Anda di halaman 1dari 21

Filsafat Ilmu

Kelompok 3:
1. M. Fikri Arrahman (11191130000039)
2. Sevilla Maghfira L.A (11191130000045)
3. Rozan Firdaus Permana (11191130000050)
Daftar Isi

A. Latar Belakang............................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................3
C. Pengertian Filsafat Ilmu..............................................................................................................4
D. Macam-Macam Filsafat Ilmu.....................................................................................................4
1. Ontologi.....................................................................................................................................5
2. Epistemologi..............................................................................................................................7
3. Aksiologi.................................................................................................................................12
E. Penerapan Filsafat Ilmu............................................................................................................13
F. Kesimpulan................................................................................................................................18
G. Daftar Pustaka...........................................................................................................................20

1
A. Latar Belakang

Aristoteles1 pernah menyebutkan bahwa kodrat manusia adalah makhluk yang selalu
ingin tahu.2 Kodrat manusia yang disebutkan oleh Aristoteles dibuktikan dengan adanya
pembelajaran ilmu dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bahkan ilmu pengetahuan
diajarkan dalam pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Hal tersebut tentulah sudah
bisa membuktikan bahwa kodrat manusia yang disebutkan Aristoteles benar adanya. Ilmu
pengetahuan itu sendiri berbeda dengan pengetahuan maupun sains (science).

Pengetahuan atau knowledge atau yang sering diartikan common sense dibagi menjadi 2
yaitu pengetahuan ilmiah dan tidak ilmiah.3 Pengetahuan tidak ilmiah adalah keadaan tahu
yang belum dilalui oleh observasi maupun sistematisasi. Sumber pengetahuan terbagi
menjadi 4 yaitu: pengalaman indriawi, akal, hati dan intuisi, dan wahyu.4 Sedangkan sains
(science) melewati sistematisasi dan observasi terlebih dahulu tetapi sains tetaplah berbeda
dengan ilmu. Hal tersebut dikarenakan dalam perkembangannya, sains membatasi dirinya
dalam fisik-empiris. Terbatasnya sains dapat dibuktikan dengan definisi sains itu sendiri yang
artinya pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik.5

Sementara ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan dari observasi secara sistematis
dan tidak dibatasi dengan fisik-empiris seperti sains. Dengan begitu luasnya ilmu, ilmu
haruslah mempunyai dasar atau standar yang menjiwai ilmu itu sendiri. Dasar atau standar
dalam ilmu disebut dengan filsafat ilmu. Suatu ilmu haruslah dikaji menggunakan filsafat
ilmu agar suatu ilmu bisa dibedakan dengan pengetahuan yang tidak ilmiah.

Filsafat ilmu dibagi menjadi 3 bagian yang berbeda—yang nantinya akan dijelaskan lebih
lanjut—yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Masing-masing merupakan dasar dari
suatu ilmu. Dengan adanya ketiga komponen tersebut, suatu ilmu jadi lebih mudah dipelajari
karena ketiga komponen tersebut mengisi kekosongan dari ilmu yang ingin dipelajari. Hal-hal
yang kosong dalam ilmu adalah: hakikat ilmu, cara mendapatkan pengetahuan dari ilmu yang
ingin dipelajari, dan guna pengetahuan dalam ilmu yang ingin dipelajari. 6 Ketiga komponen

1
Aristoteles lahir di Stagira pada tahun 384 SM dan meninggal di Eubora pada tahun 322 SM. Ia merupakan
murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung. Lihat, id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles
2
C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1997, h. 4
3
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2018, h. 210
4
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu …, h. 72-79
5
Webster’s New World Dictionary of the American Language, Cleveland and New York: The World Publishing
Company, 1962, h. 1305
6
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 213

2
tersebut sangatlah mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dijelaskan di kalimat
sebelumnya.

Seiring perkembangan zaman, ilmu teruslah bertambah semakin banyak. Yang tadinya
ilmu dimulai dengan filsafat sekarang menjadi lebih dari 10 ilmu yang dapat kita pelajari.
Dengan bertambahnya ilmu yang ada filsafat ilmu seakan-akan dilupakan dalam awal
pembelajaran ilmu-ilmu tersebut. Filsafat ilmu sangatlah penting agar kita sebagai manusia
yang ingin mempelajari suatu ilmu tetap dalam konsep awal sebuah ilmu dan membuat
pikiran kita tidak gampang tersesat.

Dengan mempelajari filsafat ilmu, kita juga bisa membedakan mana-mana saja yang
termasuk ilmu, sains, atau hanya sekedar pengetahuan belaka. Dalam makalah ini akan
dijelaskan filsafat ilmu dalam 4 bagian yaitu: pengertian filsafat ilmu, macam-macam kajian
filsafat ilmu, dan penerapan filsafat ilmu dalam suatu ilmu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam cabang
filsafat ilmu?
2. Mengapa sebuah disiplin ilmu membutuhkan penjelasan ketiga aspek tersebut?
3. Bagaimana penerapan ketiganya dalam mengukur validitas atau kelayakan sebuah
disiplin ilmu?

