Anda di halaman 1dari 24

“ SKEPTISISME IGNAZ GOLDZIHER & JOSEPH

SCHACHT TERHADAP KAJIAN HADIS ”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Kajian Barat Terhadap Al-Qur’an & Hadis

Dosen Pengampu : Saadatul jannah, S.Th.I, M.A

Disusun Oleh :

Abdul Rohman 11190340000189

Muhammad Apniyansah 11100340000172

FAKULTAS USHULUDDIN

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memudahkan saya dalam menyusun
makalah, Mata kuliah “ Kajian Barat Terhadap Al-Qur’an & Hadis “. Tak lupa
juga Shalawat serta salamnya semoga selalu tercurahkan kepada baginda alam,
yakni Nabi Muhammad SAW. tidak lupa juga shalawat serta salamnya, semoga
selalu tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat, para tabi’in atba-’attabiin
sampai kepada umatnya hingga akhir zaman. Aamiin.

Saya mengucapkan rasa syukur kepada Allah ta’ala yang telah melimpahkan
nikmat sehat walafiat sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tentunya dalam penyusunan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna,
masih banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya. Olehnya itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar saya bisa lebih baik lagi
dalam menyajikan makalah. Atas perhatianya saya ucapkan terimaksih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bogor, 22 April 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................4


B. Rumusan Masalah..................................................................................5
C. Tujuan Penulisan....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6

A. Pengertian Skeptisisme................................................................................6
B. Biografi Ignaz Goldziher.............................................................................7
C. Karya Ignaz Goldziher.................................................................................8
D. Skeptisisme Goldziher Terhadap Kajian Hadis...........................................8
E. Tanggapan Cendekiawan Muslim Terhadap Goldziher.............................12
F. Biografi Joseph Schacht.............................................................................15
G. Karya Joseph Schacht................................................................................16
H. Skeptisisme Joseph Terhadap Kajian Hadis..............................................17
I. Tanggapan Ilmuwan Muslim Terhadap Skeptisisme Goldziher dan
Josep...........................................................................................................21

BAB III PENUTUP..............................................................................................23

A. Kesimpulan................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis nabi tidak henti-hentinya dikaji dan dipelajari secara serius,


bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri tapi oleh para Islamisis yang juga
tertarik terhadap kajian tersebut. Hal ini terjadi karena eksistensi hadis
pada kenyataannya semakin banyak mengandung problematika, dimana
problematika tersebut dirasa semakin kompleks, ketika eksistensi Hadits
itu sendiri dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-Qur'an, dimana al-
Qur'an sebagai sumber otoritas pertama, sedangkan Hadits sebagai otoritas
kedua, karena secara histories penulisan ataupun pengkodifikasiannya
relative sangat jauh dari masa hidup Nabi. Dari sinilah kemudian timbul
penilaian-penilaian miring yang dengan sengaja menggambarkan
keberadaan Hadits di mata umat Islam.
Sebenarnya hadis belum ditulis secara resmi pada masa Rasul SAW.
Sejarah penulisan/pengkodifikasian hadis secara resmi dan massal, terjadi
pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn abd al-`Aziz (wafat 101 H),
dimana ia telah mengirim surat perintah kepada seluruh pejabat dan para
ulama ke berbagai daerah pada tahun 100 H.
Terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang,
satu dengan dengan yang lain saling bertentangan. Di anataranya
ditemukan hadis-hadis yang sebagiannya membenarkan atau bahkan
mendorong untuk melakukan penulisan hadis Nabi SAW, disamping ada
hadis-hadis lain yang melarang melakukan penulisannya. Hal ini
disebabkan antara lain: Pertama, karena Nabi sendiri memang pernah
melarangnya, meskipun di antara sahabat telah mendapat izin Nabi untuk
mencatat sebagian Hadits yang disampaikan beliau. Kedua, karena
sebagian besar sahabat cenderung lebih konsen memperhatikan al-Qur’an
untuk dihafal dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma, kulit binatang
dan lain sebagainnya. Sedangkan terhadap Hadits Nabi sendiri, disamping

4
menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat praktek yang
dilakukan Nabi, lalu mereka mengikutinya. Ketiga, karena ada
kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat Al-Qur’an
dengan hadis. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan
dengan otentisitas hadis. Beberapa penulis dari kalangan orientalis
menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya
yang mengarah pada keraguan terhadap otentisitas hadis.
Diantaranya adalah Ignaz goldhizer dan Joseph schacht, yang merupakan
orientalis pertama yang melontarkan kritik terhadap ke otentitasan hadis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Skeptisisme?
2. Bagaimana Biografi Ignaz Goldziher dan Josep Schahct?
3. Apa saja Karya Igna Goldziher dan Josep Schahct?
4. Seperti apa Skeptisisme Goldziher dan Josep terhadap hadis?
5. Bagaimana tanggapan para cendekiawan muslim terhadap skeptisisme
Goldziher dan Josep Schahct?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari skeptisisme
2. Untuk mengetahui biografi Ignaz Goldziher dan Josep Schahct
3. Untuk mengetahui skeptisisme Goldziher dan Josep terhadap hadis
4. Untuk mengetahui tanggapan cendekiawan muslim terhadap
skeptisisme Goldziher dan Josep

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Skeptisisme

Skeptisisme adalah sikap mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu


karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat tidak pasti. Para
penganutnya menyakini adanya pengetahuan yang diduga sebagai keyakinan atau
dogma belaka. Kata skeptisisme berasal dari kata skeptis yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kurang percaya atau ragu-ragu terhadap
keberhasilan ajaran dan sebagainya. Secara etimologis, skeptisisme berasal dari
bahasa Yunani σκέπτομαι (skeptomai) yang berarti “untuk melihat sekitar” atau
“untuk mempertimbangkan”.

