Anda di halaman 1dari 21

MENCIPTAKAN LINGKUNGAN PEMBELAJARAN

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Psikologi Pembelajaran
matematika

Disusun Oleh :
Camelia Anggun, S.Si. (188060057)
Sarifah Sari Maryati, S.Pd. (188060059)
Eneng Nurhasanah, S.Pd. (188060061)

MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Bismillahirrahmanirrahim.

Puji Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang karena rahmat serta
hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Menciptakan
Lingkungan Pembelajaran” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Psikologi Pembelajaran matematika.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak sekali kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Namun dengan segala kekurangan
yang ada, penulis berharap apa yang penulis hasilkan ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Akhir kata, atas bantuan dan partisipasinya penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Latar Belakang

Pembahasan tentang “Menciptakan Lingkungan Pembelajaran” dalam makalah ini


akan dibahas cara guru menciptakan lingkungan sosial dan fisik untuk belajar dengan
menelaah manajemen kelas; sebagai salah satu concerm utama para guru; khususnya guru
pemula. Sifat kelas, pengajaran, dan siswa menjadikan manajemen sebagai salah satu unsur
kritis kesuksesan guru di dalam pembelajaran. Guru yang sukses akan “menciptakan” waktu
untuk pembelajaran, melibatkan siswa, dan membantu siswa untuk menjadi self-managing.
Lingkungan belajar yang positif harus diciptakan dan dipertahankan sepanjang tahun.
Salah satu caranya adalah mencegah timbulnya masalah yang dapat mengganggu
pembelajaran. Dalam hal ini diperlukan respon yang tepat dari guru ketika menghadapi
berbagai problem yang dialami oleh siswa.
Para ahli pendidikan setuju bahwa motivasi siswa merupakan salah satu tugas kritis
pengajaran. Sebagian psikolog menjelaskan motivasi dalam kaitannya dengan trait (ciri-sifat)
personal atau karakteristik individu. Orang-orang tertentu menurut teori ini, memiliki
kebutuhan yang kuat untuk berprestasi, takut menghadapi tes, atau minat yang tidak pernah
padam pada seni (jadi mereka bekerja keras). Psikolog lain melihat motivasi sebagai state
(keadaan), sebuah situasi temporer. Motivasi pada waktu tertentu biasanya merupakan
kombinasi antara trait dan state.
Perkembangan pribadi, sosial dan moral merupakan aspek penting yang harus
diperhatikan dalam proses pembelajaran. Setiap anak memiliki perkembangan pribadi, sosial
dan moral yang berbeda-beda. Pembelajaran yang ideal tentunya mengarah kepada
pembentukan pribadi setiap siswa, yang diharapkan mampu melakukan sosialisasi dengan
lingkungannya berdasarkan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu,
guru dalam hal ini dituntut untuk melakukan kegiatan pembelajaran yang berorientasi
pembentukan pribadi, sosial dan moral siswa.
Dalam memenuhi panggilan ini, maka dalam jurnal ini dikemukakan tiga hal pokok
uraian, sebagai berikut:
1. Menciptakan lingkungan belajar;
2. Motovasi dalam belajar dan pembelajaran; dan
3. Perkembangan pribadi, sosial dan moral.
A. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang positif
Menciptakan Lingkungan Belajar