3
C. Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu terbagi menjadi 2 kata yaitu filsafat dan ilmu. Alangkah baiknya jika dua
kata tersebut diberikan pernyataan umum terlebih dahulu sebelum memahami apa itu filsafat
ilmu. Filsafat didefinisikan sebagai berpikir bebas, radikal, dan berada pada tataran makna.7
Sedangkan ilmu sudah didefinisikan sebelum bagian ini yakni adalah suatu pengetahuan yang
bersifat ilmiah dan terbebas dari fisik-positivistik. Pengetahuan yang tidak ilmiah adalah
pengetahuan biasa atau knowledge, pengetahuan ilmiah yang terbatas dalam segi fisik-
positivistik adalah sains (science).

Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab pertanyaan-pertanyaan


mengenai hakikat ilmu. Hal-hal yang dipelajari dalam bidang ini antara lain dasar-dasar
filsafat, asumsi, dan implikasi dari ilmu yang termasuk di dalamnya ada ilmu sosial dan juga
ilmu alam.

Filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha
menjelaskan tentang unsur-unsur yang terlibat dalam penelitian ilmiah yaitu: prosedur-
prosedur pengamatan, pola-pola argumentasi, asumsi-asumsi metafisika, dsb.

Dalam perkembangannya, arah pandang dari filsafat ilmu pada strategi pengembangan
ilmu menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai ke dimensi kebudayaan. Hal ini
bertujuan tidak hanya untuk mengetahui kegunaaan dan manfaat ilmu, namun juga makna
ilmu bagi kehidupan manusia. Yang akan dikaji oleh filsafat ilmu terbagi menjadi 3 kajian
yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

D. Macam-Macam Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu dalam mempertanyakan ilmu setidaknya ada 3 pertanyaan mendasar yaitu:
objek apa yang difokuskan oleh ilmu? Bagaimana proses saat menelaah objek tersebut? Apa
kegunaan ilmu itu sendiri? Ketiga pertanyaan mendasar tersebutlah yang dijadikan kajian
oleh filsafat ilmu itu sendiri. Ketiga pertanyaan mendasar tersebut dapat disingkat menjadi
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

7
Musa Asy’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 1999, h.1

4
1. Ontologi
Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga
tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi,
epistemologi dan aksiologi.8 Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa,
epistemologi menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan
pertanyaan untuk apa.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan
munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan
mencari apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia
berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air.
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang
menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) (Jujun,
1986). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari
pandangan tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu. Pertanyaan-pertanyaan
tentang ontology adalah sebagai berikut:9

1) Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu?


2) Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi itu?
3) Apa sifat dasar kenyataan atau kebendaan?

Louis O. Kattsoff membagi ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja,


ontologi kuantitatif dan kualitatif, serta ontologi monistik.10 Dikatakan ontologi
bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya.
Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau
jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah
yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika
dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan
perubahan dianggap semu belaka.

8
Jujun Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Moral. Sosial dan Politik. Jakarta: Gramedia, 1986, h. 2
9
Sabarti Akhadiah, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Prenada Media Group, 2011, h.142 dalam Nunu
Burhanuddin, Filsafat …, h. 50
10
Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, h. 192

5
Dari pertanyaan ‘apakah yang ada itu’ memberikan jawaban dan lahir empat
aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme. Empat aliran
tersebut digolongkan sebagai jawaban kuantitatif. Sedangkan dalam jawaban yang
kualitatif terbagi menjadi 4 aliran lagi yaitu: materialisme, idealism, naturalism,dan
hylomorphisme.11 Dan ada juga yang menyatakan bahwa sumber segala sesuatu
adalah ketidakadaan atau kekosongan, aliran tersebut dinamakan nihilism.
a. Aliran Monoisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu.
Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka
dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh filosuf
yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam
ide merupakan kenyataan yang sebenarnya
b. Aliran Dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan
materialisme dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua
hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani.
c. Aliran Pluralisme. Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak
hanya terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan
udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
d. Aliran Agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak
suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden.
e. Aliran Materialisme. Filsuf yang mempunyai aliran materialisme dalam
ontologinya akan berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu yang ada
adalah adanya renik, yaitu zat yang keras dan bulat seperti atom.12
f. Aliran Idealisme. Aliran idealisme berpendapat bahwa sumber dari segala
sesuatu yang ada adalah roh atau sebuah ide. Materi sebuah benda hanyalah
penjelmaan dari ide atau rohani saja.13
g. Aliran Agnostisisme. Filsuf yang memakai aliran agnostisisme menyangkal
bahwa manusia dapat mengetahui sumber atau hakikat segala sesuatu yang ada
baik dari segi materi maupun segi materi. Dapat dikatakan juga bahwa aliran
agnostisisme mengandung skeptisisme.14

