Anda di halaman 1dari 138

bukudiktathamadanpenyakittan

aman-130302221720-
phpapp02.doc

Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan


Fakultas Pertanian UGM
Yogyakarta

2010

1
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc.
Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.

Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah ini menguraikan Interaksi Tanaman dan Hama; Pendugaan Kehilangan
Hasil dan Ambang Pengendalian; Landasan Ekologi Pengelolaan Hama; Pengamatan dan
Pengambilan Sampel; Unsur dan Komponen Dasar PHT; Pengendalian dengan Varietas
Resisten, Pengembangan Tanaman Transgenik, Karantina Tumbuhan; Pengendalian
Hayati; Pengendalian Kimiawi; Pengelolaan Hama Tanaman Pangan, Hortikultura,
Perkebunan dan Pasca Panen; Kebijakan Perlindungan Tanaman.

Tujuan Instruksional Khusus:

Agar mahasiswa dapat:


1. Memahami dan menjelaskan pengertian + batasan hama tanaman, klasifikasi,
identifikasi, taksonomi dan sistematikanya.
2. Memahami dan menjelaskan gejala serangan, mengukur berat serangan dan tingkat
kerugian hasil yang diakibatkan oleh hama.
3. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis hama dan gejala serangan hama tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan hama pasca panen.
4. Memahami dan menjelaskan sifat dan kemampuan beradaptasi hama pada tingkat
individu.
5. Memahami dan menjelaskan faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi
populasi hama dan kerusakan yang diakibatkannya.
6. Memahami dan menjelaskan cara penentuan dan penggunaan Ambang Pengendalian
sebagai dasar rekomendasi pengendalian hama.
7. Memahami dan menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip PHT dan penerapannya untuk
berbagai jenis dan kelompok hama di pertanaman pangan, hortikultura, perkebunan
dan pasca panen.
8. Memahami dan menjelaskan beberapa kasus aktual lapangan yang berkaitan dengan
pengendalian hama-hama utama di Indonesia.

2
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 1
HAMA TANAMAN

Pokok Bahasan:
1. Beberapa batasan dan pengertian.
2. Arti penting hama tanaman untuk program pembangunan pertanian.
3. Data kerusakan dan sebaran beberapa hama utama di Indonesia.
4. Sebab-sebab muncul dan berkembangnya masalah hama tanaman.
5. Tujuan pengendalian hama dan pongelolaan hama.

Materi:

PERISTILAHAN

• Hama Tanaman
 Merujuk pada binatang yang menjadi HAMA yakni merusak tanaman dan merugikan
petani
 Selama binatang tersebut (serangga, tikus, nematoda, tungau, dll) mendatangkan
kerugian disebut HAMA TANAMAN
 Tetapi keberadaan binatang di tanaman tidak selalu mendatangkan
kerugian/kerusakan tanaman
 Banyak jenis binatang herbivora ada di pertanaman tetapi tidak semuanya menjadi
hama
 Di samping itu di ekosistem banyak sekali jenis binatang yang tidak merugikan
malahan menguntungkan seperti MUSUH ALAMI (parasitoid, predator), serangga
PENYERBUK TANAMAN (lebah, tawon) serangga-serangga netral seperti SEMUT,
dll.

Istilah HAMA merupakan istilah yang


ANTROPOSENTRIS artinya lebih berpusat
pada kepentingan manusia.
Bagaimana dengan istilah HAMA TUMBUHAN? Sebetulnya kurang tepat karena
TUMBUHAN adalah semua jenis tetumbuhan yang hidup di biosfir termasuk tumbuhan di
ekosistem alami atau tumbuhan yang tidak dibudidayakan manusia.
TANAMAN adalah tumbuhan yang diusahakan manusia untuk diambil manfaatnnya
bagi kehidupan manusia. Karena istilah HAMA pada dasarnya antropogenik, yang paling
tepat kita gabungkan istilahnya adalah HAMA TANAMAN, istilah HAMA TUMBUHAN
dapat juga dipakai meskipun kurang pas kombinasinya.

3
Kalau istilah PENYAKIT TUMBUHAN memang lebih tepat, karena PENYAKIT lebih
merujuk pada GEJALANYA. Tumbuhan sedang sakit, kondisi yang secara fisiologi tidak
normal, tidak sehat. Setiap jenis tumbuhan termasuk TANAMAN dapat sakit. Sakitnya
tumbuhan dapat disebabkan oleh karena infeksi jasad renik seperti virus, jamur, bakteri,
dll, tetapi sakitnya mungkin juga karena kondisi fisik/abiotik yang tak sesuai seperti suhu,
kering, basah, dll. Karena itu di Ilmu Penyakit Tumbuhan kita kenal Organisme Penyebab
Penyakit. Kalau hama merujuk pada binatang yang merugikan, penyakit merujuk pada
gejala tumbuhan yang SAKIT.
OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan istilah “formal/hukum
nasional” yang digunakan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman dan PP 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. Menurut UU tersebut:

“OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan”.

Digunakannya istilah OPT untuk mencakup semua kelompok pengganggu


tumbuhan termasuk HAMA, PENYAKIT dan GULMA. Tiga kelompok pengganggu
tumbuhan ini yang pengendalian atau pengelolaannya dicakup dalam bidang
PERLINDUNGAN TANAMAN. Namun harap diperhatikan bahwa definisi OPT menurut
UU ada perbedaannya dengan pengertian Hama Tanaman dan Penyakit Tumbuhan yang
sudah dijelaskan di depan. Teman-teman Fitopatologi banyak yang tidak sependapat
dengan istilah OPT.

Dilihat dari sisi ilmu-ilmu dasar pendukung Perlindungan Tanaman sbb:

HAMA TANAMAN :
- Entomologi (ilmu serangga)
- Nematologi (ilmu nematoda)
- Rodentologi (Ilmu rodent/tikus)
- Akarologi (ilmu akarina)
- dll
Karena sebagian besar hama termasuk kelompok serangga seringkali Ilmu Hama
diartikan entomologi.

PENYAKIT TUMBUHAN :
- Fitopatologi
- Virologi
- Mikologi
- dst

GULMA :
- Ilmu gulma

Dalam bahasa inggris Istilah PEST sebenarnya digunakan untuk seluruh kelompok OPT,
namun secara khusus sering diartikan untuk pengertian HAMA

HAMA TANAMAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN PROGRAM


PEMBANGUNAN PERTANIAN

4
Program Pembangunan Pertanian Nasional apakah dengan pola Pembangunan
Pertanian AGRIBISNIS atau program KETAHANAN PANGAN sangat ditentukan oleh
keberhasilan kita dalam mengendalikan, mengelola HAMA TANAMAN. Hal ini disebabkan
karena berbagai jenis HAMA dan atau OPT lainnya dapat menurunkan KUANTITAS dan
KUALITAS hasil-hasil pertanian, dan sangat sering MENGGAGALKAN PANEN,
menyebabkan PUSO, artinya 100% GAGAL. Serangan HAMA mengakibatkan:
1. Produksi TURUN (nasional, propinsi, lokal, tingkat petani)
2. Kualitas ANJLOK (mutu rendah-sulit dipasarkan-diekspor)
3. Harga produk MEROSOT
4. Biaya produksi NAIK
5. RUGI secara ekonomik (biaya lebih besar daripada pendapatan)
6. PENGHASILAN NEGARA/DAERAH (PAD) TURUN
7. PENGHASILAN TURUN ---- KESEJAHTERAAN PETANI MENURUN ----
KEMISKINAN MENINGKAT

Taksiran KASAR/KONSERVATIF. Rata-rata kehilangan hasil Produksi Pertanian


karena serangan OPT ± 30% dari potensi hasil --- kehilangan hasil karena HAMA sekitar
20 – 25%. HITUNG SENDIRI secara finansial berapa kerugian yang kita derita setiap
tahun karena hama-hama padi, bila produksi tahun 2003 itu diperkirakan 53 juta ton padi
kering panen. Jumlah itu setelah dikurangi 25% kehilangan hasil oleh OPT padi.
Menurut catatan DEPTAN 1997-2001, serangan OPT padi, jagung, kedelai sebesar
Rp 463 milyar /tahun. Tahun 1999 serangan OPT Perkebunan merugikan sebesar Rp 340
milyar. Serangan OPT Hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai,
kentang, kubis, tomat) diasumsikan rata-rata Rp 1,7 trilyun/tahun. Lihat juga tabel
keadaan serangan OPT di Indonesia pada tahun 2001-2002 (jenis dan luas serangan)
Mengingat potensi penurunan hasil akibat HAMA yang sangat besar kegiatan
Pengelolaan Hama menjadi BAGIAN PENTING - INTEGRAL dari setiap USAHA TANI
atau BUDIDAYA TANAMAN agar diperoleh Tingkat PRODUKSI dan KUALITAS produksi
yang DIINGINKAN baik oleh PEMERINTAH maupun PETANI – KELOMPOK TANI

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENINGKATAN SERANGAN DAN KERUSAKAN


OLEH HAMA

Masalah hama di suatu lokasi pada saat/musim tertentu tidak muncul begitu saja
tanpa penyebab atau faktor-faktor pendorong. Banyak faktor yang mendorong terus ada
dan meningkatnya masalah hama. Hampir seluruh faktor pendorong tersebut adalah
karena ulah/perbuatan/tindakan MANUSIA sehingga ekosistem pertanian menjadi sangat
sesuai bagi pertumbuhan, pembiakan dan kehidupan hama tanaman. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Penanaman monokultur (jenis tanaman atau varietas tanaman yang sama) sepanjang
waktu dan tempat, contoh padi
2. Penanaman jenis tanaman atau varietas tanaman yang peka hama tetapi unggul
produksi
3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami di
lokasi baru ---- KARANTINA gagal
4. Penggunaan masukan produksi yang berkelebihan seperti pupuk buatan, pestisida,
hormon tumbuh, pengairan dll.

5
5. Penggunaan pestisida kimia berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana,
terus-menerus dan berlebihan. Pestisida membunuh musuh alami, resistensi dan
resurjensi hama.
6. dll, termasuk terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim

KESIMPULANNYA: Masalah timbul, muncul dan terus ada karena manusia, jadi sering
disebutkan bahwa hama saat ini adalah “MAN-MADE PEST” (Hama buatan MANUSIA).
Tanpa ada kegiatan manusia tidak ada masalah hama.

TUJUAN PENGENDALIAN HAMA DAN PENGELOLAAN HAMA

Pada saat ini di kalangan petani, pejabat dan petugas pemerintah akademisi dan
masyarakat dikenal 3 istilah pemberantasan hama, pengendalian hama dan pengelolaan
hama.
Pemberantasan hama: adalah usaha memusnahkan, membunuh hama yang
umumnya dilakukan dengan pestisida kimia secara preventif, tidak memperhitungkan
keadaan hama di lapangan apakah sedang dalam kondisi populasi rendah atau tinggi,
pokoknya disemprot habis-habisan sampai petani merasa puas. Pemberantasan hama
yang mengakibatkan munculnya resisitensi hama dan letusan hama yang berkelanjutan
Pengendalian hama: lebih hati-hati daripada pemberantasan hama. Penggunaan
pestisida hanya dilakukan bila populasi hama telah membahayakan atau melampaui
ambang pengendalian atau ambang ekonomi. Bila populasi hama tidak membahayakan
tidak perlu dikendalikan dengan pestisida.
Pengelolaan hama: Lebih menekankan aspek pengelolaan ekosistem (tanaman,
tanah, mikroklimat, budidaya dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada
dalam keseimbangan dengan musuh alaminya sehingga hama tidak membahayakan, tak
perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida tetapi produksi tanaman tetap tinggi,
kualitas produksi baik
PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kebijakan Perlintan di Indonesia
berdasarkan UU No 12/1992 dan PP 6/1995. PHT adalah usaha pengelolaan
agroekosistem dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama (bercocok tanam,
fisik, mekanik, varietas resisten, pengendalian hayati, pengendalian kimia, dll) sedemikian
rupa sehingga populasi hama tetap berada di bawah Ambang Pengendalian.

6
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 2
INTERAKSI TANAMAN DAN HAMA

Interaksi antara tanaman dan hama dapat dilihat dari aspek EKOLOGIS dan
EKONOMIS. Dari sisi ekologi hubungan antara tanaman dan hama merupakan interaksi
yang saling mengendalikan antara tanaman yang autotroph dengan binatang
HERBIVORA yang heterotroph dalam suatu sistem trofi yang berjalan secara EFISIEN
dan berkesinambungan. Karena kemampuannya mengubah energi surya menjadi energi
biokimia melalui proses fotosistesis tanaman menempati aras trofi pertama sebagai
PRODUSEN. Energi pada tanaman digunakan oleh binatang yang memakan tanaman
(HERBIVORA) yang menempati aras trofi kedua sebagai KONSUMEN PERTAMA.
Binatang karnivora memperoleh energinya dengan memangsa herbivora sehingga
menempati aras trofi ketiga sebagai KONSUMEN KEDUA, demikian seterusnya. Aliran
energi di ekosistem melalui sistem trofi dapat dilihat pada gambar berikut:

Energi memasuki ekosistem sebagai


radiasi surya

EKOSISTEM
Produsen

Konsumen 1

Konsumen 2

Dekomposer

Energi keluar ekosistem


sebagai panas

Gambar 1. Aliran Energi dalam Ekosistem melalui Sistem Trofi

Aras Istilah
trofi Ekosistem Antroposentris
1 Tumbuhan Tanaman
2 Herbivora Hama tanaman
3 Karnivora 1 Predator, parasitoid (musuh alami)
7
4 Karnivora 2 Predator, hiperparasitoid

Perlu diperhatikan bahwa di ekosistem termasuk ekosistem persaingan interaksi


antara organisme yang menempati aras trofi yang sama atau antar aras trofi sangat
kompleks, dan dinamis melalui proses evolusi dan koevolusi. Tujuan interaksi sebenarnya
adalah terjadinya keseimbangan dan kestabilan ekosistem. Masalah ini akan dibahas
pada kuliah dua minggu lagi.
Aspek EKONOMIS

Adanya populasi serangga/hama di suatu tanaman akan menimbulkan LUKA


(“injury”) pada tanaman. Luka adalah setiap bentuk penyimpangan fisiologis tanaman
sebagai akibat aktivitas serangga hama yang hidup, berada dan makan pada tanaman
tersebut.
Luka tanaman dapat mengakibatkan terjadinya KERUSAKAN (“damage”).
Kerusakan adalah kehilangan hasil yang dirasakan oleh tanaman (petani) akibat adanya
populasi hama atau serangan hama antara lain dalam bentuk penurunan kuantitas dan
kualitas hasil.
Pengertian dan istilah LUKA lebih terpusat pada HAMA dan AKTIVITASNYA,
sedangkan KERUSAKAN lebih terpusat pada TANAMAN dan respon tanaman terhadap
pelukaan oleh hama.
Istilah-istilah lain berkaitan dengan hama dan tanaman yang saat ini digunakan
dalam kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh para petugas pengamat lapangan ( dulu
namanya PHP- Pengamat Hama dan Penyakit, sekarang namanya POPT- Pengendali
OPT).
1. Tanaman terserang adalah tanaman yang digunakan sebagai tempat hidup dan
berkembang biak OPT dan atau mengalami kerusakan karena serangan OPT pada
tingkat populasi OPT atau intensitas kerusakan tertentu sesuai dengan jenis OPT nya
2. Luas serangan: adalah luas tanaman terserang yang dinyatakan dalam hektar atau
rumpun atau pohon
3. Intensitas serangan: adalah derajat serangan OPT atau derajat kerusakan tanaman
yang disebabkan oleh OPT yang dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif.
a. Intensitas serangan secara kuantitatif dinyatakan dalam % (persen) bagian
tanaman/tanaman atau persen kelompok tanaman terserang. Intensitas serangan
dalam % dilaporkan oleh PHP
b. Intensitas serangan secara kualitatif dibagi menjadi 4 kategori serangan yaitu:
ringan, sedang, berat dan puso. Kategori serangan dilaporkan oleh koordinator
PHP, BPTPH.
Adapun kategori intensitas serangan serangga hama secara umum dapat digunakan
pedoman sbb:
a. Serangan ringan bila derajat serangan <25%
b. Serangan sedang bila derajat serangan 25-50%
c. Serangan berat bila derajat serangan 50-90%
d. Serangan puso bila derajat serangan >90 %

CARA PELUKAAN TANAMAN OLEH SERANGGA

A. Luka Oleh Serangga Pada Tanaman Yang Sedang Tumbuh


1. Luka oleh serangga penggigit
2. Luka oleh serangga pencucuk pengisap
8
3. Luka oleh serangga yang makan di dalam jaringan tanaman (internal feeders)
termasuk penggerek, pengorok dan pembuat puru
4. Luka oleh serangga-serangga tanah
5. Luka oleh serangga yang sedang meletakkan telur dan membuat sarang
6. Luka oleh serangga-serangga yang “memperhatikan” serangga-serangga lain
7. Luka oleh serangga sebagai vektor/pengantar penyakit tumbuhan

Berbagai bentuk luka oleh serangga pada tanaman yang biasa kita catat sebagai
GEJALA SERANGAN hama.

9
FAKTOR-FAKTOR
BIOTIK DAN ABIOTIK

Populasi Populasi KEHILANGAN KERUGIAN


LUKA KERUSAKAN HASIL DAN EKONOMIK
Hama Tanama
KUALITAS PETANI
n

TINDAKAN MANUSIA

Keterangan :
Hasil interaksi antara populasi hama dan tanaman mengakibatkan luka pada tanaman, luka mengakibatkan kerusakan dan kerusakan tanaman
karena hama menyebabkan terjadinya kehilangan atau penurunan hasil tanaman dan kualitas produk/hasil. Kehilangan hasil dapat berakibat
pada kerugian ekonomi (biaya lebih besar daripada nilai produksi) yang dialami petani atau pengusaha pertanian. Hasil interaksi populasi hama
dan populasi tanmaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik lainnya dan faktor-faktor abiotik dan terutama oleh tindakan manusia terhadap
ekosistem

Gambar 2. Interaksi antara Populasi Hama dan Tanaman

10
B. Luka Oleh Serangga Pada Manusia Dan Binatang Lain

C. Serangga Sebagai Perusak Produk Di Gudang Dan Bahan-Bahan Lain

D. Metode Pendugaan Kerusakan Tanaman Oleh Hama


Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan tanaman
dan kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan dengan menghitung
atau mengukur luka atau gejala yang ditinggalkan atau diakibatkan oleh hama.
Beberapa pengukuran yang sering digunakan adalah terhadap tanaman atau
bagian tanaman antara lain seperti:
1. Keseluruhan tanaman
Jumlah atau % tanaman mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan
hama tertentu
2. Daun
Adanya kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya diukur dengan
menggunakan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun
3. Batang
• Jumlah atau % puru, sundep, beluk
• Jumlah lubang keluar
• Panjang lubang gerekan
• Luka potongan batang oleh ulat
4. Buah dan benih
• Jumlah lubang atau luka di buah
• Jumlah atau % buah rusak seperti terserang PBK (Penggerek Buah Kakao)
dan PBKo (Penggerek Buah Kopi)
5. Akar
• Panjang, berat kering atau volume perakaran yang terserang hama
• Luas kerusakan umbi seperti pada tanaman kentang.

bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 3
9
PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL

Pokok Bahasan:
A. Pendugaan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama (Crop Loss Assesment)
B. Penggunaan Ambang Pengendalian sebagai tingkat pengambilan keputusan
penggunaan PESTISIDA

Materi:
Pendugaan kehilangan hasil adalah usaha untuk menduga, menaksir bahkan
meramal tentang kerugian ekonomi yang mungkin akan dialami oleh petani,
perusahaan pertanian, pemerintah atau pengusaha agribisnis karena adanya
serangan hama pada pertanaman yang mereka budidayakan. Dengan melakukan
pendugaan kehilangan hasil para produsen pertanian dapat menentukan beberapa
hal:
 Apakah keberadaan populasi hama di lahannya akan merugikan atau
menurunkan hasil usahanya dalam kisaran toleransi ekonominya. Bila masih
berada pada kisaran toleransi petani tidak perlu melakukan tindakan
pengendalian atau mengeluarkan biaya untuk pengendalain.
 Apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau pencegahan hama. Apabila
perlu berapa besar biaya pengendalian yang harus dikeluarkan. Tentunya petani
tidak akan mengeluarkan biaya pengendalian sampai melebihi nilai kehilangan
hasil
 Bila petani sudah memutuskan perlu dilakukan tindakan pengendalian, teknik
pengendalian mana yang akan digunakan apakah dengan cara kimiawi dengan
pestisida kimia atau dengan secara hayati menggunakan musuh alami, atau
menggunakaan varietas tanaman tahan hama dan seterusnya. Dalam
menetapkan teknik pengendalian hama yang akan dilakukan petani/produsen
adalah mempertimbangkan beberapa faktor yaitu a) efektivitas pengendalian, b)
biaya pengendalian, dan c) risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan
lingkungan hidup.
Pendugaan kehilangan hasil juga akan digunakan untuk menentukan berapa
nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi yang
akan kita bahas pada akhir kuliah ini.

Siapa yang memerlukan Kehilangan Hasil?


Banyak pihak yang memerlukan data pendugaan kehilangan hasil, diantaranya:
1. Petani secara perseorangan (untuk petak dan lahan miliknya sendiri) atau
secara berkelompok (untuk hamparan sawah/lahan). Satu kelompok hamparan
besarnya terdiri dari 20-30 petani.
2. Pemeriantah Daerah dan Pemerintah Pusat, biasaya melalui Dinas Pertanian
Kabupaten dan Departemen Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen
Tanaman Hortikultura dan Ditjen Perkebunan.
3. Pengusaha Pertanian misal PT Perkebunan milik Pemerintah, PT Pagilaran
milik Fak. Pertanian UGM, dst.

10
CARA PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL

Untuk menghitung kehilangan hasil dalam bentuk satuan berat (ton/ha) atau
satuan rupiah (Rp/ha) secara TEPAT jelas sangat sulit dan tidak mungkin, karena
tidak mungkin kita mengukur dan menghitung semua lahan yang ada baik milik
petani dan kelompok tani maupun lahan pertanaman tertentu di suatu daerah
(desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional). Yang dapat kita lakukan adalah
melakukan PENDUGAAN, kata-kata lain ESTIMASI, PENAKSIRAN, berdasarkan
data hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan/petak
sawah/tanaman/pohon/rumpun yang digunakan sebagai SAMPEL, CONTOH yang
mewakili.
Untuk memperoleh taksiran kehilangan hasil untuk suatu petak atau
hamparan/sawah atau suatu daerah kita harus mempunyai data seperti:
1. Luas serangan – LSR (dalam ha)
2. Intensitas serangan – ISR (dalam % rumpun/tanaman terserang)
a
ISR = --------------------- x 100%
a + b

a: jumlah rumpun/batang terserang


b: jumlah rumpun/batang tak terserang
3. Hubungan antara intensitas serangan dengan hasil tanaman yang diperoleh dari
pengalaman petani atau dari hasil penelitian.
Suatu contoh:
Hasil Tanaman (ton/ha)

10

Gambar 3. Hubungan antara Intensitas Serangan Hama dengan Hasil Tanaman


2
Dari fungsi ini kita mengetahui dugaan hasil tanaman atau produksi tanaman
dalam kondisi intensitas serangan (%) tertentu, katakan 50% intensitas
serangan, produksi atau hasil tanaman
20 adalah
50 6 ton/ha.
80 100 Kita sebut Produksi
Tanaman Terserang (PTT) Intensitas serangan (%)
4. Dari fungsi ini kita ketahui bahwa hasil tanaman yang tidak terserang hama atau
produksi tanaman sehat (PTS) adalah 9,5 ton/ha.
5. Harga dari produk/hasil tanaman pada tingkat petani katakan Rp 1000/kg atau
Rp 1 juta/ton (HG)

11
6. Kehilangan hasil (KH) dalam satuan berat (ton) = Luas serangan (LSR) x
Produksi Tanaman Sehat (PTS) --- Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman
Terserang (PTT)
7. Nilai kehilangan hasil (NKH) dalam rupiah = Harga produk (HG) x KH
Suatu contoh: Untuk hama padi di suatu kecamatan ternyata LSR 500 ha. PTT= 6
ton/ha. PTS = 9,5 ton/ha dan harga padi kering panen (HG) Rp 1500/kg.

KH = (LSR x PTS) – (LSR x PTT)


= (500 x 9,5) – (500 x 6)
= 4750 – 3000 ton
= Rp 2.625.000.000
= Rp 2,625 milyar
Dengan perhitungan tersebut secara kasar kita dapat mengetahui seberapa
besar kerugian yang dialami oleh petani, masyarakat dan pemerintah akibat
terjadinya serangan hama tertentu.
Dari cara penghitungan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa untuk
menduga kehilangan hasil kita memerlukan hubungan fungsional antara populasi
hama atau intensitas serangan (%) dengan hasil. Tanpa informasi tentang
hubungan ini kita tidak dapat menduga/menaksir berapa hasil tanaman yang akan
diperoleh bila terserang hama pada intensitas serangan atau populasi hama
tertentu. Untuk memperoleh fungsi tersebut perlu dilakukan percobaan pengamatan
langsung di lapangan. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan antara lain:
1. Cara pertama adalah dengan cara ALAMI yaitu dengan:
Mengamati beberapa petak sawah dengan menghitung berapa populasi hama
atau intensitas serangan hama tertentu. Misal pada petak pertama intensitas
serangan 5%, petak kedua 20%, petak ketiga 40%, petak keempat 60%, petak
kelima 80%, dan petak keenam puso atau 95%. Pada waktu panen kita lakukan
ubinan hasil pada semua 6 petak tersebut. Dari langkah pertama dan kedua
tersebut kita dapat memperoleh fungsi hubungan intensitas serangan dan hasil.
2. Namun seringkali di lapangan kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan
petak-petak sawah yang memiliki kisaran lebar dalam kepadatan populasi hama
atau intensitas serangan seperti contoh di atas. Untuk memperoleh intensitas
serangan atau populasi hama yang berbeda seringkali kita lakukan secara
BUATAN yaitu dengan menginfestasikan hama dalam pertanaman yang
dikurung dalam suatu kasa yang selebar petak sawah. Dengan melakukan
infestasi hama kita dapat mengatur berapa kepadatan populasi atau intensitas
serangan yang kita inginkan.
3. Cara ketiga merupakan cara yang paling murah tetapi tidak teliti yaitu dari data
EMPIRIK atau pengalaman dari petani kita lakukan wawancara pada petani
yang sudah lama berpengalaman menghadapi masalah hama tertentu yang
menyerang tanaman atau komoditas pertanian yang mereka usahakan. Kita
tanyakan pada para petani berapa produksi tanaman yang mereka dapatkan
dalam kondisi intensitas serangan hama rendah, sedang, tinggi dan puso, serta
berapa produksi tanaman dalam kondisi sehat atau tidak terserang hama. Dari
data empirik petani akhirnya kita dapat memperoleh hubungan fungsional antara
intensitas serangan dan hasil. Cara ini mudah kita lakukan, tetapi sulitnya tidak
semua petani ingat apalagi menyimpan data serangan hama dan kerusakan
yang pernah mereka alami.
12
PENETAPAN AMBANG PENGENDALIAN

Dalam konsep PHT kita kenal beberapa istilah yang arti dan fungsinya sama yaitu:
1. Ambang Ekonomi (AE) “Economic Threshold”
2. Ambang Kendali (AK) “Economic Threshold” atau Ambang Pengendalian
“Control Threshold”
3. Ambang Tindakan (AT) “Action Threshold”
Artinya adalah suatu aras (tingkat) kepadatan populasi hama atau intensitas
serangan hama yang membenarkan dimulainya penggunaan PESTISIDA untuk
pengendalian hama. Tujuan penggunaan pestisida adalah menurunkan populasi
hama sampai di bawah AE agar
Populasi Hama atau Intensitas Serangan

PESTISIDA ARAS LUKA EKONOMI

AMBANG EKONOMI

ARAS KESEIMBANGAN UMUM

20 40 60 80 100
WAKTU (hari)

Gambar 4. Populasi Hama dan letak Aras Luka Ekonomi, Ambang Ekonomi dan
Aras Keseimbangan Umum pada Keadaan Normal

dapat dikendalikan secara alami oleh kompleks musuh alami sehingga populasi
hama tetap berkisar sekitar aras keseimbangan umum (Gambar 4).
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan gejolak populasi
hama sepanjang musim tanam pestisida hanya diaplikasikan satu kali yaitu pada
waktu populasi melampaui AE. Dengan demikian penggunaan pestisida dapat

13
dihemat, petani tak perlu menggunakan pestisida secara berjadwal seperti
seminggu sekali, atau pada umur 15, 20, 45, 60 HST (hari setelah tanam). Namun
untuk melaksanakan prinsip tersebut ada dua syarat penting yaitu:
1. Harus dilakukan pengamatan secara berkala (katakan seminggu sekali)
2. Harus ada ketentuan mengenai berapa besar nilai AE/AK/AT tersebut
Dengan demikian untuk setiap jenis hama yang menyerang komoditas
tertentu harus mempunyai nilai AEnya masing-masing bahkan pada prinsipnya nilai
AE suatu jenis hama tidak tetap, tidak sama dari satu tempat/lokasi ke tempat lain
dari waktu ke waktu lain. Artinya nilai AE dinamis, tidak seragam. Yang menetapkan
nilai AE yang paling baik adalah petani/kelompok tani sendiri yang berlaku untuk
spesifik lahannya masing-masing. Saat ini karena petani banyak yang belum
mampu nilai AE lebih sering mengikuti ketetapan atau rekomendasi pemerintah
atau rekomendasi peneliti sehingga nilai AE cenderung seragam. Mungkin untuk
sementara keadaan tersebut dapat berjalan tetapi harus diikuti dengan melakukan
pelatihan pada petani untuk mengembangkan dan menetapkan AE nya sendiri.
Biasanya petani menerima rekomendasi AE dari para PPL atau PHP (Pengamat
Hama dan Penyakit).
Suatu contoh untuk tanaman padi:
AE wereng coklat : 5 nimfa + dewasa/rumpun padi pada fase vegetatif
10 nimfa + dewasa /rumpun pada fase generatif
AE penggerek batang: 30% intensitas serangan pada fase vegetatif
10% intensitas serangan pada fase generatif
(lihat lampiran)

CARA PENETAPAN/PENGHITUNGAN AE

Ada beberapa cara penentuan AE yang dapat kita lakukan:


1. Cara empirik atau berdasar pengalaman dari petani, peneliti atau petugas
lapangan yang sudah lama menekuni dan merasakan tentang kerusakan atau
kerugian yang diakibatkan oleh serangan hama tertentu pada komoditas yang
diusahakan. Berdasarkan data empirik/pengalaman selama bertahun-tahun
dapat diperoleh informasi tentang pada aras populasi atau intensitas serangan
berapa hama tersebut mulai dirasakan merugikan secara ekonomi. Pada aras
populasi mulai merugikan tersebut. AE/AK/AT hama berbeda. Karena itu
AE/AK/AT ini dapat kita namakan sebagai AE petani atau Ambang Petani saja.
Untuk lebih jelasnya secara grafik data empirik tentang aras
populasi/intensitas serangan dan hasil dapat dilihat pada gambar 5. Perhatikan
sampai populasi 5 larva belum terjadi penurunan hasil sehingga petani masih
bisa mentoleransikan tetapi pada populasi 7 petani sudah mulai merasakan
kerugian ekonomi. Pada keadaan kurve pengalaman petani demikian, maka
AE/AK/AT petani adalah 7 larva/rumpun.
Karena pengalaman dan perasaan petani berbeda-beda kita akan
memperoleh AE yang sangat khas/spesifik lokasi, spesifik petani sehingga
menjadi variatif dan tidak seragam. Dengan pengalaman yang bertambah dan
tingkat toleransi yang semakin baik, petani akan selalu menyesuaikan atau
memperbarui nilai AE nya!

14
Hasil (kuintal/ha)
Mulai terjadi
kerugian ekonomik

AE
petani

Gambar 5. 5 7 10 20 30
Hubungan Populasi Populasi hama larva/rumpun
Hama dengan Hasil

2. Cara Penelitian
Penetapan AE melalui penelitian dilakukan oleh para peneliti yang khusus ingin
mengetahui berapa AE pada suatu jenis hama pada komoditas tertentu.
Biasanya sasaran kegiatan penelitian adalah memperoleh nilai ALE (Aras Luka
Ekonomi) dan dari nilai ALE dihitung AE yang besarnya ¾ atau 2/3 ALE. ALE
dihitung dengan menggunakan titik impas/BEP (Break Even Point). ALE adalah
suatu populasi atau intensitas serangan dimana nilai kehilangan hasil (dalam
Rp) yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan
pestisida sama dengan total baya pengendalian (dalam Rp).
BP
ALE = ------------------
HG x LT x BK
dimana
BP = Biaya pengendalian (Rp/ha)
HG= Harga produk (Rp/kg)
LT = Luka tanaman yang diakibatkan oleh satu individu hama
BK = Berat kerusakan tanaman per unit luka tanaman

Untuk memperoleh LT dan BK perlu dilakukan serangkaian percobaan di lapangan,


di rumah kasa atau di laboratorium.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALE DAN AE

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE termasuk jenis varietas
tanaman, fase tumbuh tanaman, instar hama, lokasi pertanaman, dll.
Dari sekian banyak faktor, 4 faktor yang paling penting yaitu:
1. Harga produk
2. Biaya pengendalian
3. Derajat luka yang diakibatkan oleh individu hama
4. Kepekaan tanaman terhadap serangan hama
Perhatikan Gambar 6 di bawah. Apa artinya?
15
ALE/AE

ALE/AE
Harga Produk Biaya Pengendalian

Gambar 6. Hubungan antara Harga Produk dan Biaya Pengendalian dengan


ALE/AE

Kita harus mengetahui bahwa semakin tinggi ALE/AE penggunaan pestisida


menjadi semakin jarang atau semakin sedikit, semakin rendah ALE/AE semakin
sering/banyak penyemprotan pestisida dilakukan.
Bagan alir sistem keputusan pengelolaan hama yang menunjukkan letak
pendugaan populasi hama atau infestasi serangan hama dan pendugaan
kehilangan hasil serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar
7.
Dari ketetapan-ketetapan pada gambar dapat disimpulkan bahwa untuk
melakukan pendugaan kehilangan hasil serta menetapkan dan menerapkan
AE/AK/AT diperlukan kerjasama lintas disiplin ilmu (misal ilmu-ilmu perlintan,
ekonomi, sosiologi, agronomi, statistis, dll) dan lintas sektor. Tidak dapat dilakukan
oleh orang-orang/pakar perlintan.

16
Pendugaan

Infestasi Pengamatan hama

Pengaruh (i) pada hasil (y) Percobaan Pendugaan


kehilangan
hasil Pengaruh
pengendalian
terhadap (i)
Hasil (y)

AE /AT / AK

? Apa lebih
besar dari
AE?
tidak ya

Tak perlu Kendalikan


dikendalikan dengan pestisida

Gambar 7. Bagan Alir Sistem Keputusan Pengelolaan Hama

bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 4
LANDASAN EKOLOGI PENGELOLAAN HAMA

Tujuan:
1. Mengetahui dua model pertumbuhan populasi organisme
2. Mengetahui model dinamika populasi hama
3. Mengetahui mekanisme pengendalian alami dan pengaruh faktor abiotik dan
biotik
4. Mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap dinamika populasi hama

Materi:
Dari kuliah sebelumnya kita mengetahui bahwa keberadaan populasi hama
di pertanaman dan di ekosistem menentukan seberapa besar kerusakan tanaman
dan kerugian ekonomi yang dialami oleh petani atau pengusaha pertanian lainnya.
Juga kita ketahui bahwa populasi hama sepanjang musim tanam dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat tidak tetap tetapi DINAMIS, naik turun, berfluktuasi
sekitar suatu garis atau posisi keseimbangan umum (General Equilibrium Position).

