Anda di halaman 1dari 13

KLIPING

BIOGRAFI PANITIA SEMBILAN


Mata Pelajaran PPKn

Oleh:
Nama : Farel Wira Satriaji
Kelas : VII C ( 7C)
No. Absen : 12

SMP MUHAMMADIYAH BANTUL


2021
i
Kata Pengantar
Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah member rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga pada kesempatan ini dapat menyelesaikan kliping
Biografi Panitia Sembilan Kemerderkaan Republik Indonesia.
Pembuatan kliping ini bertujuan untuk meningkatkan kembali rasa nasionalisme dan
memberikan gambaran perjuangan para pejuang dalam mencapai kemerdekaan Indonesia,
sehingga dapat dicontoh generasi sekarang dalam mengisi kemerdekaan.
Dalam penyusunan kliping ini , kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan. Baik mungkin dari segi kelengkapan informasi maupun data. Namun
demikian kami telah berusaha memberikan yang terbaik khususnya dalam menyelesaikan
tugas mata pelajaran PPkn yang diberikan oleh guru. Kritik dan saran selalu kami harapkan
untuk kebaikan album ini.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu terwujudnya
kliping kenangan ini. Semoga kliping yang sederhana ini, dapat bermanfaat, khususnya
dalam menjalin persahabatan dan persaudaraan diantara kita. Amin.

Bantul, Agustus 2021


Penyusun

ii
Panitia Sembilan
Panitia Sembilan adalah kelompok yang dibentuk pada tanggal 1 Juni 1945, diambil dari
suatu Panitia Kecil ketika sidang pertama BPUPKI. Panitia Sembilan dibentuk setelah Ir.
Soekarno memberikan rumusan Pancasila. Adapun anggotanya adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
4. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
5. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
6. H. Agus Salim (anggota)
7. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
8. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
9. Mr. Mohammad Yamin (anggota)

Biografi Panitia Sembilan


1. Ir. Soekarno
Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir:
Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Soerabaja, 6 Juni 1901 –
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun)
[note 1][note 2] adalah Presiden pertama Republik
Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967.[6]:11,
81 Ia adalah seorang tokoh perjuangan yang memainkan
peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia
dari penjajahan Belanda.[7]:26-32 Ia adalah Proklamator
Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep
mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia
sendiri yang menamainya.[7]

Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang kontroversial,


yang isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat—
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan
negara dan institusi kepresidenan.[7] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto
untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya
yang duduk di parlemen.[7] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967,
Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS
pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia.[7]

1
Soekarno lahir dengan nama Kusno yang diberikan oleh orangtuanya.[6] Akan tetapi,
karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi
Soekarno oleh ayahnya.[6][8]:35-36 Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang
dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[6][8] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam
bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[8]

Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri
menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah
(Belanda).[8]:32 Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena
tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah
tanda tangan setelah berumur 50 tahun.[8]:32 Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung
Karno.

Masa kecil dan remaja

Rumah masa kecil Bung Karno

Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo
dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[6] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang
merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[6]
Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan
Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[6] Mereka telah memiliki seorang putri yang
bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[12]:4-6, 247-251 Ketika kecil Soekarno tinggal
bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[6]

Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,


mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[6] Di Mojokerto, ayahnya
memasukkan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[12]
Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS)
untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS).[6] Pada tahun 1915,
Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di
Surabaya, Jawa Timur.[6] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya
yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[6] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal
bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[6] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu
dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu,
seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[6] Soekarno kemudian
aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi
dari Budi Utomo.[6] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java
(Pemuda Jawa) pada 1918.[6] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan
Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[12]

Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja. Soekarno bersama mahasiswa pribumi
TH Bandung tahun 1923. Baris belakang dari kiri ke kanan: M. Anwari, Soetedjo, Soetojo,
Soekarno, R. Soemani, Soetono, R. M. Koesoemaningrat, Djokoasmo, Marsito. Duduk di
depan: Soetoto, M. Hoedioro, Katamso.

2
Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921,[13] bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di
HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[2]:38 setelah dua bulan
dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[2]:38 dan tamat pada
tahun 1926.[14] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan
pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan
belas insinyur lainnya.[2]:37 Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu
menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang
insinyur orang Jawa".[2]:37 Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[15]:167 selain
itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[15]:167

Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[6] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan
pemimpin organisasi National Indische Partij.

2. Drs. Mohammad Hatta


Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai
Bung Hatta; lahir dengan nama Mohammad Athar di Fort
de Kock, Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di
Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat
sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Ia bersama
Soekarno memainkan peranan sentral dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda
sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia
pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet
Hatta I, Hatta II, dan RIS. Pada 1956, ia mundur dari
jabatan wakil presiden karena berselisih dengan Presiden
Soekarno.

