Misranetti, SHI,MA
(Dosen Tetap Prodi Hukum Keluarga STAI H.M Lukman Edy Pekanbaru)
ABSTRAK
Penerapan hukum dalam teori hukum Islam sangat ditentukan oleh ‘ilat
sebagai ratio legis dengan tetap mengacu pada tujuan syara’ (maqosid al syari’ah)
serta nilai-nilai mafsadat dan maslahat. Pertumbuhan dan perkembangan dinamika
sosial masyarakat terus bergerak sehingga mempengaruhi sistem tata hukum yang
ada di dalamnya. Oleh karena itu hukum dituntut untuk selalu mengikuti
perkembangan dinamika sosial masyarakat. Metode sadd al dzari’ah merupakan
tawaran yang cukup fleksibel untuk menghadapi perubahan sosial masyarakat,
mengingat unsur maslahat dan mafsadat serta tujuan syariat menjadi pilar utama
dalam metode istinbath ahkam dalam hukum Islam. Dengan menggunakan metode
sadd al dzari`ah diharapkan hukum Islam akan selalu mendudukkan persoalan hukum
secara proporsional serta mengedepankan kemanfaatan dan kemaslahatan hukum
bagi masyarakat. Hukum Islam akan lebih produktif, aplikatif dan selalu inovatif.
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau
menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarî’ah, baik dalam
pengertian Fath al-Dzarî’ah maupun Sadd al-Dzarî’ah, diharapkan tercapai
kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau
terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat akan lebih
dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan penalaran hukum al-
Dzarî’ah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan dan
terciptanya kebaikan.
131 132
Al-Syathibi, al-Muwafqat, Op. cit, h. Muhammad Abu Zahrah, Malik
196 Hayatuhu, h. 240
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 57
Novembe2016
dikemukakan juga oleh Ahmad Muhammad): "Raa'ina", tetapi
133
Muhammmad al-Mughny . Menurutnya ; Katakanlah: "Unzhurna", dan
Syari’at Islam datang untuk mewujudkan "dengarlah". dan bagi orang-orang
maqashid syari’at, baik secara khusus yang kafir siksaan yang pedih
maupun secara umum. Sasaran dari
maqashid syari’at itu adalah menjaga Raa 'ina berarti: sudilah kiranya
kemaslahatan yang dituju oleh Syari’ kamu memperhatikan kami. di kala Para
(Tuhan) dan menolak kebinasaan yang sahabat menghadapkan kata ini kepada
dilaranng oleh syari’ (Tuhan). Oleh karena Rasulullah, orang Yahudipun memakai
itu Imam Malik berpendapat sad al- kata ini dengan digunakan seakan-akan
dzari’ah adalah salah satu dasar istinbath menyebut raa'ina. Padahal yang mereka
hukum yang digunakannya dalam katakan ialah ru'uunah yang berarti
mewujudkan maslahat dan menolak kebodohan yang sangat, sebagai ejekan
kebinasaan.134 Jadi sad al-dzari’ah adalah kepada Rasulullah.135 Itulah sebabnya
salah satu dasar pijakan Imam Malik dalam Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat
mengistinbatkan hukum. Pandangan Imam menukar Perkataan raa'ina dengan
Malik ini diikuti oleh para fuqaha’ klasik Unzhurna yang juga sama artinya dengan
maupun fukaha’ kontemporer. Raa'ina. Pada waktu yang sama, orang
Mayoritas fuqaha’ sepakat Yahudi lainnya menertawakan rekan
menggunakan sad al-dzari’ah sebagai mereka yang mengucapkan kata “ru’unah”
dasar dalam penetapan hukum Islam. itu, tindakan ini mereka maksudkan
Namun mereka berbeda pada kuantitas sebagai ejekan terhadap Rasul.
penggunaanya. Fuqaha’ yang Menyaksikan perlakuan Yahudi tersebut,
menggunakan sad al-dzari’ah sebagai Sa’id bin Mu’azd, yang memahami bahasa
dasar dalam penetapan hukum Islam Yahudi, mengancam akan memukul siapa
menggemukakan dalil yang terdapat dalam saja yang berani mengulangi perbuatan
al-Qur’an, sunnah, amal sahabat dan seperti itu. Kaum yahudi menjawab,
tabi’in. bukankah kami kaum muslim juga
1. Al-qur’an sebagai dasar sad al- menggunakan kata tersebut ? itulah
dzari’ah sebabnya Tuhan menyeru orang-orang
Diantara ayat-ayat la-Qur’an yang yang beriman supaya jangan menggunakan
mengandung ide al-Dzari’ah adalah kata “ra’ina” untuk menghindari dzari’ah
sebagai berikut : yang mengakibatkan orang-orang Yahudi
a. Firman Allah dalam surat al- menghina Rasulullah, khususnya, dan
Baqarah (2) ayat 104 kaum muslimin secara umum.136
b. Firman Allah dalam surat al-An’am (6)
: 108
146
Al-Kahlani, Op.cit, Juz 4, h. 91
147
Husain Hamid Hasan, Op.cit, h. 228
148 149
Imam Malik, al-Muwathat’ Syarh al- Al-Imam al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-
Suyuthi, juz I, h. 228 Nazhait, h. 102-103
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 62
Novembe2016
Berbagai dalil yang dikemukakan perbuatan cabul, zina, akan menyebabkan
di atas baik nash ( al-Qur’an dan sunnah), timbulnya berbagai mafsadat, seperti
maupun bukan nash ( ijma’, qaul shabat rusaknya tatanan keluarga dan masyarakat.
dan tabi’in ) serta berbagai kaedah fiqhiyah Dzari’ah kategori ini dilarang
yang digunakan Imam Malik sebagai dalil berdasarkan nash (al-Qur’an dan hadis),
sad al-dzari’ah menunjukan dengan jelas karenanya ulama sepakat mengharamkan
bahwa sad al-dzari’ah merupakan secara esensi (haram lizatih).153
landasan hukum yang kuat disisi Imam b. Dzari’ah yang pada dasarnya
Malik sebagi salah satu dasar dalam dibolehkan, bahkan dianjurkan, akan tetapi
mengistinbatkan hukum. menjadi perantara ( penyebab ) terjadinya
sesuatu yang dilarang.