17
Banyak faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi dinamika populasi hama.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat melakukan pengelolaan hama
yang efektif dan efisien. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan pengelolaan hama
bukan untuk membasmi hama, memberantas hama sampai habis tetapi
mempertahankan populasi hama di pertanaman tetap berada di bawah AE/AK/AT
atau pada aras yang secara ekonomi tidak merugikan. Perhatikan gambar tentang
posisi AE, ALE dan Garis keseimbangan pada kuliah minggu yang lalu.
Diharapkan para mahasiswa setelah kuliah ini dapat menjawab pertanyaan:
Apa sebabnya kita tidak mungkin melakukan pembasmian atau pemusnahan hama
seperti banyak orang harapkan?
Pada prinsipnya keberadaan dan perkembangan populasi hama dan
populasi organisme lainnya ditentukan oleh dua kekuatan yaitu:
1. POTENSI BIOTIK atau "Biotic Potential" dan
2. PERLAWANAN LINGKUNGAN atau "Environmental Resistance"
Yang disebut POTENSI BIOTIK adalah kemampuan suatu organisme untuk
tetap hidup dan berkembang biak. Kalau kita perhatikan kelompok serangga,
organisme ini mempunyai potensi biotik yang sangat besar dan kemampuan
berbiak sangat cepat. Dengan siklus hidup pendek, ukuran tubuh kecil dan
kemampuan bertahan hidup yang tinggi maka populasi serangga sangat cepat
meningkat sehingga dalam waktu sebentar saja dapat memenuhi permukaan bumi
ini. Apabila suatu organisme berkembang sepenuhnya sesuai dengan kemampuan
hayati (potensi biotik)nya, maka pertumbuhan populasi organisme tersebut akan
mengikuti model pertumbuhan ekponensial atau pertumbuhan geometrik seperti
Gambar 8.
dN
--- = r N = ( b – d ) N
dt
N = populasi
r = laju pertumbuhan populasi intrinsik
b = laju kelahiran
d = laju kematian
t = waktu
Populasi
(N)

18
Waktu (t)
Gambar 8. Pertumbuhan Populasi Organisme Mengikuti Model Pertumbuhan
Ekponensial atau Geometrik

Di dunia saat ini satu-satunya organisme yang populasinya tumbuh secara


eksponensial adalah MANUSIA. Di alam populasi organisme tidak dapat meningkat
secara eksponensial karena adanya kekuatan lain yang me"lawan" atau
meng"hambat" yang kita namakan Perlawanan Lingkungan atau Hambatan
Lingkungan. Kekuatan ini yang akan menghambat populasi suatu organisme untuk
bertambah dan meningkat sesuai dengan kemampuan biotiknya. Karena itu model
pertumbuhan populasi yang lebih cocok adalah model pertumbuhan logistik seperti
Gambar 9. Populasi
(N)

Waktu
(t)

Gambar 9. Model Pertumbuhan Populasi Logistik

dN K-N
--- = r N ( ----- )
dt K
N = populasi
t = waktu
r = laju pertumbuhan populasi
K = asimtot atas atau nilai N maksimum

Kurve tersebut menunjukkan model pertumbuhan secara matematik. Kalau


kita bandingkan dengan data lapangan populasi suatu organisme, kita memperoleh
gambaran dinamika populasi yang mirip dengan pertumbuhan logistik terutama
pada daerah I dan II seperti Gambar 10.
Menurut gambar tersebut pertumbuhan populasi organisme dapat kita bagi
menjadi 5 daerah. Daerah I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh
secara sigmoid. Periode ini terdiri dari tahap pembentukan populasi (A),
pertumbuhan cepat secara eksponensial (B) serta tahap menuju keseimbangan (C).
Daerah II merupakan pencapaian aras keseimbangan yang merupakan garis
asimtot kurve sigmoid. Pada tahap ini populasi telah mencapai stabilitas numerik.
19
Setelah daerah II tercapai kemudian populasi bergejolak sekitar aras keseimbangan
yaitu pada daerah III. Daerah III merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi.
Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara
simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang
tidak simetris. Daerah III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada
berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang bekerja pada populasi
organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak
berfungsi lagi, terjadilah daerah IV yang merupakan periode penurunan populasi
atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut kemudian akan
terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu daerah V yang merupakan
periode kepunahan populasi.
Populasi
(N)

A B C Waktu (t)

I II III IV V
Gambar 10. Pertumbuhan Populasi Organisme yang Terbagi menjadi 5 Tingkat

Adanya kekuatan Hambatan Lingkungan terhadap pertumbuhan populasi


organisme dalam kondisi oskilasi dan fluktuasi di sekitar aras keseimbangan umum
seperti yang terjadi di daerah III. Di daerah III terjadi mekanisme keseimbangan
populasi oleh bekerjanya berbagai faktor abiotik dan biotik yang secara bersama
kita sebut sebagai faktor PENGENDALI ALAMI.
FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN DAN FAKTOR BEBAS KEPADATAN

Dilihat dari proses pengendalian dan pengaturan populasi organisme, maka


berbagai faktor hambatan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi Faktor
Tergantung Kepadatan Populasi (FTK) atau "Density Dependent Factors" dan
Faktor Bebas Kepadatan Populasi (FBK) atau "Density Independent Factors".
Pengelompokan ini lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan cara
pengelompokan lainnya. Bagan berikut menunjukkan faktor-faktor yang termasuk
dalam FTK dan FBK.

Faktor Tergantung Kepadatan

20
Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang
mempunyai sifat penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat
pada waktu populasi semakin tinggi, dan sebaliknya penekanan lebih longgar pada
waktu populasi semakin rendah. Kalau dihubungkan antara mortalitas yang
disebabkan oleh faktor FTK dengan populasi hama misalnya dapat diperoleh garis
regresi (Gambar 11).
Mortalitas
Mortalitas
Laju

Populasi

Gambar 11. Hubungan antara populasi dan mortalitas yang disebabkan oleh
Faktor Tergantung Kepadatan

Faktor tergantung kepadatan terbagi menjadi faktor yang timbal balik dan
tidak timbal balik. FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti
predator, parasitoid, dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan
antara populasi dan mortalitas oleh FTK dapat berjalan dari kedua arah. Apabila
populasi spesies A meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh predator B
akan semakin meningkat, antara lain dengan meningkatnya predasi dan jumlah
predator B. Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun mortalitas oleh
predator dan jumlah predator juga menurun. Dengan demikian perubahan populasi
spesies A akan selalu diikuti dengan perubahan kepadatan populasi predator B
(Gambar 12).
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya
terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk
makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai
berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya
terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk
makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai
berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar individu untuk memperoleh
makanan dan ruang semakin kuat sehingga mortalitas A menjadi meningkat, dan
demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa apabila populasi A
meningkat kemudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah pouplasi A
menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda dengan kelompok musuh alami,
hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritorialitas termasuk dalam
FTK yang tidak timbal balik.

21
PENGENDALIAN
ALAMI

FAKTOR BEBAS FAKTOR


KEPADATAN TERGANTUNG
KEPADATAN

FISIK BIOLOGI TIDAK TIMBAL


TIMBAL BALIK
Tanah Ketersediaan BALIK Musuh
Suhu alami
inang -Parasitoid
Kebasahan Makanan
Pergerakan Kualitas Ruang -Predator
air makanan Teritorial -Patogen
-Herbivora
Populasi

FTK dan
Gambar 12. Komponen Pengendalian Alami yang Tergantung Kepadatan
Bebas Kepadatan
Aras Keseimbangan

FBK

FBK

FTK

22
Waktu
Gambar 13. Gejolak populasi sekitar aras keseimbangan umum, dan bekerjanya
FTK dan FBK.

Persediaan Makanan Jumlah Predator


Predator Meningkat Meningkat

Jumlah Inang Jumlah Inang


Meningkat Meningkat

Jumlah Inang Termakan Titik Imbang Jumlah Inang Termakan


Predator-Inang
Berkurang Meningkat

Jumalah Inang Jumalah Inang


Berkurang Berkurang

Jumlah Predator Persediaan Makanan


Berkurang Predator Berkurang

Gambar 14. Mekanisme Umpan Balik pada Pengaturan Populasi Spesies A oleh
Predator
Mortalitas

FBK

POPULASI

23
Gambar 15. Hubungan antara populasi organisme dan mortalitas akibat Faktor
Bebas Kepadatan.

Faktor Bebas Kepadatan


Faktor Bebas dari Kepadatan (FBK) atau "Density Independent Factor"
merupakan faktor mortalitas yang daya penekanannya terhadap populasi
organisme tidak tergantung pada kepadatan populasi organisme tersebut. Faktor
abiotik seperti suhu, kebasahan, angin merupakan FBK yang penting.
FBK kadang kala dapat membawa populasi semakin menjauh (lebih atau
kurang) dari aras keseimbangan. Misal bila keadaan suhu tidak sesuai bagi
kehidupan serangga dapat mengakibatkan populasi serangga menurun menjauhi
garis keseimbangannya. Setelah hal itu terjadi faktor FBK akan bekerja
mengangkat kembali populasi ke aras keseimbangannya. Bila keadaan cuaca
sangat menguntungkan bagi kehidupan dan perkembanganbiakan suatu hama,
dapat mendorong populasi hama tersebut meningkat cepat menjauhi aras
keseimbangannya. Namun, peningkatan populasi tersebut juga tidak akan berjalan
terus, karena FTK seperti musuh alami akan mengencangkan penekanannya
sehingga populasi kembali lagi ke aras keseimbangannya.
Dr. CLARK mengelompokkan beberapa penyebab mortalitas (kematian)
serangga menjadi 7 kelompok yaitu:
1. Umur: menjadi tua atau "aging"
2. Vitalitas rendah: kemampuan serangga dalam menghadapi faktor-faktor
lingkungan yang jelek seperti cuaca ekstrim
3. Kecelakaan: adanya peristiwa-peristiwa yang tidak normal (fisiologi dan ekologi)
yang dapat mengakibatkan kematian
4. Kondisi fisiko kimia: terkait dengan kondisi fisika dan kimia di tempat serangga
hidup termasuk kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi air, udara, dll.
5. Musuh alami: sebagai faktor pengendali alami serangga yang bersifat
tergantung kepadatan seperti yang telah dijelaskan
6. Kekurangan pakan: serangga hama sangat ditentukan survival dan
perkembangannya oleh ketersediaan pangan yang disediakan manusia. Tetapi
untuk serangga musuh alami bila tidak tersedia pakan yang sesuai yang
menjadi inang atau mangsa akan sangat mempengaruhi survivalnya.
7. Kekurangan tempat berlindung/bernaung: mempengaruhi mortalitas secara tidak
langsung
Berikut diagram yang menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung faktor-
faktor cuaca.

24
Pengaruh Faktor-faktor Cuaca bagi Kehidupan Serangga

Langsung Tak Langsung

Individu Populasi Habitat


Parasitoid
Predator
Patogen
Fenologi Makanan
Aktivitas Mortalitas
Perkembangan Natalitas
Perilaku Pergerakan

Natalitas
Mortalitas
Pergerakan

Dengan demikian dalam jangka waktu panjang di dalam setiap ekosistem,


selalu terjadi keseimbangan populasi organisme termasuk populasi hama, yang
secara dinamik bergejolak di sekitar aras keseimbangan populasinya masing-
masing. Setiap organisme dalam kondisi ekosistem tertentu memiliki aras
keseimbangannya sendiri-sendiri. Aras populasi tersebut dapat tinggi, tetapi juga
dapat rendah seperti yang kita harapkan.

25
Populasi

Mangsa (A)

Predator

Waktu

Gambar 16. Hubungan antara kepadatan serangga A dan kepadatan predator B

Pengaruh Tindakan Manusia terhadap Populasi Hama


Faktor-faktor alami seperti suhu, curah hujan sebagai faktor abiotik serta
faktor biotik seperti parasitoid, predator, patogen hama, pesaing, dll bekerja secara
interaktif yang membawa populasi hama berada di sekitar aras keseimbangannya.
Justru faktor MANUSIA dengan segala tindakannya sangat mempengaruhi
dinamika populasi hama sehingga dapat sangat menjauhi aras keseimbangan.
Manusia dapat mempengaruhi letak aras keseimbangan melalui mekanisme sbb:
Dalam mengelola agroekosistem, manusia dapat mempengaruhi atau
mengubah letak aras keseimbangan umum suatu spesies hama melalui kegiatan
pengelolaan agroekosistem. Aras keseimbangan populasi hama dapat meningkat
antara lain dengan penggunaan pestisida yang berlebihan dan kurang tepat,
sehingga dapat membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida yang dilakukan
terus-menerus dapat mengakibatkan aras keseimbangan hama tersebut akan
meningkat melebihi aras keseimbangan sebelumnya (Gambar 17).
Peningkatan aras keseimbangan populasi hama dapat juga terjadi sebagai
akibat tersedianya makanan hama secara luas dan terus menerus. Demikian juga
jika varietas tanaman yang ditanam adalah varietas peka, lambat laun aras
keseimbangan populasi hama akan meningkat.
Bila aras keseimbangan meningkat maka dapat mengakibatkan populasi
hama melebihi AE/AT/AK yang ditetapkan. Dalam keadaan demikian petani
terpaksa menggunakan pestisida lebih sering lagi sehingga dapat meningkatkan
kerugian, tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi konsumen dan kualitas
lingkungan hidup.
Aras keseimbangan populasi hama dapat juga diturunkan apabila yang
terjadi sebaliknya yaitu dengan memasukkan atau melakukan konservasi musuh
alami. Tindakan manusia demikian ini akan mendorong bekerjanya pengendali
26
alami di daerah tersebut, yang dalam jangka panjang dapat menurunkan aras
keseimbangan populasi hama. Salah satu sasaran PHT adalah menurunkan aras
keseimbangan populasi hama sehingga berada di bawah ambang pengendalian.
Populasi

Aras Keseimbangan 2
Pestisida

Aras Keseimbangan 1

Waktu

Gambar 17. Peningkatan aras keseimbangan akibat perlakuan pestisida secara


terus menerus.

bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 5

FUNGSI PENGAMATAN DALAM SISTEM PHT

Tujuan:
A. Mempelajari fungsi pengamatan dalam sistem PHT
B. Mempelajari prinsip-prinsip pengambilan sampel dan pengamatan
C. Mempelajari praktek pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman oleh
petugas pengamat hama
D. Pengamatan oleh petani

Materi:

HUBUNGAN PENGAMATAN, PENGAMBILAN SAMPEL DAN PEMANTAUAN

27
Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang
sesuatu obyek yang diamati/dikaji/diteliti. Pengamatan bisa dilakukan secara
berkala maupun insidentil. Ada beberapa maksud atau tujuan pengamatan yaitu
pengamatan untuk pengumpulan data penelitian, pengamatan untuk penyusunan
lapangan dan pengamatan untuk pengambilan keputusan. Kegiatan pengamatan
yang dilakukan secara berkala pada suatu obyek pengamatan tertentu untuk
digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut PEMANTAUAN.
Kegiatan pemantauan dalam PHT merupakan kegiatan utama yang
membedakan sistem PHT dengan sistem pengendalian hama secara konvensional.
Peranan pengamatan dan pemantauan hama dan ekosistem dalam penerapan
sistem PHT adalah seperti bagan berikut:

Analisis Ekosistem Pengambil Keputusan

Pemantauan Tindakan Pengelolaan

EKOSISTEM PERTANIAN

Gambar 18. Hubungan antara pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan


pengelolaan dalam sistem pelaksanaan PHT

Dari gambar tersebut, kegiatan pertama yang dilakukan adalah pemantauan


ekosistem. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengikuti perkembangan
keadaan ekosistem pada suatu saat yang meliputi perkembangan komponen
ekosistem, baik komponen biotik seperti keadaan tanaman, tingkat kerusakan
tanaman oleh hama, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami dan lain-
lain. Juga komponen abiotik seperti suhu, curah hujan, kebasahan, dll. Hasil
pemantauan atau data hasil pemantauan dianalisis antara lain dengan
membandingkan data ekosistem dengan nilai AE atau Ambang Kendali. Dari hasil
analisis ekosistem dapat diambil keputusan mengenai tindakan pengendalian atau
pengelolaan yang perlu diterapkan pada ekosistem. Hasil pengambilan keputusan
segera diterapkan ke lapangan mengenai tindakan pengelolaan atau pengendalian
seperti perbaikan budidaya tanaman, introduksi musuh alami, mengubah
habitatnya, pengendalian dengan pestisida, dll. Pengambil keputusan semakin ke
bawah yaitu pada pihak pengelola dari ekosistem pertanian, seperti petani atau
kelompok tani.

28
MEMPELAJARI PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN SAMPEL DAN
PENGAMATAN

Sampel atau contoh merupakan bagian dari suatu populasi yang diamati.
Dalam praktek pengamatan tidak mungkin bagi pengamat mengamati seluruh
individu dalam populasi tetapi pengamatan dilakukan pada sebagian kecil populasi
yang kita sebut sampel. Dari informasi yang diperoleh pada sampel kita ingin
menduga sifat populasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, sampel yang diambil
harus dapat mewakili. Populasi sampel terdiri dari beberapa unit sampel. Jumlah
unit sampel sering kita namakan sebagai ukuran sampel. Misalkan kita ingin
mengetahui populasi hama atau kerusakan tanaman dalam satu daerah/lahan yang
luasnya 1 hektar, sebagai unit sampel ditetapkan rumpun padi. Jumlah rumpun padi
yang diamati 30. Hal ini berarti unit sampel adalah rumpun dan ukuran sampel 30.
Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang
beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama, atau organisme lain yang
diamati. Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik
pengamatan dan pengambilan sampel yang dilakukan yaitu praktis, dan dapat
dipercaya. Praktis berarti metode pengamatan yang dilakukan sederhana, mudah
dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal, dan sedapat
mungkin tidak mengambil waktu lama. Hasil pengamatan harus dapat dipercaya
berarti metode tersebut akan menghasilkan data yang dapat mewakili atau
menggambarkan secara benar tentang sifat populasi sesungguhnya. Faktor yang
mempengaruhi pengambilan sampel:
1. Sifat dan ketrampilan petugas pengamat
2. Keadaan lingkungan setempat
3. Sifat sebaran spasial serangga

PENYUSUNAN PROGRAM PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN


Dalam menyusun secara lengkap program pengambilan sampel pada suatu
wilayah pengamatan perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk
menetapkan beberapa kriteria atau ketentuan tentang pengambilan sampel.
Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi penetapan tentang:
1. Unit Sampel
2. Interval Pengambilan Sampel
3. Banyak atau Ukuran Sampel
4. Desain Pengambilan Sampel
5. Mekanik Pengambilan Sampel

1. Unit sampel
Unit sampel merupakan unit pengamatan yang terkecil. Pada unit tersebut
diadakan pengukuran dan penghitungan oleh pengamat terhadap individu serangga
yang ada, dan apa yang ditinggalkan oleh serangga yang menjadi obyek
pengamatan atau variabel pengamatan. Beberapa variabel pengamatan yang dapat
diperoleh dari unit sampel dapat berupa kepadatan atau populasi hama, populasi
musuh alami, intensitas kerusakan, dll.
Ada berbagai jenis unit sampel yang saat ini digunakan dalam praktek
pengamatan baik untuk program penelitian atau untuk pengambilan keputusan

29
pengendalian hama. Biasanya unit sampel dikembangkan berdasarkan sifat biologi
serangga dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Unit sampel dapat berupa:
a. Unit luas permukaan tanah 1 x 1 m2
b. Unit volume tanah
c. Bagian tanaman seperti rumpun, batang, daun, pelepah daun
d. Dalam bentuk stadia hamanya sendiri. Sering digunakan untuk evaluasi dalam
musuh alami seperti jumlah larva parasit atau larva inang, dst.

2. Penentuan interval pengambilan sampel


Interval pengambilan sampel merupakan jarak waktu pengamatan yang satu
dengan waktu pengamatan yang berikutnya pada petak pengamatan yang sama.
Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan interval pengamatan
antara lain tingkat tumbuh tanaman, daur hidup serangga yang diamati, tujuan
pengambilan sampel, faktor cuaca, dll. Untuk serangga yang mempunyai siklus
pendek dan kapasitas reproduksi tinggi, interval pengamatan harus pendek agar
tidak kehilangan informasi dari lapangan. Demikian juga keadaan ini berlaku bagi
komoditas tanaman yang peka terhadap serangan hama seperti kapas, dan juga
untuk jenis hama yang peningkatan kerusakannya berjalan cepat.

3. Penentuan ukuran sampel


Dalam program pengambilan sampel dan pengamatan, penentuan ukuran
sampel atau jumlah unit sampel yang harus diamati pada setiap waktu pengamatan
sangat menentukan kualitas hasil pengamatan.
Ukuran sampel dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu varians (s 2)
yang menjelaskan distribusi data sampel, dan biaya pengambilan sampel yang
terdiri atas ongkos tenaga dan alat-alat pengambilan sampel. Secara umum dapat
dikatakan semakin besar ukuran sampel (n) semakin dapat dipercaya harga
penduga parameter populasi. Tetapi apabila ukuran sampel besar maka biaya
pengambilan sampel juga semakin besar. Sebaliknya bila unit sampel terlalu
sedikit, analisa statistik akan menghasilkan keputusan yang memiliki ketepatan dan
ketelitian rendah, sehingga kualitas dan kegunaan hasil pengamatan diragukan.

4. Desain atau pola pengambilan sampel


Ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk menetapkan unit sampel
yang mana dari keseluruhan populasi yang harus diamati yang menjadi anggota
sampel. Pola yang paling ideal adalah secara acak (random sampling), kemudian
dikenal:
a. Pola acak berlapis
b. Pola pengambilan sampel sistematik
c. Pola pengambilan sampel purposive atau yang sudah ditentukan

Beberapa pola pengambilan sampel yang sering digunakan adalah bentuk:

30
A B C
Gambar 19. Pola pengambilan sampel A. Pola Diagonal, B. Pola Zigzag, C. Pola
Lajur tanaman

5. Mekanik Pengambilan Sampel


Mekanik pengambilan sampel serangga adalah segala teknik memperoleh,
mengumpulkan serta menghitung individu serangga yang diamati atau bahan yang
ditinggalkan oleh serangga pada unit sampel yang telah ditentukan.
Mekanik sampel yang sering dilakukan oleh para pengamat kita adalah
pengamatan langsung di lapangan. Tidak semua serangga dapat dihitung secara
langsung sehingga masih diperlukan peralatan atau alat khusus yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan individu serangga dan kemudian dihitung
jumlahnnya.

PRAKTEK PENGAMATAN DAN PELAPORAN PETUGAS PENGAMAT


Di organisasi Departemen Pertanian saat ini ada 3 Direktorat Jenderal yang
mempunyai tugas untuk mengumpulkan pelaporan data populasi dan kerusakan
OPT di seluruh propinsi. Tiga Direktorat Jenderal itu adalah Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal
Tanaman Perkebunan. Pada tiga Direktorat Jenderal tersebut terdapat Direktorat
Perlindungan Tanaman seperti Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan,
Hortikultura dan Perkebunan.
Kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan dan pelaporan perlindungan
tanaman disusun dan dikeluarkan oleh 3 direktorat tersebut, sedangkan
pelaksanaan pengamatan dilakukan oleh para Petugas Pengamat Hama (PHP) dan
penyakit yang ada di daerah yang dikoordinasikan oleh BPTPH yang ada di setiap
propinsi. Untuk tanaman pangan dan hortikultura, BPTPH secara struktural berada
di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I/Propinsi. Sedangkan untuk perkebunan,
BPTP masih berada di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan atau masih di bawah
Pemerintah Pusat. Secara fungsional, PHP saat ini termasuk dalam kelompok
POPT (Pengendali OPT).

1. Pengamatan
Pengamatan dilakukan oleh PHP dan petani dengan dua cara yaitu
pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Pengamatan bertujuan
untuk mengetahui atau mendeteksi jenis dan kepadatan OPT, intensitas serangan
OPT, daerah penyebaran, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
OPT serta intensitas kerusakan bencana alam. Dengan informasi tersebut
diharapkan petani/kelompok tani bersama petugas dapat mengetahui dan
menganalisis secara dini untuk menentukan langkah-langkah penanganan usaha
tani, sehingga produksi tanaman yang sudah diusahakan tetap pada taraf tinggi,
menguntungkan dan aman bagi lingkungan.

31
Metode Pengamatan
Pengamatan OPT pada tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dengan
dua cara, yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Secara rinci
pelaksanaan pengamatan tetap dan pengamatan keliling adalah sbb:
a. Pengamatan tetap
Pengamatan tetap adalah pengamatan yang dilakukan pada petak contoh
tetap yang mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan, perangkap lampu,
curah hujan, stasiun meteorologi pertanian khusus.
1). Pengamatan petak tetap
Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui
perubahan kepadatan populasi OPT dan musuh alami serta intensitas serangan.
Petak contoh tetap ditempatkan pada lima jenis tanaman dominan. Untuk
komoditas terluas diamati empat petak contoh tetap sedangkan empat komoditas
lainnya masing-masing diamati satu petak contoh. Dengan demikian pada setiap
wilayah pengamatan terdapat delapan petak contoh pengamatan tetap.
Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian
terbesar wilayah pengamatan dalam hal waktu tanam, teknik bercocok tanam, dan
varietasnya. Pada masa peralihan antara dua musim tanam, pengamatan
diteruskan pada petak-petak contoh yang dapat mewakili wilayah pengamatan
dalam waktu tersebut. Karena itu petak contoh pada masa antara dua musim tanam
dapat berpindah sesuai dengan keadaan tanaman yang dapat mewakili wilayah
pengamatan.

2). Pengamatan Perangkap lampu


Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif yang tertarik cahaya
diamati pada satu atau lebih perangkap lampu yang mewakili wilayah pengamatan.
Perangkap lampu ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan mempengaruhi
banyaknya serangga pengganggu tanaman atau musuh alaminya tertarik cahaya.
Lampu dinyalakan dari senja sampai fajar. Serangga yang tertangkap diidentifikasi
dan dihitung. Pengamatan dilakukan setiap hari serta dilaporkan setiap dua minggu.

b. Pengamatan Keliling atau Patroli


Pengamatan keliling atau patroli bertujuan untuk mengetahui tanaman
terserang dan terancam, luas pengendalian, bencana alam serta mencari informasi
tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida.
Pengamatan keliling atau patroli dilaksanakan dengan menjelajahi wilayah
pengamatan. Sebelum melaksanakan pengamatan, PHP disarankan menemui
petani/kelompok tani pemandu, penyuluh atau sumber lain yang layak dipercaya;
untuk memperoleh informasi tentang adanya serangan OPT dan kegiatan
pengendalian di wilayah kerjanya. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan
daerah yang dicurigai dan mengkonsentrasikan pengamatannya. Penentuan
daerah yang dicurigai didasarkan pada kerentanan varietas yang ditanam terhadap
OPT utama di daerah tersebut, stadia pertumbuhan tanaman dan jaraknya
terhadap sumber serangan.
Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati lima petak contoh yang
terletak pada perpotongan garis diagonal (A) dan pertengahan potongan-potongan
garis diagonal tersebut (B, C, D dan E) seperti terlihat pada Gambar 20. Jumlah
32
rumpun yang diamati tiap unit contoh adalah 10 rumpun/batang. Komponen-
komponen yang diamati adalah luas tanaman terserang, intensitas serangan,
kepadatan populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas dan tindakan
pengendalian yang pernah dilakukan petani.

Gambar 20. penyebaran petak contoh pada daerah yang dicurigai terserang.

Dalam tiap petak contoh diamati 5 unit contoh seperti pada gambar 20.
Jumlah rumpun contoh yang diamati dalam tiap unit contoh adalah sepuluh
rumpun/tanaman.
Cara pelaksanaan:
Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan keliling dilakukan sesudah
pengamatan petak tetap pada subwilayah pengamatan dimana petak tetap itu
berada. Apabila ada informasi bahwa di subwilayah lainnya terjadi serangan OPT
maka harus dilakukan pengamatan keliling tambahan. Adapun pembagian
subwilayah adalah sebagai berikut:
1. Mula-mula bagilah wilayah pengamatan menjadi 4 strata berdasarkan waktu
tanamannya (lihat Gambar 21)
2. Bagilah masing-masing strata menjadi 2 subwilayah, sehingga satu wilayah
akan terbagi menjadi 8 subwilayah (lihat Gambar 21).
Untuk pengamatan tetap, tempatkan satu petak contoh pengamatan pada
masing-masing strata di lokasi yang selalu dilewati saat mengadakan pengamatan
keliling di strata tersebut, sehingga setiap petak contoh pengamatan tetap dapat
diamati dengan interval waktu satu minggu, sedangkan interval pengamatan keliling
dua minggu.
Waktu pengamatan OPT dilakukan 4 (empat) hari setiap minggu kecuali
untuk tangkapan perangkap lampu dan penakar curah hujan dilakukan setiap hari.
Pelaksanaan pengamatan OPT dimulai dari hari senin sampai dengan hari kamis.
Hasil pengamatan dan kejadian yang ditemukan pada saat pengamatan
keliling dan pengamatan tetap dilaporkan secara rutin pada setiap akhir periode
pengamatan. Laporan pengamatan tetap pada periode pelaporan tengah bulan
pertama berisi hasil pengamatan minggu ke 1 dan ke 2, sedang pada periode
pelaporan tengah bulan kedua berisi hasil pengamatan minggu ke 3 dan ke-4.

A 1 B 2 C 3 D 4
Senin 1 Selasa 1 Rabu 1 Kamis 1

5 6 7 8
Senin 2 Selasa 2 Rabu 2 Kamis 2
33
Keterangan:
A, B, C, D …… pembagian menurut strata 1, 2, 3 … dst … subwilayah

Gambar 21. Pembagian subwilayah pengamatan di wilayah kerja PHP

Metode Pengambilan Contoh


a. Tanaman Pangan
Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman pangan (padi dan
palawija) dilakukan dengan metode diagonal. Pada pengamatan tetap tiap petak
contoh ditentukan tiga unit contoh yang terletak di titik perpotongan garis diagonal
petak contoh (A) dan di pertengahan potongan-potongan garis diagonal yang
terpanjang (B dan C), seperti terlihat pada Gambar 22. Tiap unit contoh diamati 10
rumpun contoh. Dari petak contoh itu diamati intensitas serangan OPT, kepadatan
populasi OPT dan kepadatan populasi musuh alami yang efektif.

Gambar 22. Penyebaran Unit Contoh dalam Petak Contoh. Dalam Tiap Unit
Contoh Diamati 10 Rumpun Contoh.

b. Tanaman Sayuran
Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman sayur-sayuran
dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap 0,1 ha atau 50 tanaman contoh per
hektar. Pengambilan tanaman contoh ditentukan secara acak (random).

c. Tanaman Buah-buahan, hias, Obat-obatan dan Rempah-rempah


Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman buah-buahan, hias
dan obat-obatan dan rempah-rempah dilakukan dengan menggunakan petak
contoh, yaitu kecamatan. Tanaman yang diamati dibagi 3 kriteria seperti berikut:
a. Tanaman dominan (terbanyak) : 15 tanaman/rumpun
b. Tanaman dengan jumlah sedang : 10 tanaman/rumpun
c. Tanaman dengan jumlah sedikit : 5 tanaman/rumpun
Tanaman contoh ditentukan dengan 2 (dua) cara, yaitu random (acak) dan
diagonal. Cara random dilakukan pada perkebunan rakyat/pekarangan rumah,
sedangkan cara diagonal dilakukan (seperti pengambilan contoh pada tanaman
padi) pada perkebunan besar.

34
Penilaian Serangan OPT
Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala
serangan OPT yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan
OPT dapat berupa kerusakan mutlak (atau yang dianggap mutlak) dan tidak mutlak.
Untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap
mutlak digunakan rumus sebgai berikut:
a
I = ----------- X 100%
a+b
Keterangan:
I : Intensitas serangan (%)
A : Banyaknya contoh (daun, pucuk, bunga, buah, tunas, tanaman, rumpun
tanaman) yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak.
B : Banyaknya contoh yang tidak terserang (tidak menunjukkkan gejala
serangan).

2. Laporan
Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura diperlukan untuk
menyusun perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun
rencana perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun
bantuan pengendalian, merencanakan bimbingan pengendalian, melaksanakan
pengamatan lebih intensif, dan merencanakan penyediaan sarana pengendalian.
Oleh karena itu, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura perlu
dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan segera dikirim ke instansi
yang memerlukannya. Sesuai dengan kebijaksanaan dibidang perlindungan
tanaman pangan dan hortikultura dan pembagian wewenang dalam struktur
organisasi berlaku, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura
disampaikan oleh PHP kepada Mantri Tani (Mantan) dan instansi vertikal di
atasnya. Mantri Tani dan Penyuluh menyuluhkan dan menyebarluaskan kepada
petani sebagai dasar pengambilan keputusan kelompok tani, dan bila perlu
bersama-sama dengan PHP membina petani melaksanakan pengendalian. Instansi
vertikal di atasnya menggunakan laporan tersebut sebagai bahan mengevaluasi
keadaan serangan, kemampuan petugas membimbing petani dalam pengendalian,
merencanakan bimbingan dan bantuan, serta menyusun Laporan Perlindungan
Tanaman Pangan dan Hortikultura di wilayah kerjanya.
Laporan PHP yang diterima oleh Mantan diteruskan kepada Camat dan
Dinas Pertanian (Diperta) Kabupaten/Kotamadya, dan Diperta
Kabupaten/Kotamadya meneruskan laporan tersebut ke Diperta Propinsi. Oleh
Camat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kecamatan, laporan tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk menyusun kampanye pengendalian secara massal
oleh petani dan bila dibutuhkan/diperlukan bantuan pemerintah berupa pestisida
dapat dikeluarkan. Sedangkan oleh Diperta Kabupaten/Kotamadya, digunakan
untuk membina pengendalian OPT dan mempertimbangkan bantuan pengendalian
kepada petani apabila dinilai sebagai serangan eksplosi.
Koordinator PHP mengkoordinasikan laporan PHP, laporan serangan OPT
yang dilaporkan PHP dari seluruh wilayah pengamatan kabupaten diteruskan ke
Diperta Kabupaten/Kotamadya serta laporan lainnya diteruskan ke Laboratorium
35
Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) dan (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPTPH)/Loka Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura
(LPTPH)/Satgas BPTPH/LPTPH.

PENGAMATAN OLEH PETANI


Karena jumlah PHP dan petugas pengamat atau penyuluh di daerah
sangat terbatas maka yang paling baik kegiatan pengamatan dilakukan sendiri oleh
petani pemilik/penggarap. Petani sendiri yang melakukan kegiatan pemantauan,
pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian. Dengan demikian petani tidak
lagi tergantung pada petugas, pemerintah. Petani dapat melakukan pengamatan
secara perseorangan/individual, namun yang paling baik secara berkelompok atau
merupakan kegiatan kelompok tani. Agar petani dapat melakukan kegiatan
pemantauan ekosistem, mereka perlu mengikuti pelatihan khusus yang
dilaksanakan secara intensif, setiap 1 minggu sekali di dalam kegiatan yang disebut
SLPHT. Dengan demikian tujuan pelaksanaan kegiatan pengamatan oleh para
petugas PHP hanya terbatas pada penyusunan laporan bagi pemda maupun
pemerintah pusat tetapi tidak untuk pengambilan keputusan untuk lahan petani
dalam menerapkan PHT.

36
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 6

PENGENDALIAN DENGAN TANAMAN/VARIETAS TAHAN HAMA

Tujuan:
1. Mengenal dan mempelajari komponen PHT - Pengendalian dengan Tanaman
Tahan Hama
2. Mengenal dan mempelajari pengembangan tanaman transgenik tahan hama
3. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip karantina tumbuhan dan sistem
karantina pertanian di Indonesia

Materi:
Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap
serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang
efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan berbagai
varietas padi tahan hama wereng coklat berhasil mengendalikan hama wereng
coklat padi di Indonesia yang sejak tahun 1970 menjadi hama padi yang paling
penting. Saat ini petani telah mengenal banyak VUTW (Varietas Unggul Tahan
Wereng) yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti dari IRRI (Filipina) dan dari
Indonesia sendiri. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama masih
terbatas karena belum banyak tersedia varietas atau jenis tanaman yang memiliki
ketahanan tinggi terhadap hama-hama tertentu.
Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Kontribusi
varietas unggul tahan hama bagi keberhasilan Indonesia berswasembada beras
sangat besar. Hal ini berkat kerja keras para ahli hama, pemulia tanaman,
agronomi, dll yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan VUTW. Namun
sayangnya karena berbagai faktor, sampai saat ini status swasembada beras
semakin sulit dipertahankan.

