol yang tidak diberikan relaksasi otot progresif
mengalami kenaikan skor; (2) Safitri (2018) melaporkan bahwa progressive
muscle relaxation efektif dalam mengatasi tingkat stres belajar pada peserta didik.

4.2.6 Kontribusi Keluhan Muskuloskeletal dan Stres Akademik Terhadap


Hasil Belajar Peserta Didik
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa keluhan
muskuloskeletal tidak berkontribusi terhadap hasil belajar peserta didik karena
kontribusinya hanya sebesar 0,4% dengan nilai p=0,763 (p>0,05). Sama halnya
dengan stres akademik juga tidak berkontribusi terhadap hasil belajar peserta
didik, karena kontribusinya hanya sebesar 1,7% dengan nilai p=0,522 (p>0,05).
Berdasarkan hasil analisis dapat dinyatakan bahwa keluhan muskuloskeletal dan
stres akademik tidak berkontribusi secara signifikan terhadap hasil belajar peserta
didik.
Hal ini dikarenakan faktor yang mempengaruhi hasil belajar tidak hanya
keluhan muskuloskeletal dan stres akademik, namun ada beberapa faktor lain
yang juga sangat berpengaruh. Faktor yang dimaksud adalah faktor internal yang
berupa faktor fisik, faktor psikis, intelegensi, perhatian, minat, bakat, kematangan,
dan kesiapan belajar. Sedangkan faktor eksternal yang bisa berasal dari faktor
keluarga seperti cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana
rumah tangga, dan keadaan ekonomi keluarga. Sedangkan faktor sekolah, seperti
metode mengajar, kurikulum, relasi antara warga sekolah, disiplin sekolan, sarana
pembelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran dan metode belajar. Dan juga dari
faktor masyarakat, seperti kegiatan peserta didik dalam masyarakat, media, teman
bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat (Saputra, 2018). Peserta didik yang
mengalami keluhan muskuloskeletal dan stres akademik belum tentu berpengaruh
terhadap hasil belajar selama faktor-faktor lain masih bisa dikontrol. Dilihat dari
rerata hasil belajar peserta didik pada periode I sebesar 56,15 sedangkan rerata
hasil belajar peserta didik pada Periode II adalah 80,19. Rerata hasil belajar
peserta didik pada Periode I dapat dikategorikan rendah karena berada di bawah
nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yaitu 76, sedangkan rerata hasil
belajar peserta didik pada Periode II sudah berada di atas Kriteria Ketuntasan
Minimum (KKM).
Temuan ini bersinergi dengan temuan peneliti lain yaitu: (1) Pratama (2020)
melaporkan bahwa keluhan muskuloskeletal dan kebosanan tidak berkontribusi
terhadap prestasi belajar peserta didik karena kontribusinya hanya sebesar 1,4%
dengan nilai p=0,793 (p>0,05); (2) Ayustina (2020) melaporkan bahwa keluhan
muskuloskeletal dan konsentrasi belajar tidak berkontribusi terhadap prestasi
belajar peserta didik karena kontribusinya hanya sebesar 3,8% dengan nilai p=
0,536 (p<0,05).
4.3 Implikasi
Penerapan workplace stretching exercise dapat menurunkan keluhan
muskuloskeletal peserta didik sebesar 42,33% dan stres akademik peserta didik
sebesar 31,66%. Penurunan keluhan muskuloskeletal tidak berkontribusi terhadap
hasil belajar peserta didik karena kontribusinya hanya sebesar 0,4%. Dan
penurunan stres akademik tidak berkontribusi terhadap hasil belajar peserta didik
karena kontribusinya hanya sebesar 1,7%. Temuan tersebut berimplikasi terhadap
upaya pihak sekolah dalam mengurangi keluhan muskuloskeleral dan stres
akademik yang disebabkan oleh proses pembelajaran yang tidak mengacu pada
prinsip-prinsip ergonomi. Keberhasilan perlakuan penerapan workplace stretching
exercise tersebut nantinya dapat berimplikasi terhadap peningkatan kualitas
kesehatan peserta didik baik secara fisik maupun psikis dan luaran proses
pembelajaran. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penerapan workplace
stretching exercise dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal dan stres
akademik peserta didik sehingga terjadi peningkatan kualitas kesehatan peserta
didik di kelas X MIPA 1 di SMA Negeri Bali Mandara, akan tetapi belum
berkontribusi terhadap hasil belajar peserta didik.
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan
Bertolak dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikaji
berdasarkan penelitian yang relevan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penerapan worklplace stretching exercise menurunkan keluhan
muskuloskeletal secara bermakna pada peserta didik sebesar 42,33%.
2. Penerapan worklplace stretching exercise menurunkan keluhan
muskuloskeletal secara bermakna pada peserta didik sebesar 31,6%.
3. Keluhan muskuloskeletal tidak berkontribusi terhadap hasil belajar
kognitif peserta didik, karena kontribusinya hanya 0,4%.
4. Stres akademik tidak berkontribusi terhadap hasil belajar kognitif
peserta didik, karena kontribusinya hanya 1,7%.

