KEL7 - Skeptisisme - Goldziher & Josep Schacht
KEL7 - Skeptisisme - Goldziher & Josep Schacht
Disusun Oleh :
FAKULTAS USHULUDDIN
2022
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memudahkan saya dalam menyusun
makalah, Mata kuliah “ Kajian Barat Terhadap Al-Qur’an & Hadis “. Tak lupa
juga Shalawat serta salamnya semoga selalu tercurahkan kepada baginda alam,
yakni Nabi Muhammad SAW. tidak lupa juga shalawat serta salamnya, semoga
selalu tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat, para tabi’in atba-’attabiin
sampai kepada umatnya hingga akhir zaman. Aamiin.
Saya mengucapkan rasa syukur kepada Allah ta’ala yang telah melimpahkan
nikmat sehat walafiat sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tentunya dalam penyusunan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna,
masih banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya. Olehnya itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar saya bisa lebih baik lagi
dalam menyajikan makalah. Atas perhatianya saya ucapkan terimaksih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
A. Pengertian Skeptisisme................................................................................6
B. Biografi Ignaz Goldziher.............................................................................7
C. Karya Ignaz Goldziher.................................................................................8
D. Skeptisisme Goldziher Terhadap Kajian Hadis...........................................8
E. Tanggapan Cendekiawan Muslim Terhadap Goldziher.............................12
F. Biografi Joseph Schacht.............................................................................15
G. Karya Joseph Schacht................................................................................16
H. Skeptisisme Joseph Terhadap Kajian Hadis..............................................17
I. Tanggapan Ilmuwan Muslim Terhadap Skeptisisme Goldziher dan
Josep...........................................................................................................21
A. Kesimpulan................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat praktek yang
dilakukan Nabi, lalu mereka mengikutinya. Ketiga, karena ada
kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat Al-Qur’an
dengan hadis. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan
dengan otentisitas hadis. Beberapa penulis dari kalangan orientalis
menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya
yang mengarah pada keraguan terhadap otentisitas hadis.
Diantaranya adalah Ignaz goldhizer dan Joseph schacht, yang merupakan
orientalis pertama yang melontarkan kritik terhadap ke otentitasan hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Skeptisisme?
2. Bagaimana Biografi Ignaz Goldziher dan Josep Schahct?
3. Apa saja Karya Igna Goldziher dan Josep Schahct?
4. Seperti apa Skeptisisme Goldziher dan Josep terhadap hadis?
5. Bagaimana tanggapan para cendekiawan muslim terhadap skeptisisme
Goldziher dan Josep Schahct?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari skeptisisme
2. Untuk mengetahui biografi Ignaz Goldziher dan Josep Schahct
3. Untuk mengetahui skeptisisme Goldziher dan Josep terhadap hadis
4. Untuk mengetahui tanggapan cendekiawan muslim terhadap
skeptisisme Goldziher dan Josep
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Skeptisisme
Kata skeptis tidak harus dipahami sebagai sikap negatif yang langsung
meragukan sesuatu dan tidak memercayai keberadaan pengetahuan. Sebab pada
pelaksanaannya, skeptisisme mempertanyakan sesuatu dengan cara
menyampaikan argumen yang terstruktur untuk menimbulkan keraguan agar
mendapatkan penjelasan yang akurat dan memadai. Secara formal, skeptisisme
merupakan topik yang menarik dalam filsafat, khususnya epistemologi.
Sedangkan secara informal, skeptisisme dapat diterapkan pada topik apa pun,
seperti politik, agama, atau pseudosains. Ini sering diterapkan dalam ranah yang
terbatas, seperti moralitas (skeptisisme moral), teisme (skeptisisme tentang
keberadaan Tuhan), atau supernatural. Tom Friedman dari New York Times
mengatakan bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala
sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar
tidak mudah ditipu. Seorang yang skeptis akan berkata: "Saya kira itu tidak benar.
Saya akan mengeceknya".1
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme. Diakses pada tanggal 23-03-2022
6
B. Biografi Goldziher
2
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 1981), viii-ix.