11
Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat …, h. 196
12
Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat …, h. 212
13
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu …, h. 57
14
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 58

6
h. Aliran Hylomorphisme. Aliran ini pertama kali dibuat oleh Aristoteles dalam
karyanya yang berjudul De Anima. Hylomorphisme memandang sumber dari
segala sesuatu adalah materialisme dan mental.
i. Aliran Nihilisme. Nihilisme memandang bahwa sumber dari segala sesuatu
tidak ada atau tidak real. Gagasan mengenai Nihilisme dibuat oleh Gorgias15
pada zaman Yunani kuno. Selanjutnya aliran nihilisme dikembangkan oleh
Friedrich Nietzche (1844-1900) yang terdapat dalam karyanya yang berjudul
Tuhan Telah Mati.

2. Epistemologi
Berangkat dari kodrat manusia yang selalu ingin tahu, muncul pertanyaan lain
yang adalah “mengapa manusia ingin tahu?” Verhaak dalam Nunu Burhanuddin
berpendapat bahwa ada 2 unsur manusia terpenting yaitu jasmani dan rohani. 16
Verhaak menjelaskan bahwa jasmani adalah realitas alam. Realitas alam yang
dimaksud adalah tubuh kita yang terlihat di alam kita hidup atau singkatnya
jasmani adalah diri kita sendiri. Sedangkan rohani adalah sifat manusia yang ingin
selalu mengalahkan alam itu sendiri. Mengalahkan alam bukan berarti ingin saling
berlawanan dengan alam melainkan ingin menghindari hal-hal yang dilakukan
alam atau fenomenan alam. Dengan fenomena alam, manusia menjadi berpikir
bagaimana alam melakukan fenomenanya—tanah longsor, banjir, tsunami, angin
topan, hujan, dan fenomena alam atau bencana alam yang lain.
Pengetahuan memang selalu didapatkan tetapi bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan? Pertanyaan itulah yang dibahas oleh epistemologi atau
sederhananya epistemologi mengkaji cara pikir seseorang atau bagaimana filsuf
mendapatkan suatu kesimpulan.17 Jika dikaitkan dengan filsafat ilmu maka yang
dibahas adalah metode apa yang dipakai untuk mengkaji sebuah ilmu. Pertanyaan-
pertanyaan mengenai bagaimana cara mendapatkan pengetahuan didorong oleh
Rene Descartes (1596-1650).
Nunu Burhanuddin membagi perkembangan epistemology menjadi 3 era
yaitu: era yunani, era modern, dan era kontemporer.
a. Era Yunani
15
Gorgias adalah kaum sofis yang saat itu sangat terkenal selain Protagoras. Tidak diketahui kapan lahirnya
Gorgias tetapi ia datang ke Athena pada tahun 427 SM. Lihat, Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 24
16
C. Verhaak dan R. Haryono, Filsafat Ilmu…, h. 5
17
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, h. 16-17

7
Filsuf-filsuf sebelum Socrates tidak pernah memikirkan
bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan seperti contohnya
Thales yang hanya memikiran sumber kehidupan terjadi. Filsuf-filsuf
sebelum adanya Socrates pun sepertinya terlalu memfokuskan
pertanyaan-pertanyaan mereka kepada alam.
Pemikiran bagaimana cara pikir seseorang pun dimulai oleh
Socrates. Socrates berpikir melalui dialektikanya yang saat itu sangat
dikagumi oleh para pemuda. Dialektika Socrates18 terdiri menjadi 2
bagian yakni induksi dan definisi. Induksi adalah pemikiran yang
dimulai dari pengetahuan khusus dan diakhiri dengan pengetahuan
umum. Sedangkan definisi adalah makna atau pernyataan umu dari apa
yang ingin didialektikakan.
Cara berpikir yang baru pun ada kembali oleh Plato, yakni
murid dari Socrates sendiri. Plato dianggap sebagai pencetus
epistemology karena telah menguraikan pertanyaan-pertanyaan
mendasar dalam epistemology itu sendiri.19 Cara berpikir Plato dalam
melihat sebuah realitas sangatlah inovatif pada saat itu. Menurut Plato,
sebuah benda dapat ada (eksis) karena adanya ide di dalamnya.
Menurutnya, manusia sangat mengandalkan ide, ide yang dimaksud
bukanlah hanya yang terlihat atau yang tampak. Plato beranggapan
bahwa manusia mendapatkan pengetahuan dari ide contohnya seperti
pengetahuan tentang kebijakan dan tentang kebenaran.
Ide Plato mengenai sumber kebenaran ditantang oleh filsuf
bernama Aristoteles yakni muridnya sendiri. Aristoteles tidak berpikir
dengan apriori melainkan berpikir dengan aposteriori. Aristoteles
berpikir bahwa suatu realitas tidak mungkin tanpa adanya yang terlihat
oleh panca indra itu sendiri. Aristoteles menyimpulkan bahwa
pengetahuan didapat setelah adanya pengamatan terhadap pengetahuan
yang ingin didapat.20