5.2 Saran
Saran yang tampaknya penting untuk disampaikan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Kepada peserta didik disarankan agar tetap memerhatikan kesehatan
dan keselamatan saat belajar dengan cara menerapkan prinsip-prinsip
ergonomi dalam melakukan proses pembelajaran.
2. Pembelajaran dengan melakukan workplace stretching exercise
hendaknya mulai diterapkan karena sudah terbukti dapat menurunkan
keluhan muskuloskeletal dan stres peserta didik.
3. Kepada pengelola sekolah disarankan agar memberikan sosialisasi dan
latihan workplace stretching exercise terhadap pengajar, sehingga
setiap pengajar diharapkan dapat memberikan kegiatan peregangan di
sela-sela pembelajaran.
4. Kepada dinas terkait disarankan untuk menerapkan hasil penelitian ini
di sekolah lain yang memiliki kondisi serupa.

DAFTAR RUJUKAN

Abdul, H & Jihad, A. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.


Alamsyah, Devy. A. N., Hestiningsih, Retno dan Saraswati, Lintang D. 2017.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kebugaran Jasmani Pada
Remaja Siswa Kelas XI SMK Negeri 11 Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol. 5, No. 3, pp. 77-86.
Andiarna,Funsu & Estri Kusumawati. 2020. Pengaruh Pembelajaran Daring
terhadap Stres Akademik Peserta didik Selama Pandemi Covid-19. Jurnal
Psikologi. 16(2).
Anggriawan, R. 2016. Pengaruh Pemberian Peregangan (Stretching) Terhadap
Penurunan Keluhan Nyeri Pinggang Dan Nyeri Punggung Bawah (Low
Back Pain) Pada Pekerja Bagian Menjahit Cv.Vanilla Production Susukan
Semarang. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ardiyanti, N.P. 2020. Penggunaan Meja dan Tempat Duduk yang Tidak
Ergonomis Meningkatkan Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan serta
Kontribusinya terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik di SMAN 1 Seririt.
Skripsi. Universitas Pendidikan Ganesha.
Artha, R.D & Hijrin, F. 2021. Hubungan Tingkat Stres dan Aktivitas Fisik
Terhadap Kebugaran Jasmani pada Mahasiswa Semester Akhir di
Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Kesehatan Olahraga. 9(3), 261-270.
Ayustina, P.M. 2020. Penerapan Peregangan dalam Pembelajaran Biologi dapat
Mengurangi Keluhan Muskuloskeletal dan Meningkatan Konsentrasi Serta
Kontribusinya Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik di SMA Negeri 1
Singaraja. Skripsi. Universitas Pendidikan Ganesha.
Barseli. 2017. Konsep Stres Akademik Peserta didik. Jurnal Konseling dan
Pendidikan. 5 (143-148).
Barseli. 2018. Hubungan Stres Akademik Siswa Dengan Hasil Belajar. Jurnal
Pendidikan Indonesia. 4(1), 40-47.
Biomi, A.A dan Dharmayanti. C.I. 2021. Meja dan Kursi Belajar Ergonomis
Mengurangi Keluhan Muskuloskeletal Siswa SMP Tunas Daud di
Denpasar. Jurnal Ergonomi Indonesia. (7)2.
Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung; PT Remaja
Rosdakarya.
Desmita. 2017. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Dewi, K.L.P., Adiputra, N., Tirtayasa, K., Adiatmika, I.P.G., Adnyana, I.W.B.
2018. Pemberian Workplace Stretching Exercise dan Modifikasi Kondisi
