Anda di halaman 1dari 25

SADD AL-DZARI’AH SEBAGAI SUATU HUKUM

METODE ISTINBAT HUKUM ISLAM

Misranetti, SHI,MA
(Dosen Tetap Prodi Hukum Keluarga STAI H.M Lukman Edy Pekanbaru)
ABSTRAK

Penerapan hukum dalam teori hukum Islam sangat ditentukan oleh ‘ilat
sebagai ratio legis dengan tetap mengacu pada tujuan syara’ (maqosid al syari’ah)
serta nilai-nilai mafsadat dan maslahat. Pertumbuhan dan perkembangan dinamika
sosial masyarakat terus bergerak sehingga mempengaruhi sistem tata hukum yang
ada di dalamnya. Oleh karena itu hukum dituntut untuk selalu mengikuti
perkembangan dinamika sosial masyarakat. Metode sadd al dzari’ah merupakan
tawaran yang cukup fleksibel untuk menghadapi perubahan sosial masyarakat,
mengingat unsur maslahat dan mafsadat serta tujuan syariat menjadi pilar utama
dalam metode istinbath ahkam dalam hukum Islam. Dengan menggunakan metode
sadd al dzari`ah diharapkan hukum Islam akan selalu mendudukkan persoalan hukum
secara proporsional serta mengedepankan kemanfaatan dan kemaslahatan hukum
bagi masyarakat. Hukum Islam akan lebih produktif, aplikatif dan selalu inovatif.
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau
menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarî’ah, baik dalam
pengertian Fath al-Dzarî’ah maupun Sadd al-Dzarî’ah, diharapkan tercapai
kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau
terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat akan lebih
dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan penalaran hukum al-
Dzarî’ah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan dan
terciptanya kebaikan.