18
Socrates merupakan guru dari Plato. Socrates meninggal dihukum mati oleh pengadilan dengan cara minum
racun paksa. Socrates diadili karena metode dialektika saat itu dianggap menghancurkan jiwa pemuda. Lihat,
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 112
19
C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah atas cara kerja ilmu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
h. 9-11
20
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 114

8
Cara berpikir yang didobrak oleh Plato dan Aristoteles
membangkitakn cara berpikir yang bernama rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme didobrak oleh Plato sedangkan empirisme
didobrak oleh Aristoteles.
b. Era Modern
Rasionalisme dari Plato memang telah dikritik oleh empirisme
Aristoteles tetapi di era modern rasionalisme berkembang pesat berkat
epistemologi Rene Descartes. Epistemologi Rene Descartes
menjelaskan bahwa suatu hal yang pasti atau benar bisa dikatakan
benar ketika hal yang diuji melewati keraguan. Menurut Descartes,
usaha yang ingin meragukan suatu hal merupakan suatu metode untuk
mencapai kebenaran atau kepastian.
Sama seperti Plato, rasionalisme Descartes juga mendapat
kritikan dari John Locke. John Locke berpendapat bahwa pikiran (ide)
manusia sangatah kosong. Maka dari itu harus diisi oleh pengalaman.
Empirisme yang dibawa John Locke lebih mengandalkan pengalaman
panca indra karena John Locke membagi 2 sumber pengetahuan yakni
sensasi dan persepsi. Locke beranggapan bahwa persepsi adalah
tindakan pertama untuk mendapatkan pengetahuan.
Munculnya tokoh bernama Auguste Comte membuat
munculnya epistemology yang baru. Kala itu, rasionalisme dan
empirisme lah yang selalu beradu argumen tetapi dengan adanya
Auguste Comte muncul epistemology bernama positivistik. 21
Positivistik yang dimaksud Comte adalah sesuatu yang tampak dan hal
ini membuat sains mulai membatasinya dengan hal-hal yang bersifat
fisik-positivistik saja.
Positivistik Comte juga dikembangkan dengan adanya Vienna
Circle atau lingkaran Wina. Setelah munculnya lingkaran Wina,
filsafat hanya berpacu kepada hal yang terlihat dan ilmiah.
Epistemologi ini dikritik oleh Karl Raimund Popper dengan
pembedaannya mengenai ilmiah dan tidak ilmiah. Popper berpikir

21
Positivistik atau positivisme Comte terdapat dalam karya Comte yang berjudul The Philosophy Positive.
Dalam karyanya memuat 3 perkembangan masyarakat yaitu: teologi, metafisik, dan positivisme. Lihat, John J.
Macionis, Sociology, Kenyon College, h. 11

9
bahwa sesuatu yang ilmiah memang sangat bermakna (meaningful)
tetapi sesuatu yang tidak terlihat belum tentu tidak bermakna
(meaningless).22 Seperti contohnya ajaran-ajaran agama yang tidak
terlihat tetapi bisa memberikan pembelajaran etika dan moral kepada
manusia.
c. Era Kontemporer
Era kontemporer pada dasarnya membantah positivisme Comte
karena positivisme membatasi filsafat dan sains hanya apa yang
terlihat saja. Era kontemporer terdiri dari 3 epistemologi terbesar yaitu:
fenomenologi, hermeuneutika, dan teori kritis. Ketiga epistemology
tersebut sangatlah berfokus bahwa kebenaran dilakukan oleh subjek.
Fenomenologi memang dikatakan sebagai epistemologi yang
berdiri sendiri tetapi pada pemikirannya sangat kelihatan bahwa
fenomenologi perkembangan dari rasionalisme. Fenomenologi
dikembangkan oleh Husserl bahwa apa yang tampak tidaklah selalu
benar.
Fenomenologi berpendapat bahwa fenomena atau sesuatu yang
nyata dapat dilihat ketika fenomena itu sebagaimana adanya (to show
itself) atau melihat hanya fenomena itu saja sendiri dan tanpa
terganggu (veils itself).23 Fenomenologi dalam melihat suatu fenomena
harus mengurangi hal-hal yang bergantung terhadap fenomena itu
sendiri. Hal ini dinamakan oleh Husserl adalah bracketing.
Selain fenomenologi, hermeuneutika juga membantah
positivisme Comte. Pada awalnya hermeuneutika adalah teori untuk
memahami teks atau kitab suci. Lalu hermeuneutika dikembangan oleh
Hans-Georg Gadamer (1900-2002).
Menurut Gadamer, manusia bisa mendapatkan ilmu bukan
hanya melalu observasi dan eksperimen saja. Ilmu yang didapat juga
tidak harus tampak dan ada bagi panca indra karena manusia sebelum
melihat hal yang ada juga sudah mempunya paham awal (pre-
understanding). Dengan pemahaman awal tersebut, manusia bisa
mendapatkan pemahaman baru dan bahkan bisa mengetahui apakah