Salah satu faktor penting yang dapat memaksimalkan kesempatan pembelajaran bagi
anak adalah penciptaan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Lingkungan pembelajaran
dalam hal ini, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran
dilaksanakan. Sedangkan kondusif berarti kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung
keberlangsungan proses pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan interaksi antara anak
dengan lingkungannya, sehingga pada diri anak terjadi proses pengolahan informasi menjadi
pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai hasil dari proses belajar.
Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikian rupa, sehingga dapat memfasilitasi anak
dalam melaksanakan kegiatan belajar. Lingkungan belajar dapat merefleksikan ekspektasi
yang tinggi bagi kesuksesan seluruh anak secara individual. Dengan demikian, lingkungan
belajar merupakan situasi yang direkayasa oleh guru agar proses pembelajaran dapat
berlangsung secara efektif. Menurut Saroni (2006) dalam Kusmoro (2008), lingkungan
pembelajaran terdiri atas dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Lingkungan fisik dalam hal ini adalah lingkungan yang ada disekitar siswa belajar
berupa sarana fisik baik yang ada dilingkup sekolah,  dalam hal ini dalam ruang kelas belajar
di sekolah. Lingkungan fisik dapat berupa sarana dan prasarana kelas, pencahayaan,
pengudaraan, pewarnaan, alat/media belajar, pajangan serta penataannya. Sedangkan
lingkungan sosial merupakan pola interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran. Interaksi
yang dimaksud adalah interkasi antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan
sumber belajar, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, lingkungan sosial yang baik
memungkinkan adanya interkasi yang proporsional antara guru dan siswa dalam proses
pembelajaran.
Menurut Marzano & Marzano (2003) berbagai hasil studi menunjukkan bahwa
pengelolaan kelas adalah salah faktor yang sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa.
Pengetahuan dan keahlian di bidang pengelolaan kelas adalah tanda keahlian dalam
mengajar; stres dan merasa payah karena kesulitan di dalam pengelolaan kelas adalah tanda
awal burn-out dalam pengajaran (Emmer & Stough, 2001).
Kelas adalah jenis lingkungan yang khas. Kelas memilki fitur-fitur/perangkat khas yang
mempengaruhi penghuninya (siswa-guru). Selain bagaimana mengatur siswa dan tempat
duduk serta hal-hal yang diyakini guru tentang pendidikan (Doyley, 1986: 2006). Ruang
kelas bersifat multidimensional. Ruang penuh sesak dengan orang, tugas-tugas, dan tekanan
waktu. Semua individu yang ada menuju kepada pencapaian tujuan. Dalam kelas terdapat
pretensi, kemampuan yang berbeda harus berbagi sumber daya, menyelesaikan berbagai jenis
tugas, menggunakan berbagai bahan dan alat tanpa menghilangkannya, serta keluar masuk
ruangan dan seterusnya adalah dimensi-dimensi yang ditemui di ruang kelas (Woolfolk,
2009: 296).
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru dapat berefek ganda terhadap siswa.
Misalnya memberikan giliran menjawab kepada siswa yang berkemampuan rendah akan
mendorong partisipasi dan pemikiran mereka. Tepat di sisi lain, mungkin akan membuat
diskusi menjali lamban dan berbagai masalah managerial bila ia tidak dapat menjawab.
Berbagai persoalan yang dihadapi guru muncul secara simultan. Dalam kondisi yang
demikian, berbagai peristiwa tidak dapat diprediksi. Terkadang rencana pembelajaran sudah
diatur sedemikian rupa (OHP, LCD sudah disiapkan) tiba-tiba mati lampu, atau terjadi
tawuran di luar kelas (Woolfolk, 2009: 296).
Ruang kelas adalah ruang publik. Oleh karena itu, cara guru menangani persoalan yang
dihadapi akan dilihat dan dinilai oleh publik. Siswa akan menilai apakah guru berlaku adil,
atau mungkin ada siswa favorit, dan apa yang terjadi bila aturan dilanggar. Yang tak kalah
pentingnya adalah “kelas memiliki sejarah” (Woolfolk, 2009: 296), artinya tindakan guru dan
siswa dipengaruhi oleh tindakan yang terjadi sebelumnya (siswa terlambat tidak ada sanksi,
akan terulang terus menerus).
Menurut Brophy dan Evertson (1978) ada empat tahap umum mengelola kelas menurut
kebutuhan terkait umur, yaitu:
a. Selama TK hingga tahun-tahun awal SD diperlukan pengajaran langsung;
b. Masa pertengahan SD selain rutinitas kelas, prosedur-prosedur baru juga perlu
diajarkan secara langsung, dipantau, dan dipertahankan;
c. Akhir masa SD anak-anak mulai kritis (menguji dan menentang otoritas), oleh
karena itu diperlukan penanganan yang lebih efektif di samping senantiasa
memberikan motivasi pada siswa yang lebih tertarik kehidupan sosial ketimbang
pendapat guru; dan
d. Akhir SMA, tantangannya adalah mengelola kurikulum; menyesuaikan materi
dengan minat dan kemampuan siswa, serta membantu siswa dalam self-managing.
Manajemen kelas sebagai teknik yang digunakan untuk memelihara lingkungan yang
positif dan produktif, terbebas dari berbagai masalah perilaku. Tetapi bukan berarti, membuat
siswa patuh dan diam. Ada tiga alasan mengapa kita perlu mengelola kelas, sebagai berikut:
a. Lebih banyak menggunakan waktu untuk pembelajaran (allocated time)
Berdasarkan pengamatan, waktu aktual yang digunakan untuk pembelajaran di kelas
sangat sedikit. Lebih banyak waktu yang digunankan untuk interupsi, disrupsi, terlambat
memulai, dan peralihan yang tidak efisien dan efektif (Karweit & Slavin, 1981). Oleh karena
itu, salah satu tujuan dari manajemen kelas adalah mengalokasikan waktu yang lebih banyak
untuk pembelajaran “allocated time” (Woolfolk, 2009: 298). Meskipun demikian, tidak
menjamin bahwa pengalokasian waktu yang banyak secara otomatis akan meningkatkan
prestasi anak kalau tidak digunakan secara efektif. Waktu yang digunakan siswa untuk
terlibat aktif dalam tugas belajar disebut engaged time (time on task). Bila siswa bekerja
dengan tingkat kesuksesan yang tinggi dan benarbenar memahami materi, maka waktu yang
digunakan disebut academic learning time. Ini juga merupakan tujuan lain dari manajemen
kelas, yaitu menjaga agar siswa tetap terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Penggunaan
waktu secara efisien dan efektif juga akan memprediksi prestasi siswa maupun keputusan
drop-out siswa SMA (Fredricks, Blumenfeld & Paris, 2004).
b. Akses ke pembelajaran
Setiap kegiatan kelas memiliki aturan partisipasi yang berbeda-beda. Aturan itu
terkadang diuraikan secara jelas, tetapi kadang-kadang juga implisit dan tidak dinyatakan.
Agar siswa dapat berpartisipasi dalam suatu kegiatan, ia harus memahami struktur
partisipasinya. Tujuan lain dari manajemen kelas adalah memberikan akses ke pembelajaran
kepada seluruh siswa. Harus dipastikan bahwa seluruh siswa tahu bagaimana cara
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kelas (Emmer & Stough, 2001).
c. Manajemen untuk Self-Management
Tujuan ketiga dari manajemen kelas adalah membantu siswa agar lebih mampu
mengelola dirinya. Jika guru hanya fokus pada kepatuhan siswa, maka ia akan menghabiskan
waktu pada mengajar, memantau dan mengoreksi. Siswa akan memandang sekolah tidak
lebih dari mengikuti peraturan, bukan pada mengonstruksikan pemahaman tentang
pengetahuan akademik. Sementara struktur belajar yang kompleks seperti cooperative
learning atau problem-bases learning sangat membutuhkan self management siswa, bukan
kepatuhan siswa (McCaslin & Good, 1998). Peralihan dari menuntut kepatuhan ke
mengajarkan self-regulasi dan self-control adalah peralihan yang fundamental.
Pengembangan self-control itu sendiri merupakan pundamental dari kedisiplinan.
Pengetahuan dan keterampilan yang tidak dilandasi dengan self-control konsekwensi yang
ditimbulkan tidak maksimal (Tom Savage, 1999 dalam Woolfolk, 2009: 301). Siswa belajar
self-control dengan membuat pilihan-pilihan dan menghadapi konsekuensinya, menetapkan
tujuan dan prioritas, mengelola waktu, berkolaborasi belajar, memediasi perselisihan,
mengembangkan hubungan dan saling mempercayai dengan guru dan teman sekelas.
Mendorong self-management membutuhkan waktu ekstra. Guru yang hanya memilki sistem
manajemen kelas yang efektif, tetapi lalai di dalam menerapkan self-management sebagai
tujuan akan berdampak pada kesulitan siswa untuk bekerja secara mandiri (Woolfolk, 2009:
301)
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh para psikolog pendidikan di
Universtas of Texas Austria tentang manajemen kelas, diketahui bahwa ada perbedaan yang
mencolok tentang manajemen kelas di berbagai sekolah. Ada yang memiliki masalah
manajemen yang sedikit sementara sekolah lainnya memiliki masalah yang banyak.
Efektifitas guru diukur/diidentifikasi berdasarkan kualitas manajemen kelasnya dan prestasi
siswanya. Dari hasil penelitian ini dikembangkanlah prinsip-prinsip manajemen kelas.
Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diajarkan kepada guru-guru baru dan hasilnya cukup
positif. Para guru yang menerapkan prinsip yang telah dipelajari memiliki masalah yang lebih
sedikit, siswanya menghabiskan waktu lebih banyak, sedikit interupsi, dan prestasinya lebih
tinggi (Emmer, Evertson & Worsham, 2006).
Sebagai contoh pada Sekolah Dasar (SD), guru mengajar 20 sampai 30 murid dengan
kemampuan yang bervariasi setiap hari. Tanpa pengaturan dan prosedur yang efisien, maka
banyak waktu yang dihabiskan oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang-
ulang. Di tingkat SMP, guru harus melayani lebih dari 100 siswa setiap hari dengan
menggunakan lusinan bahan pada ruangan yang berbeda-beda. Siswa SMP sudah
berkemungkinan menentang kebijakan-kebijakan guru. Untuk mengatasi masalah ini, telah
dilakukan penelitian oleh Emmer & Evertson (2001) terhadap manajer-manajer efektif
sebagai dasar untuk merencanakan prosedur dan peraturan yang akan diterapkan di tingkat
SMP.