Keywords : Hukum Islam, Istinbath, Sadd al Dzari`ah

Pendahuluan menimbulkan dampak negatif. Metode


Dalam perjalanan sejarah Islam, hukum ini merupakan salah satu bentuk
para ulama mengembangkan berbagai kekayaan khazanah intelektual Islam yang
teori, metode, dan prinsip hukum yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak
sebelumnya tidak dirumuskan secara dimiliki oleh agama-agama lain. Selain
sistematis, baik dalam al-Quran maupun Islam, tidak ada agama yang memiliki
as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut sistem hukum yang didokumentasikan
berkaitan erat dengan tuntutan realita dengan baik dalam berbagai karya yang
sosial yang semakin hari semakin sedemikian banyak.
kompleks. Berbagai persoalan baru Hukum Islam tidak hanya mengatur
bermunculan yang sebelumnya tidak tentang perilaku manusia yang sudah
dibahas secara spesifik dalam al-Quran dan dilakukan tetapi juga yang belum
Hadis Nabi s.a.w.. dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa
Di antara metode penetapan hukum hukum Islam cenderung mengekang
yang dikembangkan para ulama adalah kebebasan manusia. Tetapi karena
sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. memang salah satu tujuan hukum Islam
Metode sadd al-dzari’ah merupakan upaya adalah untuk mewujudkan kemashlahatan
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang dan menghindari kerusakan (mafsadah).
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 51
Novembe2016
Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan Memperhatikan empat bentuk
diduga keras akan menimbulkan kerusakan dzari’ah tersebut dapat disimpulkan bahwa
(mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang dzari’ah menurut bahasa tidak
mengarahkan kepada perbuatan tersebut. memperhatikan apakah pengantara itu
Metode hukum inilah yang kemudian perbuatan baik atau pebuatan jahat dari
dikenal dengan sadd al-dzari’ah. suatu pebuatan tersebut. Dikalangan ulama
Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga tertentu ada yang memaknai al-dzari’ah
kuat akan menjadi sarana terjadinya secara khusus, yaitu sesuatu yang
perbuatan lain yang baik, maka membawa kepada yang dilarang dan
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi membawa kemudharatan. Dalam
sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian pandangan Ibnu Qayyim sebagaiman yang
dikenal dengan istilah fath adz-dzariah. diunggkap oleh Nasrun Haruen tidak tepat
al-dzari’ah itu, tidak hanya terbatas untuk
A. Pengertian Sadd al-Dzari’ah sesuatu yang terlarang, tetapi meliputi pula
a. Secara etimologi sesuatu yang membawa pada yang
Kata sadd al-dzari’ah (‫)ﺳﺪ ا ﻟﺬ رﯾﻌﺔ‬ dianjurkan.
merupakan bentuk prase idhafah yang Berdasarkan pendapat Ibn Qayyim
terdiri dari dua kata yaitu sad (‫ )ﺳﺪ‬dan itu, makna al-Dzari’ah lebih baik
dzari’ah (‫)اﻟﺬارﯾﻌﺔ‬. Kata sadd merupakan dikemukakan secara umum sehingga ia
masdar dari ‫ ﺳﺪ – ﯾﺴﺪ – ﺳﺪ ا‬yang berarti dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
menutup sesuatu yang cacat atau rusak. yang dilarang disebut dengan sad al-
110
Sedangkan al-dzari’ah ( ‫)اﻟﺬ رﯾﻌﺔ‬ dzari’ah dan yang diperintahkan
merupakan kata benda (isim) bentuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
tunggal yang berarti wasilah111 (perantara)
bentuk jama’ dari al-dzari’ah adalah al- b. Secara Terminologi
dzara’i (‫)اﻟﺬراﺋﻊ‬112 Secara istilah para ulama
Menurut Makmur Syarif, al- memberikan pengertian dzari’ah dengan
dzari’ah secara bahasa ada empat macam redaksi dan penekanan yang berbeda satu
bentuk, dzari’at pertama : perantara baik sama lain.
dan tujuan baik seperti menuntut ilmu Menurut Ibn Rusyd al-Dzari’ah
pengetahuan menjadi atau perantara untuk adalah sesuatu yang pada lahirnya boleh
memperoleh rezki. Kedua : pengantara tetapi penghubung kepada perbuatan
atau jalan yang ditempuh jahat dan tujuan yang dilarang, seperti jual beli yang
jahat seperti meminum minuman yang membawa kepada riba.114
memabukan sebagai pengantara Selain itu Ibn Rusyd, al-Qarafi,
melakukan tindakan kejahatan seperti salah seorang ulama Malikiyah,
merampok. Ketiga : perantara jahat mengatakan bahwa al-dzari’ah adalah
sedangkan tujuan baik, seperti merampok wasilah (pengantara) untuk mencapai
sebagai pengantara membangun mesjid. tujuan tertentu, sebagaimana wasilah
Keempat : perantara baik sedangkan tujuan kepada haram adalah haram dan wasilah
jahat, seperti berdagang sebagai perantara kepada yang wajib adalah wajib, seperti
memperoleh riba.113 berusaha untuk melaksanakan shalat
jum’at dan mengerjakan ibadah haji.115
Menurut Qarafi, sasaran hukum
110
Muhammad bin Mukarram bin dzari’ah dapat dilihat dari dua, pertama
Manzhur al-Afriqi, Lisan al-Arabi, (Beirut : Dar maqashid yaitu sesuatu yang mengandung
Shadir, tt), juz 3, h. 207
111
Ibid, juz 8, h. 93
112 114
Ibid Ibn Rusd, Al-Muqaddimah. Kitab al-
113
Makmur Syarif. Sadd al-Dzari’ah dan Bay’, juz II, (Beirut : Dar al-Fukr. Tt), h. 524
115
Pembaharuan Hukum Islam, ( Jakarta : Iain-ib Syihab al-Din Ahmad Idris al-Qarafi,
Pres, 2006) h. 26 Tanqih al-Fushul, ( Beirut : Dar al-Fikr), h 48
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 52
Novembe2016
maslahat dan mafsadah, kedua wasail Islam lainnya, lebih cendrung menyoroti
yaitu hal-hal yang membawa kepada dzari’ah dari segi yang menuju pada hal-
maqashid dan hukum wasail sama dengan hal yang negatif. Kitabnya yang membuat
hukum maqashid, hanya saja tingkat paparan tentang persoalan ini dimulai
wasail lebih rendah dari tingkat dengan judul " ‫" ﺳﺪ اﻟﺬرﯾﻌﺔ‬. Hampir seratus
maqashid.116 contoh sadd al-dzari’ah yang manshush
Jadi menurut al-Qarafi, hukum dikemukakannya, semuanya mengarah
wasail sangat ditentukan oleh maqashid pada kepada kemafsadatan (sad al-
karena wasail tidak berubah hukumnya dzari’ah)
tanpa maqashid. Pengertian yang sejalan dengan
Ulama Malikiyah lainnya seperti pemahaman Ibnu Qayyim al-Jawziyyah
al-Qarafi, berpendapat bahwa al-dzari’ah tentang dzari’ah juga ditemukan oleh
yaitu bentuk perbuatan yang esensi Qarafi (ahli ushul fikih Maliki). Menurut
perbuatan itu tidak dilarang tetapi al-Qarafi, sama dengan Ibnu Qayyim,
dikhawatirkan dengan mengerjakan pengertian dzari’ah meliputi semua jalan
perbuatan tersebut, seseorang terjatuh menuju aturan hukum tertentu. Dalam hal
kepada perbuatan yang dilarang.117 ini dzari’ah sebagai jalan atau perantara
Ibnu Qayyim al-Jawiyyah, dalam mungkin menuju pada seseuatu yang
bukunya I’lam al-Muwaqqi’in, mafsadat dan mungkin menuju
mengemukakan bahwa dzariah adalah : maslahat118, seperti ditegaskan oleh al-
‫ﻣﺎ ﻛﺎن ؤ ﺳﯿﻠﺔ ؤطﺮﯾﻘﺎ اﻟﻰ اﻟﺸﻲء‬ Qarafi :
Segala sesuatu yang menjadi ‫اﻋﻠﻢ ان اﻟﺬرﯾﻌﺔ ﻛﻤﺎ ﯾﺠﺐ ﺳﺪھﺎ ﯾﺠﺐ ﻓﺘﺤﮭﺎ‬
perantara, penghubung atau jalan ‫وﺗﻜﺮه وﺗﻨﺪب وﺗﺒﺎح ﻓﺎ ن اﻟﺬرﯾﻌﺔ ھﻲ اﻟﻮﺳﯿﻠﺔ ﻓﻜﻤﺎ ان‬
menuju sesuatu. ‫وﺳﯿﻠﺔ اﻟﺤﺮم ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻓﻮﺳﯿﻠﺔ اﻟﻮاﺟﺐ واﺟﺒﺔ‬
Ungkapan "‫ "اﻟﺸﻲء‬dalam definisi di
atas mengandung pengertian umum dan “ Ketahuilah seperti hal yang
netral. Maksudnya, dzari’ah bisa jadi diwajibkan menutup dzari’ah juga
menuju pada sesuatu yang diperintahkan diwajibkan membukanya, atau
(mengandung nilai ketaatan dan dimakruhkan, atau dianjurkan, dan
kemaslahatan), dan bisa jadi sesuatu yang atau dimubahkan. Karena pada
menuju atau berakibat pada perbuatan dasarnya dzari’ah adalah wasilah
yang dilarang ( kemaksiatan dan (jalan, sarana), maka wasilah
kemafsadatan). Dzari’ah (jalan) yang kepada yang haram hukumnya
menuju kepada yang diperintahkan atau haram. Sebaliknya, wasilah menuju
ketaatan, tentu diperintahkan. Sebaiknya, yang wajib, maka hukumnya juga
dzari’ah (jalan) yang akan membawa pada wajib”
yang dilarang, harus dilarang, karena
berlaku kaidah : Dengan demikian, hukum dzari’ah
“ Jalan yang menyampaikan pada adakalanya haram, jika sasaran akhir
tujuan, sama ketentuan hukumnya (akibatnya) dilarang (haram). Ia
dengan yang dituju. adakalanya wajib, apabila sasaran akhirnya
dari dzari’ah tersebut adalah sesuatu yang
Kendatipun Ibnu Qayyim netral diwajibkan, dan begitu seterusnya.
dalam memberikan definisi dzari’ah, Berbeda dengan pengertian
namun dalam penerapannya tidak dzari’ah yang dikemukakan oleh Ibnu al-
demikian. Dia, seperti pakar-pakar hukum Qayyim dan Qarafi, al-Syathibi
umpamanya, lebih menitik beratkan
116
Syihab al-Din Ahmad Idris al-Qarafi,
al-Furuq, Juz II, Beirut, Alam al-Kutub, tt. h. 33
117 118
Al-Qurtubi, Al- Jami’ li Ahkam al- Syihab al-Din Ahmad Idris al-Qarafi,
Qur’an, juz II. al-furuq, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, h. 33
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 53
Novembe2016
pengertian dzari’ah pada sesuatu (jalan) perbuatan yang dilarang dan menimbulkan
yang menuju pada yang dilarang serta mafsadat. Dzari’ah jenis ini merupakan
mengandung kemafsadatan.119 Dalam perbuatan yang akan menimbulkan akibat
kalimat al-Syathibi sendiri tertulis : buruk, karenanya, harus ditutup atau tidak
boleh diberi peluang demi menghindari
‫اﻟﺘﻮﺳﻞ ﺑﻤﺎ ھﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ اﻟﻰ ﻣﻔﺴﺪة‬
120
bahaya (mafsadat). Menutup atau
Suatu tindakan yang mengandung melarang dzari’ah jenis ini yang kemudian
kemaslahatan menuju suatu kemafsadatan. disebut sad al-Dzari’ah. Contoh, firman
Allah dalam surat al-An’am ayat 108.
Maksudnya, seperti dijelaskan al- Dalam ayat ini Allah melarang kaum
Syathibi, seseorang yang melakukan suatu muslim memaki berhala yang disembah
tindakan yang pada dasarnya dibolehkan kaum musyrik, karena diperkirakan orang-
(disamping megandung kemaslahatan), orang musyrik akan balik memaki Allah
bahkan kemungkinan disyari’atkan. Akan dengan makian yang lebih kasar.
tetapi, lanjut al-Syathibi, tindakan itu Kedua, dzari’ah (jalan, sebab,
menyebabkan timbulnya sesuatu (efek) perantara) yang akan membawa
yang tidak dibolehkan (ghair al-masyru)121 (menyampaikan) pada perbuatan baik dan
atau kemafsadatan. mengandung kemaslahatan, sepeti anjuran
Kemafsadatan yang dimaksud al- atau kewajiban keagamaan. Dzari’ah jenis
Syathibi, mungkin dikehendaki orang yang ini termasuk perbuatan baik dan harus
melakukan dzari’ah atau tidak dibuka jalan serta dituntut untuk
dikehendakinya. Dalam hal ini menurut al- melaksanakannya. Contoh, shalat jum’at
Syathibi kedudukan antara dzari’ah hukumnya wajib, maka berusaha untuk
sebagai sebab dan akibat (efek, musabab) sampai ke mesjid dengan menghentikan
adalah sama (hukumnya). Karena, suatu semua kegiatan juga diwajibkan. Contoh
akibat (efek, musbab) tidak akan timbul lain, menyelamatkan jiwa hukumya wajib.
kecuali adanya sebab (kuasa). Adalah Oleh karena itu mengamputasi anggota
logis, jika orang melakukan sebab badan terutama kaki dan atau tangan juga
dianggap melakukan akibat. Oleh karena diwajibkan untuk menyelamatkan jiwa
itu kedudukan hukumnyapun sama.122 seseorang, atau paling tidak untuk
Memaknai dzari’ah seperti yang menghindari dari mudarat (bahaya) yang
diajukan al-Syathibi dalam defenisinya, lebih besar. Dzari’ah yang disebut terakhir
menurut beberapa pakar ushul fikih adalah ini, oleh sebagian ulama, disebut juga
memahami dzari’ah dalam arti khusus. dengan fath al-dzari’ah.123
Sementara, definisi dzari’ah seperti yang Sementara itu, sebagian ulama
dikemukakan oleh al-Qarafi dan Ibnu ushul fikih menamai dzari’ah dengan
Qayyim al-Jawziyyah adalah memahami muqaddimah124 (pendahuluan dari suatu
dzari’ah dalam pengertian umum. pekerjaan). Misalnya shalat hukumnya
Berdasar definisi dan penjelasan di wajib. Salah satu syarat sahnya shalat
atas, dapat ditegaskan bahwa terma adalah thaharah (wudhu’), maka upaya
dzari’ah di kalangan ahli ushul terdiri dari untuk mendapatkan air juga menjadi wajib.
dua kategori (bentuk). Pertama, dzari’ah Karena air, selama mungkin
(jalan, perantara) apa saja yang akan mendapatkannya, merupakan muqaddimah
membawa (membuka peluang) pada yang menentukan sah tidaknya suatu shalat
yang dikerjakan seseorang. Sehubungan
119 dengan ini, ada kaidah yang populer
Ibid
120
Abu Ishaq Ibrahim al-Syathibi, al- dikalangan ulama ushul fikih, yaitu wajib
Muwafaqat fi-Ushul al-Ahkam, (Beirut : Dar al-
123
Fikr, tt) Juz 4, h 113 Al-Qarafi, Loc. cit
121 124
Ibid, h. 112 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta
122
Ibid, h. 111 : Logos, 1999), jilid II, cet -1, h. 399
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 54
Novembe2016
mengerjakan sesuatu apabila padanya Allah selama kaum muslim tidak memaki
tergantung sesuatu yang wajib, seperti sembahan mereka.127
kewajiban mencari air di atas. Begitu juga Sementara Amir Syarifuddin, lebih
sebaliknya, sesuatu yang menjadi jalan jelas, membedakan muqaddimah dan
menuju terjadinya perbuatan yang dzari’ah dengan melihat pada sasaran atau
diharamkan juga diharamkan, seperti arah yang dituju suatu wasilah. Apabila
memberikan senjata kepada boronan yang arah atau sasaran yang dituju suatu wasilah
melarikan diri karena diduga berat dia akan adalah perbuatan yang diperintahkan,
melukai, bahkan membunuh orang yang maka wasilah (jalan, perantara) tersebut
akan meghentikannya. Demikian juga, dinamakan muqaddimah, seperti thaharah
diharamkan, melihat aurat orang lain sebelum shalat. Jika sasaran atau arah yang
secara tidak langsung, misalnya melalui dituju wasilah itu adalah perbuatan yang
media, seperti televisi, film dan lain dilarang, maka dinamakan dzari’ah, seperi
sebagainya. Hal seperti ini diharamkan dua orang yang berlainan jenis dan bukan
karena bisa menimbulkan rangsangan dan muhrim berdua-duan bisa menjadi
dapat membawa pada perbuatan cabul penyebab terjadinya zina. Singkatnya,
seperti zina.125 wasilah kepada perbuatan baik dinamakan
Berdasarkan penjelasan di atas, muqaddimh dan wasilah kepada perbuatan
timbul kesan seakan akan tidak ada dilarang dinamakan dzari’ah. Dalam
perbedaan antara dzari’ah dengan kontek ini, muqaddimah adalah wasilah
muqaddimah kecuali perbedaan bahasa yang dituntut atau dianjurkan
saja. Akan tetapi, jika dicermati lebih mengerjakannya, sedangkan dzariah adalah
lanjut, ternyata tidak demikian. Menurut wasilah yang dilarang mengerjakannya.128
Wahbah al-Zuhaili, perbedaan terletak Adapun yang menjadi Unsur-unsur
pada pengaruh perbuatan yang dituju oleh dari sad al-dzari’ah itu ada 3 bagian yaitu :
suatu wasilah. Dalam ini muqaddimah al-wasilah, al ifdha’, dan al mutawasil
adalah sesuatu penentu ada atau tidaknya ilaihi.129
suatu perbuatan, seperti kedudukan 1) al-Wasilah, al-Wasilah merupakan
thaharah dalam melaksanakan shalat. dasar dari dzari’ah karena dengan
Shalat tidak pernah ada tanpa didahului al-Wasilah dapat terwujud dzariah.
thaharah, kalaupun ada shalat tersebut Contoh, orang mencela Tuhan orang
tidak diperhitungkan atau tidak sah, karena musyrik kemudian orang musyrik mencela
thaharah adalah salah satu syarat sahnya Allah Swt secara bermusuhan dan tanpa
shalat. Dengan kata lain, muqaddimah ilmu. Dari contoh ini pada dasarnya tidak
adalah seseutu yang tergantung pada ada salahnya memaki berhala (sembahan
Sesutu yang lain.126 kaum musrik) bahkan menghancurkannya
Sedangkan Dzari’ah, menurut akan tetapi dapat dipastikan, mereka akan
Wahbah, adalah sesuatu perbuatan yang membalas memaki Allah, bahkan dengan
mengandung kemungkinan (peluang) makian yang lebih kasar. Oleh karena itu,
menjadi penyebab terjadinya perbuatan Allah melarang hal di atas untuk menutup
atau tindakan lain. Contoh, memaki dzari’ah yang menyebabkan kaum musrik
berhala yang disembah kaum musyrik bisa memakinya.
menyebabkan mereka membalas memaki 2) al-Ifdha’
Allah. Akan tetapi, lanjut Wahbah, tidak al-Ifdha’ yaitu sesuatu yang
berarti kaum musyrik tidak akan memaki menghubungkan antara dua sisi dzari’ah
(al-wasilah dan al-mutawasil ilaih) yang
dalam definisi diungkap sebagai ‫ﻗﻮ ﯾﮫ اﻟﺘﮭﻤﺔ‬
125
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, ( Jakarta :
127
Logos, 1996), h. 172 Ibid
126 128
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al- Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 400
129
Islami, (Beirut : Dar al-Fikr, 1986), jus 2, h. 875 Makmur Syarif. Op.cit h. 39
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 55
Novembe2016
‫( اﻟﺘﻄﺮ ق اﻟﯿﮫ‬kuat tuduhan membawa kapada di jalan yang dilalui orang Islam.
jalan terang). Pada ulama menggunakan Tujuan penggalian sumur dibolehkan
istilah al-ifdha’ dengan al-dilalat alaih tetapi perbuatan itu terlarang karena
sebagai dasar diantara tiga unsur tersebut. dikhawatirkan akan membawa korban
Menyangkut dengan al-ifdha’, ada (al-ifdha’ taqdir)
beberapa hal yang perlu dicermati. Kedua : Perlu dijaga pada unsur yang
Pertama : al-ifdha’ sesungguhnya kedua (al-ifdha’) keharusan sampai kepada
merupakan hal yang abstrak ( maknawi) batas kekuatan yang jelas untuk
yang dihukum atas keberadaannya. Al- menetapkan sesuatu itu terlarang.
ifdha’ terdiri dari dua bentuk,, yaitu dalam Kekuatan tersebut berdasarkan kepada
bentuk perbuatan (fi’il) dan dalam bentuk terjadinya berulangkali atau melampai
taqdir (pengandaian). Pada bentuk al- larangan yang membawa kepada sesuatu
ifdha’ perbuatan, al-mutawasil ilaih yang terlarang.130
terwujud setelah adanya al-wasilah. Dari uraian di atas, nampaknya
Sebagai contoh, perbuatan memproses pada unsur al-ifdha’ perlu dijaga faktor
anggur menjadi khamar (al-mutawasil kesengajaan pelaku dzari’ah untuk sampai
ilaih) dilakukan setelah menanam anggur kepada sasaran (al-mutawasil ilaih).
(al-wailah). Sedangkan pada al-ifdha’ Disamping itu perlu juga dijaga faktor
taqdir (bukan al-ifdha’ dengan perbuatan) kekuatan al-ifdha’ (berdasarkan banyaknya
terdiri dari beberapa bentuk yaitu : terjadi pelanggaran) terhadap perbuatan
a) Pelaku wasilah (pengantara) sengaja yang dilarang oleh syara’
berwasilah kepada seseorang dengan 3) al- Mutawasil Ilaih
sengaja (mutawasil ilaih) seperti al-Mutawasil ilaih disebut juga
menikah seorang perempuan janda dengan al man’u (yang dilarang) dan al-
dengan tujuan supaya perempuan mutadzari’ ilaih. Terdapat dua hal yang
tersebut halal dinikahi oleh mantan perlu diperhatikan dalam unsur yang ketiga
suami yang pertama ini (al-mutasil ilaih) yaitu :
b) Pelaku wasilah (pengantara) tidak al-Mutawasil ilaih adalah suatu yang
menyengaja dengan dzari’ah tersebut dilarang. Jika al-Mutawasil itu sesuatu
kepada sasaran tertentu tetapi menurut yang boleh (bukan yang dilarang), maka
kebiasaan banyak terjadi sampai al-wasilah al-Dzari’ah dalam pengertian
kepada mutawasil ilaih khusus tetapi bisa dikatakan sebagai
c) Pelaku wasilah (pengantara) tidak dzari’ah dalam pengertian umum.
menyengaja dengan dzari’ah sebagai Disamping itu al-wasilah itu harus dalam
wasilah, tetapi wasilah tersebut bentuk perbuatan yang disangupi mukallaf.
membawa kepada mutawasil ilaih, Kalau bukan demikian maka al-wailah
apakah dengan perbuatan atau taqdir. adalah sabab.
Contoh, orang Islam mencela Tuhan Al-Mutawasil ilaih merupakan
orang musrik. Perbuatan ini berpotensi, dasar bagi penetapan kuat lemahnya al-
orang musyrik akan mencela Tuhan ifdha’ membawa kepada kerusakan.
orang Islam. Justru itu orang Islam Kerusakan al-mutawasil berdasarkan
dilarang mencela Tuhan orang musrik, agama lebih berbahaya dari pada jiwa dan
meskipun orang Islam tidak punya niat mafsadah pada jiwa lebih berbahaya dari
terhadap hal demikian. pada kerusakan pada akal, dan kerusakan
d) Pelaku wasilah (pengantara) dan yang pada akal lebih berbahaya dari pada
lainnya tidak bermaksud menjadi al- kerusakan pada harta dan demikian
wasilah sebagai dzari’ah, tetapi esensi seterusnya.
wasilah tersebut berpotensi bagi al-
ifdha’. Contoh orang yang menggali
sumur untuk mendapatkan air minum 130
Ibid
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 56
Novembe2016
Dengan terpenuhinya ketiga unsur
sad al-dzari’ah (wasilah, ifdha’ dan Seperti wasilah dengan
mutawasil ilaih) sebagaiman dijelaskan di memberikan sejumlah harta kepada
atas, maka sad al-dzari’ah memerlukan orang kafir (member mamfaat kepada
sejumlah persyaratan sehingga sad al- orang kafir diharamkan) dengan tujuan
dzari’ah dibenarkan atau sebaliknya. menebusi tawanan, sama halnya
Imam al-Syathibi131 mengemukakan dengan sejumlah harta kepada orang
pendapatnya bahwa sad al-dzari’ah boleh, kafir dengan tujuan agar orang orang
manakala memenuhi beberapa syarat, yaitu kafir tersebut tidak memperkosa
: terwujudnya dzari’ah pada mafsadah. perempuan muslim.
Pada bentuk ini al-dzari’ah tidak terlarang, c. Melakukan perbuatan yang dibolehkan
justru itu dzari’ah hukumnya boleh banyak membawa kepada mafsadah
(mubah). Maslahah yang terdapat pada Pada syarat yang ketiga ,ini di antara
perbuatan lebih besar dari mafsadahnya. ulama sepakat dzari’ah dan sebagian
Disamping itu para ahli fikih ulama lainnya membuka dzari’ah
mengemukakan tiga persyaratan yang Dari persyaratan tentang sad al-
menyebabkan dzari’ah terlrang (tidak dzari’ah di atas dapat dipahami bahwa sad
boleh) yaitu : al-dzari’ah diamalkan sangat tergantung
a. Perbuatan yang dilakukan itu kepada akibat yang ditimbulkan oleh
membawa kepada kemafsadatan. dzari’ah tersebut. Jika akibat dzari’ah
Suatu perbuatan yang diyakini banyak membawa kepada mafsadah atau
memiliki mafsadah yang jauh lebih seimbang antara mafsadah dengan
besar disbanding dengan maslahahnya, maslahah, maka diamalkan sad al-dzari’ah.
maka dzari’ah dilarang oleh syara’. Kalau sad al-dzari’ah banyak membawa
Apabila berlawanan maslahah maslahah maka sad al-dzari’ah dibolehkan
perbuatan dengan mafsadah yang akan tetapi jika sad al-dzari’ah banyak
ditimbulkan, maka didahulukan mengandung kemafsadatan maka itu
menolak mafsadah dari mengambil dilarang.
maslahah. Hal ini merupakan Dari berbagai pandangan di atas,
penerapan kaidah : dapat di pahami bahwa sadd-dzari’ah
‫د رئ اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎ ﻟﺢ‬ adalah menetapkan hukum larangan atas
“ Menolak kebinasaan didahulukan sesuatu perbuatan dengan pada dasarnya
dari mengambil kemaslahatan” diperbolehkan maupun dilarang untuk
b. Kemafsadatan lebih kuat dari mencegah terjadinya perbuatan lain yang
kemaslahatan pekerjaan dilarang.
Dalam hal ini berlaku sad al- B. Kedudukan sadd al-dzari’ah sebagai
dzari’ah, seperti mencela Tuhan orang dasar istinbath Hukum.
kafir. Apabila maslahah suatu Sadd al-dzari’ah adalah satu
perbuatan membutuhkan mafsadahnya diantara dasar istinbath hukum yang
maka perbuatan itu tidak dilarang dan dipakai Imam Malik. Sadd al-dzari’ah
dzari’ah tidak ditutup. merupakan syari’at Tuhan sebagai
‫ﻗﺪ ﺗﻜﻮن وﺳﯿﻠﺔ اﻟﻤﺤﺮم ﻏﯿﺮ ﻣﺤﺮ ﻣﺔ اذا‬ tindakan preventif untuk mencegah
‫اﻗﻀﺖ اﻟﻰ ﻣﺼﻠﺤﺔ راﺟﺤﺔ‬ manusia untuk tidak melakukan atau
“ Kadang-kadang wasilah yang melanggar aturan Tuhan. Menurut
diharamkan tidak haram yaitu bila Muhammad Abu Zahra, sadd al-dzari’ah
wasilah tersebut membawa kepada adalah salah satu dasar istinbat hukum
maslahah yang kuat” Imam Malik.132 Pendapat yang sama

