TM 4 Istishab & Sadd Al-Dzariah
TM 4 Istishab & Sadd Al-Dzariah
Secara etimologi, Istishab berasal dari kata subah yang berarti membandingkan lalu
mendekatkan. Sedangkan menurut istilah berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah
tetap di masa yang lalu, kemudian diteruskan sampai masa mendatang sebelum ada dalil atau
bukti yang dapat mengubah hukum tersebut.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa
yang lalu.
Syarat - Syarat Istishab
“ Syafi'iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat itu hak-hak
yang muncul tetap merupakan hak dari mereka yang berhak atas hak sebelumnya.
Pembatasan Hanafiyyah dan Malikiyah terhadap Istishab yakni mengenai aspek
penolakan tapi bukan aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak tetapi
tidak untuk publik.
“
Macam – Macam Istishab
Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyah
01 Yakni, penetapan hukum suatu masalah yang memiliki manfaat untuk
manusia ialah diperbolehkan, selama belum ada suatu dalil yang
menunjukkan keharamannya. Pada bidang muamalah, penerapan prinsip
Istishab ini menarik suatu kesimpulan bahwa setiap transaksi muamalah
hukumnya boleh atau mubah sampai ada dalil yang menyatakan bahwa itu
tidak boleh (haram).
Istishab Al Wasf
04 Membawa maksud sesuatu ketetapan hukum berlaku menurutsyara’ dan akal tentang
thabitnya dan berkekalannya. Erti kata lain, al-istishabdalam pembahagian yang ke-
empat ini diakui ada kaitannya dengan syara’ dan akal. Antara contohnya ialah hukum
halalnya perhubungan lelaki dengan perempuan adalah disebabkan perkahwinan
sehingga terdapat dalil yang menunjukkan haramnya perhubungan mereka seperti
melalui perceraian atau punfasakh.
Penerapan Istishab dalam
Ekonomi Kontemporer
Istishab sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam,
khususnya yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi dan keuangan. Hal tersebut sangat
signifikan sebagai pengembangan serta inovasi produk akad dalam sebuah perbankan syariah.
Oleh sebab itu, di bawah ini contoh aplikatif kaidah istishab dalam transasksi ekonomi dan
keuangan kontemporer.
Contoh : Wildan bekerja sebagai seorang dept-collector yang harus menagih pelunasan kartu
kredit sejumlah Rp357.000.000 yang dilakukan pada 6 Agutus 2015 pukul 09.30 WITA kepada
Aminah selaku pengguna credit card premium (dimana bahwa pihak penyedia jasa credit card akan
menyiapkan sejumlah dana yang besar terhadap penggunanya yang kemudian nanti akan ditagih
kepada kepada pengguna sesuai dengan nominal transaksi yang tertera). Tetapi ternyata pengguna
kartu kredit atas nama Aminah ini membantah jika dia menggunakan kartu tersebut sehingga pada
akhirnya ia menolak untuk melakukan pembayaran terkait transaksi kartu kredit tersebut. Dalam
kondisi ini, Aminah dapat membuktikan jika pada hari, tanggal, serta di jam tersebut ia berada di
Makkah dalam rangka melaksanakan umrah, yang diakui olehnya hanyalah belanja dengan kartu
tersebut di mall yang dilisensikan oleh penyedia jasa kartu kredit dengan berbelanja sejumlah
Rp3.000.000. Setelah dilakukan cross-check data yang cermat, ditemukan adanya transaksi yang
tida sesuai dengan penggunaan atas pemilik kartu kredit tersebut. Dan dinyatakan oleh pihak yang
berwenang bahwa kartu kredit atas nama Aminah itu telah di-crack oleh hacker untuk pembelanjaan
mobil Toyota Rush seharga Rp360.000.000. Dari ilustrasi di atas, menurut hukum Istishab ialah
Aminah tidak wajib membayarkan tagihan yang ditarik kepada penyedia jasa kartu kredit, terkecuali
adalah apa yang diakui dan dibenarkan oleh pihak berwenang atas transaksi yang dilakukan sebesar
Rp3.000.000. Hal tersebut didsarakan pada kaidah ushulfiqh yang menyatakan bahwa asal hukum
bagi sesuatu adala terlepas dari tanggungan.