C. Pembagian Dzari’ah Dzari’ah bentuk kedua ini, oleh
Jika diperhatikan tulisan para Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dibagi lagi
ulama ushul fikih, maka dzariah dapat kepada dua yaitu154 :
dibagi kepada beberapa bentuk dengan a) Dzari’ah yang sengaja dilakukan
melihat kepada segi. Pertama, dilihat dari untuk suatu kemafsadatan
segi jenis akibat yang ditimbulkan Dzariah dalam bentuk ini adalah
dzari’ah. Kedua, dilihat dari segi kualitas perbuatan-perbuatan yang pada
kemafsadatan yang ditimbulkan dzari’ah. dasarnya dibolehkan, atau bahkan
Ketiga, dengan melihat kepada kehujjahan dianjurkan, tetapi digunakan
atau kedudukan hukum suatu perbuatan sebagai dzari’ah menuju suatu
yang menjadi dzari’ah. perbuatan yang dilarang. Contoh,
seorang menikahi wanita yang
1. Dilihat dari segi jenis akibat yang ditalak tiga suami. Pernikahan
ditimbulkan dzari’ah, dari segi ini, tersebut bertujuan agar bekas suami
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah membagi yang telah mentalak tiga wanita itu
dzari’ah kepada dua.150 boleh menikah lagi dengan bekas
a. Dzari’ah yang jelas membawa kepada istrinya. Akad ini lazim disebut
suatu kemafsadatan dengan nikah tahlil, ini dilarang
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al- karena sengaja dijadikan jalan
Jawziyyah mencontohkan seperti menuju perbuatan yang dilarang,
meminum minuman yang memabukkan meskipun pada dasarnya
semisal khamar akan menyebabkan melakukan akad nikah tidak
mabuk, dan mabuk itu adalah suatu dilarang.
kemafsadatan. Jika menggunakan metode
qiyas, maka dalam hal ini, termasuk
penggunaan obat-obat terlarang, seperi Ulama Ushul Fikih membawi haram
heroin151, narkotik,152 dan sebagainya yang (larangan) kepada haram li-dzatih dan
akan menyebabkan akal kehilangan haram li-ghairih, yang pertama adalah
keseimbangan (fly). Contoh lain yang keharaman (larangan) yang terkait
ditemukan Ibnu al-Qayyim adalah dengan esensi suatu perbuatan.
Sedangankan yang kedua adalah
keharaman ( larangan) bukan terletak
150
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h. pada esensi perbuatan, akan tetapi
148 perbuatan tersebut dapat menimbulkan
151
Sejenis Kristal putih yang dihasilkan mudharat (haram li-dzatih) seperti
dari morfin yang sangat kuat sifat mencandukan haram melihat aurat dapat menyebabkan
dan memabukkannya. Departemen Pendidikan dan terjadinya perbuatan zina. ( Muhammad
Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Abu Zahra, Op.cit, h. 39). Yang disebut
(Jakarta : Balai Pustaka, 1995), h. 348 terakhir inilah yan menjadi discourse di
152
Sejenis Obat untuk menenangkan saraf, kalangan ulama fikih dalam kaitannya
menghelangkan rasa sakit, menimbulkna rasa dengan sad al-dzari’ah,
154
ngantuk atau merangsang. Ibid, h. 683 Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, loc.cit.
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 63
Novembe2016
Dalam kaitan ini, al-Syatibi dan lebih pasti ketimbang
mencontohkan seseorang yang maslahatnya. Justru itu, perbuatan
menghibahkan sebagian hartanya tersebut dilarang.
yang telah mencapai nisab (jumlah Dari segi lain, yaitu dari segi
harta minimal yang dikenakan dominasi mafsadat atau maslahatnya, oleh
zakat) dan telah masuk haul (jatuh ibnu Qayyim al-Jawziyyah dzari’ah dibagi
tempo bagi pemilik harta untuk kepada 157:
mengeluarkan zakat). Dengan (a). Dzari’ah yang mafsadatnya lebih
tujuan menghindari dari zakat155. dominan dibanding maslahatnya
Hibah seperti ini dilarang dengan Dzari’ah jenis ini adalah tindakan-
dasar pemikiran bahwa hibah yang tindakan yang mengandung
hukumnya sunat menggugurkan kemaslahatan, tetapi di samping itu,
zakat yang hukumnya wajib.156 juga mengandung kemafsadatan yang
b) Dzari’ah (Perbuatan) yang sejak jauh lebih besar. Contoh, menjual buah
semula tidak dimaksudkan untuk anggur dan sejenisnya kepada orang
suatu kemafsadatan. atau perusahaan yang biasa
Dzari’ah jenis ini adalah memproduksi minuman keras (yang
perbuatan-perbuatan yang tidak memabukkan). Contoh lain, menjual
dilarang, bahkan mungkin senjata kepada penjahat. Dua contoh di
dianjurkan dan tidak dimaksudkan atas bukan tidak ada manfaat atau
untuk suatu kemafsadatan. Akan maslahatnya, tetapi mafsadatnya jauh
tetapi biasanya perbuatan tersebut lebih dominan. Karena itu, menurut
menimbulkan kemafsadatan. ulama ushul fikih158 perbuatan tersebut
Contoh, memaki sembahan kaum dilarang.
