Anda di halaman 1dari 9

“ LARANGAN MENYUAP HAKIM DAN MEMAKAN HAK

ORANG LAIN ”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Tafsir Ahkam

Dosen Pengampu : Dr. Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A

Disusun Oleh :

Abdul Rohman 11190340000189

FAKULTAS USHULUDDIN

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memudahkan saya dalam menyusun
makalah, Mata kuliah “Tafsir Ahkam “. Tak lupa juga Shalawat serta salamnya
semoga selalu tercurahkan kepada baginda alam, yakni Nabi Muhammad SAW.
tidak lupa juga shalawat serta salamnya, semoga selalu tercurahkan kepada
keluarganya, para sahabat, para tabi’in atba-’attabiin sampai kepada umatnya
hingga akhir zaman. Aamiin.

Saya mengucapkan rasa syukur kepada Allah ta’ala yang telah melimpahkan
nikmat sehat walafiat sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tentunya dalam penyusunan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna,
masih banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya. Olehnya itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar saya bisa lebih baik lagi
dalam menyajikan makalah. Atas perhatianya saya ucapkan terimaksih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bogor, 3 April 2022

Penulis

PEMBAHASAN
A. Larangan Menyuap Hakim

Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa


uang maupun lainya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum
atau mendapat hukum ringan.1 Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi
uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Menurut
terminology fiqh, risywah (suap) adalah segala sesuatu yang diberikan oleh
seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan
suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti kemauannya.
Sedangkan menurut Ibnu Nadim, risywah adalah segala sesuatu yang diberikan
seseorag kepada hakim atau yang lainnya untuk memutuskan suatu perkara atau
membawa (putusan tersebut) sesuai dengan keinginannya yang memberi).2 Secara
istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan
harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”.3 Dalam bahasa sehari-
hari, menyuap bisa diartikan sebagai membeli hak atau kewenangan seseorang
yang berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hak atau kewenangannya.

Menurut Ibn Ismail Al khailani sebagaimana yang dikutip Rachmat syafe’I,


suap diperbolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi haknya atau
untuk mencegah dari kedzaliman,baik yang menimpa dirinya maupun
keluarganya. Hal itu didasarkan pada pendapat tabiin bahwa boleh melakukan
suap jika takut tertimpa dzalim, baik untuk dirinya maupun keluarganya.4

Adapun menurut Imam Asy Syaukani bahwa sesungguhnya keharaman


suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsis, namun demikian dalam Islam
terdapat kaidah ushul fiqih : Apa yang haram mengambilnya berarti haram pula
memberikannya.” (as-Suyuthi, TT:102) Tidak diperkenankan seseorang

1
Rahmat Syafe‟I, “Al hadis, Akidah, Social, dan Hukum”, Cet. II, (Bandung: Pustaka setia,
2003), hal. 125.
2
Maghfur Ahmad, dkk, “Islam dan Perubahan Sosial”, Cet. 1, (Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press, 2011), hal. 66-67
3
Kamus Besar Bahasa Indenesia, hal. 720, dan semakna dengan definisi para ulama. Lihat juga
Mukhtarush Shihah, hal.244 dan Qamus Muhith, 4/336
4
Rahmat Syafe‟I, Al Hadis (Akidah, Social, Dan Hukum).
memberikan harta haramnya pada orang lain. Apabila diperbolehkan
memberikannya berarti ia menolong dan mendorong pekerjaan yang dosa dan
diharamkan. Karena itu, diharamkan memberi uang suap, riba, upah pelacur,
pemberian pada khanin dan segala macam dari perbuatan yang fasiq sebagaimana
yang diharamkan dalam mengambilnya.

Pengecualian dari kaidah diatas adalah:

1) Memberi suap hakim untuk mendapatkan haknya orang dzalim.


2) Uang yang diberikan untuk menebus orang yang ditawan.
3) Uang yang diberikan kepada orang yang dikhawatirkan meninggalkan
orang yang memberi agar orang yang memberi mendapatkan haknya.
Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga
dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap ia boleh
melakukannya.