1. Mekanisme Ketahanan Tanaman


Ketahanan atau resistensi tanaman merupakan pengertian yang bersifat
relatif. Untuk melihat ketahanan suatu jenis tanaman sifat tanaman, yang tahan
harus dibandingkan dengan sifat tanaman yang tidak tahan atau yang peka.
Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita kerusakan yang lebih sedikit
bila dibandingkan dengan tanaman lain dalam keadaan tingkat populasi hama yang
sama dan keadaan lingkungan yang sama. Pada tanaman yang tahan, kehidupan
dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan
dengan perkembangbiakan sejumlah populasi hama tersebut apabila berada pada
tanaman yang tidak atau kurang tahan.
37
Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli
(terbawa keturunan faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan
yang mendorong tanaman menjadi relatif tahan terhadap serangan hama.
Beberapa ahli membedakan ketahanan tanaman dalam dua kelompok yaitu
ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan, 1982). Ahli lain menganggap
ketahanan ekologi bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut
ketahanan palsu atau pseudo resistance sedangkan yang disebut sifat ketahanan
tanaman adalah ketahanan genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi
tidak tetap dan mudah berubah tergantung pada keadaan lingkungannya,
sedangkan sifat ketahanan genetik relatif stabil dan sedikit dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan.

2. Ketahanan Genetik
Sampai saat ini klasifikasi resistensi genetik menurut Painter yang banyak
diikuti oleh para pakar. Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi
tanaman terhadap serangga hama yaitu 1) ketidaksukaan, 2) antibiosis dan 3)
toleran.

a. Ketidaksukaan/antixenosis
Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu
serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau
sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat
digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu (xenosis =
tamu). Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau
antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologik.

b. Antibiosis
Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan,
bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan
mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi
terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat
antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut
berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu
terjadinya kematian serangga.

c. Toleran
Mekanisme resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman
tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu
tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil,
dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka.

3. Ketahanan Ekologi
Ketahanan Ekologi atau dengan istilah lain ketahanan yang kelihatan
(apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) merupakan sifat
ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya
disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan kenampakan sifat
38
ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya yang tidak tetap,
ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman
yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan
dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama
tertentu.

Ada 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu pengelakan inang (host evasion),


ketahanan dorongan (induced resistance) dan inang luput dari serangan (host
escape).

a. Pengelakan Inang
Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu
tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif
mengkonsumsikan tanaman.

b. Ketahanan Dorongan
Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan
tertentu sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama.
Ketahanan dorongan ini terjadi antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi
serta teknik budidaya yang lain.

c. Inang Luput dari Serangan


Sering dialami pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman yang
sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu
saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama di sekitarnya
pada waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut tidak berarti bahwa tanaman tersebut
tahan terhadap serangan hama tetapi tanaman tersebut sedang dalam keadaan
luput dari serangan hama.

4. Langkah Pengembangan Varietas Tahan


Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional dilakukan melalui
penerapan teknologi pemuliaan tanaman tradisional dengan melakukan persilangan
tanaman. Beberapa kegiatan utama dalam melakukan perolehan dan
pengembangan guna memperoleh varietas tahan hama yang baru adalah sebagai
berikut:
a. Identifikasi sumber ketahanan.
b. Penetapan mekanisme ketahanan.
c. Penyilangan sifat ketahanan dengan sifat agronomi lainnya sehingga dapat
diperoleh varietas yang lebih unggul.
d. Analisis genetik terhadap sifat ketahanan.
e. Identifikasi dasar-dasar kimia dan fisika sifat ketahanan.
f. Pengujian lapangan multi lokasi.
g. Pelepasan varietas tahan hama yang baru.

PENGEMBANGAN VARIETAS TAHAN DENGAN BIOTEKNOLOGI


Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional banyak dikaji dan
telah diperoleh hasil yang menggembirakan. Penggunaan varietas tahan terbukti
mampu mengurangi tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat.
39
Sebagian besar varietas tahan hama yang dilepaskan, diperbanyak dan digunakan
di Indonesia saat ini masih merupakan hasil teknologi pemuliaan tanaman secara
tradisional yang telah diuraikan sebelumnya.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini tidak
menutup kemungkinan penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian
untuk dapat menghasilkan varietas tahan hama. Aplikasi bioteknologi pertanian
memberikan peluang yang sangat baik terhadap perkembangan kualitas maupun
kuantitas produk-produk pertanian. Beberapa bioteknologi yang telah
dikembangkan diantaranya rekayasa genetika yang mencakup rekombinasi DNA,
pemindahan gen, manipulasi dan pemindahan embrio, kultur sel dan jaringan,
regenerasi tanaman dan antibodi monoklonal.
Tanaman hasil rekayasa genetika yang selanjutnya disebut tanaman
transgenik dapat direkayasa memiliki sifat ketahanan terhadap jenis hama tertentu.
Salah satu sifat unggul tanaman transgenik adalah ketahanan terhadap hama
setelah tanaman tersebut disisipi dengan gen toksik yang berasal dari Bacillus
thuringiensis (Bt). Sampai akhir tahun 2003 di Indonesia hanya satu varietas kapas
Bt yang telah diijinkan dan dilepaskan secara terbatas di Sulawesi Selatan. Di dunia
Internasional tanaman transgenik tahan hama yang telah dikembangkan meliputi
tanaman kapas, jagung, kentang. Berbagai tanaman tersebut telah disisipi gen
yang berasal dari bakteri Bt sehingga tahan terhadap jenis hama tertentu.
Aplikasi pemindahan gen dengan teknik biologi molekuler dengan sasaran
memperoleh sifat-sifat tertentu dapat dilakukan lebih cepat, dengan ketepatan yang
tinggi serta perolehan spektrum sifat yang jauh lebih lebar daripada hasil pemuliaan
tanaman konvensional. Perkembangan bioteknologi telah memungkinkan ilmuwan
untuk mentransformasikan gen Bt yang dikehendaki ke dalam genom berbagai
jenis tanaman pertanian. Gen Bt yang menyandi protein delta-endotoksin telah
dapat disisipkan ke dalam tanaman untuk pengendalian hama tertentu. Misal
tanaman kapas Bt telah disisipi dengan gen cry1Ac untuk mengendalikan hama
penggerek buah kapas Helicoverpa virescens. Tanaman kapas Bt memproduksi
toksin secara terus-menerus sehingga serangga peka yang hidup dalam jaringan
tanaman akan mati kalau memakan jaringan tersebut.
Tanaman transgenik akan terlindung dari serangan hama selama racun
protein masih terus diproduksi. Karena racun protein yang dihasilkan hanya aktif
bagi beberapa jenis serangga tertentu, suatu jenis tanaman transgenik tahan hama
hanya dapat mengendalikan jenis-jenis hama tertentu.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN VARIETAS TAHAN HAMA KONVENSIONAL

Kelebihan
a. Penggunaannya praktis dan secara ekonomi menguntungkan
b. Sasaran pengendalian yang spesifik
c. Efektivitas pengendalian bersifat kumulatif dan persisten
d. Kompatibilitas dengan komponen PHT lainnya
e. Dampak negatif terhadap lingkungan terbatas

Kekurangan
Beberapa keterbatasan atau permasalahan yang perlu kita ketahui antara lain:
40
a. Waktu dan Biaya Pengembangan
b. Keterbatasan Sumber Ketahanan
c. Timbulnya Biotipe hama
d. Sifat Ketahanan yang Berlawanan

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA

Kelebihan
1. Efektif mengendalikan hama sasaran dan pengurangan kehilangan hasil
2. Penurunan penggunaan pestisida kimia
3. Penurunan biaya pengendalian
4. Pengendalian hama secara selektif
5. Penurunan populasi hama dalam areal yang luas

Keterbatasan Tanaman Transgenik


1. Resistensi hama terhadap toksin
2. Pengaruh tanaman transgenik terhadap organisme bukan sasaran
3. Pengurangan keanekaragaman hayati
4. Variasi hasil
5. Kepekaan terhadap jenis hama lain
6. Pengembalian investasi tidak terjamin
7. Risiko bagi kesehatan
8. Ketergantungan pada industri benih transgenik

KARANTINA PERTANIAN
Tujuan karantina pertanian adalah mencegah masuknya hama dan penyakit
hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan ke
wilayah negara RI, mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan
mencegah keluarnya dari wilayah negara RI.
Karantina Pertanian terdiri dari:
1. Karantina Hewan
2. Karantina Ikan
3. Karantina Tumbuhan
Kita memiliki dasar hukum untuk karantina yaitu:
1. UU RI No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
2. PP No 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan

KARANTINA TUMBUHAN

Pengertian penting:
1. Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina (OPTK) yang terdiri dari OPTK
Golongan I, OPTK Golongan II
a. OPTK adalah semua organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan
oleh Menteri Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya
di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

41
b. OPTK Golongan I yaitu OPTK yang tidak dapat dibebaskan dari media
pembawanya dengan cara perlakuan. Tidak dapat dibebaskannya OPT
tersebut karena sifatnya memang tidak dapat dibebaskan, atau belum
diketahui cara untuk membebaskannya, atau cara untuk membebaskannya
belum dapat dilakukan di Indonesia.
c. OPTK Golongan II yaitu semua OPTK yang dapat dibebaskan dari media
pembawanya dengan cara perlakuan.
2. Kawasan Karantina adalah kawasan yang semula diketahui bebas dari hama
dan penyakit tumbuhan karantina, sekarang telah ditemukan adanya organisme
tertentu yang dahulunya tidak ada.
3. Sertifikat Kesehatan Karantina (Phytosanitary Certificate) adalah surat
keterangan yang dibuat oleh pejabat berwenang di negara atau area
asal/pengirim/transit yang menyatakan bahwa tumbuhan atau bagian-bagian
tumbuhan yang tercantum di dalamnya bebas dari OPT, OPTK, OPTK golongan
I, OPTK golongan II, dan atau OPT Penting.
4. Analisis Risiko Hama dan Penyakit Tumbuhan (Pest Risk Analysis/PRA) adalah
suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu OPT merupakan OPTK, atau OPT
Penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan karantina tumbuhan yang
sesuai guna mencegah masuk dan tersebarnya OPT tersebut.

Tindakan Karantina:
1. Pemeriksaan
2. Pengasingan
3. Pengamatan
4. Perlakuan
5. Penahanan
6. Penolakan
7. Pemusnahan
8. Pembebasan

Kasus “kebobolan” masuknya hama baru di Indonesia:


1. Keong/siput mas
2. Pengorok daun kentang
3. Nematoda Sista Kuning

42
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 7

PENGENDALIAN HAYATI

A. Parasitoid dan Predator

Tujuan:
1. Mempelajari prinsip dan teknik pengendalian hayati sebagai salah satu
komponen dalam sistem PHT
2. Mempelajari agens pengendalian hayati yang berupa parasitoid dan predator
3. Mempelajari manfaat dan masalah yang dihadapi dalam penerapan
pengendalian hayati

Materi:

LATAR BELAKANG

Pengendalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah


pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama
yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai
pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh
pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas
parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama hama yang
bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena
keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk
menjalankan fungsi alaminya. Apabila musuh alami kita berikan kesempatan
berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan
melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami,
musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang
lalu di daratan Cina, pengendalian hayati yang pertama kali didokumentasikan ialah
pada tahun 1762, ketika burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk
memangsa hama belalang. Secara ilmiah keberhasilan pengendalian hayati
pertama yang tercatat adalah pengendalian hama kutu berbantal pada kapas
Icerya purchasi di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan predator
dari Australia yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis pada tahun 1888. Setelah
keberhasilan tersebut kemudian ratusan jenis hama telah berhasil dikendalikan
dengan cara hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan
memasukkan musuh alami terutama sebelum tahun 1950-an sewaktu pestisida
belum banyak digunakan oleh petani. Salah satu jenis hama adalah hama belalang
pedang Sexava sp yang menyerang kelapa yang dapat berhasil dikendalikan oleh
parasitoid telur Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara. Juga hama ulat daun kubis
43
(Plutella xylostella) di Jawa Barat berhasil dikendalikan oleh parasitoid Diadegma
sp. Introduksi parasitoid telur Chelonus sp dari wilayah Bogor ke Flores untuk
mengendalikan ngengat mayang kelapa (Batracedra spp). Pembiakan massal
parasitoid telur Trichogramma spp dan lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis)
sangat membantu mengendalikan serangan penggerek batang tebu pada tahun
1972. Selanjutnya pada 1975 telah diintoduksikan kumbang moncong Neochetina
eichhorniae dari Flores ke Bogor untuk pengendalian eceng gondok. Introduksi
kumbang Curinus coreolius dari Hawai dilakukan untuk mengendalikan hama kutu
loncat lamtoro Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun 1950 sampai 1970an
pengendalian hayati pamornya berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang
sangat dominan di seluruh dunia. Dengan munculnya konsepsi PHT pengendalian
hayati kembali diharapkan menjadi tumpuan teknologi pengendalian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologi maupun ekonomi.

BEBERAPA PENGERTIAN

Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian tentang
pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alami (natural control)
yang seringkali dibicarakan bersama.
Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan
secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk
menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979
mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme
dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut
berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa
ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak
hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem
lainnya seperti makanan, dan cuaca.
Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai
usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup. Varietas tahan
hama, manipulasi genetik, dan penggunaan serangga mandul dimasukkan sebagai
bagian teknik pengendalian hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan
pengertian pengendalian hayati yang pertama.

AGENS PENGENDALIAN HAYATI

Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies


serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang
organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme penyerang disebut "musuh
alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami
tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok
organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk
kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga.
Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri.
Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita
kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan patogen.
44
1. Parasitoid

Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid dan parasit. Parasitisme


adalah hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit, memperoleh
keperluan zat-zat makanannya dari fisik tubuh yang lain, yaitu inang. Parasit hidup
pada atau di dalam tubuh inang. Inang tidak menerima faedah apapun dari
hubungan ini, meskipun biasanya tidak dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita
pada manusia dan caplak pada binatang. Istilah parasit lebih sering digunakan
dalam entomologi kesehatan. Serangga yang bersifat parasit yang pada akhirnya
menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam definisi
parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid yang lebih
banyak digunakan dalam entomologi pertanian.
Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang
lain yang lebih besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit dapat
melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid
makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat mencapai fase dewasa
suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah
serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai
inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap.
Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang
artropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya
sedangkan pada fase dewasa mereka hidup bebas tidak terikat pada inangnya.
Umumnya parasitoid akhirnya dapat membunuh inangnya meskipun ada inang
yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat
menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang
paling jarang terparasit.
Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau
dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva
yang keluar dari telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan
perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau
sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai endoparasitoid). Contoh ektoparasit
adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp yang
memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis endoparasit.
Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa
parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva
parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah
mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago
parasitoid muncul dari kokon pada waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan
telur pada tubuh inang bagi perkembangan generasi berikutnya.
Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya sampai fase
dewasa pada satu inang. Parasitoid semacam ini disebut parasitoid soliter
merupakan suatu spesies parasitoid yang perkembangan hidupnya terjadi pada
satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu parasitoid. Contoh
parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili Ichneumonidae). Parasitoid
gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-
sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus
schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali.
45
Banyak jenis lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah
Braconid dan Chalcidoid yang merupakan parasitoid gregarius.
Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat
sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera,
Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu
Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak
mengandung parasitoid adalah Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa famili
yang termasuk Chalcidoidea. Sedangkan dalam ordo Diptera famili Tachinidae
merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii memiliki kemampuan
memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris, penggerek batang padi
kuning dan penggerek batang padi putih. Apanteles artonae memarasit larva Chilo
sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat
dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea
batrae-batrae cukup efektif memparasit telur penggerek polong kedelai (Etiella spp).
Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati,
parasitoid yang paling sering berhasil mengendalikan hama apabila dibandingkan
dengan kelompok-kelompok agens pengendalian hayati lainnya. Dari 4769 kasus
pelepasan agens pengendalian hayati yang tercatat di dunia, hanya 1023
menggunakan predator, sebagian besar kasus adalah pelepasan serangga
parasitoid.
Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid adalah:
a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi.
b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk melengkapi
daur hidupnya.
c. Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi yang
rendah.
d. Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga memiliki
kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki
respons numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya.
Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan
atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid
sebagai agens pengendalian hayati adalah:
a. Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca
atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah.
b. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan
pencarian inang untuk peletakan telur.
c. Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit.
Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan parasitoid
sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan fenologi parasitoid di
lapangan. Fase larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase hidup inang tertentu
terutama telur dan larva. Kelanjutan hidup parasitoid sangat ditentukan oleh
ketersediaan fase inangnya yang tepat. Bila sewaktu induk parasitoid akan
meletakkan telurnya tetapi tidak tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut
tidak akan dapat melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama. Agar
pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil siklus hidup dan fenologi hama dan
inang perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan untuk introduksi dan
pelepasan parasitoid di lapangan perlu diketahui banyak hal kecuali fenologi inang
dan parasitoid juga tentang pengaruh berbagai faktor lain seperti cuaca dan
46
tindakan manusia terhadap fenologi dan perkembangan populasi parasitoid dan
inangnya.
Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami yang
berupa parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang parasitoid lain
sebagai inangnya disebut hiperparasitasi sedangkan parasitoid tersebut disebut
hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama disebut
parasitoid primer maka kelompok hiperparasitoid disebut parasitoid sekunder.
Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria
sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah satu contoh
hiperparasitasi. Adanya parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap
usaha pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau parasitoid. Perlu
dicatat di sini bahwa tidak semua parasitoid primer berguna untuk pengendalian
hayati antara lain parasitoid primer yang menyerang serangga herbivora digunakan
pengendalian hayati gulma.

2. Predator
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang,
predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari
parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya
mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator
yang monofag dan oligofag.
b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan
mangsanya. Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang
tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang mampu
membawa mangsa secar berkelompok.
c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus
memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan
predator mampu membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan
kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik
daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya
jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang
dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah
(Mantidae), mata besar (capung).
d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang
umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik
fase pradewasa maupun fase dewasa.
e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi
predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari
dan memperoleh mangsa.
f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid
mempunyai sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya
tanggap rendah terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya
sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator
yang polifag.
Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis
mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa
47
alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi
mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat
oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa
dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses
mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi
dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan
pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan
mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan
predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi
parasitoid dan inang.
Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator
serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak
merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo
tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera.
Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera:
Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undur-undur (Neuroptera:
Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang
(Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air
(Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum
(Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan
laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).
Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens
pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak
usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak
menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa
predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati.
Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara
tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid
mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan
keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara
optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek
biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.

PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR

Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan


dalam 3 kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga
teknik pengendalian hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi
dalam pelaksanaan pengendalian hayati sering digunakan secara bersama.

1. Introduksi
Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai
praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap
permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik
tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di
daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama
48
tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah
dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat.
Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi
kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk
mengendalikan hama kutu perisai Icerya purchasi yang menyerang perkebunan
jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal
dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada
hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial
maupun parsial.
Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara
lain introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke
Indonesia yang ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa
Promecotheca reichei. Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat
mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau
Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi
hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah
dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp
dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa
Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada
tahun 1986-1990 yaitu introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk
pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak
usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan tetapi untuk menjelaskan
teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan
susunan ekosistem pertanian.
Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar
teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam
terutama tentang sifat penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan
musuh alami yang akan diintroduksikan, dan keadaan ekosistem setempat. Sampai
saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama
secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode coba-coba atau
metode "trial and error". Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas
pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan.
Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan
introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan
dengan urutan sbb:
a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal
spesies eksotik yang akan diimpor
b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-
peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia
c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri
sesuai peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia
d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat
baik fasilitas maupun SDMnya
e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan
kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens
pengendalian hayati

49
f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar
yang dibuat oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode
neraca kehidupan)
Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami
sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga
mendatangkan keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan
penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah:
a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri
terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme
lain,
b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan
berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang,
c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas
lapangan maupun petani,
d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin,
e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan
dibandingkan penggunaan pestisida

2. Augmentasi
Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas
pengendalian hayati yang bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau
pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu
pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar
dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu
menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan
ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat
ditingkatkan.
Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik
augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik
introduksi. Dengan teknik augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu
(satu musim atau kurang) dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan.
Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan dalam jangka panjang mampu
menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap berada di bawah
aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus
dilakukan secara periodik. Perbedaan lain pelepasan augmentatik menggunakan
musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan pelepasan introduksi
menggunakan musuh alami yang dimasukkan dari luar ekosistem.
Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk
tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang
dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah:

b. Pelepasan Inokulatif
Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam
satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi
dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada
aras keseimbangannya. Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara
teratur peranan dan kondisi musuh alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan.
50
Secara periodik populasi musuh alami berkurang karena keadaan lingkungan yang
tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil kerja musuh alami
yang dilepas tetapi oleh keturunannya.

c. Pelepasan Suplemen
Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling
diketahui populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan
pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi
dan dapat mengendalikan populasi hama.

d. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal


Apabila pada kedua cara pelepasan sebelumnya diharapkan keturunan dari
individu musuh alami yang dilepaskan yang terus berfungsi memperkuat
berfungsinya kembali musuh alami sebagai pengendali alami, maka pelepasan
inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara
sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan
ribu atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Pelepasan inundatif
parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini
musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi
dalam penurunan populasi hama.
Karena jumlah musuh alami yang dilepaskan sangat banyak diperlukan
teknik pembiakan massal musuh alami yang cepat, dan ekonomik. Umumnya inang
bagi perbanyakan massal musuh alami bukan serangga inang hama tetapi
serangga inang alternatif yang lebih mudah diperbanyak di ruang perbanyakan.
Contoh untuk memperbanyak parasitoid telur Trichogramma sp di laboratorium
digunakan inang pengganti yaitu Sitotroga cerealia, hama yang menyerang gabah.
Sukses yang dicapai oleh teknik inokulatif adalah dilepaskannya secara
massal parasitoid telur Trichogramma sp untuk mengendalikan berbagai hama
penting seperti penggerek pucuk tebu dan penggerek batang tebu, hama
penggerek buah kapas, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan
150.000 telur Trichogramma sp. per hektar dapat menurunkan populasi dan
kerusakan penggerek pucuk tebu, sedangkan untuk pengendalian penggerek
batang tebu diperlukan 250.000 telur per hektar.
Teknik pengendalian hayati lainnya agar teknik augmentasi dengan
pelepasan periodik ini berhasil diperlukan informasi yang lengkap tentang biologi
dan ekologi hama dan musuh alaminya terutama dalam menentukan tempat, waktu,
frekuensi dan cara pelepasan musuh alami.

3. Konservasi Musuh Alami


Dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama pemanfaatan
predator dan parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering
dilakukan dan dianjurkan. Teknik konservasi bertujuan menghindarkan tindakan-
tindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami. Banyak tindakan agronomi
yang secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan populasi musuh alami
terutama penggunaan pestisida kimia. Pengendalian hama tanpa menggunakan
pestisida atau kalau digunakan secara selektif berarti usaha konservasi musuh
alami sudah dilaksanakan. Dari hasil penelitian Settle et al. (1996) dapat diketahui
bahwa aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi tidak hanya
51
membunuh musuh alami hama-hama padi, tetapi dapat membunuh serangga-
serangga akuatik detrivora dan pemakan plankton yang hidup di air sawah.
Keberadaan serangga-serangga air tersebut sangat bermanfaat karena menjaga
populasi wereng coklat padi pada posisi yang tidak merugikan petani.
Menghindarkan aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi merupakan
salah satu bentuk konservasi musuh alami yang efektif untuk pengendalian hama-
hama padi di Indonesia.

Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain
berupa:
1. Menekan pemakaian pestisida.
Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada
hama sehingga pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan
populasi musuh alami. Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada predator.

2. Memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam.


Sistem tanam yang beraneka ragam akan mempengaruhi lingkungan mikro
di suatu lahan. Lingkungan akan lebih terlindung dari pengaruh buruk cuaca seperti
angin dan hujan, kelembaban lebih tinggi, dan tempat akan menjadi lebih teduh.
Dengan demikian jumlah serangga bermanfaat seperti musuh alami akan lebih
beraneka ragam dibandingkan pada sistem monokultur.

3. Menanam dan melestarikan tanaman berbunga.


Tanaman berbunga yang menghasilkan sari madu dan serbuk sari dapat
menaikkan kemampuan musuh alami untuk berkembang biak sehingga lebih
disukai oleh parasitoid dan predator.
4. Melestarikan tanaman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau
mangsa alternatif predator.
Parasitoid atau predator akan sulit mempertahankan hidup setelah panen
karena inang utama tidak dijumpai lagi. Pelestarian tanaman liar dapat mendukung
kehidupan musuh alami sebagai inang alternatif sampai inang utama kembali
tersedia sehingga musuh alami tetap mampu menurunkan populasi hama. Adanya
tanaman liar juga harus diwaspadai apabila berpotensi menjadi tempat hidup hama
di luar musim tanaman budidaya.
Sebelumnya Stehr (1982) mengemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk memodifikasi ekosistem untuk konservasi musuh alami dengan
rincian sebagai berikut:
1. Perlindungan dari penggunaan pestisida kimiawi.
2. Pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida.
3. Perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif musuh alami (pupa atau fase
diapause).
4. Menghindari praktek budidaya tanaman yang merugikan kehidupan musuh
alami.
5. Penjagaan keanekaragaman komunitas setempat dan inang yang diperlukan.
6. Penyediaan inang alternatif.
7. Penyediaan makanan alami (nektar, pollen, embun madu)
8. Penyediaan suplemen makanan tambahan.
9. Pembuatan tempat berlindung musuh alami
52
10. Pengurangan populasi predator yang tidak diinginkan.
11. Pengendalian semut pemakan madu.
12. Pengaturan suhu yang mendukung perkembangan musuh alami.
13. Menghindarkan debu-debu yang mengganggu efektivitas musuh alami.

PERANAN PENGENDALIAN HAYATI DALAM PHT

Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memegang


peranan yang menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain
secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya
musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah aras ekonomik.
Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang lain terutama pestisida
kimia, pengendalian hayati memiliki tiga keuntungan utama yaitu

permanen, aman, dan


ekonomi.
Arti permanen di sini karena apabila pengendalian hayati berhasil, musuh
alami telah menjadi lebih mapan di ekosistem dan selanjutnya secara alami musuh
alami akan mampu menjaga populasi hama dalam keadaan yang seimbang di
bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang.
Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak
samping terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan
sasaran. Karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun pernah
dilaporkan kasus terjadinya ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh alami
antara lain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut
sangat langka.
Pengendalian hayati juga relatif ekonomis karena begitu usaha tersebut
berhasil petani tidak memerlukan lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian
hama, petani kemudian hanya mengupayakan agar menghindari tindakan-tindakan
yang merugikan perkembangan musuh alami.
Kesulitan dan permasalahan utama dalam penerapan dan pengembangan
pengendalian hayati adalah modal investasi permulaan yang besar yang harus
dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi, penelitian, pengujian dan evaluasi terutama
yang menyangkut berbagai aspek dasar baik untuk hama, musuh alami maupun
tanaman. Aspek dasar dapat meliputi taksonomi, ekologi, biologi, siklus hidup,
dinamika populasi, genetika, fisiologi, dll. Identifikasi yang tepat baik untuk jenis
hama maupun musuh alaminya merupakan langkah permulaan yang sangat
penting. Apabila identifikasi kurang benar kita akan memperoleh kesulitan dalam
mempelajari sifat-sifat kehidupan musuh alami dan langkah-langkah kegiatan
selanjutnya.
Kecuali diperlukan modal, fasilitas yang lengkap juga diperlukan sumber
daya manusia terutama para peneliti yang berkualitas dan berpendidikan khusus
dan berdedikasi tinggi sesuai dengan yang diperlukan untuk pengembangan
teknologi pengendalian hayati. Sampai saat ini tenaga-tenaga ahli dengan
53
kualifikasi demikian masih sangat jarang tersedia di Indonesia. Meskipun ada
beberapa ahli yang berpendapat bahwa untuk pengendalian hayati yang penting
adalah adanya tenaga peneliti yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi serta
cukup memiliki rasa seni dan intuisi, namun bagaimanapun untuk keberhasilan
pengendalian hayati dalam kerangka PHT diperlukan juga dasar pengetahuan dan
teknologi yang mantap.

B. Patogen Serangga

Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami berbagai kelompok dan jenis patogen serangga
sebagai agens pengendalian hayati
2. Mempelajari dan memahami strategi dan cara pemanfaatan patogen serangga
untuk pengendalian hama
3. Mempelajari dan memahami kelemahan dan kekuatan patogen serangga
sebagai agens pengendalian hayati

Materi:

JENIS-JENIS JASAD RENIK PATOGENIK

Serangga seperti juga binatang lainnya dalam hidupnya diserang oleh


banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, rikettsia
dan nematoda. Beberapa penyakit dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi
faktor mortalitas utama bagi populasi serangga, tetapi ada banyak penyakit yang
pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi serangga. Serangga yang terkena
penyakit menjadi terhambat pertumbuhan dan pembiakannya. Pada keadaan
serangan penyakit yang parah serangga terserang akhirnya mati. Saat ini dikenal
lebih dari 2000 jenis patogen yang menginfeksi serangga dan jumlah itu mungkin
baru sebagian kecil dari jenis patogen serangga di muka bumi.
Oleh karena kemampuannya membunuh serangga hama sejak lama
patogen digunakan sebagai agens pengendalian hayati (biological control agents).
Penggunaan patogen untuk pengendalian hama tercatat pada abad ke-18 yaitu
pengendalian hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus punctiventus
dengan menggunakan sejenis jamur. Berikut secara singkat diuraikan beberapa
kelompok jasad renik yang saat ini sudah banyak dan sering digunakan sebagai
agens pengendalian hayati.

1. Virus
Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan
diidentifikasikan dari serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus
artropoda sebagian besar masuk dalam genera Nucleopolyhedrovirus,
Granulovirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Dari keenam
genera ini genus NPV (Nucleopolyhedro virus) merupakan genus terpenting karena
sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus

54
ini. Selain NPV ada kelompok virus lainnya yaitu GV (Granulovirus), CPV
(Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya.
NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo Lepidoptera
(86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu
virus juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera.
Berbagai virus NPV mempunyai prospek untuk digunakan dalam pengendalian
hayati adalah NPV yang diisolasi dari genus-genus Spodoptera, Helicoverpa,
Trichoplusia, Plusia, Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma, Agrotis, Chilo, dll.
Banyak genus serangga tersebut yang merupakan hama penting di Indonesia.
Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat
spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida,
relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu beracun
di alam. Virus NPV dicirikan dengan adanya inclusion bodies yang disebut
polihedra atau PIB (“polihedric inclusion body”). PIB dibentuk oleh protein dan
mengandung beberapa nukleokapsid atau partikel-partikel virus atau virion. Virion
NPV berbentuk batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan
diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang terutama di
nuklei sel-sel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan epithel saluran trachea.
Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah pada
saluran pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah
mengandung polihedra. Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga
sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian tubuh yang terluka mungkin oleh
serangan musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan dari induk yang telah
terinfeksi pada keturunannya melalui telur.
Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan
larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian memasuki
sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya memperbanyak diri. Setiap sel yang
terinfeksi virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang
disebut viroplan. Proses perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat
sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh
serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh
serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4
hari sampai 3 minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah
polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu.
Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan yang
antara lain berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya terhambat, kulit
berganti warna menjadi semakin pucat dan memutih seperti susu, dan larva
bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang mati karena virus posisi tubuhnya seperti
patah dan menggantung pada bagian tanaman. Penyebaran virus ini melalui
berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain cuaca. Virus telah
berada di tanaman dan telah dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa
jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens
penyebaran virus.
Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam tahap
pengkajian laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat terbatas. Kendala
utama dalam perbanyakan virus diantaranya belum berkembangnya teknik
perbanyakan dan penggunaan pakan buatan. Teknik rekayasa genetika diharapkan

55
mampu memacu perkembangan dan perluasan aplikasi virus sebagai agens
pengendalian hayati.
2. Jamur Entomopatogenik
Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur
entomopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur
entomopatogenik dari sekitar 100 genera jamur. Tabel 1 menunjukkan berbagai
genus jamur penting yang dapat menjadi patogen serangga.

Tabel 1. Kelompok Jamur Patogen Serangga yang Umum Menurut Sistematikanya


Subdivisi Kelas Ordo Genus Contoh Inang
Mastigomycotina Chytridiomycetes Blastocladiales Coelomomyces Lalat hitam
Zygomycotina Zygomycetes Entomophthorales Enthomophthora Nilaparvata lugens
Ascomycotina Pyrenomycetes Spaeriales Cordyceps Setora nitens
Plectomycetes Ascosphaerales Ascophaera Aphis sp.
Deuteromycotina Hypomycetes Moniliales Beauveria Nilaparvata lugens
Metarhizium Oryctes rhinoceros
Nomuraea Helicoverpa zea, S.
Paecilomyces litura
Verticillium Diaphorina citri
Hirsutella Aleurodicus destructor
Sorosporella Plutella xylostela
Spicaria Berbagai ulat grayak
Helopeltis antonii
Sumber: Tanada dan Kaya, 1993

Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga tidak
melalui saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau
integumen. Setelah konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur
memperbanyak dirinya melalui pembentukan hife dalam jaringan epikutikula,
epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan lainnya. Pada akhirnya semua
jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu ada beberapa jenis jamur yang
mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan toksin yang sangat
mempengaruhi fisiologi serangga. Karena pengaruh infeksi jamur terhadap
pembentukan pigmen, larva atau instar serangga yang terserang jamur
memperlihatkan perubahan warna tertentu seperti warna merah muda dan merah.
Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan
sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia primer dan
sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konidia tersebut muncul keluar
dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan,
air, dll.
Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin dan
kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran
konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada populasi inang.
Saat ini jamur Metarhizium anisopliae telah digunakan secara luas di
Indonesia untuk pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang menyerang kelapa,
wereng coklat, ulat jengkal (Ectropis bhurmitra). Jamur ini juga sudah
dikembangkan untuk pengendalian hama wereng daun, penggerek batang padi,
hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur Beauveria bassiana
56
telah dicoba untuk pengendalian hama wereng padi coklat dan hama penggerek
buah kopi (Hypothenemus hampei). Mortalitas Helopeltis sp dapat mencapai 98%
setelah disemprot dengan B. bassiana, bahkan hama penting pada kelapa sawit,
Darna catenata mampu dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian
dengan menggunakan jamur Hirsutella citriformis dapat menurunkan populasi
Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan populasi mencapai 82% dengan jamur
Paecilomyces fumosoroseus terhadap jenis hama yang sama. Hama wereng coklat
dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur Enthomopthora sp. Ulat api Setora
nitens mampu ditekan perkembangannya dengan Cordyceps purpurea. Helopeltis
sp. dapat dikendalikan dengan jamur Spicaria sp. Jamur Verticillium mampu
menekan populasi Scotinophora coartata, Aphis, dan kutu putih Aleurodichus
destructor.
Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan membuktikan pestisida
dapat menghambat perkecambahan konidia primer dan pengurangan pelepasan
konidia sekunder berikutnya.

3. Bakteri
Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri pembentuk spora. Kelompok
pertama mempunyai peranan sebagai faktor mortalitas alami yang penting, tetapi
karena sifatnya yang kosmopolitan sukar digunakan sebagai agens pengendalian
hayati.
Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk spora yang
pada saat ini telah banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Dua jenis
bakteri patogen yang penting Bacillus popiliae dan Bacillus thuringiensis. Bacillus
popiliae menyebabkan gejala seperti penyakit susu yang menyerang kumbang
Jepang Popiliae japonica dan kumbang skarabid lainnya. Bacillus thuringiensis
sangat efektif digunakan untuk pengendalian larva ordo Lepidoptera, dan larva
nyamuk. B. fibourgenesis dapat dipakai pada hama uret Melolontha melolontha.
Beberapa famili bakteri yang berpotensi sebagai sumber alternatif baru patogen
serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya Pseudomonadaceae,
Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae, Bacillaceae (Tabel 2).

