Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak ditetapkannya Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tetang Standar Isi dan

berikutnya Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

(SKL), maka di sekolah-sekolah dari jenjang pendidikan dasar dan menengah

diterapkan kurikulum baru yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan, disingkat KTSP, sebagai penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK) Tahun 2004. Semangat yang mendasari pemberlakuan KTSP ini

adalah semangat perubahan, perubahan dari suasana keterpasungan menjadi suasana

yang penuh dengan kebebasan dan kreativitas. Dari segi proses pembelajaran, KTSP

menghembuskan perubahan dari model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher

centered) menjadi model pembelajaran yang berpusat pada subyek didik (students

centered), perubahan dari kegiatan mengajar menjadi kegiatan membelajarkan, dan

seterusnya, dan seterusnya.

Penerapan KTSP membuat guru semakin pintar dan kreatif, karena mereka

dituntut harus mampu menyusun sendiri kurikulum yang sesuai dan tepat bagi peserta

didiknya, guru dituntut harus mampu merencanakan sendiri materi pelajarannya untuk

mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Hal ini jelas berbeda dengan kurikulum-

kurikulum sebelumnya yang datang dari dan dibuat oleh Pemerintah Pusat, dan guru

hanya tinggal menerapkannya, sehingga nyaris tidak memberikan ruang dan tantangan

bagi perkembangan ide dan kreativitas dari guru.

Namun demikian, di balik perubahan-perubahan besar dan mendasar yang

dihembuskan oleh KTSP, tantangan yang dihadapi oleh guru tidaklah semakin ringan,

melainkan semakin berat. Penerapan Standar Isi dan Standar Kompetensi sebagai acuan

dasar dalam penyusunan KTSP membawa konsekuensi yang tidak ringan dalam

implementasinya di lapangan. Itu berarti KTSP menuntut adanya profesionalisme yang

tinggi dari guru.

1
Dan dalam kaitannya dengan konsep pembelajaran biologi, KTSP menghendaki

dilakukakannya perubahan mendasar dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Kesalahan

yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan pembelajaran biologi tidak boleh

terulang lagi. Tugas guru sekarang ini bukanlah ”mengajar biologi”, tetapi

”membelajarkan siswa tentang biologi”. Itu berarti bahwa kegiatan pembelajaran harus

berpusat pada siswa, dan bukan pada guru. Guru tidak lagi harus mendominasi kegiatan

pembelajaran dengan metode ceramah sampai berbusa-busa, sementara siswa hanya

duduk manis mendengarkan sambil bengong atau bahkan sampai terkantuk-kantuk.

Biologi sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang lahir

dan berkembang berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian, belajar

Biologi tidak cukup hanya dengan menghafalkan fakta dan konsep yang sudah jadi,

tetapi dituntut pula menemukan fakta-fakta dan konsep-konsep tersebut melalui

observasi dan eksperimen. Melalui pembelajaran biologi (IPA) siswa dilibatkan secara

aktif untuk melakukan eksplorasi alam. Melalui proses inilah dapat dikembangkan

Keterampilan Sains (Keterampilan Proses Ilmiah), sehingga pengalaman belajar yang

benar-benar bermakna tentang Sains dapat diperoleh subyek didik.

Keterampilan-keterampilan dalam bidang Sains (Biologi) meliputi:

 Observasi

 Klasifikasi, prediksi, inferensi

 Membuat hipotesis

 Mendisain dan melakukan percobaan

 Menggunakan alat ukur (pengamatan)

 Identifikasi variabel

 Mengontrol variabel

 Mengumpulkan data

 Mengorganisasi data (tabel, grafik, dll)

 Memaknakan data, tabel, dan grafik

 Menyusun kesimpulan

 Mengkomunikasikan hasil/ide/secara tertulis atau lisan

2
Keterampilan Sains yang dimiliki siswa merupakan pintu gerbang untuk

menguasai pengetahuan yang lebih tinggi dan akhirnya merupakan kecakapan hidup

(Life Skill), karena dengan keterampilan Sains yang dimiliki, maka siswa secara mental

siap untuk menghadapi permasalahan yang terjadi dalam hidupnya.

Dengan demikian proses belajar mengajar Biologi bukan sekedar transfer ilmu

dari guru kepada siswa. Pola interaksi seharusnya terjadi antara siswa dengan materi

(obyek), dan guru hanya bertindak sebagai motivator, fasilitator dan supervisor. Itulah

perubahan mendasar dalam pola pembelajaran biologi yang harus diakomodir dan

disikapi secara positif oleh guru biologi seiring dengan penerapan KTSP.

Namun demikian, meskipun sikap positif terhadap perubahan telah diakomodir

oleh guru, bukan berarti bahwa guru akan serta merta terbebas sama sekali dari

masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan

pembelajaran di kelas sepertinya akan selalu memunculkan permasalahan seiring

dengan perkembangan pribadi subyek didik dan seiring pula dengan perkembangan

sekolah dan tuntutan masyarakat yang semakin dinamis. Terkait dengan itu tugas guru

adalah merespon dan mencari pemecahan terhadap setiap masalah yang timbul

sepanjang masih dalam batas jangkauan kompetensi dan profesinya demi terciptanya

suasana belajar yang lebih baik dan kondusif dan demi tercapainya tujuan pembelajaran

yang telah ditetapkan.

Seperti halnya yang terjadi dalam pembelajaran biologi di Kelas X IPA 1

Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021, khususnya

terhadap penguasaan materi/Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi,

dan peran virus dalam kehidupan”. Guru dengan berbagai cara telah mengusahakan agar

semua siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran standar juga telah

dilakukan oleh guru, berbagai media pembelajaran yang ada di sekolah telah

dimanfaatkan, berbagai bentuk penugasan telah pula diberikan untuk dilaksanakan oleh

siswa, baik di dalam maupun di luar kelas, mulai dari tugas melakukan observasi,

melakukan eksperimen, membuat laporan singkat hasil eksperimen atau hasil observasi,

mengerjakan LKS, dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam berbagai kesempatan

3
tanya jawab, diskusi kelas, maupun ulangan harian, aktivitas dan prestasi belajar mereka

sangat rendah. Berdasarkan catatan guru, aktivitas siswa dalam tanya jawab dan diskusi

kelas masing-masing hanya sebesar 30% dan 35% dari 35 siswa yang ada. Sebagian

besar dari siswa justru memperlihatkan aktivitas yang tidak relevan dengan

pembelajaran, seperti kelihatan bengong dan melamun, kurang bergairah, kurang

memperhatikan, bermain-main sendiri, berbicara dengan teman ketika dijelaskan,

canggung berbicara atau berdialog dengan teman waktu diskusi, dan lain

sebagainya. Sementara itu dari hasil ulangan harian/ulangan blok, prestasi belajar

mereka hanya sebesar 45% yang berhasil mencapai batas KKM (Kriteria Ketuntasan

Minimal). Padahal KKM yang ditetapkan bagi Kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau

Tahun Pelajaran 2020/2021 untuk mata pelajaran biologi sebesar 71.

Melihat data aktivitas dan prestasi belajar siswa yang demikian rendah tersebut

jelas hal itu mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam kegiatan pembelajaran

yang harus segera dicarikan pemecahannya.

Bertolak dari permasalahan tersebut kemudian dilakukan refleksi dan konsultasi

dengan guru sejawat untuk mendiagnosis faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab

timbulnya masalah. Dari situ diperoleh beberapa faktor kemungkinan penyebab, di

antaranya adalah:

1. faktor rendahnya minat dan motivasi belajar siswa;

2. faktor penyampaian materi dari guru;

3. faktor pengelolaan kelas; dan

4. faktor kesulitan adaptasi dan kerjasama di antara siswa.

Dari berbagai faktor kemungkinan penyebab tersebut Guru lebih condong pada

faktor ke-4, yaitu faktor kesulitan adaptasi dan kerjasama di antara siswa, dan diduga

kuat sebagai faktor utama penyebab rendahnya aktivitas dan prestasi belajar siswa Kelas

X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021 pada

mata pelajaran Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan

ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan”. Dugaan tersebut sangat

beralasan, karena bagi siswa kelas X, suasana sekolah di lingkungan SMA adalah

4
suasana baru, yang jelas berbeda dalam segala sesuatunya dengan suasana dan

lingkungan sekolah mereka sebelumnya, baik itu menyangkut tempat, teman sekolah,

mata pelajaran, guru, dan lain sebagainya, yang kesemuanya masih memerlukan waktu

bagi mereka untuk beradaptasi dengan baik. Kesulitan siswa dalam beradaptasi,

terutama dengan materi pelajaran di SMA dan dengan teman-teman sekelas, sangat

mungkin menjadi penyebab utama rendahnya aktivitas mereka dalam pembelajaran dan

juga rendahnya prestasi belajar yang mereka capai.

Sebagai langkah dan upaya pemecahan terhadap masalah yang timbul dalam

pembelajaran biologi di Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun

Pelajaran 2020/2021 tersebut maka dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau

disebut pula dengan istilah Classroom Action Research. Pendekatan dari segi metode

pembelajaran yang dipilih dan digunakan dalam penelitian tindakan ini adalah “Metode

Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams-Achievement Divisions)”.

Banyak ahli berpendapat bahwa metode pembelajaran kooperatif (cooperative

learning) memiliki keunggulan dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.

Pembelajaran kooperatif juga dinilai bisa menumbuhkan sikap multikultural dan sikap

penerimaan terhadap perbedaan antar-individu, baik itu menyangkut perbedaan

kecerdasan, status sosial ekonomi, agama, ras, gender, budaya, dan lain sebagainya.

Selain itu yang lebih penting lagi, pembelajaran kooperatif mengajarkan keterampilan

bekerja sama dalam kelompok atau teamwork. Pembelajaran kooperatif sangat

menekankan tumbuhnya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi

dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran demi tercapainya prestasi

belajar yang optimal.

Berdasarkan latar pemikiran yang telah terurai maka penelitian tindakan kelas

ini diformulasikan dengan judul sebagai berikut: “UPAYA MENINGKATKAN

AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA BIDANG STUDI BIOLOGI

MELALUI PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD

(Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2

Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021”.

5
Pada akhirnya diharapkan, melalui penerapan metode pembelajaran kooperatif

tipe STAD itu nantinya bisa memicu dan memacu tumbuhnya semangat kebersamaan,

saling membantu dan saling memotivasi di antara siswa, yang pada gilirannya juga bisa

meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar mereka pada bidang studi biologi,

khususnya pada materi dan atau Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri,

replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan”.

B. Rumusan Masalah

Untuk memberikan arahan bagi pelaksanaan penelitian, maka perlu dirumuskan

masalah-masalah pokok yang ingin dicarikan jawaban pemecahannya melalui penelitian

tindakan ini, sebagai berikut:

1. Apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD bisa meningkatkan

aktivitas belajar siswa Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun

Pelajaran 2020/2021”.pada bidang studi Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi

Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus dalam kehidupan”?

2. Apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD bisa meningkatkan

prestasi belajar siswa Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun

Pelajaran 2020/2021”.pada bidang studi Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi

Dasar: “Mendiskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan”?

C. Tujuan Penelitian Tindakan

Penelitian tindakan ini bertujuan:

1. Ingin mengetahui ada tidaknya peningkatan aktivitas belajar melalui

penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa Kelas X IPA 1

Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021 dalam bidang

studi Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-

ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan”.

2. Ingin mengetahui ada tidaknya peningkatan prestasi belajar melalui penerapan

metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa Kelas X IPA 1 Semester I

6
SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021 dalam bidang studi

Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar: “Mendiskripsikan ciri-ciri,

replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan”.

D. Batasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang tidak diinginkan, maka perlu

diberikan batasan-batasan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Penelitian tindakan ini hanya dilakukan terhadap siswa kelas X IPA 1 Semester I

SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021.

2. Penelitian ini berlaku dalam ruang lingkup kegiatan pembelajaran bidang studi

Biologi, khususnya pada materi atau Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri,

replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan”.

3. Rentang waktu pelaksanaan penelitian tindakan ini berlangsung selama kurang

lebih 3 (bulan) mulai dari awal bulan Agustus sampai dengan akhir Oktober 2019.

4. Pelaku dan pelaksana penelitian tindakan ini dilakukan secara individual oleh guru

bidang studi yang bersangkutan sendiri.

E. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat, sekecil apapun,

kepada:

1. Siswa; mereka diharapkan bisa mengambil pelajaran yang berharga tentang betapa

pentingnya kerjasama, saling membantu dan saling memotivasi demi tercapainya

tujuan bersama yang diinginkan, termasuk salah satu di antaranya adalah demi

tercapainya tujuan pembelajaran dan prestasi belajar yang telah ditetapkan bagi

suatu lembaga, kelas atau kelompok. Lebih dari itu, siswa secara sadar belajar

menerapkan prinsip “simbiosis mutualisme” dalam kehidupan riil di kelas,

sebagaimana diajarkan dalam ilmu biologi, demi kelangsungan hidup dan kemajuan

ekosistem sekolah. Dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan bisa semakin

meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa Kelas X IPA 1 Semester I

7
SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021 pada bidang studi

Biologi, khususnya pada penguasaan materi atau Kompetensi Dasar:

“Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peran virus dalam kehidupan”.

2. Guru; hasil penelitian ini diharapkan bisa semakin meningkatkan kompetensi dan

profesionalisme guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran

yang aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan demi tercapainya tujuan

pembelajaran yang telah ditetapkan. Sehingga dengan begitu aktivitas belajar dan

prestasi belajar siswa bisa ditingkatkan secara optimal.

3. Sekolah; hasil penelitian ini setidaknya bisa menambah referensi dan khazanah bagi

kepustakaan sekolah, yang suatu saat mungkin berguna sebagai bahan

pertimbangan dalam menetapkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

di sekolah setempat.

8
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Aktivitas Belajar Siswa

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan

kegiatan yang paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan

banyak bergantung pada bagaimana proses belajar itu dilakukan oleh peserta didik.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah belajar itu?

Dari pertanyaan sederhana tersebut tentu akan kita dapatkan beragam jawaban

dengan berbagai argumen yang tidak bisa dibilang sederhana. Hal itu wajar mengingat

perbuatan yang disebut belajar itu dalam kenyataannya memang ada bermacam-macam

bentuk dan jenisnya. Ada yang berpendapat bahwa belajar merupakan kegiatan

menghafal fakta-fakta. Guru yang berpendapat demikian akan merasa puas jika murid-

muridnya telah sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala. Pendapat lain

mengatakan bahwa belajar adalah sama dengan latihan, sehingga hasil belajar akan

nampak dalam keterampilan-keterampilan tertentu yang bersifat mekanis atau otomatis.

Alhasil, banyak definisi tentang apa itu belajar, dan setiap orang mempunyai pandangan

yang berbeda satu sama lain.

Menurut James O. Whittaker (dalam Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,

1991), belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau

diubah melalui latihan atau pengalaman (”Learning may be difined as the process by

which behavior originates or is altered through training or experience”).

Hampir senada dengan pendapat di atas, Howard L. Kingsley (dalam Abu

Ahmadi dan Widodo Supriyono, 1991) menyatakan sebagai berikut: “Learning is the

process by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through

practice or training” {Belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas)

ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan}.

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting

dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005)

9
menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui

kegiatan belajar.

Menurut Winarno Surakhmad (1980), belajar dapat dipandang sebagai hasil,

sebagai proses dan sebagai sebuah fungsi. Belajar dipandang sebagai hasil bilamana

guru terutama hanya melihat bentuk terakhir dari berbagai pengalaman interaksi

edukatif. Yang diperhatikan adalah menampaknya sifat dan tanda-tanda tingkah laku

yang dipelajari. Adapun belajar dipandang sebagai proses dimaksudkan adalah sebagai

proses di mana guru terutama melihat apa yang terjadi selama murid menjalani

pengalaman-pengalaman edukatif untuk mencapai sesuatu tujuan. Yang diperhatikan

adalah pola-pola tingkah laku selama pengalaman belajar itu berlangsung. Selanjutnya,

belajar dipandang sebagai fungsi dimaksudkan adalah bilamana perhatian ditujukan

pada aspek-aspek yang menentukan atau yang memungkinkan terjadinya perubahan

tingkah laku manusia di dalam pengalaman edukatif.

Sementara itu menurut Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai

suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru

secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam

berinteraksi dengan lingkungannya”.

Jadi, kata kunci dari belajar menurut pendapat tersebut adalah perubahan

perilaku. Lebih lanjut Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan

perilaku yang diperoleh dari belajar, sebagai berikut:

1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu

yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan

menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya

semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan

sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.

2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya

merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh

10
sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh

itu akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan

berikutnya.

3. Perubahan yang fungsional.

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup

individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa

mendatang.

4. Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah

kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi

Pendidikan menganggap bahwa dalam proses belajar mengajar tidak perlu

mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku

dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi

Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip-prinsip

perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak

menjadi guru.

5. Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya

melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru

tentang Psikologi Pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan

membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman

tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.

6. Perubahan yang bersifat permanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan

menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, siswa belajar

mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan

komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri siswa tersebut.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.

11
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan

jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.

Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata,

tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya.

Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh

informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh

sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu

juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang

merupakan hasil belajar dapat berbentuk :

1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara

tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda,

definisi, dan sebagainya.

2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi

dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan

simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan

dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak,

aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi

pemecahan masalah.

3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan

pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi

kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara-cara berfikir agar terjadi

aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil

pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada proses pemikiran.

4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih

macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain, sikap adalah keadaan

dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam

12
menghadapi suatu obyek atau peristiwa, di dalamnya terdapat unsur pemikiran,

perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.

5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang

dikontrol oleh otot dan fisik.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil

belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor,

beserta tingkatan aspek-aspeknya. Perubahan yang dihasilkan oleh proses belajar

bersifat progresif dan akumulatif, mengarah kepada kesempurnaan, misalnya dari tidak

mampu menjadi mampu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, baik mencakup aspek

pengetahuan (cognitive domain), aspek afektif (affective domain) maupun aspek

psikomotorik (psychomotoric domain).

Selanjutnya, perlu pula diketengahkan di sini empat pilar belajar sebagai

landasan pendidikan yang dikemukakan oleh organisasi pendidikan sedunia,

yakni UNESCO (dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 2005), dalam rangka membangun

kebersamaan masa depan memasuki abad ke-21 dan dalam rangka menyesuaikan diri

dengan tuntutan perkembangan dunia yang semakin cepat. Keempat pilar belajar

dimaksud adalah: : belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to

do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara

utuh (learning to be).

1. Belajar mengetahui (learning to know)

Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan

informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu bukan saja

disebabkan karena adanya perkembangan yang sangat cepat dalam bidang ilmu dan

teknologi, tetapi juga karena perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama

dalam bidang elektronika, memungkinkan sejumlah besar informasi dan pengetahuan

tersimpan, bisa diperoleh dan disebarkan secara cepat dan hampir menjangkau seluruh

planet bumi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh, memperdalam

dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya

perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, mengikuti

13
kuliah, dll. Pengetahuan dikuasai melalui hafalan, tanya-jawab, diskusi, latihan

pemecahan masalah, penerapan, dll. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai

berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatakan kemampuan, memecahkan

masalah, belajar lebih lanjut, dll. Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan

pengetahuan baru. Oleh karena itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan

ditingkatkan menjadi knowing much (berusaha tahu banyak).

2. Belajar berkarya (learning to do)

Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang

berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya

berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan.

Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu

dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau berlatih

menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan

industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang

semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau

operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan

didunia industri dan perusahaan terus meningkat, maka individu yang akan memasuki

dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka

harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak).

3. Belajar hidup bersama (learning to live together)

Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka

kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup

bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi,

berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup

bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan

tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka

harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan

bersama)

4. Belajar berkembang utuh (learning to be)

14
Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut

pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya

berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik,

maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar

mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan

kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh

dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha

banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral

yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana meningkatkan aktivitas dan kreativitas

belajar dari siswa atau subyek didik dalam suatu proses pembelajaran? Pertanyaan

demikian sangatlah penting dikemukakan mengingat lembaga pendidikan (baca,

sekolah) dengan segala komponennya itu didirikan dan diselenggarakan tidak lain

adalah untuk memfasilitasi kepentingan belajar siswa. Tidak berlebihan kiranya jika

dikatakan bahwa pada hekekatnya mereka (siswa) itulah yang menjadi pemilik sekolah.

Berbagai pembekalan yang diberikan oleh para guru di sekolah pada hakikatnya,

menurut Wardiman Djojonegoro, untuk menginternalisasikan tiga nilai dasar. Masing-

masing adalah (1) membangun atau membentuk siswa yang memiliki orientasi ke depan

dengan ciri-ciri, antara lain luwes, tanggap terhadap perubahan, dan memiliki semangat

berinovasi; (2) senantiasa punya hasrat untuk mengeksploitasi lingkungan dan

kekuatan-kekuatan alam, artinya tidak tunduk pada nasib, senantiasa memecahkan

masalah yang dihadapi dan berusaha menguasai iptek, dan (3) memiliki orientasi

terhadap karya yang bermutu atau punya achievement orientation, antara lain ditandai

oleh penilain yang tinggi terhadap hasil karya. Untuk menuju pada tiga nilai dasar

tersebut siswa harus dipacu kemauan belajarnya (Suyanto dan M.S. Abbas, 2001: 148).

Proses pembelajaran pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengembangkan

aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman

belajar. Namun dalam pelaksanaannya seringkali kita tidak sadar, bahwa masih banyak

15
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan justru menghambat aktivitas dan kreativitas

peserta didik.

Banyak resep untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, di mana para

peserta didik dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas belajarnya secara optimal,

sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Gibbs (dalam E. Mulyasa, 2003:106) berdasarkan berbagai hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi kepercayaan,

komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Hasil

penelitian tersebut dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini peserta

didik akan lebih kreatif jika:

a. Dikembangkannya rasa percaya diri pada peserta didik, dan mengurangi rasa takut;

b. Memberi kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk berkomunikasi ilmiah

seara bebas dan terarah;

c. Melibatkan peserta didik dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;

d. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter; dan

e. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara

keseluruhan.

Kendatipun begitu, menurut E. Mulyasa (2003:107), kualitas pembelajaran

sangat ditentukan oleh aktivitas dan kreativitas guru dengan segala kompetensi

profesionalnya. Aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam belajar sangat bergantung

pada aktivitas dan kreativitas guru dalam mempersiapkan rencana pembelajaran,

penyampaian dan pengembangan materi pelajaran, pemilihan metode dan media

pembelajaran, serta penciptaan lingkungan belajar yang kondusif. Guru dapat

menggunakan berbagai pendekatan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta

didik. Pendekatan mana yang digunakan, harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan,

kebutuhan peserta didik, dan tujuan yang ingin dicapai.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan aktivitas belajar siswa di sini adalah segala

bentuk kegiatan yang dilakukan oleh siswa terutama dalam proses pembelajaran di kelas

atau di sekolah. Bentuk kegiatan yang disebut aktivitas belajar itu dapat bermacam-

16
macam, bisa berupa mendengarkan, mencatat, membaca, membuat ringkasan, bertanya,

menjawab pertanyaan, berdiskusi, melakukan eksperimen, dan lain sebagainya, yang

dengan itu semua dapat diketahui bahwa kegitan pembelajaran berpusat pada siswa dan

bukan pada guru. Guru hanya sekedar berperan untuk memfasilitasi, membelajarkan,

membimbing dan mengarahkan, serta mengkoreksi dan mengevaluasi hasil belajar dari

siswa.