musyrik pada dasarnya tidak (b). Dzari’ah yang kemaslahatannya lebih
dilarang. Namun karena efek dari dominan dari mafsadatnya.
makian itu diperkirakan akan Dzari’ah jenis ini adalah tindakan-
mengundang kemarahan kaum tindakan yang mungkin akan
musyrik, dan menyebabkan mereka mendatangkan mafsadat, tetapi sangat
balik memaki Allah, maka perbutan kecil. Contoh menggunakan kapal laut,
itu dilarang. pesawat udara, dan kendaraan
Contoh lain, seseorang bermotor sebagai sarana tranportasi
membuat jebakan di depan yang jelas banyak mamfaatnya,
rumahnya yang biasanya tempat walaupun sesekali menimbulkan
lalu masyarakat untuk melindungi bencana. Dalam hal ini yang
keluarga dan hartanya dari diperhitungkan adalah maslahatnya.
gangguan penjahat. Pada dasarnya Ulama ushul fikih sepakat bahwa
membuat jebakan itu tidak dzari’ah seperti contoh-contoh di atas
dilarang. Pada dasarnya membuat tidak dilarang, bahkan dikatakan Ibnu
jebakan itu tidak dilarang. Karena, Qayyim al-Jawziyyah hukumnya bisa
disamping jebakan itu dibuat di jadi mubah, atau mushtahab
tanah pemilik rumah, juga untuk (dianjurkan), atau wajib, tergantung
menghindari mudarat. Tetapi, pada tingkat kemaslahatannya.159
karena jebakan itu biasanya dilalui 2. Dilihat dari segi kualitas mafsadat
orang banyak, maka dapat yang timbulkan dzari’ah.
dipastikan mafsadat yang Dari segi ini, al-Syathibi membagi
ditimbulkannya jauh lebih berat dzari’ah kepada empat kategori,
157
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Loc. cit
155 158
Al-Syathibi, Op.cit, h. 114 Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, h. 291
156 159
Nasrun Haroen, Op.cit, h. 162 Ibnu Qayyim al-Jawaiyyah, Loc.cit
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 64
Novembe2016
sebagaimana dijelaskan para ulama ushul terhadap akibat yang ditimbulkan
fikih160 yakni : perbuatannya.
a. Dzari’ah (perbuatan) secara qath’i b. Dzari’ah yang mengandung
(pasti) mendatangkan mafsadat. kemungkinan akan membawa pada
Di dalam kitab-kitab ushul fikih, mafsadat, tetapi kemungkinannya
dzari’ah kategori ini dicontohkan dengan : sangat kecil karena jarang terjadi.
seseorang yang menggali sumur di depan Contoh dzari’ah di atas adalah
pintu orang lain di malam hari. Perbuatan seperti menanam dan membudidayakan
ini dipastikan akan mengakibatkan pohon anggur. Meskipun buah anggur
mafsadat dengan jatuhnya orang yang akan kemungkinan diolah menjadi minuman
masuk, atau keluar dari pintu tersebut. keras (yang memabukkan), namun hal itu
Berkenaan dengan perbuatan di termasuk jarang. Dengan demikian,
atas, menurut Abu Zahrah161, perlu kemanfaatan yang diperoleh dari perbuatan
diperhatikan terlebih dahulu hal berikut : itu lebih besar dari kemadaratan yang
Jika perbuatan itu termasuk yang tidak menjadi akibat sampingnya. Karena itu,
diizinkan (tidak diperbolehkan), seperti menurut ulama ushul fikih, hukum
menggali sumur itu di jalan umum, maka menanam pohon anggur tetap pada hukum
hal itu terlarang berdasarkan ijma’ fuqaha’ asalnya (boleh).
(ahli fikih). Jika hukum asal perbuatan itu c. Dzari’at yang mengandung
adalah ma’dzun fih (diperbolehkan) seperti persangkaan kuat (ghalabat al-zhanni)
seseorang menggali sumur, atau saluran akan mendatangkan mafsadat, tetapi
air, atau apa saja di sekitar rumahnya yang tidak sampai pada kategori keyakinan
biasa menyebabkan roboh pagar, atau yang pasti (‘ilm al-Yaqin)
bahkan rumah tetangganya, maka harus Dalam hal ini, persangkaan kuat
ditinjau dua varieabel162 berikut : disamakan dengan keyakinan yang pasti.