Kata skeptis tidak harus dipahami sebagai sikap negatif yang langsung
meragukan sesuatu dan tidak memercayai keberadaan pengetahuan. Sebab pada
pelaksanaannya, skeptisisme mempertanyakan sesuatu dengan cara
menyampaikan argumen yang terstruktur untuk menimbulkan keraguan agar
mendapatkan penjelasan yang akurat dan memadai. Secara formal, skeptisisme
merupakan topik yang menarik dalam filsafat, khususnya epistemologi.
Sedangkan secara informal, skeptisisme dapat diterapkan pada topik apa pun,
seperti politik, agama, atau pseudosains. Ini sering diterapkan dalam ranah yang
terbatas, seperti moralitas (skeptisisme moral), teisme (skeptisisme tentang
keberadaan Tuhan), atau supernatural. Tom Friedman dari New York Times
mengatakan bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala
sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar
tidak mudah ditipu. Seorang yang skeptis akan berkata: "Saya kira itu tidak benar.
Saya akan mengeceknya".1

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme. Diakses pada tanggal 23-03-2022

6
B. Biografi Goldziher

Ignác (Yitzhaq Yehuda) Goldziher (22 Juni 1850 – 13 November 1921),


sering kali disebut sebagai Ignaz Goldziher, adalah seorang cendekiawan Islam
asal Hongaria. Bersama dengan Theodor Nöldeke dari Jerman dan Christiaan
Snouck Hurgronje dari Belanda, ia dianggap sebagai pendiri kajian Islam modern
di Eropa.
Goldziher dilahirkan pada tanggal 22 Juni 1850 sebuah kota yang bernama
Szekesfehervar, Hungaria. Dia memulai pendidikan sekolahnya semenjak usia
dini dengan perkembangan yang sangat menarik dan luar biasa. Semenjak berusia
5 tahun, dia sudah mulai belajar membaca teks Hebrew yang terdapat pada Old
Testament (Perjanjian Lama). Pada usia 8 tahun, dia sudah membaca Talmud,
ketika berusia 12 tahun dia sudah mulai aktif dalam kegiatan tulis-menulis dan
mempublikasikan monograf pertamanya di Origins and Clasification of the
Hebrew Prayers. Ketika anak seusianya masih bersekolah, Goldziher sudah
mengikuti banyak rangkaian pelajaran, seperti pelajaran sastra Yunani dan
Romawi Kuno, Filsafat, Bahasa Timur -termasuk Persia dan Turkidi Universitas
Budapest, tempat dia melanjutkan studinya di kemudian hari. Dengan bantuan
gurunya, Goldziher memperoleh beasiswa dari Hungarian Minister of Education
(Menteri Pendidikan Hungaria) dalam sebuah program komperhensif
pembelajaran dan penelitian yang dirancang untuk melengkapi studinya pada
sebuah universitas yang ditunjuk.2

Untuk pertama kalinya Goldziher melakukan perjalanan ke luar negerinya di


negara Jerman di Universitas of Leipzig dan Berlin, tempat dia mengambil gelar
doktornya ketika berusia 19 tahun. Pada tahun berikutnya, Goldziher diangkat
menjadi dosen swasta (dosen luar biasa) di Universitas Budapest. Dari Jerman, dia
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Leiden Belanda dan menetap di sana
selama enam bulan, serta mengajar terutama di sekolah-sekolah Islamic Studies
(kajian-kajian keislaman) di Eropa.3

2
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 1981), viii-ix.
3
Ibid., 9

7
Ketika masih berada di Hungaria dan Jerman, Goldziher banyak mengkaji
buku-buku tentang Judaic (agama Yahudi) dan Semantik, termasuk pula bahasa
Arab. Pengalamannya di Leiden, sebagaimana yang ditulis di dalam buku
hariannya, menjadikannya tertarik pada dunia keislaman. Ketertarikannya
terhadap bangsa Timur dan dunia keislaman ini dikonfirmasi oleh Goldziher
ketika dia melakukan perjalanan pertamanya ke Timur Tengah yang dimulai dari
September 1873 sampai April 1874. Waktunya banyak dihabiskan di Damaskus
dan Kairo. Dia kemudian mendapatkan izin sebagai non muslim pertama untuk
belajar dan menjadi murid di Universitas al Azhar, Kairo. 4

C. Karya Igna Goldziher

Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian


hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M.)
melalui karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi
pandangannya tentang hadis. 5 Selain itu beberapa karya yang dihasilkan oleh
Goldziher diantaranya adalah Azh-Zhahiriyyah Madzhabuhum wa Tarikhuhum
(1884), yang membahas tentang madzhab Zhahiriyah, namun berujung pada
pengantar kajian fiqih. Selanjutnya karya Goldziher yang berkaitan dengan Hadis
adalah Dirasah Islamiyyah, juz pertama terbit tahun 1889; Kajian Orientalis
terhadap al-Qur’an dan Hadis 66 juz kedua tahun 1890. Pada tahun 1900, ia
membuat makalah dengan judul Islam dan Agama Persia yang berbicara tentang
pengaruh agama terhadap kekuasaan. Karya lain Goldziher adalah al-
Mua’ammarin Abi Hatim as-Sijistani (1899), dan yang paling fenomenal adalah
karyanya yang berjudul Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910) dan Ittijahat
Tafsir al-Quran ‘inda al-Muslimin (Leiden, 1920).6

D. Skeptisisme Goldziher Terhadap Kajian Hadis

Ignez goldziher adalah orang pertama yang dengan jelas mengartikulasikan


keraguanya terhadap hadis. Kecurigaan Goldhizer terhadap keaslian hadis
bersumber dari beberapa pengamatan berikut : pertama, berbagai materi hadis