Hatta dikenal akan komitmennya pada demokrasi. Ia


mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi Indonesia. Di bidang
ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi membuat ia
dijuluki sebagai Bapak Koperasi.[1][2]

Hatta meninggal pada 1980 dan jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.[3]
Namanya bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada
Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di Belanda, namanya diabadikan sebagai nama jalan di
kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.[4]

3
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari
Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat
Payakumbuh, Sumatra Barat[5] dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.
Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar
berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum".[6] Athar lahir sebagai anak kedua, setelah
Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak
ayah, Abdurrahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit
dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri.[7] Sementara itu, ibunya berasal dari
keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.

Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.[6] Setelah kematian ayahnya,
ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang.[8] Haji Ning
sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu.
Perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning melahirkan empat orang anak, yang semuanya
adalah perempuan.[6]

3. Mr. Alexander Andries Maramis


Dr. (H.C.) Mr. Alexander Andries Maramis atau lebih
dikenal dengan A.A. Maramis (lahir di Manado, Sulawesi
Utara, 20 Juni 1897 – meninggal di Jakarta, 31 Juli 1977
pada umur 80 tahun) adalah pejuang kemerdekaan
Indonesia dan pahlawan nasional. Dia pernah menjadi
anggota BPUPKI dan KNIP. Ia juga pernah menjadi
Menteri Keuangan Indonesia dan merupakan orang yang
menandatangani Oeang Republik Indonesia pertama.
Keponakan Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan
pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di
Belanda.

Alexander Andries Maramis lahir di Manado pada tanggal


20 Juni 1897. Ayahnya bernama Andries Alexander
Maramis (nama pertama dan tengah dibalik) dan ibunya
bernama Charlotte Ticoalu.[1] Tantenya adalah Pahlawan Nasional Indonesia Maria
Walanda Maramis.[2] Alex Maramis belajar di sekolah dasar bahasa Belanda
(Europeesche Lagere School, ELS) di Manado.[3] Dia kemudian masuk sekolah menengah
Belanda (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia bertemu
dan berteman dengan Arnold Mononutu yang juga dari Minahasa dan Achmad Soebardjo.
[4][5]

Pada tahun 1919, Maramis berangkat ke Belanda dan belajar hukum di Universitas Leiden.
[6] Selama di Leiden, Maramis terlibat dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan
Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1924, ia terpilih sebagai sekretaris
perhimpunan tersebut.[7] Maramis lulus dengan gelar "Meester in de Rechten" (Mr.) pada

4
tahun 1924.[8] Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai kariernya sebagai
pengacara di Pengadilan Negeri di Semarang pada tahun 1925.[9][10] Setahun kemudian
ia pindah ke Pengadilan Negeri di Palembang.[11]

Maramis diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan


(BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Dalam badan ini, Maramis termasuk
dalam Panitia Sembilan. Panitia ini ditugaskan untuk merumuskan dasar negara dengan
berusaha menghimpun nilai-nilai utama dari prinsip ideologis Pancasila yang digariskan
oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.[12] Rumusan ini dikenal dengan
nama Piagam Jakarta. Maramis mengusulkan perubahan butir pertama Pancasila kepada
Drs. Mohammad Hatta setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman
Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.[butuh rujukan] Pada tanggal 11 Juli 1945 dalam
salah satu rapat pleno BPUPKI, Maramis ditunjuk sebagai anggota Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar yang ditugaskan untuk membuat perubahan-perubahan tertentu
sebelum disetujui oleh semua anggota BPUPKI.[13] Pada tahun 1976 bersama Hatta, A.G.
Pringgodigdo, Sunario Sastrowardoyo, dan Soebardjo, Maramis termasuk dalam "Panitia
Lima" yang ditugaskan Presiden Suharto untuk mendokumentasikan perumusan Pancasila.
[14]

4. Abikoesno Tjokrosoejoso
R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso (EBI: Abikusno Cokrosuyoso,
lahir di Dolopo, Madiun, 15 Juni 1897 – meninggal di Kota
Surabaya, 11 November 1968 pada umur 71 tahun[1][2])
adalah salah satu Bapak Pendiri Kemerdekaan Indonesia dan
penandatangan konstitusi. Ia merupakan anggota Panitia
Sembilan yang merancang pembukaan UUD 1945 (dikenal
sebagai Piagam Jakarta). Setelah kemerdekaan, ia menjabat
sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Presidensial
pertama Soekarno dan juga menjadi penasihat Biro
Pekerjaan Umum.