3
Ibid., 9
7
Ketika masih berada di Hungaria dan Jerman, Goldziher banyak mengkaji
buku-buku tentang Judaic (agama Yahudi) dan Semantik, termasuk pula bahasa
Arab. Pengalamannya di Leiden, sebagaimana yang ditulis di dalam buku
hariannya, menjadikannya tertarik pada dunia keislaman. Ketertarikannya
terhadap bangsa Timur dan dunia keislaman ini dikonfirmasi oleh Goldziher
ketika dia melakukan perjalanan pertamanya ke Timur Tengah yang dimulai dari
September 1873 sampai April 1874. Waktunya banyak dihabiskan di Damaskus
dan Kairo. Dia kemudian mendapatkan izin sebagai non muslim pertama untuk
belajar dan menjadi murid di Universitas al Azhar, Kairo. 4
4
Ibid.
5
Idri, Jurnal PERSPEKTIF ORIENTALIS TENTANG HADITS NABI (Telaah Kritis dan
Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya, STAIN Pamekasan, h.201
6
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LkiS),2003, h. 129
8
yang ditemukan dalam berbagai koleksi hadis tidak merujuk kepada berbagai
koleksi tertulis yang lebih awal dan menggunakan istilah-istilah dalam isnad yang
berimplikasi pada periwayatan secara tertulis. Kedua, adanya hadis-hadis
kontradiktif yang sama-sama mengklaim bersumber dari nabi SAW. Ketiga, pada
pertumbuhan hadis pada berbagai koleksi hadis belakangan tidak teruji
kebenaranya dalam koleksi-koleksi yang lebih awal. Keempat, adanya kenyataan
bahwa sahabat kecil lebih tahu banyak hal tentang Nabi SAW., Yakni mereka
lebih banyak meriwayatkan hadis dari pada sahabat besar yang tahu dan bergaul
dengan nabi SAW. Dalam waktu yang lebih lama.
9
diantara mereka sendiri mengkaji dan berpartisipasi dalam perdebatan teologis.
Menurut goldziher , laporan bahwa umar bin abdul Azis, khalifah bani Umayah
telah memerintahkan untuk membuat koleksi hadis pertama harus ditolak sebagai
laporan yang tidak dapat dipercaya karena adanya sejumlah kontradiksi dalam
uraianya dan tidak adanya referensi kepada Abu Bakar bin Hazm dalam kitab
hadis yang belakangan. Bagi Goldziher, klaim ini bersifat hagiographic, yakni
tidak lain kecuali sebuah ekspresi dari opini yang baik bahwa masyarakat
memiliki seorang khalifah yang shaleh dan yang cinta kepada sunnah nabi Saw.
7
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Fakultas Ushuluddin UIN SGD, vol.34, No.2 Juli-
Desember 2011
10
singkat, Goldziher mengungkapkan, setidaknya ada empat faktor yang menjadi
indikasi atau alasan suatu hadis dipalsukan. Keempat faktor tersebut adalah
sebagai berikut: Pertama, perselisihan agama dan politik pada saat komunitas
Islam lahir. Tentu yang dimaksud komunitas Islam di sini adalah masa Umayyah.
Goldziher membuat sebuah analogi, semakin sekuler rezim Umayyah, semakin
kuat orang-orang Muslim yang saleh berpegang teguh kepada ajaran nabi dan
khalifah empat. Namun, rezim juga tidak berdiam diri untuk menjustifikasi semua
tindakannya. Mereka memerintahkan ulama yang oportunis untuk menciptakan
hadis palsu yang disandarkan sampai nabi. Hal semacam ini banyak terjadi
terutama pada pertengahan kedua abad pertama H. Kedua, pemalsuan hadis terjadi
pada saat Abbasiyah mengambil alih kekhalifahan dari dinasti Umayyah pada
abad kedua H. Kebijakan penguasa baru terkait keagamaan yang terfokus pada
fikih mendorong pada penciptaan hadis. Ulama yang tunduk pada rezim akan
memberikan fatwa yang sesuai dengan keinginan penguasa, walaupun dengan
cara memalsukan hadis. Ketiga, pertentangan antara ahl al-ra’y dan ahl al-hadis.