4
Ibid.
5
Idri, Jurnal PERSPEKTIF ORIENTALIS TENTANG HADITS NABI (Telaah Kritis dan
Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya, STAIN Pamekasan, h.201
6
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LkiS),2003, h. 129

8
yang ditemukan dalam berbagai koleksi hadis tidak merujuk kepada berbagai
koleksi tertulis yang lebih awal dan menggunakan istilah-istilah dalam isnad yang
berimplikasi pada periwayatan secara tertulis. Kedua, adanya hadis-hadis
kontradiktif yang sama-sama mengklaim bersumber dari nabi SAW. Ketiga, pada
pertumbuhan hadis pada berbagai koleksi hadis belakangan tidak teruji
kebenaranya dalam koleksi-koleksi yang lebih awal. Keempat, adanya kenyataan
bahwa sahabat kecil lebih tahu banyak hal tentang Nabi SAW., Yakni mereka
lebih banyak meriwayatkan hadis dari pada sahabat besar yang tahu dan bergaul
dengan nabi SAW. Dalam waktu yang lebih lama.

Akibatnya, Goldziher memberikan uraian yang sangat berbeda tentang asal


mula dan pertumbuhan literatur hadis. Goldziher menerima pendapat bahwa para
shahabat telah mencatat dan memelihara kata-kata dan perbuatan Nabi Saw.
setelah wafatnya Nabi Saw. dan catatan-catatan para shahabat ini direkam dalam
naskah-naskah tertulis seperti Shahifah. Pandangannya tentang hal ini, yakni
interpretasinya tentang perkernbangan literatur hadits, masih dekat dengan para
ahli hadits di kalangan Islam. Ia tidak hanya beranggapan bahwa para shahabat
mencoba memelihara kata-kata dan perbuatan Nabi Saw., tetapi juga bahwa
beberapa di antaranya melakukanya dalam bentuk tertulis dalam shahifah. Ketika
para sahabat ini menyampaikan apa yang telah mereka dengar dan rekam kepada
generasi selanjutnya, isnad mulai dipakai. Namun menurut Goldziher, pemalsuan
dan interpolasi terhadap hadis telah dimulai sejak sangat awal baik untuk alasan
politik maupun alasan paraenetik. Dengan demikian, hadis-hadis yang bersifat
eklusif itu berkembang. Tidak heran bahwa diantara isu-isu yang diperdebatkan
secara hangat apakah persoalan politik maupun persoalan doktrin, tidak ada
satupun dimana para pemenang dari pandangan itu tidak mampu mengutip hadis
yang semuanya lengkap dengan isnad.

Dengan munculnya dinasti bani Abbasiyah, situasinya berubah secara


signifikan. Menurut Goldziher, kekuasaan Abbasiyah itu lebih teokratik dari pada
dinasti Umayah yang lebih sekuler dan lebih dekat dengan paganisme Arab.
Akibatnya, dinasti baru itu mendorong perkembangan syariah dan bahkan
memperkerjakan para teolog pengadilan untuk menjadi penasehat khalifah, yang

9
diantara mereka sendiri mengkaji dan berpartisipasi dalam perdebatan teologis.
Menurut goldziher , laporan bahwa umar bin abdul Azis, khalifah bani Umayah
telah memerintahkan untuk membuat koleksi hadis pertama harus ditolak sebagai
laporan yang tidak dapat dipercaya karena adanya sejumlah kontradiksi dalam
uraianya dan tidak adanya referensi kepada Abu Bakar bin Hazm dalam kitab
hadis yang belakangan. Bagi Goldziher, klaim ini bersifat hagiographic, yakni
tidak lain kecuali sebuah ekspresi dari opini yang baik bahwa masyarakat
memiliki seorang khalifah yang shaleh dan yang cinta kepada sunnah nabi Saw.

Goldziher mempertahankan bahwa, ketika kepercayaan kepada sunnah untuk


mengatur kerajaan tersebut diistimewakan, pada masa Islam awal materi-materi
yang berasal dari nabi Muhammad Saw. Masih tidak mencukupi. Para ulama
mencoba mengisi jurang antara al-Qur’an dan Sunnah dengan berbagai materi dari
sumber yang lain. Beberapa orang meminjamnya dari hukum Romawi. Sementara
yang lain mencoba untuk mengisi kekosongan ini dengan pendapat (ra’yu) mereka
sendiri. Opini terakhir ini muncul karena adanya serangan oleh orang-orang yang
percaya bahwa semua persoalan hukum dan moral (yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an) harus dirujuk kepada nabi Muhammad sendiri, yakni harus dikembalikan
kepada hadis-hadis. dan Para ahli hadis ini cukup berhasil dalam menegakkan
hadis sebagai sumber hukum yang utama dan dalam mendiskreditkan ra’yu.
Dengan demikian apabila mereka memalsukan hadis-hadis atau mengadaptasikan
hadis yang ada itu hanya untuk mendukung doktrin-doktrin mereka yang hingga
saat ini didasarkan pada berbagai opini para pendiri madzhab dan guru-guru
mereka. 7

Lebih lanjut, ia mengkritik ulama Islam yang tidak mempertimbangkan


matan sebagai kriteria kesahihan hadis. Matan yang bertentangan dengan sejarah
dan akal sehat akan tetap diterima selama sanadnya tidak bermasalah. Padahal,
pada masa sahabat kritik matan pernah dilakukan. Tokohnya adalah Abu Bakar
yang sangat hati-hati ketika menerima informasi yang disandarkan pada Nabi. Ia
akan menguji kebenaran hadis terlebih dahulu sebelum mempercayainya. Secara