Kerja Dapat Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan pada
Pekerja Pembuat Dodol Tradisional di Desa Tamblang Kabupaten
Buleleng. Jurnal Ergonomi Indonesia. 4(1), 11-17.
Halim, Abdul. 2019. Students Academic Stress and Implication in Counseling.
Jurnal Neo Konseling. 1(3).
Haqqi, A.H., Sutajaya, I.M., Sri, L.M.I., Manuaba, A., Sutjana, I.D.P.,
Swamardika, I.B.A. 2018. Pembelajaran Inovatif Jigsaw Berorientasi
Ergonomi pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris Meningkatkan Luaran
Proses dan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas X MA NW Gelondong.
Jurnal Ergonomi Indonesia. (4(1), 37-46.
Harahap, M.A., Decy, S., Ahmad, I., Ira, M.A., dan Cut, A.K.M. 2021. The
Difference of Musculoskeletal Disoders Before and After Workplace
Stretching Exercise. Journal of Vocational Health Studies.
Harwanti, S., Nur, U. dan Budi, A. 2017. Pengaruh Workplace Stretching
Exercise Terhadap Penurunan Keluhan Musculoskeletal Disorders(MSDs)
Pada Pekerja Batik Tulis Di Kecamatan Sokaraja, Jurnal Kesmas
Indonesia. 9(1), 49-59.
Haruyama, S. 2013. The Miracle of Endorphin (Sehat Mudah dan Praktis dengan
Hormon Kebahagiaan). Bandung: Qanita.
Hastuti, L.S. dan Rina, K. 2017. Pengaruh Workplace Stretching Exercise
Terhadap Kebosanan Belajar Dan Kelelahan Belajar Mahapeserta didik
Poltekkes Surakarta, Jurnal Keterapian Fisik. 2(2), 75-125.
Irwanti, N.K.D. 2010. Peregangan Otot Disela Pembelajaran Menurunkan
Kebosanan, Kelelahan, dan Keluhan Muskuloskeletal Peserta Didik Kelas
X SMK Pariwisata Triatma Jaya Badung. Tesis. Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Khairu, et al. 2019. Efektivitas Senam Zumba Terhadap Penurunan Tingkat Stres
Akademik Pada Remaja di SMP Darul Hijrah Putri. Jurnal Kognisia. 2(1).
Kroemer, K.H & Grandjean, E. 2000. Fitting the Task to the Human. Textbook of
Occupational Ergonomic. Fifth ed. Taylor and Francis.
Lusiana, indri. 2019. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan
Stress Akademik Pada Peserta didik SMP. Skripsi. Progam Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Netrawati, N dan Karneli,Y. 2018. Upaya Guru BK untuk Mengentaskan
Masalah-masalah Perkembangan Remaja dengan Pendekatan Konseling
Analisis Transaksional. Jurnal Bimbingan Konseling Islam. 2(1), 79-90.
Priyoto & Binar, W.W. Pengaruh Pemberian Intervensi Senam Peregangan di
Tempat Kerja Terhadap Penurunan Gangguan MSDs dan Kadar Asam
Urat Darah. Jurnal Keperawatan. 12(1).
Purba, Y.S & Putri, W.L. 2020. Berat Beban dengan Keluhan Muskuloskeletal
pada Siswa SMA. Holistik Jurnal Kesehatan. 14(4), 606-614.
Puspadewi, M.A., Adiatmika. I.P.G., Sutarja, I.N. 2018. Penerapan Istirahat Aktif
Meningkatkan Kapasitas Kerja dan Produktivitas Pekerja Bagian
Pembentukan Keramik di BTIKK BPPT Bali. Jurnal Ergonomi Indonesia.
4(2).
Rahmawati, W. K. 2016. Efektivitas Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk
Menangani Stres Akademik Peserta didik. JKI (Jurnal Konseling
Indonesia). 2(1), 15-21.
Rani,U., dan Sharma,R. 2018. Academic Stress And Time Management Skills A