131 132
Al-Syathibi, al-Muwafqat, Op. cit, h. Muhammad Abu Zahrah, Malik
196 Hayatuhu, h. 240
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 57
Novembe2016
dikemukakan juga oleh Ahmad Muhammad): "Raa'ina", tetapi
133
Muhammmad al-Mughny . Menurutnya ; Katakanlah: "Unzhurna", dan
Syari’at Islam datang untuk mewujudkan "dengarlah". dan bagi orang-orang
maqashid syari’at, baik secara khusus yang kafir siksaan yang pedih
maupun secara umum. Sasaran dari
maqashid syari’at itu adalah menjaga Raa 'ina berarti: sudilah kiranya
kemaslahatan yang dituju oleh Syari’ kamu memperhatikan kami. di kala Para
(Tuhan) dan menolak kebinasaan yang sahabat menghadapkan kata ini kepada
dilaranng oleh syari’ (Tuhan). Oleh karena Rasulullah, orang Yahudipun memakai
itu Imam Malik berpendapat sad al- kata ini dengan digunakan seakan-akan
dzari’ah adalah salah satu dasar istinbath menyebut raa'ina. Padahal yang mereka
hukum yang digunakannya dalam katakan ialah ru'uunah yang berarti
mewujudkan maslahat dan menolak kebodohan yang sangat, sebagai ejekan
kebinasaan.134 Jadi sad al-dzari’ah adalah kepada Rasulullah.135 Itulah sebabnya
salah satu dasar pijakan Imam Malik dalam Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat
mengistinbatkan hukum. Pandangan Imam menukar Perkataan raa'ina dengan
Malik ini diikuti oleh para fuqaha’ klasik Unzhurna yang juga sama artinya dengan
maupun fukaha’ kontemporer. Raa'ina. Pada waktu yang sama, orang
Mayoritas fuqaha’ sepakat Yahudi lainnya menertawakan rekan
menggunakan sad al-dzari’ah sebagai mereka yang mengucapkan kata “ru’unah”
dasar dalam penetapan hukum Islam. itu, tindakan ini mereka maksudkan
Namun mereka berbeda pada kuantitas sebagai ejekan terhadap Rasul.
penggunaanya. Fuqaha’ yang Menyaksikan perlakuan Yahudi tersebut,
menggunakan sad al-dzari’ah sebagai Sa’id bin Mu’azd, yang memahami bahasa
dasar dalam penetapan hukum Islam Yahudi, mengancam akan memukul siapa
menggemukakan dalil yang terdapat dalam saja yang berani mengulangi perbuatan
al-Qur’an, sunnah, amal sahabat dan seperti itu. Kaum yahudi menjawab,
tabi’in. bukankah kami kaum muslim juga
1. Al-qur’an sebagai dasar sad al- menggunakan kata tersebut ? itulah
dzari’ah sebabnya Tuhan menyeru orang-orang
Diantara ayat-ayat la-Qur’an yang yang beriman supaya jangan menggunakan
mengandung ide al-Dzari’ah adalah kata “ra’ina” untuk menghindari dzari’ah
sebagai berikut : yang mengakibatkan orang-orang Yahudi
a. Firman Allah dalam surat al- menghina Rasulullah, khususnya, dan
Baqarah (2) ayat 104 kaum muslimin secara umum.136
b. Firman Allah dalam surat al-An’am (6)
       : 108

             

      

Hai orang-orang yang beriman,


janganlah kamu katakan (kepada
133
Ahmad Muhammad al-Mughny adalah
direktour organisasi fikih di Rabitat al- Alam al-
Islami. Lihat majalat Majma’ al-Fiqh al-Islami, al-
Darurat al-Tasi’at (Abu Dabi : Munzimat al- 135
Depaq. RI, al-Qur’an dan terjemahan, (
Mu’tamar al-Islamy, 1996), h. 531-532 Bandung : Jumanatul ‘Ali-ART, 2005), h. 102
134 136
Ahmad Muhammad al-Mughny, Al-Qurtubi, al-Jami’ Li-Ahkam al-
Majallat Majma’ al-Fiqh, h. 532 Qur’a, tt, jilid II, h. 57
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 58
Novembe2016
      
disebut terakhir inilah, agaknya larangan
utama yang dituju syarak. Larangan
menghentakan kaki dalam ayat tersebut
     adalah supaya menutup dzari’ah menuju
zina.
 d. Firman Allah dalam surat al-Nur (24)
ayat : 58
Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka      
sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah       
dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami        
jadikan Setiap umat menganggap
      
baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan Hai orang-orang yang beriman,
kepada mereka apa yang dahulu hendaklah budak-budak (lelaki dan
mereka kerjakan. wanita) yang kamu miliki, dan
orang-orang yang belum balig di
Pada dasarnya tidak ada salahnya antara kamu, meminta izin kepada
memaki berhala (sembahan kaum musrik) kamu tiga kali (dalam satu hari)
bahkan menghancurkannya seperti yang Yaitu: sebelum sembahyang subuh,
dilakukan Nabi Ibrahim As.137 Akan tetapi ketika kamu menanggalkan
dapat dipastikan, meraka akan membalas pakaian (luar)mu di tengah hari
memaki Allah, bahkan dengan makian dan sesudah sembahyang Isya'.
yang lebih kasar. Oleh karena itu, Allah
melarang hal di atas untuk menutup Ayat di atas memerintahkan agar
dzari’ah yang menyebabkan kaum musrik para hamba (budak) meminta izin sebelum
memaki-Nya. mereka memasuki kamar tuan mereka.
c. Firman Allah dalam Surat al-Nur (24) : Begitu juga orang-orang yang belum balig,
3 harus meminta izin dulu sebelum
         memasuki kamar orang-orang yang sudah
balig (dewasa). Perintah ini dimaksudkan
Dan janganlah mereka memukulkan agar kehadiran mereka tiba-tiba menjadi
kakinyua agar diketahui perhiasan dzari’ah untuk tidak melihat
yang mereka sembunyikan.
Tuntutan ayat di atas adalah f. Firman Allah dalam surat Thaha (20)
larangan agar kaum wanita tidak ayat 44
memperlihatkan auratnya. Akan tetapi
        