1) Hukum asal berupa izin, yaitu Sebab sad al-Dzari’ah mengharuskan
perbuatan itu pada dasarnya boleh berhati-hati sedapat mungkin untuk
dikerjakan, di mana yang menghindari kemafsadatan. Sementara,
diperhitungkan adalah kemanfaatan kehati-hatian (ihtiyath) mengharuskan
subjek bagi orang yang memiliki izin. menggunakan persangkaan kuat
2) Mudarat, sebagaimana tersebut di atas, (ghalabath al-Zann). Karenanya, setiap
yang menyangkut kepentingan orang perbuatan yang termasuk dalam kategori
lain. Dalam hal ini segi mudarat lebih dzari’ah ini harus dilarang.164
didahulukan dari mengambil manfaat Contoh, menjual senjata kepada
sesuai dengan kaidah fikih : musuh, menjual anggur kepada produsen
menghindari mafsadat harus minum keras dan lain-lain. Transaksi
diprioritaskan dari menarik manfaat.163 seperti ini, menurut mazhab Maliki dan
Apabila mafsadat yang dikhawatirkan Hanbali tidak dibenarkan.165
bersifat pasti (qath’i), hukumnyapun d. Dzari’ah yang mengandung
menjadi terlarang. Jika seseorang kemungkinan akan mendatangkan
bersikeras mengerjakan perbuatan itu, mafsadat, namun kemungkinannya
lalu terjadi mudharat yang tidak sampai pada tingkat dugaan kuat
dikhawatirkan, maka yang (ghalabat al-Zhann).
bersangkutan harus bertanggung jawab Dzari’ah kategori ini biasanya
terjadi dalam bentuk jual beli yang
160 mungkin dijadikan jalan (cara) untuk
Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, h. 290
161
Ibid, h. 272 melakukan praktek riba. Contohnya
162
Ibid
163
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al- 164
Muhammad Sa’id ‘Ali Abd al-Rabb,
Suyuthi, al-Asybah wa-al- Nazha’ir fi-al-Furu’ ( Op.cit, h. 203
165
Semarang : Usaha Keluarga, t.th), h. 62 Muhammad Abu Zahrah, Loc. cit
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 65
Novembe2016
seseorang membeli suatu barang dengan disepakati, maka hukumnyapun, jelas
harga tertentu secara kredit (dengan diperselisihkan. Dengan dasar pemikiran di
tempo) adalah sah.166 Karenanya, pada atas maka al-Qarafi membagi dzari’at
prinsipnya, bagaimanapun bentuk jual kepada tiga kategori :169
belinya, dan apapun objeknya, sepanjang a. Dzari’at yang disepakati terlarang dan
telah terpenuhi syarat dan rukunnya,167 harus ditutup.
maka jual beli tersebut dipandang sah. Al-Qarafi menegaskan bahwa sad
Akan tetapi jika barang telah dibeli secara al-dzari’ah tidak hanya digunakan mazhab
kredit di atas kemudian dijual kembali Maliki dan Hanbali. Menurutnya, ada
secara tunai kepada kreditor dengan harga sejumlah perbuatan (dzari’ah) yang
yang jauh lebih murah, maka perbuatan ini dilarang, dan hal ini disepakati umat,
dilarang. Alasannya, perbuatan tersebut karena dipastikan akan mengakibatkan
mengandung kemungkinan (berpotensi) kemafsadatan. Al-Qarafi mencontohkan :
mendatangkan mafsadat berupa jual beli menggali lobang di jalan umum,
yang mengandung riba. Misalnya, membubuhi racun pada makanan yang
seseorang yang sangat membutuhkan uang biasanyan dimakan orang, dan memasuki
karena didesak oleh suatu keperluan bisa sembahan kaum musyrik yang diduga akan
dieksploitasi orang-orang yang memiliki mengandung kemarahan mereka dan akan
uang melalui jual beli untuk tujuan membalas memaki Allah. Contoh di atas,
mafsadat. Al-Syathibi menyebutkan jual menurut al-Qarafi, dilarang oleh semua
beli ini dengan transaksi jual beli yang umat karena di pastikan akan
semu ( ) ﻟﻐﻮ ﻻ ﻣﻌﻨﻰ ﻟﮭﺎ168 dimana barang mendatangkan mafsadat.170
yang ditransaksikan seakan-akan tidak ada, b. Dzari’at yang disepakati tidak dilarang
sementara kreditor memperoleh Dzari’ah kategori ini adalah
keuntungan tanpa harus kehilangan barang perbuatan-perbuatan yang mungkin
dagangnya. menimbulkan mafsadat, tetapi
Dzari’at bentuk keempat ini, seperti kemungkinannya sangat kecil karena
contoh di atas, termasuk masalah yang jarang terjadi. Al-Qarafi mencontohkan,
diperselisihkan ulama fikih, apakah seperti tidak dilarang membudidayakan
dianggap transaksi itu batal dan perbuatan tanaman anggur, meskipun ada
itu dilarang, atau sabaliknya tidak kemungkinan buah anggur diolah menjadi
dianggap sebagai dzari’ah yang harus khamar.171 Contoh lain, tidak dilarang
disumbat dan transaksi tersebut sah, serta memproduksi insektisida (pembasmi hama
perbuatan itu tidak dilarang tanaman) meskipun ada kemungkinan akan
membahayakan pemakaian atau digunakan
3. Dilihat dari segi hukum dzari’ah untuk bunuh diri. Namun, jika pada waktu
Pembagian dzari’ah dari segi ini kondisi atau keadaan tertentu, mafsadatnya
dikemukakan oleh al-Qarafi. Pada awal semula jarang terjadi meningkat, dan betul-
bab ini telah diutarakan bahwa pandangan betul mengkhawatirkan, tentu hukum
al-Qarafi dalam wacana dzari’at mengacu boleh harus dipertimbangkan.