Dalam Islam suap-menyuap termasuk pelanggaran berat sehingga Rasulullah


SAW telah melaknat para pelaku suap, baik penyuap maupun yang diberi suap,
terutama dalam urusan hukum, selain dalam masalah hukum, dalam urusan-
urusan lainpun tidak diperbolehkan dalam Islam. Islam melarang perbuatan
tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat
oleh Allah dan Rasul-Nya, karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan
hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapat
perlakuan yang sama didepan hukum.

B. Suap Atau Risywah Menurut Pandangan Para Ulama

Karena sogokan merupakan upaya untuk memberi atau menerima sesuatu


yang belum tentu haknya, maka al-Jurjani memberikan defenisi sebagai berikut:
“Sogokan adalah suatu pemberian yang disampaikan kepada orang yang tidak
berhak menerimanya atau dengan kata lain pemberian yang tidak benar.”

Secara terminologi sebagaimana dinyatakan Al-Jurjani dalam kitabnya


alTa’rifat, risywah berarti: “Pemberian yang bertujuan untuk membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.5 Terminologi lain,
risywah adalah suatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemashlahatan.
Risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang salah
atau menyalahkan yang benar. Kemudian Ahmad al-Shirbasi memberikan
defenisinya dengan mengatakan: ‫ والمرتشى هوالذي يأخذ الرشوة‬,‫الراشى هوالذي يعطى الرشوة‬

Artinya: “penyogok adalah orang yang memberi sogokan, sedangkan orang yang
disogok adalah orang yang menerima sogokan.”

Ibn Abidin al-Hanafi mendefenisikan risywah dengan : ‫مايعطيه الشخص الحاكم‬


‫( وغيره ليحكم له أويحمله على مايؤيده‬Sesuatu yang diberikan oleh oknum tertentu kepada
hakim atau lainnya supaya menetapkan atau merealisasikan apa yang diinginkan
oleh oknum tersebut).6

Menurut penulis kitab Kasyfu al-Qina, risywah adalah sesuatu yang


diberikan setelah adanya permintaan, sedangkan hadiah diberikan sebelum
permintaan. Adapun hibah adalah pemberian murni tanpa ada ganti atau imbalan.
Sadaqah adalah harta yang dikeluarkan seseorang untuk mendekatkan diri kepada
Allah.7 Perbedaan antara risywah, shadaqah, dan hadiah terletak pada niat atau
tujuannya. Risywah diberikan untuk target duniawi, shadaqah dikeluarkan untuk
mencari ridha Allah, sedangkan hadiah diberikan untuk memuliakan atau sebagai
penghormatan kepada seseorang. Pada initinya risywah atau suap adalah suatu
pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim, petugas atau pejabat tertentu
dengan tujuan yang diinginkan kedua belah pihak, baik pemberi maupun
penerima pemberian tersebut.

C. Risywah Yang Dibolehkan

5
Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishas, dan
Ta’zir). Cet.1(Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 281
6
H. Abdul Hamid Ritonga, 16 Tema Pokok Hadis Seputar Islam dan Tata Kehidupan,
(Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2010), hlm. 141
7
Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishas, dan
Ta’zir). Cet.1(Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 281
Kebolehan melakukan risywah (suap) hanya dalam keadaan terpaksa (darurah).
Hal ini dikarenakan darurah dapat membolehkan yang terlarang sebagaimana
kaidah yang berbunyi:

‫الضرورة تبيح المحظورات‬

(Darurah membolehkan sesuatu yang dilarang (diharamkan). Maksudnya


adalah, suap atau sogok yang diberikan untuk menolak ancaman atau ketakutan
terhadap kebinasaan dirinya atau hartanya dari orang yang disuap. Jadi hukum
orang menyogok adalah halal, sedangkan bagi yang menerima sogok adalah
haram. Dihalalkan bagi orang tersebut menyogok karena menolak kemudharatan
hukumnya adalah wajib baginya.8

D. Hukum Suap/Risywah Dalam Qs. Al-Baqarah ayat 188

Suap hukumnya sangat jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta
Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.