Tabel 2. Beberapa genera bakteri patogen serangga


No Macam bakteri Serangga peka
1 Pseudomonadaceae
P. aeruginosa Belalang
P. septica
2 Enterobacteriaceae
E. aerogenes Lepidoptera
P. P. vulgaris Belalang
Q. P. mirabilis
3 Lactobacilliaceae
Diplococcus spp. Kecoa
4 Micrococaceae
Micrococcus spp. Lepidoptera
5 Bacillaceae

57
Bacillus popilliae Uret
B. cereus Lepidoptera

Studi tentang Bacilus thuringiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan
berkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang
berbeda sifatnya. Dikenal lebih dari 700 varietas atau strain Bt, dan penemuan
varietas atau strain Bt baru terus berlanjut. Strain Bt diklasifikasikan menjadi 29
subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (δ-endotoksin) gen-gen protein berhasil
diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif terhadap serangga sasaran dan ramah
lingkungan. Karena sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk
memformulasikannya.
Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang
mengandung protein beracun atau endotoksin. Bila spora dan kristal bakteri
dimakan oleh serangga yang peka maka terjadi paralisis yang mengakibatkan
kematian inang. Kristal bakteri akan melarut dalam saluran pencernaan, dalam
jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang dapat mematikan serangga.
Dari kristal Bt paling sedikit telah diketahui adanya 4 jenis racun atau toksin.
Bila larva muda atau larva tua terkena Bt dapat kita lihat adanya reaksi
pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak
mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian
larva dapat terjadi dalam kurun waktu dalam beberapa jam sampai 4 5 hari setelah
infeksi pertama tergantung pada serotipe atau strain Bt dan kepekaan serangga
inang.
Meskipun Bt telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang tetapi
masih memerlukan banyak kegiatan pengembangan berhubung karena banyak
strain baru ditemukan dan adanya sifat-sifat serangga yang khas baik
ketahanannya terhadap strain tertentu maupun kepekaannya (Tabel 3).
Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan Bt
dalam menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari formulasi
pestisida ini adalah keterbatasan dalam mencapai sasaran. Insektisida hanya aktif
apabila termakan oleh hama sasaran. Bahan aktifnya tidak mampu menembus
kutikula serangga maupun jaringan tanaman. Dengan demikian insektisida ini
belum mampu mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman
seperti penggerek batang padi, penggerek buah kapas.

Tabel 3. Beberapa produk Bt yang sudah dipasarkan


No Strain Merk dagang Serangga sasaran
1 Kurstaki Dipel WP, Thuricide Lepidoptera
HP, Bactospeine WP,
Condor F
2 Aizawai Bacillin WP, Bite WP, Lepidoptera
Turex WP, Florbac FC

Munculnya masalah resistensi hama terhadap penggunaan B. thuringiensis


belum banyak dilaporkan. P. xylostella strain Lembang dilaporkan telah resisten
terhadap insektisida Dipel WP, Thuricide WP dan Thurex WP, namun P. xylostella
strain Garut masih rentan terhadap B. thuringiensis. Seleksi ke arah timbulnya
58
resistensi kemungkinan dapat terjadi apabila pemanfaatan teknologi ini tidak
dilakukan secara tepat.

4. Protozoa dan Rikettsia


Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada
umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia. Telah dapat dikenal lebih
dari 250 spesies mikrosporodia yang menyerang serangga. Tiga jenis
mikrosporodia antara lain Nosema locustae, N. acridophagus, dan N. cuneatum
telah dijadikan sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama belalang
khususnya di Amerika. Jenis Coccidia mampu menginfeksi hama gudang Tribolium
confusum hingga 68%. Kelompok protozoa ini ternyata sangat potensial untuk
mengendalikan hama Sexava sp. Leptomonas pyrhocoris dari golongan
Mastigophora dapat menurunkan populasi kepinding, Malpighamoeba locusta dari
jenis Amoeba berpotensi terhadap belalang sedangkan Nosema bombyces yang
pertama kali diisolasi dari ulat sutera (Bombyx mori) berpotensi untuk
mengendalikan beberapa hama penting seperti Spodoptera litura.
Penyebaran mikrosporodia melalui makanan dan dipindahkan dari induk
yang terinfeksi ke keturunannya. Pengaruh mikrosporodia terhadap kehidupan
inangnya relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar
luas yang secara alami dapat menjadi faktor mortalitas yang penting bagi serangga
inangnya.
Jenis rikettsia banyak menyerang kumbang. Kematian akibat rikettsia baru
terjadi pada 1-4 bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian
akibat agens hayati yang lain seperti jamur, bakteri dan nematoda. Walaupun
demikian patogen jenis ini memiliki peluang yang besar untuk dijadikan agens
pengendalian hayati khususnya di Indonesia. Rikettsia mampu menyebabkan
kematian pada Popillia japonica, Melolontha melolontha dan Oryctes rhinoceros.

5. Nematoda
Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak spesies
nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga baik yang bersifat parasit
obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga,
Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan tersebar (terdiri atas 50 genera
dan 200 spesies). Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk ke dalam tubuh
serangga melalui kutikula dan kemudian masuk ke dalam hemocoel. Setelah
berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari
tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau
sesudah nematoda meninggalkan tubuh inangnya.
Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis spp dan
Steinernema spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri. Inang yang
terserang nematoda akan mengalami septisemia dan akhirnya mati. Nematoda
masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami serangga seperti
mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya nematoda menuju ke saluran
pencernaan kemudian melepaskan bakteri simbion yang bersifat racun. Dalam
beberapa jam bakteri tersebut melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan
meracuni tubuh serangga.
Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah
aplikasi. Tubuh serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan terjadi
59
perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan jika terserang Steinernema spp
dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp.
Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang sampai
menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase
reproduktif yaitu memperbanyak keturunan apabila populasi nematoda dalam tubuh
inang rendah sedangkan apabila populasi tinggi akan memasuki fase infektif.
Nematoda stadium ketiga atau sering disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh
serangga dan berusaha untuk mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan
hidup lama sampai memperoleh inang kembali dan fase ini merupakan satu-
satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang.
Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini adalah
kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat, memiliki kisaran inang
yang luas diantaranya Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera, tidak
menyebabkan resistensi hama, tidak berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya
bagi mamalia dan vertebrata serta kompatibel dengan pengendalian lain.
Jenis Steinernema spp telah terbukti mampu mengendalikan lebih dari 100
spesies serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera. Steinernema
carpocapsae dapat mengendalikan hama penggerek (Schirpophaga sp, Chilo sp),
Helicoverpa armigera hingga 65%. Pada pengujian yang lain, Steinernema spp
mampu menyebabkan kematian Spodoptera exigua sampai 98%, Spodoptera litura
99% bahkan 100% untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis. S. carpocapsae
juga telah terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas pada Cylas
formicarius.

STRATEGI PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PATOGEN HAMA

Patogen serangga dapat digunakan dalam PHT dengan beberapa strategi


atau cara yaitu:
1. Memanfaatkan Secara Maksimal Proses Pengendalian Alami oleh Patogen
Hama
Ada banyak jenis patogen seperti virus dan jamur yang mampu menekan
populasi hama secara alami sehingga populasi tetap berada di bawah aras
ekonomi. Kita harus menjaga ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen dapat
melaksanakan fungsinya secara "density dependent". Untuk itu keadaan dan
perkembangan patogen hama yang penting perlu terus dipantau dan menjaga
tindakan-tindakan yang mengurangi berfungsinya patogen hama dapat dibatasi
sekecil mungkin. Salah satu tindakan yang merugikan adalah penggunaan
pestisida. Oleh karena itu pestisida sebaiknya hanya digunakan apabila berbagai
agens pengendalian alami (termasuk patogen hama) tidak mampu menghentikan
laju peningkatan populasi hama yang berhasil melampaui Ambang Pengendalian.

2. Introduksi dan Aplikasi Patogen Hama sebagai Faktor Mortalias Tetap


Prinsip penggunaan patogen hama di sini sama dengan introduksi serangga
parasitoid atau predator untuk menekan populasi hama untuk jangka waktu yang
panjang. Caranya adalah dengan memasukkan dan menyebarkan patogen pada
suatu ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen tersebut mantap di ekosistem
yang baru ini sehingga kemudian menjadi faktor mortalitas tetap bagi spesies hama
60
yang dikendalikan. Cara ini yang paling berhasil dilakukan untuk mengendalikan
hama yang nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Ekonomi cukup tinggi karena
untuk pengembangan permulaan bagi patogen diperlukan kepadatan populasi
inang yang cukup.

3. Aplikasi Patogen Hama sebagai Insektisida Mikrobia


Sasaran aplikasi patogen hama dengan cara ini adalah guna menekan
populasi hama untuk sementara waktu. Oleh karena itu aplikasi patogen perlu
dilakukan beberapa kali sama prinsipnya dengan penggunaan insektisida sintetik
organik. Saat ini beberapa jenis patogen seperti NPV dan Bacillus thuringiensis
telah dipasarkan dengan nama dagang tertentu.
Berbeda dengan insektisida sintetik organik maka insektisida mikrobia
mempunyai beberapa keuntungan yaitu bersepektrum sempit atau khas inang dan
aman bagi lingkungan hidup serta tidak membahayakan binatang bukan sasaran.
Kecuali itu apabila keadaan lingkungan memungkinkan patogen hama yang
diaplikasikan pada ekosistem mungkin dapat menjadi pengendali alami hama yang
permanen di ekosistem tersebut.

PEMBIAKAN MASSAL AGENS PENGENDALIAN HAYATI

Pengendalian dengan agens hayati dalam skala luas memerlukan jumlah


agens hayati yang relatif mencukupi sehingga perlu usaha pembiakan massal.
Pembiakan massal dilakukan untuk mengembangbiakkan agens hayati dengan
menggunakan media alami maupun media buatan dalam habitat atau lingkungan
yang dibentuk sesuai lingkungan aslinya sehingga diperoleh sejumlah tertentu
sesuai kebutuhan. Pada saat ini usaha pembiakan massal agens hayati telah
banyak dilatihkan dan dilakukan di Indonesia baik oleh laboratorium dinas maupun
oleh para kelompok petani terutama yang telah mengikuti SLPHT. Namun dalam
pembiakan massal perlu adanya tahap-tahap khusus yang harus diperhatikan dan
dilakukan sehingga nanti akan diperoleh hasil yang memuaskan. Tahapan atau
kaidah-kaidah pembiakkan tersebut berfungsi sebagai pedoman utama dalam
melaksanakan usaha pembiakan. Ada 10 tahapan pembiakan massal agens hayati
atau kontrol kualitas pengembangbiakkan agens pengendalian hayati yang
diterapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di
Propinsi DIY sebagai berikut:

1. Eksplorasi dan Koleksi


Eksplorasi bertujuan mencari sumber genetik baru yang berpotensi
sebagai agens pengendalian hayati. Eksplorasi dilakukan pada wilayah luas
yang diperkirakan terdapat sumber genetik baru. Serangga yang ditemukan
terserang patogen dikoleksi dan selanjutnya dimanfaatkan untuk tahapan
selanjutnya.

2. Pemurnian
Pemurnian dilakukan untuk pemilihan media yang cocok dan
memperoleh stok spora. Pemurnian merupakan tahapan yang sangat penting
61
untuk memperoleh stok spora sesuai yang diharapkan. Dalam pemurnian ini
kontaminasi sering terjadi akibat sterilisasi alat dan ruangan yang kurang
sempurna.

3. Postulat Koch
Pengujian akan memperkuat dugaan bahwa agens hayati yang
ditemukan benar-benar bersifat patogenik terhadap serangga. Pengujian
dilakukan pada serangga yang sama dan dilakukan di laboratorium.
4. Perbanyakan Spora
Perbanyakan spora merupakan usaha pemilihan substrat pengganti yang
cocok untuk pengembangbiakan selanjutnya. Spora B. bassiana yang berasal
dari walang sangit (Leptocorisa acuta) mati dicoba diperbanyak pada media
nasi, jagung ataupun dedak. Media yang menghasilkan spora paling tinggi dipilih
sebagai media.
5. Sporulasi
Media yang paling cocok dan menjadi pilihan adalah media yang
memberikan efek sporulasi tinggi, murah dan mudah diperoleh.
6. Viabilitas
Viabilitas merupakan kemampuan atau daya kecambah spora agens
hayati. Agens hayati dinilai baik apabila viabilitasnya 95%.
7. Uji patogenisitas
Pengujian patogenisitas yang bertujuan mengetahui konsentrasi yang
tepat dan mampu membunuh serangga sasaran biasanya dilakukan di
laboratorium ataupun green house. Pengujian tingkat konsentrasi tersebut akan
menghasilkan konsentrasi efektif yang nantinya akan menjadi pedoman
rekomendasi di lapangan.
8. Uji efektivitas
Konsentrasi efektif yang diperoleh dari uji patogenisitas digunakan untuk
uji efektifitas. Pengujian ini bertujuan mencari stadia serangga yang rentan
terhadap agens hayati pada konsentrasi tertentu.
9. Uji virulensi
Agens pengendalian hayati yang sudah mengalami tahap-tahap uji
tersebut sudah dipastikan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga
hama. Uji virulensi dilakukan untuk mengetahui agens hayati tersebut virulen
atau tidak baik dalam kondisi baru maupun telah disimpan dalam media dan
jangka waktu tertentu.
10. Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu cara penting untuk menilai keberhasilan
pelepasan agens pengendalian hayati. Evaluasi tehadap hasil yang diperoleh
dilakukan segera setelah aplikasi. Dalam evaluasi tersebut dilakukan juga
peremajaan agens hayati yang sudah lama disimpan.

62
CARA PENGGUNAAN PATOGEN SERANGGA DI LAPANGAN

Mengingat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh patogen serangga


maka dalam pemanfaatan patogen sebagai agens pengendalian hayati perlu
diperhatikan beberapa faktor penting yang mempengaruhi tingkat keefektifan
patogen terhadap serangga sasaran, antara lain:

1. Dosis.
Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam
peningkatan keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan
dan ruang antar patogen sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga
mampu menurunkan daya bunuh terhadap serangga sasaran.
2. Waktu aplikasi
Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak
terkena cahaya matahari secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan
patogen tidak aktif bahkan dapat membunuh patogen dalam waktu yang relatif
cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan pagi atau sore hari. Kelembaban
tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen.
3. Penyelimutan
Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian
tanaman maupun serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen
dengan serangga sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang
mengkonsumsi patogen dengan cepat diharapkan mengalami kematian secara
cepat juga.
4. Derajat kemasaman, pH
Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen.
Pelarut dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal (pH 7). Kondisi
basa menyebabkan delta endotoksin pada Bt akan rusak dan efektifitasnya
menurun.
5. Anti mikrobiosis
Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang
dapat mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh
tanaman tembakau dapat menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Patogen
tersebut juga terhambat pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan
terpenoid pada tanaman kapas. Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat
menghambat pembentukan koloni dan pertumbuhan jamur patogen B. bassiana.
Asam klorogenik pada tanaman tomat dapat mengurangi efektifitas NPV dari
Helicoverpa zea.
6. Hama sasaran
Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama
sasaran dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan,
63
ketidakcocokan pakan, kepadatan yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat
kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu sebelum aplikasi patogen di
lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran.

7. Kompatibilitas
Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat
dipadukan dengan agens pengendalian yang lain sehingga daya bunuhnya lebih
efektif dan hasilnya akan lebih memuaskan.
8. Ketahanan inang
Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan
dengan bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun
lingkungan.

bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
64
Materi 8

PENGENDALIAN KIMIAWI
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami sifat dan pengelompokan pestisida khususnya
insektisida
2. Mempelajari dan memahami dampak negatif penggunaan pestisida kimia
3. Mempelajari dan memahami penggunaan pestisida sebagai salah satu
komponen PHT

Materi:
Pengendalian hama secara kimiawi adalah penggunaan pestisida kimia untuk
mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang
dibudidayakan.
Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat
manusia telah memberikan banyak jasanya bagi keberhasilan dalam banyak bidang
pembangunan termasuk pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan
masyarakat. Berkat pestisida umat manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman
penyakit manusia yang membahayakan seperti malaria dan demam berdarah yang
ditularkan oleh nyamuk. Di bidang pertanian penggunaan pestisida mampu
menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang
memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Karena keberhasilan
tersebut di dunia pertanian, pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman hortikultura, pangan
maupun perkebunan. Pestisida sedemikian melekatnya pada kegiatan pertanian di
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari reaksi petani apabila menghadapi terjadinya
serangan hama tentu akan menanyakan pestisida apa yang tepat digunakan dan
dimana dapat diperolehnya?
Kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida secara global sejak
tahun 1960an juga terjadi di Indonesia. Sejak dicanangkannya program
pembangunan nasional di sektor pertanian, penggunaan pestisida meningkat
dengan sangat pesat. Sekitar tahun 1970 sampai 1980-an pestisida paling banyak
digunakan dalam program intensifikasi pangan terutama dalam program
swasembada beras melalui program nasional BIMAS. Bila pada tahun 1970
penggunaan pestisida untuk padi kurang dari 1000 ton pada tahun 1986 pestisida
untuk padi sudah mencapai 18.000 ton. Peningkatan penggunaan pestisida ini juga
terjadi pada komoditas pertanian lainnya. Namun setelah Pemerintah mencabut
subsidi pestisida pada tahun 1989 serta diterapkannya konsep PHT oleh petani
padi, penggunaan pestisida khususnya insektisida di tanaman padi cenderung
menurun. Tanaman pertanian pangan di Indonesia yang saat ini masih banyak
menggunakan insektisida adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran
dataran tinggi, sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pada tanaman kapas.
Seiring dengan perdagangan bebas yang semakin terbuka, saat ini berbagai jenis
pestisida generik memasuki Indonesia sehingga pada tahun 2002 jumlah formulasi

65
pestisida yang telah terdaftar di Indonesia sudah melampaui 1000 formulasi.
Jumlah pestisida yang diproduksi pada tahun 2000 sekitar 60.000 ton.
Meskipun pestisida kimia memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi petani
dan masyarakat, tetapi risiko yang berupa dampak negatif bagi kesehatan dan
lingkungan semakin lama semakin nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Salah
satu cara agar risiko pestisida dapat ditekan serendah mungkin yakni Pemerintah di
semua negara melakukan pengaturan terhadap semua produksi, peredaran,
perdagangan, penggunaan, penyimpanan dan pengawasan pestisida. Banyak
kesepakatan dan standar pengaturan yang telah ditetapkan secara internasional
dan harus diterapkan oleh semua negara. Tujuan pengaturan pestisida oleh
pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup
terhadap dampak samping penggunaan pestisida, serta untuk menjaga tingkat
efektivitas pestisida dalam pengendalian hama sasaran.

A. PENGELOMPOKAN PESTISIDA

Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal


dari kata insekta = serangga dan kata Latin cida yang berarti pembunuh.
Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida. Pestisida adalah pembunuh
hama yang berasal dari kata pest = hama dan cida = pembunuh. Sedangkan
kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida (pembunuh rodent tikus),
akarisida (pembunuh tungau), nematisida (pembunuh nematoda), fungisida
(pembunuh jamur), herbisida (pembunuh gulma). Tabel 4 menjelaskan nama
kelompok pestisida berdasar pada kelompok organisme sasaran. Karena jumlah
kelompok, jenis dan produksi insektisida saat ini lebih banyak daripada kelompok-
kelompok pestisida lain, biasanya yang dmaksud dengan pestisida adalah
insektisida.

Tabel 4. Pengelompokan Pestisida Berdasar pada Kelompok Hama yang


Dikendalikan
Nama kelompok
No Kelompok hama yang dikendalikan
pestisida
1. Akarisida Tungau, pinjal dan laba-laba
2. Adultisida Serangga dewasa
3. Algisida Alga
4. Arborisida Pepohonan, semak-semak
5. Avisida Burung
6. Bakterisida Bakteri
7. Fungisida Jamur
8. Insektisida Serangga dan juga pinjal dan tungau
9. Ixosida Pinjal
10. Larvisida Larva
11. Mitisida Tungau, pinjal, dan laba-laba
12. Moluskisida Moluska terutama siput dan keong
13. Nematisida Nematoda
14. Ovisida Telur
15. Piscisida Ikan
66
16. Predasida Vertebrata hama
17. Rodentisida Tikus
18. Silvisida Pepohonan dan semak
19. Termitisida Rayap, semut

PEMBERIAN NAMA PESTISIDA

Nomenklatur atau cara pemberian nama suatu jenis pestisida ada


ketentuannya. Suatu jenis pestisida ditandai oleh 3 cara penamaan yaitu nama
umum, nama dagang, dan nama kimiawi. Nama dagang ditetapkan oleh
produsen atau formulator insektisida yang membuat dan memperdagangkan
pestisida tersebut. Karena satu jenis pestisida dapat dibuat oleh beberapa
perusahaan sehingga untuk pestisida tersebut mempunyai beberapa nama dagang.
Nama kimia merupakan nama yang digunakan oleh ahli kimia dalam menjelaskan
suatu senyawa kimia sesuai dengan rumus bangun senyawa insektisida tersebut.
Suatu contoh diambil jenis insektisida yang sampai saat ini masih
diguanakan untuk pengendalian penggerek batang padi di Indonesia.
1. Nama umum : karbofuran
2. Nama dagang : Furadan®, Currater®, Indofur®, Dharmafur®.
3. Nama kimia : 2,3-dihidro 2,2,-dimeti l-7-benzonil metilkarbamat
4. Rumus bangun senyawa tersebut adalah sbb:

Gambar 23. Rumus bangun Karbofuran

Dalam praktek penggunaan sehari-hari terutama oleh petani, biasanya


nama dagang lebih populer. Dalam forum ilmiah seperti publikasi seminar atau
tesis, dll. digunakan nama umum. Dalam pembicaraan khusus tentang aspek-aspek
kimiawi pestisida nama kimia pestisida digunakan.

PENGGOLONGAN INSEKTISIDA

Insektisida kimia dapat dikelompokan dalam beberapa cara menurut


pengaruhnya terhadap serangga sasaran, menurut cara masuknya dalam tubuh
serangga, dan menurut sifat kimianya.

1. Pengelompokan Insektisida Berdasarkan Pengaruhnya Terhadap Hama

67
Insektisida dapat dikelompokkan menurut pengaruh yang merugikan bagi hama
sasaran yang akhirnya dapat menurunkan populasi hama. Pengelompokan
insektisida menurut pengaruh pada serangga sasaran seperti terlihat pada
Tabel 5.

2. Pengelompokan Menurut Cara Masuk ke Tubuh Serangga


Dilihat dari cara masuknya (mode of entry) ke dalam tubuh serangga
insektisida dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan
fumigan.

a. Racun Perut (stomach poison)


Insektisida memasuki tubuh serangga melalui saluran pecernaaan
makanan (perut). Serangga terbunuh bila insektisida tersebut termakan oleh
serangga. Jenis-jenis insektisida lama umumnya merupakan racun perut,
sedangkan insektisida modern sangat sedikit yang merupakan racun perut.

b. Racun Kontak (contact poison)


Insektisida memasuki tubuh serangga bila serangga mengadakan kontak
dengan insektisida atau serangga berjalan diatas permukaan tanaman yang
telah mengandung insektisida. Di sini insektisida masuk ke dalam tubuh
serangga melalui dinding tubuh. Insektisida modern pada umumnya merupakan
racun kontak. Apabila permukaan tanaman yang mengandung insektisida
tersebut dimakan serangga, racun tersebut juga memasuki tubuh serangga
melalui saluran pencernaan. Contoh insektisida racun kontak adalah BHC dan
DDT.

68
Tabel 5. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Pengaruhnya pada
Serangga
Kelompok Pestisida Pengaruh pada hama
Antifidan Menghambat nafsu makan sehingga serangga kelaparan
(anti-feedant) yang akan menyebabkan kematian
Antitranspiran
Mengurangi sistem transpirasi serangga
(Anti-transpirant)
Atraktan
Penarik hama, seperti atraktan seks
(attractant)
Khemosterilan
Menurunkan kemampuan reproduksi hama
(chemosterilant)
Defolian Merontokkan bagian tanaman yang tidak diinginkan,
(defoliant) tanpa membunuh seluruh bagian tanaman
Desikan
Mengeringkan bagian tanaman dan serangga
(desiccant)
Disenfektan
Merusak atau mematikan organisme berbahaya
(disinfectant)
Perangsang makan
Menyebabkan serangga lebih giat makan
(feeding stimulant)
Pengatur
Menghentikan, mempercepat, atau memperlambat
pertumbuhan
proses pertumbuhan tanaman atau serangga
(growth regulator)
Repelen Mengarahkan serangga agar menjauh dari yang
(repellent) diperlakukan
Feromon, alomon dan kairomon; zat kimia yang
Semiokimia dikeluarkan oleh tanaman atau hewan, yang
merangsang atau menghambat perilaku serangga
Sinergis
Meningkatkan efektivitas bahan aktif
(synergist)

c. Fumigan
Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan
masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem
trachea yang kemudian diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Karena sifatnya yang
mudah menguap fumigan biasanya digunakan untuk mengendalikan hama
simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup dan juga untuk
mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Contoh fumigan adalah
hidrogen sianida (HCN), fosfin dan metil bromida.

3. Pengelompokan Menurut Sifat Kimianya


Pengelompokan insektisida yang paling penting adalah menurut sifat
kimianya. Insektisida kimia konvensional secara garis besar dapat dibagi menurut
sifat dasar senyawa kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yaitu insektisida
yang tidak mengandung unsur Karbon dan insektisida organik yang mengandung
unsur Karbon.
Insektisida-insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya
merupakan insektisida anorganik. Contoh insektisida anorganik adalah kalsium

69
arsenat, Pb arsenat, sodium fluorid, kriolit, dan belerang. Kelemahan
insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk manusia,
residu di lingkungan lama atau persisten, fitotoksisitas tinggi, masalah ketahanan
hama terhadap insektisida, dan umumnya memiliki efikasi lebih rendah bila
dibandingkan insektisida organik sintetik.
Sedangkan insektisida kimia setelah masa Perang Dunia II setelah
ditemukannya DDT umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik
masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik
sintetik. Insektisida organik alami merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman
(insektisida botani/nabati) dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik
merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi.
Pembagian insektisida organik sintetik konvensional menurut susunan kimia
bahan aktif (senyawa yang memilki sifat racun) terdiri dari 6 kelompok besar yaitu
1) organoklorin (OK), 2) organofosfat (OP), 3) karbamat, 4) piretroid sintetik, 5)
kloronikotinil dan 6) IGR (Insect Growth Regulator). Kecuali 6 kelompok besar
tersebut masih ada beberapa kelompok insektisida baru yang mulai banyak
digunakan dalam praktek pengendalian hama saat ini, seperti heterosiklik,
dinitrofenol, tiosianat dan sulfanat.

a. Organo Klorin (OK)


Insektisida Organo Klorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan
kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai dengan
ditemukannya DDT oleh ahli kimia Swiss Paul Mueller pada tahun 1940-an. Setelah
DDT ditemukan kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis insektisida baru
dengan susunan kimia dasar yang mirip dengan DDT dan kemudian dikelompokkan
dalam golongan Hidrokarbon Klor.
Insektisida kelompok ini merupakan racun kontak dan racun perut, efektif
untuk mengendalikan larva, nimfa, dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan
telur. Insektisida yang termasuk OK pada umumnya memiliki toksisitas sedang
untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi lingkungan dan kesehatan
masyarakat adalah sifat persistensinya yang sangat lama di lingkungan baik di
tanah maupun di jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Misal di daerah sub
tropis DDT dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39 % yang berada di
dalam tanah, sedangkan residu endrin pada 14 tahun setelah perlakuan ternyata
masih dijumpai sebanyak 40% dari residu semula. Persistensi OK di lingkungan
menimbulkan dampak negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan
khronik yang membahayakan kesehatan masyarakat. Permasalahan lain yang
timbul akibat digunakannya DDT secara besar-besaran adalah berkembangnya
sifat resistensi serangga sasaran seperti nyamuk dan lalat terhadapp DDT.
Oleh karena bahayanya insektisida golongan OK sejak tahun 1973 tidak
boleh digunakan untuk pengendalian hama pertanian di Indonesia. Sedangkan di
bidang kesehatan DDT tidak lagi digunakan untuk mengendalian vektor penyakit
malaria sejak 1993.

b. Organofosfat (OP)
Insektisida OP dengan unsur P meliputi semua ester asam fosforik (H 3PO4)
sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan

70
sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa
OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga.
OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat
baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OK, OP
di lingkungan kurang stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-
senyawa yang tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi
serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan sedang sehingga OP secara
bertahap dapat menggantikan OK. Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok
insektsida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan insektisida
OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkoline sterase.
OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan
berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi Oksigen,
Karbon, Sulfur, dan Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi tersebut
dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat yaitu alifatik, fenil, dan heterosiklik.
Derivat alifatik meliputi insektisida-insektisida yang antara lain TEPP, malation,
dimetoat, oksidemetonmetil, dikrotofos, disulfoton, metamidofos, triklorfon, asefat,
forat, terbufos, etoprop, dikloruos, mevinfos, naled, monotrotofos, fosfamidin.
Insektisida OP yang termasuk dalam derivat fenil adalah paration, metil paration,
etil paration, stirofos, fention, fonofos, profenofos, isofenfos, fenitrotion, triazofos,
dan fentoat. Insektisida OP derivat heterosiklik banyak jenisnya. Dari kelompok ini
insektisida yang terkenal adalah diazinon dan lainnya seperti asinfos, klorpirifos ,
fention, fosmet, stirofos, temefos, metidation, fosmet, kuinalfos, dll.

c. Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak
digunakan secara luas untuk pengendalian hama tanaman. Insektisida karbamat
relatif baru bila dibandingkan dengan 2 kelompok insektisida OK dan OP. Cara
karbamat mematikan serangga sama dengan insektisida OP yaitu melalui
penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada sistem syaraf. Insektisida
tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan binatang, sehingga
tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti OK. Beberapa karbamat
memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun.
Pestisida karbamat dapat dikelompokkan dalam 3 kelas yaitu 1) metil
karbamat dengan bangunan cincin fenil. Yang termasuk dalam kelas ini adalah
BPMC, MICP, Isokarb, dll; 2) metil karbamat dan dimetil karbamat dengan struktur
heterosiklik seperti dijumpai pada bendiokarp, karbofuran, dioxakarb, dll; 3) metil
karbamat dari oksin yang mempunyai struktur rantai. Termasuk dalam kelas ini
adalah aldikarb, metomil, dan yang lain. Aldikarb merupakan insektisida karbamat
yang paling beracun juga merupakan insektisida sistemik yang digunakan untuk
pengendalian serangga dan nematoda. Karena toksisitas sangat tinggi aldikarb
sekarang dilarang di Indonesia. Propoksur merupakan insektisida yang umum
digunakan di dalam rumah untuk pengendalian serangga rumah tangga seperti
nyamuk, kecoa, lalat, dll.

d. Sintetik Piretroid (SP)


Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional
yang baru digunakan secara luas sejak tahun 1970-an dan saat ini
perkembangannya sangat cepat. Keunggulan piretroid sintetik (PS) karena memiliki
71
pengaruh knock down atau kemampuan menjatuhkan serangga dengan cepat dan
tingkat toksisitas rendah bagi manusia dan mamalia. Kelompok Piretroid Sintetik
merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida nabati piretrum yaitu sinerin I yang
berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium.
PS seringkali dikelompokan menurut generasi perkembangannya di
laboratorium. Biasanya generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat PS
generasi sebelumnya. Sampai saat ini sudah dikenal 4 generasi PS. Salah satu
anggota generasi pertama adalah alletrin, generasi kedua adalah resmetrin. Yang
paling banyak digunakan sekarang adalah generasi PS yang ketiga dan keempat.
Generasi PS ketiga antara lain fenvalerat dan permetrin banyak digunakan untuk
pengendalian hama-hama kapas, kedelai dan sayuran. Untuk memperoleh
efektivitas yang sama dosis aplikasi inesktisida PS generasi baru lebih kecil bila
dibandingkan dengan aplikan OP dan OK. Generasi PS keempat lebih hemat lagi
dibandingkan dengan generasi ketiga. Untuk lahan seluas 1 ha hanya diperlukan
10-40 g bahan aktif. Beberapa PS yang termasuk generasi keempat yang saat ini
juga sudah diijinkan di Indonesia antara lain sipermetrin, flusitrinat, fenpropatrin,
fluvalinat, sihalotrin, deltametrin dan siflutrin.
Pada umumnya PS menunjukkan toksisitas rendah bagi mamalia tetapi
sangat beracun bagi ikan dan lebah. Residu PS di hasil-hasil pertanian tidak
menjadi masalah. Meskipun daya mematikan hama sasaran sangat tinggi dan PS
sedikit menghadapi permasalahan lingkungan, namun insektisida PS menghadapi
permasalahan utama yaitu percepatan perkembangan strain hama baru yang
tahan.

e. Kloronikotinil
Kloronikotinil merupakan kelas baru insektisida sintetik. Bila piretroid
merupakan tiruan produk alami piretrum, kloronikotinil juga merupakan tiruan atau
analog produk nikotin. Kelas insektisida ini sampai sekarang baru diwakili oleh satu
bahan aktif yaitu imidakloprid yang telah diijinkan di Indonesia. Imidakloprid
meruapakan insektisida sistemik dan kontak dengan sasaran hama yang
mempunyai tipe mulut pencucuk dan pengisap seperti aphis, wereng, trips dan kutu
daun. Juga efektif untuk mengendalikan rayap, serangga tanah dan beberapa jenis
kumbang. Karena cara aksi terhadap serangga sasaran berbeda dengan kelompok-
kelompok insektisida kimia lain, kloronikotinil dapat dimanfaatkan untuk
mengendalikan jenis hama yang telah resisten terhadap kelompok/jenis insektisida
tertentu.

f. Pengatur Pertumbuhan Serangga (IGR = Insect Growth Regulator)


Kelompok insektisida lain yang memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi
adalah kelompok insektisida baru yang tidak termasuk dalam kelompok insektisida
konvensional. Kelompok insektisida baru adalah yang termasuk dalam golongan
IGR (Insect Growth Regulator) atau Zat Pengatur Pertumbuhan Serangga. IGR
pada hakekatnya mengganggu aktivitas normal sistem endokrin serangga.
Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu perkembangan embrionik,
perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi, ataupun perilaku
diapause.