pada pengertian umum. Dalam kontek ini, c. Dzari’ah yang diperselisihkan ulama
jika dzari’at menuju sesuatu yang dilarang, Dzari’ah untuk ketiga ini adalah
maka hukumnya juga wajib, dan sterusnya. semua bentuk tindakan yang berpotensi
Dengan demikian, apabila dzari’ah menimbulkan mafsadat. Akan tetapi
menuju pada suatu yang hukumnya tidak (seperti telah dikemukakan dalam
pembagian dzari’ah versi Ibnu Qayyim al-
166
Al-Syathibi, Op.cit, h. 113 Jawziyyah dan al-Syathibi mafsadatnya
167
Syarat dan rukun jual beli, misalnya
lihat. ‘Abd al-Hamid Hakim, Mu’in al-Mubin, 169
Al-Qarafi, Loc.cit
170
(Jakarta : Bulan Bintang), juz 3, h. 6 Ibid
168 171
Al-Syathibi, Loc.cit Ibid
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 66
Novembe2016
tidak bersifat pasti. Contoh, jual beli ajal Meskipun demikian, tidak dengan serta
(yang telah disebutkan), memandang merta metode ini disepakati oleh ulama
wanita172 (apakah harus dilarang karena ushul fikih sebagai dasar dalam
akan dikhawatirkan akan membawa menetapkan hukum. Ada ulama ushul yang
kepada pertemuan zina atau tidak dilarang menerimanya sebagai hujah dan ada yang
karena dianggap tidak akan membawa menolaknya.
pada a. Ulama Yang Menerima
perbuatan zina), dan lainnya yang menurut Menurut pandangan golongan
al-Qarafi jumlahnya mencapai ribuan.173 Maliki dan Hanabilah, sad al-dzarri’ah
Berdasarkan uraian yang telah dapat dijadikan metode istinbath hukum.175
dikemukakan, dapat dipahami, bahwa Tegasnya, menurut mereka sad al-dzari’ah
dzari’ah ada yang harus dilarang untuk dapat dijadikan sebagai dalil syara’.
menghindari dampak mafsadatnya, dan ada Dikalangan Maliki dan Hanabbilah,
yang tidak harus dilarang karena lebih kaidah sad al-dzari’ah dalam hubungannya
mempertimbangakan maslahatnya. dengan dalil-dalil fikiih merupakan suatu
Terlepas dari kategori serta sudut kaidah yang diinduksi dari sejumlah dalil
pandang mana dzari’ah yang harus nash, ayat-ayat dan hadis Nabi
dilarang, atau yang tidak dilarang, yang diantaranya, seperti yang telah
jelas dapat dipahami, bahwa metode sad dikemukakan dibagian awal bab ini yang
al-dzari’ah, pada dasarnya berhubungan mendukung untuk suatu pengertian bahwa
dengan memelihara kemaslahatan dan kaidah ini sejalan dengan tujuan syara’
sekaligusmenghindari kemafsadatannya.174 Secara umum, tujuan syara’ dengan
Memelihara kemaslahatan dan berbagai taklif untuk mendatangkan
menghindari kemafsadatan, dalam kemaslahatan bagi mukallaf sekaligus
berbagai tingkatannya, adalah tujuan menolak kemudharatan.176 Menggunakan
disyariatkannya hukum Islam. Dengan metode sad al-dzari’ah berarti juga
demikian, dapat dikatakan bahwa metode beramal dengan kandungan dan tujuan
sad al-Dzari’ah berhubungan dengan teori nash-nash syara’177 karena, dalil - dalil
maqashid al-Syari’ah. syara’ secara umum menghendaki agar
menghindari kemafsadatan dan senantiasa
D. Kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah memperhatikan kemaslahatan.
Sebagaimana telah dikemukakan, Menurut Ibnu Qayyim al-
bahwa mettode sad al-dzari’ah, memiliki Jawziyyah metode sad al-ddzari’ah salah
landasan yang kuat dari nas syarak. Di satu dari seperempat taklif. Karena
dalam al-Qur’an sendiri dijumpai sejumlah sesungguhnya taklif itu, kata Ibnu Qayyim
ayat dan beberapa ayat telah dikemukakan terdiri dari perintah dan larangan. Perintah
pada awal bab ini yang melarang suatu dan larangan tersebut, lanjut Ibn al-
tindakan dikarenakan berujung pada suatu Qayyim terdiri dua bentuk. Pertama,
kemafsadatan. Begitu juga dengan hadis- perintah atau larangan (taklif) yang
hadis Nabi. Cukup banyak riwayat yang memang ditujukan pada suatu perbuatan.
mengisyarakat betapa efektif dan urgennya Jadi taklif bentuk ini adalah perbuatan-
metode sad al-dzari’ah untuk perbuatan tertentu yang secara esensial
mengantisipasi terjadinya kemafsadatan. diperintahkan, atau sebaliknya dilarang.
