Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No.

1 ISSN 1858-4330

AKTIVITAS INFUSA DAUN JAMBU BIJI (PSIDIUM GUAJAVA L.)


TERHADAP NEMATODA HAEMONCHUS SP. DARI SAPI BALI
(BOS SONDAICUS) SECARA IN VITRO

ACTIVITY OF GUAVA LEAF INFUSED (PSIDIUM GUAJAVA L.) ON


HAEMONCHUS SP. FROM BALINESE CATTLE (BOS SONDAICUS) IN VITRO

Nur Ilmi Rahmiati1), Abdul Wahid Jamaluddin2), Bone Ramadhan3)


1)
Mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin
2)
Dosen Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin
3)
Pegawai Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Peternakan Kabupaten Wajo
Email: nurilmirahmiati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Haemonchus sp. merupakan cacing pada saluran pencernaan yang sering menyerang ternak
seperti sapi, domba dan kambing. Cacing lambung ini sangat berbahaya karena selain
menghisap darah, daya perkembangbiakannya juga sangat tinggi. Untuk menangani
masalah cacing ini umumnya digunakan obat cacing sintetik dari golongan benzimidazole,
namun telah dilaporkan bahwa penggunaan antelmintik golongan ini secara tidak tepat dapat
menyebabkan resistensi. Untuk menangani kasus resistensi dibutuhkan alternatif pengobatan
baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas infusa daun jambu biji terhadap
cacing Haemonchus sp. dari sapi Bali. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2017 di
Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin dan Balai Besar
Veteriner Maros dengan menggunakan sampel sebanyak 90 ekor cacing untuk tiga kali
pengulangan. Sampel dibagi menjadi 6 kelompok, kelompok I yaitu kontrol negatif;
kelompok II-V infusa konsentrasi 5%; 10%; 20%, dan 40%; dan kelompok VI yaitu kontrol
positif berupa piperazine. Kelompok perlakuan masing-masing diuji pada cacing dengan
melihat waktu kematian cacing. Hasil dari penelitian ini yaitu konsentrasi tertinggi perlakuan
(40%) memiliki waktu paling cepat dalam membunuh cacing di antara konsentrasi perlakuan
yang lain. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu infusa daun jambu biji memiliki aktivitas
terhadap waktu kematian cacing.
Kata kunci: Haemonchus sp., Daun Jambu Biji, Infusa, Piperazine, In Vitro

ABSTRACT
Haemonchus sp. is a worm in the digestive tract that often attacks livestock such as cattle,
sheep and goats. This stomach worm is very dangerous because in addition to sucking blood,
their breeding power is also very high. To deal with this worm problem, this is commonly
used synthetic anthelmintic from benzimidazole group, but it has been reported that the use
of benzimidazole inapropriately can cause resistance. To handle the case of resistance new
alternative treatments are required. The aim of this study was to determine the activity of
guava leaf infused as a natural material against Haemonchus sp worms. of Balinese cattle.
This research was conducted in July 2017 at Phytochemical Laboratory of Hasanuddin
University Faculty of Pharmacy and Balai Besar Veteriner Maros using 90 worms sample

27
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

for three times replication. Sample was divided into 6 groups, group I with negative control,
group II-V with infused guava leaf 5%, 10%, 20%, and 40%; group VI with positive control
in the form of piperazine. The treatment groups were tested on the worms by looking at the
time of death from the worm. The result of this research is the highest infused concentration
(40%) has the fastest death period in killing the worms among other consentrations. The
conclusion is infused of guava leaf has activity to the worm’s death period in all
consentration and the highest infused consentration (40%) has the fastest death period among
other treatment concentrations.
Keywords: Haemonchus sp., Guava leaf, Infused, Piperazine, In Vitro