dengan menghentak-hentakan kakinya
yang diberi perhiasan akan mengeluarkan
suara berdencing (berdenting). Suara ini Maka berbicaralah kamu berdua
akan menarik perhatian laki-laki yang kepadanya dengan kata-kata yang
mendengarnya. Pada gilirannya akan lemah lembut, Mudah-mudahan ia
membawa pada terlihatnya aurat. ingat atau takut"
Selanjutnya, akan mengakibatkan
terjadinya perbuatan zina. Apa yang Ayat di atas memerintahkan Nabi
Musa As. Dan saudaranya, Nabi Harun As.
137
Al-Qur’an S. al-Anbiya’ : 58
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 59
Novembe2016
Agar lemah lembut menghadapi Fir’un. menghindari (sadd) dzari’ah yang
Pada dasarnya, tidak ada salahnya jika menyebabkan terjadinya zina.
kedua Nabi yang bersaudara itu berbicara b. Sabda Rasulullah SAW
lantang kepada Fir’aun yang notabenenya ‫ ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ‬: ‫ﻋﻦ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ أرطﺎ ة ﻗﺎل‬
adalah orang yang sangat durhaka kepada (‫ ﻻﺗﻘﻄﻌﻮ ااﻷ ﯾﺪى ﻓﻰ اﻟﻐﺰو )رواه ﻟﺘﺮﻣﺬي‬: ‫وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل‬
Allah. Akan tetapi Allah melarang hal ini
untuk menutup dzari’ah yang membuat Dari Busyr bin Artha ia berkata :
fir’aun tersinggung dan tidak dapat Saya mendengar Nabi SAW.
menggunakan akal sehat sehingga ia Bersabda : “ Tidak dipotong tangan
semakin sombong dan durhaka serta (pencuri) dalam peperangan” .
bertindak lebih sadis lagi. (H.R Abu Daud)
2. Sunnah sebagai dasar sadd al-
dzari’ah Hadis di atas melarang penerapan
Adapun hadis-hadis nabi yang erat hukuman potong tangan di saat peperangan
kaitannyan dengan sad al-dzari’ah di berlangsung. Padahal, hukuman potong
antaranya adalah : tangan telah diatur seara tegas dalam al-
a. Dalam suatu yang diterima dari Ibn Qur’aan, dan telah diterapkan. Nabi sendiri
Abbas Ra. Rasulullah SAW bersabda : sangat sungguh-sungguh untuk
‫ ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل‬: ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮭﻤﺎ ﻗﺎل‬ menerapkan hukuman tersebut sekalipun
‫ ﻻ ﯾﺨﻠﻮن رﺟﻞ ﺑﺎ ﻣﺮ‬: ‫ﷲ ﺻﻞ ﷲ ﻋﻠﻲ وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل‬ terhadap putrinya, Fatimah sendiri,
‫أ ة اﻻ وﻣﻌﮭﺎ ذو ﻣﺤﺮم وﻻ ﺗﺴﺎ ﻓﺮ اﻟﻤﺮأ ة اﻻ وﻣﻌﮭﺎ‬ demikian tegasnya dalam suatu riwayat.
‫ذ و ﻣﺤﺮم )ﻣﺘﻔﻖ‬ Pengecualian dalam riwayat Abu Daud ini
untuk menghindari bahaya (sad al-
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : Saya dzari’ah) agar pencuri ketika itu tidak
mendengar Rasulullah SAW. melarikan diri dan bergabung dengan
Bersabda : “ Jangan sekali-kali musuh.140
seorang laki-laki bersunyi-sunyi c. Larangan Rasulullah SAW tentang
(khalwat) dengan seorang wanita, menimbun harta (ihtikar),141 sabda
kecuali didampingi (mahram)nya beliau :
dan wanita itu tidak boleh ‫ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﻋﻦ رﺳﻮ ل ﺻﻞ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ‬
bepergian kecuali bersama 142
(‫ ﻻ ﯾﺤﺘﻜﺮ اﻻ ﺧﺎ طﻰْ ) رواه ﻣﺴﻠﻢ‬:‫وﺳﻠﻢ ﻗﺎ ل ك‬
muhrimnya. “ (Muttafaq ‘alaihi). 138
Larangan khalwat dalam hadis di Dari Ma’ammar bin Abd Allah dan
atas adalah untuk menghindari larangan Rasulullah SAW, ia bersabda :
utama berupa perbuatan cabul atau Menimbun harta adalaha suatu
perzinaan. Jadi, yang dituju larangan kesalahan. (H.R Muslim).
sebenarnya adalah zinanya. Akan tetapi
berduan antara laki-laki dan perempuan di Larangan menimbun harta dalam
tempat sepi (khalwat) dapat membawa hadis di atas disebabkan tindakan tersebut
kepada perbuatan zina. Oleh karena itu, merupakan dzari’ah terjadinya krisis
maka khalwat sekalipun ketika membaca perekonomian masyarakat. Dengan
al-qur’an, atau perjalanan waktu
mengerjakan haji, dan atau mengunjungi 140
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, op.cit, .h.
orang tua.139 tidak dibolehkan demi 17
141
Secara sederhana, ihtikar dapat
diartikan dengan membeli suatu barang, yang
merupakan kebutuhan vital masyarakat, lalu
138
Muhammad bin Isma’il al-Kahlani, menyimpanya dengan tujuan agar dapat menjual
Subul al-Salam, (Bandung : Dahlan, tt), juz 2, h. kembali barang tersebut dengan harga tinggi.
183 Muhammad bin Isma’il al-Kahlani, Op.cit, Juz 3, h.
139
Ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad, 25
142
(Beirut : Dar al-Fikr, t,th), jillid I, h. 378 Ibid
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 60
Novembe2016
menimbun barang khususnnya kebutuhan Pada dasarnya Abu Bakar boleh
pokok, bukan saja akan menyebabkan saja tidak menunjukan siapapun yang akan
harga tidak stabil, tetapi juga menyebakan menggantikannya, dan begitulah yang
harga melambung tinggi. Untuk dilakukan Rasul. Akan tetapi, tindakan
mengantisipasi hal tersebut, maka syarak tidak dilakukan, diperkirakan akan menjadi
melarang ihtikar. dzari’ah (penyebab) munculnya suatu
ketidak stabilan pemerintah.
3. Fatwa Sahabat b. Tolak total (al-battah) dinyatakan jatuh
Tindakan-tindakan sahabat Nabi talak tiga talak
yang tampaknya, didasarkan pada Umar berpendapat, bahwa talak
pertimbangan sad al-dzari’ah di antaranya total (talak tiga yang dijatuhkan dengan
adalah sebagai berikut ; sekali ucapan, sekaligus) dihitung jatuh
a. Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar tiga talak. Padahal, di zaman Rasul dan
bin al-Khatab sebagai khalifah Abu Bakar tidak demikian, artinya hanya
penggantinya. satu yang dianggap dan dinyatakan
Berdasarkan fakta sejarah, jatuh.144
Rasulullah tidak meninggalkan wasiat Menurut para ulama, pertimbangan
(menunjuk) siapapun yang akan Umar dalam hal ini adalah untuk
mengantikannya sebagai pemimpin umat. menghindari penjatuhan talak yang kurang
Kalau akhirnya Abu Bakar tampil sebagai merealisasikan tujuan dan fungsi
khalifah pertama, hal itu adalah hasil disyariatkan talak. Umar melihat, pada
musyawarah. Akan tetapi Abu Bakar, waktu itu, orang sudah begitu mudah
menjelang wafatnya menunjuk Umar bin mengucapkan (menjatuhkan) talak tiga
Khatab sebagai khalifah yang akan dengan sekali ucapan. Barangkali, karena
mengantikannya. Tindakan Abu Bakar ini mereka mengetahui, bahwa talak yang
berbeda dengan praktek yang berlaku jatuh hanya satu dan mereka memiliki hak
sebelumnya. rujuk. Menurut Umar, penjatuhan talak
Kebijakan Abu Bakar di atas, seperti ini adalah suatu tindakan main-
tampaknya berangkat dari fakta dimana main dan menganggap enteng persoalan
masyarakat waktu itu sangat jauh berbeda agama. Karenanya, harus diberi sanksi
dengan keadaan di saat Rasulullah akan dengan menetapkan jatuh tiga talak
wafat. Anggota-anggota Laskar Islam, sekaligus. Jadi, tampaknya, ketentuan ini
misalnya, sedang berada jauh di luar kota dimaksudkan Umar untuk menutup
Madinah dan sibuk menghadapi berbagai dzari’ah agar seorang suami tidak
pertempuaran. Apabila mereka ditunggu menggunakan hak talak yang dimilikinya
pulang untuk memilih khalifah, secara serampangan.145
dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya. c. Kasus kurban (udhiyah)
Bahaya dalam internal dalam bentuk Menyembelih hewan untuk kurban
perebutan jabatan khalifah di satu pihak, bagi orang yang mampu adalah salah satu
dan bahaya eksternal di mana musuh- atau ibadah sosial dan disyari’atkan sejak
musuh Islam akan memanfaatkan situasi Nabi Adam As. Nabi Muhammad SAW.
untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam. Sendiri mencela orang yang mampu
Untuk menghindari apa yang
dikhawatirkan itulah, agaknya, Abu Bakar
menunjuk Umar sebagai khalifah
penggantinya.143 Dahlan. (ed), “Suksesi” . Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid
5, h. 1651
143 144
Syekh Muhammadunnasir, Islam dan Al-Kahlani, Op.cit, h. 174-175
konsep sejarah, Judul asli : Islam its Conceps And 145
Manna’ Khalil al-Qaththan. Tarikh al-
History, Ahli bahasa. Adang Efendi, ( Bandung : Tasyri’ al-Islami, ( Riyad : Maktabah al-Ma’arif li
CV. Rosda Karya, 1988), h. 158 dst. Abdul Aziz al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1996), h. 208
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 61
Novembe2016
berkurban tetapi tidak melaksanakan.146 Artinya : Dan tolong menolonglah kamu
Meskipun demikian, sebagian sahabat, dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa
dengan sengaja, pernah meninggalkan dan jangan tolong menolong dalam
(tidak melaksanakan) kurban. Hal ini berbuat dosa dan pelanggaran.
mereka lakukan untuk menghindari
munculnya anggapan sementara orang Adapun yang menjadi
bahwa menyembelih hewan kurban pertimbangan dalam menggunakan sad al-
hukumnya wajib.147 dzari’ah yaitu konsekwensi dari segala
perbuatan (al-nazhar fi malat). Dengan
4. Ijtihad Tabi’in pertimbangan seperti ini maka seseorang
Disamping dalil-dalil al-Qur’an, tidak melihat kepada niat pelaku perbuatan
sunnah, amal, dan fatwa sahabat yang akan tetapi memandang kepada hasil dan
menjadi landasan hukum sad al-dzari’ah konsekwensi perbuatan. Justru itu sad al-
terdapat pula ijtihad para tabi’in yang dzari’at berdiri di atas sejumlah dasar-
beramal dengan sad al-dzari’ah. dasar (ushul) dan kaidah (qawa’id) yang
Diantaranya, fuqaha’ Madinah tidak digunakan oleh para fuqaha’.
menyukai puasa enam hari pada bulan Dasar-dasar dan kaidah tersebut
Syawal yang dilakukan langsung setelah yaitu :
bulan Ramadhan. Hal tersebut 1. Menolak kemafsadatan
dikhawatirkan kalau orang awam didahulukan dari menarik
memahami puasa enam hari syawal kemaslahatan
tersebut sebagai puasa fardhu 2. Pertimbangan konsekwensi
148
Ramadhan. perbuatan bahwa hukum yang
Dalil dalil yang dikemukakan didasarkan pada maslahat tidak bisa
tersebut, baik al-Qur’an, sunnah, amal dan terwujud kecuali melalui
fatwa sahabat serta ijtihad tabi’in yan penghubung (wasilah) yang
menjadi landasan sad al-dzari’ah dalam sasarannya mewujudkan maslahah.
berbagai kasus serta penegasan ulama 3. Kaidah ( tidak sempurna yang
beramal dengan sad al-dzari’ah, wajib melainkan dengan adanya
sesungguhnya adalah mengamalkan sesuatu, maka mewujudkan sesuatu
prinsip malahat mursalat, karena sad al- itu hukumnya wajib)
dzari’ah pada hakikatnya adalah suatu 4. Kaidah ( barang siapa yang
bentuk ijtihad berdasarkan maslahah. Sad menyegerakan sesuatu sebelum
al-dzari’ah adalah perimbangan antara datang waktunya, maka diberi
kerusakan dan maslahah dengan menolak sanksi dengan terlarang untuk
kerusakan, dengan cara mendahulukan mendapat sesuatu.
maslahah untuk menolak mafsadah. Dalil- 5. Kaidah ( bila berkumpul yang halal
dalil tersebut di atas sebagai dasar sad al- dengan yang haram maka
dzari’ah dihubungkan dengan prinsip “ wa dikalahkan dengan yang haram)
la ta’awanu ‘ala al-itsmi wa al-‘udwan” . 6. Kaidah ( sesuatu yang haram
Menempuh jalan yang memiliki unsur menggunakannya, haram
mafsadah tidak boleh secara mutlak mengambilnya)
sebagaimana prinsip yang telah digariskan 7. Kaidah ( sesuatu yang haram
Allah dalam al-Qur’an surat al-Maidah (5) mengambilnya haram
: 21 memberikannya)149