B. Prestasi Belajar

Istilah prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan hasil

belajar. Sebenarnya sangat sulit untuk membedakan pengertian prestasi belajar dengan

hasil belajar. Ada yang berpendapat bahwa pengertian prestasi belajar sama dengan

hasil belajar. Akan tetapi ada pula yang mengatakan bahwa hasil belajar berbeda secara

prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil belajar menunjukkan kualitas jangka waktu yang

lebih panjang, misalnya satu cawu, satu semester dan sebagainya. Sedangkan prestasi

belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek, misalnya satu pokok bahasan, satu kali

ulangan harian dan sebagainya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), prestasi adalah hasil yang telah

dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Sedangkan prestasi

belajar diartikan sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang

dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka

nilai yang diberikan oleh guru.

Nawawi (1981:100) mengemukakan pengertian hasil belajar sebagai

keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan

dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes mengenai sejumlah pelajaran tertentu.

Selanjutnya Nawawi (1981:127) membedakan hasil belajar menjadi tiga macam

yaitu:

a. Hasil belajar yang berupa kemampuan keterampilan atau kecakapan di dalam

melakukan atau mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya keterampilan

menggunakan alat.

17
b. Hasil belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan tentang apa

yang dikerjakan, dan

c. Hasil belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah laku.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar memiliki

cakupan makna yang lebih luas dibanding prestasi belajar. Dengan kata lain, prestasi

belajar adalah sebagian dari hasil belajar pada mata pelajaran atau materi pelajaran

tertentu yang dinyatakan dengan nilai atau angka berdasarkan tes yang dikembangkan

dan diberikan oleh guru. Meskipun demikian, dalam tulisan ini kedua istilah tersebut

dianggap identik dan karenanya bisa saling dipertukarkan pemakaiannya.

Selanjutnya perlu dikemukakan di sini, bahwa hasil belajar (baca, prestasi

belajar) merupakan hasil dari proses yang kompleks. Hal itu disebabkan banyak faktor

yang mempengaruhi hasil atau prestasi belajar. Secara garis besar, faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil atau prestasi belajar itu dapat dibedakan atas dua macam, yaitu

faktor dari dalam diri individu (baca, subyek didik) atau disebut faktor internal, dan

faktor dari luar diri subyek didik, atau disebut faktor eksternal. Baik buruknya kualitas

kedua faktor ini akan banyak berpengaruh terhadap baik buruknya hasil atau prestasi

belajar. Semakin baik kondisi atau kualitas kedua faktor tersebut dimiliki oleh subyek

didik, maka cenderung semakin baik hasil atau prestasi belajar yang bisa dicapai.

Demikian pula sebaliknya, semakin buruk kondisi atau kualitas kedua faktor dimaksud,

maka cenderung semakin buruk pula hasil atau prestasi belajar yang dicapai.

Adapun faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar yaitu:

 Faktor fisiologi, seperti kondisi fisik dan kondisi indera.

 Faktor Psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, kemampuan kognitif.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah:

 Lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam.

 Faktor Instrumental, seperti kurikulum, bahan pengajaran, sarana dan fasilitas.

18
C. Pembelajaran Kooperatif

Metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dikembangkan

oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya dari Universitas John Hopkins. Tipe ini

dipandang sebagai yang paling sederhana dan paling langsung dari pendekatan

pembelajaran kooperatif.

Belajar secara koperatif adalah strategi mengajar yang menyertakan partisipasi

anak dalam aktivitas belajar kelompok kecil yang mengembangkan interaksi positif.

Pemikiran ini mendiskusikan alasan untuk menggunakan strategi belajar secara

koperatif di pusat dan kelas-kelas, cara menerapkan strategi, dan keuntungan jangka

panjang bagi pendidikan anak.

Belajar secara kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik, ini relatif

mudah diterapkan, dan tidak mahal. Anak-anak bertambah baik tingkah laku dan

kehadirannya, serta senang bersekolah adalah beberapa keuntungah belajar secara

kooperatif (Slavin, 1987).

Abdurrahman dan Bintoro (2000:78) mengatakan bahwa pembelajaran

kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan

interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antara sesama siswa sebagai latihan

hidup di dalam masyarakat nyata.”

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen-

elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen dalam pembelajaran kooperatif

adalah adanya (1) saling ketergantungan positif, (2) interaksi tatap muka, (3)

akuntabilitas individual dan (4) keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi

atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan”(Abdurrahman &Bintoro,

2000:78-790). Itulah unsur dasar yang terdapat dalam metode pembelajaran kooperatif,

yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Saling ketergantungan positif;

Dalam pembelajaran kooperatif guru menciptakan suasana yang mendorong

agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah

yang dimaksud dengan saling memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang

19
optimal.

20
Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui (a) saling ketergantungan

pencapaian tujuan (b) saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas, (c) saling

ketergantungan bahan dan sumber, (d) saling ketergantungan peran, dan (e) saling

ketergantungan hadiah.

2. Interaksi tatap muka;

Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling bertatap

muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga

dengan sesama siswa. Interaksi semacam itu memungkinkan para siswa dapat saling

menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu

sangat penting karena ada siswa yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.

3. Akuntabilitas individual;

Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok.

Meskipun demikan, penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap

materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual tersebut

selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota

kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa

anggota kelompok yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas

rata-rata hasil belajar semua anggotanya, dan karena itu tiap anggota kelompok harus

memberikan urunan atau kontribusi demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok

secara individual inilah yang dimaksudkan dengan akuntabilitas individual.

4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi;

Dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap

sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, mempertahankan

pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai sifat lain yang

bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak

hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin

hubungan antara pribadi tidak hanya memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari

sesama siswa.

21
Selanjutnya, bagaimanakah peran guru dalam pembelajaran

kooperatif? Pembelajaran kooperatif menuntut guru untuk berperan relatif berbeda

dari model pembelajaran tradisional. Berbagai peran guru dalam pembelajaran

kooperatif tersebut dapat dikemukanan sebagai berikut ini:

a. Merumuskan tujuan pembelajaran. Ada dua tujuan pembelajaran yang perlu

diperhatikan oleh guru, yaitu tujuan akademik (Academic objectives) dan tujuan

keterampilan bekerja sama (collaboratives skill objectives). Tujuan akademis

dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan siswa dan analisis tugas atau analisis

konsep. Tujuan keterampilan bekerja sama meliputi keterampilan memimpin,

berkomunikasi, mempercayai orang lain dan mengelola konflik.

b. Menentukan jumlah anggota dalam kelompok belajar. Jumlah anggota dalam tiap

kelompok belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 siswa. Ada 3 (tiga)

faktor yang menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga faktor

tersebut adalah (1) taraf kemampuan siswa, (2) ketersediaan bahan dan (3)

ketersediaan waktu. Jumlah anggota kelompok belajar hedaknya kecil agar tiap

siswa aktif menjalin kerjasama menyelesaikan tugas.

Ada sedikitnya 4 (empat) pertanyaan yang hendaknya dijawab oleh oleh guru

saat akan menempatkan siswa dalam kelompok. Keempat pertanyaan tersebut dapat

dikemukanan sebagai berikut:

1. Pengelompokan siswa secara homogen atau heterogen?

Pengelompokan siswa hendaknya heterogen. Heterogenitas kelompok

mencakup jenis kelamin, ras, agama (kalau mungkin) tingkat kemampuan

(tinggi, sedang, rendah) dan sebagainya.

2. Bagaimana menempatkan siswa dalam kelompok? Ada dua jenis kelompok

belajar kooperatif, yaitu (1) yang berorientasi bukan pada tugas (non task

orientied) dan (2) yang berorientasi pada tugas (task oriented). Kelompok

belajar kooperatif yang berorientasi bukan pada tugas tidak menuntut adanya

pembagian tugas untuk tiap angota kelompok. Kelompok belajar semacam ini

tampak seperti pada saat siswa mengerjakan soal-soal LKS atau soal-soal latihan

22
yang diberikan guru yang berbentuk prosedur penyelesaian dan mencocokan

pendapatnya antar kelompok satu dengan yang lain. Sedangkan kelompok

belajar yang berorientasi pada tugas menekankan adanya pembagian tugas yang

jelas bagi semua anggota kelompok. Kelompok belajar semacam ini tampak

seperti pada saat siswa melakukan kunjungan ke kebun binatang sehingga harus

disusun oleh panitia untuk menentukan siapa yang menjadi ketua, sekretaris,

bendahara, seksi transportasi, seksi konsumsi, dan sebagainya. Siswa yang baru

mengenal belajar kooperatif dapat ditempatkan dalam kelompok belajar yang

berorientasi pada tugas, dari jenis tugas yang sederhana hingga yang kompleks.

3. Siswa bebas memilih teman atau ditentukan oleh guru? Kebebasan memilih

teman sering menyebabkan kelompok belajar menjadi homogen sehingga tujuan

belajar kooperatif tidak tercapai. Anggota tiap kelompok belajar hendaknya

ditentukan secara acak oleh guru. Ada tiga teknik untuk menentukan anggota

kelompok secara acak yang dapat digunakan oleh guru. Ketiga teknik tersebut

dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Berdasarkan metode sosiemetri. Melalui metode sosiometri guru dapat

menentukan siswa yang tergolong disukai oleh banyak teman (bintang

kelas) hingga yang paling tidak disukai atau tidak memiliki teman

(terisolasi). Berdasarkan metode sosiometri tersebut guru menyusun

kelompol-kelompok belajar yang di dalam tiap kelompok ada siswa yang

tergolong banyak teman, yang tergolong biasa, dan yang terisolasi.

2) Berdasarkan kesamaan nomor. Jika jumlah siswa dalam kelas terdiri atas

30 siswa misalnya, dan guru ingin membentuk 10 kelompok belajar yang

terdiri dari 1 hingga 10, maka para siswa yang bernomor sama

dikelompokkan sehingga terbentuk 10 kelompok siswa dengan masing-

masing beranggotakan 3 orang siswa yang memiliki karakteristik heterogen.

3) Menggunakan teknik acak berstrata. Para siswa dalam kelas lebih dahulu

dikelompokkan secara homogen atas dasar jenis kelamin dan atas dasar

kemampuannya (tinggi, sedang, rendah) dan sebagainya. Setelah itu, secara

23
acak siswa diambil dari kelompok homogen tersebut dan dimasukkan ke

dalam sejumlah kelompok-kelompok belajar yang heterogen.

4. Bagaimana menentukan tempat duduk siswa? Tempat duduk siswa hendaknya

disusun agar tiap kelompok dapat saling bertatap muka tetapi cukup terpisah

antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Susunan tempat duduk

dapat dalam bentuk lingkaran atau berhadap-hadapan.

c. Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif. Cara

menyusun bahan ajar dan penggunaannya dalam suatu kegiatan pembelajaran

dapat menentukan tidak hanya efektifitas pencapaian tujuan belajar siswa. Bahan

ajar hendaknya dibagikan kepada semua siswa agar mereka dapat berpartisipasi

dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Jika kelompok

belajar telah memiliki cukup pengalaman, guru tidak perlu membagikan bahan ajar

dengan berbagai petunjuk khusus. Jika kelompok belajar belum banyak pengalaman

atau masih baru, guru perlu memberi tahu para siswa bahwa mereka harus bekerja

sama, bukan bekerja sendiri-sendiri. Ada sedikitnya 3 (tiga) macam cara untuk

meningkatkan saling ketergantungan positif. Ketiga macam cara tersebut dapat

dikemukakan sebagai berikut:

1) Saling ketergantungan bahan. Tiap kelompok hanya diberi satu bahan ajar dan

kelompok harus bekerja sama untuk mempelajarinya.