7
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Fakultas Ushuluddin UIN SGD, vol.34, No.2 Juli-
Desember 2011

10
singkat, Goldziher mengungkapkan, setidaknya ada empat faktor yang menjadi
indikasi atau alasan suatu hadis dipalsukan. Keempat faktor tersebut adalah
sebagai berikut: Pertama, perselisihan agama dan politik pada saat komunitas
Islam lahir. Tentu yang dimaksud komunitas Islam di sini adalah masa Umayyah.
Goldziher membuat sebuah analogi, semakin sekuler rezim Umayyah, semakin
kuat orang-orang Muslim yang saleh berpegang teguh kepada ajaran nabi dan
khalifah empat. Namun, rezim juga tidak berdiam diri untuk menjustifikasi semua
tindakannya. Mereka memerintahkan ulama yang oportunis untuk menciptakan
hadis palsu yang disandarkan sampai nabi. Hal semacam ini banyak terjadi
terutama pada pertengahan kedua abad pertama H. Kedua, pemalsuan hadis terjadi
pada saat Abbasiyah mengambil alih kekhalifahan dari dinasti Umayyah pada
abad kedua H. Kebijakan penguasa baru terkait keagamaan yang terfokus pada
fikih mendorong pada penciptaan hadis. Ulama yang tunduk pada rezim akan
memberikan fatwa yang sesuai dengan keinginan penguasa, walaupun dengan
cara memalsukan hadis. Ketiga, pertentangan antara ahl al-ra’y dan ahl al-hadis.
Pertentangan ini terjadi pada pertengahan kedua abad kedua Hijriyyah. Pada era
ini banyak hal terkait dengan suatu hukum diperlukan. Jika mereka tidak
menemukan kasus yang sama dengan masa nabi, mereka tidak segan untuk
menciptakannya. Keempat, ketidakpuasan dari kelompok yang berseberangan
dengan keluarga kerajaan dalam masalah agama dan politik. Mereka akan mencari
cara untuk memberontak, dan untuk meyakinkan para pendukungnya, mereka
terkadang menciptakan hadis palsu. Begitu pula sebaliknya, pihak kerajaan akan
mencari dalil untuk menjustifikasi tindakannya dalam rangka melawan para
pemberontak. Persaingan bukan hanya pada kedua kelompok tersebut, tetapi juga
sukusuku, klan-klan, kota-kota, dan ulamaulama.

Salah satu contoh pemalsuan hadis yang dilakukan atas perintah penguasa
adalah hadis tentang balapan merpati. Khalifa al-Mahdi (775 M-785 M) sangat
senang terhadap atraksi perlombaan merpati. Akan tetapi, hal tersebut dianggap
sebagai suatu perbuatan yang tidak pantas oleh para ulama. Untuk melegitimasi

11
hal tersebut, ia memerintahkan seorang ulama untuk menambahkan satu kata
dalam sebuah hadis agar balapan merpati dibolehkan. 8

Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang


pemeliharaan hadis tertulis secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin
klasik telah beranggapan bahwa hadith adalah ajaran lisan yang penulisannya
dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher,
penulisannya wajib dilakukan. Beberapa catatan atau pandangan Goldziher
tentang hal ini adalah sebagai berikut :

 Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum


muslimin belakangan, karena kodifikasi hadits baru terjadi setelah
beberapa abad dari masa hidup Nabi.
 Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi
Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-
hadis klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan
refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama
sepeninggal Muhammad Saw.
 Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt,
beranggapan bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya merupakan
pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di
dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama.
 Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits dinilai tidak akurat, karena mereka
lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa
merasa enggan menerima periwayatan hadis disebabkan susunan
bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.9

E. Tanggapan Cendekiawan muslim terhadap Skeptisisme Goldhizer

8
Ulumuddin, PEMETAAN PENELITIAN ORIENTALIS TERHADAP HADIS MENURUT
HARALD MOTZI. Jurnal Ilmu hadis, Vol. 3 No. 1, Juni 2020
9
Siti Mahmudah Noorhayatie, HADITH DIMATA ORIENTALIS (Studi Krisis Atas Pemikiran
Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), Jurnal Al-Afkar FAK.USHULUDDIN Surabaya

12
Beberapa cendekiawan muslim yang mengkritik atas sikap skeptis Goldziher
terhadap kajian atau autentias hadis, yang mana diantaranya adalah Fazlur
Rahman, Muhammad Hamidullah, Nabi Abbout dan lain sebagainya. Namun
disini pemakalah hanya mencantumkan tanggapan dari ulama hadis yaitu
Muhammad Musthafa Azami. Yang mana isi tanggapan atau bantahanya terhadap
Goldziher sebagai berikut :

Pertama, Ignaz beranggapan bahwa, Hadits merupakan produk kreasi kaum


muslimin belakangan, karena kodifikasi Hadits baru terjadi setelah beberapa abad
dari masa hidup Nabi. Namun hal ini dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami
bahwa, Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah lama dalam keadaan
maju dan berkebudayaan, ketika para sahabat lebih mengandalkan hapalan
mereka, bukan berarti tradisi tulis menulis tidak ada sama sekali di lingkungan
mereka, karena banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis
menulis di awal Islam ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisanpun sudah
banyak dikenal dalam bahasa Arab, terutama dikalangan penya’ir, walaupun harus
diakui mereka lebih membanggakan kekuatan hafalan dan menganggap tabu
tradisi tulisan ini, bahkan ketabuan itu juga berimbas pada penulisan Hadits yang
berlanjut pada priode Tabi’in yang telah menjadi Bukti lain adanya tradisi tulis
menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis
wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan. Ada juga Sa’ad
‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan Hadits dari tulisan tangan sendiri.16
Bahkan Muhammad Musthafa Azami telah memaparkan secara rinci tentang bukti
adanya tradisi tulis-menulis pada awal Islam. Menurutnya, beberapa sahabat yang
telah melakukan tradisi penulisan Hadits, misalnya Ummu al-Mu’min Aisyah,
Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bun Umar bin al-‘Asy, Umar
bin Khatabb dan Ali bin Abi Thalib. Namun kesadaran kaum muslimin untuk
menulis ini baru mencuat ke permukaan setelah terinspirasi oleh kebijaksaan
Umar Bin Abdul Aziz, yang pada priode inilah, pentingnya penulisan Hadis Nabi
Muhammad SAW baru terasa.