146
Al-Kahlani, Op.cit, Juz 4, h. 91
147
Husain Hamid Hasan, Op.cit, h. 228
148 149
Imam Malik, al-Muwathat’ Syarh al- Al-Imam al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-
Suyuthi, juz I, h. 228 Nazhait, h. 102-103
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 62
Novembe2016
Berbagai dalil yang dikemukakan perbuatan cabul, zina, akan menyebabkan
di atas baik nash ( al-Qur’an dan sunnah), timbulnya berbagai mafsadat, seperti
maupun bukan nash ( ijma’, qaul shabat rusaknya tatanan keluarga dan masyarakat.
dan tabi’in ) serta berbagai kaedah fiqhiyah Dzari’ah kategori ini dilarang
yang digunakan Imam Malik sebagai dalil berdasarkan nash (al-Qur’an dan hadis),
sad al-dzari’ah menunjukan dengan jelas karenanya ulama sepakat mengharamkan
bahwa sad al-dzari’ah merupakan secara esensi (haram lizatih).153
landasan hukum yang kuat disisi Imam b. Dzari’ah yang pada dasarnya
Malik sebagi salah satu dasar dalam dibolehkan, bahkan dianjurkan, akan tetapi
mengistinbatkan hukum. menjadi perantara ( penyebab ) terjadinya
sesuatu yang dilarang.
C. Pembagian Dzari’ah Dzari’ah bentuk kedua ini, oleh
Jika diperhatikan tulisan para Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dibagi lagi
ulama ushul fikih, maka dzariah dapat kepada dua yaitu154 :
dibagi kepada beberapa bentuk dengan a) Dzari’ah yang sengaja dilakukan
melihat kepada segi. Pertama, dilihat dari untuk suatu kemafsadatan
segi jenis akibat yang ditimbulkan Dzariah dalam bentuk ini adalah
dzari’ah. Kedua, dilihat dari segi kualitas perbuatan-perbuatan yang pada
kemafsadatan yang ditimbulkan dzari’ah. dasarnya dibolehkan, atau bahkan
Ketiga, dengan melihat kepada kehujjahan dianjurkan, tetapi digunakan
atau kedudukan hukum suatu perbuatan sebagai dzari’ah menuju suatu
yang menjadi dzari’ah. perbuatan yang dilarang. Contoh,
seorang menikahi wanita yang
1. Dilihat dari segi jenis akibat yang ditalak tiga suami. Pernikahan
ditimbulkan dzari’ah, dari segi ini, tersebut bertujuan agar bekas suami
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah membagi yang telah mentalak tiga wanita itu
dzari’ah kepada dua.150 boleh menikah lagi dengan bekas
a. Dzari’ah yang jelas membawa kepada istrinya. Akad ini lazim disebut
suatu kemafsadatan dengan nikah tahlil, ini dilarang
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al- karena sengaja dijadikan jalan
Jawziyyah mencontohkan seperti menuju perbuatan yang dilarang,
meminum minuman yang memabukkan meskipun pada dasarnya
semisal khamar akan menyebabkan melakukan akad nikah tidak
mabuk, dan mabuk itu adalah suatu dilarang.
kemafsadatan. Jika menggunakan metode
qiyas, maka dalam hal ini, termasuk
penggunaan obat-obat terlarang, seperi Ulama Ushul Fikih membawi haram
heroin151, narkotik,152 dan sebagainya yang (larangan) kepada haram li-dzatih dan
akan menyebabkan akal kehilangan haram li-ghairih, yang pertama adalah
keseimbangan (fly). Contoh lain yang keharaman (larangan) yang terkait
ditemukan Ibnu al-Qayyim adalah dengan esensi suatu perbuatan.
Sedangankan yang kedua adalah
keharaman ( larangan) bukan terletak
150
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h. pada esensi perbuatan, akan tetapi
148 perbuatan tersebut dapat menimbulkan
151
Sejenis Kristal putih yang dihasilkan mudharat (haram li-dzatih) seperti
dari morfin yang sangat kuat sifat mencandukan haram melihat aurat dapat menyebabkan
dan memabukkannya. Departemen Pendidikan dan terjadinya perbuatan zina. ( Muhammad
Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Abu Zahra, Op.cit, h. 39). Yang disebut
(Jakarta : Balai Pustaka, 1995), h. 348 terakhir inilah yan menjadi discourse di
152
Sejenis Obat untuk menenangkan saraf, kalangan ulama fikih dalam kaitannya
menghelangkan rasa sakit, menimbulkna rasa dengan sad al-dzari’ah,
154
ngantuk atau merangsang. Ibid, h. 683 Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, loc.cit.
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 63
Novembe2016
Dalam kaitan ini, al-Syatibi dan lebih pasti ketimbang
mencontohkan seseorang yang maslahatnya. Justru itu, perbuatan
menghibahkan sebagian hartanya tersebut dilarang.
yang telah mencapai nisab (jumlah Dari segi lain, yaitu dari segi
harta minimal yang dikenakan dominasi mafsadat atau maslahatnya, oleh
zakat) dan telah masuk haul (jatuh ibnu Qayyim al-Jawziyyah dzari’ah dibagi
tempo bagi pemilik harta untuk kepada 157:
mengeluarkan zakat). Dengan (a). Dzari’ah yang mafsadatnya lebih
tujuan menghindari dari zakat155. dominan dibanding maslahatnya
Hibah seperti ini dilarang dengan Dzari’ah jenis ini adalah tindakan-
dasar pemikiran bahwa hibah yang tindakan yang mengandung
hukumnya sunat menggugurkan kemaslahatan, tetapi di samping itu,
zakat yang hukumnya wajib.156 juga mengandung kemafsadatan yang
b) Dzari’ah (Perbuatan) yang sejak jauh lebih besar. Contoh, menjual buah
semula tidak dimaksudkan untuk anggur dan sejenisnya kepada orang
suatu kemafsadatan. atau perusahaan yang biasa
Dzari’ah jenis ini adalah memproduksi minuman keras (yang
perbuatan-perbuatan yang tidak memabukkan). Contoh lain, menjual
dilarang, bahkan mungkin senjata kepada penjahat. Dua contoh di
dianjurkan dan tidak dimaksudkan atas bukan tidak ada manfaat atau
untuk suatu kemafsadatan. Akan maslahatnya, tetapi mafsadatnya jauh
tetapi biasanya perbuatan tersebut lebih dominan. Karena itu, menurut
menimbulkan kemafsadatan. ulama ushul fikih158 perbuatan tersebut
Contoh, memaki sembahan kaum dilarang.
musyrik pada dasarnya tidak (b). Dzari’ah yang kemaslahatannya lebih
dilarang. Namun karena efek dari dominan dari mafsadatnya.
makian itu diperkirakan akan Dzari’ah jenis ini adalah tindakan-
mengundang kemarahan kaum tindakan yang mungkin akan
musyrik, dan menyebabkan mereka mendatangkan mafsadat, tetapi sangat
balik memaki Allah, maka perbutan kecil. Contoh menggunakan kapal laut,
itu dilarang. pesawat udara, dan kendaraan
Contoh lain, seseorang bermotor sebagai sarana tranportasi
membuat jebakan di depan yang jelas banyak mamfaatnya,
rumahnya yang biasanya tempat walaupun sesekali menimbulkan
lalu masyarakat untuk melindungi bencana. Dalam hal ini yang
keluarga dan hartanya dari diperhitungkan adalah maslahatnya.
gangguan penjahat. Pada dasarnya Ulama ushul fikih sepakat bahwa
membuat jebakan itu tidak dzari’ah seperti contoh-contoh di atas
dilarang. Pada dasarnya membuat tidak dilarang, bahkan dikatakan Ibnu
jebakan itu tidak dilarang. Karena, Qayyim al-Jawziyyah hukumnya bisa
disamping jebakan itu dibuat di jadi mubah, atau mushtahab
tanah pemilik rumah, juga untuk (dianjurkan), atau wajib, tergantung
menghindari mudarat. Tetapi, pada tingkat kemaslahatannya.159
karena jebakan itu biasanya dilalui 2. Dilihat dari segi kualitas mafsadat
orang banyak, maka dapat yang timbulkan dzari’ah.
dipastikan mafsadat yang Dari segi ini, al-Syathibi membagi
ditimbulkannya jauh lebih berat dzari’ah kepada empat kategori,
157
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Loc. cit
155 158
Al-Syathibi, Op.cit, h. 114 Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, h. 291
156 159
Nasrun Haroen, Op.cit, h. 162 Ibnu Qayyim al-Jawaiyyah, Loc.cit
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 64
Novembe2016
sebagaimana dijelaskan para ulama ushul terhadap akibat yang ditimbulkan
fikih160 yakni : perbuatannya.
a. Dzari’ah (perbuatan) secara qath’i b. Dzari’ah yang mengandung
(pasti) mendatangkan mafsadat. kemungkinan akan membawa pada
Di dalam kitab-kitab ushul fikih, mafsadat, tetapi kemungkinannya
dzari’ah kategori ini dicontohkan dengan : sangat kecil karena jarang terjadi.
seseorang yang menggali sumur di depan Contoh dzari’ah di atas adalah
pintu orang lain di malam hari. Perbuatan seperti menanam dan membudidayakan
ini dipastikan akan mengakibatkan pohon anggur. Meskipun buah anggur
mafsadat dengan jatuhnya orang yang akan kemungkinan diolah menjadi minuman
masuk, atau keluar dari pintu tersebut. keras (yang memabukkan), namun hal itu
Berkenaan dengan perbuatan di termasuk jarang. Dengan demikian,
atas, menurut Abu Zahrah161, perlu kemanfaatan yang diperoleh dari perbuatan
diperhatikan terlebih dahulu hal berikut : itu lebih besar dari kemadaratan yang
Jika perbuatan itu termasuk yang tidak menjadi akibat sampingnya. Karena itu,
diizinkan (tidak diperbolehkan), seperti menurut ulama ushul fikih, hukum
menggali sumur itu di jalan umum, maka menanam pohon anggur tetap pada hukum
hal itu terlarang berdasarkan ijma’ fuqaha’ asalnya (boleh).
(ahli fikih). Jika hukum asal perbuatan itu c. Dzari’at yang mengandung
adalah ma’dzun fih (diperbolehkan) seperti persangkaan kuat (ghalabat al-zhanni)
seseorang menggali sumur, atau saluran akan mendatangkan mafsadat, tetapi
air, atau apa saja di sekitar rumahnya yang tidak sampai pada kategori keyakinan
biasa menyebabkan roboh pagar, atau yang pasti (‘ilm al-Yaqin)
bahkan rumah tetangganya, maka harus Dalam hal ini, persangkaan kuat
ditinjau dua varieabel162 berikut : disamakan dengan keyakinan yang pasti.
1) Hukum asal berupa izin, yaitu Sebab sad al-Dzari’ah mengharuskan
perbuatan itu pada dasarnya boleh berhati-hati sedapat mungkin untuk
dikerjakan, di mana yang menghindari kemafsadatan. Sementara,
diperhitungkan adalah kemanfaatan kehati-hatian (ihtiyath) mengharuskan
subjek bagi orang yang memiliki izin. menggunakan persangkaan kuat
2) Mudarat, sebagaimana tersebut di atas, (ghalabath al-Zann). Karenanya, setiap
yang menyangkut kepentingan orang perbuatan yang termasuk dalam kategori
lain. Dalam hal ini segi mudarat lebih dzari’ah ini harus dilarang.164
didahulukan dari mengambil manfaat Contoh, menjual senjata kepada
sesuai dengan kaidah fikih : musuh, menjual anggur kepada produsen
menghindari mafsadat harus minum keras dan lain-lain. Transaksi
diprioritaskan dari menarik manfaat.163 seperti ini, menurut mazhab Maliki dan
Apabila mafsadat yang dikhawatirkan Hanbali tidak dibenarkan.165
bersifat pasti (qath’i), hukumnyapun d. Dzari’ah yang mengandung
menjadi terlarang. Jika seseorang kemungkinan akan mendatangkan
bersikeras mengerjakan perbuatan itu, mafsadat, namun kemungkinannya
lalu terjadi mudharat yang tidak sampai pada tingkat dugaan kuat
dikhawatirkan, maka yang (ghalabat al-Zhann).
bersangkutan harus bertanggung jawab Dzari’ah kategori ini biasanya
terjadi dalam bentuk jual beli yang
160 mungkin dijadikan jalan (cara) untuk
Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, h. 290
161
Ibid, h. 272 melakukan praktek riba. Contohnya
162
Ibid
163
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al- 164
Muhammad Sa’id ‘Ali Abd al-Rabb,
Suyuthi, al-Asybah wa-al- Nazha’ir fi-al-Furu’ ( Op.cit, h. 203
165
Semarang : Usaha Keluarga, t.th), h. 62 Muhammad Abu Zahrah, Loc. cit
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 65
Novembe2016
seseorang membeli suatu barang dengan disepakati, maka hukumnyapun, jelas
harga tertentu secara kredit (dengan diperselisihkan. Dengan dasar pemikiran di
tempo) adalah sah.166 Karenanya, pada atas maka al-Qarafi membagi dzari’at
prinsipnya, bagaimanapun bentuk jual kepada tiga kategori :169
belinya, dan apapun objeknya, sepanjang a. Dzari’at yang disepakati terlarang dan
telah terpenuhi syarat dan rukunnya,167 harus ditutup.
maka jual beli tersebut dipandang sah. Al-Qarafi menegaskan bahwa sad
Akan tetapi jika barang telah dibeli secara al-dzari’ah tidak hanya digunakan mazhab
kredit di atas kemudian dijual kembali Maliki dan Hanbali. Menurutnya, ada
secara tunai kepada kreditor dengan harga sejumlah perbuatan (dzari’ah) yang
yang jauh lebih murah, maka perbuatan ini dilarang, dan hal ini disepakati umat,
dilarang. Alasannya, perbuatan tersebut karena dipastikan akan mengakibatkan
mengandung kemungkinan (berpotensi) kemafsadatan. Al-Qarafi mencontohkan :
mendatangkan mafsadat berupa jual beli menggali lobang di jalan umum,
yang mengandung riba. Misalnya, membubuhi racun pada makanan yang
seseorang yang sangat membutuhkan uang biasanyan dimakan orang, dan memasuki
karena didesak oleh suatu keperluan bisa sembahan kaum musyrik yang diduga akan
dieksploitasi orang-orang yang memiliki mengandung kemarahan mereka dan akan
uang melalui jual beli untuk tujuan membalas memaki Allah. Contoh di atas,
mafsadat. Al-Syathibi menyebutkan jual menurut al-Qarafi, dilarang oleh semua
beli ini dengan transaksi jual beli yang umat karena di pastikan akan
semu ( ‫ ) ﻟﻐﻮ ﻻ ﻣﻌﻨﻰ ﻟﮭﺎ‬168 dimana barang mendatangkan mafsadat.170
yang ditransaksikan seakan-akan tidak ada, b. Dzari’at yang disepakati tidak dilarang
sementara kreditor memperoleh Dzari’ah kategori ini adalah
keuntungan tanpa harus kehilangan barang perbuatan-perbuatan yang mungkin
dagangnya. menimbulkan mafsadat, tetapi
Dzari’at bentuk keempat ini, seperti kemungkinannya sangat kecil karena
contoh di atas, termasuk masalah yang jarang terjadi. Al-Qarafi mencontohkan,
diperselisihkan ulama fikih, apakah seperti tidak dilarang membudidayakan
dianggap transaksi itu batal dan perbuatan tanaman anggur, meskipun ada
itu dilarang, atau sabaliknya tidak kemungkinan buah anggur diolah menjadi
dianggap sebagai dzari’ah yang harus khamar.171 Contoh lain, tidak dilarang
disumbat dan transaksi tersebut sah, serta memproduksi insektisida (pembasmi hama
perbuatan itu tidak dilarang tanaman) meskipun ada kemungkinan akan
membahayakan pemakaian atau digunakan
3. Dilihat dari segi hukum dzari’ah untuk bunuh diri. Namun, jika pada waktu
Pembagian dzari’ah dari segi ini kondisi atau keadaan tertentu, mafsadatnya
dikemukakan oleh al-Qarafi. Pada awal semula jarang terjadi meningkat, dan betul-