2) Saling ketergantungan informasi. Tiap anggota kelompok diberi bahan ajar yang

berbeda bentuk untuk selanjutnya disatukan untuk disintesiskan. Bahan ajar juga

dapat disajikan dalam bentuk “jigsaw puzzle” sehingga dengan demikian tiap

siswa memiliki bagian dari bahan yang diperlukan untuk melengkapi atau

menyelesaikan tugas.

3) Saling ketergantungan menghadapi lawan dari luar. Bahan ajar disusun dalam

suatu bentuk pertandingan antara kelompok yang memiliki kekuatan seimbang

sebagai dasar untuk meningkatkan saling ketergantungan positif antar anggota

kelompok. Keseimbangan kekuatan antar kelompok perlu diperhatikan karena

pretandingan antar kelompok yang memiliki kekuatan seimbang atau memiliki

24
peluang untuk kalah atau menang yang sama dapat meningkatkan motivasi

belajar.

d. Menentukan peran siswa untuk menunjang saling ketergantungan positif. Saling

ketergantungan positif dapat diciptakan melalui pembagian tugas kepada tiap

anggota kelompok dan mereka bekerja untuk saling melengkapi. Dalam mata

pelajaran Biologi misalnya, seorang anggota kelompok diberi tugas sebagai peneliti,

yang lainnya sebagai penyimpul, yang lainnya lagi sebagai penulis, dan yang

lainnya lagi sebagai pemberi semangat dan ada pula yang menjadi pengawas

terjalinnya keja sama. Penugasan untuk memerankan suatu fungsi semacam itu

merupakan metode yang efektif untuk melatih keterampilan menjalin kerja sama.

e. Menjelaskan tugas akademik. Ada beberapa aspek yang perlu disadari oleh para

guru dalam menjelaskan tugas akademik kepada para siswa. Beberapa aspek

dimaksud dapat dikemukanan sebagai berikut:

1) Menyusun tugas sehingga siswa menjadi jelas mengenai tugas tersebut.

Kejelasan tugas sangat penting bagi para siswa karena dapat menghindarkan

mereka dari frustasi atau kebingungan. Dalam pembelajran kooperatif siswa

yang tidak dapat memahami tugasnya dapat bertanya kepada kelompoknya

sebelum bertanya kepada guru.

2) Menjelaskan tujuan belajar dan mengaitkannya dengan pengalaman siswa di

masa lampau.

3) Menjelaskan berbagai konsep atau pengertian atau istilah, prosedur yang

harus diikuti atau pengertian contoh kepada para siswa.

4) Mengajukan berbagai pertanyaan khusus untuk mengetahui pemahaman para

siswa mengenai tugas mereka.

f. Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama.

Menjelaskan tujuan dan keharusan bekerja sama kepada para siswa dilakukan

dengan contoh sebagai berikut:

1) Meminta kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya atau produk

tertentu. Jika karya kelompok berupa laporan, tiap anggota kelompok harus

25
menandatangani laporan tersebut sebagai tanda bahwa ia setuju dengan isi

laporan kelompok dan dapat menjelaskan alasan isi laporan tersebut.

2) Menyediakan hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah satu

cara untuk mendorong kelompok menjalin kerja sama sehingga terjalin pula

rasa kebersamaan antara anggota kelompok. Semua anggota kelompok harus

saling membantu agar masing-masing memperoleh skor hasil belajar yang

optimal karena keberhasilan kelompok ditentukan oleh keberhasilan tiap

anggota.

g. Menyusun akuntabilitas individual. Suatu kelompok belajar tidak dapat dikatakan

benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota kelompok tertentu saja

yang mengerjakan seluruh pekerjaan kelompok. Suatu kelompok belajar juga tidak

dapat dikatakan benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota yang

tidak melakukan apapun demi kelompoknya. Oleh karena itu, untuk menjamin agar

seluruh anggota kelompok benar-benar menjalin kerjasama dan agar kelompok

mengetahui adanya anggota kelompok yang memerlukan bantuan atau dorongan,

guru harus sering melakukan pengukuran untuk mengetahui taraf penguasaan tiap

siswa terhadap materi yang sedang dipelajari.

h. Menyusun kerja sama antara kelompok. Hasil positif yang ditemukan dalam

suatu kelompok belajar kooperatif dapat diperluas ke seluruh kelas dengan

menciptakan kerja sama antar kelompok. Nilai tambahan dapat diberikan jika

seluruh siswa di dalam kelas meraih standar mutu yang tinggi. Jika suatu kelompok

telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik para anggotanya dapat diminta

untuk membantu kelompok-kelompok lain yang belum selesai. Upaya semacam ini

memungkinkan terciptanya suasana kehidupan kelas yang sehat, yang

memungkinkan semua potensi siswa berkembang optimal dan terintegrasi.

i. Menjelaskan kriteria keberhasilan. Penilaian dalam pembelajaran

kooperatif bertolak dari penilaian acuan patokan (criterium referenced). Pada awal

kegiatan belajar guru hendaknya menerangkan secara jelas kepada siswa mengenai

bagaimana pekerjaan mereka akan dinilai.

26
j. Menjelaskan perilaku siswa yang diharapkan. Perkataan kerjasama atau gotong

royong sering memiliki konotasi dan penggunaan yang bermacam-macam. Oleh

karena itu guru perlu mendefinisikan perkataan kerja sama tersebut secara

operasional dalam bentuk berbagai perilaku, antara lain dapat dikemukakan dengan

kata-kata seperti “Tetaplah berada dalam kelompokmu”, “Berbicaralah pelan-

pelan”, “Berbicaralah menurut giliran,” dan sebagainya. Jika kelompok mulai

berfungsi secara efektif, perilaku yang diharapkan dapat mencakup hal-hal sebagai

berikut:

1) Tiap anggota kelompok menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban.

2) Meminta kepada tiap anggota kelompok untuk mengaitkan pelajaran baru

dengan yang telah dipelajari sebelumnya.

3) Memeriksa untuk meyakinkan bahwa semua anggota kelompok memahami

bahan yang dipelajari dan menyetujui jawaban-jawabannya.

4) Mendorong semua anggota kelompok agar berpartisipasi dalam menyelesaikan

tugas.

5) Memperhatikan dengan sungguh-sungguh mengenai apa yang dikatakan oleh

anggota lain.

6) Jangan mengubah pikiran karena berbeda dari pikiran anggota lain tanpa

penjelasan yang logis.

7) Memberikan kritik kepada ide, bukan kepada pribadi.

k. Memantau perilaku siswa. Setelah semua kelompok mulai bekerja, guru harus

menggunakan sebagian besar waktunya untuk memantau kegiatan siswa. Tujuan

pemantauan, guru harus menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur atau strategi

untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan dan mengajarkan keterampilan

menyelesaikjan tugas kalau perlu.

l. Memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas. Pada saat

melakukan pemantauan, guru harus menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur

atau strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengerjakan

keterampilan menyelesaikan tugas kalau perlu.

27
m. Melakukan intervensi untuk mengerjakan keterampilan bekerja sama. Pada saat

memantau kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang

menemukan siswa yang tidak memiliki keterampilan untuk menjalin kerja sama

yang cukup dan adanya kelompok yang memiliki masalah dalam menjalin kerja

sama. Dalam kondisi semacam itu, guru perlu memberikan nasihat agar

siswa dapat bekerja efektif.

n. Menutup pelajaran. Pada saat pelajaran berakhir, guru perlu meringkas pokok-poko

pelajaran, meminta kepada siswa untuk mengemukakan ide atau contoh, menjawab

pertanyaan dan mengevaluasi hasil belajar mereka.

o. Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa. Guru menilai kualitas pekerjaan

atau hasil belajar para siswa berdasarkan penilaian acuan patokan. Para anggota

kelompok hendaknya juga diminta untuk memberikan umpan balik mengenai

kualitas pekerjaan dan hasil belajar mereka.

p. Menilai kualitas kerja sama antar anggota kelompok. Meskipun waktu belajar di

kelas terbatas, diperlukan waktu untuk berdiskusi dengan para siswa untuk

membahas kualitas kerja sama antar anggota kelompok pada hari itu. Pembicaraan

dengan para siswa dilakukan untuk mengetahui apa yang telah dilakukan dengan

baik dan apa yang masih perlu ditingkatkan pada hari berikutnya.

Demikian itulah gambaran umum tentang peran yang harus dilakukan oleh guru

dalam penerapan metode pembelajaran kooperatif.

Badeni (1998), menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu

pendekatan pengajaran yang efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan, khususnya

dalam keterampilan interpersonal siswa.

Nur (1996: 25) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak hanya

unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep IPA yang sulit, tetapi juga

sangat berguna untuk menumbuhkan kerjasama, berfikir kritis, kemauan membantu

teman dan sebagainya. Pada prinsipnya model pembelajaran kooperatif bertujuan

mengembangkan tingkah laku kooperatif antar siswa sekaligus membantu siswa dalam

pelajaran akademisnya.

28
Ada banyak variasi pendekatan dalam model pembelajaran kooperatif. Setiap

pendekatan memberi penekanan pada tujuan tertentu yang dirancang untuk

mempengaruhi pola interaksi siswa. Salah satu dari model pemebelajaran kooperatif

adalah model atau tipe STAD (Sudent Teams-Achievement Divisions) atau dapat

diterjemahkan dengan istilah “Tim Siswa Kelompok Prestasi”.

Keunggulan dari metode pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu adanya kerja

sama dalam kelompok dan dalam menentukan keberhasilan kelompok tergantung

keberhasilan individu. Namun demikian, setiap anggota kelompok tidak bisa

menggantungkan pada anggota yang lain. Pembelajaran kooperatif tipe STAD

menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi, saling

membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang optimal.

Model pembelajaran Student Teams-Achievement Divisions (STAD) yang

dikembangkan oleh Slavin, dkk tersebut secara garis besar terdiri dari 6 (enam) langkah,

sebagai berikut:

1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran

menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll);

2. Guru menyajikan pelajaran;

3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota

kelompok. Anggota yang tahu dan mengerti menjelaskan pada anggota lainnya

sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti dan memahami materi yang

dipelajari;

4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis,

anggota dalam suatu kelompok tidak boleh saling membantu;

5. Memberi evaluasi; dan

6. Kesimpulan.

Dari berbagai pendapat tersebut kiranya bisa diambil suatu kesimpulan, bahwa

metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas belajar dan

prestasi belajar siswa di kelas. Dan dari situ pula diduga kuat bahwa metode

pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat menjadi salah satu solusi alternatif untuk

29
memecahkan masalah yang timbul dalam pembelajaran biologi di kelas X IPA 1

Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021, khususnya

terhadap materi atau Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan

peranan virus dalam kehidupan”.

D. Hipotesis Tindakan

Bertolak dari kerangka pemikiran yang telah terurai kiranya dapat dirumuskan

hipotesis tindakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bahwa penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran

Biologi, dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X IPA 1 Semester I SMA

Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021, khususnya pada materi atau

Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus dalam

kehidupan”.