13
Kedua, Ignaz goldziher menganggap bahwa Hadits yang disandarkan pada
Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan Hadits -
Hadits klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi
doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Nabi
Muhammad SAW. Hal itu dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami bahwa,
sejak awal munculnya Islam, Nabi Muhammad memegang hak yang progratif
keagamaan setelah Allah Swt, terbukti dengan dijadikannya beliau sebagai tempat
rujukan dari masalah-masalah yang muncul di kalangan para sahabat dengan
berbagai sabda dan perbuatannya, yaitu Hadits. Dengan begitu, walaupun
penulisan dan pengkodifikasian Hadits baru dilakukan jauh dari kehidupan Nabi
Muhammad Saw, bukan berarti autentisitas dan validitas Hadits menjadi suatu
yang diragukan, karena ulama belakangan berupaya supaya serius dalam
melakukan verifikasi, terbukti dengan banyak karya yang memuat kritik, baik dari
segi sanad maupun matannya sebagai upaya membentengi Hadits-Hadits palsu.
Pada pertengahan abad kedua Hijriyah, perhatian ulama lebih banyak tercurahkan
pada penghimpunan Hadits-Hadits Nabi di luar fatwa sahabat tabi’in dalam
bentuk musnad. Adapun kitab yang pertama adalah karya Abu Daud dan Musnad
Ahmad Bin Hanbal. Penyusunan ini terus berlanjut dengan tersesunnya kitab
“Kutub al-Sittah”, sementara pada generasi berikutnya bersifat men- Menjarah
dan men-Ta’dilkan kitab-kitab yang telah ada. Sebab itulah, maka pelarangan
penulisan Hadits sebagaimana yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher di atas
bukanlah karena pengadopsian aturan-aturan agama-agama terdahulu. Argumen
ini sangatlah tidak representatif dan terkesan sangat mengada-ada. Pelarangan
penulisan ini karena adanya kekhawatiran apabila Hadits bercampur dengan al-
Qur’an, sebab berdasarkan historisnya, biasanya jika para sahabat mendengar
ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya kedalam Shahifah yang sama dengan al-
Qur’an.
Ketiga, Ignaz goldziher beranggapan bahwa tradisi penulisan Hadits
sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi
yang didalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama. Hal ini
dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami bahwa Alasan Ignaz Goldziher di atas
sangat tidak resentatif, tidak jujur dan terkesan sangat mengada-ada. Kalaupun

14
Nabi Muhammad Saw mendapatkan pengetahuannya dari orang Yahudi dan
Kristen, bukan berarti Nabi Muhammad Saw menjiblak gagasan Yahudi. Jika
pada kenyataan ada guru yang mengajari Nabi Muhammad Saw tentang ajaran-
ajaran Yahudi, tentunya guru tersebut akan menggugat bahkan menolak mentah-
mentah Hadits Nabi Muhammad Saw itu.
Keempat, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi Hadits dinilai tidak akurat, karena mereka lebih
menitik beratkan pada aspek makna Hadits sehingga para ahli bahasa merasa
enggan menerima periwayatan Hadits disebabkan susunan bahasanya tergantung
pada pendapat perawinya, hal ini dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami
bahwa Tuduhan Ignaz Goldziher terhadap perawi Hadits sangat tidak beralasan,
karena pada kenyataannya tradisi periwayatan Hadits terbagi menjadi dua, yaitu
periwayatan bi al-lafdzi dan periwayatan bi al-Ma’na. jenis periwayatan yang
kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi
Hadits yang menggunakan tradisi periwayatan bi al-Ma’na dicurigai telah
meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga
redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bi al-Ma’na
ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya.
Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang
terkandung di dalamnya. Di samping itu, tradisi ini tidak dikecam oleh Nabi
Muhammad Saw, mengingat redaksi Hadits bukanlah al-Qur’an yang tidak boleh
diubah susunan bahasa dan maknanya, baik itu dengan mengganti lafadz-lafadz
yang muradif (sinonim) yang tidak terlalu perlu mengetahui isinya, berbeda
dengan al-Qur’an sebab merupakan mu’jizat dari Allah yang tidak mungkin
dirubah.10

F. Biografi Joseph Schacht

Lahir di Rottbur Jerman pada 15 Maret 1902, dikenal sebagai pakar dalam
bidang fiqh Islam. Pendidikannya dimulai di Universitas Prusla dan Leipzig, ia
mendalami kajian filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur. Tahun 1923,

10
Sri Satriani. Skripsi : KRITIK MUHAMMAD MUSTAHAFA AZAMI TERHADAP PEMIKIRAN
IGNAZ GOLDZIHER TENTANG KRITIK MATAN HADITS