bab ini telah diutarakan bahwa pandangan betul mengkhawatirkan, tentu hukum
al-Qarafi dalam wacana dzari’at mengacu boleh harus dipertimbangkan.
pada pengertian umum. Dalam kontek ini, c. Dzari’ah yang diperselisihkan ulama
jika dzari’at menuju sesuatu yang dilarang, Dzari’ah untuk ketiga ini adalah
maka hukumnya juga wajib, dan sterusnya. semua bentuk tindakan yang berpotensi
Dengan demikian, apabila dzari’ah menimbulkan mafsadat. Akan tetapi
menuju pada suatu yang hukumnya tidak (seperti telah dikemukakan dalam
pembagian dzari’ah versi Ibnu Qayyim al-
166
Al-Syathibi, Op.cit, h. 113 Jawziyyah dan al-Syathibi mafsadatnya
167
Syarat dan rukun jual beli, misalnya
lihat. ‘Abd al-Hamid Hakim, Mu’in al-Mubin, 169
Al-Qarafi, Loc.cit
170
(Jakarta : Bulan Bintang), juz 3, h. 6 Ibid
168 171
Al-Syathibi, Loc.cit Ibid
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 66
Novembe2016
tidak bersifat pasti. Contoh, jual beli ajal Meskipun demikian, tidak dengan serta
(yang telah disebutkan), memandang merta metode ini disepakati oleh ulama
wanita172 (apakah harus dilarang karena ushul fikih sebagai dasar dalam
akan dikhawatirkan akan membawa menetapkan hukum. Ada ulama ushul yang
kepada pertemuan zina atau tidak dilarang menerimanya sebagai hujah dan ada yang
karena dianggap tidak akan membawa menolaknya.
pada a. Ulama Yang Menerima
perbuatan zina), dan lainnya yang menurut Menurut pandangan golongan
al-Qarafi jumlahnya mencapai ribuan.173 Maliki dan Hanabilah, sad al-dzarri’ah
Berdasarkan uraian yang telah dapat dijadikan metode istinbath hukum.175
dikemukakan, dapat dipahami, bahwa Tegasnya, menurut mereka sad al-dzari’ah
dzari’ah ada yang harus dilarang untuk dapat dijadikan sebagai dalil syara’.
menghindari dampak mafsadatnya, dan ada Dikalangan Maliki dan Hanabbilah,
yang tidak harus dilarang karena lebih kaidah sad al-dzari’ah dalam hubungannya
mempertimbangakan maslahatnya. dengan dalil-dalil fikiih merupakan suatu
Terlepas dari kategori serta sudut kaidah yang diinduksi dari sejumlah dalil
pandang mana dzari’ah yang harus nash, ayat-ayat dan hadis Nabi
dilarang, atau yang tidak dilarang, yang diantaranya, seperti yang telah
jelas dapat dipahami, bahwa metode sad dikemukakan dibagian awal bab ini yang
al-dzari’ah, pada dasarnya berhubungan mendukung untuk suatu pengertian bahwa
dengan memelihara kemaslahatan dan kaidah ini sejalan dengan tujuan syara’
sekaligusmenghindari kemafsadatannya.174 Secara umum, tujuan syara’ dengan
Memelihara kemaslahatan dan berbagai taklif untuk mendatangkan
menghindari kemafsadatan, dalam kemaslahatan bagi mukallaf sekaligus
berbagai tingkatannya, adalah tujuan menolak kemudharatan.176 Menggunakan
disyariatkannya hukum Islam. Dengan metode sad al-dzari’ah berarti juga
demikian, dapat dikatakan bahwa metode beramal dengan kandungan dan tujuan
sad al-Dzari’ah berhubungan dengan teori nash-nash syara’177 karena, dalil - dalil
maqashid al-Syari’ah. syara’ secara umum menghendaki agar
menghindari kemafsadatan dan senantiasa
D. Kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah memperhatikan kemaslahatan.
Sebagaimana telah dikemukakan, Menurut Ibnu Qayyim al-
bahwa mettode sad al-dzari’ah, memiliki Jawziyyah metode sad al-ddzari’ah salah
landasan yang kuat dari nas syarak. Di satu dari seperempat taklif. Karena
dalam al-Qur’an sendiri dijumpai sejumlah sesungguhnya taklif itu, kata Ibnu Qayyim
ayat dan beberapa ayat telah dikemukakan terdiri dari perintah dan larangan. Perintah
pada awal bab ini yang melarang suatu dan larangan tersebut, lanjut Ibn al-
tindakan dikarenakan berujung pada suatu Qayyim terdiri dua bentuk. Pertama,
kemafsadatan. Begitu juga dengan hadis- perintah atau larangan (taklif) yang
hadis Nabi. Cukup banyak riwayat yang memang ditujukan pada suatu perbuatan.
mengisyarakat betapa efektif dan urgennya Jadi taklif bentuk ini adalah perbuatan-
metode sad al-dzari’ah untuk perbuatan tertentu yang secara esensial
mengantisipasi terjadinya kemafsadatan. diperintahkan, atau sebaliknya dilarang.
Kedua perbuatan-perbuatan yang
172
menjadikan sarana/perantara kepada dua
Dalam hal ini, bukan memandang bentuk taklif perintah atau larangan di atas.
wanita yang disertai syahwat. Sebab, jika disertai
syahwat, maka tidak seorang ulamapun yang
membolehkannya. Jalal al-Din ‘Abd Rahman, 175
Al-Syathibi, Op.cit, h. 112, Ibnu
Op.cit, h. 291 Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h. 147-171
173
Al-Karafi, Op.cit 176 Ibid, h. 11, Ibid, h. 14
174 177
Abd Al-Karim Zaidan, Op.cit, h. 249 Husain Hamid Hasan, Op.cit h. 233
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 67
Novembe2016
Apabila suatu perbuatan menjadi perbuatan (perantara, penyebab) terjadinya perbuatan
perantara (wasilah) kepada yang yang dilarang. Jika dalam suatu perbuatan
diperintahkan, maka perbuatan tersebut tidak ada keyakinan yang pasti akan
menjadi wasilah (penyebab) terjadinya mengakibatkan kemafsadatan maka
sesuatu yang dilarang, maka wasilah perbuatan itu tidak mungkin dilarang
tersebut juga dilarang. Dengan demikian, dengan alasan sad al-dzari’ah. Selain itu,
upaya menutup jalan (sad al-dzari’ah) lanjut kedua Imam, hukum asal dari suatu
yang akan membawa kepada perbuatan perbuatan adalah izin, dan hal ini tetap
terlarang merupakan salah satu perempat berlaku berdasarkan persangkaan yang
agama, tegas Ibnu al-Qayyim.178 kuat atau indikasi yang jelas.182
Dalam tataran praktis, mazhab Di pihak lain, Imam Malik dan
Maliki dan Hanbali memang banyak Imam Ahmad bin Hanbali menetapkan
menggunakan metode sad al-dzari’ah bahwa perbuatan (bay al-ajal) tersebut
dalam menetapkan hukum.179 Jadilah dilarang dalam rangka kehati-hatian
metode ini popular di kalangan Malikiyyah (ihtiyath). Meskipun di satu sisi hukum
dan Hanabali, dan sering diasosiasikan asal perbuatan itu adalah sesuatu yang
kepada mazhab mereka.180 diizinkan (boleh), namun karena diduga
Diantara ketetapan hukum (fikih) kuat akan mendatangkan kemafsadatan,
mazhab Maliki dan Hanbali yang maka didahulukan menolak (menghindari)
didasarkan pada metode sad al-dzari’ah manfaat dari izin dan menarik
ada berseberangan dengan pendapat kemaslahatan.183
mazhab lain, seperti Hanafii dan Syafi’i. Diantara alasan yang diajukan
Contoh dalam hal ini adalah jual beli Imam Malik dan Ahmad bin Hanabal
tempo (bay al-ajal/ ‫) اﻻ ﺟﺎ ﻟﺒﯿﻊ‬. adalah beberapa hadis Nabi yang pada
Dalam kasus bay’ al-ajal dasarnya sama dengan kasus jual beli di
dimaksud, seperti dikatakan Nasrun atas. Seperti larangan khalwat antara
Haroen, terdapat dua prinsip yang seorang wanita tanpa suami atau
bertentangan. Pertama, kebolehan (izin) muhrimnya. Larangan Nabi terhadap dua
terhadap jual beli tersebut, sebab telah kasus ini karena melihat pada efek
terpenuhi syarat sah dan rukun jual beli. kemafsadatan yang akan ditimbulkan,
Kedua, perbuatan (transaksi) seperti itu meskipun baru bersifat dugaan. Agaknya
membuka peluang terjadinya atas dasar ini Imam Malik dan Imam
kemudaratan.181 Ahmad bin Hanbal melarang bay al-
Imam Abu Hanafi dan Imam ajal.184
Syafi’i mendahulukan segi izin (ma’dzun Meskipun demikian, tidak berarti
fih) dari perbuatan itu. Karenanya menurut mazhab lain tidak menerima dan tidak
mereka, transaksi jual beli seperti itu tidak menggunakan metode sad al-dzari’ah.
batal dan tidak terlarang. Mereka Memang secara eksplisit, mazhab lain,
beralasan, bahwa mafsadat dalam jual beli seperti Syafi’I dan Hanafi, tidak
seperti itu tidak lebih dominan, karenanya mencantumkannya didalam kitab-kitab
tidak harus diperhitungkan. Selanjutnya, ushul mereka sebagai dasar yang berdiri
masih menurut kedua Imam, dasar dalam sendiri dalam menetapkan hukum.185 Akan
menetapkan sesuatu dilarang atau batal tetapi kenyataannya mereka juga
apabila perbuatan itu menjadi dzari’ah menggunakan metode sad al-dzari’ah,
paling tidak dasar-dasarnya. Hal ini dapat
178 dibuktikan dengan hukum-hukum (fikih)
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h.
171
179 182
Al-Syathibi, Op. cit, h. 112, al-Qarafi, Al-Syathibi, Op.cit, h. 113
183
Loc. cit Ibid
180 184
Ibid Ibid, h. 206
181 185
Nasrun Haroen, Op.cit, h. 165 Ibid h 207
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 68
Novembe2016
yang mereka tetapkan untuk kasus-kasus kontemporer, ditetapkan berdasarkan
189
tertentu. kaidah sad al-ddzari’ah.
Contoh, ulama mazhab Hanafi Misalnya lagi, Imam al-Syafi’i
menganjurkan orang yang melakukan sendiri memberi toleransi (membolehkan)
puasa pada yauum al-syakk (hari yang seseorang yang karena uzur, seperti sakit
meragukan, apakah bulan Sya’ban telah dan bepergian menggantikan shalat jum’at
berakhir dan bulan Ramadhan telah masuk dengan shalat zhuhur. Namun Imam
atau belum) sedapat mungkin dilakukan Syafi’i mengingatkan, sedapat mungkin
secara diam-diam, jika dia seorang pemuka shlat zhuhur tersebut dikerjakan secara
agama, sehingga ia tidak dibutuhkan diam-diam. Hal yang sama juga berlaku
melakukan pelanggaran terhadap larangan bagi orang yang tidak berpuasa karena ada
Rasul.186 Dalam suatu hadis yang uzur. Orang tersebut hendaknya jangan
diriwayatkan Imam al-Bukhari Rasulullah makan dan minum di tempat-tempat
SAW bersabda : terbuka agar tidak terlihat oleh orang yang
‫ ﻣﻦ ﺻﺎم‬: ‫ﻋﻦ أ ﺑﻲ اﺳﺤﺎ ق ﻋﻦ ﺻﻠﺔ ﺑﻦ زﻓﺮ ﻗﺎل ﻋﻤﺎر‬ tidak mengetahui keadaannya.190
‫ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬ ‫ھﺬااﻟﯿﻮ م ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ أ ﺑﺎ اﻟﻘﺎﺳﻢ ﺻﻠﻰ ا‬ Melakukan dua hal di atas secara
187
(‫) رواه اﻟﺒﺨﺎري‬ sembunyi-sembunyi, dimaksudkan agar
orang tesebut tidak dituduh sengaja
Dari Abi Ishaq dari Shalah bin meninggalkan shalat jum’at atau puasa
Zufar, Ammar berkata : Siapa yang yang kemudian akan mengandung isu
puasa pada hari ini (yaum al- negatif (fitnah).191
syakk),berarti ia telah mengingkari Dua contoh tersebut di atas
Abu al-Qasim (Muhammad) SAW. member isyarat bahwa Imam al-Syafi’i dan
(HR. Bukhari) pengikutnya berhujjah dengan sad al-
dzari’ah, walaupun dalam bobot yang
terbatas, seperti halnya ulama mazhab
Contoh lain, ulama mazhab Hanafi Hanafi. Yang jelas, contoh di atas dan
juga tidak menerima iqrar (pengakuan) beberapa contoh dzari’ah lainnya pada
orang yang dalam keadaan mardh al-maut prinsipnya ditujukan untuk menghindari
(sakit kritis, yang membawa kepada mafsadat.
kematian). Misalnya orang yang dalam Jadi, perbedaan antara ulama
keadaan mardh al-maut mengaku berutang Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak
kepada seseorang yang meliputi semua dengan ulama Malikiyyah dan Hanabilah
atau sebagian hartanya. Pengakuan seperti di pihak lain terletak pada penerapannya
ini, menurut ulama Mazhab Hanafi tidak dalam masalah-masalah furu’. Hal ini
boleh diterima, sebab, menurut mereka disebabkan karena perbedaan persepsi
pengakuan ini dikhawatirkan hanya untuk tentang ada atau tidak adanya manath al-
menghalangi hak ahli waris terhadap Dzari’ah. Misalnya, terjadi pada perbuatan
hartanya.188 yang mungkin akan mengakibatkan
Dua contoh di atas, menurut terjadinya kemafsadatan. Ulama mazhab
analisis para pakar ushul fikih Hanafi dan Syafi’I memandang suatu
perbuatan tidak dilarang sepanjang
tujuannya merupakan sesuatu yang
dibolehkan. Akan tetapi, jika ada indikasi
yang jelas, bahwa pebuatan itu bertujuan
186
Abdul Aziz Dahlan (ed), “ az-Zari’ah, kepada yang dilarang (diharamkan), maka
Op.cit, Jilid IV, h. 2007-2008
187
Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al- merekapun sepakat bahwa perbuatan
Sari’ li-Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-
189
Fikr, t,th ), Jilid III, h. 355 Ibid
188 190
Abdul Aziz Dahlan (ed), loc, cit dan Ibid
Muhammad Sa’id ‘ali Abd al-Rabb, Op.cit, h. 218 191
Ibid
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 69
Novembe2016
tersebut harus dilarang karena menjadi meskipun sudah sampai tingkatan dugaan
dzari’ah kepada yang dilarang. yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
Perbedaan lainnya, seperti telah konsep sad al-dzari’ah adalah semata-mata
ditegaskan bahwa kedua mazhab ini tidak praduk akal dan tidak berdasarkan pada
mencantumkan sad al-dzari;ah di dalam nash secara langsung. Mereka menolak
kitab ushul fikih mereka sebagai hujah dan menggugat eksistensi sad al-dzari’ah
yang berdiri sendiri, tetapi digolongkan ke sebagai salah satu metode dalam
dalam cakupan metode ijtihad lainnya. Di pengambilan istinbath hukum syara’.
kalangan ulama Hanafiyah tercakup ke Dengan kata lain, menurut mazhab yang
dalam istihsan. Sementara, di kalangan dipelopori oleh Daud bin Ali al-Asfahani/
ulama Syafi’iyah tergolong ke dalam 202-270 H sadd dzari’ah ini tidak dapat
cakupan Qiyas. dijadikan hujjah dalam menetapkan
Berdasarkanapa yang dikemukakan hukum. Ibnu Hazm, misalnya, pelanjut dan
di atas, jelaslah bahwa mayoritas ulama pembela mazhab Zhahiri secara tegas
menggunakan metode sad al-dzari’ah menolak metode ini dan mengeritik
dalam menetapkan hukum syara’. penggunaanya. Penolakkan ini berangkat
Walaupun demikian, tidak berarti metode dari pemikiran bahwa metode sad al-
tersebut dapat digunakan tanpa batas. dzari’ah adalah salah satu dari berbagai
Sebab, sepeti dikhawatirkan Muhammad bentuk argumen, yang menurutnya, hanya
Abu Zahrah, kalau metode ini diterapkan didasarkan pada akal ( al-Ra’yi) semata.
tanpa batas, bisa jadi akan menghambat Untuk melegitimasi pendapat
perbuatan yang sebenarnya mubah, mereka, ditampilkan beberapa argumen :
mandub, atau bahkan wajib. Abu Zahrah Pertama, mereka mengemukakan beberapa
mencontohkan, seperti keengganan orang- ayat al-Qur’an, antara lain :
orang yang adil untuk mengelola harta
anak yatim atau harta wakaf karena 1. Qs a- Baqarah (2) ayat 29
      