2. Bahwa penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran

Biologi, dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas X IPA 1 Semester I SMA

Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021, khususnya pada materi atau

Kompetensi Dasar: “Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus dalam

kehidupan”.

30
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi, Subyek dan Waktu Penelitian

Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, lokasi atau tempat

dilaksanakannya penelitian ini adalah SMA Negeri 2 Lubuklinggau yang terletak di

wilayah Kecamatan Lubuklinggau Timur 1, Kota Lubuklinggau, Propinsi Sumatera

Selatan.

Adapun subyek penelitian dalam hal ini adalah siswa X IPA 1 Semester I SMA

Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021

Selanjutnya berkaitan dengan masalah waktu, penelitian ini dilaksanakan dalam

rentang waktu selama kurang lebih 3 (tiga) bulan, mencakup keseluruhan tahapan yang

diperlukan, mulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penulisan laporan

penelitian. Tepatnya, penelitian ini dijadwalkan dan dilaksanakan mulai awal bulan

Agustus sampai dengan akhir bulan Oktober 2019.

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas, disingkat PTK.

Penelitian tindakan kelas berasal dari istilah bahasa Inggris Classroom Action Research,

yang berarti penelitian yang dilakukan pada sebuah kelas untuk mengetahui akibat

tindakan yang dilakukan terhadap subyek penelitian di kelas tersebut.

Menurut DR.Sulipan,M.Pd, dalam tulisannya yang disusun untuk Program

Bimbingan Karya Tulis Ilmiah Online (http://www.ktiguru.org) berjudul ”Penelitian

Tindakan Kelas (Classroom Action Research)”, pertama kali penelitian tindakan kelas

diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946, yang selanjutnya dikembangkan oleh

Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John Elliot, Dave Ebbutt dan lainnya. Pada

awalnya penelitian tindakan menjadi salah satu model penelitian yang dilakukan pada

bidang pekerjaan tertentu di mana peneliti melakukan pekerjaannya, baik di bidang

pendidikan, kesehatan maupun pengelolaan sumber daya manusia. Salah satu contoh

31
pekerjaan utama dalam bidang pendidikan adalah mengajar di kelas, menangani

bimbingan dan konseling, dan mengelola sekolah. Dengan demikian para guru atau

kepala sekolah dapat melakukan kegiatan penelitiannya tanpa harus pergi ke tempat lain

seperti para peneliti konvensional pada umumnya. Adapun tujuan penelitian tindakan

kelas itu tidak lain adalah untuk memecahkan masalah, memperbaiki kondisi,

mengembangkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

Menurut Suharsimi Arikunto (2002:82), penelitian tindakan adalah penelitian

tentang hal-hal yang terjadi di masyarakat atau sekelompok sasaran dan hasilnya

langsung dapat dikenakan pada masyarakat yang bersangkutan. Ciri atau karakteristik

utama dalam penelitian tindakan adalah adanya partisipasi dan kolaborasi antara

peneliti dengan anggota kelompok sasaran. Penelitian tindakan adalah salah satu

strategi pemecahana masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dalam bentuk proses

pengembangan inovatif yang dicoba sambil jalan dalam mendeteksi dan memecahkan

masalah. Dalam prosesnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut dapat

saling mendukung satu sama lain.

Sedangkan tujuan penelitian tindakan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai

berikut;

1. Permasalahan atau topik yang dipilih harus memenuhi kriteria, yaitu benar-benar

nyata dan penting, menarik perhatian dan mampu ditangani serta dalam jangkauan

kewenangan peneliti untuk melakukan perubahan.

2. Kegiatan penelitian, baik inferensi maupun pengamatan yang dilakukan tidak

boleh sampai mengganggu atau menghambat kegiatan utama.

3. Jenis intervensi yang dicobakan harus efektif dan efisien, artinya terpilih

dengan tepat sasaran dan tidak memboroskan waktu, dana dan tenaga.

4. Metodologi yang digunalkan harus jelas, rinci dan terbuka, setiap langkah dari

tindakan dirumuskan dengan tegas sehingga orang yang berminat terhadap

penelitian tersebut dapat mengecek setiap hipotesis dan pembuktiannya.

5. Kegiatan penelitian diharapkan dapat merupakan proses kegiatan yang

berkelanjutan (on-going), mengingat bahwa pengembangan dan perbaikan terhadap

32
kualitas tindakan memang tidak dapat berhenti tetapi menjadi tantangan sepanjang

waktu (Arikunto, Suharsimi, 2002:82).

Menurut Sukidin, dkk (2002:54), ada 4 (empat) macam bentuk penelitian

tindakan kelas, yaitu : (1) penelitian tindakan guru sebagai peneliti, (2) penelitian

tindakan kolaborasi, (3) penelitian tindakan simultan terintegratif dan (4) penelitian

tindakan sosial eksperimental. Keempat bentuk penelitian tindakan itu ada persamaan

dan perbedaannya.

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian tindakan guru sebagai peneliti,

dimana guru terlibat langsung secara penuh dalam proses pelaksanaan penelitian, mulai

dari tahap menyusun perencanaan, melakukan tindakan, melakukan observasi dan tahap

refleksi. Kehadiran pihak lain dalam penelitian ini, kalaupun ada, peranannya sangat

kecil dan tidak dominan. Penelitian ini mengacu pada perbaikan pembelajaran yang

berkesinambungan.

Ada banyak model penelitian tindakan yang dikemukakan oleh para ahli, tetapi

secara garis besar suatu penelitian tindakan lazimnya memiliki 4 (empat) tahapan yang

harus dilalui, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi.

Kemmis dan Taggart (1988:14) menyatakan bahwa model penelitian tindakan

adalah berbentuk spiral. Tahapan penelitian tindakan pada suatu siklus meliputi empat

tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan tahap refleksi. Siklus ini

berlanjut dan akan dihentikan jika dirasa sudah cukup memenuhi kebutuhan dan tujuan

penelitian yang telah ditetapkan.

Sesuai dengan jenis rancangan penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan

kelas, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan

Taggart (dalam Arikunto, Suharsimi, 2002:83), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang

satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action

(tindakan), observasi (pengamatan) dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus

berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan dan refleksi.

Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi

permasalahan.

33
Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada

gambar 1 berikut:

Putaran 1

Refleksi Rencana awal/rancangan

Tindakan/ Putaran 2

Rencana yang direvisi


Refleksi

Tindakan/
Putaran 3

Rencana yang direvisi


Refleksi

Tindakan/

Gambar 1: Alur PTK

Penjelasan alur diatas adalah:

1. Rancangan/rencana awal. Sebelum mengadakan penelitian, terlebih

dahulu menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan

termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran atau

rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

2. Pelaksanaan tindakan. Pada tahap ini guru menerapkan tindakan yang telah disusun

dan direncanakan sebelumnya, yang tidak lain adalah langkah-langkah kegiatan

pembelajaran terkait dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD

yang telah dipilih dan ditetapkan.

34
3. Pengamatan atau observasi. Tahap ini pelaksanaannya bersamaan dengan tahap

sebelumnya, yakni pelaksanaan tindakan. Dan jika pelaksana tindakan (guru)

sekaligus bertindak sebagai pengamat (dalam penelitian tindakan individual, di

mana guru bertindak sekaligus sebagai peneliti tanpa kolaborasi dengan pihak lain),

maka instrumen pengamatan sebaiknya telah disiapkan secara terstruktur dan

sistematis.

4. Refleksi. Tahap ini merupakan kegiatan untuk merenungkan dan memikirkan

kembali tindakan-tindakan yang sudah maupun yang belum

dilakukan, keberhasilan dan kekurangannya, hambatan-hambatan yang dihadapi

selama melakukan tindakan, dan lain sebagainya. Apabila guru pelaksana tindakan

juga berstatus sebagai pengamat (peneliti), maka refleksi dilakukan terhadap diri

sendiri. Dengan kata lain, guru tersebut melihat dirinya kembali, melakukan

”dialog” dengan dirinya sendiri untuk menemukan hal-hal yang sudah dirasakan

memuaskan hati karena sudah sesuai dengan rencana, atau untuk menemukan hal-

hal yang masih perlu diperbaiki. Dalam hal seperti ini maka guru melakukan ”self

evaluation”, introspeksi, oto-kritik, dan sebagainya yang sudah barang tentu

diharapkan bisa bersikap obyektif. Dan untuk menjaga obyektifitas yang

diharapkan seringkali diperlukan hasil refleksi itu divalidasi atau minimal

dikonsultasikan dengan teman sejawat, ketua jurusan, kepala sekolah, atau pihak

lain yang kompeten dalam bidang itu. Jadi pada intinya, kegiatan refleksi adalah

kegiatan evaluasi tindakan, analisis, pemaknaan, penjelasan, penyimpulan dan

identifikasi tindak lanjut dalam perencanaan siklus penelitian berikutnya.

C. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah tes buatan guru yang fungsinya

adalah (1) untuk menentukan seberapa baik siswa telah menguasai bahan pelajaran yang

diberikan dalam waktu tertentu, (2) untuk menentukan apakah suatu tujuan telah

tercapai, dan (3) untuk memperoleh suatu nilai (Arikunto, Suharsimi, 2002:149).

Sedangkan tujuan dari tes adalah untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa secara

35
individu maupun secara klasikal. Di samping itu tes juga berguna untuk mengetahui

letak kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa sehingga dapat dilihat di mana

kelemahan, khususnya pada bagian mana dari materi atau kompetensi dasar berikut

indikator-indikatornya yang belum dikuasai siswa.

Selain tes, alat pengumpul data lain yang dipergunakan dalam penelitian

tindakan ini adalah format observasi berupa tabel-tabel isian yang telah dipersiapkan

dan disusun secara terstruktur dan sistematis, sehingga guru tinggal membubuhkan

tanda centang atau check list pada kolom-kolom tabel isian format observasi yang sesuai

dengan aspek pengamatan. Di samping itu dipergunakan juga teknik pengumpulan data

yang bersifat dokumenter melalui tugas-tugas prtofolio dan catatan-catatan pelajaran

yang telah dibuat oleh siswa.

D. Variabel dan Data Penelitian

Beberapa pakar mengatakan bahwa dalam penelitian tindakan kelas hanya

dikenal adanya variabel tunggal, yaitu variabel tindakan. Namun beberapa pakar lain,

sebagaimana dikemukakan oleh DR.Sulipan,M.Pd, menyebutkan terdapat dua variabel,

yaitu variabel tindakan dan variabel masalah, karena tindakan yang dilakukan adalah

untuk memecahkan masalah.

Sehubungan dengan yang disebut belakangan itu maka dalam penelitian ini yang

menjadi variabel penelitian adalah “Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe

STAD” sebagai variabel tindakan, atau dalam penelitian konvensional dikenal dengan

sebutan “variabel bebas” atau “variabel pengaruh” (independent variable),

sedangkan “Aktivitas Belajar dan Prestasi Belajar Siswa” sebagai variabel masalah,

atau dalam penelitian konvensional dikenal dengan istilah “variabel terikat” atau

“variabel terpengaruh” (dependent variable).

Adapun data yang diperlukan dalam penelitian tindakan ini dilihat dari sifatnya

ada yang berupa data kuantitatif dan ada pula yang berupa data kualitatif, atau

36
kombinasi dari keduanya. Data kuantitatif terutama adalah data yang berhubungan

dengan prestasi belajar siswa, yang datanya akan dijaring melalui alat tes tertulis yang

dibuat sendiri oleh guru. Sedangkan data kualitatif adalah data yang berhubungan

dengan aktivitas belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas, seperti ketekunan

dan kerajinannya dalam kegiatan pembelajaran, tingkat keaktifannya dalam tanya

jawab, semangat dan motivasinya dalam belajar, partisipasinya dalam diskusi dan kerja

kelompok, dan lain sebagainya. Untuk data kualitatif ini pengumpulan datanya terutama

dilakukan melalui format observasi dalam bentuk tabel isian yang telah dipersiapkan

sebelumnya dan disusun secara terstruktur dan sistematis. Selain itu juga dilakukan

pengumpulan data dengan teknik dokumentasi melalui lembar-lembar portofolio dan

catatan-catatan pelajaran dari siswa yang relevan.

E. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan jenis rancangan penelitian yang dipakai di sini, yaitu penelitian

tindakan kelas (classroom action research), maka teknik analisis data yang relevan dan

yang diterapkan adalah teknik analisis deskriptif-kualitatif. Dengan teknik ini maka data

yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian akan disortir dan selanjutnya disajikan

dalam bentuk prosentase atau tabel distribusi untuk selanjutnya dilakukan penafsiran

dan pemaknaan secara kualitatif dalam bentuk seperti, tinggi-rendah, tuntas-tidak tuntas,

aktif-tidak aktif, dan lain sebagainya sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan

sebelumnya.

F. Prosedur Penelitian

Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa penelitian tindakan

kelas berjalan melalui siklus-siklus dalam sebuah spiral, di mana setiap siklus terdiri

dari 4 (empat) tahapan kegiatan yang terus berulang dan meningkat. Sejalan dengan itu

maka prosedur pelaksanaan penelitian ini diwujudkan dalam bentuk tahapan-tahapan

siklus yang berkesinambungan dan berkelanjutan, di mana untuk setiap siklus terdiri

dari 4 (empat) tahapan langkah yang secara garis besar adalah: 1) membuat perencanaan

37
tindakan perbaikan, 2) implementasi atau pelaksanaan tindakan yang telah

direncanakan, 3) melakukan observasi atau pengamatan atas tindakan perbaikan yang

dilakukan, dan 4) melakukan refleksi, termasuk di dalamnya analisis, interpretasi dan

evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan, sehingga bisa diketahui tindakan-tindakan

mana yang sudah berhasil sesuai rencana dan tindakan mana yang masih perlu

diperbaiki lebih lanjut pada siklus berikutnya.

Untuk lebih jelasnya, prosedur pelaksanaan penelitian ini bisa dipaparkan

sebagai berikut:

Siklus I : meliputi tahapan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Perencanaan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi:

 Identifikasi masalah dan penetapan alternatif pemecahan masalah;

 Merencanakan pembelajaran yang akan diterapkan dalam proses belajar mengajar;

 Menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar;

 Memilih bahan pelajaran yang sesuai;

 Menentukan skenario pembelajaran sesuai dengan pendekatan yang telah dipilih,

yang dalam hal ini adalah metode pembelajaran kooperatif tipe STAD;

 Mempersiapkan sumber, bahan, dan alat bantu yang dibutuhkan;

 Menyusun lembar kerja siswa;

 Menyusun format observasi;

 Mengembangkan format evaluasi;

 Dan lain-lain persiapan yang berhubungan dengan pelaksanaan tindakan dan

kegiatan pembelajaran.

2. Tindakan

Kegiatan pada tahap ini merupakan pelaksanaan tindakan perbaikan dalam

kegiatan pembelajaran sesuai dengan pendekatan yang dipilih dan dengan mengacu

38
pada skenario pembelajaran yang telah direncanakan, yang dalam hal ini terdiri dari

urut-urutan tindakan sebagai berikut:

 Guru membuka pelajaran dengan terlebih dahulu melakukan apersepsi untuk

menyiapkan mental dan membangkitkan motivasi belajar siswa serta

memberitahukan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan pembelajaran;

 Siswa membentuk kelompok kecil beranggotakan 5 orang yang dibentuk secara

acak sesuai arahan dari guru;

 Siswa mendengarkan secara aktif penjelasan materi pelajaran secara global dari

guru tentang ciri-ciri virus reproduksi dan replikasinya;

 Siswa mengamati gambar-gambar atau foto-foto virus yang telah disiapkan oleh

guru dan dibagikan kepada setiap kelompok;

 Siswa melakukan tanya jawab dengan guru seputar materi pelajaran dan gambar-

gambar virus yang telah disampaikan oleh guru;

 Setiap kelompok diminta membuat dan merumuskan kesimpulan tentang materi

yang telah dipelajari di bawah bimbingan guru;

 Pada akhir kegiatan pembelajaran, siswa mencatat tugas kelompok yang diberikan

oleh guru untuk membuat rangkuman materi tentang virus beserta ciri-ciri dan

reproduksi/replikasinya sebagai bahan untuk diskusi kelas pada pertemuan yang

akan datang;

3. Pengamatan

Tahap pengamatan atau observasi ini dilaksanakan bersamaan dengan

pelaksanaan tindakan perbaikan di atas. Teknik pelaksanaannya untuk pengamatan ini

dilakukan dengan menggunakan format observasi terstruktur yang telah disiapkan

sebelumnya, yaitu berupa tabel-tabel isian untuk setiap aspek pengamatan dari aktivitas

belajar siswa. Dengan demikian, sambil melakukan tindakan (perbaikan), guru

melakukan pengamatan terhadap aktivitas belajar setiap siswa dalam proses

pembelajaran.

39
4. Refleksi

Tahap ini merupakan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan, tindakan

mana yang sudah berhasil sesuai dengan rencana dan mana yang perlu diperbaiki

sebagai acuan untuk menyusun rencana tindakan pada siklus berikutnya.

Siklus II: meliputi tahapan langkah-langkah seperti pada siklus I, tetapi berbeda bentuk

dan sifat tindakan yang dilakukan. Bahkan boleh dikata, siklus II ini merupakan

perbaikan dan peningkatan dari siklus I dengan tetap mengacu pada hasil tindakan dan

perbaikan pembelajaran yang ingin dicapai, sebagai berikut:

1. Perencanaan

Tahap perencanaan pada siklus II ini mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

 Identifikasi masalah yang muncul pada siklus I dan belum teratasi berikut

penetapan alternatif pemecahannya;

 Merumuskan rencana pembelajaran sebagai kelanjutan sekaligus perbaikan dari

rencana pada siklus sebelumnya;

 Pengembangan program tindakan yang perlu untuk mengatasi masalah yang

muncul ataupun yang belum teratasi melalui tindakan pada siklus I.

2. Tindakan

Pelaksanaan program tindakan pada siklus II ini mengacu pada identifikasi

masalah yang muncul pada siklus I, sesuai dengan alternatif pemecahan masalah yang

sudah ditentukan, antara lain melalui urut-urutan langkah sebagai berikut:

 Guru membuka pelajaran dengan terlebih dahulu melakukan apersepsi untuk

menyiapkan mental dan membangkitkan motivasi belajar siswa, serta untuk

menjajagi kemampuan pemahaman siswa tentang materi yang telah dipelajari

sebelumnya;

 Siswa duduk bersama anggota kelompoknya masing-masing dan mendengarkan

secara aktif penjelasan materi pelajaran dari guru tentang peranan virus dalam

kehidupan;

40
 Siswa terlibat aktif tanya jawab dengan guru tentang materi pelajaran yang telah

dibahas. Dalam kesempatan ini antar anggota kelompok tidak boleh saling

membantu.

 Pada akhir kegiatan pembelajaran, siswa mencatat tugas kelompok yang diberikan

oleh guru untuk dikerjakan di luar kelas (Pekerjaan rumah) berupa membuat

klipping dari koran, majalah ataupun internet dengan tema “Perkembangan virus

dan dampaknya bagi kehidupan manusia”. Setiap anggota kelompok harus

menyumbangkan minimal satu judul/topik kliping sesuai dengan tema tersebut

disertai komentar pribadi seperlunya dan dengan jelas mencantumkan nama

penyusunnya. Kliping yang dibuat oleh setiap anggota kelompok tersebut kemudian

disatukan dan menjadi milik hasil kerja kelompok yang bersangkutan dengan tetap

memperlihatkan nama masing-masing anggota kelompok kontributor (di bagian

dalam kliping) di samping menyebutkan nama-nama anggota kelompok di bagian

sampul depan kliping.

 Pada pertemuan tatap muka selanjutnya, setiap kelompok siswa mempresentasikan

hasil kerja kelompoknya di depan kelas secara bergiliran disertai dengan tanya

jawab antar siswa antar kelompok. Dalam kesempatan ini siswa dalam suatu

kelompok harus kompak dan saling membantu dalam bertanya maupun dalam

menjawab;

 Pada akhir kegiatan diskusi kelas, siswa membuat kesimpulan hasil diskusi di

bawah bimbingan guru.

 Setelah itu sampai akhir jam pelajaran, siswa secara individual mengerjakan soal

Post tes yang diberikan oleh guru.

3. Pengamatan (Observasi)

Sama seperti pada siklus I, tahap ini guru melakukan observasi sesuai dengan

format yang sudah disiapkan dan mencatat semua yang terjadi selama pelaksanaan

tindakan berlangsung.

41
5. Refleksi

Tahap ini juga sama seperti pada siklus I, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan,

antara lain sebagai berikut:

 Melakukan evaluasi terhadap tindakan pada siklus II berdasarkan data yang

terkumpul.

 Membahas hasil evaluasi tentang skenario pembelajaran pada siklus II.

 Memperbaiki pelaksanaan tindakan sesuai dengan hasil evaluasi untuk digunakan

pada siklus III (Jika masih diperlukan).

Siklus III (bila diperlukan).

G. Indikator Keberhasilan dan Indikator Proses

Untuk mengetahui apakah penelitian tindakan ini berhasil mencapai tujuannya

maka perlu ditetapkan indikator keberhasilan dan indikator proses berikut kriteriannya

masing-masing. Dengan adanya indikator keberhasilan maka dapat dilakukan

pengukuran dan mudah diketahui apakah penerapan tindakan ini sudah tepat atau

belum. Demikian pula dengan indikator proses, perlu ditetapkan langkah-langkah pokok

tindakan untuk mencapai keberhasilan yang telah digariskan dalam indikator

keberhasilan.

Dengan demikian maka tolok ukur atau kriteria keberhasilan penelitian ini dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi proses dan dari sisi hasil. Dari sisi proses,

keberhasilan penelitian ini dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD

yang dipilih sebagai alternatif pemecahan masalah dapat dilihat dari adanya perubahan

tingkah laku belajar siswa yang relevan atau yang positif secara signifikan, seperti

meningkatnya motivasi belajar siswa di kelas, meningkatnya partisipasi belajar siswa,

meningkatnya keberanian bertanya dan berpendapat, meningkatnya atensi atau

perhatian siswa dalam proses pembelajaran, meningkatnya kemampuan mendengarkan,

meningkatnya kreativitas belajar siswa, meningkatnya interaksi belajar siswa, dan lain

sebagainya.

Sedangkan keberhasilan dari sisi hasil dapat dilihat dari meningkatnya prestasi

hasil belajar siswa dan ketuntasan belajar siswa secara signifikan sesuai dengan acuan

42
yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Prinsip penilaian yang diterapkan di sini

sedapat mungkin mengacu pada Penilaian Berbasis Kelas atau Berbasis Peserta Didik,

artinya penilaian dilakukan sepenuhnya oleh guru terhadap seluruh aspek dan proses

kegiatan belajar siswa dengan isntrumen penilaian yang bervariasi dengan tetap

memperhatikan perbedaan kemampuan individual siswa. Oleh karena itu Pedoman

acuan penilaian yang ditentukan dalam penelitian ini untuk mengukur kemajuan hasil

belajar dan ketuntasan belajar siswa ditetapkan berdasarkan kriteria PAP (Penilaian

Acuan Patokan). Berdasarkan kriteria PAP, kemajuan hasil belajar siswa melalui

penerapan model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dikatakan meningkat secara

signifikan manakala dari hasil evaluasi di akhir tindakan penelitian (siklus), seluruh

siswa atau secara klasikal 85% dari siswa telah berhasil mencapai batas Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan untuk mata pelajaran Biologi pada

kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021,

yang dalam hal ini adalah sebesar 70. Atau secara prosentase, kemajuan hasil belajar

siswa di sini dikatakan meningkat secara signifikan manakala nilai rata-rata hasil belajar

siswa di akhir tindakan menunjukkan peningkatan sebesar 10% dari hasil belajar

sebelumnya. Dan dengan begitu berarti menandai berakhirnya siklus pelaksanaan

program tindakan.