Pertentangan ini terjadi pada pertengahan kedua abad kedua Hijriyyah. Pada era
ini banyak hal terkait dengan suatu hukum diperlukan. Jika mereka tidak
menemukan kasus yang sama dengan masa nabi, mereka tidak segan untuk
menciptakannya. Keempat, ketidakpuasan dari kelompok yang berseberangan
dengan keluarga kerajaan dalam masalah agama dan politik. Mereka akan mencari
cara untuk memberontak, dan untuk meyakinkan para pendukungnya, mereka
terkadang menciptakan hadis palsu. Begitu pula sebaliknya, pihak kerajaan akan
mencari dalil untuk menjustifikasi tindakannya dalam rangka melawan para
pemberontak. Persaingan bukan hanya pada kedua kelompok tersebut, tetapi juga
sukusuku, klan-klan, kota-kota, dan ulamaulama.
Salah satu contoh pemalsuan hadis yang dilakukan atas perintah penguasa
adalah hadis tentang balapan merpati. Khalifa al-Mahdi (775 M-785 M) sangat
senang terhadap atraksi perlombaan merpati. Akan tetapi, hal tersebut dianggap
sebagai suatu perbuatan yang tidak pantas oleh para ulama. Untuk melegitimasi
11
hal tersebut, ia memerintahkan seorang ulama untuk menambahkan satu kata
dalam sebuah hadis agar balapan merpati dibolehkan. 8
8
Ulumuddin, PEMETAAN PENELITIAN ORIENTALIS TERHADAP HADIS MENURUT
HARALD MOTZI. Jurnal Ilmu hadis, Vol. 3 No. 1, Juni 2020
9
Siti Mahmudah Noorhayatie, HADITH DIMATA ORIENTALIS (Studi Krisis Atas Pemikiran
Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), Jurnal Al-Afkar FAK.USHULUDDIN Surabaya
12
Beberapa cendekiawan muslim yang mengkritik atas sikap skeptis Goldziher
terhadap kajian atau autentias hadis, yang mana diantaranya adalah Fazlur
Rahman, Muhammad Hamidullah, Nabi Abbout dan lain sebagainya. Namun
disini pemakalah hanya mencantumkan tanggapan dari ulama hadis yaitu
Muhammad Musthafa Azami. Yang mana isi tanggapan atau bantahanya terhadap
Goldziher sebagai berikut :
13
Kedua, Ignaz goldziher menganggap bahwa Hadits yang disandarkan pada
Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan Hadits -
Hadits klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi
doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Nabi
Muhammad SAW. Hal itu dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami bahwa,
sejak awal munculnya Islam, Nabi Muhammad memegang hak yang progratif
keagamaan setelah Allah Swt, terbukti dengan dijadikannya beliau sebagai tempat
rujukan dari masalah-masalah yang muncul di kalangan para sahabat dengan
berbagai sabda dan perbuatannya, yaitu Hadits. Dengan begitu, walaupun
penulisan dan pengkodifikasian Hadits baru dilakukan jauh dari kehidupan Nabi
Muhammad Saw, bukan berarti autentisitas dan validitas Hadits menjadi suatu
yang diragukan, karena ulama belakangan berupaya supaya serius dalam
melakukan verifikasi, terbukti dengan banyak karya yang memuat kritik, baik dari
segi sanad maupun matannya sebagai upaya membentengi Hadits-Hadits palsu.
Pada pertengahan abad kedua Hijriyah, perhatian ulama lebih banyak tercurahkan
pada penghimpunan Hadits-Hadits Nabi di luar fatwa sahabat tabi’in dalam
bentuk musnad. Adapun kitab yang pertama adalah karya Abu Daud dan Musnad
Ahmad Bin Hanbal. Penyusunan ini terus berlanjut dengan tersesunnya kitab
“Kutub al-Sittah”, sementara pada generasi berikutnya bersifat men- Menjarah
dan men-Ta’dilkan kitab-kitab yang telah ada. Sebab itulah, maka pelarangan
penulisan Hadits sebagaimana yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher di atas
bukanlah karena pengadopsian aturan-aturan agama-agama terdahulu. Argumen
ini sangatlah tidak representatif dan terkesan sangat mengada-ada. Pelarangan
penulisan ini karena adanya kekhawatiran apabila Hadits bercampur dengan al-
Qur’an, sebab berdasarkan historisnya, biasanya jika para sahabat mendengar
ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya kedalam Shahifah yang sama dengan al-
Qur’an.