Prosedur dan peraturan untuk menciptakan lingkungtan pembelajaran yang positif


• Prosedur
Menurut Andy Mignano menyarankan guru untuk menetapkan rutinitas-rutinitas untuk
mencangkup bidang-bidang berikut :
1. Rutinitas administratif
2. Pergerakan siswa
3. “mengurus rumah”
4. Rutinitas untuk menyelesaikan pelajaran
5. Interaksi antara guru dan siswa
6. Bicara diantara siswa.
• Peraturan
Peraturan untuk sekolah dasar. Evertson dan rekan-rekan sejawatnya (2006)
memberikan empat peraturan umum untuk kelas-kelas sekolah dasar:
1. Sopan dan hormat kepada semua orang
2. Tepat waktu dan mempersiapkan diri
3. Mendengarkan dengan tenang saat orang lain sedang berbicara
4. Mematuhi peraturan sekolah
Peraturan untuk sekolah menengah. Emmer dan rekan-rekan sejawatnya (2006)
menyarankan enam contoh peraturan untuk siswa-siswa sekolah menengah:
1. Bawa semua bahan yang dibutuhkan ke kelas.
2. Duduk di tempat dudukmu dan siap bekerja saat bel berdering.
3. Hormati dan sopan pada semua orang.
4. Hormati barang milik orangt lain.
5. Dengarkan dan dudduk saat orang lain sedang berbicara.
6. Patuhi semua peraturan sekolah.

B. Memelihara Lingkungan yang Baik untuk Pembelajaran


Ada 2 aspek penting yang perlu dikembangkan oleh guru sehingga mampu menciptakan
pembelajaran yang kondusif bagi siswa, yaitu:
1. Kepribadian Guru dan Tanggung Jawab Pendidik
Dalam memelihara kondisi dan suasana belajar yang efektif maka guru sebagai
pembimbing mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakannya. Adapun
yang harus dilakukan seorang guru adalah:
 Guru sebagai perancang pengajaran dituntut memiliki kemampuan untuk merencanakan
kegiatan belajar mengajar secara efektif, yang berarti harus memiliki pengetahuan dan
keahlian yang profesional serta kesiapan pada proses belajar mengajar[2].
 Guru sebagai pembimbing, dituntut untuk mengadakan pendekatan secara instruksional
yang bersifat pribadi dalam setiap proses belajar mengajar berlangsung. Pendekatan
pribadi dimaksudkan untuk lebih mengenal dan memahami murid-murid secara
mendalam sehingga dapat membantu dalam keseluruan belajar mengajar.[5]
 Guru sebagai pengajar.
 Guru sebagai pengelolah pengajaran, dituntut untuk memiliki kemampuan mengelolah
seluruh proses kegiatan belajar mengajar dengan menciptakan suasana belajar yang
menguntungkan bagi siswa sehingga siswa benar-benar belajar secara efektif .[3]
2. Suasana Pembelajaran
 Cara pengajaran Pendidik
Dalam rangka memelihara kondisi dan suasana belajar yang efektif maka guru harus
mampu memilih cara yang tepat dalam pelaksanaan pembelajaran. Karena mengajar
adalah hal yang kompleks dan melibatkan peserta didik yang bervariasi, maka seorang
Pendidik harus mampu dan menguasai beragam strategi dan perspektif serta dapat
mengaplikasikannya secara fleksibel.[7] 
Dalam hal ini guru harus mempunyai pengetahuan dan keahlian yang profesional
dalam pelaksanaan pembelajaran. Dalam hal ini guru harus mampu menguasai materi
pelajaran, strategi pengajaran, mempunyai keahlian manajemen kelas, keahlian
motivasional, keahlian komunikasi dan dapat bekerja secara efektif dengan murid dari
latar belakang kultural yang beragam. Dalam hal ini Pentingnya Guru Memotivasi
Siswa merupakan salah satu yang urgen dalam meningkatkan minat belajar siswa.
Dapat diambil kesimpulan bahwa dalam memelihara kondisi dan suasana belajar
yang efektif maka harus terwujud seorang guru yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan pembelajaran, adanya penataan lingkungan belajar yang baik, serta cara
atau strategi pengajaran seorang guru yang profesional.
 Mendorong Keterlibatan Siswa
 Jalin Komunikasi Dengan Siswa
Pada dasarnya siswa itu adalah pribadi yang ingin diperhatikan. Untuk membuat
mereka merasa diperhatikan salah satunya dengan mengajaknya ngobrol. Dengan
begitu kita sebagai guru bisa lebih memahami mereka. Seorang guru mesti bisa
memahami apa yang mereka inginkan, cara belajar yang bagaimana mereka suka,
apa kesulitan yang mereka handapi. Dengan begitu kita bisa memperbaiki dan
meningkatkan kualitas belajar mereka di kelas
 Penataan Lingkungan Belajar
Dalam memelihara kondisi dan suasana yang efektif perlu adanya penataan
lingkungan belajar. Aktivitas guru dalam menata lingkungan belajar lebih
terkonsentrasi pada pengelolaan lingkungan belajar di dalam kelas. Oleh karena itu
guru dalam melakukan penataan lingkungan belajar dikelas tiada lain melakukan
aktivitas pengelolaan kelas atau manajemen kelas (classroom management). 
Menurut Milan Rianto, pengelolaan kelas merupakan upaya pendidik untuk
menciptakan dan mengendalikan kondisi belajar serta memulihkannya apabila
terjadi gangguan dan/atau penyimpangan, sehingga proses pembelajaran dapat
berlangsung secara optimal.[6] Lingkungan belajar di kelas sebagai situasi buatan
yang berhubungan dengan proses pembelajaran atau konteks terjadinya pengalaman
belajar, dapat di klasifikasikan yang menyangkut : lingkungan (keadaan) fisik, dan
lingkungan sosial.
 Bangun Kesadaran Disiplin
Disipilin perlu kesadaran dari dalam diri peserta didik. Tanpa adanya kesadaran
tentu penegakan disiplin akan sulit. Kesadaran disiplin yang tinggi akan membuat
segalanya menjadi teratur dan tertib. Lingkungan seperti ini sangat bagus buat
membangun karakter peserta didik.