22
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 118
23
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 122

10
pemahaman tersebut benar atau tidak. Jika tidak benar maka manusia
akan meragukan dan berdebat, jika pemahaman yang ia dapat benar
adanya maka ia akan mendapat pemahaman baru lewat persetujuan
dengan dirinya sendiri.
Teori kritis juga salah satu epistemologi yang membantah
positivisme Comte dan juga mendukung kehadiran subjek dalam
mendapatkan pengetahuan baru. Teori kritis yang dikembangkan oleh
Jurgen Habermas merupakan bentuk baru dari Marxism. 24 Habermas
mengubah aspek dasar revolusi Marxism, yang tadinya revolusi
Marxism haruslah lewat kekerasan diubah menjadi komunikasi adalah
kunci utama revolusi dalam Marxism. Dengan Habermas mengubah
aspek dasar revolusi Marxism, ia ditinggal oleh teman-temannya saat
kuliah.
Epistemologi teori kritis Habermas adalah suatu pengetahuan
atau pemahaman baru dapat didapatkan ketika manusia saling
berkomunikasi. Menurut Habermas, manusia adalah makhluk
komunikasi dan masing-masing dari manusia mempunyai ruang
publik. Ruang public yang dimaksud adalah manusia mempunya
tempat untuk saling mendengarkan manusia yang lain. Melalui ruang
publik, manusia bisa mendapatkan pengetahuan atau pemahaman baru
lewat saling tukar pikiran.
Epistemologi dalam perkembangannya sangat berubah-ubah.
Epistemologi dimulai dari ide atau rasio yang membuat manusia
mendapatkan pengetahuan. Lalu hal tersebut dibantah dibantah dan
muncul pendapat baru bahwa pengetahuan didapat dari pengalaman.
Selama beribu-ribu tahun hal tersebut dikembangkan dan
diperdebatkan. Lalu muncul Comte yang membuat gagasan baru yaitu
pengetahuan didapat melewati observasi dan hasil dari pengetahuan
haruslah tampak dan terlihat oleh panca indra. Pemikiran epistemology
tersebut dinamakan positivistik atau positivism.
Setelah adanya Comte pun, epistemologi makin berbeda dan
makin unik. Bantahan-bantahan Comte yang berada di era
kontemporer terbagi menjadi 3 pemikiran besar antar lain:
24
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 123

11
fenomenologi Husserl, hermeuneutika Gadamer, dan teori kritis
Habermas.

3. Aksiologi
Aksiologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu Axio yang berarti nilai dan logos
berarti ilmu pengetahuan, maka aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai , dapat dikatakan pula aksiologi adalah teori nilai, nilai yang
dimaksud adalah nilai guna, Menurut Suriasumantri (1991) aksiologi didefinisikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan sebuah pengetahuan yang
diperoleh.25 Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika.
Aksiologi meliputi nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna
terhadap kebenaran dalam kehidupan di berbagai kawasan seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik hingga kawasan fisik materil. Nilai-nilai yang ditunjukan
aksiologi adalah suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam melakukan
penelitian ataupun penerapan sebuah ilmu pengetahuan Dalam perekembangan
ilmu filsafat, juga memberi strategi pengembangan ilmu yang bersifat etik.26
Nilai dalam filsafat mengacu pada dua hal yaitu etika dan estetika, etika dalam
bahasa Yunani berasal dari kata Ethos yang berarti watak, etika dalam filsafat
ilmu disebut juga moral atau mores dalam bahasa latin. KBBI menjelaskan etika
adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral. Fungsi etika adalah mencari ukuran atau tingkatan baik atau
buruknya tingkah laku manusia. Namun, dalam praktiknya etika mengalami
beberapa kendala seperti relatifnya tingkatan baik dan buruk bagi setipa manusia.
Objek material dari etika adalah tingkah laku dari manusia dan objek formal dari
etika adalah kebaikan atau keburukan.
Estetika berasal dari kata Yunani yaitu aisthetika atau aesthesis yang berarti
keindahan, Polemik estetika pada masa ini adalah pengkaitan estetika dengan nilai
keagamaan, kesusilaaan, dan hukum. Timbul pertanyaan seperti “Apa sebenarnya
ukuran keindahan itu dan perannya dalam kehidupan manusia? “ dan “bagaimana
hubungan antara keindahan dengan kebenaran?”