72
Yang termasuk dalam IGR adalah ekdison (hormon penggantian kulit),
hormon juvenil (JH), mimik atau tiruan hormon juvenil, analog hormon juvenil (JHA),
antihormon juvenil serta insektisida penghambat khitin. Agonis ekdison merupakan
IGR yang paling baru tetapi sudah cukup tersedia di pasar. Contoh IGR ini adalah
tebufenozoid, metoxyfenozoid, dan halofenozoid. Hormon juvenil yang sekarang
telah dipasarkan dan digunakan untuk pengendalian serangga di Amerika Serikat
adalah metoprin, kinoprin, hidroprin, dan venoksikarb, sedangkan insektisida
penghambat sintesis khitin adalah diflubenzuron, bensoil finil ureas, teflubenzuran,
triflumuron, klorfluazuron. Sejak tahun 1986 untuk pengendalian hama wereng padi
terutama wereng coklat kita mulai menggunakan salah satu senyawa penghambat
khitin yaitu buprofezin. Sampai tahun 2002 ini sebagian insektisida IGR tersebut
telah terdaftar di Indonesia seperti tebufenozide, methoxyfenozide, dan
halofenozide. Tebufenozide dan methoxyfenozide untuk mengendalikan
Lepidoptera sedangkan halofenozide untuk Coleoptera.
Karena cara kerja IGR terhadap serangga sasaran adalah dengan
mempengaruhi sistem hormonal serangga yang khas, pada dasarnya IGR memiliki
sifat selektivitas fisiologi yang tinggi terhadap serangga sasaran sehingga sangat
sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Misalkan diflubenzuron sangat efektif terutama
untuk Lepidoptera dan Diptera, sedangkan buprofezin khas untuk wereng daun dan
wereng batang serta serangga-serangga Homoptera lainnya. Untuk kelompok
serangga lainnya seperti serangga predator dan parasitoid insektisida tersebut
kurang berpengaruh. Berbeda dengan insektisida konvensional yang
mempengaruhi sistem syaraf sehingga mematikan serangga dalam waktu cepat,
IGR bekerjanya lambat dan lembut serangga akan mati beberapa hari setelah
diperlakukan dengan IGR. Dengan cara membunuh hama yang demikian, tekanan
seleksi terhadap serangga hama juga lemah sehingga timbulnya sifat resistensi dari
serangga hama dapat dihambat.

g. Insektisida Botanik
Bila insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui
proses sintesis kimiawi, maka insektisida botani atau insektisida nabati merupakan
insektisida yang terbuat dari tanaman. Insektisida botanik atau insektisida nabati
merupakan insektisida alami diambil secara langsung dari tanaman atau dari hasil
tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang paling tua dan banyak
digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik
ditemukan. Karena kesulitan dalam melakukan ekstraksi, dan kurang stabil karena
mudah terurai, penggunaannya semakin berkurang terutama setelah pestisida
kimia sintetik ditemukan dan digunakan.
Namun akhir-akhir ini setelah timbul kekhawatiran mengenai dampak
samping pestisida kimia, penggunaan pestisida botanik kembali memperoleh
perhatian dari pemerintah dan petani sebagai solusi alternatif bagi pestisida kimia.
Pestisida botanik telah lama dikenal sebagai pestisida yang risikonya kecil bagi
kesehatan dan lingkungan hidup.
Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan inventarisasi mengenai
berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar lahan petani untuk dijadikan pestisida
nabati. Petunjuk mengenai cara penyiapan, ektraksi dan penggunaan pestisida
nabati telah dibuat dan diedarkan kepada para petani pekebun. Dalam kegiatan
pelatihan SLPHT-Perkebunan Rakyat juga diberikan pelatihan penggunaan
73
pestisida nabati. Dari inventarisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Bina
Perkebunan yang memuat daftar jenis-jenis tanaman di Indonesia yang dapat
digunakan sebagai pestisida nabati (Lampiran).
Beberapa jenis insektisida botanik yang sudah lama dikenal dan digunakan
adalah piretrum yang diambil dari bunga Chrysanthemum. Demikan juga rotenon
diambil dari akar tanaman leguminosaea Derris elliptica atau tuba. Rotenon dapat
berupa racun kontak dan perut tetapi pengaruhnya tidak pada sistem syaraf.
Pestisida nabati yang prospektif dan banyak diteliti oleh para pakar pada dua
dekade akhir ini adalah Azadirachtin salah satu bahan aktif yang diambil dari
tanaman nimba atau mimba (Azadirachta indica). Tanaman mimba sejak lama telah
dikenal dan digunakan sebagai pestisida nabati. Lebih dari 200 spesies serangga
hama dapat dikendalikan secara efektif dengan ekstrak tanaman tersebut. Karena
tanaman mimba sudah banyak tumbuh di Indonesia dan sangat sesuai dengan
kondisi tanah dan cuaca di sini, maka prospek penggunaannya untuk pengendalian
hama sangat baik, apalagi bila teknik ekstraksi dan penggunaannya telah dikuasai
petani.
Dari banyak hasil penelitian telah diketahui beberapa cara kerja insektisida
nimba yaitu 1) Mengusir dan menghambat nafsu makan serangga, 2) menghambat
metamorfosis, 3) Mengurangi kesehatan dan daya reproduksi 4) Menghambat daya
bertelur. Cara kerja ekstrak nimba tersebut di atas hampir sama dengan cara kerja
insektisida IGR. Bagian tanaman mimba yang sering digunakan adalah tepung biji,
ampas biji dan daun. Penyiapannya dilakukan dengan cara menggerus biji atau
daun dan membuat ekstrak sederhana dengan dicampur air dan kemudian
disemprotkan dengan menggunakan alat penyemprot biasa. Untuk memperoleh
hasil yang baik dapat ditambahkan minyak dan pengemulsi. Teknologi sederhana
tersebut sangat mudah dilakukan oleh petani dengan biaya yang sangat murah.
Namun untuk keberhasilan pengendalian perlu diperhatikan waktu dan frekuensi
penyemprotan yang tepat sesuai dengan sifat ekobiologi hama sasaran. Kerena
efektivitas dan cara aksinya berbeda dengan pestisida kimia konvensional,
penyemprotan dengan pestisida nabati sebaiknya dilakukan dengan frekuansi yang
lebih banyak dan sewaktu populasi hama masih belum jauh melampaui Ambang
Pengendaliannya.
Beberapa keuntungan penggunaan mimba yaitu efektivitas tinggi, ancaman
terhadap timbulnya resistensi hama relatif kecil karena mengandung banyak zat
yang semuanya mempunyai cara kerja yang berlainan. Ekstrak mimba mempunyai
risiko kecil bagi kesehatan manusia, tidak berbahaya bagi lebah madu, ikan, burung
dan binatang bermanfaat lainnya. Persistensi esktrak mimba rendah, sehingga
cepat teurai menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Sampai saat ini belum
dilaporkan adanya pencemaran tanah dan air akibat dari mimba.

FORMULASI PESTISIDA

Dalam pabrik pembuat insektisida dihasilkan bahan aktif insektisida dalam


bentuk murni. Bahan tersebut belum dapat langsung digunakan untuk kegiatan
pengendalian hama. Agar dapat dimanfaatkan di lapangan dan diperdagangkan
bahan teknis harus diproses lagi menjadi bahan formulasi insektisida. Proses
formulasi insektisida merupakan proses untuk memperbaiki sifat-sifat bahan teknis
74
agar sesuai untuk keperluan penyimpanan, penanganan, aplikasi, peningkatan
efektivitas, atau keamanan bagi manusia dan lingkungan. Sebelum dipasarkan
bahan teknis perlu dicampurkan dengan bahan-bahan tambahan tertentu. Bahan-
bahan tambahan yang tidak bersifat meracuni serangga (insektisidal) secara umum
disebut bahan inert atau inert material. Menurut fungsinya bahan inert dapat berupa
bahan surfaktan, seperti sabun atau deterjen untuk peningkatan daya sebar, daya
emulsi dan pembasahan pada permukaan, pelarut atau solvent, untuk formulasi
pestisida cair agar dapat meningkatkan daya larut, pembawa atau carrier digunakan
untuk formulasi padat seperti serbuk dan butiran agar dapat mengikat/menyerap
serta bahan tambahan khusus seperti a) penstabil (stabilizers), b) sinergis, bahan
yang dapat meningkatkan aktifitas, c) pembasah (wetters), untuk mencegah
degradasi bahan, d) minyak untuk meningkatkan aktifitas biologi insektisida, e)
odorants untuk memberi bau, f) cat dan pigment, g) penebal (thickeners), h)
colouring agents (zat pewarna), dan I) zat anti mikroba.
Pengetahuan dan teknologi pembuatan bahan aktif dan formulasi pestisida
berkembang sangat cepat sehingga ditemukan banyak jenis dan formulasi
pestisida. Agar tidak membingungkan pengguna dan konsumen di pandang perlu
dilakukan harmonisasi atau pembakuan kode formulasi pestisida yang berlaku di
tingkat internasional.
Sistem kode formulasi pestisida mulai dibakukan pada tahun 1978 yang
kemudian direvisi pada tahun 1989. Inisiatif pembakuan kode formulasi ini
dilakukan oleh asosiasi industri pestisida global yaitu Crop Life International (dulu
GCPF). Kode formulasi tersebut diusahakan sederhana, sedapat mungkin terdiri
dari dua huruf besar yang merupakan singkatan. Sekitar 71 kode formulasi
pestisida telah dibakukan. Berikut nama-nama 10 kode formulasi insektisida penting
yang sudah digunakan dan dipasarkan di Indonesia.

1. Emulsifiable Concentrates (EC)


2. Wettable Powders (WP)
3. Suspension Concentrate (SC)
4. Water Soluble Powder (SP)
5. Ultra Low Volume Liiquid (ULV)
6. Dustable Powder (DP)
7. Granules (GR)
8. Aerosol Dispenser (AE)
9. Bait (RB)
75
10. Capsule Suspension (CS)
TOKSISITAS PESTISIDA

Pestisida tidak hanya beracun (toxic) atau berbahaya bagi serangga hama
sasaran juga berbahaya bagi serangga-serangga musuh alami, binatang-binatang
lain, manusia dan komponen-komponen lingkungan hidup. Toksisitas pestisida
dapat dikelompokkan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas
subkronik. Toksisitas akut adalah pengaruh meracuni atau merugikan yang timbul
segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu pestisida, atau pemberian
dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas kronik adalah pengaruh
yang merugikan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang
pestisida dalam jumlah sedikit atau pemaparan oleh pestisida yang berlangsung
sebagian besar rentang hidup suatu organisme (misal, mamalia).
Keracunan akut merupakan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis
tunggal insektisida. Keracunan ini biasanya terjadi pada pekerja yang langsung
bekerja dengan insektisida baik di pabrik, tempat peyimpanan maupun di lapangan,
keracunan terjadi biasanya karena kecerobohan sewaktu penanganan pestisida
atau sewaktu penyemprotan atau yang sengaja meminum insektisida untuk bunuh
diri. Keracunan khronik merupakan keracunan karena penderita terpapar racun
dalam jangka waktu panjang dengan dosis yang sangat rendah. Gejala keracunan
ini baru terlihat selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah penderita
terpapar pestisida. Keracunan khronik yang saat ini oleh masyarakat dunia yang
paling menjadi keprihatinan masyarakat dunia karena semakin tingginya kesadaran
terhadap keperluan adanya lingkungan yang tidak tercemar. Bahaya akibat
keracunan kronik karena terpapar insektisida dapat bersifat carsinogenic
(pembentukan jaringan kanker), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi
yang akan datang), teratogenic (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan),
endocrine destruptor (gangguan hormon endokrin).

1. Pengujian Toksisitas Insektisida


Cara masuk insektisida ke dalam tubuh binatang atau manusia dapat melalui
mulut (rute oral), melalui kulit (rute dermal), atau melalui saluran pernafasan (rute
respiratori, rute inhalasi). Toksisitas akut melalui oral atau dermal merupakan
indikasi bahaya insektisida bagi mamalia dan manusia. Unit pengukuran adalah
miligram (mg) bahan aktif per kilogram (kg) berat tubuh binatang uji (tikus, tikus
putih, kelinci, dan marmut). Binatang uji tersebut dipelihara dalam laboratorium
dengan kondisi standar yang ditetapkan.
Metode untuk menentukan toksisitas relatif pestisida yang telah disepakati
adalah dengan menggunakan dosis median letal (LD 50). Nilai LD50 adalah suatu
dosis insektisida yang diperlukan untuk membunuh 50% dari individu-individu
spesies binatang uji dalam kondisi percobaan yang telah ditetapkan. Penghitungan
mortalitas biasanya dilakukan 24 jam dan 48 jam setelah binatang uji terpapar oleh
insektisida. Satuan nilai LD 50 adalah miligram bahan racun per kg berat tubuh
binatang uji (mg/kg). Pengujian tingkat toksisitas terhadap binatang uji dilakukan
dengan memberikan melalui makanan (oral), aplikasi kulit (dermal) melalui
pernafasan (respiratori, inhalasi). Dari uji laboratorium ini diperoleh nilai LD 50 oral
76
dan LD50 dermal dan LD50 inhalasi. Semakin rendah nilai LD 50 semakin tinggi
toksisitas insektisida tersebut.

2. Tingkat Bahaya Pestisida


Meskipun sangat sulit mengekstrapolasi nilai LD 50 binatang mamalia seperti
tikus atau kelinci untuk menilai tingkat toksisitas pestisida bagi manusia, namun
sudah disepakati secara internaional bahwa nilai dosis letal mamalia tersebut
digunakan untuk melihat tingkat bahaya akut suatu jenis pestisida bagi manusia.
Menurut Bahan Kesehatan Dunia (WHO - World Health Organization) kategori
tingkat bahaya pestisida adalah seperti Tabel 6.
Contoh bahan aktif yang termasuk kategori I adalah aldicarb dengan LD 50
oral untuk tikus adalah 0,93 mg/kg dan LD 50 dermal untuk kelinci adalah 5 mg/kg.
karbofuran LD50 oral untuk tikus 8-14 mg/kg. Propoksur termasuk kategori II karena
LD50 oral, untuk tikus adalah 100 mg/kg, LD 50 diazinon untuk tikus adalah 108
mg/kg, LD50 DDT untuk tikus adalah 113 mg/kg. Yang termasuk kategori III (sedikit
beracun) antara lain sipemetrin (SP) dengan LD 50 tikus antara 303-4123 mg/kg.
Sejak tahun 2000 Pestisida yang termasuk dalam kategori Ia dan Ib termasuk
pestisida dilarang aau tidak boleh didaftarkan di Indonesia.

77
Tabel 6. Tingkat bahaya insektisida menurut ketentuan WHO

Kategori LD50 Oral LD50 Dermal Keterangan yang perlu dicatat di dalam label

Padat Cair Padat Cair Pernyataan Warna Simbol Simbol


(mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) bahaya bahaya dan Kata
Ia
Sangat
berbahaya <5 <20 <10 <40 Sangat Coklat
sekali beracun tua
Sangat
beracun
Ib
Berbahaya 5-50 20-200 10-100 40-400 Beracun Merah
Sekali tua

Beracun
II
Berbahaya 50-500 200-- 100-- 400-- Berbahaya Kuning
2000 1000 4000 tua
Berbahaya
III
Cukup 500-
berbahaya 2000 2000- >1000 >4000 Perhatian Biru Perhatian
3000 muda
IV
Tidak
berbahaya
pada >2000 >3000 Hijau
penggunaan
normal

PENGGUNAAN PESTISIDA SECARA SELEKTIF

Dalam kerangka penerapan PHT penggunaan pestisida harus hati-hati


seminimal mungkin serta selektif dengan sasaran mengurangi populasi hama
sampai pada aras yang tidak merugikan tanpa dengan sesedikit mungkin
membahayakan kesehatan pengguna, masyarakat termasuk konsumen serta
lingkungan hidup. Karena itu penggunaan pestisida harus dilakukan secara lebih
selektif. Selektivitas penggunaan insektisida dapat dibagi menjadi:

1. selektivitas fisiologi atau selektivitas intrinsik


2. selektivitas ekologi
3. selektivitas melalui formulasi dan aplikasi

1. Selektivitas Fisiologi
Selektivitas fisiologi insektisida di sini adalah penggunaan jenis insektisida
yang secara intrinsik hanya mematikan serangga-serangga hama tetapi tidak
membahayakan serangga-serangga yang berharga termasuk musuh alami dan
serangga penyerbuk bunga. Karena sifatnya, maka insektisida yang memiliki
selektivitas fisiologis berspektrum sempit dengan serangga sasaran yang khas.
78
Meskipun banyak insektisida OP, karbamat yang kurang selektif terhadap
predator hama-hama padi tetapi ada juga insektisida OP seperti piridafention dan
tertraklorvinpos yang lebih beracun bagi hama sasaran yaitu wereng hijau padi
Nephotettix spp dan kurang berbahaya bagi predator laba-laba serigala Lycosa
pseudoannulata. Pengujian tentang selektivitas berbagai jenis insektisida yang
saat ini digunakan di Indonesia terhadap hama dan musuh alaminya perlu
dilakukan agar kita mengetahui seberapa jauh tingkat bahaya insektisida tersebut
bagi serangga bukan sasaran yang bermanfaat seperti musuh alami.
Insektisida bakteri seperti Bacillus thuringiensis dan insektisida biologis
lainnya termasuk jenis insektisida yang memilki selektivitas tinggi bila dibandingkan
dengan insektisida konvensional. Bt umumnya ditujukan untuk mengendalikan
hama yang termasuk ordo Lepidoptera.

2. Selektivitas Ekologi
Dengan mempelajari sifat biologi dan ekologi hama sasaran dapat diketahui
waktu dan cara aplikasi insektisida yang tepat dan efektif. Dengan mempelajari
neraca kehidupan hama, perilaku hama, kisaran inang hama kita dapat
menentukan bagaimana aplikasi insektisida yang tepat. Aplikasi terutama ditujukan
pada bagian yang lemah pada kehidupan hama yaitu sewaktu hama berada pada
stadium hama yang peka terhadap insektisida dan dalam keadaan yang "terbuka"
terhadap perlakuan insektisida diusahakan sedapat mungkin serangga parasitoid
dan predator dapat terhindar dari perlakuan insektisida.
Dalam praktek di lapangan selektivitas ekologi perlakuan insektisida dapat
dalam beberapa cara yaitu:
a. Penetapan waktu aplikasi yang tepat.
b. Perlakuan insektisida secara parsial atau spot treatment yang meliputi
penyemprotan hanya di pesemaian, pada tanaman batas, atau pernyemprotan
hanya pada bagian tanaman atau pertanaman yang terserang.
c. Perlakuan insektisida pada tanaman perangkap.
d. Perlakuan insektisida pada tanaman inang alternatif harus yang berupa gulma.
e. Perlakuan benih dapat mengurangi perlakuan insektisida pada pertanaman.
f. Aplikasi insektisida melalui tanah atau air pengairan untuk mengurangi
terbunuhnya musuh alami.

3. Selektivitas Melalui Penentuan Formulasi dan Cara Aplikasi


Selektivitas insektisida di sini adalah dalam menentukan dan memilih
formulasi insektisida dan teknik aplikasi yang tepat, efektif dalam mengendalikan
hama sehingga kurang membahayakan eksistensi musuh alami hama. Yang
termasuk dalam selektivitas ini adalah:
a. Penggunaan formulasi butiran atau Granule dengan insektisida sistemik
diharapkan dapat efektif untuk mengendalikan hama penggerek tanaman dan
membatasi pengaruh yang merugikan bagi serangga predator dan parasitoid
dewasa.
b. Penggunaan formulasi ULV (Ultra Low Volume) yang tepat dapat membatasi
"drift" insektisida sehingga dapat mengurangi risiko pencemaran dan membatasi
terbunuhnya musuh alami.

79
c. Cara aplikasi di lapangan yang kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan
kematian organisme bukan sasaran. Oleh karena itu petani perlu dilatih tentang
bagaimana cara penyemprotan insektisida yang benar.

Bijaksana:
Tepat apa?
• Sasaran
• Dosis
• Cara
• Waktu
• Konsentras
i
• -----
80
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 9

PENGELOLAAN HAMA TANAMAN PANGAN

Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman pangan
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman pangan

Materi Kuliah:

PERMASALAHAN HAMA TANAMAN PANGAN

Yang disebut tanaman pangan adalah jenis tanaman yang menjadi sumber
pangan utama sebagian besar penduduk. Di Indonesia tanaman pangan dibagi
dalam dua kelompok yaitu padi-padian dan palawija. Kelompok padi-padian
diwakili oleh PADI yang menghasilkan BERAS sebagai makanan utama penduduk
Indonesia dan JAGUNG, sedangkan palawija terdiri atas KEDELAI dan tanaman
kacang-kacangan seperti KACANG TANAH, KACANG PANJANG, dll.
Dari sekian banyak jenis tanaman dan komoditas pertanian yang
dibudidayakan dan diusahakan, padi merupakan tanaman yang paling memperoleh
perhatian utama dari Pemerintah dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena padi
menyangkut hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Karena pentingnya padi
seringkali padi disebut sebagai TANAMAN POLITIK.

SWASEMBADA BERAS

Sejak Pemerintah mencanangkan program peningkatan produksi beras


untuk mencapai swasembada beras pada tahun 1970 Pemerintah
mengintroduksikan teknologi intensifikasi produksi padi atau yang dikenal dengan
teknologi “revolusi hijau“ atau green revolution. Istilah yang terkenal dengan
teknologi revolusi hijau adalah Panca Usaha yaitu:
1. Pengolahan Tanah
2. Penanaman Bibit atau Benih Unggul
3. Pemupukan
4. Pengendalian Hama dan Penyakit
5. Perbaikan Pengairan
Teknologi revolusi hijau pada tanaman padi sangat tergantung pada bibit
unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, KCL) serta pestisida kimia.
Tujuan intensifikasi pangan agar dapat meningkatkan produksi pangan khususnya
beras dengan tujuan agar Indonesia menjadi swasembada beras atau memenuhi
kebutuhan sendiri akan beras sebagai makanan utama penduduk. Program
intensifikasi pangan berjalan sampai saat ini. Nama program bermacam-macam

81
tergantung kegiatan dan “selera” Kabinet yang bersangkutan. Sejak tahun 1970an
kita kenal banyak nama program intensifikasi yaitu sebagai program BIMAS
(Bimbingan Massal), INMAS (Intensifikasi Massal), INSUS (Intensifikasi Khusus),
SUPRA INSUS, dan lain-lainnya. Kabinet sekarang mempunyai program yang
disebut Program Ketahanan Pangan. Indonesia hanya mencapai Swasembada
beras pada tahun 1984, setelah itu kita masih harus mengimpor beras untuk dapat
memenuhi kebutuhan beras penduduknya. Pada beberapa tahun terakhir ini
Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia.
Dampak penerapan intensifikasi pertanian pada ekosistem persawahan dan
sistem sosial masyarakat di Indonesia sangat besar antara lain:
1. Ekosistem persawahan menjadi sangat rawan hama dan penyakit padi.
Berbagai hama penyakit “baru” timbul, meluas dan sering meletus setelah
program BIMAS dilaksanakan antara lain hama wereng coklat dan wereng-
wereng lainnya, penyakit tungro. Puncak letusan hama terjadi pada tahun 1979
hampir satu juta hektar sawah gagal panen atau rusak oleh wereng coklat.
2. Dengan perbaikan sistem pengairan petani dapat menanam padi dua kali
sampai 3 kali setahun, seringkali dengan menanam varietas sama dan masa
tanam yang tidak serentak. Kondisi lingkungan ini menguntungkan
perkembangbiakan hama-hama padi seperti tikus dan wereng coklat. Karena itu
sampai saat ini sawah di Indonesia tidak pernah “sepi” akan serangan hama.
3. Karena penggunaan bahan kimia pertanian yang sangat banyak, kesuburan
tanah semakin menurun sehingga proses produksi tanaman padi menjadi
semakin tidak efisien, sasaran peningkatan produksi tidak tercapai dan
lingkungan pertanian semakin tercemar. Penggunaan pestisida yang masih
tinggi dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi hama-hama utama padi
seperti wereng coklat.
4. Petani semakin tergantung pada bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida yang
harganya semakin mahal. Keadaan ini mendorong terjadinya kesenjangan di
pedesaan antara petani yang kaya dan petani yang miskin terutama buruh tani.
Program PHT pada tanaman padi yang dilaksanakan Pemerintah sejak
tahun 1989 yang telah melatih sekitar satu juta petani padi dengan konsep dan
teknologi dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia di tingkat petani. Ada
banyak petani padi saat ini yang tidak lagi menggunakan pestisida karena sudah
mengandalkan musuh alami hama-hama padi. Ekosistem persawahan secara
ekologi sebenarnya merupakan ekosistem yang memiliki kestabilan tinggi apabila
kita dapat menerapkan PHT secara konsisten dan konsekuen. Dalam kondisi stabil
letusan hama tidak perlu dikhawatirkan.
Penerapan PHT untuk hama-hama padi secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Pola tanam padi, padi, palawija.
2. Tanam bibit atau varietas unggul tahan hama terutama VUTW (Varietas Unggul
Tahan Wereng) sesuai dengan biotipe wereng coklat pada suatu tempat. Seperti
kita ketahui saat ini kita mempunyai kelompok Non VUTW, VUTW I, dan VUTW
I. Sebaiknya dilakukan pergiliran varietas antar musim tanam.
3. Pada kondisi populasi wereng coklat tinggi hindarkan penanaman varietas padi
peka hama terutama varietas-varietas lokal (Rojolele, Mentik, Cianjur, dll).

82
4. Diusahakan di suatu hamparan sawah dilakukan penanaman secara serentak
termasuk di daerah-daerah yang berbukit. Serangan hama tikus berkurang di
daerah-daerah yang menanam padi serentak.
5. Pengendalian hayati terutama dengan teknik augmentasi dan konservasi musuh
alami merupakan teknik pengendalian hama-hama padi utama. Banyak jenis
predator dan parasitoid dijumpai di ekosistem persawahan kita.
6. Bila diperlukan pestisida kimia gunakan secara sangat selektif dengan
menggunakan jenis-jenis pestisida yang tidak membunuh musuh alami.
Penggunaan pestisida diputuskan setelah mempelajari hasil pengamatan
ekosistem.
7. Laksanakan kegiatan pengamatan atau pemantauan hama dan musuh alami
seminggu sekali. Apabila jumlah musuh alami banyak tidak perlu dilakukan
kegiatan pengendalian dengan pestisida.

A. HAMA-HAMA PADI

Pada ekosistem padi dijumpai banyak jenis hama yang menyerang hampir
seluruh stadia tumbuh padi dari persemaian sampai panen dan pasca panen. Yang
akan dibahas di sini beberapa hama utama padi saja. Intensitas serangan hama-
hama tersebut dari suatu lokasi ke lokasi lain sangat berbeda, dengan demikian
hama-hama utama di suatu daerah dapat berbeda dengan hama-hama utama di
daerah lain. Namun dari laporan pada 5 tahun terakhir urut-urutan hama padi utama
di Indonesia adalah 1) Tikus, 2) Penggerek Batang dan 3) Wereng Coklat. Secara
singkat sifat hama dengan cara pengelolaannya adalah sbb:

1. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Tikus sawah aktif pada malam hari. Siang hari mereka selalu berlindung di
dalam liang atau di semak belukar. Untuk tempat tinggal atau lubang biasanya tikus
berorientasi ke daerah yang cukup memberi perlindungan dan rasa aman dari
gangguan predator dan tersedia sumber makanan dan air. Fungsi lubang bagi tikus
sawah adalah sebagai tempat bernaung, tempat memelihara anak dan kelompok
keturunan, serta menimbun makanan.
Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi.
Serangan tikus dapat terjadi sejak di persemaian sampai pasca panen. Populasi
tikus umumnya masih rendah pada persemaian sampai fase vegetatif dan
kepadatan populasi meningkat pada fase generatif.

Gejala serangan:
1. Adanya sarang dari batang rerumputan dan daun diantara vegetasi tanaman
yang tumbuh di lapangan
2. Adanya saluran lubang yang masuk ke dalam tanah yang tidak begitu basah
atau tergenang air
3. Adanya lubang yang biasanya dengan diameter yang lebih besar dari tubuh
tikus dan berbentuk bulat yang merupakan jalan masuk menuju saluran.
4. Adanya lintasan jalan dimana tikus hilir mudik di antara pertanaman tempat
makannya dengan lubang persembunyiannya.
83
5. Adanya bekas-bekas kotoran tikus sepanjang lintasan
6. Adanya bekas-bekas telapak kaki tikus terutama pada tanah berlumpur
7. Adanya bentuk-bentuk kerusakan tertentu pada tanaman yang diakibatkan oleh
tikus seperti rebahnya tanaman karena pangkal batang putus, terutama pada
tanaman-tanaman muda.
Pada kepadatan populasi rendah, serangan tikus biasanya bersifat acak
terutama di bagian tengah petakan, sehingga belum tampak jelas dari pematang.
Pada serangan berat, biasanya hanya menyisakan beberapa baris tanaman pinggir.

Pengelolaan:
1. Diupayakan agar waktu tanam dengan selang <10 hari dalam areal yang luas,
sehingga masa generatif hampir serentak. Dengan demikian masa
perkembangbiakan tikus hanya berlangsung dalam waktu yang singkat.
2. Mengurangi ukuran pematang, di sekitar sawah, sehingga mempersulit tikus
membuat liang. Pematang sebaiknya berukuran < 30 cm.
3. Memanfaatan musuh alami, antara lain burung hantu, elang, ular.
4. Melakukan gropyokan, penggenangan lahan, pemasangan bambu perangkap
dan pemanfaatan jaring.
5. Pengemposan dilakukan pada saat tanaman fase generatif, karena pada saat
tersebut umumnya tikus tinggal di dalam liang.
6. Pengumpanan beracun menggunakan racun antikoagulan, karena kematian
tikus oleh racun ini lambat dan kematian umumnya tidak terlihat karena di dalam
inang sehingga dapat menghindari jera umpan.
7. Yang harus diperhatikan dalam usaha pengendalian tikus sawah yakni harus
terorganisasi dengan baik, melibatkan semua petani dan aparat pemerintah.

2. Penggerek Batang Padi


Di Indonesia dikenal 6 jenis penggerek batang padi (Tabel 7). Dari ke-6
penggerek batang padi tersebut saat ini yang paling penting adalah PBPK terutama
di pulai Jawa yang memiliki jaringan pengairan baik. Sebelum tahun 1970 di Jawa
PBPP yang lebih dominan. Saat ini di Sulawesi Selatan dan daerah-daerah padi
yang hanya dapat menanam padi satu kali setahun PBPP lebih penting daripada
PBPK. PBBBk dan PBPKH sering dijumpai pada pertanaman padi yang ditanam
dekat dengan tanaman tebu dan jagung, sedangkan PBPB sering menjadi masalah
di tanaman padi yang ditanam di dataran yang agak tinggi.

Gejala serangan:
Gejala kerusakan penggerek batang padi umumnya mirip. Gejala serangan
pada pertumbuhan vegetatif disebut sundep sedangkan pada pertumbuhan
generatif disebut beluk. Pada pucuk tanaman tampak menguning, layu dan
akhirnya mengering. Ulat penggerek merusak bagian pangkal titik tumbuh sehingga
apabila tanaman ditarik dari titik tumbuhannya akan mudah lepas. Gejala beluk
memperlihatkan malai padi yang tegak, berrwarna putih dan hampa.

84
Tabel 7. Jenis Penggerek Batang Padi di Indonesia
No Nama Umum Nama Latin
1 Penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas
(PBPK)
2 Penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata
(PBPP)
3 Penggerek batang padi Chilo suppressalis
berrgaris (PBPB)
4 Penggerek batang padi kepala Chilo polychrysa
hitam (PBPKH)
5 Penggerek batang padi berkilat Chilo auricilius
(PBBBk)
6 Penggerek batang padi merah Sesamia inferens
jambu (PBPMj)

Pengelolaan:
1). Pola tanam
Diusahakan untuk melakukan tanam serempak, pergiliran tanaman dengan
tanaman bukan padi, penanaman varietas padi yang tahan penggerek batang.
Tanam serentak varietas genjah dengan selisih kurang dari 2 minggu
meliputi hamparan seluas-luasnya agar pertumbuhan tanaman dan masa panen
dapat serentak, sehingga tersedianya sumber makanan bagi penggerek dapat
dibatasi. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan pada masa bero di antara waktu
tanam. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi dapat memutus daur hidup
penggerek batang padi. Persemaian dilakukan secara berkelompok untuk
memudahkan pemeliharaan dan pengumpulan kelompok telur penggerek.

2). Fisik dan mekanik


Mengumpulkan telur sejak di persemaian kemudian dibunuh. Pada saat
panen diusahakan pemotongan jerami sampai serendah mungkin untuk mencegah
kesempatan berkepompong pada pangkal padi. Bila memungkinkan diikuti dengan
penggenangan air agar tunggul jerami cepat membusuk sehingga larva atau pupa
mati.

3). Eradikasi
Pembabatan dan pengumpulan jerami lalu dibakar untuk memusnahkan
sumber hama penggerek batang padi.

4). Biologi
Memanfaatkan musuh alami baik predator maupun parasitoid seperti
Conocephalus longipennis, Anaxipha sp, Metioche sp, Trichogramma sp,
Telenomus sp, Xanthopimpla sp.

5). Kimiawi
85
Aplikasi insektisida untuk pengendalian harus disesuaikan dengan keadaan
populasi hama, intensitas serangan dan umur tanaman. Insektisida yang digunakan
harus dipilih yang selektif, efektif dan diizinkan untuk digunakan pada tanaman
padi.

3. Wereng Coklat (Nilaparvata lugens)


Gejala serangan:
Hama menyerang dengan cara menusuk dan menghisap cairan batang atau
pelepah daun pada bagian pangkal, sehingga menyebabkan tanaman menjadi
menguning dan mengering. Kerusakan berat tampak tanaman seperti gejala
terbakar (hopperburn). Wereng coklat mengeluarkan cairan madu, yang dapat
ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga batangnya berwarna hitam. Di samping
sebagai hama utama tanaman padi, wereng coklat juga dapat bertindak sebagai
vektor penyakit virus kerdil rumput (grassy stunt) dan virus kerdil hama (ragged
stunt).

Pengelolaan:
1. Sistem tanam serempak dalam satu wilayah kelompok dengan selisih waktu
tanam < 2 minggu sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau tidak tersedia
pakan terus-menerus.
2. Penanaman varietas unggul tahan wereng dapat menghambat perkembangan
populasi dari generasi ke generasi. Pergiliran varietas untuk menghindari
timbulnya biotipe baru.
3. Diusahakan persemaian jauh dari lampu dan sumber penyakit virus
4. Menghindari pemupukan N secara berlebihan.
5. Eradikasi dan sanitasi tanaman
6. Memanfaatkan musuh alami seperti Anagrus sp, Tetrastichus sp, Microvelia sp,
Ophionea sp, Paederus sp.
7. Penggunaan insektisida dilakukan pada saat populasi dominan nimfa, dengan
memperhatikan perbandingan antara wereng coklat dengan musuh alami.

4. Wereng Hijau (Nephotetix spp)


Wereng hijau lebih dikenal sebagai pembawa atau vektor beberapa penyakit
padi penting seperti penyakit kerdil rumput, tungro dan kerdil kuning.

Gejala serangan:
Tanaman padi yang terserang menunjukkan gejala pertumbuhan kerdil,
jumlah tunas sedikit berkurang dan berwarna kuning. Apabila serangan terjadi pada
waktu tanaman masih muda, maka jumlah tunas akan sangat berkurang. Malai
yang dihasilkan biasanya steril dan kecil. Gejala kerusakan tanaman padi oleh
wereng lebih banyak diakibatkan serangan penyakit padi yang dibawanya terutama
penyakit tungro yang merupakan penyakit padi terpenting di Indonesia saat ini.

Pengelolaan:
Pengelolaan hampir sama dengan pengelolaan wereng coklat.

5. Ganjur (Orsealia oryzae)

86
Hama ganjur terbatas menyerang dalam luasan sawah sempit dan
terpencar-pencar terutama di Jawa, Bali, Lombok dan Sumatera Selatan. Pada
tahun 1975 sekitar 200.000 ha sawah di Jawa Tengah dan Jawa Barat terserang
hama ini.

Gejala serangan:
Gejala serangan berupa puru yang akan tampak 3-7 hari setelah larva
mencapai titik tumbuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi
ganjur diantaranya kelembaban, angin, cahaya, jenis dan jumlah pakan serta
musuh alami. Kelembaban minimal 80% sangat mendukung perkembangan larva.
Temperatur 26-290C sangat sesuai bagi perkembangan hama ini.

Pengelolaan:
Pengamatan rutin serangan ganjur harus dimulai sejak umur 7 hari setelah
tanam. Penanaman secara serentak minimal di satu wilayah kelompok,
penggunaan varietas tahan, perlakuan benih dengan insektisida.

6. Hama Putih Palsu (Cnaphalocrosis medinalis)


Bukan merupakan hama utama meskipun kadangkala dilaporkan menyerang
di Pantai Utara Jawa Barat dengan kerusakan 15%. Larva lebih cocok hidup pada
tanaman padi di musim hujan. Pada musim kering larva lebih cocok hidup pada
jagung. Inang hama putih palsu adalah padi, jagung, sorgum, rumput Echinocloa
dan tebu.

Gejala serangan:
Larva memakan daun sehingga menimbulkan bekas serangan berupa garis-
garis putih. Gejala serangan yang khas terlihat lipatan daun, larva makan dari
dalam, menyebabkan daun menjadi kering dan berwarna putih.

Pengelolaan:
1. Sanitasi tanaman inang dan rumput liar di sekitar persawahan
2. Budidaya tanaman sehat, sehingga adanya serangan ringan dapat
dikompensasi oleh pertumbuhan tunas.
3. Pemanfaatan dengan musuh alami diantaranya Apanteles sp, Pentalitomastix
sp, predator laba-laba dan cocopet dari ordo Dermaptera

7. Kepinding tanah (Scotinophora sp)


Hama ini juga bukan hama utama padi. Serangannya tersebar dan tidak
menimbulkan kerusakan ekonomis bagi petani.

Gejala serangan:
Hama mengisap cairan pelepah dan batang padi. Bekas isapan menjadi
coklat dengan coklat tua pada tepinya. Daun pada rumpun yang terserang berat
akan menjadi kering, lama-kelamaan semua daun kering dan akhirnya mati.
Batang-batang menjadi busuk dan mudah dicabut. Tanaman yang disukai hama ini
terutama bibit di persemaian dan tanaman muda sampai 50-60 hari. Tanaman tua
dapat juga terserang. Serangan dewasa mampu hidup dan berkembangbiak
selama 1-2 musim. Selama musim kemarau mengalami dormansi pada bongkahan
87
tanah yang berumput. Pada saat cuaca baik dewasa terbang ke pertanaman dalam
jumlah besar. Lebih menyukai keadaan basah atau lembab.

