Oleh:
Nama : Farel Wira Satriaji
Kelas : VII C ( 7C)
No. Absen : 12
ii
Panitia Sembilan
Panitia Sembilan adalah kelompok yang dibentuk pada tanggal 1 Juni 1945, diambil dari
suatu Panitia Kecil ketika sidang pertama BPUPKI. Panitia Sembilan dibentuk setelah Ir.
Soekarno memberikan rumusan Pancasila. Adapun anggotanya adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
4. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
5. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
6. H. Agus Salim (anggota)
7. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
8. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
9. Mr. Mohammad Yamin (anggota)
1
Soekarno lahir dengan nama Kusno yang diberikan oleh orangtuanya.[6] Akan tetapi,
karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi
Soekarno oleh ayahnya.[6][8]:35-36 Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang
dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[6][8] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam
bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[8]
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri
menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah
(Belanda).[8]:32 Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena
tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah
tanda tangan setelah berumur 50 tahun.[8]:32 Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung
Karno.
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo
dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[6] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang
merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[6]
Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan
Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[6] Mereka telah memiliki seorang putri yang
bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[12]:4-6, 247-251 Ketika kecil Soekarno tinggal
bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[6]
Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja. Soekarno bersama mahasiswa pribumi
TH Bandung tahun 1923. Baris belakang dari kiri ke kanan: M. Anwari, Soetedjo, Soetojo,
Soekarno, R. Soemani, Soetono, R. M. Koesoemaningrat, Djokoasmo, Marsito. Duduk di
depan: Soetoto, M. Hoedioro, Katamso.
2
Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921,[13] bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di
HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[2]:38 setelah dua bulan
dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[2]:38 dan tamat pada
tahun 1926.[14] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan
pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan
belas insinyur lainnya.[2]:37 Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu
menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang
insinyur orang Jawa".[2]:37 Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[15]:167 selain
itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[15]:167
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[6] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan
pemimpin organisasi National Indische Partij.
Hatta meninggal pada 1980 dan jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.[3]
Namanya bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada
Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di Belanda, namanya diabadikan sebagai nama jalan di
kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.[4]
3
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari
Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat
Payakumbuh, Sumatra Barat[5] dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.
Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar
berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum".[6] Athar lahir sebagai anak kedua, setelah
Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak
ayah, Abdurrahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit
dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri.[7] Sementara itu, ibunya berasal dari
keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.[6] Setelah kematian ayahnya,
ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang.[8] Haji Ning
sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu.
Perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning melahirkan empat orang anak, yang semuanya
adalah perempuan.[6]
Pada tahun 1919, Maramis berangkat ke Belanda dan belajar hukum di Universitas Leiden.
[6] Selama di Leiden, Maramis terlibat dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan
Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1924, ia terpilih sebagai sekretaris
perhimpunan tersebut.[7] Maramis lulus dengan gelar "Meester in de Rechten" (Mr.) pada
4
tahun 1924.[8] Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai kariernya sebagai
pengacara di Pengadilan Negeri di Semarang pada tahun 1925.[9][10] Setahun kemudian
ia pindah ke Pengadilan Negeri di Palembang.[11]
4. Abikoesno Tjokrosoejoso
R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso (EBI: Abikusno Cokrosuyoso,
lahir di Dolopo, Madiun, 15 Juni 1897 – meninggal di Kota
Surabaya, 11 November 1968 pada umur 71 tahun[1][2])
adalah salah satu Bapak Pendiri Kemerdekaan Indonesia dan
penandatangan konstitusi. Ia merupakan anggota Panitia
Sembilan yang merancang pembukaan UUD 1945 (dikenal
sebagai Piagam Jakarta). Setelah kemerdekaan, ia menjabat
sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Presidensial
pertama Soekarno dan juga menjadi penasihat Biro
Pekerjaan Umum.
5
5. Abdoel Kahar Moezakir
Prof. KH. Abdoel Kahar Moezakir atau ejaan baru Abdul
Kahar Muzakir, (lahir di Gading, Playen, Gunung Kidul,
Yogyakarta, 16 April 1907 – meninggal di Yogyakarta, 2
Desember 1973 pada umur 66 tahun) adalah Rektor
Magnificus yang dipilih Universitas Islam Indonesia untuk
pertama kali dengan nama STI selama 2 periode 1945—
1948 dan 1948—1960. Ia adalah anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).[1]
Pada tanggal 8 November 2019, Abdul Kahar Muzakir dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.[3] Yang
menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Siti Jauharoh, anak dari Abdul
Kahar Muzakir.[4]
6. H. Agus Salim
H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti
"pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatra
Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di
Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun)
adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus
Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres
nomor 657 tahun 1961.[1]
6
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah
kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab
Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada
Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung
hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta
dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat
Islam.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya
nama Achmad Soebardjo.[1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa,
saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".[2]
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah
Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden,
Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana
Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
7
dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan
antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di
Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal
Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.[3] Sewaktu
kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik,
kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-
Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.
Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada
masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333
Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif
muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada
zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran
pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem
klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari
Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.
8
Meskipun ayahandanya, Hadratush Syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh
waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum
akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun
kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.
Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir,
dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa.
Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari
"Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang
Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.
Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19
April 1953. Hujan turun deras yang mengakibatkan mobil selip karena jalanan licin.
Kecelakaan lalu lintas itu terjadi pada Sabtu, 19 April 1953. Setelah meninggalnya Wahid
Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya yang tengah hamil anak ke enam. Anak
keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya
bekerja. Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar
dalam kemajuan negara. Anak pertamanya Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden
RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota
DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar
Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.
9
Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps
diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang
bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[6] Mereka dikaruniai satu orang putra,
Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan
dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII.
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa
Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk
bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya,
Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra. Tanah Air
merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini
sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang
pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan
satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang
berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur
Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia
masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-
generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah,
dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.
10
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Panitia_Sembilan
https://id.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim
https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Soebardjo
https://id.wikipedia.org/wiki/Wahid_Hasjim
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin
https://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
https://id.wikipedia.org/wiki/Alexander_Andries_Maramis
https://id.wikipedia.org/wiki/Abikoesno_Tjokrosoejoso
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdoel_Kahar_Moezakir
https://www.dosenpendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/12/panitia-
sembilan-1.png
11