Kakak Tjokrosoejoso adalah Oemar Said Tjokroaminoto,


pemimpin pertama Sarekat Islam. Setelah kematian
saudaranya pada 17 Desember 1934, Abikoesno mewarisi
jabatan sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII). Bersama dengan Mohammad Husni Thamrin, dan
Amir Sjarifoeddin, Tjokrosoejoso membentuk Gabungan Politik Indonesia, sebuah front
persatuan yang terdiri dari semua partai politik, kelompok, dan organisasi sosial yang
menganjurkan kemerdekaan negara itu. Mereka menawarkan dukungan penuh kepada
otoritas pemerintahan kolonial Belanda dalam hal pertahanan untuk melawan Jepang jika
mereka diberikan hak untuk mendirikan parlemen di bawah kekuasaan Ratu Belanda.
Belanda menolak tawaran tersebut.

5
5. Abdoel Kahar Moezakir
Prof. KH. Abdoel Kahar Moezakir atau ejaan baru Abdul
Kahar Muzakir, (lahir di Gading, Playen, Gunung Kidul,
Yogyakarta, 16 April 1907 – meninggal di Yogyakarta, 2
Desember 1973 pada umur 66 tahun) adalah Rektor
Magnificus yang dipilih Universitas Islam Indonesia untuk
pertama kali dengan nama STI selama 2 periode 1945—
1948 dan 1948—1960. Ia adalah anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).[1]

Tokoh Islam yang pernah menjadi anggota Dokuritsu


Junbi Chōsakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ini pula yang tetap
dipertahankan ketika UII dihadirkan sebagai pengganti STI pada 4 Juni 1948. Ia menduduki
jabatan sebagai Rektor UII sampai tahun 1960.

Pada 2012, ia diusulkan untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional.[2]

Pada tanggal 8 November 2019, Abdul Kahar Muzakir dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.[3] Yang
menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Siti Jauharoh, anak dari Abdul
Kahar Muzakir.[4]

6. H. Agus Salim
H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti
"pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatra
Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di
Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun)
adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus
Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres
nomor 657 tahun 1961.[1]

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan


Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya
adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.[2]

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School


(ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian
dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia.
Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

6
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah
kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab
Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada
Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung
hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta
dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat
Islam.

7. Mr. Achmad Soebardjo


Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di
Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 – meninggal di Jakarta,
15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia
yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de
Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada
tahun 1933.

Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa


Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku
Muhammad Yusuf,[1] masih keturunan bangsawan Aceh dari
Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee
Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku
Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe,
Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis,[1] dan
merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya
nama Achmad Soebardjo.[1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa,
saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".[2]

Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah
Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden,
Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana
Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.

Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan


Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa
Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama

7
dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan
antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di
Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal
Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.[3] Sewaktu
kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).

8. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim


K. H. Abdul Wahid Hasjim (EYD: Abdul Wahid Hasyim)
(lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – meninggal di
Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun)
adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara
dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari
presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan
anak dari Mohammad Hasyim Asy'ari, salah satu pahlawan
nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di
Tebuireng, Jombang.

Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam


A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas
Islam pada zaman pendudukan Belanda. Saat
pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24
Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis
pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan
kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 ia mendirikan Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.
Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.

Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik,
kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-
Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada
masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333
Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif
muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada
zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran
pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem
klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari
Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.

8
Meskipun ayahandanya, Hadratush Syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh
waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum
akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun
kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.

Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir,
dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa.

Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari
"Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang
Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.

Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19
April 1953. Hujan turun deras yang mengakibatkan mobil selip karena jalanan licin.
Kecelakaan lalu lintas itu terjadi pada Sabtu, 19 April 1953. Setelah meninggalnya Wahid
Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya yang tengah hamil anak ke enam. Anak
keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya
bekerja. Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar
dalam kemajuan negara. Anak pertamanya Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden
RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota
DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar
Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.

8. Mr. Mohammad Yamin


Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi,
Sawahlunto, Sumatra Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal
di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah
sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli
hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern
Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus
"pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi
sejarah persatuan Indonesia.[1][2]

Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada


23 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari pasangan
Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-
masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang.
Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang
hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang
berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik;

9
Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps
diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)


Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS)
Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai
bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan
pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia
kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di
Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil
memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang
bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[6] Mereka dikaruniai satu orang putra,
Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan
dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII.

Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa
Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk
bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya,
Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra. Tanah Air
merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini
sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang
pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan
satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang
berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia
masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-
generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah,
dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.

10
Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Panitia_Sembilan
https://id.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim
https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Soebardjo
https://id.wikipedia.org/wiki/Wahid_Hasjim
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin
https://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
https://id.wikipedia.org/wiki/Alexander_Andries_Maramis
https://id.wikipedia.org/wiki/Abikoesno_Tjokrosoejoso
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdoel_Kahar_Moezakir
https://www.dosenpendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/12/panitia-
sembilan-1.png

11

Anda mungkin juga menyukai