khawatir akan menimbulkan berbagai
tuduhan negatif, atau karena takut dirinya
akan melakukan kezaliman. Kekhawatiran
seperti ini, menurut Abu Zahrah adalah      
kekhawatiran yang berlebihan. Karenanya
tidak dapat dibenarkan atas dasar sad al-        
dzari’ah.
Abu Zahrah menyimpulkan, Dia-lah Allah, yang menjadikan
seseorang yang akan menggunakan segala yang ada di bumi untuk
dzari’ah harus benar-benar memperhatikan kamu dan Dia berkehendak
serta membandingkan mudarat/bahaya (menciptakan) langit, lalu
antara memakai dan meninggalkannya. dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia
Mana yang lebih dominan itulah yang Maha mengetahui segala sesuatu.
harus diambil.
2. Ulama yang menolak 2. Qs Yunus ( 10 ) ayat 59
Kelompok ulama yang tidak        
menerima sad al-dzari;ah sepenuhnya
sebagai metode menetapkan hukum adalah      
mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan
       
prinsip mereka yang hanya menetapkan
hukum berdasarkan makna tekstual (zahir
al-lafzh). Sementara sad al-Dzari’ah adalah Katakanlah: "Terangkanlah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan kepadaku tentang rezki yang
yang masih dalam tingkatan dugaan, diturunkan Allah kepadamu, lalu
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 70
Novembe2016
kamu jadikan sebagiannya Haram tangan dan upaya pengerahan ra’yu
dan (sebagiannya) halal". melalui berbagai metode istinbat, termasuk
Katakanlah: "Apakah Allah telah sad al-dzari’ah, untuk menetapkan hukum
memberikan izin kepadamu sesuatu. Kalaupun ada yang melakukan,
(tentang ini) atau kamu mengada- maka produk hukum tersebut tidak
adakan saja terhadap Allah ?" meyakinkan. Padahal, Allah tidak pernah
menetapkan hukum tidak meyakinkan.
3. Qs al-An’am ( 6 ) ayat 119 Sesuatu hukum yang telah diyakini
       
hukumnya berdasarkan ketetapan Allah
haram tidak bisa berubah hukum menjadi
halal dan sebaliknya, kecuali adanya nash
        lain, yang meyakinkan, atau sekurang-
kurangnya ijma’.
       Kedua, (alasan yang dikemukakan
Mazhab Zhahiri ) adalah landasan metode
        sad al-dzari’ah yang tidak akurat. Ibnu
Hazm, umpamanya, mengeritik ulama,
  yang menurutnya, mendasarkan
penggunaan sad al-dzari’ah pada hadis
mengapa kamu tidak mau memakan yang diterima dari Nu’man bin Basyir.
(binatang-binatang yang halal) Hadis terjemahannya ssebagai berikut :
yang disebut nama Allah ketika Dari Nu’man bin Basyir Ra, ia
menyembelihnya, Padahal berkata : “ Saya pernah
Sesungguhnya Allah telah mendengar Rasulullah SAW.
menjelaskan kepada kamu apa Bersabda : Sesungguhnya yang
yang diharamkan-Nya atasmu, halal itu telah jelas, begitu juga
kecuali apa yang terpaksa kamu yang haram, dan diantara
memakannya. dan Sesungguhnya keduanya itu adalah syubhat.
kebanyakan (dari manusia) benar Kebanyakkan orang tidak
benar hendak menyesatkan (orang mengetahui yang subhat itu.
lain) dengan hawa nafsu mereka Seseorang yan menjaga dirinya
tanpa pengetahuan. Sesungguhnya dari syubhat, sungguh ia telah
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih terpelihara dalam agama dan
mengetahui orang-orang yang kehormatannya, dan siapa yang
melampaui batas. jatuh pada yang syubhat ia telah
jatuh pada yang haram, bagaikan
Mereka memahami tiga ayat di atas pengembala yang mengembala di
dan beberapa ayat senada lainnya sebagai tempat terlarang, ia akan
petunjuk yang jelas tentang kategori memesuki tempat terlarang itu.
hukum sesuatu : Halal atau haram. Selain Ingatlah, bahwa setiap raja
itu, penentuan mengenai halal dan mempunyai tempat terlarang, dan
haramnya sesuatu merupakan hak semata- ingatlah, bahwa tempat terlarang
mata monopoli dipegang oleh Allah. bagi Allah adalah apa-apa yang
Ketentuan-ketentuan mengenai halal atau diharamkan-Nya. (Muttafaq
haram dimaksud terkandung di dalam ‘alaihi)
syariat yang diturunkan Allah. Sementara,
syariat itu sendiri telah diturunkan secara Berdasarkan hadis di atas, sejumlah
tuntas dan sempurna ( Qs. Al-Maidah : 3) orang (ulama) telah mengharamkan
Karena demikian, menurut mazhab sesuatu atas dasar kehati-hatian dan
Zhahiri, tidak diperlukan lagi campur khawatir terjerumus pada yang haram, kata