 Lengkapi Fasilitas Belajar


Fasilitas belajar adalah pendukung terciptanya lingkungan belajar yang baik di
kelas. Semakin lengkap semakin memudahkan peserta didik memahami materi
pelajaran. Kelas yang memiliki fasilitas yang memadai merupakan lingkungan
belajar yang bagus dalam belajar. Karena Lingkungan belajar yang baik bisa
membawa peserta didik kepada pengetahuan dan pemahaman bukan?
Fasilitas belajar itu sendiri bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
 Sumber Belajar
Menurut Edgar Dale dalam Kherid (2009) mengemukakan sumber belajar adalah
“segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi belajar seseorang”.
 Alat belajar
Alat belajar merupakan bahan atau alat apapun yang digunakan untuk membantu
dan peyampaian dan penyajian materi pembelajaran. Alat ini dapat berupa alat
peraga baik itu alat elektronik maupun alat lainnya yang digunakan dalam proses
belajar mengajar.
 Pendukung Pembelajaran
Bagian lain yang cukup penting dalam fasilitas belajar adalah prasarana pendukung
berupa gedung, terkhusus ruang kelas yang digunakan dalam pembelajaran.
Diharapkan dalam ruangan atau gedung tersebut tercipta suasana yang kondusif
guna kelancaran dan tercapainya tujuan pembelajaran