Pengelolaan:
Pembajakan dan pembenaman tunggul-tunggul padi setelah panen akan
dapat mengurangi populasinya untuk musim tanam berikutnya. Pengeringan lahan
sawah dapat menghambat perkembangan hama. Pemupukan saat tanaman
terserang, sehingga tanaman mampu mengkompensasi serangan. Sanitasi lahan
dan lingkungan dari tumbuhan inang rerumputan juga dapat menghambat
perkembangan kepinding tanah.

8. Walang Sangit (Leptocorisa acuta)


Hama yang menyerang bulir padi ini merupakan hama yang menyerang
secara sporadis di lokasi perswahan yang menyebar. Hama ini menimbulkan
masalah di persawahan di luar Jawa. Di Sulawesi Selatan pernah dimasukkan
sebagai salah satu hama padi utama.
Walang sangit mulai aktif pada awal musim hujan setelah menyelesaikan 1-2
generasinya pada rerumputan. Kepadatan populasi meningkat pada kondisi
tanaman padi sedang berbunga, cuaca hangat dan gerimis. Hujan lebat dapat
menurunkan kepadatan populasi.

Gejala serangan:
Butir padi yang terserang hama ini akan menjadi hampa sebab cairan selnya
telah habis dihisap. Butir padi yang setengah hampa akan mudah pecah jika masuk
dalam penggilingan. Butir padi bekas tertusuk walang sangit warnanya berubah
menjadi coklat atau kehitam-hitaman sebagian atau seluruhnya. Kerusakan berat
akan terjadi apabila walang sangit dewasa menyerang padi pada saat malai
berbunga.

Pengelolaan:
1. Tanam serempak untuk membatasi ketersediaan makanan yang sesuai
2. Pemanfaatan tanaman perangkap
3. Penanaman tanaman resisten
4. Pemanfaatan musuh alami seperti Conocephalus longipenis, Gryon nixoni,
Beauveria bassiana

B. HAMA-HAMA JAGUNG

Urutan pentingnya hama-hama jagung di Indonesia saat ini adalah 1) Tikus,


2) Penggerek Tongkol, 3) Penggerek Batang , 4) Lalat bibit dan 5) Ulat grayak.
Perilaku, gejala serangan dan pengendalian hama Tikus sudah dijelaskan di depan.

1. Penggerek Tongkol (Helicoverpa armigera)


Gejala serangan:
Biasanya selain menyerang tongkol jagung juga menyerang pucuk sehingga
bunga jantan tidak terbentuk akibatnya hasilnya berkurang. Telur diletakkan secara

88
terpencar pada daun, pucuk dan bunga pada malam hari. Biasanya telur diletakkan
pada tanaman jagung umur + 2 minggu setelah tanam.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serentak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya

2. Penggerek Batang Jagung (Ostrinia furnacalis)


Gejala serangan:
Serangan pada daun dapat menimbulkan bercak putih pada permukaan
daun. Serangan pada pucuk daun yang masih menggulung dapat menimbulkan
gejala berlubang dalam barisan yang melintang daun. Ulat tua menggerek ke dalam
batang yang menimbulkan lubang pada ruas dan meninggalkan kotoran bekas
gerekan.

Pengelolaan:
Rotasi tanaman, tanam serentak, pemangkasan bunga jantan

3. Lalat Bibit (Atherigona oryzae)


Gejala serangan:
Serangan terjadi pada tanaman umur 5-7 hari setelah tanam dengan tanda-
tanda tanaman layu sebagai akibat kematian titik tumbuh.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan jagung dan padi
2. Tanam serempak dengan selisih waktu kurang dari 10 hari
3. Tanam lebih awal pada musim penghujan

C. HAMA-HAMA KEDELAI

Berbeda dengan padi sawah, kedelai mempunyai banyak jenis hama yang
menyerang sejak di fase pembibitan sampai fase polong. Hama tanaman
merupakan faktor pembatas utama produksi kedelai di Indonesia. Karena serangan
hama tinggi, produksi selalu rendah sehingga kita tidak mampu memenuhi
kebutuhan kedelai nasional yang selalu meningkat setiap tahunnya. Saat ini kita
harus mengimpor kedelai lebih dari satu juta ton. Karena banyak serangan hama,
penggunaan pestisida kimia relatif sangat tinggi, rata-rata satu musim aplikasi
pestisida sekitar 4-5 kali.
Urutan 6 besar hama-hama kedelai adalah: 1) Lalat kacang, 2) Penggerek
polong, 3) Tikus, 4) Ulat grayak, 5) Penggulung daun dan 6) ulat jengkal. Di
samping menghadapi serangan hama kedelai juga menghadapi serangan banyak
penyakit virus yang vektornya adalah serangga Bemisia sp dan Aphis sp.
Hama-hama kedelai dapat dikelompokkan menurut fase pertumbuhan
kedelai yang diserang yaitu:
a. Lalat menyerang bibit seperti Agromyza sp
89
b. Hama-hama pemakan daun seperti Spodoptera sp, Phaedonia sp, Plusia sp
c. Hama-hama pengisap daun seperti Empoasca sp, Bemicia sp, Aphis sp
d. Hama-hama pegisap polong seperti Riptortus sp, Nezara sp
e. Hama-hama penggerek polong seperti Etiella sp dan Heliothis sp.

Berikut diuraikan sedikit sifat, perilaku dan cara pengendalian hama-hama


kedelai menurut urutan bahayanya.

1. Lalat Kacang (Agromyza phaseoli)


Paling sedikit ada 3 spesies lalat kacang yaitu A. phaseoli, A. ojae dan A.
dolichostigma. Yang pertama merupakan yang paling penting. Stadia larva
merupakan stadia yang merusak tanaman kedelai fase perkecambahan dan
tanaman muda.

Gejala serangan:
Gejala awal berupa tanda bintik-bintik putih pada keping biji, daun pertama
atau daun kedua. Bintik-bintik tersebut merupakan bekas tusukan alat peletak telur
pada pangkal kotiledon dan pangkal daun. Pada keping biji dan pasangan daun
pertama terdapat alur atau garis berkelok-kelok berwarna coklat yang merupakan
lubang gerekan. Akibat gerekan jaringan pengangkut terputus, sehingga akar mati
tanaman layu dan mati. Kematian tanaman dijumpai pada tanaman berumur 14-30
hari.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman non Leguminosae
2. Seed treatment
3. Penggunaan mulsa jerami
4. Tanam serentak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak
lebih dari 10 hari, dilakukan pada areal yang cukup luas.

2. Penggerek polong (Etiella zinckenella)


Gejala serangan:
Tanda serangan berupa lubang gerekan berbentuk bundar pada kulit polong.
Apabila terdapat dua lubang gerek pada polong tersebut berarti ulat sudah pergi. Di
dalam polong terserang terdapat butir-butir kotoran ulat yang berwarna kuning atau
coklat muda yang menggumpal. Akibat serangan hama ini dapat menurunkan
kuantitas dan kualitas hasil panen. Telur diletakkan pada malam hari, pada bagian
bawah kelopak bunga atau pada polong secara berkelompok. Populasinya tinggi
pada saat musim kemarau daripada musim hujan.

Pengelolaan:
1. Pemantauan dini
2. Tanam serempak pada areal yang luas
3. Sanitasi terhadap inang alternatif
4. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
5. Untuk daerah endemis penggerek polong, perlu diterapkan penanaman
tanaman perangkap.
90
6. Pemanfaatan musuh alami seperti Apanteles sp, Trichogramma sp, Tachinidae,
predator Lycosa sp dan Oxyopes sp
7. Pengendalian dengan insektisida efektif dilakukan apabila populasi hama telah
mencapai ambang pengendalian

3. Ulat Grayak (Spodoptera litura)


Gejala serangan:
Larva muda secara bergerombol makan epidermis bawah daun sehingga
menimbulkan gejala transparan, yang tersisa hanya tulang-tulang daun dan
epidermis bagian atas, daun yang rusak tampak berwarna keputih-putihan.
Serangan ulat instar awal dapat menimbulkan gejala transparan pada daun, sedang
serangan oleh ulat instar akhir dapat menimbulkan gejala berupa berlubang pada
daun bahkan polong termakan habis.

Pengelolaan:
1. Pemantauan terhadap kelompok instar 1 atau gejala awal daun yang tampak
keputih-putihan dilakukan setiap minggu sejak tanaman berumur 14 HST
2. Melakukan tanam serentak dan pergiliran tanaman
3. Pengendalian dini setelah ditemukan populasi
4. Pengendalian secara fisik dan mekanik yakni dengan mengumpulkan kelompok
telur dan larva kemudian dimusnahkan
5. Penggunaan Sl NPV
6. Pemanfaatan musuh alami predator Carabidae, Reduviidae, parasitoid
Telenomus, Tachinidae, Ichneumonidae
7. Pengendalian dengan insektisida secara spot treatment dibatasi sampai dengan
instar 3

4. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema indicata)


Gejala serangan:
Ulat merusak tanaman kedelai berumur 3-4 minggu setelah tanam. Ulat
makan dari gulungan daun. Apabila gulungan tersebut dibuka, daun akan tampak
tinggal tulang-tulangnya. Ulat diam di dalam gulungan daun yang direkatkan satu
sama lain dengan benang air liurnya. Ulat membentuk kepompong di dalam
gulungan daun tersebut.

5. Ulat Jengkal (Plusia chalcites)


Ulat jengkal berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal, bentuk larva
tua mempunyai ciri khas. Ulat jengkal menyerang tanaman kedelai berumur muda
dan tua. Dalam satu musim tanam hanya dijumpai satu generasi. Daun yang
terserang ulat pada populasi tinggi tinggal tulang daun saja atau bahkan habis
sama sekali. Pada tahun 1983 luas serangan hama ini mencapai 24000 ha dengan
intensitas serangan 40%.

5. Kepik Hijau (Nezara viridula)


Gejala serangan:

91
Nimfa dan dewasa menghisap cairan biji kedelai. Serangan pada fase
pembentukan dan pertumbuhan polong/biji menyebabkan polong/biji kempis,
mengering dan gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi
hitam dan busuk. Serangan pada polong tua menyebabkan kualitas biji menurun
karena ada biji hitam pada biji atau biji menjadi keriput.
Gejala serangan jelas terlihat kulit biji dan kulit polong bagian dalam berupa
bintik hitam atau coklat.

Pengelolaan:
1. Sanitasi tanaman inang liar jauh sebelum tanam
2. Pengamatan terutama dilakukan pada tanaman perangkap. Pengamatan
dilakukan pada umur 42, 49, 56, 63, dan 70 HST terhadap imago, telur dan
nimfa.
3. Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi mencapai ambang
pengendalian yang mungkin terjadi hanya pada tanaman perangkap

7. Kepik Polong (Riptortus linearis)


Tingkat kerusakan secara ekonomis di lapang sulit untuk diperkirakan karena
biasanya terjadinya kerusakan bersamaan dengan pengisap polong lainnya.

Gejala serangan:
Kepik menyerang polong dan biji. Serangan pada fase perkembangan biji
dan pertumbuhan polong menyebabkan polong dan biji kempis, kemudian
mengering dan polong dapat gugur. Serangan pada fase pengisian biji
menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk. Serangan pada polong tua
menyebabkan kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik hitam pada biji atau
biji menjadi keriput. Gejala serangan jelas terlihat pada kulit biji dan kulit polong
bagian dalam berupa bintik hitam atau coklat. Kerusakan pada biji dan kulit polong
disertai dengan serangan jamur.

8. Kutu Hijau (Aphis sp)


Kutu hidup dalam koloni dan perkembangbiakan secara parthenogenesis
sehingga populasi dapat meningkat dengan cepat. Ekskresi kutu hijau
menghasilkan embun madu yang dapat merangsang tumbuhnya cendawan jelaga
yang menutupi permukaan daun dan polong sehingga mengganggu fotosintesis.
Populasi kutu hijau dipengaruhi oleh curah hujan yang dapat menurunkan populasi.
Kutu hijau berperan sebagai vektor penyakit virus kedelai antara lain virus kerdil
kedelai, virus mosaik kuning dan virus kate kedelai.

Pengelolaan:
1. Tanam serentak pada areal yang cukup luas
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inangnya
3. Menanam varietas toleran (berbulu tegak)
4. Penggunaan benih bermutu dan sehat
5. Pemantauan sedini mungkin
6. Pencabutan tanaman muda yang terserang virus
7. Pemanfaatan musuh alami diantaranya predator Coccinelidae, Menochilus
sexmaculata, Harmonia octomaculata, Verania lineata.
92
9. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
Serangan berat akan terjadi terutama pada musim kemarau karena didukung
dengan suhu yang tinggi.

Gejala serangan:
Nimfa dan kutu dewasa mengisap cairan daun. Ekskreta kutu kebul
menghasilkan embun madu yang merupakan medium tumbuh cendawan jelaga
sehingga sering tanaman tampak berwarna hitam. Hama ini juga bertindak sebagai
vektor penyakit Cowpea Mild Mottle Virus (CMMV) yang menyebabkan tanaman
kerdil dan daunnya belang-belang kuning tersamar. Hama menyerang tanaman
sejak tanaman membentuk daun pertama dan puncak populasinya terjadi pada fase
setelah pembungaan.

Pengelolaan:
1. Tanam serentak dengan kisaran waktu tidak lebih dari 10 hari
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. Menanam varietas toleran
4. Pemanfaatan musuh alami parasitoid Encarsia sp dan beberapa jenis kumbang
Coccinelidae antara lain Menochilus sp, Scymnus sp

10. Kumbang Daun (Phaedonia inclusa)


Imago dan larva dapat merusak daun, batang pucuk, tangkai daun pucuk,
kuncup daun, kuncup bunga, bunga, polong muda dan kulit polong bagian luar
yang telah berisi penuh sampai polong menguning. Akibat serangan hama ini daun
kedelai menjadi gundul dan dapat menurunkan produksi atau bahkan tanaman
tidak menghasilkan sama sekali.

Gejala serangan:
Serangan larva dan dewasa dapat berlangsung pada fase pertumbuhan
tanaman. Daun tampak berlubang dan polong muda luka-luka, sedang pada polong
tua kulitnya yang dimakan. Serangan lebih lanjut pada tangkai daun dan batang
pucuk menyebabkan daun dan pucuk terkulai layu kemudian mengering.

Pengelolaan:
1. Pemantauan dilakukan tiap minggu sampai tanaman berumur 49 HST
2. Tanaman serentak dan pergiliran tanaman penting untuk menurunkan infestasi
awal
3. Penurunan populasi dapat dilakukan dengan cara pengumpulan dan
pemusnahan imago dan larva pada pagi dan sore hari.
4. Pemanfaatan musuh alami predator telur, larva dan pupa yaitu Solenopsis
geminata.

D. HAMA-HAMA UBI KAYU DAN UBI JALAR

93
1. Tungau merah (Tetranychus urticae)
Gejala serangan:
Tanaman ubi kayu yang terserang berat, permukaan bagian bawah menjadi
kusut oleh adanya anyaman-anyaman halus. Daun dapat kehilangan khlorofil dan
mengakibatkan daun kelihatan menguning, kemudian berubah menjadi coklat dan
gugur seluruhnya. Serangan berat terjadi pada musim panas, sebaliknya pada
musim hujan populasinya berkurang karena tercuci oleh air hujan.

Pengelolaan:
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang

2. Hama Boleng (Cylas formicarius)


Gejala Serangan:
Umbi yang terserang terdapat lubang, terutama di dekat pangkal batang. Di
samping itu kumbang juga membuat lubang lain untuk meletakkan telur. Setelah
telur menetas biasanya larva langsung menggerek ke dalam daging umbi dan
membuat lorong gerekan. Akibatnya ubi akan terasa pahit.

Pengelolaan:
1. Mengatur waktu tanam, yaitu menanam pada awal musim kemarau
2. Melakukan penggenangan
3. Menanam varietas yang pertumbuhan ubinya agak masuk ke dalam tanah
4. Rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang

E. KACANG TANAH

Tanaman kacang lebih banyak menghadapi serangan penyakit daripada


serangan hama tanaman. Salah satu hama kacang tanah adalah wereng kacang
tanah.

Wereng Kacang Tanah (Empoasca flavescens)


Nimfa dan dewasa mengisap cairan sel daun sehingga bagian ujungnya
menjadi kekuningan. Daun yang terserang menjadi kaku dan menebal. Akibat
serangan berat, tanaman menjadi kerdil dan daun mudah rontok. Selain
mengakibatkan tanaman kehilangan cairan, bekas tusukan alat mulut serangga
dapat menimbulkan kematian jaringan sehingga timbul gejala daun keriting.
F. KACANG PANJANG

Faktor penghambat produksi dan kualitas kacang panjang adalah beberapa


hama tanaman terutama yang menyerang polong sehingga menurunkan kualitas
hasil. Pengendalian hama yang lebih sering digunakan adalah penggunaan
pestisida kimia.

1. Kutu Tanaman (Aphis craccivora)


Gejala serangan:
Tanaman yang terserang oleh kutu ini menyebabkan bunga menjadi tidak
merekah, dan apabila menyerang pada buah muda menyebabkan buah menjadi
94
keriput dan tidak dapat memanjang. Di samping sebagai hama, serangga ini juga
bertindak sebagai vektor penyakit virus.

2. Penggerek Polong (Etiella sp)


Ulat masuk dan menggerek ke dalam polong kacang panjang sehingga
terlihat bekas gerekan (lubang gerek) berwarna hitam. Kupu tersebut sering
ditemukan di sekitar tanaman, terutama yang sedang berbunga atau berbuah
muda.

3. Nezara viridula
Kepik dan nimfa dewasa mengisap cairan polong kacang. Cara merusak
dengan menusukkan alat mulutnya pada kulit kacang terus ke biji kemudian
mengisap cairan yang ada di dalam biji. Serangan kepik ini menyebabkan biji
menjadi hitam dan busuk sehingga kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik
hitam pada biji atau biji menjadi keriput.

bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc

95
Materi 10

PENGELOLAAN HAMA TANAMAN HORTIKULTURA

Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman hortikultura
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman hortikultura

Materi:

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN

Tanaman Hortikultura sangat penting untuk pemenuhan gizi pangan bagi


kesehatan dan kebugaran tubuh kita. Tubuh kita memerlukan gizi yang berasal dari
sayuran dan buah-buahan. Di samping untuk pemenuhan gizi juga untuk
pemenuhan rasa keindahan khususnya untuk tanaman hias. Di Indonesia banyak
sekali jenis tanaman hortikultura tropika yang bernilai gizi, ekonomi dan keindahan
yang tinggi sehingga dapat menjadi obyek agribisnis yang sangat menguntungkan.
Karena banyaknya jenis tanaman hortikultura, kita kelompokkan menjadi 3
kelompok besar yaitu:
1. Tanaman Sayuran yang terdiri atas Sayuran Dataran Tinggi dan Sayuran
Dataran Rendah
2. Tanaman Buah-buahan
3. Tanaman Hias
Tanaman hortikultura mempunyai potensi ekonomi yang besar untuk
dikembangkan, tetapi sayangnya perhatian pemerintah, peneliti dan masyarakat
terhadap pengembangan teknologi budidaya dan usaha tani tanaman hortikultura
sangat sedikit dibandingkan dengan padi dan tanaman pangan lainnya. Karena itu,
dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Cina dan
Australia kita sangat ketinggalan. Tidak heran bila saat ini pasar sayuran dan buah-
buahan di negara kita banyak dikuasai oleh produk-produk impor. Data tentang
produksi dan ekspor hortikultura dari Indonesia tidak meningkat dari tahun ke tahun,
malahan cenderung merosot.
Kendala utama budidaya tanaman hortikultura adalah kurang tersedianya
benih bermutu, kesuburan tanah yang semakin menurun, dan ancaman serangan
hama dan penyakit. Kehilangan hasil panen tanaman hortikultura yang diakibatkan
serangan hama berkisar antara 46 sampai 100% atau gagal panen. Karena
ketakutan petani terhadap serangan hama dan penyakit, petani hortikultura sangat
menggantungkan diri pada penggunaan insektisida dan fungisida. Penyemprotan
dengan pestisida di sayuran dan beberapa jenis buah-buahan sangat intensif,
seperti kubis dapat mencapai 20 kali dalam satu musim. Pengeluaran untuk
pestisida pada tanaman kubis rata-rata 30% dari biaya produksi, sedangkan di
kentang dapat mencapai 40%, tomat 50% dan cabai sampai 51%. Tentu saja
keadaan ini tidak efisien dan sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Keadaan petani hortikultura Indonesia berbeda dengan petani hortikultura di
luar negeri yang usahanya sudah padat teknologi dan padat modal. Petani horti di

96
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 menurut pengusahaan lahannya yaitu: 1)
petani horti di pekarangan, 2) petani horti komersial di dataran rendah, dan 3)
petani horti komersial di dataran tinggi. Petani horti pekarangan umumnya
menanam berbagai jenis sayuran dan buah-buahan di pekarangan untuk
kepentingan konsumsi keluarga. Sedangkan petani horti komersial memang
mengusahakan untuk memperoleh produksi dan keuntungan. Namun ketiga
kelompok mempunyai ciri yang sama yaitu luas lahan yang terbatas dan modal
yang pas-pasan. Kita belum mempunyai semacam usaha “perkebunan” sayuran
atau perkebunan buah-buahan seperti di luar negeri. Oleh karena itu umumnya
petani horti di Indonesia belum banyak menguasai teknologi budidaya tanaman dan
perlindungan tanaman yang memadai, sehingga mereka sangat tergantung pada
kebiasaan petani di sekitarnya. Dengan demikian usaha hortikultura belum efisien
dan ongkos produksi tinggi.
Pada era perdagangan global sekarang sangat sulit untuk mengekspor
produk hortikultura karena kandungan pestisida yang tinggi, seperti telah terjadi
banyak kubis dan kentang yang berasal dari Tanah Karo di Sumatera Utara tidak
dapat masuk Singapura dan Malaysia karena kandungan residu pestisida. Produk
buah-buahan Indonesia pada tahun 2002 ditolak oleh negara Taiwan kerana
mengandung lalat buah.
Sejak tahun 1990 sampai 1998 Pemerintah melaksanakan pelatihan PHT
untuk lebih dari 50.000 petani hortikultura di beberapa propinsi yang meliputi petani
kubis, kentang, bawang merah, dan cabai merah. Dari evaluasi terhadap
penerapan PHT oleh petani pada tanaman hortikultura terlihat bahwa untuk
tanaman kubis dan kentang petani dapat mengurangi penggunaan pestisida
sampai 80%, peningkatan produksi dan kualitas produk sehingga sangat
menguntungkan. PHT tanaman cabe dan bawang merah jauh lebih baik hasilnya
dibandingkan kebiasaan petani namun belum sebaik petani kubis dan kentang.
Dari hasil-hasil sementara tersebut dapat disimpulkan bahwa satu-satunya
cara memperbaiki produksi dan kualitas produksi tanaman hortikultura adalah
menerapkan dan mengembangkan teknologi PHT yang sesuai dengan jenis
tanaman, lokasi lahan, dan kondisi sosial ekonomi petani. Untuk dapat
mengembangkan teknologi PHT yang sesuai diperlukan banyak kegiatan penelitian
dan pengkajian.

JENIS-JENIS HAMA HORTIKULTURA DAN CARA PENGENDALIANNYA

Karena banyaknya jenis tanaman hortikultura di Indonesia yang akan


diuraikan hanya terbatas pada jenis tanaman horti yang penting dilihat dari prospek
bisnis, sedangkan jenis hama hanya dijelaskan hama-hama utama yang pada 5
tahun terakhir ini menimbulkan masalah.
Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1995 terdapat 2 jenis hama “baru” yang
kemudian menimbulkan masalah serius di pertanaman sayuran terutama
menyerang tanaman kentang. Dua jenis hama tersebut adalah hama pengorok
daun (Lyriomyza huidobrensis) dan Nematoda Sista Kuning (Globodera
rostochiensis). Hama Lyriomyza bukan hama “asli” di Indonesia tetapi berasal dari
daerah subtropik. Hama ini terbawa ke Indonesia karena ulah para penggemar
tanaman hias yang mengimpor bunga krisan dari Eropa melewati pemeriksaan
97
petugas karantina tumbuhan di pintu masuk. Setelah tahun 1995 hama ini
menyerang semua pusat tanaman kentang dan tanaman horti lainnya. Hama
nematoda NSK baru diketahui memasuki Indonesia pada tahun 2002 yang lalu,
terbawa oleh bibit kentang yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Saat ini NSK telah tersebar di semua pusat tanaman kentang di Indonesia.
Salah satu jenis hama penting yang menyerang buah-buahan adalah lalat
buah (Batrocera spp) yang seringkali menjadi pembatas produksi dan ekspor buah-
buahan di Indonesia seperti nangka dan jambu. Namun dengan penggunaan zat
atraktan seperti metil eugenol dan tanaman selasih, pengendalian lalat buah dapat
mengurangi kerugian petani buah-buahan oleh lalat buah.

A. KELOMPOK SAYURAN
Kelompok Sayuran meliputi tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi (KUBIS,
KENTANG, TOMAT) dan sayuran dataran rendah (CABAI, dan BAWANG MERAH)
1. KUBIS
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda.
Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal
batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan
berat. Serangan berat terjadi di awal musim kemarau.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun

b. Ulat Daun (Plutella xylostella)


Gejala serangan:
Tanaman yang diserang adalah tanaman muda. Seringkali juga
merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop. Larva makan
permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis bagian
atas. Setelah jaringan daun lapisan epidermis pecah sehingga terjadi lubang-
lubang pada daun. Kerusakan berat mengakibatkan tanaman kubis hanya
tinggal tulang daun saja.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan larva di sekitar tanaman dan mematikannya

c. Ulat Krop (Crocidolomia binotalis)


Gejala serangan:

98
Larva muda bergerombol di permukaan bawah daun kubis dan
meninggalkan bercak putih pada daun yang dimakan. Larva instar ketiga
sampai kelima memencar dan menyerang pucuk tanaman kubis sehingga
menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya tanaman mati atau batang kubis
membentuk cabang dan beberapa crop yang kecil-kecil.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya

2. KENTANG
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Gejala biasanya terlihat pada pagi hari dengan adanya tanaman muda
yang rebah karena dipotong oleh ulat di bagian pangkal batang.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun

b. Penggerek Umbi (Pthorimaea operculella)


Gejala serangan:
Daun yang terserang terlihat warna merah tua dan adanya jalinan
seperti benang yang membungkus ulat kecil berwarna kelabu. Kadang-
kadang daun kentang menggulung yang disebabkan karena larva telah
merusak permukaan daun sebelah atas, kemudian bersembunyi dalam
gulungan daun tersebut. Gejala serangan pada umbi dapat dilihat dengan
adanya kelompok kotoran berwarna coklat tua pada kulit umbi. Apabila umbi
dibelah, akan kelihatan “alur-alur” yang dibuat ulat sewaktu memakan umbi.
Kerusakan berat pada pertanaman kentang sering terjadi pada musim
kemarau. Di dalam gudang penyimpanan, OPT tersebut merusak bibit
kentang yang disimpan selama 3-5 bulan sebelum tanam.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik

c. Kutu Daun Persik (Myzus persicae)


Gejala serangan:
Kerusakan secara langsung akibat serangan kutu daun persik
sebenarnya tidak terlalu merugikan. Kutu daun persik mengisap cairan daun,
99
sehingga menyebabkan daun berkerut/keriting, tumbuhnya kerdil,
kekuningan, daun-daunnya terpuntir, menggulung dan kemudian layu dan
mati. Gejala yang lebih penting adalah gejala karena kerusakan secara tidak
langsung, yaitu serangan penyakit virus yang ditularkan oleh kutu ini. Kutu
daun persik merupakan vektor penyakit tanaman kentang antara lain PVA,
PVY, PVM, dan PLRV.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Penyemprotan dengan insektisida selektif dan efektif

d. Lalat Pengorok Daun (Lyriomyza huidobrensis)


Gejala serangan:
Lalat pengorok memakan daun dengan cara masuk ke dalam jaringan
daun. Akibat serangan hama ini terdapat alur-alur pada daun yang dapat
mempengaruhi fotosintesis.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak

e. Nematoda Sista Kuning (Globodera rostochiensis)


Gejala serangan:
Pertanaman kentang berumur 70-80 hst yang terserang nematoda
tampak daun-daun klorosis (menguning).

Pengelolaan:
1. Pengolahan tanah
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang

3. CABAI
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda.
Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal
batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan
berat. Larva dewasa kadang-kadang membawa potongan-potongan
tanaman ke tempat persembunyiannya.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
6. Pemanfaatan musuh alami seperti Metarrhizium sp.
100
b. Kutu daun persik (Myzus persicae)
Gejala serangan:
Serangan berat pada tanaman cabai muda (umur < 3 minggu) bila
infestasinya tinggi daun akan berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil,
layu dan kemudian mati.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak

c. Trips (Thrip palmi)


Gejala serangan:
Stadium Thrips yang sangat merugikan adalah stadium nimfa dan
imago. Thrips menyerang tanaman dengan jalan menggaruk permukaan
daun dan bunga, selanjutnya mengisap cairan sel tanaman. Gejala serangan
pada daun akan terlihat bercak-bercak klorosis berwarna putih keperakan
pada permukaan bagian bawah daun yang akan menyebabkan daun
berkerut dan terpuntir. Bila serangan berat permukaan daun akan berkerut
atau sedikit menggulung yang di dalamnya benyak ditemukan Thrips.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak

d. Kutu Daun Kapas (Aphis gossypii)


Gejala Serangan:
Serangan berat dapat terjadi apabila infestasi terjadi pada tanaman
muda (< 3 minggu), dengan gejala daun berkerut keriting, tanaman akan
tumbuh kerdil, layu dan kemudian mati.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Pengamatan secara teratur
3. Mengumpulkan kutu kemudian dimatikan

e. Lalat buah (Batrocera dorsalis)


Gejala serangan:
Gejala serangan lalat buah pada buah cabai ditandai dengan titik
hitam pada pangkal buah, kemudian buah membusuk dan jatuh ke tanah.
Hal ini disebabkan belatung memakan bagian dalam dan daging buah
sehingga terjadi saluran-saluran di dalam buah. Buah yang terserang
menjadi busuk, selanjutnya jatuh ke tanah.

Pengelolaan:
1. Tanam serempak
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. Mengumpulkan buah busuk yang rontok kemudian dibakar
101
4. Menggunakan perangkap beracun
5. Penyemprotan insektisida yang efektif dan selektif apabila ditemukan
serangan sedang.

f. Ulat grayak (Spodoptera litura)


Gejala serangan:
Larva makan dengan cara menyayat permukaan dau. Gejala
serangan yang ditimbulkan adalah bercak-bercak putih transparan pada
daun, karena bagian daging daun dimakan sedangkan bagian epidermis atas
ditinggalkan. Ulat dewasa memakan seluruh bagian daun dengan
meninggalkan bagian tulang daunnya. Pada serangan berat tanaman akan
gundul.

Pengelolaan:
1. Penanaman tanaman bukan inang
2. Mengumpulkan larva di sore/malam kemudian dimatikan
3. Penyemprotan dengan pestisida yang selektif

g. Nematoda puru (Meloidogyne sp)


Gejala serangan:
Tanda kerusakan yang tampak pada bagian tanaman di atas
permukaan tanah adalah tampak pertumbuhan yang kerdil, daun klorosis,
pada cuaca panas daun-daun cepat layu dibanding tumbuhan sehat, daun-
daun banyak yang gugur, tumbuhan tampak gundul, kadang-kadang tinggal
daun pucuk. Tanda kerusakan pada bagian tanaman di dalam tanah
diantaranya dekat ujung akar tampak kerusakan mekanis, berupa bercak
berwarna coklat hitam, terutama pada infeksi populasi yang tinggi, terdapat
kecenderungan pembentukan akar-akar cabang lebih sedikit daripada
tumbuhan normal. Tampak adanya puru pada akar-akar utama.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inagn
2. Di daerah endemik dilakukan perlakuan tanah dengan nematisida yang
efektif jika dijumpai serangan sedang.

4. BAWANG MERAH
a. Ulat bawang (Spodoptera exigua)
Gejala serangan:
Bagian tanaman yang diserang adalah daunnya, baik pada tanaman
muda atau pada tanaman tua. Larva muda melubangi bagian ujung daun
kemudian masuk dan memakan daging daun bagian dalam, sedangkan
epidermis bagian luar ditinggalkan. Akibat serangan tersebut pada daun
terlihat bercak-bercak putih menerawang tembus cahaya dan akhirnya
terkulai dan mengering. Pada serangan berat seluruh bagian daun
dimakannya.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
102
2. Tanam serempak
3. Pemusnahan kelompok telur di ujung daun

b. Trips (Thrip tabaci)


Gejala Serangan:
Stadium nimfa dan imago merusak tanaman dengan cara
menggaruk atau meraut jaringan daun dan mengisap cairan sel utamanya
pada daun yang masih muda. Gejala serangan yang terlihat adalah daun
bernoda putih mengkilat seperti perak, kemudian menjadi kecoklat-coklatan
dengan bintik hitam. Pada serangan berat seluruh areal terlihat putih dan
akhirnya tanaman akan mati. Serangan berat biasanya terjadi pada suhu
rata-rata di atas normal disertai dengan hujan rintik-rintik dan kelembaban
udara di atas 70%. Pada suhu tinggi atau dingin Thrips akan musnah.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Tanam serentak
3. Waktu tanam pertengahan April, awal Mei atau September
4. Penyemprotan insektisida efektif bila ditemukan tingkat serangan sedang

5. TOMAT
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda.
Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal
batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan
berat. Larva dewasa kadang-kadang membawa potongan-potongan
tanaman ke tempat persembunyiannya.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun

b. Ulat Buah (Helicoverpa armigera)


Gejala serangan:
Ulat ini menyerang buah tomat dengan cara masuk ke dalam buah
dan memakannya dari dalam. Buah akan tampak berlubang sehingga
menurunkan kualitas.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya

103
4. Pemberian insektisida butiran melalui tanah pada saat menjelang
berbunga
5. Penyemprotan insektisida yang selektif

c. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)


Gejala serangan:
Kutu menyerang permukaan daun bagian bawah. Kutu tersebut akan
mengisap cairan daun sehingga daun akan berkerut yang akan
mempengaruhi fotosintesis.

Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya

C. KELOMPOK BUAH-BUAHAN

1. JERUK
a. Kutu loncat jeruk (Diaphorina citri)
Gejala serangan:
Kerusakan karena aktivitas kutu loncat adalah daun jeruk menjadi
berkerut-kerut, menggulung atau kering dan pertumbuhannya menjadi
terhambat serta tidak sempurna. Selain daun muda, kutu ini juga mengisap
cairan sel pada tangkai daun, tunas-tunas muda atau jaringan tanaman.
Gejala lainnya adalah hasil sekresi atau kotorannya berupa benang
berwarna putih dan bentuknya menyerupai spiral.

Pengelolaan:
1. Memanfaatkan keberadaan musuh alami antara lain predator Curinus
coreluos, Coccinella repanda, jamur Metarhizium sp.
2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya dilakukan saat tanaman
menjelang dan ketika bertunas.

b. Kutu Daun (Toxoptera citricidus)


Gejala serangan:
Kerusakan karena hama ini tampak pada bagian tanaman muda
seperti daun dan tunas. Daun yang terserang akan berkerut dan keriting
serta pertumbuhannya terhambat. Pada bagian tanaman di sekitar aktivitas
kutu daun tersebut terlihat adanya kapang hitam yang tumbuh pada sekresi.

Pengelolaan:
1. Di alam populasi kutu daun dikendalikan oleh musuh alami.
2. Secara kultur teknis dengan menggunakan mulsa jerami di bedengan
pembibitan jeruk agar dapat menghambat perkembangan populasi kutu.

c. Kutu Perisai (Lepidosaphes sp)


Gejala serangan:
104
Bagian tanaman jeruk yang terserang adalah daun, buah dan tangkai.
Serangan kutu tersebut menyebabkan daun berwarna kuning, terdapat
bercak-bercak klorotis dan seringkali membuat daun menjadi gugur.
Serangan yang lebih berat akan mengakibatkan ranting dan cabang menjadi
kering. Jika serangan terjadi di sekeliling batang, akan menyebabkan buah
gugur. Serangan pada buah mengakibatkan buah tampak kotor.