Ketiga, Ignaz goldziher beranggapan bahwa tradisi penulisan Hadits
sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi
yang didalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama. Hal ini
dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami bahwa Alasan Ignaz Goldziher di atas
sangat tidak resentatif, tidak jujur dan terkesan sangat mengada-ada. Kalaupun
14
Nabi Muhammad Saw mendapatkan pengetahuannya dari orang Yahudi dan
Kristen, bukan berarti Nabi Muhammad Saw menjiblak gagasan Yahudi. Jika
pada kenyataan ada guru yang mengajari Nabi Muhammad Saw tentang ajaran-
ajaran Yahudi, tentunya guru tersebut akan menggugat bahkan menolak mentah-
mentah Hadits Nabi Muhammad Saw itu.
Keempat, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi Hadits dinilai tidak akurat, karena mereka lebih
menitik beratkan pada aspek makna Hadits sehingga para ahli bahasa merasa
enggan menerima periwayatan Hadits disebabkan susunan bahasanya tergantung
pada pendapat perawinya, hal ini dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami
bahwa Tuduhan Ignaz Goldziher terhadap perawi Hadits sangat tidak beralasan,
karena pada kenyataannya tradisi periwayatan Hadits terbagi menjadi dua, yaitu
periwayatan bi al-lafdzi dan periwayatan bi al-Ma’na. jenis periwayatan yang
kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi
Hadits yang menggunakan tradisi periwayatan bi al-Ma’na dicurigai telah
meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga
redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bi al-Ma’na
ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya.
Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang
terkandung di dalamnya. Di samping itu, tradisi ini tidak dikecam oleh Nabi
Muhammad Saw, mengingat redaksi Hadits bukanlah al-Qur’an yang tidak boleh
diubah susunan bahasa dan maknanya, baik itu dengan mengganti lafadz-lafadz
yang muradif (sinonim) yang tidak terlalu perlu mengetahui isinya, berbeda
dengan al-Qur’an sebab merupakan mu’jizat dari Allah yang tidak mungkin
dirubah.10
Lahir di Rottbur Jerman pada 15 Maret 1902, dikenal sebagai pakar dalam
bidang fiqh Islam. Pendidikannya dimulai di Universitas Prusla dan Leipzig, ia
mendalami kajian filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur. Tahun 1923,
10
Sri Satriani. Skripsi : KRITIK MUHAMMAD MUSTAHAFA AZAMI TERHADAP PEMIKIRAN
IGNAZ GOLDZIHER TENTANG KRITIK MATAN HADITS
15
ia memperoleh gelar sarjana tingkat petama di Univesitas Prusla. Kemudian ia
mengajar di Universitas Frayburg setelah mendapat akta mengajar, lima tahun
kemudian ia diangkat menjadi guru besar. Tahun 1932 Schacht pindah ke
Universitas Kingsburg dan pada tahun 1934 hingga tahun 1939 ia menjadi dosen
tamu di Universitas Kairo untuk mengajar beberapa mata kuliah, antara lain fiqh,
bahasa Arab dan bahasa Suryani. Pada tahun yang sama, ketika terjadi perang
dunia II (September 1939), ia pindah ke London dan bekerja di Radio BBC dan
melancarkan propaganda melawan Jerman. Hal ini karena Schacht tidak sepaham
dengan Nazi Jerman semenjak ia menetap dan mengajar di Fakultas Sastra di
Mesir. Schacht kemudian menjadi warga Negara Inggris pada tahun 1947.