Kedua perbuatan-perbuatan yang
172
menjadikan sarana/perantara kepada dua
Dalam hal ini, bukan memandang bentuk taklif perintah atau larangan di atas.
wanita yang disertai syahwat. Sebab, jika disertai
syahwat, maka tidak seorang ulamapun yang
membolehkannya. Jalal al-Din ‘Abd Rahman, 175
Al-Syathibi, Op.cit, h. 112, Ibnu
Op.cit, h. 291 Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h. 147-171
173
Al-Karafi, Op.cit 176 Ibid, h. 11, Ibid, h. 14
174 177
Abd Al-Karim Zaidan, Op.cit, h. 249 Husain Hamid Hasan, Op.cit h. 233
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 67
Novembe2016
Apabila suatu perbuatan menjadi perbuatan (perantara, penyebab) terjadinya perbuatan
perantara (wasilah) kepada yang yang dilarang. Jika dalam suatu perbuatan
diperintahkan, maka perbuatan tersebut tidak ada keyakinan yang pasti akan
menjadi wasilah (penyebab) terjadinya mengakibatkan kemafsadatan maka
sesuatu yang dilarang, maka wasilah perbuatan itu tidak mungkin dilarang
tersebut juga dilarang. Dengan demikian, dengan alasan sad al-dzari’ah. Selain itu,
upaya menutup jalan (sad al-dzari’ah) lanjut kedua Imam, hukum asal dari suatu
yang akan membawa kepada perbuatan perbuatan adalah izin, dan hal ini tetap
terlarang merupakan salah satu perempat berlaku berdasarkan persangkaan yang
agama, tegas Ibnu al-Qayyim.178 kuat atau indikasi yang jelas.182
Dalam tataran praktis, mazhab Di pihak lain, Imam Malik dan
Maliki dan Hanbali memang banyak Imam Ahmad bin Hanbali menetapkan
menggunakan metode sad al-dzari’ah bahwa perbuatan (bay al-ajal) tersebut
dalam menetapkan hukum.179 Jadilah dilarang dalam rangka kehati-hatian
metode ini popular di kalangan Malikiyyah (ihtiyath). Meskipun di satu sisi hukum
dan Hanabali, dan sering diasosiasikan asal perbuatan itu adalah sesuatu yang
kepada mazhab mereka.180 diizinkan (boleh), namun karena diduga
Diantara ketetapan hukum (fikih) kuat akan mendatangkan kemafsadatan,
mazhab Maliki dan Hanbali yang maka didahulukan menolak (menghindari)
didasarkan pada metode sad al-dzari’ah manfaat dari izin dan menarik
ada berseberangan dengan pendapat kemaslahatan.183
mazhab lain, seperti Hanafii dan Syafi’i. Diantara alasan yang diajukan
Contoh dalam hal ini adalah jual beli Imam Malik dan Ahmad bin Hanabal
tempo (bay al-ajal/ ) اﻻ ﺟﺎ ﻟﺒﯿﻊ. adalah beberapa hadis Nabi yang pada
Dalam kasus bay’ al-ajal dasarnya sama dengan kasus jual beli di
dimaksud, seperti dikatakan Nasrun atas. Seperti larangan khalwat antara
Haroen, terdapat dua prinsip yang seorang wanita tanpa suami atau
bertentangan. Pertama, kebolehan (izin) muhrimnya. Larangan Nabi terhadap dua
terhadap jual beli tersebut, sebab telah kasus ini karena melihat pada efek
terpenuhi syarat sah dan rukun jual beli. kemafsadatan yang akan ditimbulkan,
Kedua, perbuatan (transaksi) seperti itu meskipun baru bersifat dugaan. Agaknya
membuka peluang terjadinya atas dasar ini Imam Malik dan Imam
kemudaratan.181 Ahmad bin Hanbal melarang bay al-
Imam Abu Hanafi dan Imam ajal.184
Syafi’i mendahulukan segi izin (ma’dzun Meskipun demikian, tidak berarti
fih) dari perbuatan itu. Karenanya menurut mazhab lain tidak menerima dan tidak
mereka, transaksi jual beli seperti itu tidak menggunakan metode sad al-dzari’ah.
batal dan tidak terlarang. Mereka Memang secara eksplisit, mazhab lain,
beralasan, bahwa mafsadat dalam jual beli seperti Syafi’I dan Hanafi, tidak
seperti itu tidak lebih dominan, karenanya mencantumkannya didalam kitab-kitab
tidak harus diperhitungkan. Selanjutnya, ushul mereka sebagai dasar yang berdiri
masih menurut kedua Imam, dasar dalam sendiri dalam menetapkan hukum.185 Akan
menetapkan sesuatu dilarang atau batal tetapi kenyataannya mereka juga
apabila perbuatan itu menjadi dzari’ah menggunakan metode sad al-dzari’ah,
paling tidak dasar-dasarnya. Hal ini dapat
178 dibuktikan dengan hukum-hukum (fikih)
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h.
171
179 182
Al-Syathibi, Op. cit, h. 112, al-Qarafi, Al-Syathibi, Op.cit, h. 113
183
Loc. cit Ibid
180 184
Ibid Ibid, h. 206
181 185
Nasrun Haroen, Op.cit, h. 165 Ibid h 207
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 68
Novembe2016
yang mereka tetapkan untuk kasus-kasus kontemporer, ditetapkan berdasarkan
189
tertentu. kaidah sad al-ddzari’ah.