15
ia memperoleh gelar sarjana tingkat petama di Univesitas Prusla. Kemudian ia
mengajar di Universitas Frayburg setelah mendapat akta mengajar, lima tahun
kemudian ia diangkat menjadi guru besar. Tahun 1932 Schacht pindah ke
Universitas Kingsburg dan pada tahun 1934 hingga tahun 1939 ia menjadi dosen
tamu di Universitas Kairo untuk mengajar beberapa mata kuliah, antara lain fiqh,
bahasa Arab dan bahasa Suryani. Pada tahun yang sama, ketika terjadi perang
dunia II (September 1939), ia pindah ke London dan bekerja di Radio BBC dan
melancarkan propaganda melawan Jerman. Hal ini karena Schacht tidak sepaham
dengan Nazi Jerman semenjak ia menetap dan mengajar di Fakultas Sastra di
Mesir. Schacht kemudian menjadi warga Negara Inggris pada tahun 1947.
Meskipun ia menampakkan perlawanan terhadap Nazi Jerman, namun Schacht
tidak sekalipun mendapat penghargaan dari pemerintahan Inggris. Pada tahun
1948 ia melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan mempeoleh gelar
magister, gelar doktornya ia peroleh pada tahun 1952, meskipun sebelum ia kuliah
di Oxford telah diangkat menjadi guru besar, hal itu tidak menyurutkan
semangatnya untuk kuliah, namun demikian, meskipun ia mempuyai prestasi baik
di Oxford, namun ia tidak pernah diangkat sebagai guru besar, baik di
almamaternya maupun di seluruh perguruan tinggi yang ada di Inggris. Pada
tahun 1954, Schacht menuju Belanda dan mennjadi guru besar di Universitas
Leiden pada tahun 1959. Di Leiden, ia menjadi pengawas cetakan kedua buku
Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyat. Karirnya memuncak hingga ia pindah ke New
York dan menjadi guru besar di Univesitas Columbia hingga meninggalnya tahun
1969 (Badawi, 2003, hal. 364).

G. Karya Joseph Schacht

Keahlian dan kepakaran Schacht meliputi beberapa disiplin keilmuan,


seperti teologi, sejarah ilmu pengetahuan, filsafat Islam dan kajian manuskrip-
manuskrip Arab. Meskipun demikian, kepakaran Schacht yang utama adalah fiqh.
Ia juga dikenal sebagai ilmuwan yang produktif, dari sekian banyak karya yang
ditulisnya, buku The Origins Of Muhammadan Jurisprudence adalah karya
Schacht yang paling monumental (Badawi, 2003, hal. 366). Di dalam buku itulah

16
Joseph Schacht membahas asal-usul hukum Islam pada peiode awal. Pada buku
ini pula Schacht memfokuskan kajian sejarah perkembangan hukum Islam dan
menjadikan kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai rujukan utamanya. Di
buku ini pula ia menegaskan bahwa hadits bukanlah sumber hukum utama bagi
hukum Islam. Hadits menurutnya tidak lebih dari inovasi dan muncul belakangan
setelah sumber hukum lainnya tertata (Muna, 2008, hal. 73). Dari gagasannya
yang tertuang di dalam karyanya tersebut, maka buku The Origins Of
Muhammadan Jurisprudence dinilai kontroversial oleh banyak kalangan.
Demikian sekelumit biografi Joseph Schacht.

H. Skeptisisme Josep terhadap kajian hadist

Sebelum pembahasan lebih jauh tentang kritik sanad yang dilakukan oleh
Joseph Schacht, perlu disebutkan disini bahwa secara umum kritik yang dilakukan
oleh orientalis terhadap hadits disebabkan antara lain adanya kontroversi seputar
penulisan hadits pada masa Nabi Saw. Larangan penulisan hadits pada masa itu,
menurut orientalis menyebabkan kurangnya perhatian muhaddits, sehingga
banyak hadits yang “terlewatkan”, penulisan hadits yang dilakukan setelahnya
menyisahkan keraguan, sehingga orientalis berkesimpulan bahwa tidak ada hadits
yang benar-benar berkualitas shahih.

Faktor lain yang melatar belakangi kritik orientalis terhadap hadits adalah
anggapan mereka yang menyatakan bahwa sunnah atau hadits tidak lebih dari
“adat kebiasaan/tradisi” dari masyarakat Jahiliyyah yang diserap oleh agama
Islam.

Mereka juga beranggapan bahwa sunnah bukanlah sumber tasyri’. Menurut


mereka generasi awal Islam tidak pernah sekalipun mendasarkan keputusan
hukum atau fatwa hukum kepada sunnah. Tradisi penggunaan sunnah baru
muncul pada akhir abad ke II atau awal abad ke III H (al-Huqail, n.d., hal. 6).
pendapat ini juga diamini oleh Joseph Schacht (Bahauddin, 1999, hal. 55).

Joseph Schact dalam kajian orientalis terhadap hadits Nabi mendapatkan


pujian dari koleganya. Kritik dan pandangan Schacht terhadap hadits Nabi

17
mencakup aspek kesejarahan hadits, konsep sunnah, sanad dan matan. Berikut ini
adalah point-point kritik Schacht terhadap hadits.

Pertama, Rasulullah SAW tidak pernah memandang penting menjelaskan


hukum-hukum syari’at, lebih-lebih yang berhubungan dengan masalah muamalat,
ahwal syakhsiyyah dan peradilan. Oleh karena itu Schacht berkesimpulan bahwa
hukum (fiqh) belum ada pada sebagian besar abad I H

Kedua, Sunnah pada masa lalu dipahami sebagai perkara yang disepakati
atau dalam arti lain adalah perkara-perkara praktis yang dijalankan di tengah-
tengah komunitas muslim (tradisi yang hidup). Oleh karena itu istilah
“Sunnah”tidak berhubungan dengan segala tindakan atau ucapan yang bersumber
dari Nabi Saw. Istilah sunnah dijelaskan oleh madzhab-madzhab fiqh sebagai
tindakan masyarakat sebagaimana dirumuskan oleh pendahulu.