Meskipun ia menampakkan perlawanan terhadap Nazi Jerman, namun Schacht
tidak sekalipun mendapat penghargaan dari pemerintahan Inggris. Pada tahun
1948 ia melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan mempeoleh gelar
magister, gelar doktornya ia peroleh pada tahun 1952, meskipun sebelum ia kuliah
di Oxford telah diangkat menjadi guru besar, hal itu tidak menyurutkan
semangatnya untuk kuliah, namun demikian, meskipun ia mempuyai prestasi baik
di Oxford, namun ia tidak pernah diangkat sebagai guru besar, baik di
almamaternya maupun di seluruh perguruan tinggi yang ada di Inggris. Pada
tahun 1954, Schacht menuju Belanda dan mennjadi guru besar di Universitas
Leiden pada tahun 1959. Di Leiden, ia menjadi pengawas cetakan kedua buku
Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyat. Karirnya memuncak hingga ia pindah ke New
York dan menjadi guru besar di Univesitas Columbia hingga meninggalnya tahun
1969 (Badawi, 2003, hal. 364).
16
Joseph Schacht membahas asal-usul hukum Islam pada peiode awal. Pada buku
ini pula Schacht memfokuskan kajian sejarah perkembangan hukum Islam dan
menjadikan kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai rujukan utamanya. Di
buku ini pula ia menegaskan bahwa hadits bukanlah sumber hukum utama bagi
hukum Islam. Hadits menurutnya tidak lebih dari inovasi dan muncul belakangan
setelah sumber hukum lainnya tertata (Muna, 2008, hal. 73). Dari gagasannya
yang tertuang di dalam karyanya tersebut, maka buku The Origins Of
Muhammadan Jurisprudence dinilai kontroversial oleh banyak kalangan.
Demikian sekelumit biografi Joseph Schacht.
Sebelum pembahasan lebih jauh tentang kritik sanad yang dilakukan oleh
Joseph Schacht, perlu disebutkan disini bahwa secara umum kritik yang dilakukan
oleh orientalis terhadap hadits disebabkan antara lain adanya kontroversi seputar
penulisan hadits pada masa Nabi Saw. Larangan penulisan hadits pada masa itu,
menurut orientalis menyebabkan kurangnya perhatian muhaddits, sehingga
banyak hadits yang “terlewatkan”, penulisan hadits yang dilakukan setelahnya
menyisahkan keraguan, sehingga orientalis berkesimpulan bahwa tidak ada hadits
yang benar-benar berkualitas shahih.
Faktor lain yang melatar belakangi kritik orientalis terhadap hadits adalah
anggapan mereka yang menyatakan bahwa sunnah atau hadits tidak lebih dari
“adat kebiasaan/tradisi” dari masyarakat Jahiliyyah yang diserap oleh agama
Islam.
17
mencakup aspek kesejarahan hadits, konsep sunnah, sanad dan matan. Berikut ini
adalah point-point kritik Schacht terhadap hadits.
Kedua, Sunnah pada masa lalu dipahami sebagai perkara yang disepakati
atau dalam arti lain adalah perkara-perkara praktis yang dijalankan di tengah-
tengah komunitas muslim (tradisi yang hidup). Oleh karena itu istilah
“Sunnah”tidak berhubungan dengan segala tindakan atau ucapan yang bersumber
dari Nabi Saw. Istilah sunnah dijelaskan oleh madzhab-madzhab fiqh sebagai
tindakan masyarakat sebagaimana dirumuskan oleh pendahulu.
Kelima, Sanad pada awal abad II dan III H adalah kreasi ulama hadits
untuk memperkuat pendapat mereka.
18
Kedelapan, Setiap hadits yang sanadnya bermuara hanya kepada seorang
perawi saja, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah pemalsu sanad
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam
dengan apa yang disebut hadits Nabi. Joseph Schacht menegaskan bahwa Hukum
Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan
pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang berkaitan dengan hukum
Islam, maka hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-
Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa
pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-
Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan
pada masa Dinasti Bani Umayyah.
19
hadits dan gagal menyebutkannya, atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama atau
perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan
hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits
ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan
isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk
membuktikan hadits itu eksis tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits
tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab
seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai referensi.