Contoh, ulama mazhab Hanafi Misalnya lagi, Imam al-Syafi’i
menganjurkan orang yang melakukan sendiri memberi toleransi (membolehkan)
puasa pada yauum al-syakk (hari yang seseorang yang karena uzur, seperti sakit
meragukan, apakah bulan Sya’ban telah dan bepergian menggantikan shalat jum’at
berakhir dan bulan Ramadhan telah masuk dengan shalat zhuhur. Namun Imam
atau belum) sedapat mungkin dilakukan Syafi’i mengingatkan, sedapat mungkin
secara diam-diam, jika dia seorang pemuka shlat zhuhur tersebut dikerjakan secara
agama, sehingga ia tidak dibutuhkan diam-diam. Hal yang sama juga berlaku
melakukan pelanggaran terhadap larangan bagi orang yang tidak berpuasa karena ada
Rasul.186 Dalam suatu hadis yang uzur. Orang tersebut hendaknya jangan
diriwayatkan Imam al-Bukhari Rasulullah makan dan minum di tempat-tempat
SAW bersabda : terbuka agar tidak terlihat oleh orang yang
ﻣﻦ ﺻﺎم: ﻋﻦ أ ﺑﻲ اﺳﺤﺎ ق ﻋﻦ ﺻﻠﺔ ﺑﻦ زﻓﺮ ﻗﺎل ﻋﻤﺎر tidak mengetahui keadaannya.190
ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ھﺬااﻟﯿﻮ م ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ أ ﺑﺎ اﻟﻘﺎﺳﻢ ﺻﻠﻰ ا Melakukan dua hal di atas secara
187
() رواه اﻟﺒﺨﺎري sembunyi-sembunyi, dimaksudkan agar
orang tesebut tidak dituduh sengaja
Dari Abi Ishaq dari Shalah bin meninggalkan shalat jum’at atau puasa
Zufar, Ammar berkata : Siapa yang yang kemudian akan mengandung isu
puasa pada hari ini (yaum al- negatif (fitnah).191
syakk),berarti ia telah mengingkari Dua contoh tersebut di atas
Abu al-Qasim (Muhammad) SAW. member isyarat bahwa Imam al-Syafi’i dan
(HR. Bukhari) pengikutnya berhujjah dengan sad al-
dzari’ah, walaupun dalam bobot yang
terbatas, seperti halnya ulama mazhab
Contoh lain, ulama mazhab Hanafi Hanafi. Yang jelas, contoh di atas dan
juga tidak menerima iqrar (pengakuan) beberapa contoh dzari’ah lainnya pada
orang yang dalam keadaan mardh al-maut prinsipnya ditujukan untuk menghindari
(sakit kritis, yang membawa kepada mafsadat.
kematian). Misalnya orang yang dalam Jadi, perbedaan antara ulama
keadaan mardh al-maut mengaku berutang Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak
kepada seseorang yang meliputi semua dengan ulama Malikiyyah dan Hanabilah
atau sebagian hartanya. Pengakuan seperti di pihak lain terletak pada penerapannya
ini, menurut ulama Mazhab Hanafi tidak dalam masalah-masalah furu’. Hal ini
boleh diterima, sebab, menurut mereka disebabkan karena perbedaan persepsi
pengakuan ini dikhawatirkan hanya untuk tentang ada atau tidak adanya manath al-
menghalangi hak ahli waris terhadap Dzari’ah. Misalnya, terjadi pada perbuatan
hartanya.188 yang mungkin akan mengakibatkan
Dua contoh di atas, menurut terjadinya kemafsadatan. Ulama mazhab
analisis para pakar ushul fikih Hanafi dan Syafi’I memandang suatu
perbuatan tidak dilarang sepanjang
tujuannya merupakan sesuatu yang
dibolehkan. Akan tetapi, jika ada indikasi
yang jelas, bahwa pebuatan itu bertujuan
186
Abdul Aziz Dahlan (ed), “ az-Zari’ah, kepada yang dilarang (diharamkan), maka
Op.cit, Jilid IV, h. 2007-2008
187
Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al- merekapun sepakat bahwa perbuatan
Sari’ li-Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-
189
Fikr, t,th ), Jilid III, h. 355 Ibid
188 190
Abdul Aziz Dahlan (ed), loc, cit dan Ibid
Muhammad Sa’id ‘ali Abd al-Rabb, Op.cit, h. 218 191
Ibid
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 69
Novembe2016
tersebut harus dilarang karena menjadi meskipun sudah sampai tingkatan dugaan
dzari’ah kepada yang dilarang. yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
Perbedaan lainnya, seperti telah konsep sad al-dzari’ah adalah semata-mata
ditegaskan bahwa kedua mazhab ini tidak praduk akal dan tidak berdasarkan pada
mencantumkan sad al-dzari;ah di dalam nash secara langsung. Mereka menolak
kitab ushul fikih mereka sebagai hujah dan menggugat eksistensi sad al-dzari’ah
yang berdiri sendiri, tetapi digolongkan ke sebagai salah satu metode dalam
dalam cakupan metode ijtihad lainnya. Di pengambilan istinbath hukum syara’.
kalangan ulama Hanafiyah tercakup ke Dengan kata lain, menurut mazhab yang
dalam istihsan. Sementara, di kalangan dipelopori oleh Daud bin Ali al-Asfahani/
ulama Syafi’iyah tergolong ke dalam 202-270 H sadd dzari’ah ini tidak dapat
cakupan Qiyas. dijadikan hujjah dalam menetapkan
Berdasarkanapa yang dikemukakan hukum. Ibnu Hazm, misalnya, pelanjut dan
di atas, jelaslah bahwa mayoritas ulama pembela mazhab Zhahiri secara tegas
menggunakan metode sad al-dzari’ah menolak metode ini dan mengeritik
dalam menetapkan hukum syara’. penggunaanya. Penolakkan ini berangkat
Walaupun demikian, tidak berarti metode dari pemikiran bahwa metode sad al-
tersebut dapat digunakan tanpa batas. dzari’ah adalah salah satu dari berbagai
Sebab, sepeti dikhawatirkan Muhammad bentuk argumen, yang menurutnya, hanya
Abu Zahrah, kalau metode ini diterapkan didasarkan pada akal ( al-Ra’yi) semata.
tanpa batas, bisa jadi akan menghambat Untuk melegitimasi pendapat
perbuatan yang sebenarnya mubah, mereka, ditampilkan beberapa argumen :
mandub, atau bahkan wajib. Abu Zahrah Pertama, mereka mengemukakan beberapa
mencontohkan, seperti keengganan orang- ayat al-Qur’an, antara lain :
orang yang adil untuk mengelola harta
anak yatim atau harta wakaf karena 1. Qs a- Baqarah (2) ayat 29
khawatir akan menimbulkan berbagai
tuduhan negatif, atau karena takut dirinya
akan melakukan kezaliman. Kekhawatiran
seperti ini, menurut Abu Zahrah adalah
kekhawatiran yang berlebihan. Karenanya
tidak dapat dibenarkan atas dasar sad al-
dzari’ah.