An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 71


Novembe2016
Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm, hadis itu Hazm tidak terlepas dari prinsip berpegang
sendiri tidak mengandung muatan taklif. pada lahir nash yang berlaku dan
Sebab, sesuatu yang termasuk kategori merupakan ciri khas dalam mazhab
haram, masih menurut Ibnu Hazm, mesti mereka.
ditetappkan berdasarkan nash yang tegas. Selain itu, tampaknya, area dzari’ah
Selain di atas, menurut pandangan Ibnu dalam pandangan Zhahiriah hanya sebatas
Hazm, himbauan Nabi untuk menjauhi menjauhi yang syubhat karena khawatir
yang syubhat dalam hadis itu dikhususkan terbawa pada yang haram. Padahal, jika
bagi orang yang ingin konsisten dengan dicermati wacana dzari’ah yang
sifat wara’. Karena wara’ itu sendiri berkembang di kalangan Malikiyah dan
menuntut untuk menghindari sebagian Hanbilah, secara umum, meliputi dua hal.
yang sebenarnya mubah. Karena demikian, Pertama, segala bentuk sarana jalan yang
kedudukan syubhat yang disebutkan dalam akan membawa kepada yang mafsadat
hadis Nu’man tetap pada hukum asalnya, haram . Kedua, segala sarana jalan yang
yaitu halal. akan menyampaikan kepada sesuatu yang
Berpijak dari argumen dari maslahat ( diperintahkan ). Yang disebut
pandangan-pandangannya, Ibnu Hazm pertama dituntut meninggalkannya,
berkesimpulan, bahwa mengharamkan kemudian dinamakan sad al-dzari’ah. Dan,
sesuatu yang syubhat atas dasar sad al- yang disebut terakhir dituntut
dzari’ah tidak memiliki dalil yang mengerjakannya, kemudian dinamakan
menyakinkan. Tindakan seperti ini fath al-Dzari’ah.
menurut Ibnu Hazm, merupakan Dalam kaitannya dengan dalil
penambahan terhadap ketentuan agama syara’, agaknya perlu dibedakan antara
yang sama sekali tidak pernah di izinkan dzari’ah yang dimaksud, dengan yang
oleh Allah. Lebih keras lagi, Ibnu Hazm tidak dimaksudkan sebagai dalil hujjah
menuduh orang yang berhujjah dengan sad syarak. Dzari’ah yang dimaksudkan
al-dzari’ah sebagai orang yang sebagai dalil syara’ adalah dzari’ah yang
menetapkan hukum berdasarkan prasangka tidak disinggung oleh nash tetapi
dan dugaan belaka. Karenanya, ketetapan mengarah kepada hukum yang dimaksud.
hukum tersebut tidak dapat diterima karena Contoh, wudhu’ adalah dzari’ah
bertentangan dengan firman Allah : muqaddimah untuk shalat, dan mencari air
          
adalah dzari’ah muqaddimah untuk
wudhu. Jadi, wudhu’ dan mencari air
adalah dzari’ah untuk shalat. Keduanya
         sama-sama wajib. Sebab, shalat tanpa
dan kebanyakan mereka tidak wudhu tidak sah dan wudhu tidak dapat
mengikuti kecuali persangkaan dilaksanakan tanpa air. Perbedaannya,
saja. Sesungguhnya persangkaan wajibnya wudhu’, meskipun mengandung
itu tidak sedikitpun berguna untuk sifat dzari’ah tetapi kewajiban tersebut
mencapai kebenaran[690]. tidak didasarkan pada fath al-dzari’ah atau
Sesungguhnya Allah Maha muqaddimah al-wajibah karena ada nash.
mengetahui apa yang mereka Sementara kewajiban mencari air untuk
kerjakan. (QS. Yunus (10) : 36 ) wudhu didasarkan pada fath al-Dzari’ah
atau muqaddimah kepada yang wajib.
Bahkan dengan bahasa yang fulgar, Contoh lain dalam hal sad al-
Ibnu Hazm menganggap ketetapan hukum dzari’ah, syara’ melarang khulwah, karena
menggunakan metode sad al-dzari’ah yang menjadi dzari’ah terhadap zina. Jadi,
didasarkan pada kebohongan, kebathilan sasaran yang dituju dalam larangan
dan hawa nafsu. Penolakan mazhab khulwah adalah zina. Akan tetapi,
Zhahiri yang antara lain diwakili Ibnu meskipun larangan khalwah mengandung

An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 72


Novembe2016
ide sad al-dzari’ah namun tidak dapat Pada prinsipnya, ajaran Islam
dikatakan bahwa laranngan itu ditetapkan membolehkan kaum perempua
berdasarkan sad al-dzari’ah, sebab ada yang memiliki kemampuan untuk
nash yang tegas melarangnya. Berbeda meleksanakan fungsinya sebagai
dengan khalwah, tindakan-tindakan yang petugas haji (memberikan bantuan,
dapat merangsang bangkitnya syahwat, pelayanan dan penyuluhan) dan
umpamanya, juga merupakan dzari’ah memenuhi syarat-syarat sebagai
terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal petugas haji. Fungsi sebagai
ini tidak ada nash yang melarangnya. petugas haji adalah bagian dari
Meskipun demikian, karena mengarah ibadah, sedangkan dalam beramal
kepada hukum yang dilarang, maka dan ibadah, Islam tidak
larangan yang berlaku pada yang dituju membedakan antara laki-laki dan
zina dapat diterapkan di sini didasarkan perempuan. Apabila wanita sebagai
pada dalil sad al-dzari’ah. Dzari’ah dalam petugas haji tidak akan mampu
konteks seperti inilah yang dimaksudkan memelihara kehormatan dirinya,
sebagai dalil atau hujjah dalam menggali maka wanita terlarang menjadi
hukum-hukun syarak. peyugas haji. Ketidak mampuan
wanita memelihara dirinya akan
3 Contoh Penerapan Sadd Al-Dzariah menjatuhkan harga diri dan
Pada Masa Sekarang martabatnya
1) Dalam bidang ibadah : 2) Dalam sistem perdagangan
a. Donor darah bagi orang yang a. Multi Level Marketing (MLM)
sedang berpuasa Perdagangan dengan system
Menjadi donator darah bagi multi level marketing
yang sedang menjalankan ibadah diperbolehkan oleh syari’at
puasa, tidak membatalkan puasa manakala memenuhi beberapa
bagi yang bersangkutan. persyratan yaitu : pertama
Menyumbangkan darah kepada transaksi/akad antara pihak penjual
orang yang membutuhkan ketika dan pembeli yang dilakukan atas
puasa, fadhilahnya lebih besar dasar suka sama suka dan tidak ada
dibanding dengan menjadi unsure paksaan. Kedua, barang
pendonor ketika tidak berpuasa. yang diperjual belikan suci,
Adapun pemberian bermamfaat dan tranparan sehingga
sumbangan darah ketika sedang tidak ada unsure kesamaran dan
berpuasa wajib (puasa ramadhan, penipian. Ketiga, barang-barang
puasa nazar), mengakibatkan tersebut diperjualkan dengan harga
bahaya bagi pendonor atau yang wajar.
berakibat harus minum ketika akan Bila perdagangan dengan
dan setelah menyumbang darah menggunakan system Multi Level
maka tidak dibenarkan oleh ajaran Marketing (MLM) tidak terpenuhi
Islam. Larangan tersebut persyratan di atas, seperti halnya
berdasarkan sad al-dzari’ah, harga barang yang diperjual belikan
mencegah terjadinya perbuatan jauh lebih tinggi dari harga yang
yang terlarang, yakni membatalkan wajar atau tidak sesuai dengan
puasa. Larangan menjadi donor harga pasar, maka hukumnya
ketika berpuasa sesuai dengan haram karena secara tidak langsung
maqashid syari’ah, yakni pihak perusahaan telah
memelihara agama. menambahkan harga barang yang
b. Wanita sebagai petugas haji dibebankan kepada pihak pembeli
sebagai pemodal dalam akad

An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 73


Novembe2016
syirkah, mengingat pihak pembeli b. KKN (Korupsi, kolusi, dan
sekaligus akan menjadi member nepotisme)
perusahaan yang akan c. Panti pijat192
mendapatkan keuntungan secara E. Penutup
estafet bila ikut memasarkan Sadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah
produk perusahaan. Multi lever adalah suatu perangkat (metode penalaran)
bentuk ini, terdapat indikasi yang hukum dalam Islam yang sangat bagus jika
mengandung unsur kesamaran atau diterapkan dengan baik, sesuai dengan
penipuan (Gharar), karena terjadi rambu-rambu syara’ (agama), Keduanya
kekaburan antara akad jual beli, bisa menjadi perangkat yang benar-benar
syirkah dan mudharabah. bisa digunakan untuk menciptakan
Ketetapan hukum haram kemashlahatan umat dan menghindarkan
perdagangan dengan menjaring kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan
dana masyarakat untuk modal oleh penguasa yang memang hendak
perusahaan meskipun memberikan menciptakan kesalehan sosial secara luas
fee sesuai yang dijanjikan, di tengah masyarakat, bukan demi
berdasarkan sad al-dzari’ah, yakni kepentingan kelompok dan pribadinya.
menutup jalan agar tidak terjadi
praktek penipuan. Kesimpulan
b. Pasar uang dan bursa Valuta 1. Sadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-
Asing/Saham dzarỉ‘ah adalah suatu perangkat
Transaksi saham dan ikut (metode penalaran) hukum dalam
serta dalam perusahaan yang Islam yang sangat bagus jika
mengandung unsur-unsur diterapkan dengan baik, sesuai
keharaman maka hukumnya haram dengan rambu-rambu syara’
dengan alasan saham tersebut (agama), Keduanya bisa menjadi
sudah bercampur dengan riba. perangkat yang benar-benar bisa
c. Jual beli yang disertai hadiah digunakan untuk menciptakan
Ketika pembeli barang tidak kemashlahatan umat dan
mendapatkan hadia melalui undian menghindarkan kerusakan umat.
kopon secara tidak langsung rifi, Apalagi jika diterapkan oleh
sedangkan penjual dan keuntungan penguasa yang memang hendak
dari tambahan harga hadiah. menciptakan kesalehan sosial
Ketentuan hukum haram (tidak secara luas di tengah masyarakat,
boleh) jual beli yang disertai hadiah bukan demi kepentingan kelompok
melalui undian, karena ada unsur dan pribadinya.
gharar (penipuan)
3) Dalam bidang keluarga
a. Pembatasan praktek poligami Daftar Pustaka
b. Perceraian di depan pengadilan al-Din Ahmad Syihab Idris al-Qarafi, tt,
c. Perkawinan Muslim dengan non Tanqih al-Fushul, Beirut : Dar al-Fikr
Muslim
4) Dalam bidang merespon -----------------------------------------, tt, al-
perkembangan IPTEK Furuq, Juz II, Beirut, Alam al-Kutub
a. Inseminasi buatan
b. Kloning terhadap manusia al-Din Jalal ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi,tt,
5) Dalam bidang pembentukan hukum al-Asybah wa-al- Nazha’ir fi-al-
bidang masalah social Furu’ Semarang : Usaha Keluarga
a. Pornografi
192
Makmur Syarif, Op. cit, h. 170
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 74
Novembe2016
Ibn Hambal, tt, Musnad Imam Ahmad,
al-Hamid ‘Abd Hakim, tt, Mu’in al-Mubin, Beirut : Dar al-Fikr
Jakarta : Bulan Bintang
Isma’il Muhammad bin al-Kahlani, tt,
al-Mughny Muhammad Ahmad, majalat Subul al-Salam, Bandung : Dahlan
Majma’ al-Fiqh al-Islami, al- Darurat al-
Tasi’at Khalil Manna’ al-Qaththan. 1996, Tarikh
Al-Qurtubi, tt, al-Jami’ Li-Ahkam al-Qur’a al-Tasyri’ al-Islami, Riyad :
Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa
al-Zuhaili Wahbah, 1986, Ushul al-Fiqh al-Tauzi’
al-Islami, Beirut : Dar al-Fikr, 1986
Mukarram bin Muhammad bin Manzhur
Aziz Abdul Dahlan. 1997 (ed), “Suksesi” . al-Afriqi, tt, Lisan al-Arabi, Beirut : Dar
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Shadir
PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve
Syarif Makmur. 2006 Sadd al-Dzari’ah
al-Qasthalani Muhammad, tt, Irsyad al- dan Pembaharuan Hukum Islam,
Sari’ li-Syarh Shahih al-Bukhari, Jakarta : Iain-ib Pres, 2006
Beirut : Dar al-Fikr
Syihab al-Din Ahmad Idris, tt, al-Qarafi,
Dabi Abu, 1996, Munzimat al-Mu’tamar al-furuq, Beirut : ‘Alam al-Kutub
al-Islamy
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Syarifuddin Amir, 1999, Ushul Fiqh,
RI, 1995, Kamus Besar Bahasa Jakarta : Logos
Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Rusd Ibn, Al-Muqaddimah. Tt, Kitab al-
Depaq. RI, 2005, al-Qur’an dan Bay’, juz II, Beirut : Dar al-Fukr.
terjemahan, Bandung : Jumanatul ‘Ali-
ART unnasir Syekh Muhammad, 1988, Islam
dan konsep sejarah, Judul asli :
Haroen Nasrun, 1996, Ushul Fiqh, Jakarta Islam its Conceps And History,
: Logos Ahli bahasa. Adang Efendi,
Bandung : CV. Rosda Karya
Ibrahim Abu Ishaq al-Syathibi, tt, al-
Muwafaqat fi-Ushul al-Ahkam, Beirut :
Dar al-Fikr

An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 75


Novembe2016

Anda mungkin juga menyukai