Correlated Study. International Journal Of Research And Analytical
Reviews. 5(2), 1861-1865.
Rovitri, et al. 2015. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal Sebelum dan Sesudah
Pemberian Workplace Stretching Exercise Pada Perawat Di RSIA Badrul
Aini Medan. Jurnal Lingkungan dan Kesehatan Kerja Universitas
Sumatera Utara. 4(2).
Rusni, N.W., Tirtayasa, K., dan Muliarta, I.M. 2017. Workplace Stretching
Exercise dan Pemberian Teh Manis Memperbaiki Respon Fisiologis dan
Meningkatkan Produktivitas Penjahit di PT Fussion Hawai. Jurnal
Ergonomi Indonesia. 3(10).
Safitri, E. 2018. Efektifitas Progressive Muscle Relaxation Dalam Mengatasi Stres
Belajar pada Peserta Didik di MA Al-Hikmah Bandar Lampung. Skripsi.
UIN Raden Intan Lampung.
Sari, D.L., Widiani, E., & Trishinta, S.M. 2019. Hubungan Pola Pikir Pesimisme
dengan Resiko Depresi pada Remaja. Nursing News. 4(1): 88-89.
Sobirin. 2020. Identification of Student Health Complaint During Online Lectures
on the Covid-19 Pandemic Period. Jurnal Surya Medika. 6(1).
Sudarsani, L., Ni Luh, P.S.D.,& Gusti, N.J. 2021. Hubungan Stres Akademik
Dengan Depresi Pada Siswa MIPA di SMAN 4 Denpasar. Comunity of
Publishing in Nursing. 9(2).
Suryanada, K.D.I. 2020. Variasi Keberangkatan ke Sekolah Mengakibatkan
Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan serta Kontribusinya
Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik SMA Negeri 1 Sukasada. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Biologi Undiksha. 10(1).
Sutajaya, I.M. 2018. Ergonomi. Depok: Rajawali Pres.
Sutajaya, I.M. 2019. Ergonomi Pendidikan. Yogyakarta: Media Akademi.
Swari, N.P.D. 2019. Stasiun Kerja yang Tidak Antropometris Meningkatkan
Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan pada Penenun di PTDS Desa
Gelgel Klungkung Bali. Skripsi. Universitas Pendidikan Ganesha.
Syafrianto et al. 2019. Pengaruh Workplace Stretching Exercise (WSE) DAN
Heat Therapy (Hot Pack) terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada
Perawat. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 19(3)
Wijana, N., Nala, I.G.N., Tirtayasa, I.K., dan Sutajaya, I.M. 2009. Pembelajaran
Sains Melalui Pendekatan Ergonomi Mengurangi Keluhan
Muskuloskeletal, Kebosanan dan Kelelahan serta Meningkatkan Motivasi
dan Prestasi Belajar Peserta didik SD 1 Sangsit Kecamatan Sawan
Kabupaten Buleleng, Indonesian Journal of Biomedical Sciences. 3(1), 1-7
Wulandari, S & Rachmawati, M. A. 2014. Efikasi Diri dan Stres Akademik Pada
Peserta didik Sekolah Menengah Atas Program Akselerasi. Psikologika.19
(2)146-155
Yeo, S.K., & Lee, W.K. 2017. The Relationship Between Adolescents Academic
Stress, Impulsivity, Anxiety, and Skin Picking Behavior. Asian Journal of
Psychistry. 28, 111-114
Yusuf, M,N dan J. M. Yusuf. 2020. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres
Akademik. Jurnal Psyche.13 (02).
Zulis, et al. 2020. Relaksasi Otot Progresif Berpengaruh Menurunkan Stres Pada
Mahasiswa Tingkat Akhir Di Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muslim Indonesia. Window of Nursing Journal. 1(2), 123-132.

Anda mungkin juga menyukai