Pengelolaan:
1. Musuh alami sangat menentukan perkembangan populasi kutu sisik.
Oleh karena itu keberadaannya perlu diperhatikan.
2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya menggunakan insektisida yang
bersifat selektif.

d. Ulat Penggerek Buah (Citripestis sagitiferella)


Gejala serangan:
Ulat menggerek buah sampai ke daging buah sehingga terlihat bekas
lubang yang mengeluarkan getah seperti blendok, kadang-kadang tertutup
dengan kotoran. Bagian buah yang terserang adalah separuh bagian bawah
dan apabila parah, buah akan busuk dan gugur.

Pengelolaan:
1. Untuk mencegah peletakan telur sebaiknya dilakukan pembungkusan
pada buah jeruk yang masih muda.
2. Memetik buah jeruk yang telah terserang dengan interval setiap 10 hari
kemudian menguburnya cukup dalam
3. Pemanfaatan musuh alami seperti parasit telur Trichogramma sp dan
Bracon sp.
4. Pengendalian secara kimiawi pada saat telur belum menetas. Larva yang
baru keluar akan segera terbunuh sebelum sempat menggerek.

e. Kutu dompolan (Planococcus citri)


Gejala serangan:
Kutu menyerang tangkai buah dan meninggalkan bekas berwarna
kuning kemudian kering sehingga banyak buah yang gugur. Pada bagian
tanaman yang terserang tampak dipenuhi kutu-kutu putih seperti kapas.

Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami dengan cara menghindarkan penggunaan
insektisida yang berlebihan
2. Mengatur kepadatan tajuk tanaman agar agar tidak terlalu padat dan
saling menaungi
3. Mencegah datangnya semut yang sering memindahkan kutu

2. MANGGA
a. Procontariana matteina
Gejala serangan:
Daun yang terserang hama ini ditandai dengan adanya bisul-bisul
kecil pada permukaan dan bawah daun. Ulat akan meninggalkan bekas
105
lubang pada saat ulat keluar meninggalkan jaringan daun. Dalam satu daun
tampak terdapat banyak sekali bintil-bintil kecil yang menyebabkan
terganggunya proses fotosistesis sehingga menghambat pertumbuhan
tanaman.

Pengelolaan:
Sanitasi lingkungan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk
mengendalikan hama ini.

b. Penggerek cabang mangga (Rhytidodera simulans)


Gejala serangan:
Pada bagian cabang atau ranting yang terserang terdapat lubang dan
alur gerek berwarna hitam. Apabila tertiup angin, cabang akan mudah patah,
daunnya tampak layu, lama-lama kering dan mati. Lubang-lubang bekas
gerekan dapat menyebabkan infeksi oleh serangan organisme lain.

Pengelolaan:
Pengendalian mekanik dengan cara memangkas cabang dan ranting
terserang. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan cara injeksi pada
batang tanaman dan dianjurkan saat tanaman tidak berbunga atau berbuah.

3. PISANG
a. Erionata thrax
Gejala serangan:
Daun pisang yang terserang hama ini akan terlihat robek. Hal ini
disebabkan hama menggulung daun dari tepi ke arah tengah.

Pengelolaan:
1. Secara fisik mekanik dengan cara pengambilan telur kemudian
mematikannya
2. Mengumpulkan bagian daun yang sudah tergulung dan
memusnahkannya

b. Hama Uret
Gejala serangan:
Hama ini menyerang pisang bagian batang sampai ke umbi batang
bagian bawah (bonggol) dan menyebabkan umbi berlubang.

Pengelolaan:
Dengan Seed treatment

c. Kumbang Penggerek Batang (Cosmopolites sordidus)


Gejala serangan:
Tanaman yang terserang hama ini akan menunjukkan pertumbuhan
yang kerdil, daun berkerut. Pada umumnya hama ini tumbuh pada tanaman
pisang yang busuk.

Pengelolaan:
106
Pengendalian dengan sanitasi kebun. Memotong tanaman yang
tercemar sampai ke bonggol bawah.
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 10

PENGELOLAAN HAMA PERKEBUNAN


DAN HAMA PASCA PANEN/HAMA GUDANG

Tujuan:
1. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama tanaman perkebunan dan
cara Pengelolaannya
2. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama pasca panen dan cara
pengelolaannya

Materi:

PENGERTIAN DAN BATASAN

Pengelompokan beberapa tanaman seperti kelapa, kopi, cengkeh, kelapa


sawit, kakao, karet, teh, tebu, kina, tembakau, lada sebagai tanaman
perkebunan lebih dilandasi oleh faktor historis sejak zaman penjajahan Belanda.
Guna memperoleh pendapatan dari negara jajahannya, Pemerintah Belanda
mengundang investor untuk membuka usaha perkebunan dengan komoditas
ekspor sehingga dapat meningkatan pendapatan pemerintah kolonial Belanda.
Perusahaan Perkebunan ditandai dengan pengelolaan berorientasi bisnis
keuntungan, pertanaman dengan luasan tanaman yang besar, ratusan sampai
ribuan hektar per kebun atau afdeling dan jumlah karyawan yang besar dengan
menggunakan teknologi budidaya dan pengolahan hasil/pabrik yang modern. Jenis
tanaman yang dipilih adalah tanaman yang memiliki nilai ekspor tinggi seperti
kakao, kopi, teh, kelapa sawit, cengkeh. Semula jenis tanaman perkebunan
mencakup hanya tanaman tahunan (umur tanaman lebih dari 1 tahun), tetapi
kemudian diusahakan juga tanaman musiman atau berumur pendek (umur
tanaman kurang dari 1 tahun) seperti gula dan tembakau, mengingat permintaan
dunia akan dua komoditas tersebut cukup tinggi. Sebelum PD II, Indonesia pernah
menjadi penghasil beberapa komoditas perkebunan yang besar di dunia. Karena
orientasi usaha perkebunan adalah ekspor, sejak sebelum PD II sampai sekarang
harga komoditas perkebunan sangat ditentukan oleh harga pasar dunia.
Perkembangan subsektor perkebunan setelah kita merdeka berbeda dengan
masa kolonial Belanda. Perusahaan perkebunan yang semua dikelola oleh
perusahaan asing sebagian besar dialihkan ke perusahaan milik negara. Kegiatan
perkebunan yang semula diarahkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan besar kini
berkembang dan akhirnya diusahakan oleh petani kecil yang memiliki luas kebun
yang kecil (kurang dari 5 hektar) bahkan seringkali di bawah satu hektar per
keluarga petani, kepemilikan modal dan teknologi yang terbatas, serta dikelola oleh
keluarga petani. Jenis pengusahaan perkebunan oleh petani-petani kecil kemudian
dikenal sebagai usaha Perkebunan RAKYAT. Karena dorongan dan fasilitasi

107
pemerintah, perkebunan rakyat semakin lama semakin luas, jauh lebih luas
daripada luas perkebunan besar.
Saat ini perkebunan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Perkebunan Besar
dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan Besar yaitu perkebunan dengan luas areal
besar yang dikelola oleh PT Perkebunan Negara dan PT Perkebunan Swasta
Nasional termasuk milik PT Pagilaran (Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM)
atau Perkebunan Swasta Asing. Sedangkan perkebunan rakyat adalah usaha
perkebunan yang dikelola oleh petani kecil. Dari sekitar 12 juta hektar luas
perkebunan di Indonesia saat ini, lebih dari 70% adalah areal perkebunan rakyat.
Jenis komoditas yang diusahakan oleh Perkebunan Besar dan Perkebunan
Rakyat ada yang sama tetapi ada yang berbeda. Beberapa komoditas perkebunan
yang umumnya dikelola oleh rakyat saat ini adalah kelapa, lada, jambu mete dan
kapas. Sedangkan kelapa sawit pada umumnya dikelola oleh Perkebunan Besar.
Komoditas-komoditas perkebunan lainnya seperti teh, kopi, kakao, karet, tebu,
tembakau dikelola oleh Perkebunan Besar dan juga rakyat.
Pemerintah dengan bantuan lembaga-lembaga internasional seperti
ADB/Bank Pembangunan Asia dan World Bank/Bank Dunia telah banyak
melaksanakan program pembukaan, perluasan, intensifikasi dan rehabilitasi
perkebunan rakyat sehingga luas perkebunan rakyat dan jenis tanaman
perkebunan rakyat terus meningkat. Proyek pembangunan perkebunan yang
terkenal adalah PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yang menghubungkan Perkebunan
Besar sebagai Kebun Inti dan Perkebunan Rakyat sebagai Kebun Plasma.
Sayangnya dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut hanya
dilakukan oleh pemerintah sedangkan pemberdayaan masyarakat tidak
dilaksanakan, sehingga kelanjutan dari kegiatan pemerintah tersebut tidak dapat
dijamin.
Dalam melakukan pembahasan tentang pengelolaan hama perkebunan kita
akan mengkonsentrasikan pada Perkebunan Rakyat, meskipun kita ketahui bahwa
tidak ada perbedaan jenis-jenis hama yang menyerang perkebunan besar dan
perkebunan rakyat, namun tingkat dan jenis permasalahannya yang berbeda.

MASALAH PERLINDUNGAN TANAMAN PERKEBUNAN RAKYAT

Dibandingkan dengan perkebunan besar kondisi pertanaman perkebunan


rakyat umumnya kurang terpelihara, produksi rendah, kualitas kurang baik akibat
serangan berbagai jenis hama dan penyakit. Karena modal kurang serta
kemampuan teknis rendah, biasanya setelah tanam petani tidak mampu melakukan
pemeliharaan kebun termasuk pemangkasan, pengolahan tanah dan Pengelolaan
hama dan penyakit. Kondisi kebun lemah dan tidak terpelihara serta meliputi
daerah yang sangat luas akan membentuk kondisi ekosistem yang rentan hama
dan penyakit. Hama penyakit akan menyebar dengan cepat ke seluruh kebun di
suatu daerah. Kasus yang terjadi sekarang di Sulawesi dan propinsi-propinsi lain
yakni munculnya serangan Penggerek Buah Kakao yang sedang menghancurkan
kakao rakyat.
Kelemahan utama perkebunan rakyat adalah dalam hal penggunaan bibit
yang berkualitas rendah, kurang pemangkasan, pemupukan dan pemeliharaan lain,
pengendalian hama yang tidak tepat dengan menggunakan pestisida kimia yang
108
berlebihan, penanganan pasca produksi yang kurang baik. Akibatnya hasil rendah,
kualitas turun dan tidak diterima di pasar karena kandungan residu pestisida tinggi,
harga rendah dan akhirnya petani menderita kerugian yang cukup besar. Masalah
hama dan penyakit seperti pada tanaman kakao, kopi, lada, kelapa, kapas
seringkali menjadi faktor pembatas produksi perkebunan rakyat di Indonesia. Tanpa
pengetahuan dan ketrampilan tentang bagaimana mengelola hama para petani
perkebunan rakyat akan selalu mengalami kerugian dan kehilangan hasil akibat
serangan hama.

KONDISI EKOSISTEM KEBUN TANAMAN TAHUNAN

Ekosistem perkebunan terutama tanaman tahunan relatif lebih stabil bila


dibandingkan dengan tanaman pangan sehingga sebenarnya risiko terjadinya
letusan hama lebih kecil, tetapi karena kondisi kebun yang kurang terpelihara bila
terjadi peningkatan populasi pada satu tempat akan secara cepat menjalar ke
tempat lainnya. Kondisi ekosistem kebun juga menguntungkan bagi penerapan
pengendalian hayati terutama dengan predator, parasitoid dan patogen mengingat
ekosistem memiliki kondisi iklim mikro yang sesuai dan keanekaragaman tinggi bagi
perkembangan musuh alami.
Sebelum tahun 1960 banyak praktek pengendalian hayati klasik dengan
introduksi musuh alami sukses mengendalikan beberapa hama penting pada
tanaman kelapa. Untuk komoditas perkebunan, penerapan PHT yang
mengandalkan pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian yang paling
tepat. Melalui Program PHT Perkebunan Rakyat yang sampai tahun 2005
dilaksanakan Pemerintah di 13 propinsi, beberapa teknologi PHT seperti
pemanfaatan seresah untuk meningkatkan populasi predator, penyarungan buah
kakao untuk mencegah peneluran ngengat Penggerek Buah Kakao, pemangkasan
dan penjarangan tanaman, perbanyakan dan pelepasan agens pengendalian hayati
dengan patogen, panen bertahap, dan lain-lainnya ternyata dapat mengurangi
populasi hama dan kerusakan tanaman serta meningkatkan pendapatan petani
pekebun. Produk-produk PHT perkebunan saat ini banyak dicari konsumen
domestik maupun konsumen global karena kualitasnya tinggi serta bebas dari
kandungan residu pestisida yang membahayakan.

MASALAH HAMA PASCA PANEN

Perlu diketahui bahwa untuk semua kelompok tanaman baik tanaman


pangan, hortikultura maupun perkebunan, kerusakan dan kerugian akibat
gangguan hama dan penyakit pasca panen sangat besar. Kerugian yang diderita
oleh petani akibat serangan hama pasca panen adalah penurunan produksi dan
penurunan kualitas produksi. Diperkirakan rata-rata kerugian hasil antara 25-30%.
Kerugian terjadi sewaktu pengangkutan dan penyimpanan hasil panen sebelum
diolah dan dipasarkan. Hama Pasca Panen sering disebut juga sebagai Hama
Gudang.
Petani seringkali tidak memperhatikan aspek-aspek fisika kimia proses
penyimpanan hasil panen sehingga mengundang serangan hama gudang. Petani
jarang melakukan kegiatan khusus untuk mengendalikan hama-hama gudang.
109
Upaya yang paling sering dilakukan adalah pengeringan dengan panas matahari.
Berbagai jenis hama yang menyerang hasil panen di gudang penyimpanan dapat
berasal dari atau terbawa dari pertanaman, atau hama-hama khusus yang memang
menyenangi ekosistem gudang.
Pengendalian hama gudang khusus dilakukan di gudang-gudang milik
perusahaan atau pemerintah seperi gudang BULOG. Karena ekosistem gudang
dapat lebih mudah dikuasai maka pengendalian hama gudang biasanya dilakukan
dengan metode pengendalian fisik dan kimiawi dengan menggunakan fumigan.
Banyak jenis fumigan berbahaya bagi kesehatan karena itu perlakuannya di gudang
harus dilakukan secara hati-hati hanya oleh orang atau petugas yang telah terlatih
atau bersertifikat.

HAMA-HAMA PERKEBUNAN DAN PASCA PANEN

A. PERKEBUNAN
1. KOPI
a. Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei)
Gejala serangan:
Hama menyerang buah dengan cara menggerek. Lubang gerekan
berbentuk bulat dengan diameter lebih kurang 1 mm dan umumnya dijumpai
pada ujung buah. Lubang kadang-kadang sukar dilihat karena tertutup oleh
kotoran atau sisa gerekan. Bubuk buah kopi pada umumnya menyerang
buah yang bijinya telah cukup keras, namun demikian buah yang bijinya
lunak juga diserang. Setelah menyerang buah yang bijinya lunak, hama
segera keluar karena tidak bisa berkembang di dalamnya. Buah muda akan
menjadi busuk dan kemudian gugur. Jenis kopi yang disukai adalah jenis
Arabica, Robusta dan Liberica.

Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid Heterospilus coffeicola,
jamur Spicaria javanica, predator Dindymus rubiginosus.
2. Memodifikasi lingkungan seperti mengurangi naungan dan melakukan
pemangkasan.
3. Mengusahakan supaya selama jangka waktu tertentu tidak terdapat buah
kopi, baik di pohon ataupun di tanah. Dengan demikian kumbang betina
tidak mempunyai buah kopi untuk makanan atau untuk tempat
berkembang biak. Hal tersebut dapat diusahakan antara lain melalui
rampasan, lelesan, petik bubuk

b. Bubuk Ranting Coklat (Xylosandrus morigerus)


Gejala serangan:
Hama ini menyerang tanaman kopi di pembibitan, tanaman muda dan
tanaman dewasa. Di pembibitan hama menyerang bagian batang, sehingga
daun menjadi kering dan seringkali menyebabkan kematian. Bila tanaman
muda yang terserang maka pertumbuhan dan masa berbuah akan
terhambat. Bubuk ranting coklat dapat menyerang sampai ke dalam akar
tunggang.

110
Pengelolaan:
1. Pemanfaatan musuh alami misalnya Tetrastichus sp.
2. Sanitasi kebun dengan membersihkan kebun dari cabang-cabang yang
berserakan di bawah pohon, karena dapat menjadi sumber infeksi. Pada
saat pemangkasan, cabang dan ranting yang terserang dikumpulkan
kemudian dibakar.

c. Kutu Hijau (Coccus viridis)


Gejala serangan:
Kutu pada umumnya terdapat di bagian bawah tanaman yang masih
muda, daun atau ranting yang masih berwarna hijau. Pada daun, kutu
dijumpai di permukaan bawah, terutama pada pertulangan daun. Bunga dan
buah muda juga dapat terserang. Akibat tusukan dan pengisapan oleh kutu
pada tanaman, warna hijau dari bagian yang terserang akan berubah
menjadi kuning sehingga daun akan mengering dan gugur. Serangan pada
ranting muda seringkali menyebabkan ranting mati dan daun gugur. Selain
itu internoda juga menjadi pendek.

Pengelolaan:
1. Secara alami dengan memanfaatkan predator Coccinella sp, parasitoid
Coccophagus sp, jamur Cephalosporium sp.
2. Membersihkan pertanaman dari semut rangrang karena serangan kutu
akan sangat merugikan apabila semut rangrang dibiarkan hidup.

d. Kutu Dompolan (Planococcus citri)


Gejala serangan:
Hama menyerang pembungaan. Kuncup bunga dan buah muda yang
baru muncul menjadi kering dan gugur karena kutu mengisap pada tangkai
bunga dan tangkai buah. Bila buah yang diserang sudah cukup besar, buah
tidak gugur tetapi pertumbuhannya terlambat dan berkerut. Bila populasi kutu
tinggi, bagian tanaman yang lain seperti daun, tangkai daun dan cabang
yang masih hijau juga diserang.

Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami seperti predator Scymnus sp, Cryptolaemus
sp.
2. Secara mekanis dengan membuang bagian tanaman terserang yang
merupakan sumber infeksi, missal pemangkasan.
3. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan insektisida sistemik.

2. KAKAO
a. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella)
Gejala serangan:
Ulat merusak buah kakao dengan cara menggerek buah, memakan
kulit buah, daging dan saluran ke biji. Buah yang terserang lebih awal
menjadi berwarna kuning, dan jika digoyang tidak berbunyi. Biasanya lebih
berat dari yang sehat. Biji-bijinya saling melekat, berwarna kehitaman serta
ukuran biji lebih kecil.
111
Pengelolaan:
Hama ini dapat dikendalikan dengan sanitasi, pemangkasan,
membenam kulit buah, memanen satu minggu sekali, kondomisasi, serta
dengan cara hayati/biologi seperti Trichogramma sp, cecopet.

b. Kepik Pengisap Buah Kakao (Helopeltis sp)


Gejala serangan:
Serangan pada buah tua tidak terlalu merugikan, tetapi sebaliknya
pada buah muda. Buah muda yang terserang mengering lalu rontok, tetapi
jika tumbuh terus, permukaan kulit buah retak dan terjadi perubahan bentuk.
Serangan pada buah tua, tampak penuh bercak-bercak cekung berwarna
coklat kehitaman, kulitnya mengeras dan retak. Serangan pada pucuk atau
ranting menyebabkan pucuk layu dan mati, ranting mengering dan
meranggas.

Pengelolaan:
1. Pemangkasan
2. Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid Telenomus sp, jamur
Beauveria bassiana, pemangsa cecopet, belalang sembah, laba-laba

c. Penggerek Batang/Cabang (Zeuzera coffeae)


Gejala serangan:
Hama merusak bagian batang/cabang dengan cara menggerek
menuju xylem batang/cabang. Selanjutnya gerekan membelok ke arah atas.
Menyerang tanaman muda. Pada permukaan lubang yang baru digerek
sering terdapat campuran kotoran dengan serpihan jaringan. Akibat gerekan
ulat, bagian tanaman di atas lubang gerekan akan merana, layu, kering dan
mati.

Pengelolaan:
1. Membersihkan lubang gerekan dan ulat yang ditemukan dimusnahkan.
2. Secara mekanik dengan memotong batang/cabang terserang 10 cm di
bawah lubang gerekan ke arah batang/cabang kemudian ulatnya
dimusnahkan.
3. Pemanfaatan jamur Beauveria bassiana.

d. Tikus dan tupai


Gejala serangan:
Buah kakao yang terserang tikus akan berlubang dan akan rusak atau
busuk karena kemasukan air hujan dan serangan bakteri dan jamur. Tikus
menyerang buah kakao yang masih muda dan memakan biji beserta
dagingnya. Tikus menyerang malam hari. Gejala serangan tupai umumnya
dijumpai pada buah yang sudah masak karena tupai hanya memakan daging
buah, sedangkan bijinya tidak dimakan. Biasanya di bawah buah-buah yang
terserang tupai selalu berceceran biji-biji kakao. Jadi tikus benar-benar
hama, tetapi tupai tidak karena biji bisa dikumpulkan kembali. Tupai menjadi
hama (merugikan) apabila biji-biji tadi tidak dikumpulkan.
112
Pengelolaan:
Pengelolaan tikus dilakukan dengan sanitasi, umpan racun

3. KAPAS
a. Sundapteryx bigutulla
Gejala serangan:
Tanda pertama dari serangan hama ini adalah menguningnya ujung
daun dan agak mengkerut. Pada tingkat serangan berat, warna daun agak
coklat memerah dan pertumbuhannya menjadi kerdil. Pada permukaan
bawah daun yang terserang sering terdapat bercak berwarna kuning.
Kemudian daun akan mengering dan gugur. Kuncup dan buah muda dapat
membuka lebih awal dan gugur. Hama ini menyerang sejak tanaman muda
di lapang.

Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami kumbang kubah, kepik dan berbagai
macam laba-laba. Secara fisik mekanik dengan mengumpulkan hama
kemudian mematikannya.

b. Penggerek pucuk (Earias vittela)


Gejala serangan:
Ulat penggerek pucuk memakan pucuk tanaman kapas sehingga
menyebabkan kematian. Kuncup bunga dan buah muda akan rontok. Buah
besar juga dimakan tetapi tidak menimbulkan kerontokan.

Pengelolaan:
Memanfaatkan musuh alami seperti Trichogramma sp, Brachymeria
sp, Diadegma sp, laba-laba.

c. Ulat buah (Helicoverpa armigera)


Gejala serangan:
Hama ini memakan daun, bunga dan buah kapas. Cara makannya
dengan melubangi bagian bawah. Buah yang terserang akan menjadi busuk.

Pengelolaan:
Memanfaatkan musuh alami Trichogramma sp, Apanteles sp,
Encarsia sp.

d. Kutu daun (Aphis gossypii)


Gejala serangan:
Kutu ini memakan daun kapas dari bawah. Daun menggulung, dan
tanaman tumbuh kerdil. Ada yang berwarna kuning, hijau dan hitam.

Pengelolaan:
Kumpulan kutu merupakan makanan paling enak untuk kumbang
kubah.
113
4. TEH
a. Tungau Jingga (Tenuipelpus obovatus)
Gejala serangan:
Hama ini merusak pada musim kemarau. Serangan hama berakibat
sedikitnya pucuk teh yang dihasilkan. Serangan yang hebat menyebabkan
hamparan teh tampak merata kecoklat-coklatan. Daun muda yang diserang
akan gugur, sedangkan daun tua yang dan pada tangkainya berubah
menjadi kecoklatan.

Pengelolaan:
1. Penggunaan tanaman pelindung yang dapat mengurangi
perkembangbiakan hama.
2. Pengelolaan dengan insektisida selektif dan efektif

b. Ulat Penggulung Daun Teh (Enarmonia leucastoma)


Gejala serangan:
Enarmonia memiliki daya lekat yang berasal dari air liurnya pada tepi
pucuk daun yang ditempatinya. Karena benang liurnya ditempatkan secara
melintang, pucuk daun tersebut seakan-akan terikat sehingga sulit sekali
untuk membuka dan ulat ini selanjutnya berada di dalam pucuk tanaman.
Hama ini menggerek daun muda dari dalam daun. Terkadang lebih dari
sehelai daun muda yang berhasil digereknya selama ulat itu tidak berpindah
tempat. Gejala yang tampak jelas adalah pucuk daun teh yang menggulung
dalam keadaan rusak di bagian dalamnya, pertumbuhan daun teh
selanjutnya menjadi tidak normal.

Pengelolaan:
Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun
teh yang menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh
sewaktu penimbangan. Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan
berbagai cara diantaranya pembakaran.

c. Ulat penggulung daun melintang (Homona coffearia)


Gejala serangan:
Ulat melakukan pengrusakan dari dalam daun sehingga daun tampak
berkerut dan rusak. Ulat menggulung daun yang tidak terlalu tua sedang
cara menggulungnya hampir sama dengan Enarmonia sp, tetapi hanya
bagian tepinya saja yang dilekatkan.

Pengelolaan:
Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun
teh yang menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh
sewaktu penimbangan. Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan
berbagai cara diantaranya pembakaran.

d. Setora nitens
114
Gejala serangan:
Biasanya menyerang daun muda dan tua, sehingga tidak
mengherankan jika serangan berat dapat mengakibatkan perkebunan teh
menjadi gundul.

Pengelolaan:
Menggunakan musuh alami seperti Cryptus caymorus, Chlorocryptus
sp, Corypus javenus, kepik Sycanus sp, Canthecona sp.
5. TEBU
a. Penggerek Pucuk Putih (Schirpophaga nivella intacta)
Gejala serangan:
Bila serangan terjadi pada daun yang belum membuka, maka apabila
daun telah membuka akan tampak deretan lubang pada daun yang ditembus
larva berwarna coklat. Pada ibu tulang daun yang tergerek tampak lorong
gerekan yang berwarna kecoklatan. Serangan pada titik tumbuh
mengakibatkan kematian tanaman yang ditandai dengan mengeringnya
daun-daun muda yang masih menggulung dan terletak di tengah tajuk yang
dikenal sebagai “mati puser”. Daun termuda yang mati mudah dicabut.

Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami parasit telur Telenomus sp.

b. Penggerek Batang Bergaris Tebu (Chilo sacchariphagus)


Gejala serangan:
Ulat-ulat muda yang baru menetas hidup di dalam pupus, diantara
daun-daun muda yang masih menggulung. Ulat-ulat itu memakan jaringan-
jaringan daun. Akibatnya jika daun-daun muda sudah terbuka akan terlihat
luka-luka pada daun yang memanjang dan tidak teratur. Ulat yang telah
beberapa hari hidup dalam pupus kemudian akan turun melalui sebelah luar
pucuk tanaman dan ulat akan menembus masuk ke dalam tanaman lagi
melalui ruas tanaman. Bagian luar ruas muda yang digerek akan didapati
lubang tepung gerek. Apabila ruas terserang dibelah akan terlihat lorong-
lorong gerek lebar serta jalannya sangat tidak teratur. Dalam satu ruas
terdapat satu atau lebih ulat.

Pengelolaan:
Pemanfaatan parasitoid telur Telenomus sp, Trichogramma sp,
parasitoid larva Apanteles sp, dan parasitoid pupa Xanthopimpla sp.

c. Kutu Bulu Putih (Ceratovacuna lanigera)


Gejala serangan:
Kutu sewaktu-waktu dapat mengeluarkan cairan yang mengandung
gula. Cairan tersebut menetes ke permukaan daun di bawahnya. Tetesan
cairan tersebut merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan cendawan
jelaga yang berwarna hitam sehingga asimilasi akan terhambat. Serangan
yang parah menyebabkan pertumbuhan terhambat serta tanaman menjadi
kerdil.

115
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami Encarsia flavoscutellum.

d. Tikus (Bandiota indica, rattus argentiventer)


Gejala serangan:
Tanaman tebu yang terserang menunjukkan tanda bekas keratan
sepotong-sepotong pada batang tebu. Pada serangan berat mengakibatkan
tanaman patah. Selain itu untuk mengetahui adanya tikus dapat pula dilihat
jejak-jejaknya dan adanya lubang aktif dengan tanda khusus.

Pengelolaan:
1. Pemasangan umpan beracun
2. Pemanfaatan musuh alami seperti kucing, ular, burung elang.

6. KELAPA
a. Kumbang Janur Kelapa (Brontispa longissima)
Gejala serangan:
Larva dan serangga dewasa hidup di dalam lipatan anak daun pucuk
yang belum membuka, Larva menggerigiti dan mengorok kulit anak daun
secara memanjang membentuk garis-garis. Akibatnya daun tidak mau
membuka atau hanya membuka sedikit. Daun yang terserang mudah
menjadi kering serta salah bentuk. Dari jauh, pucuk pohon kelapa yang
terserang nampak kisut, keriting dan kering. Hal ini berpengaruh terhadap
produksi buah. Tandan yang akan berkurang jumlah buahnya terutama yang
berada di ketiak daun yang terserang tersebut.

Pengelolaan:
1. Cara mekanis dengan mengerat sedalam-dalamnya pucuk yang
terserang hama.
2. Pemanfaatan parasit larva Tetrastichus brontispae.

b. Kumbang Nyiur (Oryctes rhinoceros)


Gejala serangan:
Bekas serangan dapat terlihat dari adanya potongan-potongan yang
berbentuk segitiga pada daun kelapa. Bagian yang diserang adalah pucuk
pohon dan pangkal daun muda, yaitu jaringan yang mengandung cairan
yang kaya gizi. Bila titik tumbuh terserang, pohon kelapa akan mati karena
tidak menghasilkan daun lagi. Serangan hama ini dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder seperti serangan kumbang tanduk kelapa, kumbang
sagu dan cendawan.

Pengelolaan:
1. Membersihkan semua tempat yang diduga menjadi tempat
perkembangbiakan hama. Membakar tanaman yang mati akibat
serangan hama.
2. Penggunaan jamur Metarhizium anisopliae

116
c. Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp)
Gejala serangan:
Larva merusak akar, batang dan tajuk tanaman muda. Pada tanaman
dewasa hanya tajuknya saja. Apabila menyerang tajuk, gerekan pada pucuk
dapat mengakibatkan patah pucuk dan jika larva mencapai titik tumbuh
berakibat tanaman tidak dapat menghasilkan daun baru. Dari liang gerekan
pada tanaman muda sering keluar lendir merah coklat.

Pengelolaan:
Serangan hama ini merupakan kelanjutan dari serangan kumbang
Oryctes, karena itu serangan Oryctes harus dihindari. Dijaga pula supaya
tidak terjadi luka-luka pada pohon kelapa. Secara preventif dengan
memotong tanaman yang telah terserang dan mengambil serangga
hamanya serta sanitasi kebun. Pemanfaatan parasit larva Scolia erratica dan
tungau buas yang menyerang kepompong dalam “kokonnya”.

d. Belalang Pedang (Sexava coreacea)


Gejala serangan:
Serangga muda dan tua memakan daun kelapa dari pinggir,
meninggalkan bekas yang tidak rata. Serangan dimulai dari pelepah
terbawah. Sebelum daun bagian bawah habis dimakan, mereka pindah ke
daun sebelah atas. Serangan berat hanya meninggalkan beberapa pelepah
pucuk sedangkan bagian bawah tinggal lidinya saja dan pohon kelapa sama
sekali tidak menghasilkan buah selam 1-2 tahun.

Pengelolaan:
1. Pengelolaan telur dengan pengolahan tanah, bercocok tanam atau
pemberian insektisida ke dalam tanah.
2. Pengelolaan secara hayati dengan memanfaatkan parasit telur
Leefmansia bicolor dan Tetrastichus sp.
3. Apabila parasit tidak mampu lagi menekan peningkatn populasi, dapat
dilakukan injeksi batang dengan pestisida.

e. Artona catoxantha
Gejala serangan:
Ada tiga tingkat gejala serangan:
1. Gejala serangan titik. Ulat muda memakan jaringan anak daun bagian
bawah. Bekas yang dimakan menyerupai titik.
2. Gejala serangan bergaris. Ulat muda yang sudah lebih tua mengetam
lapisan anak daun bagian bawah setempat-setempat. Bekas ketamannya
seperti garis.
3. Gejala serangan pinggir. Ulat yang sudah dewasa memakan helaian
anak daun dari pinggir ke tengah, sehingga anak daun itu terpotong tak
teratur bagian pinggirnya.
Akibat serangan Artona, daun tua tampak kering berwarna merah-
coklat seluruhnya dan tinggal hijau segar hanya 2 atau 3 daun di pucuknya
saja. Serangan Artona tidak sampai mematikan pohon kelapa. Serangan
117
yang hebat menyebabkan buah termuda gugur, kemudian disusul oleh buah
muda yang agak besar, kelapa muda dan akhirnya buah-buah tua. Serangan
akan lebih hebat dan lama pengaruhnya saat awal musim kemarau.

Pengelolaan:
Secara mekanik dengan pemotongan pelepah daun tua pada periode
kepompong kemudian dibakar. Beberapa musuh alami yang dapat
mengendalikan hama ini Apanteles sp, Neoplecturs bicarinatus, Cadursia
leefmansia, Goryphus inferus. Secara kimiawi dilakukan dengan memberikan
insektisida sistemik melalui pengeboran batang atau pemotongan akar.
Untuk tanaman yang masih rendah dilakukan penyemprotan tajuk.

f. Kutu Kapuk Kelapa (Aleurodicus destructor)


Gejala serangan:
Serangga merusak daun kelapa karena mengisap cairan sel sehingga
meninggalkan bekas berupa bercak-bercak kuning. Kutu ini secara berkoloni
pada permukaan bawah daun. Permukaan bawah daun dimana ada koloni
tampak tertutup oleh benang wol putih.

Pengelolaan:
Hama ini dapat dikendalikan oleh parasit Tetrastichus sp dan
Encarsia sp. Secara kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida sistemik
melalui suntikan.

g. Kutu Perisai (Aspidiotus destructor)


Gejala serangan:
Hama menyerang dengan cara mengisap jaringan sehingga
menimbulkan bercak kuning. Bercak ini jelas nampak dari bagian atas daun,
sedangkan serangganya terdapat pada permukaan daun bagian bawah.
Disebut serangan ringan apabila anak daun yang bergejala menunjukkan
warna kuning emas pada tempat yang diduduki kutu perisai. Bila anak daun
yang menunjukkan gejala tersebut dalam jumlah yang besar maka seluruh
daun akan mati lebih dini dan warnanya berubah menjadi kelabu dengan
sedikit merah jambu. Pada serangan yang sangat berat daun yang
berkembang tetap kecil, tidak tegak dan kemudian tajuknya terkulai, akhirnya
mati.

Pengelolaan:
Bila hanya beberapa anak daun yang terserang, cukup dengan
membuang anak daun tersebut, bila seluruhnya sebaiknya pelepah
dipangkas dan dibakar. Kutu-kutu ini sulit dikendalikan dengan insektisida
karena tubuhnya ditutupi oleh lilin padat berbentuk perisai. Penggunaan
musuh alami seperti Chilocorus politus sangat efektif mengandalikan kutu
perisai.

h. Penggerek Bunga Kelapa (Batrachedra arenosella)


Gejala serangan:

118
Akibat serangan larvanya yang menggerek seludang mayang untuk
memakan bunga jantan dan betina, maka pada bekas liang gerekannya tadi
keluar sejenis getah yang berwarna kuning dan dapat dilihat dari bawah.
Bunga jantan akan menjadi hitam dan bunga betina mengeluarkan getah.
Kerusakan biasanya terjadi pada perbungaan di pangkal mayang. Mayang
yang terserang dapat sedikit menghasilkan buah, bahkan bila serangannya
berat sama sekali tidak menghasilkan buah.

Pengelolaan:
Dititikberatkan pada cara hayati dengan menggunakan Chelonus sp.
Dapat juga digunakan cara kimiawi dengan pelaburan seludang.

i. Tikus Pohon
Gejala serangan:
Hama tikus hidup di atas pohon dan sering merusak buah-buah
kelapa yang masih muda. Akibat serangan tersebut buah muda gugur.

Pengelolaan:
Karena populasinya umumnya rendah, jarang dilakukan pengendalian
secara khusus. Pada umumnya dikendalikan dengan menggunakan senapan
angin atau umpan racun.

j. Bajing
Gejala serangan:
Hama menyerang buah kelapa yang tua atau yang daging buahnya
telah tebal. Tiap ekor bajing dapat menghabiskan sebutir kelapa pada tiap
kali makan. Mereka membuat sarang di atas pohon yang terbuat dari sabut
pelepah kelapa atau aren dan daun-daun kering.