C. Kebutuhan Komunikasi
Kehidupan manusia dalam menjalani segala aktivitasnya tentu membutuhkan media
berupa komunikasi yang dapat menghubungkan mereka sehingga tercapai
kesalingberpahaman. Kata komunikasi berasal dari bahasa latin communico yang dalam
bahasa lnggris berarti to share. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa komunikasi adalah
proses memberi dan menerima dari pihak yang satu kepada pihak lain.
Komunikasi lebih dari sekedar kata-kata yang saling dipertukarkan diantara individu-
individu. Kita berkomunikasi dengan banyak cara, diantaranya tindakan, gerakan, nada suara,
ekspresi wajah, dan banyak perilaku nonverbal lainnya.
Komunikasi dapat digunakan untuk membentuk saling pengertian sehingga
menumbuhkan tali persahabatan, menyampaikan informasi, mengungkapkan perasaan kasih
sayang, dan untuk melestarikan peradaban manusia.
Komunikasi dapat pula menumbuhkan permusuhan, menanamkan perasaan benci, dan
mengakibatkan perpecahan di antara manusia itu sendiri. Di semua interaksi, terkadang pesan
yang dikirimkan tidak sama dengan pesan yang diterima. Prinsip pertama komunikasi adalah
orang merespons apa yang mereka pikir diucapkan atau dimaksudkan oleh si pembicara, yang
belum tentu merespons pesan yang dimaksud atau kata-kata aktual yang diucapkan si
pembicara.
Paraphrase Rule merupakan kebijakan yang si pendengarnya harus merangkum
dengan akurat apa yang telah dikatakan si pembicara sebelum diperbolehkan untuk
meresponnya. Bila rangkumannya salah, yang menunjukan bahwa si pembicara dipahami
secara keliru, si pembicara harus menjelaskannya lagi. Respondent (orang yang merespons)
lalu mencoba memparaphrasakannya lagi. Proses ini terus berlanjut sampai si pembicara
setuju si pendengar mendengar pesan yang dimaksudnya.
1. Bentuk Komunikasi
Bentuk komunikasinya secara garis besar dibagi ke dalam tiga sistem yaitu:
1) Komunikasi pribadi yang terbagi menjadi dua, yakni :
a. Komunikasi intra pribadi yaitu proses komunikasi yang berlangsung dalam diri
seseorang
b. Komunikasi antar pribadi yaitu proses komunikasi yang berlangsung antara
individu satu dengan individu lainnya
2) Komunikasi kelompok: proses komunikasi yang terjadi pada suatu kelompok
manusia, terbagi dalam :
a. Kelompok kecil yaitu kuliah, diskusi panel, symposium seminar
b. Kelompok besar atau komunikasi di wilayah publik (public speaking)
3) Komunikasi massa: pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah
besar individu.
Bentuk komunikasi yang begitu akrab dalam interaksi manusia adalah bentuk
komunikasi antar pribadi. Komunikasi antar pribadi sebenarnya adalah bukan sekadar
komunikasi yang terjalin antara dua orang tanpa perantara media (face to face).
Menurut pandangan Burgoon dan Ruffner. Komunikasi antar pribadi harus
dibedakan dari berbicara di muka umum maupun komunikasi di dalam kelompok.
Komunikasi antar pribadi juga harus mampu mencerminkan bahwa manusia yang
berkomunikasi mampu mengekspresikan kehangatan, keterbukaan, dukungan terhadap pihak
yang sedang diajak berkomunikasi. Erat kaitannya dengan masalah komunikasi antar pribadi,
Bochner dan Kelly (dalam Jandt,) mengemukakan adanya kemampuan-kemampuan
yang dibutuhkan dalam menjalin komunikasi antar pribadi, yaitu:
1) Empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam
komunikasi dengan orang lain dengan cara menganalisis isi pembicaraan, nada suara
sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang
yang bersangkutan;
2) Diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, diskriptif;
3) Kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan
mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap
perasaan yang dialami;
4) Sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi
5) Tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami
2. Bentuk Respons Komunikasi
Dalam kehidupan sehari-hari, Anda akan banyak menemui orang lain dan saling
berhubungan atau saling melakukan Komunikasi.  Dalam komunikasi efektif selalu terkait
dengan cara Anda menyikapi lawan bicara, apakah Anda akan berlaku AGRESIF, PASIF
atau memilih ASERTIF. Pilihan perilaku Agresif, Pasif, Asertif dalam komunikasi mutlak
adalah HAK Anda.
Tindakan Anda untuk memilih perilaku Agresif, Pasif, Asertif menjadi penentu hasil
akhir sebuah Komunikasi.  Dan Anda tentu sangat yakin bahwa Komunikasi yang efektif
merupakan pangkal keberhasilan dan sukses dalam kehidupan pribadi atau professional.
Perbedaan Perilaku Agresif Pasif Asertif dalam Komunikasi dengan Lawan Bicara menjadi
dasar keberhasilan hubungan antar sesame.
Perilaku dalam Komunikasi dibedakan menjadi 3 macam, yakni Agresif, Pasif dan
Asertif.  Anda dapat menjaga diri untuk selalu bersikap Asertif dan menghindari Perilaku
Agresif ataupun Pasif.  Untuk itu Anda dapat mempelajarinya dengan memahami perbedaan
3 perilaku dalam komunikasi tersebut.
1) Komunikasi Agresif
Definisi perilaku agresif adalah anda akan mempertahankan sikap dan pendapat.  Anda
tidak peduli dengan pendapat atau keinginan orang lain. Dan anda menginginkan hasil
akhirnya sebagai pemenang dari Komunikasi yang terjadi.  Sikap dan Perilaku Komunikasi
Agresif dapat dicirikan sebagai :
a. Terlalu banyak membuat permintaan kepada orang lain.
b. Terlalu dominan dalam menyuruh dan memerintah orang lain.
c. Kontak mata cenderung tegas dan melotot kepada lawan bicara.
d. Bahasa tubuh kaku dan menunjuk-nunjuk atau mengepalkan tangan.
e. Postur tubuh tegang dan cenderung membusungkan dada.
f. Ekspresi muka tampak memerah atau menahan emosi.
g. Intonasi suara tinggi dan berbicara keras dengan berapi-api.
Sikap perilaku komunikasi Agresif bisa berdampak buruk bagi Anda.  Diantaranya adalah:
a. Menjadi terasing dari orang lain
b. Mengasingkan orang lain
c. Menimbulkan rasa takut dan benci pada orang lain
d. Menyalahkan orang lain daripada mencari tahu akar masalah sendiri, dan karena itu
anda tidak akan dewasa
2) Komunikasi Pasif
Perilaku atau sikap pasif ibarat anda selalu menghindari konflik atau konfrontasi dengan
lawan bicara.  Tujuannya demi menjaga suasana damai dan tenang.  Anda cenderung
mengalah demi kelanggengan hubungan yang telah terjalin.  Anda dapat mengorbankan
kepentingan pribadi yang mungkin saja lebih penting daripada hubungan komunikasi