Atau dengan kata lain, apabila sebuah hadits tidak ditemukan di dalam salah satu
literatur hadits, dan eksistensinya diharapkan maka hadits itu tidak eksis pada saat
literateratur hadits itu dibuat (Amin, 2009, hal. 175)
20
I. Tanggapan para Ilmuwan/Cendekiawan muslim terhadap Skeptisisme Josep
Kritik terhadap metode dan teori yang dikembangkan oleh Joseph Schacht
dalam kajian sanad hadits juga dilakukan oleh beberapa sarjana muslim, antara
lain oleh MM. Azami. Persoalan pertama yang dikritik oleh MM. Azami terhadap
kajian sanad hadits yang dilakukan oleh Joseph Schacht adalah tentang obyek
kitab kajiannya. MM. Azami berpandangan bahwa pemilihan kitab-kitab dalam
kajian sanad yang dilakukan oleh Schacht antara lain kitab Muwaththa’, karya
Imam Malik, muwaththa’ karya Imam Muhammad as-Syaibani dan al-Umm karya
Imam Syafi’i, adalah kurang tepat. Hal itu karena kitab-kitab tersebut lebih tepat
disebut dengan kitab fiqh, bukan kitab hadits. Namun demikian, Schacht
mengeneralisasikan hasil kajiannya dan menerapkan hasil kajiannya terhadap
kitab-kitab hadits (al-Khatib, n.d., hal. 48; Azami, 2009, hal. 538). Padahal
menurut Azami, karakteristik kitab-kitab fiqh dan hadits berbeda. Selain Azami,
Muhammad Bahauddin (1999, hal. 102) juga mengkritik pilihan Schacht terhadap
kitab fiqh dalam kajian hadits. Bahauddin berpendapat bahwa perhatian terhadap
sanad merupakan wilayah para ulama hadits, bukan wilayah ulama fiqh. Oleh
karena itu, kajian Schacht terhadap kitab-kitab fiqh untuk selanjutnya ia kritisinya
tidaklah tepat.
21
Bantahan terhadap tesis Josep Schacht otentitas hadits yang dikemukakan
oleh sarjana Muslim sangat banyak dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
11
Saudi Hasan. (2016). Menyoal kritik sanad Joseph Schahct. Riwayah: Jurnal Studi Hadis, 2(1),
89-104. https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/view/1622/pdf
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para orientalis seperti Ignaz Goldziher dalam mengkritik Hadits dan ilmu
Hadits, berangkat dari niat yang tidak baik terhadap Islam. Berbeda dengan kritik
yang dilakukan para ulama Hadits, yang berangkat dari niat tulus untuk
mengetahui keadaan Hadits yang sebenarnya. Oleh karena itu wajar apabila kritik
yang dilontarkan oleh orientalis ditujukan untuk merobohkan pondasi kedua
bangunan Islam. Kritik Hadits Ignaz Goldziher mendapat bantahan dari
Muhammad Musthafa Azami, di antara kritik tersebut adalah bahwa dari segi
matan, Ignaz goldziher beranggapan bahwa Hadits merupakan produk kreasi
kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi Hadits baru terjadi setelah beberapa
abad dari masa hidup Nabi. Muhammad Musthafa Azami telah menjawab bahwa
banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis menulis di awal
Islam.
Dan juga Kritik yang dilakukan Schacht terhadap hadits, utamanya sanad
hadits, memunculkan tiga teori pokok yaitu, argumentum siliento, projecting back
dan common link. Tiga teori tersebut diterapkan oleh Schacht dan orientalis
lainnya untuk mengetahui aspek penanggalan awal kemunculan hadits (dating).
Kalapun gagasan Schact ini mendapatkan pujian dari rekan orientalis lainnya,
namun tidak terhindar dari kritik. Kritik terhadap ketiga teori Schact tersebut,
antara lain karena obyek penelitian Schacht bukanlah literature hadits tetapi
literature fiqh. Padahal masing-masing literature tersebut mempunyai kekhasan.
Sementara temuan Schacht dari penelitiannya digeneralisasikan ke dalam kajian
hadits. Hal ini yang menjadikan Schacht dinilai sebagai melakukan kesalahan
metode kajian yang fatal. Selain itu, metode dating yang diterapkan oleh Schacht
hanya berpijak kepada kitab sirah, tanpa mempertimbangkan tepat dan tidaknya
metode tersebut digunakan dalam kajian hadits.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ibid., 9
24