PENDAHULUAN ini memiliki senyawa aktif yang berfungsi


sebagai alternatif pengobatan.
Haemonchus sp. merupakan salah satu
bursate nematodes yang banyak Hasil skrining fitokimia daun jambu biji
didiagnosa menginfeksi ternak di mengandung tanin, polifenol, flavonoid,
Indonesia. Berdasarkan hasil survei di monoterpenoid, seskuiterpen, alkaloid,
beberapa pasar hewan di Indonesia kuinon dan saponin (Kurniawati, 2006).
(Nofyan et al., 2010) menunjukan 90% Tanin dan saponin telah diketahui memiliki
sapi yang berasal dari peternakan rakyat efek antelmintik. Senyawa tanin
mengidap cacing saluran pencernaan yaitu merupakan senyawa yang bersifat
cacing hati (Fasciola hepatica), cacing vermifuga, yakni secara langsung berefek
gelang (Neoascaris vitulorum) dan cacing pada cacing melalui perusakan protein
lambung (Haemonchus contortus). Pada tubuh cacing. Saponin memiliki efek
ternak milik masyarakat, antelmintik antelmintik yang dapat menghambat kerja
diberikan hanya untuk pengobatan pada kolinesterase sehingga cacing mengalami
tenak yang menunjukkan gejala seperti paralisis spastik otot yang akhirnya dapat
mencret, kurang nafsu makan dan kurus. menimbulkan kematian (Kuntari, 2008).
Pengobatan dengan antelmintik Hal inilah yang mendasari perlunya
mempunyai resiko terjadinya resistensi dilakukan penelitian mengenai aktivitas
bila diberikan dalam jangka waktu yang infusa daun jambu biji terhadap nematoda
lama dengan jenis yang sama. Antelmintik Haemonchus sp. dari sapi bali secara in
tidak mempunyai efikasi sampai 100% vitro.
terhadap semua jenis parasit dan 100%
efektif sepanjang waktu. Oleh karena itu METODE PENELITIAN
bila terjadi resistensi maka beberapa
parasit yang tahan terhadap antelmintik Alat dan Bahan
akan membawa gen resisten (Waller,
1993). Alat yang digunakan pinset anatomis,
gloves/sarung tangan, pot sampel, botol
Berbeda dengan obat antelmintik sintetik, kaca, neraca analitik, mantel heath, labu
untuk penggunaan bahan herbal sampai alas bulat, blender, kertas saring
saat ini belum ada laporan bahwa obat dari Whatmann, corong, gelas ukur, gelas
bahan alami ini dapat menimbulkan beaker, tabung reaksi, cawan petri, oven
resistensi. Daun jambu biji telah dikenal simplisia, kertas label, object glass, cover
oleh masyarakat sebagai daun untuk glass, mikroskop, dan kamera. Sedangkan
mengobati diare dan beberapa penyakit bahan yang digunakan sampel cacing
lain sehingga dapat dipastikan bahwa daun Haemonchus sp., sampel feses, daun jambu