Pengelolaan:
Pada umumnya dilakukan dengan diburu menggunakan senapan
angin.

B. PASCA PANEN

1. BERAS
a. Bubuk beras (Sitophilus sp)
Gejala serangan:
Larva berada dalam butiran, demikian pula kepompongnya. Serangga
dewasa yang muncul dari kepompong akan keluar dari butiran-butiran beras
sehingga mengakibatkan butir-butir beras berlubang. Selain itu, komoditas
yang terserang menjadi kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa
kulit larvanya.

119
b. Kupu-kupu beras (Corcyra cephalonica)
Gejala serangan:
Ulat akan menggandeng-gandeng butir-butir beras dengan benang
liurnya. Ulatnya hidup di dalam gendengan beras tersebut dan menggerek
dari dalam.

2. Biji-bijian
a. Kumbang tepung (Tribolium sp)
Gejala serangan:
Jenis komoditas yang diserang antara lain tepung, kacang tanah,
beras, dan kopra. Material yang berbentuk biji-bijian bila diserang akan
berlubang-lubang, sedangkan material yang berbentuk tepung akan
kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa kulit larva.

b. Penggerek biji-bijian (Rhyzoperta dominica)


Gejala serangan:
Jenis komoditas yang diserang antara lain padi-padian, ketela pohon,
gaplek, dan jagung. Baik larva maupun dewasa merupakan pemakan yang
sangat rakus, kerusakan pada komoditas yang disimpan lebih hebat
dibandingkan dengan serangga hama yang lain. Hama ini bertindak sebagai
hama primer. Material yang diserang akan berlubang-lubang.

c. Kumbang padi-padian bergerigi (Oryzeaphilus sp)


Gejala serangan:
Hama ini merupakan hama sekunder pada material yang utuh tetapi
merupakan hama primer pada material yang telah digiling. Beberapa
komoditas yang diserang antara lain padi-padian, kopra, beras, dedak,
rempah-rempah, dan buah-buahan yang dikeringkan. Material yang
terserang akan berlubang.

3. Umbi-umbian
a. Cylas formicarius
Gejala Serangan:
Umbi yang terserang terdapat lubang dan membuat lorong gerekan.
Apabila serangan masih baru biasanya dari lubang tersebut keluar sisa
gerekan berwarna keputih-putihan. Lama-kelamaan di sekitar lubang
menjadi busuk. Apabila umbi tersebut dibelah maka akan tampak lubang-
lubang serta jalur-jalur bercabang-cabang. Akibatnya ubi akan terasa pahit.

120
4. Tembakau
a. Lasioderma serricorne
Gejala serangan:
Hama ini dikenal dengan sebutan “cigarette beetle” karena kumbang
ini merupakan hama penting pada simpanan tembakau dan cerutu. Pada
awalnya serangga dewasa meletakkan telur di antara bahan (tembakau) dan
setelah menetas langsung membuat rongga dan merusak bahan. Komoditas
yang terserang akan mengalami kerusakan dengan adanya bekas gerekan
larva sehingga akan menurunkan kualitas tembakau atau cerutu.

Hama pasca panen lain yang juga sangat membahayakan komoditas di


dalam simpanan adalah tikus. Jenis-jenis tikus yang umum ditemukan dan
merusak di gudang penyimpanan diantaranya tikus wirok, tikus riul, tikus sawah,
tikus rumah, dan mencit rumah. Selain memakan biji-bijian, umbi-umbian dan
beberapa jenis buah-buahan, tikus juga memiliki kebiasaan menggigit benda-
benda seperti kayu, plastik, dan lain-lain. Tikus aktif pada malam hari. Untuk
mengetahui ada tidaknya tikus di gudang dapat dilakukan pemeriksaan kotoran
yang biasanya dapat ditemukan di atas lantai gudang, pemeriksaan terhadap
kerusakan/bekas serangan tikus, misalnya karung goni yang sobek, komoditas
simpanan yang berceceran di lantai. Selain itu juga dapat melihat adanya
sarang di dalam atau di luar gudang. Pengelolaan tikus dapat dilakukan dengan
Rodent Proofing untuk mencegah keluar masuknya tikus. Eradikasi di dalam
gudang dapat dilakukan dengan cara gropyokan (jika memungkinkan) dan
fumigasi. Umpan beracun, perangkap, gropyokan dan emposan juga dapat
dilakukan di luar gudang.

Pengelolaan hama-hama pasca panen:


1. Sanitasi sangat penting dilakukan untuk menghindari munculnya hama
pasca panen. Sanitasi dapat meliputi sanitasi gudang, sekitar gudang, dan
komoditas.
2. Spraying
Spraying bertujuan untuk pencegahan terhadap barang yang disimpan
supaya tidak terinfeksi oleh hama dan mengurangi tingkat perkembangan
hama serta pencegahan serangan kembali. Spraying dengan insektisida
dilakukan pada bangunan gudang, ruangan, permukaan karung, dan
dicampur langsung dengan biji-bijian. Yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan spraying adalah menghindari terjadinya kontak langsung antar
tubuh, kulit dengan insektisida, dosis dan aplikasi harus tepat agar tidak
terjadi penumpukan residu, waktu aplikasi tepat, dan dipastikan tidak ada
hewan atau manusia di sekitar tempat yang dispraying.
3. Fogging
Fogging merupakan salah satu cara yang efektif memberantas serangga
yang aktif terbang di dalam ruangan tertutup, seperti gudang. Biasanya
menggunakan insektisida yang mudah menguap.
4. Fumigasi

121
Fumigasi merupakan suatu cara Pengelolaan hama menggunakan fumigan.
Cara ini tidak dapat dipakai sebagai tindakan preventif karena setelah gas
hilang tidak mempunyai efek residu terhadap hama sehingga kemungkinan
reinfestasi hama sewaktu-waktu dapat terjadi. Fumigasi lebih bersifat
eradikatif.
5. Di gudang tembakau biasanya digunakan lampu perangkap berwarna merah
karena hama Lasioderma sp tertarik dengan cahaya merah.

122
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 12

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TANAMAN

Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami latar belakang sejarah perkembangan PHT di
Indonesia
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan SLPHT
3. Mempelajari dan memahami penerapan PHT sebagai kebijakan perlindungan
tanaman nasional

Materi:

LANDASAN HUKUM
Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan atau landasan
hukum yang berkaitan dengan kegiatan Perlindungan Tanaman. Yang dimaksud
peraturan perundang-undangan di sini meliputi:
• Undang-Undang (disyahkan oleh DPR dan Pemerintah),
• Peraturan Pemerintah (disyahkan oleh Pemerintah/Presiden dengan
pemberitahuan pada DPR)
• Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden yang dikeluarkan dan
ditandatangani oleh Presiden
• Keputusan Menteri Pertanian dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri
Pertanian
Peraturan-peraturan yang tingkatannya di bawah KepmenTan mulai dari
Peraturan Direktorat Jenderal sampai Peraturan Daerah tidak akan dibahas.

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan dan


pelaksanaan perlindungan tanaman yaitu:
1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
2. PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
3. PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan
Penggunaan Pestisida
4. Inpres No. 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng
Coklat pada Tanaman Padi.
5. KepmenTan No.434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran
Pestisida
6. KepmenTan No. 517/Kpts/2002 tentang Pengawasan Pestisida
7. Kpts Bersama Mentan dan Menkes 711/Kpts/1996 tentang Batas Maksimum
Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian.

123
Semua kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia baik yang dilaksanakan
oleh Pemerintah, petani maupun masyarakat harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan tersebut, termasuk pasal-pasal mengenai Tindakan Pidana
yang diberlakukan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau yang tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
SEJARAH PHT SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL

Dilihat dari sejarah, PHT dalam kebijakan perlindungan tanaman telah lama
dibahas dan disarankan oleh para pakar perlindungan tanaman kepada
Pemerintah. Sejak tahun 1970 Komisi Perlindungan Tanaman telah mendesak
Pemerintah untuk menerapkan PHT dalam setiap program perlindungan tanaman.
Namun karena Pemerintah masih asyik melaksanakan program BIMAS dengan
Panca Usaha Tani dimana pada usaha ke-4 (Pengendalian Hama dan Penyakit)
lebih mengutamakan penggunaan pestisida kimia, maka usulan Komisi
Perlindungan Tanaman kurang diperhatikan. Saran para pakar tentang penerapan
PHT baru diperhatikan Pemerintah setelah terjadi letusan wereng coklat yang
menyerang tanaman padi seluas hampir 1 juta hektar pada tahun 1979-1980.
Akhirnya pada tahun 1986 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 3/1986
yang terdiri atas banyak butir, yang paling penting diantaranya:
1. Pengendalian hama wereng coklat padi dengan prinsip PHT, antara lain dengan
penanaman VUTW, tanam serentak, pergiliran tanaman, penggunaan pestisida
kimia secara selektif terutama yang berbahan aktif buprofezin (kelompok IGR)
2. Sebanyak 57 formulasi pestisida kimia dinyatakan dilarang digunakan untuk
pengendalian hama padi.
3. Para petugas lapangan dan petani harus ditingkatkan kemampuannya dalam
menerapkan PHT melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan.

Sebagai tindak lanjut Inpres 3/1986, dengan bantuan dana internasional


yang berasal dari Pemerintah Belanda, Amerika Serikat dan Bank Dunia, sejak
tahun 1989 Pemerintah menyelenggarakan kegiatan SLPHT sebagai wahana
pelatihan petugas dan petani padi dalam menerapkan dan mengembangkan PHT.
Empat Prinsip PHT yang dikembangkan sendiri oleh petugas dan petani dalam
SLPHT yaitu:
1. Budidaya Tanaman Sehat
2. Pelestarian dan Pemanfaatan Musuh Alami
3. Pengamatan Mingguan
4. Petani sebagai “Ahli” PHT
Sampai akhir tahun 1998 sekitar satu juta petani dan ribuan petugas (PHP
dan PPL) telah mengikuti SLPHT. Peranan sivitas akademika UGM dalam
persiapan Inpres 3/1986, persiapan dan pelaksanaan program SLPHT di tingkat
nasional sangat menonjol, bahkan diakui oleh dunia internasional. Secara politik
pelaksanaan SLPHT memberikan tekanan yang kuat pada Pemerintah dan DPR
sehingga pada tahun 1992 disyahkan UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Pemerintah mengeluarkan
PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.

PHT MENURUT UNDANG-UNDANG


124
Menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
dikatakan bahwa “Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah
kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu
tumbuhan”.
OPT diartikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan. OPT dapat dikelompokkan
dalam kelompok hama, penyakit dan gulma.
UU No. 12 pada Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20
menyatakan dua hal:
(1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama
Terpadu (Sistem PHT).
(2) Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud ayat (1),
menjadi tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah.

Menurut UU dan PP tersebut yang dimaksud Sistem PHT adalah upaya


pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan satu atau
lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan,
untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan
hidup. Dalam sistem ini penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir.
Pengendalian OPT bersifat dinamis.

TEKNOLOGI PENGENDALIAN TERPADU

Sebagai landasan kebijakan perlindungan tanaman, UU tersebut telah


menentukan bahwa untuk pengendalian setiap jenis OPT harus dilakukan dengan
memadukan berbagai teknik pengendalian hama yang kompatibel. Dalam
pemilihan teknologi pengendalian, UU menekankan bahwa penggunaan pestisida
kimia sebagai alternatif terakhir. Apabila sampai saat ini ada pejabat, petugas atau
mahasiswa yang berpendapat bahwa penggunaan pestisida kimia harus
dilaksanakan, berarti bahwa mereka belum mengetahui mengenai kebijakan
perlindungan tanaman nasional.
Sebagai penjabaran UU No. 12 Tahun 1992, PP No. 6 Tahun 1995 tentang
Perlindungan Tanaman telah merinci mengenai penerapan teknologi pengendalian
OPT secara terpadu khususnya pada pasal 8 sampai pasal 16. Pasal-pasal
tersebut menekankan pentingnya kegiatan pemantauan dan pengamatan OPT
sebelum dilaksanakan tindakan pengendalian (pasal 9). Pasal 10 menguraikan
beberapa komponen PHT yang meliputi:
a. cara fisik melalui pemanfatan unsur fisika tertentu,
b. cara mekanik, melalui penggunaan alat dan atau kemampuan fisik manusia,
c. cara budidaya, melalui pengaturan kegiatan bercocok tanam
d. cara biologi, melalui pemanfaatan musuh alami OPT
e. cara genetik, melalui manipulasi gen baik terhadap OPT maupun tanaman
f. cara kimiawi, melalui pemanfaatan pestisida, dan atau
g. cara lain sesuai perkembangan teknologi

125
PERLINDUNGAN TANAMAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT

UU menyatakan bahwa teknik pengendalian OPT tidak seragam atau statis


tetapi dinamis sesuai dengan keadaan ekosistem lokal. UU juga menyatakan
bahwa tujuan PHT bukan membasmi atau memusnahkan hama tetapi mencegah
kerugian secara ekonomis, dan lingkungan.
Kalau kita ke desa-desa di pulau Jawa apalagi di luar Jawa ada
kecenderungan yang memprihatinkan tentang kesadaran dan pengertian
masyarakat tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
pengendalian OPT serta perbaikan teknologi budidaya di tempatnya masing-
masing. Petani cenderung menyerahkan kegiatan pengendalian pada aktivitas
petugas Pemerintah khususnya Dinas Pertanian atau Dinas Perkebunan. Petani
banyak pasif dan menunggu tindakan pemerintah dalam menanggulangi OPT yang
sedang eksplosif. Keadaan ini tidak baik karena kegiatan pengendalian selalu
terlambat, menjadi tidak efektif karena populasi hama telah meningkat dan
menyebar di daerah yang luas. Dalam kondisi populasi dan serangan OPT yang
sedang dalam keadaan eksplosif pengendalian sangat sulit dilakukan. Kegiatan
pengendalian yang paling baik harus dilakukan sedini mungkin oleh masyarakat
petani sendiri tidak bergantung pada inisiatif pemerintah.
Kalau kita baca UU 12/1992 pasal 20 dikatakan bahwa “Pelaksanaan
perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah”. UU
tersebut menyatakan bahwa pada dasarnya perlindungan tanaman menjadi
tanggungjawab masyarakat. Dalam hal-hal tertentu seperti terjadinya eksplosi suatu
jenis OPT yang luas, pelaksanaan perlindungan tanaman dilakukan oleh
masyarakat bersama Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini akan memberikan
fasilitasi dalam hal penyediaan teknologi, ketrampilan dan sarana pengendalian di
lapangan. Dalam melaksanakan kegiatan pengendalian di lapangan atau pada
lahan milik petani sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat petani.
Apa sebab petani pasif, acuh tak acuh serta menyerahkan sepenuhnya
tindakan pengendalian OPT pada Pemerintah? Penyebab utama karena rendahnya
kualitas kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan petani dalam melakukan
pengelolaan ekosistem pertanian mereka termasuk dalam melakukan pengendalian
OPT. Dengan rendahnya kualitas SDM petani kita, mereka tidak mampu mengelola
lahan pertaniannya secara produktif dan profesional. Keadaan ini diperparah
dengan kepemilikan modal kerja dan tanah garapan yang sangat marginal.
Akibatnya hasil, kualitas dan harga produk pertanian dan perkebunan rakyat lebih
sering rendah sehingga tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup bagi
keluarga petani.
Kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan PHT) memberikan alternatif yang
terbaik untuk meningkatkan kualitas petani dan pekebun sehingga mereka secara
mandiri dan aktif dapat mengelola lahan pertanian atau perkebunannya secara
profesional dan dapat memanfaatkan sebanyak mungkin sumber daya alam yang
ada di sekitarnya sehingga dapat menghasilkan produk yang memiliki kuantitas dan
kualitas hasil yang tinggi. Tujuan pelatihan dalam SLPHT tidak hanya untuk
penerapan pengendalian hama dengan prinsip dan teknologi PHT tetapi lebih
komprehensif yaitu mengelola ekosistem pertanian secara terpadu sehingga
diperoleh produksi dan hasil yang menguntungkan petani dengan mempertahankan
populasi hama dan OPT pada umumnya pada tingkat yang tidak merugikan hasil.
126
Kegiatan pemberdayaan petani dengan SLPHT sangat berbeda dengan
kegiatan penyuluhan pertanian konvensional yang masih sering dilaksanakan oleh
para petugas penyuluh lapangan secara rutin yang dikenal dengan kegiatan LAKU
(Latihan Kunjungan). Perbedaan utama adalah pada proses pembelajaran. Proses
pembelajaran pada penyuluhan konvensional dari atas (petugas penyuluh) ke
bawah (petani), tetapi pada SLPHT adalah pembelajaran bersama dari bawah
(petani) ke atas (kelompok tani dan masyarakat). Para Pemandu lapangan (PL) di
SLPHT tidak berperan sebagai instruktor tetapi sebagai teman belajar dan fasilitator
petani peserta SLPHT.

PELAKSANAAN SLPHT

Sebanyak 20-25 petani dipilih sebagai peserta kelompok SLPHT yang


dipandu oleh 2 PL. Program pelatihan dilaksanakan selama satu musim tanam atau
sekitar 3 bulan untuk tanaman musiman (padi, kedelai, bawang merah, cabe, kubis,
kentang, kapas), dan sekitar 3-4 bulan untuk tanaman tahunan (kopi, kakao, teh,
lada, jambu mete).
Kelompok tani bertemu setiap minggu sekali pada hari yang ditetapkan
kelompok. Mereka belajar tidak di ruang tertutup tetapi langsung di lapangan, pada
petak pembelajaran yang dibagi dua sub petak yaitu petak PHT dan petak
Kebiasaan Petani sebagai pembanding.
Atas bimbingan para PL petani belajar mengamati, mengumpulkan OPT dan
musuh alami, melakukan analisis ekosistem serta mengambil keputusan
pengelolaan ekosistem sesuai dengan analisis hasil pengamatan. Mereka
mempelajari dinamika ekosistem, dinamika hama dan musuh alami serta
mengambil keputusan secara berkelompok. Hasil keputusan kelompok segera
dilaksanakan di kebun pembelajaran, pembahasan hasil pada minggu berikutnya,
dan seterusnya sampai tanaman dipanen. Petani membandingkan hasil yang
diperoleh dari petak PHT dengan petak Non PHT yang masih mengandalkan
penggunaan pestisida.
Pada setiap hari pertemuan SLPHT dari jam 7 pagi sampai 13.00 siang diisi
dengan acara:
• Pengamatan dan pengambilan sampel hama dan musuh alami
• Analisis Agroekosistem
• Pengambilan Keputusan Secara Berkelompok
• Topik Khusus untuk melakukan kajian topik-topik tertentu sesuai kebutuhan
kelompok
• Dinamika Kelompok untuk meningkatkan kekompakan kelompok
Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh tim independen baik terhadap SLPHT
Pangan maupun SLPHT Perkebunan diperoleh kesimpulan yang hampir sama
yaitu:
1. Produksi petak PHT lebih tinggi
2. Kualitas produk lebih baik sehingga memperoleh penghargaan yang lebih tinggi
3. Penggunaan insektisida dan fungisida sangat menurun
4. Penggunaan pengendalian hayati dengan agens pengendalian hayati meningkat

127
5. Kemampuan dan kepercayaan diri petani terhadap konsep dan teknologi PHT
meningkat
6. Keuntungan usaha petani meningkat.
Sayangnya saat ini perhatian Pemerintah terhadap tindak lanjut program
pelatihan SLPHT Pangan menurun karena diserahkan kepada pembiayaan
Pemerintah Daerah, sedangkan kegiatan SLPHT Perkebunan masih berjalan
sampai akhir 2005. Jumlah petani yang telah mengikuti SLPHT masih terlalu kecil
dibandingkan dengan jumlah petani pangan dan perkebunan di Indonesia yang
bekisar antara 30-40 juta.

KEBIJAKAN TENTANG PENDAFTARAN, PEREDARAN DAN PENGGUNAAN


PESTISIDA

Pada dasarnya pestisida merupakan bahan kimia yang memiliki risiko


bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan sehingga penggunaannya perlu
dilakukan secara hati-hati dengan pengawasan yang ketat. Karena itu setiap
negara harus membuat peraturan yang berhubungan dengan pendaftaran,
perijinan, peredaran, penggunaan dan pengawasan pestisida. Secara historis sejak
tahun 1970 Pemerintah telah menerapkan prosedur pendaftaran dan perijinan
pestisida yang mengacu tatacara yang berlaku secara internasional. Pada tahun
1973 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 7/1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, penyimpanan dan penggunaan Pestisida.

Pasal 2 PP 7/1973 menyatakan bahwa:


1) Setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan pestisida yang tidak
didaftarkan atau memperoleh izin Menteri Pertanian
2) Prosedur permohonan pendaftaran dan izin diatur lebih lanjut oleh Menteri
Pertanian
3) Peredaran dan penyimpanan pestisida diatur oleh Menteri Perdagangan atau
Menteri Pertanian

Pasal 3
1) Izin yang dimaksudkan diberikan sebagai IZIN TETAP, IZIN SEMENTARA atau
IZIN PERCOBAAN
2) Izin sementara dan izin percobaan diberikan untuk jangka waktu 1 tahun
3) Izin tetap diberikan untuk jangka waktu 5 tahun, dengan ketentuan bahwa izin
tersebut dalam jangka waktu itu dapat ditinjau kembali atau dicabut apabila
dianggap perlu karena pengaruh samping yang tidak diinginkan.

Meskipun sudah ada UU No. 12 Tahun 1992 dan PP 6 Tahun 1995 yang di
dalamnya juga mengandung pengaturan tentang pestisida, namun PP No.7 Tahun
1973 belum dicabut sehingga masih diberlakukan sampai saat ini. Mengenai
pengaturan pestisida UU No. 12/1992 menyatakan bahwa:

“Pestisida yang akan diedarkan dalam wilayah Negara RI wajib terdaftar, memenuhi
standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup,
serta diberi label”
128
“Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan, peredaran serta
penggunaan pestisida”.

“Pemerintah dapat melarang atau membatasi peredaran dan/atau penggunaan


pestisida tertentu”

Dalam melaksanakan tugas pendaftaran dan pengelolaan pestisida secara


nasional, Menteri Pertanian dibantu oleh KOMISI PESTISIDA atau terkenal dengan
nama KOMPES. Komisi mempunyai tugas:
1. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Pertanian sebagai bahan
dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan di bidang pestisida.
2. Mengkoordinasikan instansi/pihak terkait baik di dalam dan di luar Departemen
Pertanian di bidang pestisida kepada Menteri Pertanian,
3. Melakukan evaluasi data/informasi dalam rangka pendaftaran pestisida,
4. Melakukan evaluasi terhadap pestisida yang telah terdaftar dan telah
memperoleh izin Menteri Pertanian.
Saat ini Komisi Pestisida di bawah koordinasi Dirjen Bina Sarana Pertanian
dan anggota-anggotanya dari seluruh jajaran Pemerintah Pusat yang berkaitan
dengan pengelolaan pestisida seperti dari DepKes, Kementerian Lingkungan Hidup,
Dep. Tenaga Kerja, dll beserta beberapa pakar pestisida. Untuk melaksanakan
tugas ke-3 dan ke-4 Kompes membentuk Tim Pakar Evaluasi Pestisida.
Peraturan tentang prosedur perijinan pestisida telah beberapa kali direvisi
yang terbaru adalah SK Mentan No. 434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara
Pendaftaran Pestisida. Pendaftaran pestisida dipersyaratkan dalam bentuk Bahan
Teknis dan Bahan Formulasi. Sampai bulan Mei 2004 ini sekitar 1000 formulasi
pestisida telah terdaftar untuk pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan,
pengendalian vektor penyakit manusia, pengendalian rayap, pestisida rumah
tangga, fumigasi, pestisida industri, dll.

KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN

Dengan telah diundangkannya UU tentang Otonomi Daerah yaitu UU


22/1999 maka terjadi perubahan struktur, wewenang serta status kepegawaian
beberapa lembaga perlindungan tanaman nasional. BPTPH (Balai Proteksi
Tanaman dan Hortikultura) Propinsi yang dahulu berada di bawah struktur
Departemen Pertanian Pusat sekarang berada di bawah Pemerintah Daerah
Propinsi.

Kelembagaan Pemerintah Pusat


Dalam organisasi Departemen Pertanian, lembaga-lembaga yang tugas dan
fungsi khususnya perlindungan tanaman terdapat di 4 Direktorat Jenderal dan 1
(satu) Badan yaitu:
1. Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yang membawahi Direktorat Pupuk
dan Pestisida
2. Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan yang membawahi Direktorat
Perlindungan Pangan
129
3. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura yang membawahi Direktorat
Perlindungan Hortikultura
4. Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan yang membawahi Direktorat
Perlindungan Perkebunan
5. Badan Karantina Pertanian yang membawahi Karantina Tumbuhan

Dalam struktur organisasi Pemerintah Pusat dan Daerah dikenal lembaga


dengan status dan fungsi pelaksanaan aspek-aspek teknis tertentu yang disebut
Unit Pelaksana Teknis (UPT). UPT Perlindungan Tanaman yang dibentuk
Pemerintah Pusat cukup banyak baik yang berada di Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Hortikultura dan Direktorat Perlindungan
Perkebunan.
Sebagian besar UPT di bawah Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
dan Ditlin Hortikultura sudah diserahkan ke daerah sehingga berubah statusnya
menjadi UPT Pemerintah Daerah. Dua unit kerja yang termasuk UPT Ditlin Pangan
adalah Sentra Peramalan Jasad Pengganggu Tanaman Pangan di Jatisari
Cikampek, dan Laboratorium Analisis Pestisida di Pasar Minggu Jakarta.
Sedangkan UPT Direktorat Perlindungan Perkebunan sampai tahun ini masih
belum diserahkan ke Daerah. UPT Ditlin Perkebunan adalah BPTP (Balai Proteksi
Tanaman Perkebunan) di Medan, Bandung, Jombang dan Ambon, dan beberapa
Laboratorium (Lab. Lapangan/LL, Laboratorium Utama Pengendalian Hayati/LUPH,
Lab Utama Vertebtara/LUV, dan Laboratorium Analisis Pestisida/LAP).

Perlindungan Tanaman di Organsiasi Pemerintah Propinsi


Sebagai konsekuensi kebijakan otonomi daerah struktur organisasi
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten sangat beragam, tergantung pada
kebijakan dan program kerja daerah yang bersangkutan. Sampai tahun 2003
Indonesia memiliki 33 propinsi, 273 kabupaten, dan 63 kotamadya yang
mempunyai struktur organisasi yang sangat beragam. Hal ini termasuk mengenai
keberadaan, kedudukan, dan letak lembaga yang berwewenang dalam mengelola
perlindungan tanaman.
Operasionalisasi kegiatan pengkajian dan pengendalian OPT di tingkat
daerah dilakukan oleh BPTPH Propinsi sebagai UPT Daerah. BPTPH di lapangan
mempunyai beberapa laboratorium perlindungan tanaman seperti BPTPH DIY
memiliki laboratorium di Bantul. Karena itu pada struktur organisasi Dinas-dinas
yang ditetapkan oleh SK Kepala Daerah seringkali posisi perlindungan tanaman
tidak ada terutama di Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan/atau Hortikultura. Di
Dinas Perkebunan seperti di Jawa Tengah dan DIY bagian perlindungan tanaman
masih tampak kadangkala sebagai eselon II (Sub Dinas Perlindungan Tanaman)
atau sebagai eselon III (Seksi Perlindungan Tanaman).

130
LAMPIRAN I

AMBANG EKONOMI BERBAGAI JENIS HAMA


PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN
1. Padi
No. Jenis hama Sampel pengamatan Ambang ekonomi
1. Rattus argentiventer - 30 rumpun pada Persentase tanaman terpotong
masa vegetatif. >5%
- 20 rumpun pada
pemasakan bulir
2. Nilaparvata lugens 20 rumpun / petak 1 nimfa / tunas
3. Sogatella furcifera 20 rumpun / petak 1 nimfa dewasa / tunas
4. Nephotettix virescens, N. 20 rumpun / petak a. Ada tungro : 1 nimfa
malayanus, dan N. dewasa / tunas
nigropictus b. Tidak ada tungro : 5
nimfa / tunas
5. - Scirpophaga incertulas 20 rumpun / petak a. Tanam – malai berisi : 2 kel.
- S. innotata telur / 20 rumpun
- Chilo supressalis b. Malai berisi – akhir
- C. polychrysus pembungaan : 1 kel. telur /
- Sesamia inferens 20 rumpun
4. - Mythimma separata 20 rumpun / petak a. Pesemaian : kerusakan daun
- Spodoptera litura sebesar 50 %
- S. exemta b. Tanam – pembentukan malai
- S. mauritia : kerusakan daun sebesar
25 %
c. Pembentukan malai –
masak : kerusakan daun
sebesar 15 %
5. Cnapalocrosis medinalis 20 rumpun / petak a. Fase vegetatif : kerusakan
daun sebesar 20 %
b. Sebelum pembentukan
malai–pembentukan bunga:
kerusakan daun 5 %
6. Nymphula depunctalis 20 rumpun / petak a. Semai – tanam : kerusakan
daun sebesar 50 %
b. Tanam – anakan terbentuk :
kerusakan daun sebesar 25

131
%
7. Leptocoryza acuta 20 rumpun / petak 10 nimfa
8. Orseolia oryzae 20 rumpun / petak 2 telur/rumpun

2. Kedelai

No. Jenis hama Sample pengamatan Ambang ekonomi


1. Spodoptera litura a. Umur tan. (31 – 50 hst) : 3
ekor larva instar 3 /
rumpun dan 4 kel. telur /
100 rumpun
b. Umur tan. (51 – 70 hst) : 6
ekor larva instar 3 /
rumpun dan 7 kel. telur /
100 rumpun
c. Kerusakan daun 12,5 %
atau populasi ulat 10
larva / 20 rumpun (Balittan
Malang)
2. Chrysodeixis chalcites 10 rumpun/ petak a. Fase vegetatif (11-30
hst):
- 200 larva instar 1
- 120 larva instar 2
- 20 larva instar 3
- kerusakan daun
sebesar 25 %
b. Umur tan. (31-50 hst):
- 200 larva instar 1
- 120 larva instar 2
- 30 larva instar 3
- kerusakan daun
sebesar 12,5 %
c. Umur tan. (51 – 70 hst):
- 200 larva instar 1
- 120 larva instar 2
- 50 larva instar 3
- kerusakan daun
sebesar 12,5 %
d. Populasi ulat 15 larva /
20 rumpun (Balittan
Malang)
3. Phaedonia inclusa 10 rumpun / petak a. Fase tanam- 10 hst : 1
imago

132
b. Fase vegetatif : 1 imago
c. Sebelum 45 hst :
kerusakan sebesar > 2
% / 20 rumpun acak
d. Umur tanaman 45 hst,
ditemukan serangan
sebesar 2 % (Balittan
Malang)
4. Nezara viridula 10 rumpun a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau - 1
pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong > 2,5
%
c. Umur tan 71 hst –
panen : 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 3 ekor kepik /
5 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
5 Piezodorus hybneri a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau
- 1 pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong >
2,5 %
c. Umur tan 71 hst –
panen : 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 3 ekor kepik /
5 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
6 Riptortus linearis a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau
- 1 pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong >
2,5 %
c. Umur tan 71 hst – panen
: 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 1 ekor kepik /
133
4 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
7. Etiella zinckenella 10 rumpun / petak a. Pertumbuhan polong (51 –
70hst) : 1 pasang atau 1
ekor dan polong terserang
> 2,5 %
b. Umur tanaman 45 hst , bila
terdapat serangan rata-
rata 2 % (Balittan Malang)
8. Ophiomyia (Agromyza) 30 rumpun / petak a. Umur tan. (tanam – 10
phaseoli hst) : 2 ekor atau 2,5 %
tanaman terserang
b. Umur tan. Sebelum 10 hst :
kerusakan > 2 %
c. Terdapat serangan 2 %
atau adanya 1 ekor lalat /
5m baris tanaman (Balittan
Malang, 1991)
9. - Lamprosema indicata 10 rumpun / petak a. vegetatif (11-30 hst) :
- Plusia chalcites kerusakan daun sebesar 25
% atau ditemukan 30 larva
b. Umur tan. (31-50 hst) :
kerusakan daun sebesar
12,5 %
c. Umur tan (51 – 70 hst) :
kerusakan daun sebesar
12,5 %
d. Terdapat kerusakan daun
sebesar 12,5 % atau
ditemukan 15 ulat (Balittan
malang,1991)
10. Melanogromyza sojae 10 rumpun / petak a. Umur tanaman kurang dari
10 hari kerusakan sebesar
>2%
b. Umur tanaman 0-30 hst :
terdapat serangan > 2 %
11. Spodoptera litura 12 rumpun / petak a. 58 larva instar 1
b. 32 larva instar 2
c. 17 larva instar 3 (Ditlin)
d. 4 larva / 12 rumpun yang
berdekatan
e. Terdapat kerusakan daun
sebesar 12,5 % atau 15
larva / 20 rumpun (Balittan
Malang, 1991)

134
Lampiran 2
Daftar tumbuhan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati
Bagian yang
No Nama Spesies Nama Umum Nama Daerah
digunakan
1 Achalypha indica Indian nettle Rumput bolong Daun, kulit
2 Acarus columus Delinggo Daun
3 Allium cepa Red onion Bawang merah Daun
4 Allium sativum Garlic Bawang putih Daun
5 Andropogon nordus Citronella Serai wangi Daun
6 Annona muricata Sirsak Daun, biji
7 Annona reticulata Custard apple Buah nina Kulit, buah
8 Annona squamosa Sugar apple Srikaya, delima Akar, buah
9 Azadirachta indica Neem tree Nimba Seluruh bagian
Bischo Bischofia javanica
10 Glintungan Daun
11 Chrysantemum sp. Chrysant Piretrum Bunga
12 Cinnamomum burmanii Cinnamon leaf Kayu manis Daun, kulit, buah
13 Citrus aurantium Sour orange Jeruk Daun
14 Citrus hystrix Lemon Jeruk purut Daun, kulit, buah
15 Cocos nucifera Coconut Kelapa Daging
16 Coleus sp. Daun jinten Daun
17 Coriandum sativum Ketumbar Biji
18 Croton triglium Kamalakian Biji
19 Crynura sp. Beluntas Cina Daun
20 Cucumis sativus Cucumber Mentimun Daun
21 Cucurbita moschata Labu besar Daun, biji
22 Cymbopogon sp. Lemon grass Serai dapur Daun
23 Dahlia sp. Frenchmarigold Dahlia Daun
24 Derris elliptica Tuba Akar
25 Derris malaccensis Tuba laut Akar
26 Eclipta alba Urang aring Akar, tangkai
27 Eugenia syzigium Clove Cengkeh Daun, bunga
28 Eunymus japonicus Spindle tree Kumbang Daun
29 Eupatorium triplinerpe Ayapana Daun
30 Ficus carca Fong tree Daun
31 Geranium sp. Daun ambrei Daun
32 Hedera nodosa Pepaya hutan Daun
33 Impatiens sultani Zingiber balsam Pacar air Daun

135
34 Ipomea batatas Batate, patate Ubi jalar Daun
35 Lonchocarpus nicou Timbo, neku Akar
36 Lycopercicum sp. Leunca, komir Seluruh bagian
37 Mammea Americana Mamey Akar, ubi, kulit
38 Mundulae suberosa Mundula Kulit, akar, batang
39 Nerium oleander Common oleander Oleander, jure Akar, kulit, batang
40 Nicotiana tabaccum Tobacco Tembakau Daun
41 Oxalis deppei Lucky clover Celincing Daun
42 Pachyrrhyzus erosus Chinesse yan Bengkuang Seluruh bagian
43 Pangium edulo Kapayang Dahan, daun
44 Pelargonium sp. Geranium Keranyam Daun, batang
45 Peperomia sp. Saladaan Daun
46 Piper nigrum Black pepper Lada Biji
47 Pogostemon cablin Cublin Nilam Daun
48 Punica granatum Ponegranate Delima Daun
49 Ricinus communis Costa bean Jarak, kaliki Biji
50 Rosa sp. Mawar Daun
51 Sepindus rarak Rerek, lerek Daun
52 Solanum tuberosum Iris potato Kentang Daun
53 Tephorisa vogelii Vogel teprosia Daun, biji
54 Zingiber officinale Ginger Jahe Rimpang
Sumber : DirJen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian

136

Anda mungkin juga menyukai