25
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, hal.3
26
Kunto Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, 2003

12
Ada tiga ahli yang berpendapat tentang estetika yaitu Marcia Eaton, Edmund
Burke serta Imanuel Kant. Marcia Eaton menyatakan estetika berkaitan dengan
deskripsi objek serta kejadian artistic, Edmund Burke mendefinisikan estetika
sebagai suatu konsep yang berkaitan dengan empiric atau sesuatu yang bersifat
objektif. Immanuel Kant berpendapat estetika merupakan konsep yang bersifat
subjektif meski manusia, pada taraf yang paling mendasar dan secara universal.27
Bahasan estetika memiliki bidang garapan diantaranya estetika filsafati dan
estetika ilmiah, estetika filsafati disebut juga filsafat keindahan, estetika
membahas, hakikat, akar dari ilmu seni, dan hasil dari perenungan. Sedangkan,
filsafat ilmiah cenderung mengacu pada ilmu pengetahuan mengenai kesenian,
ataupun estetika.

E. Penerapan Filsafat Ilmu


Penerapan filsafat ilmu merupakan hal yang paling rumit , bagian ini menjelaskan teori-
teori dalam ilmu filsafat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Penerapan ilmu
filsafsat ilmu akan berkaitan dengan tiga komponen penyangga ilmu pengetahuan yaitu
ontologi, epestomologi, dan aksiologi.

Pada bidang ontologi ilmu, akan ada pertanyaan tentang hakikat-hakikat ilmu tersebut
yang tak lepas dari bagaimana ilmu itu ada. Maka akan muncul pertanyaan seperti:

 Apa saja objek yang ditelaah ilmu tersebut?


 Bagaimana wujud dari objek tersebut?
 Bagaimana hubungan antara objektersebut dengan daya pikir manusia sehingga
memghasilkan sebuah pengetahuan?

Pada bidang epistemologi ilmu, akan ditekankan pertanyaan mengenai sumber, sarana
serta metode untuk menggapai sebuah ilmu pengetahuan tersbut, apabila dari proses ontology
suati ilmu dengan ilmu yang lain berbeda maka epistemology ilmu tersebut juga akan
berbeda. Pertanyaan tersebut berupa:

 Bagaimana proses ditimbanya ilmu tersebut?


 Bagaimana prosedurnya?

27
Sutardjo Wiramihardja. Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu
(Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi, 2006

13
 Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan untuk mencapai suatu kebenaran?28

Pada bidang aksiologi ilmu, akan ditekankan nilai-nilai ilmu tersebut termasuk kegunaan
ilmu serta manfaat ilmu tersebut dalam kehidupan manusia sebab ilmu tidak bebas nilai yaitu
harus memiliki manfaat. Pertanyaannya berupa:

 Apa kegunaan ilmu pengetahuan tersebut?


 Bagaimana hubungan antara cara penggunaan ilmu tersebut dengan kaidah moral?
 Bagaimana penentuan objek berdasarkan pilihan moral?
1. Penerapan Ontologi Ilmu
Dalam penerapan filsafat ilmu atau amal ilmiah dari filsafat ilmu dapat
dimunculkan sebagai model praktis yang memberikan model gambaran sederhana
tentang penerapan filsafat ilmu dalam kegiatan keilmuan.
Penerapan filsafat ilmu pengetahuan dalam pengembangan suatu ilmu
pengetahuan dapat dimulai dengan mengetahui landasan ontologis suatu ilmu
tersebut. Landasan ontologis memiliki arti yang penting dalam sebuah disiplin
ilmu pengetahuan, Karena pada haikikatnya sebuah ilmu secara ontologis
mengakaji realitas (das sein). Dalam konteka ini perlu dijawab “Apakah yang
membedakan penjelasan ilmiah dengan penjelasan lainnya?” Filasafat ilmu dalam
telaahannya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologies dalam suatu
ilmu. Landasan ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap
objek material ataupun objek formal? Apakah objek bersifat fisik atau psikis?
Secara garis besar ilmu memiliki tiga asumsi terhadap objek empiris.
Asumsi yang pertama adalah menganggap bahwa objek-objek tertentu
memiliki keserupaan dengan yang lain seperti, bentuk, struktur, sifat dan yang
lainnya. Karena kesamaan ini maka kita dapat mengelompokkan objek-objek
serupa dalam satu golongan. Contoh: Dalam dunia pendidikan, taksonomi bloom 29
membagi tujuan pendidikan menjadi tiga domain. Pertama kognitif, yang
berisikan perilaku yang menekankan aspek motorik, seperti pengetahuan dan
keterampilan berpikir. Kedua Affektif, berisikan kumpilan perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi seperti, minat dan sikap. Ketiga yaitu
psikomotorik yaitu kumpulan perilaku yang menekankan aspek motoric seperti
menulis, mengetik dan berenang.