28
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

biji, aquades, garam, Piperazin 5%, lapisan. Lapisan asam (tak berwarna)
Magnesium, Asam klorida, FeCl3. dipipet ke dalam tabung reaksi lain,
kemudian larutan dibagi 3. Masing-masing
larutan ditambahkan beberapa tetes reagen
Prosedur Kerja Dragendrorf, Mayer dan Wagner. Uji akan
positif alkaloid apabila menghasilkan
Pengambilan dan Identifikasi Sampel endapan yang berwarna orange setelah
Cacing ditambah reagen Dragendrorf, endapan
putih kekuningan setelah ditambah reagen
Sampel cacing yang diambil yaitu
Mayer dan endapan coklat setelah
sebanyak 90 cacing Haemonchus sp. yang
ditambah reagen Wagner.
diambil dari abomasum sapi bali di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Tamangapa, 3) Uji Triterpenoid
Kota Makassar. Untuk memastikan bahwa Sebanyak 2 gram sampel daun jambu biji
cacing yang diambil benar Haemonchus dilarutkan dengan 25 ml etanol panas
sp. terlebih dahulu dilakukan identifikasi (500C) kemudian hasilnya disaring ke
morfologi cacing dan telur cacing yang dalam pinggan porselin dan diuapkan
diambil dari sampel feses. sampai kering. Residu ditambahkan eter
Pengujian Fitokimia Daun Jambu Biji dan ekstrak eter di pindahkan ke dalam
lempeng tetes kemudian ditambahkan 3
Pengujian fitokimia dilakukan dengan tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes
menguji adanya golongan senyawa H2SO4 pekat (Uji Lieberman-Burchard).
saponin dan tanin, alkaloid, triterpenoid, Warna merah ungu menunjukkan adanya
dan flavanoid dengan prosedur sebagai triterpenoid.
berikut (Harborne, dikutip dalam Hanifah,
2010): 4) Uji Fenol/Flavonoid
1) Uji Saponin dan Tanin Sebanyak 2 gram sampel daun jambu biji
diekstrak dengan beberapa ml (terendam)
Sebanyak 2-4 gram sampel daun jambu biji metanol kemudian dipanaskan sampai
diekstrak dengan akuades panas kemudian mendidih lalu disaring. Kemudian filtrat
dipanaskan sampai mendidih. Kemudian dibagi 2, pada bagian pertama
disaring dan filtrat dibagi 2 ke dalam ditambahkan NaOH 10% dan pada bagian
tabung reaksi. Bagian pertama untuk uji kedua ditambahkan H2SO4 pekat. Apabila
saponin larutan dibiarkan dulu agak dingin dengan penambahan NaOH 10%
kemudian dikocok secara vertikal, apabila menghasilkan warna merah berarti positif
timbulnya busa yang stabil setinggi lebih adanya flavonoid sedangkan pada
kurang 1 cm selama 10 menit menandakan penambahan asam sulfat timbulnya warna
positif adanya saponin. Pada tabung reaksi merah berarti positif adanya senyawa fenol
kedua filtrat ditambahkan FeCl3 1% bila hidrokuinon.
menghasilkan warna hijau, biru, hitam
menandakan positif adanya tanin. Pembuatan Infusa Daun Jambu Biji
2) Uji Alkaloid Daun yang diambil yaitu daun yang
termuda dari pucuk daun hingga daun ke 7.
Sebanyak 2 gram sampel daun jambu biji
Apabila daun terlalu tua dikhawatirkan
yang dianalisis diekstrak dengan sedikit
kandungan zat aktif yang diharapkan telah
kloroform, kemudian ditambahkan 10 ml
menurun. Wildiana (2002), menyatakan
kloroform-amoniak setelah itu disaring.
bahwa zat aktif dalam daun jambu biji yang
Filtrat yang diperoleh ditetesi H2SO4 2M,
dapat mengobati diare adalah tanin,
kemudian dikocok sehingga terbentuk dua
29
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