Berikut ini ditetapkan kisi-kisi indikator keberhasilan dan indikator proses

sebagai berikut:

Tabel 1: Kisi-kisi Indikator Keberhasilan

No Variabel Masalah Pemecahan Indikator Keberhasilan


Masalah
1 1.Aktivitas belajar Pembelajaran 1.Meningkatnya aktivitas belajar
siswa Kooperatif siswa sebesar 10-20% secara
Tipe STAD kumulatif dalam aspek-aspek
berikut:
 Keberanian siswa dalam bertanya
dan mengemukakan pendapat
 Motivasi dan kegairahan dalam

43
mengikuti pembelajaran
(menyelesaikan tugas mandiri dan
aktif mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru)
 Kerjasama dalam mengerjakan
tugas kelompok
 Kreativitas belajar (membuat
catatan, ringkasan, dan
lainnya)
 Interaksi dengan guru
selama kegiatan
pembelajaran
 Interaksi dengan sesama
siswa selama pembelajaran
(komunikasi dalam kelompok
belajar)
 Partisipasi aktif dalam kegiatan
pembelajaran (memperhatikan
dan mendengarkan, ikut
melakukan kegiatan kelompok,
selalu mengikuti petunjuk guru)
2. Menurunnya aktivitas yang
tidak relevan dengan belajar,
sebagai berikut:
 Tidak memperhatikan penjelasan
guru
 Asyik bermain sendiri
 Melamun dan tidak bergairah
belajar
 Mengobrol sendiri dengan teman
dalam proses belajar
 Mengerjakan tugas lain
2 2.Prestasi belajar Pembelajaran Sebanyak 85% dari siswa telah
siswa Kooperatif mencapai ketuntasan belajar sesuai
Tipe STAD KKM yang telah ditetapkan, yaitu 70.

Tabel 2: Kisi-kisi Indikator Proses

No Variabel Tindakan Indikator Proses Urutan Kegiatan Instrumen


Pengumpul
Data

1 Pembentukan 1. Interaksi 1. Guru mengarahkan  Format


kelompok belajar dengan pembentukan observasi
secara acak sesama siswa kelompok  Lembar
terstruktur; dalam proses beranggotakan 5 portofolio
Pemberian dan belajar; orang secara siswa;
penyematan nomor 2. Kerjasama heterogen  Buku
identifikasi siswa dalam berdasarkan catatan
selama proses; mengerjakan gender, sekolah pelajaran
2 belajar berlangsung tugas asal, dan siswa.
Pemberian tugas kelompok; kecerdasan.
kelompok; 3. Motivasi dan 2. Guru membagikan
Guru memfasilitasi kegairahan tanda nomor
44
diskusi kelas; dalam proses identifikasi yang

45
Guru melakukan belajar; harus disematkan
tanya jawab 4. Keberanian pada diri siswa
tentang penguasaan siswa dalam selama proses
materi dengan bertanya dan belajar di kelas
seluruh siswa di mengemukaka untuk
kelas; n pendapat; memudahkan
3 Guru memberikan 5. Kreativitas observasi dan
post tes tertulis ke- belajar siswa penilaian proses;
1 dan ke-2 dan (membuat 3. Guru
pada pertemuan catatan, menyampaikan
4 selanjutnya ringkasan, dan kriteria penilaian
menyampaikan lainnya); hasil dan penilaian
hasil evaluasi 6. Interaksi proses
kepada siswa dan dengan guru 4. Guru memberikan
5 mengumumkannya selama tugas kelompok
di depan kelas; kegiatan dan mengarahkan
Pemeriksaan pembelajaran; perlunya
portofolio dan 7. Partisipasi pembagian peran
buku catatan aktif siswa yang jelas di
belajar siswa. dalam antara anggota
kegiatan kelompok;
pembelajaran. 5. Guru memfasilitasi
dan membimbing
diskusi kelas;
6 6. Guru memandu
tanya jawab
tentang
penguasaan materi;
7 7. Guru membagikan
lembar soal post
tes ke-1 dan ke-2,
dan pada
pertemuan
berikutnya
membagikan dan
mengumumkan
hasilnya kepada
siswa;
8. Guru memeriksa
hasil portofolio dan
buku catatan
pelajaran siswa.

Selanjutnya perlu pula dikemukakan di sini kriteria penilaian hasil sehubungan

dengan penguasaan siswa terhadap materi atau kompetensi dasar dan kriteria penilaian

proses terkait dengan aktivitas belajar siswa, sebagai berikut:

46
Tabel 3
Kriteria Penilaian Prestasi Belajar

No NiIai Kriteria

1 < 70 Tidak Tuntas (Remidi)

2 70 - 75 Tuntas dan cukup

3 76 - 90 Tuntas dan Memuaskan


(Pengayaan)
4 91 - 100 Tuntas dan Sangat Memuaskan
(Pengayaan)

Tabel 4
Kriteria Aktivitas Siswa Yang Relevan Dengan Belajar

No Nilai/Frekuensi Kriteria
1 < 40 Rendah Sekali
2 41 - 55% Rendah
3 56 – 70% Cukup
4 71 – 85% Tinggi
5 86 – 100% Tinggi Sekali

Tabel 5
Kriteria Aktivitas Siswa Yang Tidak Relevan Dengan Belajar

No Nilai/Frekuensi Kriteria

1 1 – 20% Rendah Sekali

2 21 - 40% Rendah

3 41 – 60% Cukup

4 61 – 80% Tinggi

5 81 – 100% Tinggi Sekali

Indikator keberhasilan dan indikator proses yang telah ditetapkan tersebut

dengan sendirinya juga merupakan kriteria penerimaan ataupun penolakan hipotesis

penelitian (tindakan) yang telah dirumuskan di bagian awal penelitian.

47
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2

Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2020/2021 yang berjumlah 35 orang siswa, terdiri dari

17 putra dan 18 putri.

Adapun obyek penelitian tindakan kelas ini tidak lain adalah variabel tindakan

dan variable masalah. Variabel tindakan dimaksud adalah “penerapan pembelajaran

kooperatif tipe STAD”, sedangkan variabel masalah terdiri dari “aktivitas belajar siswa”

dan “prestasi belajar siswa”. Hasil penelitian terkait dengan kedua variabel penelitian

tersebut dapat dilihat pada bagian berikut ini.

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini berjalan dalam dua siklus, yang dalam setiap siklusnya

berlangsung dua kali pertemuan atau pembelajaran tatap muka (setiap pertemuan = 2 x

45 menit). Setiap siklus penelitian terdiri dari 4 (empat) tahap kegiatan utama, yaitu

perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Data yang dikumpulkan dalam setiap

siklus adalah data yang berhubungan dengan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa

melalui instrumen pengumpul data yang telah ditetapkan, dalam hal ini adalah melalui

format observasi dan lembar soal tes yang telah disiapkan oleh guru.

Hasil Observasi terhadap aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus setelah

diolah dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini :

48
Tabel 6
Data Aktivitas Belajar Siswa (N = 35)

Ketercapaian

No INDIKATOR PROSES Siklus I Siklus II

f % f %

1 Keberanian siswa dalam bertanya 22 55 33 82,5


dan mengemukakan pendapat
2 Motivasi dan kegairahan dalam 26 65 35 87,5
proses belajar (meyelesaikan tugas
mandiri atau tugas kelompok)
3 Kerjasama dalam kelompok 26 65 37 92,5

4 Kreativitas belajar siswa (membuat 28 70 35 87,5


catatan, ringkasan)
5 Interaksi dan komunikasi dengan 25 62,5 34 85
sesama siswa selama
pembelajaran (dalam kerja
kelompok)
6 Interaksi dan komunikasi dengan 24 60 36 90
guru selama kegiatan pembelajaran
7 Partisipasi siswa dalam 25 62,5 38 95
pembelajaran (memperhatikan dan
mendengarkan, ikut melakukan
kegiatan kelompok, selalu mengikuti
petunjuk guru).
Rata-rata 25 62,5 35 87,5

Berdasarkan data pada tabel 6 tersebut diketahui bahwa aktivitas belajar siswa

mengalami peningkatan dari 62,5% pada siklus I meningkat menjadi 87,5% pada siklus

II, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 25%.

Selanjutnya, bagaimana data aktivitas siswa yang kurang relevan dengan

pembelajaran, dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini:

49
Tabel 7
Data Aktivitas Siswa Yang Kurang Relevan Dengan
Pembelajaran (N = 35)

Ketercapaian

No INDIKATOR PROSES Siklus I Siklus II

f % f %

1 Asyik bermain sendiri 16 40 7 17,5


2 Tidak/kurang memperhatikan 18 45 5 12,5
penjelasan dari guru atau teman
sekelas
3 Mengobrol dan bercanda sendiri 12 30 6 15
dengan teman
4 Melamun dan kurang bergairah 22 55 8 20
belajar
5 Mengerjakan tugas pelajaran lain 10 25 0 100
Rata-rata 16 40 5 12,5

Berdasarkan data pada tabel 7 diatas terlihat bahwa aktivitas siswa yang kurang

relevan dengan kegiatan pembelajaran mengalami penurunan, dari 40% pada siklus I

menjadi 12,5% pada siklus II, yang berarti mengalami penurunan sebesar 27,5% pada

akhir siklus II.

Selanjutnya, prestasi hasil belajar dan atau ketuntasan belajar siswa terhadap

materi pokok pembelajaran “virus, berikut ciri-ciri, replikasi dan peranannya dalam

kehidupan” setelah data diolah dan disederhanakan dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini

(Data mentahnya dapat dilihat pada Lampiran 11).

50
Tabel 8
Data Prestasi Belajar Siswa

Ketercapaian

No Kriteria Penilaian Siklus I Siklus II

f % f %

1 Tidak Tuntas (Remidi) 10 28,6 5 14,3

2 Tuntas 16 45,7 18 51,4

3 Tuntas Memuaskan (Pengayaan) 7 20 9 25,7

4 Tuntas Sangat Memuaskan 2 5,7 3 8, 6

(Pengayaan)

N= 35 35

Dari data pada tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa prestasi belajar dan atau

ketuntasan belajar siswa dari siklus I ke siklus II cenderung mengalami peningkatan

yang relatif besar. Dari 10 siswa (28,6%) yang tidak tuntas pada siklus I menurun

menjadi hanya 5 siswa (14,3%) yang tidak tuntas dan memerlukan remidi pada akhir

siklus II. Seiring dengan itu jumlah siswa yang tuntas tetapi tidak perlu pengayaan juga

meningkat, dari 16 siswa (45,71%) pada siklus I meningkat menjadi 18 siswa (51,42%)

pada siklus II. Siswa dalam kategori tuntas tetapi tidak memerlukan pengayaan ini

merupakan jumlah yang terbesar dalam sebaran distribusi. Berikutnya adalah siswa

yang “tuntas dengan predikat memuaskan” dan “sangat memuaskan”, masing-masing

sebanyak 7 (20%) dan 2 (5,7%) pada siklus I dan hanya meningkat sedikit pada akhir

siklus II, yaitu masing-masing menjadi 9 (25,7%) dan 3 (8,6%). Baik yang tuntas

memuaskan maupun yang tuntas sangat memuaskan, keduanya adalah termasuk

kategori siswa yang perlu mendapat program pengayaan. Jumlah siswa dalam kategori

yang terakhir itu secara kumulatif pada akhir siklus II adalah sebanyak 12 siswa

(34,3%).