Ketiga, Penggunanan sanad untuk keperluan berhujjah dengan hadits


belum dikenal pada dua abad sebelumnya (abad I dan II H). Sanad baru muncul
ketika bermunculan madzhab fiqh. Dari sinilah as-Syafi’i memulai gerakan untuk
menggunakan sanad ketika mengambil dalil-dalil fiqhiyyah yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW. Oleh Schacht, tindakan inilah yang menguatkan bahwa sanad
merupakan perkara yang dibuat-buat untuk memberikan legitimasi madzhab fiqh
dalam istidalal dengan hadits.

Keempat, Sanad baru dikenal pada abad awal abad II H.

Kelima, Sanad pada awal abad II dan III H adalah kreasi ulama hadits
untuk memperkuat pendapat mereka.

Keenam, Sanad pada periode selanjutnya mengalami dinamika seiring


terbukukannya beberapa kitab hadits, antara lain kitab kanonik hadits –
kutubussittah-, Musnad Ahmad dan lainnya.

Ketujuh, Sanad “keluarga” misalnya Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari


bapaknya dari kakeknya atau Bahz bin Hakim meriwayatkan dari bapaknya dari
kakeknya dan sanad-sanad keluarga sejenis adalah sanad dan matan yang dibuat-
buat sekaligus.

18
Kedelapan, Setiap hadits yang sanadnya bermuara hanya kepada seorang
perawi saja, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah pemalsu sanad

Kesembilan, Jika seorang perawi pada waktu tertentu tidak cermat


terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya, atau jika satu hadits
oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian yang para sarjana
sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak
pernah ada.

Kesepuuh, Hadits-hadits hukum tidak ada satupun sanadnya shahih dan


terhubung hingga Nabi SAW. Tentang hal ini Joseph Schacht mengatakan
“sangatlah sulit menghukumi hadits-hadits hukum sebagai hadits yang shahih”
(al-Durais, n.d., hal. 15–16)

Kritik Schacht terhadap sanad di atas, dipandang cukup “matang” dan


didasari dengan teori-teori yang “mapan”. Berikut ini adalah beberapa teori
Schacht yang digunakan untuk mengkitik sanad.

Teori Projecting Back

Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam
dengan apa yang disebut hadits Nabi. Joseph Schacht menegaskan bahwa Hukum
Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan
pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang berkaitan dengan hukum
Islam, maka hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-
Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa
pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-
Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan
pada masa Dinasti Bani Umayyah.

Teori Argumentum E Siliento

Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang


sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah

19
hadits dan gagal menyebutkannya, atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama atau
perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan
hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits
ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan
isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk
membuktikan hadits itu eksis tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits
tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab
seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai referensi.
Atau dengan kata lain, apabila sebuah hadits tidak ditemukan di dalam salah satu
literatur hadits, dan eksistensinya diharapkan maka hadits itu tidak eksis pada saat
literateratur hadits itu dibuat (Amin, 2009, hal. 175)

Teori Common Link

Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling


bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros
(common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah
yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.
Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah
saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in,
lalu baru menyebar setelah Common Link. Juynboll menganggap fenomena ini
muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan
mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke
belakang sampai Nabi Saw. Kesimpulan dari teori common link adalah tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa hadits dapat ditelusuri kesejarahannya sampai
kepada Nabi Saw (Amin, 2009, hal. 155).

Ketiga teori di atas merupakan “terobosan” yang dilakukan oleh Joseph


Schacht dalam kajian hadits yang belum pernah diusung oleh orientalis
sebelumnya. Tiga teori itu menurut Joseph Schacht adalah metode alternative bagi
metode yang lebih dahulu dikembangkan oleh ummat Islam di dalam melakukan
kritik terhadap sanad dan matan hadits yang menekankan kepada bagaimana
memverivikasi hadits untuk kemudian menentukan otentik dan tidaknya hadits
yang dikritik (Amin, 2009, hal. 156).

20
I. Tanggapan para Ilmuwan/Cendekiawan muslim terhadap Skeptisisme Josep

Kritik terhadap metode dan teori yang dikembangkan oleh Joseph Schacht
dalam kajian sanad hadits juga dilakukan oleh beberapa sarjana muslim, antara
lain oleh MM. Azami. Persoalan pertama yang dikritik oleh MM. Azami terhadap
kajian sanad hadits yang dilakukan oleh Joseph Schacht adalah tentang obyek
kitab kajiannya. MM. Azami berpandangan bahwa pemilihan kitab-kitab dalam
kajian sanad yang dilakukan oleh Schacht antara lain kitab Muwaththa’, karya
Imam Malik, muwaththa’ karya Imam Muhammad as-Syaibani dan al-Umm karya
Imam Syafi’i, adalah kurang tepat. Hal itu karena kitab-kitab tersebut lebih tepat
disebut dengan kitab fiqh, bukan kitab hadits. Namun demikian, Schacht
mengeneralisasikan hasil kajiannya dan menerapkan hasil kajiannya terhadap
kitab-kitab hadits (al-Khatib, n.d., hal. 48; Azami, 2009, hal. 538). Padahal
menurut Azami, karakteristik kitab-kitab fiqh dan hadits berbeda. Selain Azami,
Muhammad Bahauddin (1999, hal. 102) juga mengkritik pilihan Schacht terhadap
kitab fiqh dalam kajian hadits. Bahauddin berpendapat bahwa perhatian terhadap
sanad merupakan wilayah para ulama hadits, bukan wilayah ulama fiqh. Oleh
karena itu, kajian Schacht terhadap kitab-kitab fiqh untuk selanjutnya ia kritisinya
tidaklah tepat.