semakin muda daun jambu biji maka - P5 : Diberi 10 ml larutan kontrol positif
semakin tinggi kandungan taninnya. Piperazine sitrat 5%
Menurut penelitian Yuliani (2009), - P6 : Diberi 10 ml larutan kontrol negatif
menyatakan kadar tanin tertinggi terdapat Aquades.
pada daun termuda. Setelah daun
terkumpul, selanjutnya dilakukan sortasi Langkah yang dilakukan selanjutnya
basah terhadap kotoran, sampah, daun- sebagai berikut (Deviana, 2012):
daun dan kotoran yang masih menempel 1. Pertama-pertama cawan petri disiapkan,
pada daun. Daun kemudian dicuci dengan masing-masing berisi 10 ml infusa daun
air lalu dikeringkan dengan menggunakan jambu biji pada konsentrasi 5%, 10%,
alat herbs dryer. Setelah daun kering, daun 20% dan 40%, 10 ml larutan Piperazine
kemudian dirajang dan dihaluskan sitrat serta 10 ml aquades.
menggunakan blender sampai terbentuk 2. Untuk masing-masing cawan petri
simplisia kering. dimasukkan 5 ekor cacing Haemonchus
Pembuatan infusa dilakukan dengan cara sp. yang masih aktif bergerak.
menimbang sebanyak 10 g simplisia daun 3. Selanjutnya, terus dilakukan
jambu biji kemudian dilarutkan dengan pengamatan apakah cacing mati,
aquades sebanyak 100 ml untuk paralisis, atau masih normal setelah
konsentrasi 10%, 20 g simplisia dalam 100 direndam pada masing-masing
ml aquadest untuk konsentrasi 20% dan 40 kelompok perlakuan. Cacing-cacing
g simplisia dalam 100 ml aquadest untuk tersebut diusik dengan batang
konsentrasi 40%. Setiap konsentrasi pengaduk. Apabila cacing diam, cacing
dipanaskan terpisah masing-masing selama dipindahkan ke dalam air panas dengan
15 menit terhitung sejak suhunya telah suhu 500C, apabila dengan cara ini
mencapai 90oC. Hasil infusa kemudian cacing tetap diam, berarti cacing
disaring menggunakan kertas saring tersebut telah mati, tetapi jika bergerak,
(Ditjen POM, 2000). berarti cacing itu hanya paralisis (Putri,
2007). Cacing yang masih hidup
Perlakuan kemudian dikembalikan ke dalam
Sampel penelitian menggunakan 30 ekor cawan petri semula. Hasil yang
cacing Haemonchus sp. untuk satu kali diperoleh kemudian dicatat. Batasan
mati dalam percobaan ini adalah bila
pengulangan, sehingga jumlah sampel cacing mati (tidak bergerak bila
yang dibutuhkan adalah 90 ekor untuk tiga dimasukkan ke dalam air panas dengan
kali pengulangan dengan kriteria inklusi suhu 500 C) selama 5 detik.
yaitu cacing Haemonchus sp., masih aktif
bergerak (normal), tidak tampak cacat
HASIL PENELITIAN
secara anatomi. Sampel dibagi dalam 6
kelompok perlakuan yaitu : Identifikasi Sampel Cacing
- P1 : Diberi 10 ml infusa daun jambu biji
dengan konsentrasi 5% Terlihat morfologi barber’s pole atau
- P2 : Diberi 10 ml infusa daun jambu biji badan berpilin berwarna merah putih untuk
dengan konsentrasi 10% betina dan dominan merah pada jantan
- P3 : Diberi 10 ml infusa daun jambu biji yang sangat khas dengan cacing
dengan konsentrasi 20% Haemonchus.
- P4 : Diberi 10 ml infusa daun jambu biji
dengan konsentrasi 40%

30
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

Usus

Ovarium
Gambar 1. Identifikasi Sampel Cacing

Uji Fitokimia Daun Jambu Biji

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Daun Jambu Biji


No. Jenis Pengujian Hasil
1. Flavonoid + (Positif)
2. Saponin + ( Positif)
3. Alkaloid - (Negatif)
4. Triterpenoid - (Negatif)
5. Tanin + ( Positif)

Pengujian Aktivitas Daya Antelmintik (R2) yaitu 0,990. Dalam hubungannya


Infusa Daun Jambu Biji (Psidium dengan korelasi, R2 merupakan kuadrat
guajava L.) terhadap Cacing dari koefisien korelasi sehingga nilai
Haemonchus sp. koefisien korelasi (R) dari data diatas yaitu
R= 0,994.
Berdasarkan grafik waktu kematian cacing
pada Gambar 2, nilai koefisien determinasi