51
C. Pembahasan Hasil

Dari data hasil penelitian yang telah tersaji pada tabel 6, 7, dan 8 tersebut dengan

jelas diketahui bahwa aktivitas belajar siswa dalam segala aspek pengamatan

mengalami peningkatan yang sangat berarti dari siklus I ke siklus II. Penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui tindakan guru yang berupa pembentukan

kelompok belajar secara acak terstruktur ditambah dengan pemberian dan penyematan

tanda nomor identifikasi selama proses belajar untuk memudahkan observasi dan

penilaian sepertinya cukup ampuh untuk menggugah motivasi dan gairah belajar siswa.

Siswa seolah menjadi sangat terkesan dengan penciptaan suasana belajar dan proses

penilaian yang tampak serius dan resmi dari guru. Mereka berusaha untuk tampil sebaik

mungkin dalam rangka mendapat penilaian yang terbaik dari guru selama proses

pembelajaran. Apalagi setelah mereka mengetahui tentang aturan main dalam penilaian

proses maupun penilaian hasil.

Itulah kiranya yang mendorong siswa untuk, sepertinya, berlomba dan terpacu

meningkatkan aktivitas belajar mereka di kelas. Dari yang semula kelihatan pemalu dan

pendiam berubah menjadi pro-aktif dalam berinteraksi dan berkomunikasi, baik dengan

guru maupun apalagi dengan teman sekelas atau teman kelompok belajarnya; dari yang

semula pemalas, pelamun dan kurang bergairah belajar mendadak menjadi rajin dan

bersemangat belajar; dari yang semula kelihatan peragu dan penakut berubah menjadi

penuh percaya diri dalam kegiatan tanya jawab; dari yang semula kelihatan “cuek” dan

egois berubah menjadi penuh “atensi” dan mau berbagi dengan teman. Hal itu semua

terbukti dari data hasil penelitian sebagaimana tersajikan pada tabel 6 di atas, di mana

aktivitas belajar siswa dalam segala aspek pengamatan dari 62,5% pada siklus I

meningkat menjadi 87,5% pada akhir siklus II, yang berarti naik sebesar

25%. Berdasarkan kriteria penilaian aktivitas belajar yang telah ditetapkan (lihat

tabel 4 Bab III), prosentase aktivitas belajar sebesar 87,5% itu tergolong tinggi sekali.

Demikian pula angka prosentase kenaikan sebesar 25% tersebut jelas jauh melampaui

kriteria keberhasilan penilaian proses sekaligus kriteria pengujian hipotesis yang telah

ditetapkan dalam penelitian ini, yakni sebesar 10%. Dengan demikian maka hipotesis

52
penelitian (tindakan) pertama yang dirumuskan di bagian terdahulu dalam penelitian ini

bisa diterima kebenarannya secara meyakinkan. Hal itu berarti, bahwa “penerapan

model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran Biologi, khususnya

pada materi/Kompetensi Dasar “Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus

dalam kehidupan” terbukti dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa Kelas X-4

Semester I SMA Negeri 6 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2015/2016.

Memang harus diakui, bahwa dengan model pembelajaran kooperatif seperti

yang diterapkan dalam penelitian tindakan ini suasana belajar di kelas menjadi

“kesannya” agak ramai dan cenderung gaduh. Sesekali sering terdengar suara tepukan

meriah dan gelak tawa riang dari para siswa untuk memberikan “applause” dan support

atau karena munculnya spontanitas perilaku jenaka dari teman sekelas ketika berdiskusi

ataupun saat mengerjakan tugas-tugas kelompok dan tanya jawab.. Meskipun begitu

suasana kelas tetap kondusif bagi proses pembelajaran, dan bahkan siswa sepertinya

merasakan adanya suasana belajar yang menyenangkan (joyful learning atau learning is

fun). Hal ini setidaknya terbukti dari semakin menurunnya secara signifikan aktivitas

siswa yang tidak relevan dengan belajar dari siklus I ke siklus berikutnya, sebagaimana

terlihat dari sajian data pada tabel 7 di atas, dari 40% aktivitas siswa yang kurang

relevan dengan pembelajaran pada siklus I turun menjadi 12,5% pada siklus II. Dan

berdasarkan kriteria penilaian yang telah ditetapkan untuk ini (lihat tabel 5 Bab III),

angka prosentase 12,5% itu tergolong rendah sekali. Itu artinya apa? Penerapan

tindakan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD terbukti bisa mereduksi atau

mengurangi sampai seminimal mungkin aktivitas siswa yang tidak relevan dengan

pembelajaran.

Demikian pula halnya bila ditinjau dari segi hasil, data hasil belajar atau prestasi

belajar siswa sebagaimana tersajikan pada tabel 8 di atas dengan jelas membuktikan

bahwa telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada prestasi belajar siswa, dari

semula hanya 25 siswa (16 + 7 + 2 ) atau sebesar 71,42% yang tuntas belajar pada

siklus I meningkat menjadi 30 siswa (18 + 9+ 3) atau sebesar 85,71% pada akhir siklus

II, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 14,29% untuk kategori ini. Sementara

53
itu untuk kategori penilaian hasil yang lain, yakni kategori siswa yang tidak tuntas, dari

semula sebanyak 10 siswa (28,6%) yang tidak tuntas pada siklus I berkurang secara

drastis menjadi hanya 5 siswa (14,2%) yang tidak tuntas pada akhir siklus II, yang

berarti berkurang sebesar 14,4%.

Meskipun angka prosentase kenaikan bagi yang tuntas maupun prosesntase

pengurangan bagi yang tidak tuntas dari siklus I ke siklus II tersebut tidak terlalu

fantastis, yakni masing-masing hanya, kebetulan sama 14%, namun bila dihubungkan

dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk pengujian

hipotesis, yakni kenaikan 10%, maka hal itu sudah lebih dari cukup membanggakan.

Terlebih lagi bila dilihat dari segi kriteria keberhasilan secara klasikal yang telah

ditetapkan, yakni sebesar 85% dari seluruh siswa dalam kelas harus mencapai

ketuntasan belajar, sementara dari penilaian hasil di akhir siklus II ini hanya

menyisakan 14,3% yang tidak tuntas (yang berarti 85,7% siswa telah mencapai

ketuntasan belajar), maka dari situ dapat dipahami lebih jauh bahwa tindakan guru

melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini telah berhasil mencapai

tujuannya. Dengan demikian pula maka hipotesis penelitian (tindakan) kedua yang

dirumuskan dalam penelitian ini terbukti dapat diterima kebenarannya secara sah dan

meyakinkan. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran

Biologi, khususnya pada materi atau kompetensi dasar “mendeskripisikan ciri-ciri virus,

replikasi dan peranannya dalam kehidupan” terbukti dapat meningkatkan prestasi

belajar siswa Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau Tahun Pelajaran

2020/2021.

54
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan utama yang dihasilkan dalam penelitian tindakan kelas ini merupakan

jawaban terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan, sebagai berikut:

1. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada bidang studi Biologi,

khususnya pada materi atau kompetensi dasar “mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi

dan peranan virus dalam kehidupan” terbukti telah berhasil meningkatkan sebesar

25% (dari semula 62,5% pada siklus I menjadi 87,5% pada akhir siklus II) dari

aktivitas belajar siswa Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau

Tahun Pelajaran 2020/2021.

2. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada bidang studi Biologi,

khususnya pada materi atau kompetensi dasar “mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi

dan peranan virus dalam kehidupan” terbukti juga telah berhasil meningkatkan

sebesar 14,29% (dari semula 28,57% yang tidak tuntas pada siklus I berkurang

menjadi 14,28% yang tidak tuntas pada akhir siklus II) dari prestasi belajar atau

ketuntasan belajar siswa Kelas X IPA 1 Semester I SMA Negeri 2 Lubuklinggau

Tahun Pelajaran 2020/2021.

Dengan demikian maka tindakan guru dalam menerapkan model pembelajaran

kooperatif tipe STAD pada bidang studi Biologi di sini telah berhasil mencapai tujuan

yang diinginkan.

B. Saran

Mengingat hasil-hasil penelitian yang telah dicapai di sini, maka disarankan:

1. Kepada siswa; mereka para siswa hendaknya lebih meningkatkan kerjasamanya

dalam kegiatan pembelajaran, terutama dalam mengerjakan tugas-tugas kelompok

yang diberikan oleh guru. Dengan begitu maka selain akan menimbulkan rasa

55
saling asah, saling asih dan saling asuh di antara siswa juga akan mempermudah

upaya pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah.

2. Kepada teman sejawat, guru; jika menghadapi masalah pembelajaran yang sama

atau yang mirip dengan masalah yang ada dalam penelitian ini, kiranya patut dicoba

untuk diatasi dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, pada

bidang studi yang sama dengan ini ataupun untuk bidang studi yang lain.

Mengingat satu dan lain hal, model pembelajaran kooperatif tipe STAD selain

prosedurnya mudah dan sederhana, dampaknya sangat terasa bagi peningkatan

aktivitas belajar siswa sesuai dengan tuntutan dan trend pembelajaran yang

berkembang akhir-akhir ini.

56
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi,Abu,Drs., dan Supriyono,Widodo,Drs., Psikologi Belajar, Jakarta, Penerbit


Rineka Cipta, 1991.

De Porter,Bobbi dan Hernacki,Mike dalam Abdurrahman,Alwiyah (penerjemah),


Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan,
Bandung, Kaifa, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI; Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1990.

Mulyasa,E., Dr.,M.Pd., Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan


Implementasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003.

--------------------------, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan


Implementasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003.

Gordon,Thomas, dalam Mudjito,Drs.,MA. (Penyadur); Guru Yang Efektif, Cara


Mengatasi Kesulitan Dalam Kelas, Jakarta, CV Rajawali, 1984.

Hamalik,Oemar,Dr., Perencanaan dan Manajemen Pendidikan, Bandung, Penerbit CV


Mandar Maju, 1991.

Madya,Suwarsih,Prof.,Ph.D., Teori dan Praktik, Penelitian Tindakan (Action


Research), Bandung, Penerbit Alfabeta, 2006.

Pemerintah RI; UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,


Jakarta, Penerbit Cemerlang, 2003.

-------------------; UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Bandung,


Penerbit Citra Umbara, 2006.

Surakhmad,Winarno,Dr.,M.Sc.,Ed.; Metodologi Pengajaran Nasional, Bandung,


Penerbit Jemmars, 1980.

Sunarto,H.,Prof.,Dr. dan Hartono, Ny.B.Agung,Dra.; Perkembangan Peserta Didik,


Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 1999.

Sudjana,Nana,Dr.; Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung, Penerbit PT


Remaja, 1989.

Suyanto,Prof.,Drs.,M.Ed.,Ph.D. dan Abbas,M.S.,Drs.,M.Si.; Wajah dan Dinamika


Pendidikan Anak Bangsa, Yogyakarta, Penerbit Adi Cita Karya Nusa,
2001.

Sulipan,Dr., Artikel Bimbingan Karya Tulis Ilmiah Online, “Penelitian Tindakan Kelas
(Classroom Action Research)”, http://www.ktiguru.org/

57
58

Anda mungkin juga menyukai