tersebut.  Sikap pasif dapat terlihat dari beberapa hal berikut:
a. Tidak mampu membuat permintaan kepada lawan bicara atau orang lain.
b. Cenderung menyimpan keinginan dalam hati dan enggan untuk diungkapkan.
c. Tidak mampu berkata “tidak” atau menolak permintaan orang lain, walau sebenarnya
tidak menginginkan permintaan tersebut.
d. Menghindari kontak mata lawan dan tidak mampu menatap lawan bicara.
e. Bahasa tubuh gugup, salah tingkah, dan tangan cenderung berkeringat.
f. Postur tubuh cenderung bungkuk, lemah atau lemas.
g. Muka memerah karena menahan malu atau pucat.
h. Berbicara pelan bahkan nyaris tidak terdengar
Dampak komunikasi pasif bagi para pelaku diantaranya berakibat:
a. Anda sering merasa cemas karena hidup terasa di luar kontrol diri
b. Sering merasa tertekan karena merasa terjebak dan putus asa
c. Anda sering kesal (tapi tidak sadar) karena kebutuhan tidak terpenuhi
d. Sering merasa bingung karena mengabaikan perasaan anda sendiri
e. Anda tidak akan dewasa (mature) karena masalah nyata tidak pernah
teridentifikasikan.
3) Komunikasi Asertif
Perilaku atau sikap inilah yang merupakan salah satu tabiat atau perilaku manusia
efektif.  Anda tidak mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi pun sebaliknya tidak
semena-mena menahan diri dari intervensi orang lain.  Anda mengajak lawan bicara untuk
menemukan kemenangan bersama atau mendahulukan menang-menang.
Gaya komunikasi individu asertif dengan jelas menyatakan pendapat dan perasaan anda,
dan tegas membela hak dan kebutuhan anda.  Tentu tanpa melanggar hak orang lain. Anda
sangat menghargai diri sendiri, waktu, dan kebutuhan emosional, spiritual, dan fisik.  Dan
anda merupakan pendukung kuat untuk diri sendiri saat meski juga harus respek dengan hak
orang lain.
Perilaku asertif adalah contoh komunikasi efektif yang berguna dalam pengembangan diri
dan profesi anda.  Berikut beberapa indikasi yang dapat anda jadikan sebagai petunjuk dalam
mengembangkan sikap atau perilaku asertif, yakni:
a. Mampu membuat permintaan kepada orang lain dengan cara wajar, tanpa
menunjukkan sikap kuasa atau kata perintah.
b. Mampu menolak permintaan orang lain dengan sikap wajar, sopan dan tidak
menyakiti perasaan orang lain dan perasaan diri sendiri.
c. Kontak mata terjadi secara wajar, dengan pandangan yang tenang dan pantas.
d. Bahasa tubuh luwes, tenang dan wajar dengan aura keakraban.
e. Postur tubuh tegap, tenang dan rileks.
f. Muka tampak berseri-seri, penuh senyuman dan ekspresi wajar.
g. Berbicara dengan intonasi sedang, volume suara cukup, dan terasa lemah lembut.
Pola komunikasi asertif ini sangat jelas dampaknya pada para pelaku yakni :
a. Perasaan terhubung dengan orang lain.
b. Mempunyai kendali pada kehidupan pribadi
c. Bersikap dewasa karena mampu menggarisbawahi isu masalah yang timbul
d. Membangun suasana respek bagi orang lain untuk tetap tumbuh dan dewasa
Sikap dan perilaku yang anda pilih dalam sebuah hubungan komunikasi menjadi dasar
keberhasilan dan keberlangsungan relasi dengan rekan kerja, kolega, atasan dan bawahan,
teman dan sahabat.  Sikap asertif adalah pilihan perilaku komunikasi yang efektif dalam
jangka pendek atau jangka panjang.  Anda mengajarkan diri sendiri dan orang lain dalam
mengutamakan hubungan menang-menang satu dan lainnya.
Perbedaan antara agresif, pasif dan asertif dalam komunikasi, harus dipahami dan
dipraktikkan setiap saat.  Dengan demikian dapat menjadi sebuah nilai diri anda yang
bermanfaat. Manfaat tidak hanya dalam hubungan komunikasi dengan teman, namun juga
bagi hubungan bawahan dan atasan.
3. Komunikasi Pendidikan
Metode komunikasi digunakan agar komunikasi antar manusia terjalin secara efektif.
Metode komunikasi sering kali dikenal dengan teknik komunikasi, yaitu cara yang digunakan
dalam menyampaikan informasi dari komunikator ke komunikan dengan media tertentu.
Dengan adanya teknik ini diharapkan setiap orang dapat secara efektif melakukan
komunikasi satu sama lain dan secara tepat menggunakannya (Mulyana, 2005). Effendy
(2006) metode komunikasi terdiri atas :
1) Komunikasi informative (informative communication), suatu pesan yang disampaikan
kepada seseorang atau sejumlah orang tentang hal-hal baru yang diketahuinya.
2) Komunikasi persuasif (persuasive communication), proses mempengaruhi sikap,
pandangan, atau perilaku seseorang dalam bentuk kegiatan membujuk dan mengajak,
sehingga ia melakukan dengan kesadaran sendiri.
3) Komunikasi instruktif/koersif (instructive/coercive communication), komunikasi yang
mengandung ancaman, sangsi, dan lain-lain yang bersifat paksaan, sehingga orang-orang
yang dijadikan sasaran melakukan sesuatu secara terpaksa, karena takut akibatnya.
Menurut Effendy (2008) komunikasi dikatakan tidak efektif apabila seperti beberapa
indikator berikut:
1) Perbedaan Persepsi
2) Reaksi emosional
3) Ketidak-konsistenan komunikasi verbal dan nonverbal
4) Kecurigaan
5) Tidak adanya timbal balik (feedback)
Komunikasi efektif berkaitan dengan kemampuan (ability) komunikator dan
komunikannya. Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan kitaberusaha dengan
diri sendiri (Moeliono, 2005: 707). Menurut Soelaiman (2007:112) kemampuan adalah sifat
yang dibawa lahir atau dipelajari yangmemungkinkan seseorang yang dapat menyelesaikan
pekerjaannya, baik secara mental ataupun fisik.
Aspek-aspek yang paling penting dalam kemampuan komunikasi secara efektif terdiri
dari komunikator, komunikan, media yaitu alat untuk menyampaikan dan pesan sesuatu yang
disampaikan. Karena selain dari tiga aspek tersebut semuanya sudah mengacu kepada
kurikulum yang berlaku (kompetensi inti dan kompetensi dasar) baik yang berupa
pesan/materi pelajaranataupun efek komunikasi yang biasanya berupa nilai prestasi belajar
(Handayani, 2011).
Strategi komunikasi mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kegiatan:
1) Menyebarluaskan pesan komunikasi kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang
optimal.
2) Menjembatani kesenjangan budaya akibat kemudahan yang diperoleh dan kemudahan
dioperasionalkannya media massa. (Achmad, dkk, 2013:33)
Strategi untuk Meningkatkan Efektifitas dalam Komunikasi Pendidikan