Gambar 2. Grafik Waktu Kematian Cacing


31
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

Nilai korelasi yang didapatkan Data yang diperoleh dari pengujian infusa
memberikan arti bahwa variabel perlakuan daun jambu biji terhadap cacing
memiliki hubungan yang searah dengan Haemonchus sp. dianalisis secara statistik
variabel waktu kematian cacing. Semakin dengan menggunakan uji awal yaitu uji
tinggi konsentrasi dari perlakuan yan ANOVA untuk melihat ada tidaknya
diberikan maka semakin cepat waktu pengaruh dari tiap perlakuan yang
kematian dari cacing. Apabila nilai diberikan pada kelompok perlakuan.
koefisien korelasi mendekati +1 (positif Berdasarkan hasil Uji ANOVA diperoleh
satu) berarti pasangan data variabel X dan nilai Sig. 0.000 pada level signifikansi
Y memiliki korelasi linear positif yang 0,05. Hal ini menunjukkan nilai Sig.
sempurna. Hubungan antara dua variabel (0,000) < 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1
di dalam teknik korelasi bukan dalam arti diterima. Di mana H0 : Tidak ada pengaruh
hubungan sebab akibat (timbal balik),
antara perlakuan dengan waktu kematian
melainkan hanya merupakan hubungan
cacing dan H1 : Ada pengaruh antara
searah saja. Perubahan salah satu nilai perlakuan dengan waktu kematian cacing.
variabel diikuti perubahan nilai variabel Berdasarkan hasil, Sig. < 0,05 artinya
yang lainnya secara teratur dengan arah
terdapat pengaruh nyata antara perlakuan
yang sama. Jika nilai variabel X dengan waktu kematian cacing.
mengalami kenaikan, maka variabel Y
akan ikut naik. Jika nilai variabel X Analisis selanjutnya yaitu dengan uji
mengalami penurunan, maka variabel Y Tukey, menunjukkan perbedaan rata-rata
akan ikut turun. perlakuan terhadap waktu kematian cacing.
Hal ini menunjukkan bahwa keenam
Hasil Analisis Pengujian Aktivitas perlakuan memiliki perbedaan dari waktu
Infusa Daun Jambu Biji (Psidium kematian cacing meskipun pada beberapa
guajava, Linn) Terhadap Cacing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
Haemonchus sp. Menggunakan Uji yang nyata.
ANOVA dan Uji Tukey

Tabel 2. Hasil Uji HSD Tukey


Perlakuan Waktu Kematian (menit)
K- 606.6 ± 45.4 a
K1 518.8 ± 90.1 a
K2 349.4 ± 96.3 b
K3 288.0 ± 36.4 bc
K4 194.2 ± 45.2 c
K+ 61.2 ± 2.6 d
*Keterangan : K- (Aquades), K1 (Infusa 5%), K2 (Infusa 10%), K3 (Infusa 20%), K4 (Infusa 40%), K+
(Piperazine sitrat).
*Keterangan : a,b Superskrip yang berbeda menandakan perbedaan signifikansi (P<0.05)

Pemberian infusa kosentrasi 5% tidak Konsentrasi 10%, 20%, 40% dan kontrol
efektif untuk membunuh cacing positif memiliki perbedaan nyata dengan
dikarenakan tidak memberikan nilai Sig. kontrol negatif (P<0,05). Semua
yang nyata terhadap waktu kematian konsentrasi memberikan perbedaan nyata
cacing (P>0,05) dengan kontrol negatif. terhadap kontrol positif dengan nilai Sig.