28
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu…, h. 213
29
Benyamin Bloom, Taxonomy of Educational Objectives: Handboook 2, New York, 1956

14
Asumsi kedua tentang objek empiris adalah bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam waktu tertentu. Oleh karena itu ilmu hanya menuntut
adanya kelestarian yang relatif. Kelestarian yang relatif dalam jarak waktu tertentu
tersebut dapat memungkinkan kita untuk melakukan keilmuan terhadap objek
yang sedang diteliti. Sebagai contoh adalah dalam penghitungan kalor dalam
fisika.
Asumsi yang ketiga adalah determinisme yaitu adanya anggapan bahwa tiap
gejala bukan merupakan suatu kebetulan melainkan bersifat tetap dan memiliki
pola tertentu dengan urutan kejadian-kejadian yang sama. Deteminisme dalam
pengertian ilmu memeiliki konotasi yang bersiifar peluang (probablistik).30Namun
seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan
sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti
oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu
mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang)
yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Contoh, metode penyelesaian
deduktif nomologis, yang mengambil kesimpulan secara general universal dari
premis-premis yang ada.
2. Penerapan Epistemologis
Landasan Epistemologi berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu dan
sarana berpikir ilmiah lainnya, seperti bahasa, matematika dan statistika. Landasan
ini dating dari premis bahwa alam semesta ini tidak berbicara ia hanya
memanifestasikan diri dengan fakta-fakta sains.Adanya metode-metode
(mekanisme-mekanisme) tersebut ada untuk mempertanyakan alam semesta dan
untuk menerima jawaban darinya. Inilah fungsi metode ilmiah.

a. Pembentukan Post modern


Bidang epistemologi mengulas pertanyaan-pertanyaan antara
lain,”Apakah ilmu menjamin diperolehnya kebenaran?” dan “Apakah batas-
batas pengetahuan ilmiah itu?” Pada pertanyaan pertama diajukan pernyataan
bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu yang stabil atau yang sudah ada
melainkan senantiasa berubah. Dapat dilihat sebagai contoh adalah runtuhnya
aliran modernisme yang dihgantikan oleh postmodernisme. Postmodern
adalah sebuah aliran pemikiran baru yang merupakan antithesis dari
30
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, h 7-8

15
modernisme yang telah dianggap gagal dan tidak relevan terhadap
perkembangan zaman31. Modernisme adalah paham yang mengagungkan akal
budi serta rasionalitas manusia sebagai sumber dari ilmu pengetahuan,
modernisme mengingkari bahwa realitas alam serba majemuk, maka terjadi
penggeseran kebenaran dari kebeneran permanen, ke kebenaran prural. Dapat
diketahui bahwa yang dijamin kebenarannya hanyalah kebenaran ilmiah,
walaupun kebenaran ini bersifat nisbi atau relatif serta hanya merupakan
sebuah pendekatan ilmiah.

b. Eksperimen Islamisasi Sains


Munculnya sains islam merupakan salah satu kategori penerapan filsafat
ilmu, dalam hal ini terdapat kaitan dengan pertanyaan epitemologi yang kedua
yaitu, Apakah batas-batas pengetahuan ilmiah itu?” para ahli sejarah dan ahli
metodologi ilmiah berpendapat bahwa adanya jenis masalah walaupun
meskipun lahir dalam sains, namun melampaui batas sains tersebut. 32 Pada
titik itu kelahiran sebuah displin ilmu menjadi menarik karena memiliki
hubungan dengan bidang atau didiplin ilmu lain. Maka dapat dibilang bahwa
ilmu sains dapat muncul melalui dasar-dasar teks atau nash, seperti yang
terdapat dalam kitab suci. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa semua ilmu
pengetahuan didasarkan pada dua unsur utama yaitu tuhan dan alam semesta.
Apa yang diciptakan tuhan merupakan objek penelitian bagi umat manusia di
bumi. Adanya tuhan nenjadi fondasi utama segala segala realitas dan ilmu
pengetahuan. Terdapat tantangan yaitu penuhanan tuhan, bukan penuhanan
alam seperti sekulerisme. Permasalahan utamamya apakah dalam islamisasi
ada perihal khusus berkenaan dengan pengetahuan manusia. Apabila
pengetahuan memiliki kaitan dengan nilai keagamaan atau tujuan keagamaan ,
sehimgga bisa disebut pengetahuan itu islami. Namun, apabila bertentangan
dengan nilai keagamaan maka pengetahuan itu bisa disebut non
islami.Penggagas islamisasi ilmu pengetahuan, Raji al-Faruqi menetapkan
sasaran dari rencana kerja islamisasi diantanya, Pertama, menguasai disiplin-
dispilin modern, kedua, menguasai khazanah islam, dan ketiga menentukan
relevansi islam dalam setiap bidang ilmu modern.