Sebagaimana Allah SWT berfirman :

ِ ‫ࣖ َواَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل َوتُ ْدلُ ْوا بِ َهٓا اِلَى ا ْل ُح َّك ِام لِتَْأ ُكلُ ْوا فَ ِر ْيقًا ِّمنْ اَ ْم َوا ِل النَّا‬
َ‫س ِبااْل ِ ْث ِم َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬

Artinya : Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan
yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim,
dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan
jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Dalam, menafsirkan ayat tersebut, al-Haitsami rahimahullah berkata:


“Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara
mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan
memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu
tidak halal bagi kalian.”9 Sedangkan didalam Sunnah, Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat
yang memberi suap dan yang menerima suap.”(HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu
Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190.Syaikh Al-Albani

8
Abdul Hamid Ritonga, 16 Tema Pokok Hadis Seputar Islam dan Tata Kehidupan, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2010), hlm. 145
berkata,”Shahih.”. Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar,
karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah.

Al-Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.


Sedangkan menurut Ijma’ : Telah menjadi kesepakatan umat tentang haramnya
suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah,10 Ibnul Atsir,11
Shan‟ani rahimahullah.12

 Asbabun Nuzul Qs. Al-Baqarah ayat 188 :

Ayat ini turun berkenaan dengan Umru-ul Qais bin ‘Abis dan ‘Abdan bin
Asywa’ al-Hadlrami yang bertengkar dalam soal tanah. Umru-ul Qais berusaha
mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim.
Ayat ini (QS. Al-Baqarah : 188) sebagai peringatan kepada orang-orang yang
merampas hak orang dengan jalan bathil.9

 Tafsir Menurut Al-Maraghi

‫م‬tْ ‫" َواَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك‬

Tidak diperkenankan kalian makan sebagian harta yang lain. Di dalam


ungkapan ayat ini digunakan kata harta kalian, hal ini merupakan peringatan
bahwa umat itu satu di dalam menjalin kerja sama. Juga sebagai peringatan,
bahwa menghormati harta orang lain berarti menghormati harta sendiri.
Sewenang-wenang terhadap harta orang lain, berarti melakukan kejahatan kepada
seluruh umat, karena salah seorang yang diperas merupakan salah satu anggota
umat. Dan ia tentu akan terkena akibat negatif lantaran seseorang yang memakan
harta orang lain berarti memberikan dorongan kepada orang lain untuk berbuat hal
yang serupa,dan terkadang menimpa dirinya jika keadaannya memang demikian,
sehingga menjadi bumerang bagi dirinya.10

KESIMPULAN

9
Asbabun Nuzul, Cet. 2 (Bandung: Diponegoro,2011), hlm. 54-55
10
Ibid,.hlm. 140-141
 Risywah atau suap merupakan perbuatan yang diharamkan Oleh
Allah SWT, begitu juga dengan Korupsi atau memakan harta milik
Orang lain, sebagaimana yang telah tertera pada Al-Qur’an Surat
al-baqarah ayat 188.
 Risywah dalam sebagian kondisi diperbolehkan karna sebab
darurat entah itu karna mendapat ancaman atau lain sebagainya
yang dapat membahayakan bagi keselamatan dirinya.
 Hukum Suap menyuap adalah haram, sebagaimana menurut Imam
Asy Syaukani bahwa sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak
dan tidak dapat ditakhsis.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Ritonga, 16 Tema Pokok Hadis Seputar Islam dan Tata
Kehidupan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), hlm. 145

Asbabun Nuzul, Cet. 2 (Bandung: Diponegoro,2011), hlm. 54-55

Ibid,.hlm. 140-141

Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana


Islam (Hudud, Qishas, dan Ta’zir). Cet.1(Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm.
281

Rahmat Syafe‟I, “Al hadis, Akidah, Social, dan Hukum”, Cet. II,
(Bandung: Pustaka setia, 2003), hal. 125.

Maghfur Ahmad, dkk, “Islam dan Perubahan Sosial”, Cet. 1,


(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hal. 66-67

Kamus Besar Bahasa Indenesia, hal. 720, dan semakna dengan


definisi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hal.244 dan Qamus Muhith,
4/336

Rahmat Syafe‟I, Al Hadis (Akidah, Social, Dan Hukum).

H. Abdul Hamid Ritonga, 16 Tema Pokok Hadis Seputar Islam dan


Tata Kehidupan, (Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2010), hlm. 141

Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana


Islam (Hudud, Qishas, dan Ta’zir). Cet.1(Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm.
281

Anda mungkin juga menyukai