32
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

<0,05 yang berarti bahwa semua Hal tersebut disebabkan karena adanya
konsentrasi yang digunakan tidak lebih senyawa aktif yang terkandung dalam
baik jika dibandingkan dengan kontrol infusa daun jambu biji. Aktivitas senyawa
positif. aktif daun jambu biji dapat dilihat dari
perlakuan yang diberikan pada cacing
Kontrol positif berupa larutan piperazine
Haemonchus sp. dimana dalam semua
sitrat berdasarkan nilai rataannya
konsentrasi daun jambu biji menyebabkan
merupakan perlakuan yang memiliki
penurunan massa otot dan akhirnya
perbedaan nyata dengan konsentrasi infusa
kematian dalam kondisi kekurusan dan
5%, 10%, 20% dan 40% serta kontrol
kaku meskipun dalam interval waktu yang
negatif. Kontrol negatif berupa aquades
berbeda antar konsentrasi. Semakin tinggi
merupakan kelompok yang paling lama
konsentrasi bahan maka semakin banyak
memberikan pengaruh atau yang
pula komponen zat aktif yang terkandung
membunuh cacing dalam waktu yang lebih
didalamnya sehingga daya
lama jika dibandingkan dengan semua
antibakteri/antelmintik yang dihasilkan
konsentrasi infusa.
semakin besar (Arum, 2012). Hal ini juga
Hal tersebut diatas memperlihatkan bahwa didukung oleh pernyataan Pelczar & Chan
perlakuan dari kontrol negatif juga (2005) bahwa aktivitas dari suatu agen
memiliki perbedaan yang nyata dengan antimikrobial selalu dipengaruhi
infusa daun jambu biji pada semua konsentrasi zat, jumlah organisme, suhu,
konsentrasi. Namun pada infusa daun spesies organisme, adanya bahan organik
jambu biji konsentrasi 40% dan 20% tidak dan pH (5-7).
memiliki perbedaan yang nyata, begitupula
Senyawa aktif yang terkandung dalam
dengan konsentrasi 20% dan 10% karena
jambu biji berdasarkan hasil uji fitokimia
waktu kematian antara konsentrasi tersebut
yaitu positif adanya tanin, flavonoid dan
tidak begitu jauh berbeda. Hal ini bisa
saponin. Senyawa-senyawa tersebut
disebabkan karena jumlah komponen
dipercaya memiliki efek antelmintik.
senyawa aktif yang berfungsi sebagai
Penelitian yang dilakukan oleh Niezen et
antelmintik tidak jauh berbeda tiap
al., (1998) terhadap domba yang terinfeksi
konsentrasi. Diluar dari perbedaan yang
cacing yang diberi pakan mengandung
tidak begitu nyata antar konsentrasi yang
tanin dengan kadar tinggi, menunjukkan
digunakan, infusa daun jambu biji dapat
penurunan yang drastis dari jumlah hitung
dipastikan mampu memberikan pengaruh
cacing dan telur yang terdapat pada
terhadap waktu kematian cacing dengan
membandingkan tiap konsentrasi infusa fesesnya. Tanin juga dapat menghambat
dengan kontrol yang digunakan. migrasi larva cacing. Senyawa tanin
menyebabkan terikatnya enzim-enzim
yang dihasilkan oleh cacing nematoda pada
Mekanisme Antelmintik
babi untuk penyerapan nutrisi sehingga
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada proses penyerapan terganggu dan dapat
grafik diatas, perbedaan konsentrasi yang menyebabkan defisiensi nutrisi (Faradila et
diberikan akan memberikan waktu al., 2013).
kematian yang berbeda pula. Semakin
Senyawa flavonoid memiliki efek
tinggi konsentrasi infusa yang diberikan
farmakologi pada pembuluh darah melalui
maka senyawa aktif yang berperan sebagai
terjadinya vasokontriksi kapiler dan
antelmintik juga akan semakin besar
jumlahnya dan semakin efektif untuk menurunkan permeabilitas pembuluh
darah. Hal ini menyebabkan adanya
membunuh cacing.
gangguan pembuluh darah sehingga zat-zat