Kritik Azami berikutnya yang berhubungan dengan kesalahan orientalis


dalam memilih obyek kajiannya adalah bahwa orientalis, khususnya Joseph
Schacht tidak dapat membedakan antara sirah dan hadits. Sehingga kajian dan
kritik sanad yang mereka lakukan selalu menggunakan kitab-kitab sirah. Padahal
antara kitab sirah dan hadits mempunyai perbedaan karakteristik penyusunannya.
Menurut Azami (2009, hal. 538), penyusunan kitab hadits terkadang terdapat dua
hadits yang disebutkan di dalam satu tempat dengan perbedaan materi (pokok
bahasannya). Sedangkan kitab-kitab sirah selalu membutuhkan penuturan
kejadian dan peristiwa yang saling terkait dan berkesinambungan. Maka tidak
mengherankan jika kitab-kitab sirah selalu mencantumkan periwayat secara
lengkap untuk memperkuat penyajian “cerita-cerita” tersebut, sementara kitab-
kitab hadits tidak menggunakan metode tersebut. Dengan perbedaan itu, dalam
pandangan Azami, kitab sirah tidak tepat untuk dijadikan sebagai obyek kajian
sanad hadits sebagaimana dilakukan oleh orientalis.

21
Bantahan terhadap tesis Josep Schacht otentitas hadits yang dikemukakan
oleh sarjana Muslim sangat banyak dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

 Hadits diriwayatkan dengan cara hafalan dan tulisan sejak zaman


Nabi
 Periwayatan hadits nabi telah melalui kritik sanad dan matan hadits
yang ketat (al-Zahdani., n.d., hal. 19).
 Banyaknya jumlah hadits yang tersebar pada pertengahan abad II
dan III H disebabkan karena banyaknya jumlah perawi hadits dan
transiminya bukan karena pemalsuan
 Teori Projecting Back yang dikemukakan oleh Schacht terbantah
dengan fakta bahwa banyak jumlah perawi yang tinggal berjauhan
diberbagai negeri
 Sanad hadits tidak pernah mengalami perkembangan atau
perbaikan
 Tidak ada alasan yang dapat diterima untuk menolak sanad, sebab
metode sanad terbukti otentik (al-Khatib, n.d., hal. 47; Azami,
2009, hal. 581–583).11

11
Saudi Hasan. (2016). Menyoal kritik sanad Joseph Schahct. Riwayah: Jurnal Studi Hadis, 2(1),
89-104. https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/view/1622/pdf

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Para orientalis seperti Ignaz Goldziher dalam mengkritik Hadits dan ilmu
Hadits, berangkat dari niat yang tidak baik terhadap Islam. Berbeda dengan kritik
yang dilakukan para ulama Hadits, yang berangkat dari niat tulus untuk
mengetahui keadaan Hadits yang sebenarnya. Oleh karena itu wajar apabila kritik
yang dilontarkan oleh orientalis ditujukan untuk merobohkan pondasi kedua
bangunan Islam. Kritik Hadits Ignaz Goldziher mendapat bantahan dari
Muhammad Musthafa Azami, di antara kritik tersebut adalah bahwa dari segi
matan, Ignaz goldziher beranggapan bahwa Hadits merupakan produk kreasi
kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi Hadits baru terjadi setelah beberapa
abad dari masa hidup Nabi. Muhammad Musthafa Azami telah menjawab bahwa
banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis menulis di awal
Islam.

Dan juga Kritik yang dilakukan Schacht terhadap hadits, utamanya sanad
hadits, memunculkan tiga teori pokok yaitu, argumentum siliento, projecting back
dan common link. Tiga teori tersebut diterapkan oleh Schacht dan orientalis
lainnya untuk mengetahui aspek penanggalan awal kemunculan hadits (dating).
Kalapun gagasan Schact ini mendapatkan pujian dari rekan orientalis lainnya,
namun tidak terhindar dari kritik. Kritik terhadap ketiga teori Schact tersebut,
antara lain karena obyek penelitian Schacht bukanlah literature hadits tetapi
literature fiqh. Padahal masing-masing literature tersebut mempunyai kekhasan.
Sementara temuan Schacht dari penelitiannya digeneralisasikan ke dalam kajian
hadits. Hal ini yang menjadikan Schacht dinilai sebagai melakukan kesalahan
metode kajian yang fatal. Selain itu, metode dating yang diterapkan oleh Schacht
hanya berpijak kepada kitab sirah, tanpa mempertimbangkan tepat dan tidaknya
metode tersebut digunakan dalam kajian hadits.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis,


(Yogyakarta: LkiS),2003, h. 129

https://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme. Diakses pada tanggal 23-03-2022

Idri, Jurnal PERSPEKTIF ORIENTALIS TENTANG HADITS NABI


(Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya, STAIN
Pamekasan, h.201

Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,


(Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981), viii-ix.

Ibid., 9

Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Fakultas Ushuluddin UIN


SGD, vol.34, No.2 Juli-Desember 2011

Siti Mahmudah Noorhayatie, HADITH DIMATA ORIENTALIS (Studi


Krisis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), Jurnal Al-
Afkar FAK.USHULUDDIN Surabaya

Sri Satriani. Skripsi : KRITIK MUHAMMAD MUSTAHAFA AZAMI


TERHADAP PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER TENTANG KRITIK MATAN
HADITS

Saudi Hasan. (2016). Menyoal kritik sanad Joseph Schahct. Riwayah:


JurnalStudiHadis,2(1),89-104.
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/view/1622/pdf

Ulumuddin, PEMETAAN PENELITIAN ORIENTALIS TERHADAP


HADIS MENURUT HARALD MOTZI. Jurnal Ilmu hadis, Vol. 3 No. 1, Juni 2020

24

Anda mungkin juga menyukai