31
Subangun, Postmodernisme, Bandung ,Angkasa, 1994, hal.4
32
Louis Leahy, Agama dalam konteks zaman ini, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997,32

16
c. Model pengukuhan argument keagamaan
Keberadaan argument dalam kitab suci, merupakan contoh bagaiman
prinsip epistemologis dapat diukuhkan melalui penerapan kaidah-kaidah
keilmuan. Terdapat dua macam ilmu agama dalam islam yaitu ushluddin dan
syariah. Ilmu agama tersebut tunduk dalam kaidah yang berlaku untuk segala
ilmu pengetahuan, yaitu ilmu memiliki sifat objektif dan subjektif. Yang
pertama menjelaskan bahwa ilmu yang keberedaan objeknya tidak perlu
pengetahuan tentang objek tersebut dan kedua menunjukkan bahwa ilmu yang
keberadaan suatu objeknya tergantung pengetahuan manusia tersebut. Kaidah-
kaidah ini merupakan prinsip epistemologis yang dapat memperkuat landasan
ilmu agama.Terdapat Ibnu Taymiyyah yang mengembangkan dua prinsip
dalam ilmu keagamaan yaitu, pertama yaitu prinsip konsistensi hukum yang
jelas dari penalaran terhadap hukum-hukum dari wahyu, kedua yaitu prinsip
dasar agama dan cabangnya yang telah dijelaskan oleh rasul. Dengan dua
prinsip tersbut akan menguatkan fondasi agama dan menguatkan kebenaran
ilmu agama.

17
F. Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan tentang filsafat ilmu di bagian sebelumnya, setidaknya
ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini.
Pertama, filsafat ilmu adalah sebuah refleksi yang bersifat bebas dan radikal
mengenai hakikat ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, dan kegunaan dari itu ilmu
sendiri. Hakikat ilmu dikaji lewat ontologi, metode yang digunakan dikaji dalam
epistemologi, dan kegunaan ilmu dikaji dalam aksiologi
Kedua, ontologi mengkaji sumber dari segala sesuatu yang benar dan real. Jika
dikaitkan dengan ilmu maka ontology akan mengkaji objek apa yang akan ditelaah oleh
ilmu. Aliran ontologi dibagi menjadi 2 yaitu aliran ontologi kuantitaif dan aliran ontologi
kualitatif.
Ketiga, epistemologi mempertanyakan bagaimana cara berpikir seseorang atau
bagaimana filsuf tersebut bisa sampai pada kesimpulan. Epistemologi akan mengkaji hal-
hal yang berkaitan dengan metode atau proses bagaimana ilmu bisa didapatkan jika
epistemologi dikaitkan dengan ilmu. Epistemologi dimulai dari Socrates, Plato, dan
Aristoteles lalu dilanjut menjadi 3 aliran terbesar yaitu rasionalisme, empirisme, dan
positivisme. Di era kontemporer, epistemology mulai membantah positivisme Comte
karena Comte terlalu menyempitkan kajian filsafat. Aliran terbesar yang membantah
adalah fenomenologi Husserl, hermeuneutika Gadamer, dan teori kritis Habermas.
Keempat, aksiologi digunakan untuk melihat kegunaan dari ilmu. Kegunaan atau nilai
dalam filsafat dibagi menjadi 2 teori yaitu teori etika dan teori estetika.
Kelima, penerapan ontologi membuat ilmu-ilmu bisa diklasifikasikan lewat
taksonomi. Dengan taksonomi bisa dikumpulkan ilmu-ilmu yang bersumber sama.
Dengan adanya ontologi dalam ilmu, bisa dikatakan juga bahwa benda tidak dapat
berubah dengan sendirinya melainkan harus ada pengubahnya terlebih dahulu. Selain itu,
penerapan ontologi juga membuat adanya penyelesaian baru yaitu penyelesaian deduktif-
nomologis,
Keenam, penerapan epistemologi membuat ilmu benar-benar berubah total, terlebih
karena adanya positivisme Comte. Epistemologi digunakan dalam ilmu untuk mengkritik
proses dari ilmu itu sendiri. Berkat kritik dari epistemologi, positiviseme Comte dapat
dibantah dan juga membuat ilmu keagamaan bisa menjadi sebuah ilmu.
Ketujuh, dengan dijelaskannya filsafat ilmu dapat dilihat bahwa filsafat ilmu bisa
membuat ilmu berkembang dan menjadi lebih mudah dipahami. Dengan adanya filsafat

18
ilmu, ilmu bisa diturunkan kepada generasi selanjutnya. Lalu mengapa ilmu harus
diturunkan? Karena Verhaak menjelaskan bahwa ilmu atau pengetahuan sangatlah
penting untuk dapat memahami alam dan sekitarnya.

19
G. Daftar Pustaka
Asya’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI
Bloom, Benyamin. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1. Cognitive
Domain. New York: David Mc Kay.
Burhanuddin, Nunu. 2018. Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana
Katsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Leahy, Louis. 1997. Agama Dalam Konteks Zaman Ini. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Macionis, John J. 2008. Sociology. Kenyon College.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar
Subangun. 1994. Postmodernisme. Bandung: Angkasa
Suriasumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Verhaak, C. 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia
Wibisono, Kunto. 2003. Hubungan Filsafat. Ilmu Pengetahuan Budaya
Wiramihardja, Sutardjo. 2006. Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat,
Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi
Webster’s New World Dictionary of the American Language. 1962. Cleveland and New
York: The World Publishing Company.

20

Anda mungkin juga menyukai