33
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

makanan dan oksigen yang dibutuhkan penanganan kasus kecacingan sebab


untuk kelangsungan hidup cacing resistensi terhadap benzimidazole pada
terganggu dan dapat mempercepat populasi cacing nematoda gastrointestinal,
kematian cacing. Selain itu, flavonoid juga terutama Haemonchus contortus
dapat menyebabkan terjadinya degenerasi merupakan problem yang telah meluas
neuron pada tubuh cacing yang berakhir sehingga penggunaan agen kemoterapi
dengan kematian (Fitriana, 2008). tersebut menjadi kurang efektif. Sifat
resistensi nematoda terhadap antelmentika
Saponin memiliki efek antelmintik yang
ini adalah diturunkan dan didefinisikan
dapat menghambat kerja kolinesterase
sebagai penyebab peningkatan frekuensi
sehingga cacing mengalami paralisis
individu cacing yang toleran terhadap obat.
spastik otot yang akhirnya dapat
Berdasarkan penelitian yang telah
menimbulkan kematian (Kuntari, 2008).
dilakukan oleh Haryuningtyas et al (2005),
Kolinesterase (ChE) atau disebut enzim
di Indonesia kejadian resistensi terhadap
asetilkolinesterase adalah suatu enzim
antelmintik albendazole telah dilaporkan
yang terdapat didalam jaringan tubuh yang
terjadi di beberapa daerah yaitu Bogor,
berperan untuk menjaga sistem saraf pusat
Kuningan, Kendal dan Bantul.
berfungsi dengan tepat.
Kolinesterase berfungsi sebagai katalis Piperazine adalah antelmintik yang efektif
untuk menghidrolisis asetilkolin menjadi melawan nematoda saluran pencernaan
kolin dan asetat (Kovarik, Z et al, 2003). seperti Ascaris lumbricoides (cacing
Lubis (2002) mengatakan bahwa ketika gelang) dan Enterobius vermicularis
asetilkolin dilepaskan, peranannya (cacing kremi, cacing tambang), meskipun
melepaskan neurotransmitter untuk antelmintik lainnya biasanya lebih disukai.
memperbanyak konduksi saraf perifer dan Piperazine menghasilkan blok
saraf pusat atau memulai kontraksi otot. neuromuskular yang mengarah pada
kelemahan dan kelumpuhan otot pada
Senyawa saponin sendiri bekerja melalui
cacing yang rentan, yang kemudian mudah
mekanisme neurotoksik dengan
terbawa oleh gerakan usus dan keluar
menghambat asetilkolinesterase sehingga
melalui kotoran. Piperazine biasanya
terjadi penumpukkan asetilkolin pada
diberikan sebagai sitrat atau fosfat, tapi
tubuh cacing yang menyebabkan kontraksi
adipate juga bisa digunakan. Dosis dari
otot cacing secara terus menerus dan
garam piperazine biasanya dinyatakan
akhirnya mati dalam keadaan kaku.
dalam bentuk piperazine hidrat; 100 mg
Aktivitas daya antelmintik yang paling piperazin hidrat setara sekitar 125 mg
efektif untuk membunuh cacing piperazine sitrat. Keunggulan dari
Haemonchus sp. yaitu pada penggunaan piperazine yaitu mudah diserap dari
konsentrasi tertinggi 40%. Namun apabila saluran gastrointestinal dan dapat
dibandingkan dengan kontrol positif yaitu diekskresikan di urin dalam waktu 24 jam,
piperazine sitrat, infusa daun jambu biji sebagian sebagai metabolit. Piperazine
konsentrasi 40% masih memiliki tingkat dapat didistribusikan ke kelenjar mamae
efektifitas dibawah piprazine sitrat atau (Martin, 2005).
dapat dikatakan bahwa penggunaan obat
antelmintik sintesis lebih efektif
dibandingkan dengan infusa daun jambu KESIMPULAN
biji konsentrasi 40%. Infusa daun jambu biji (Psidium guajava,
Piperazine sitrat dipilih sebagai kontrol Linn) pada semua konsentrasi memiliki
positif dibanding dengan obat golongan aktivitas terhadap waktu kematian cacing
benzimidazole yang biasa digunakan untuk
34
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