Sadd al-Dzariah dan penerapannya dalam ekonomi
Secara bahasa kata sadd adz-dzari’ah Sadd Adz-Dzari’ah yang dimaksud dalam
merupakan gabungan dari dua padanan Ilmu Ushul Fiqh ialah
kata yang terdiri dari saddu dan adz- “Satu masalah yang tampaknya mubah,
dzari’ah. Kata saddu merupakan tetapi ada (kemungkinan) bisa
menutup sedangkan kata adz-dzari’ah menyampaikan kepada perkara yang
bermakna sarana, tujuan, wasilah dan terlarang (haram)”.
jalan. Sedangkan dzari’ah ditinjau dari “Mencegah segala sesuatu (perkataan
segi bahasa adalah “jalan menuju maupun perbuatan) yang menyampaikan
sesuatu”. pada sesuatu yang dicegah/dilarang yang
mengandung kerusakan atau bahaya”.
Pengertian Sadd Adz-Dzariah menurut para ahli
Imam Asy-Syatibi
01 Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju
pada suatu kerusakan atau kemafsadatan (Asy-Syatibi, IV : 198)
Qarafi
02 mengartikan sadd adz-dzari’ah dengan “Dzari’ah berarti perantara atau sarana kepada
sesuatu perkara”. Maksud dari hal tersebut adalah mencegah dan menahan jalan-jalan
yang tampaknya hukumnya mubah, namun bisa menjerumuskan pada perkara yang
haram (w: 684 H)
03 Ibnu ‘Asyur
mendefinisikan dzari’ah dengan “Disebut sadd dzara’i karena sudah menjadi
sebutan untuk mencegah perantara atau sarana kepada keusakan”. (w: 1393 H)
1. Tujuan: jika tujuan yang tidak dilarang dengan sendirinya (sebagai perantara washilah, sarana, atau jalan).
Dalam hal ini dibagi menjadi tiga keadaan:
a) Maksud dan tujuan perbuatan itu adalah untuk perbuatan yang lain, seperti bai’ul ajal
b) Maksud dan tujuan perbuatan itu adalah untuk perbuatan itu sendiri, seperti mencaci dan
mencela sembahan orang lain
c) Perbuatan itu menjadi asas menjadikannya sebagai perantara atau washilah, seperti larangan
menghentakkan kaki bagi seorang wanita yang ditakutkan akan menampakkan perhiasannya
yang tersembunyi.
2. Adanya tuduhan dan dugaan yang kuat bahwa perbuatan tersebut akan membawa kepada mafsadah
3. Kepada perbuatan yang dilarang (Al Mutawasil Ilaih). Ulama mengatakan rukun ketiga ini sebagai “Al
mamnu” (perbuatan yang dilarang). Maka, jika perbuatan tersebut tidak dilarang atau mubah, maka wasilah
atau dzari’ah tersebut hukumnya tidak dilarang. Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama’
adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi:
a) Sisi yang mendorong untuk berbuat.
b) Sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari perbuatan itu.
Pengelompokan Sadd adz-Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi
Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah
02 menjadi 3 macam:
a) Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti.
b) Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan.
c) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kerusakan.
Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah menjadi 4
03 yaitu:
a) Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
b) Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan untuk perbuatan buruk
yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci
sesembahan agama lain.
c) Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga
kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada kebaikannya
d) Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan tetapi
kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya.
Pandangan Ulama Tentang Sadd adz-Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat mengenai sadd adz-dzari’ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Terdapat tiga pandangan ulama yang dapat diklasifikasikan
dalam tiga kelompok:
Baiy Al-Ajal (Jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak secara kontan)
Adanya jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba, terdapat si fulan menjual handphone
kepada si fulana dengan harga Rp 5.000.000 dengan hutang, dan ketika itu handphone tersebut
dibeli lagi oleh si fulan dengan harga Rp 1.000.000 tunai, si fulana mengantongi uang Rp 1.000.000
tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si fulana harus membayar Rp 5.000.000 pada si
fulan.
Thank you