Abu Zahrah menyimpulkan, Dia-lah Allah, yang menjadikan
seseorang yang akan menggunakan segala yang ada di bumi untuk
dzari’ah harus benar-benar memperhatikan kamu dan Dia berkehendak
serta membandingkan mudarat/bahaya (menciptakan) langit, lalu
antara memakai dan meninggalkannya. dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia
Mana yang lebih dominan itulah yang Maha mengetahui segala sesuatu.
harus diambil.
2. Ulama yang menolak 2. Qs Yunus ( 10 ) ayat 59
Kelompok ulama yang tidak
menerima sad al-dzari;ah sepenuhnya
sebagai metode menetapkan hukum adalah
mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan
prinsip mereka yang hanya menetapkan
hukum berdasarkan makna tekstual (zahir
al-lafzh). Sementara sad al-Dzari’ah adalah Katakanlah: "Terangkanlah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan kepadaku tentang rezki yang
yang masih dalam tingkatan dugaan, diturunkan Allah kepadamu, lalu
An-Nahl No.05. Vol.09 Juni 2017 70
Novembe2016
kamu jadikan sebagiannya Haram tangan dan upaya pengerahan ra’yu
dan (sebagiannya) halal". melalui berbagai metode istinbat, termasuk
Katakanlah: "Apakah Allah telah sad al-dzari’ah, untuk menetapkan hukum
memberikan izin kepadamu sesuatu. Kalaupun ada yang melakukan,
(tentang ini) atau kamu mengada- maka produk hukum tersebut tidak
adakan saja terhadap Allah ?" meyakinkan. Padahal, Allah tidak pernah
menetapkan hukum tidak meyakinkan.
3. Qs al-An’am ( 6 ) ayat 119 Sesuatu hukum yang telah diyakini
hukumnya berdasarkan ketetapan Allah
haram tidak bisa berubah hukum menjadi
halal dan sebaliknya, kecuali adanya nash
lain, yang meyakinkan, atau sekurang-
kurangnya ijma’.
Kedua, (alasan yang dikemukakan
Mazhab Zhahiri ) adalah landasan metode
sad al-dzari’ah yang tidak akurat. Ibnu
Hazm, umpamanya, mengeritik ulama,
yang menurutnya, mendasarkan
penggunaan sad al-dzari’ah pada hadis
mengapa kamu tidak mau memakan yang diterima dari Nu’man bin Basyir.
(binatang-binatang yang halal) Hadis terjemahannya ssebagai berikut :
yang disebut nama Allah ketika Dari Nu’man bin Basyir Ra, ia
menyembelihnya, Padahal berkata : “ Saya pernah
Sesungguhnya Allah telah mendengar Rasulullah SAW.
menjelaskan kepada kamu apa Bersabda : Sesungguhnya yang
yang diharamkan-Nya atasmu, halal itu telah jelas, begitu juga
kecuali apa yang terpaksa kamu yang haram, dan diantara
memakannya. dan Sesungguhnya keduanya itu adalah syubhat.
kebanyakan (dari manusia) benar Kebanyakkan orang tidak
benar hendak menyesatkan (orang mengetahui yang subhat itu.
lain) dengan hawa nafsu mereka Seseorang yan menjaga dirinya
tanpa pengetahuan. Sesungguhnya dari syubhat, sungguh ia telah
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih terpelihara dalam agama dan
mengetahui orang-orang yang kehormatannya, dan siapa yang
melampaui batas. jatuh pada yang syubhat ia telah
jatuh pada yang haram, bagaikan
Mereka memahami tiga ayat di atas pengembala yang mengembala di
dan beberapa ayat senada lainnya sebagai tempat terlarang, ia akan
petunjuk yang jelas tentang kategori memesuki tempat terlarang itu.
hukum sesuatu : Halal atau haram. Selain Ingatlah, bahwa setiap raja
itu, penentuan mengenai halal dan mempunyai tempat terlarang, dan
haramnya sesuatu merupakan hak semata- ingatlah, bahwa tempat terlarang
mata monopoli dipegang oleh Allah. bagi Allah adalah apa-apa yang
Ketentuan-ketentuan mengenai halal atau diharamkan-Nya. (Muttafaq
haram dimaksud terkandung di dalam ‘alaihi)
syariat yang diturunkan Allah. Sementara,
syariat itu sendiri telah diturunkan secara Berdasarkan hadis di atas, sejumlah
tuntas dan sempurna ( Qs. Al-Maidah : 3) orang (ulama) telah mengharamkan
Karena demikian, menurut mazhab sesuatu atas dasar kehati-hatian dan
Zhahiri, tidak diperlukan lagi campur khawatir terjerumus pada yang haram, kata