1) Mengenali sasaran komunikasi
Sebelum melakukan komunikasi, kita perlu mempelajari person yang akan menjadi
sasaran komunikasi tersebut. Hal tersebut bergantung pada tujuan komunikasi.
2) Pemilihan media komunikasi
Media komunikasi sangat banyak jumlahnya, mulai dari yang tradisional sampai
dengan modern. Untuk mencapai sasaran komunikasi, kita bisa memilih salah satu
atau menggabungkan beberapa media, tergantung pada tujuan yang akan dicapai,
pesan yang akan disampaikan, dan teknik yang akan dipergunakan.
3) Pengkajian tujuan pesan komunikasi
Pesan komunikasi memiliki tujuan tertentu. Ini menentukan teknik yang akan
diambil.
4) Peranan komunikator dalam komunikasi
Yakni ada pada daya tarik dan kredibikitas.
Selain itu keefektifan pembelajaran sangat ditentukan oleh adanya perhatian dan minat
pebelajar. Ini sesuai dengan model “AIDA singkatan dari perhatian (Attention), minat
(Interest), hasrat (Desire), dan kegiatan (Action)”. Maksudnya agar terjadi kegiatan pada diri
pebelajar sebagai komunikan, maka terlebih dahulu harus dibangkitkan perhatian dan
minatnya kemudian dilanjutkan dengan penyajian bahan.
Komunikasi yang jelas dalam sebuah pembelajaran adalah salah satu syarat pembelajaran
dapat berlangsung efektif. Jadi bila kita ingin menjadi guru yang efektif, marilah kita
bersama-sama memperbaiki kemampuan kita berkomunikasi kepada siswa-siswa kita pada
setiap pembelajaran yang kita laksanakan.
Dalam komunikasi yang efektif, terdapat lima hal yang perlu diperhatikan:
1) Respect, jika kita harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh
respek terhadap harga diri dan kebanggaan seseorang. Sebuah penghargaan yang tulus
kepada siswa, membuat siswa dapat membedakan antara perlakuan yang tulus dan tidak
tulus. Berikan penghargaan maka anda sebagai seorang pendidik akan dihargai oleh
siswa. Berikan penghargaan maka proses belajar mengajar menjadi sebuah proses yang
menyenangkan bagi semua pihak.
2) Emphaty, perlu saling memahami dan mengerti keberadaan, perilaku, dan keinginan dari
siswa. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu
mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya
pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologi atau penolakan dari
penerima.
3) Audible, dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik, berarti pesan yang kita
sampaikan bisa diterima dengan baik oleh penerima pesan.
4) Clarity, perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau
disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan.
Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan
menurunkan semangat dan antusiasme siswa dalam proses belajar-mengajar.
5) Humble, dengan menghargai orang lain, mau mendengar, menerima kritik, tidak
sombong, dan tidak memandang rendah orang lain.
Hambatan Komunikasi Pendidikan Menurut Ron Ludlow & Fergus Panton (1992:10-11),
hambatan-hambatan yang menyebabkan komunikasi tidak efektif yaitu :
1) Status effect: Adanya perbedaaan pengaruh status sosial yang dimiliki setiap manusia.
2) Semantic Problems : Faktor semantik menyangkut bahasa yang dipergunakan
komunikator sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada
komunikan.
3) Perceptual distorsion : Cara pandang yang sempit pada diri sendiri dan perbedaaan cara
berpikir serta cara mengerti yang sempit terhadap orang lain.
4) Cultural Differences : Perbedaan kebudayaan, agama, dan lingkungan sosial.
5) Physical Distractions : Gangguan lingkungan fisik terhadap proses berlangsungnya
komunikasi.
4. Manajemen Kelas
1) Emphatheic Listening dan Active Listening
Komunikasi antara guru dan siswa essensial bila timbul masalah. Semua interaksi
diantara orang, bahkan yang dilakukan diam-diam atau diabaikan, mengkomunikasikan
makna tertentu.
Sebagai guru anda mungkin menemukan banyak prilaku siswa yang tidak dapat diterima,
tidak menyenangkan, atau meresahkan. Seringkali sulit untuk melihat secara objektif masalah
ini dan menentukan respons yang tepat. Menurut Thomas Gordon (1981), kunci untuk guru
yang baik - hubungan dengan siswa menentukan mengapa anda dibuat susah oleh perilaku
tertentu dan siapa yang mempunyai masalah itu. Guru harus bertindak sebagai konselor dan
pendukung, membantu siswa menemukan solusinya. Akan tetapi bila guru yang mempunyai
masalah itu, maka guru bertanggung jawab untuk menemukan solusi melalui problem solving
bersama siswa.
Emphatheic Listening (mendengarkan dengan penuh empati) untuk membiarkan siswa
menemukan solusi. Mendengarkan maksud dan emosi di balik apa yang diucapkan orang lain
dan mereflesikannya kembali dengan memprarafrasakannya. Dengan mencoba
mendengarkan siswa dan dengan menghindari kecenderungan untuk melompat terlalu cepat
dengan memberikan nasihat, solusi, kritik, teguran, atau interogasi, guru membuat jalur
komunikasinya tetap terbuka.
Active Listening (mendengarkan secara aktif) mempunyai komponen-komponen : (1)
memblokir stimuli eksternal, (2) memerhatikan baik-baik pesan-pesan verbal maupun
nonverbalnya, (3) membedakan antara kandungan intelektual dan emosional pesan itu, dan
(4) menarik kesimpulan tentang perasaan si pembicara.
Bila siswa menyadari bahwa dirinya benar-benar telah didengarkan dan apa yang
diucapkan atau dirasakannya tidak dievaluasi secara negative, mereka mulai memercayai
guru dan mau berbicara lebih terbuka. Terkadang masalah sebenarnya nanti akan muncul ke
permukaan dalam percakapan.
Mendengarkan secara aktif dan penuh empati dapat menjadi respons yang membantu
ketika siswa membawa masalah kehadapan guru. Guru harus merefleksikan balik kepada
siswa tentang apa yang didengarnya dari ucapan siswa. Refleksi ini seharusnya menangkap
emosi, maksud, dan makna dibaliknya.
2) Konfrontasi dan Assertive Discipline
“I” message pada dasarnya berarti memberi tahu siswa kesalahan yang dilakukannya.
Gordon (1981) merekomendasikan sebuah “I” message untuk mengintervensi dan mengubah
prilaku siswa. “I” message merupakan suatu pernyataan yang jelas dan tidak bernada
mendakwa tentang bagaimana sesuatu telah memengaruhi diri anda. Pada dasarnya ini berarti
memberi tahu siswa dengan cara tidak berbelit belit, asertif, dan tidak menghakimi tentang
apa yang dilakukannya, bagaimana perbuatannya itu memengaruhi anda sebagai guru, dan