Haemonchus sp. dan konsentrasi tertinggi Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia
perlakuan (40%) memiliki waktu paling Penuntun Cara Modern Menganalisi
cepat dalam membunuh cacing di antara Tumbuhan. Diterjemahkan oleh
konsentrasi perlakuan yang lain. Kosasih Padmawinata dan Imam
Sudiro, Edisi II, Hal 4-7 : 69-76. ITB.
Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Haryuningtyas, D., W.T. Artama and W.
Asmara. 2006. Sequence variability
Arum, Y. P., Supartono, Sudarmin. 2012. of the β Tubulin isotype-1 gene in
Isolasi dan Uji Daya Antimikroba benzimidazole resistant strains of
Ekstrak Daun Karsen (Muntingia Haemonchus contortus, a nematode
calabura). J. MIPA. Vol. 35 (2): 165- parasite of sheep. JITV 11(3): 235-
172. 240.
Deviana, Riza. 2012. Pengaruh Ekstrak Kovarik, Z.; Bosak, A.; Sinko, G.; Latas, T.
Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) (2003) - Exploring the Active Sites
terhadap Waktu Kematian Cacing of Cholinesterases by Inhibition with
Ascaris suum, Goeze In Vitro Bambuterol and Haloxon. Croatica
[Skripsi]. Universitas Sebelas Maret. Chemica Acta, 76(1):63-67.
Surakarta.
Kuntari T. 2008. Daya Antihelmintik Air
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Rebusan Daun Ketepeng (Cassia
Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. alata L.) terhadap Cacing Tambang
Cetakan Pertama. Jakarta: Anjing In Vitro. Yogyakarta:
Departemen Kesehatan RI. Halaman Universitas Islam Indonesia.
3-5, 10-11.
Kurniawati A. 2006. Formulasi Gel
Faradila, A. T.E. Agustina, dan D.B. Antioksidan Ekstrak Daun jambu
Aswin. 2013. Uji Daya Anthelmintik Biji (Psidium guajava L) dengan
Ekstrak Etanol Daun Beluntas Menggunakan Aquapec HV-505.
(Pluchea indica Less.) terhadap Skripsi. Jurusan Farmasi FMIPA
Cacing Gelang (Ascaris suum) Unpad. 64 hlm.
secara In Vitro. Malang: Program
Studi Pendidikan Dokter Fakultas Lubis, Halinda Sari. 2002. Deteksi Dini
Kedokteran Universitas Brawijaya. dan Penatalaksanaan Keracunan
Pestisida Golongan Organofosfat
Fitriana, S. 2008. Penapisan Fitokimia dan pada Tenaga Kerja. Fakultas
Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak Kesehatan Masyarakat. Universitas
Daun Jarak (Jatropha curcas L.) Sumatera Utara.
terhadap Cacing Ascaridia galli
secara In Vitro. Skripsi. Program Martin, R.J. (2005). Gamma-Aminobutyric
Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan acid- and piperazine-activated
Ternak Fakultas Peternakan Institut single-channel currents from Ascaris
Pertanian Bogor suum body muscle. Br. J.
Pharmacol. 84, 445–461.
Hanifah, S. W. 2010. Aktivitas
Antelmintik Ekstrak Daun Jarak Nofyan, Erwin, Mustaka Kamal, dan Indah
Pagar (Jatropa curcas L.) Terhadap Rosdiana. 2010. Identitas Jenis Telur
Cacing Pita dan Ascaridia Cacing Parasit Usus Pada Ternak
galli[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus
Pertanian Bogor. sp.) Di Rumah Potong Hewan
35
Jurnal Agrisistem Juni 2018, Vol. 14 No. 1 ISSN 1858-4330

Palembang. Jurusan Biologi FMIPA Waller, P.J., 1993. Control strategies to


Universitas Sriwijaya. Sumatera prevent resistance. Vet. Parasitol.
Selatan. 46:133-142.
Pelczar, J. M. & Chan, E. C. S. 2005. Dasar Wildiana, Nana. 2002. Kandungan Kimia
dasar Mikrobiologi 2. Alih bahasa Daun Jambu Biji. http://www.
oleh Hadioetomo, R. S., Imas, T., wartamadani.com : Semarang.
Tjitrosomo, S. S., Angka, S. L. Diakses pada 1 Oktober 2017.
Jakarta: UI-Press. Yuliani, S. L., Hayani, E., 2003, Kadar
Putri, Dyah Pitaloka. 2007. Uji Efektifitas Tanin Dan Quersetin Tiga Tipe Daun
Daya Antelmintik Carica papaya Jambu Biji (Psidiumguajava),
(Infus Akar, Infus Biji, Infus Daun) Buletin Tanaman Rempah Dan
terhadap Cacing Ascaridia galli Obat., 14 (1):17- 24.
Secara In Vitro. Artikel Karya Tulis
Ilmiah. Semarang (ID): Universitas
Diponegoro.

36

Anda mungkin juga menyukai