bagaimana perasaan anda tentang hal itu. Siswa kemudian bebas menentukan untuk berubah
secara sukarela.
Lee dan Marlene Canter (1992; Canter, 1996) menyarankan dua pendekatan lain untuk
menangani masalah yang dimiliki oleh guru. Mereka menyebut metode mereka assertive
discipline (disiplin asertif). Banyak guru yang tidak efektif dalam menghadapi siswa karena
mereka bersikap “wishy-washy” (plin-plan) dan pasif atau bermusuhan dan agresif. (Charles,
2002a). Assertive discipline merupakan gaya respons yang jelas, tegas, dan tidak
bermusuhan.
John Covaleskie (1992) mengobservasi “apa yang membantu anak-anak menjadi
bermoral bukan pengetahuan tentang peraturan, atau bahkan kepatuhan terhadap peraturan,
tetapi diskusi tentang alasan untuk bertindak dengan cara tertentu”.
Versi-versi Assertive discipline yang lebih mutakhir difokuskan pada mengajari siswa
“dalam atmosfer yang penuh hormat, kepercayaan, dan dukungan, bagaimana bertindak
secara bertanggungjawab” (Charles, 2002a, hlm.47)
3) Konfrontasi dan negosiasi
Bila “I” message dan respons assertif gagal dan siswa tetap bertahan dengan perilaku
buruknya, berarti guru dan siswa terlibat konflik. Dua individu menjadi kurang mampu untuk
saling memersepsi perilaku satu sama lain secara akurat. Penelitian menunjukan bahwa
semakin marah anda kepada orang lain. Anda akan semakin melihat orang lain itu sebagai
penjahat dan diri anda sebagai korban tak bersalah. Oleh karena anda merasa orang lain itulah
yang salah dan ia mempunyai perasaan sekuat anda bahwa konflik itu seluruhnya kesalahan
anda, maka saling percaya menjadi sangat kecil kemungkinannya untuk muncul. Solusi
kooperatif bagi masalah itu nyaris tidak mungkin.
Ada tiga metode untuk mengatasi konflik antara guru dan siswa. Yang pertama adalah
guru yang memberikan solusi. Metode yang kedua adalah guru menyerah pada tuntutan
siswa. Secara umum, adalah ide buruk untuk bergeser dari sebuah posisi, kecuali posisi itu
memang salah. Gordon merekomendasikan metode yang ketiga yaitu No-lose method yang
merupakan strategi problem solving enam langkah:
a. Definisikan masalahnya. Apa tepatnya perilaku yang terlibat? Apa yang diinginkan
oleh masing-masing orang?
b. Munculkan banyak kemungkinan solusi. Lakukan brainstorming tanpa melakukan
evaluasi ide
c. Evaluasi setiap solusi. Setiap partisipan boleh memveto setiap ide. Bila tidak ada solusi
yang dianggap dapat diterima, lakukan brainstorming sekali lagi
d. Putuskan. Pilih satu solusi melalui konsensus - tidak ada voting. Diakhir setiap orang
harus puas dengan solusinya
e. Tentukan cara mengimplementasikan solusinya. Apa yang kan dibutuhkan? Siapa yang
akan bertanggung jawab atas masing-masing tugas? Bagaimana penjadwalannya?
f. Evaluasi keberhasilan solusinya. Setelah mencoba solusi itu beberapa waktu, tanyakan,
“apakah kita puas dengan keputusan kita? Seberapa baik solusi itu bekerja? Haruskah
kita melakukan beberapa perubahan?
4) Keanekaragaman dan konvergensi
Kita telah melihat beberapa perspektif tentang manajemen kelas jelas tidak ada one-size-
fit-all strategy (Strategi yang dapat diterapkan di semua situasi) untuk menciptakan ruang
social dan fisik untuk pembelajaran.
Guru akan melayani dirinya dan siswanya dengan baik bila mereka berusaha menjadi
bicultural. Dengan membantu siswa belajar cara berfungsi dengan baik di budaya arus-
utama maupun di budaya asalnya, tetapi juga mempelajari makna kata-kata dan tindakan
siswanya. Sehingga mereka tidak salah interpretasi dan menghukum pelanggaran yang
dilakukan tanpa sengaja (gay, 2006).
Culturally responsive management (managemen yang responsif secara kultural) adalah
salah satu bagian konsep yang lebih besar tentang culturally relevant teaching (pengajaran
yang relevan secara kultural). Geneva Gay (2006) merangkum :
“bila kelas adalah tempat yang nyaman, peduli, “merangkul”, menguatkan, engaging,
dan fasilitatif bagi siswa, maka kedisiplinan kemungkinan besar tidak akan menjadi isu
yang terlalu besar. Jadi, manajemen kelas dan prestasi sekolah dapat ditingkatkan bagi
siswa yang berasal dari latar belakang etnik, ras, sosial, and bahasa yang berbeda dengan
memastikan kuruikulum dan pengajarannya relevan secara kultural dan secara pribadi
bermakna bagi mereka.
Emmer dan aussiker (1990) melaksanakan meta-analisis terhadap tiga perspektif umum
tentang manajemen: memengaruhi siswa melalui mendengarkan dan problem solving
sebagaimana dideskripsikan oleh Gordon (1981); manajemen kelompok melalui pertemuan
kelas dan diskusi siswa, sebagaimana dianjurkan oleh Grasser (1969, 1990); dan
pengontrolan melalui hadiah dan hukuman, sebagiamana yang dicontohkan oleh Canter
(1992).
Dalam sebuah studi Ramon Lewis (2001) menemukan bahwa mengenali dan memberi
reward kepada perilaku siswa yang baik, bicara dengan siswa tentang bagaimana perilaku
mereka memengaruhi orang lain, melibatkan siswa dalam keputusan kedisiplinan kelas, dan
memberikan petunjuk dan deskripsi nondirektif tentang perilaku yang tidak dapat diterima
ditemukan berhubungan dengan tanggung jawab yang lebih besar atas pembelajarannya .
Keluarga adalah mitra penting dalam pendidikan. Pernyataan ini berlaku juga untuk
manajemen kelas. Bila orangtua dan guru memiliki ekspektasi yang sama dan saling
pendukung, mereka dapat menciptakan lingkungan kelas yang lebih positif dan lebih
banyak waktu untuk belajar. Pedoman kemitraan keluarga dan masyarakat memberikan ide-
ide untuk bekerjasama dengan keluarga dan masyarakat.
Penutup
Pada dasarnya seluruh aktivitas/ kegiatan yang dilakukan oleh manusia selalu
menggunakan komunikasi sebagai interaksi unuk melangsungkan aktivitas tersebut. Maka
dari itu, komunikasi merupakan suatu kebutuhan yang fundamental (sangat mendasar) bagi
kehidupan manusia. Dengan demikian, mengingat sangat pentingnya peran komunikasi
dalam kehidupan manusia,  komunikasi perlu dipelajari dengan baik karena, komunikasi
yang baik dapat digunakan oleh manusia sebagai skill untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dengan demikian belajarlah untuk berkomunikasi yang baik dan terampil karena
segalanya memerlukan komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai