aman-130302221720-
phpapp02.doc
2010
1
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc.
Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.
Mata kuliah ini menguraikan Interaksi Tanaman dan Hama; Pendugaan Kehilangan
Hasil dan Ambang Pengendalian; Landasan Ekologi Pengelolaan Hama; Pengamatan dan
Pengambilan Sampel; Unsur dan Komponen Dasar PHT; Pengendalian dengan Varietas
Resisten, Pengembangan Tanaman Transgenik, Karantina Tumbuhan; Pengendalian
Hayati; Pengendalian Kimiawi; Pengelolaan Hama Tanaman Pangan, Hortikultura,
Perkebunan dan Pasca Panen; Kebijakan Perlindungan Tanaman.
2
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 1
HAMA TANAMAN
Pokok Bahasan:
1. Beberapa batasan dan pengertian.
2. Arti penting hama tanaman untuk program pembangunan pertanian.
3. Data kerusakan dan sebaran beberapa hama utama di Indonesia.
4. Sebab-sebab muncul dan berkembangnya masalah hama tanaman.
5. Tujuan pengendalian hama dan pongelolaan hama.
Materi:
PERISTILAHAN
• Hama Tanaman
Merujuk pada binatang yang menjadi HAMA yakni merusak tanaman dan merugikan
petani
Selama binatang tersebut (serangga, tikus, nematoda, tungau, dll) mendatangkan
kerugian disebut HAMA TANAMAN
Tetapi keberadaan binatang di tanaman tidak selalu mendatangkan
kerugian/kerusakan tanaman
Banyak jenis binatang herbivora ada di pertanaman tetapi tidak semuanya menjadi
hama
Di samping itu di ekosistem banyak sekali jenis binatang yang tidak merugikan
malahan menguntungkan seperti MUSUH ALAMI (parasitoid, predator), serangga
PENYERBUK TANAMAN (lebah, tawon) serangga-serangga netral seperti SEMUT,
dll.
3
Kalau istilah PENYAKIT TUMBUHAN memang lebih tepat, karena PENYAKIT lebih
merujuk pada GEJALANYA. Tumbuhan sedang sakit, kondisi yang secara fisiologi tidak
normal, tidak sehat. Setiap jenis tumbuhan termasuk TANAMAN dapat sakit. Sakitnya
tumbuhan dapat disebabkan oleh karena infeksi jasad renik seperti virus, jamur, bakteri,
dll, tetapi sakitnya mungkin juga karena kondisi fisik/abiotik yang tak sesuai seperti suhu,
kering, basah, dll. Karena itu di Ilmu Penyakit Tumbuhan kita kenal Organisme Penyebab
Penyakit. Kalau hama merujuk pada binatang yang merugikan, penyakit merujuk pada
gejala tumbuhan yang SAKIT.
OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan istilah “formal/hukum
nasional” yang digunakan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman dan PP 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. Menurut UU tersebut:
“OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan”.
HAMA TANAMAN :
- Entomologi (ilmu serangga)
- Nematologi (ilmu nematoda)
- Rodentologi (Ilmu rodent/tikus)
- Akarologi (ilmu akarina)
- dll
Karena sebagian besar hama termasuk kelompok serangga seringkali Ilmu Hama
diartikan entomologi.
PENYAKIT TUMBUHAN :
- Fitopatologi
- Virologi
- Mikologi
- dst
GULMA :
- Ilmu gulma
Dalam bahasa inggris Istilah PEST sebenarnya digunakan untuk seluruh kelompok OPT,
namun secara khusus sering diartikan untuk pengertian HAMA
4
Program Pembangunan Pertanian Nasional apakah dengan pola Pembangunan
Pertanian AGRIBISNIS atau program KETAHANAN PANGAN sangat ditentukan oleh
keberhasilan kita dalam mengendalikan, mengelola HAMA TANAMAN. Hal ini disebabkan
karena berbagai jenis HAMA dan atau OPT lainnya dapat menurunkan KUANTITAS dan
KUALITAS hasil-hasil pertanian, dan sangat sering MENGGAGALKAN PANEN,
menyebabkan PUSO, artinya 100% GAGAL. Serangan HAMA mengakibatkan:
1. Produksi TURUN (nasional, propinsi, lokal, tingkat petani)
2. Kualitas ANJLOK (mutu rendah-sulit dipasarkan-diekspor)
3. Harga produk MEROSOT
4. Biaya produksi NAIK
5. RUGI secara ekonomik (biaya lebih besar daripada pendapatan)
6. PENGHASILAN NEGARA/DAERAH (PAD) TURUN
7. PENGHASILAN TURUN ---- KESEJAHTERAAN PETANI MENURUN ----
KEMISKINAN MENINGKAT
Masalah hama di suatu lokasi pada saat/musim tertentu tidak muncul begitu saja
tanpa penyebab atau faktor-faktor pendorong. Banyak faktor yang mendorong terus ada
dan meningkatnya masalah hama. Hampir seluruh faktor pendorong tersebut adalah
karena ulah/perbuatan/tindakan MANUSIA sehingga ekosistem pertanian menjadi sangat
sesuai bagi pertumbuhan, pembiakan dan kehidupan hama tanaman. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Penanaman monokultur (jenis tanaman atau varietas tanaman yang sama) sepanjang
waktu dan tempat, contoh padi
2. Penanaman jenis tanaman atau varietas tanaman yang peka hama tetapi unggul
produksi
3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami di
lokasi baru ---- KARANTINA gagal
4. Penggunaan masukan produksi yang berkelebihan seperti pupuk buatan, pestisida,
hormon tumbuh, pengairan dll.
5
5. Penggunaan pestisida kimia berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana,
terus-menerus dan berlebihan. Pestisida membunuh musuh alami, resistensi dan
resurjensi hama.
6. dll, termasuk terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim
KESIMPULANNYA: Masalah timbul, muncul dan terus ada karena manusia, jadi sering
disebutkan bahwa hama saat ini adalah “MAN-MADE PEST” (Hama buatan MANUSIA).
Tanpa ada kegiatan manusia tidak ada masalah hama.
Pada saat ini di kalangan petani, pejabat dan petugas pemerintah akademisi dan
masyarakat dikenal 3 istilah pemberantasan hama, pengendalian hama dan pengelolaan
hama.
Pemberantasan hama: adalah usaha memusnahkan, membunuh hama yang
umumnya dilakukan dengan pestisida kimia secara preventif, tidak memperhitungkan
keadaan hama di lapangan apakah sedang dalam kondisi populasi rendah atau tinggi,
pokoknya disemprot habis-habisan sampai petani merasa puas. Pemberantasan hama
yang mengakibatkan munculnya resisitensi hama dan letusan hama yang berkelanjutan
Pengendalian hama: lebih hati-hati daripada pemberantasan hama. Penggunaan
pestisida hanya dilakukan bila populasi hama telah membahayakan atau melampaui
ambang pengendalian atau ambang ekonomi. Bila populasi hama tidak membahayakan
tidak perlu dikendalikan dengan pestisida.
Pengelolaan hama: Lebih menekankan aspek pengelolaan ekosistem (tanaman,
tanah, mikroklimat, budidaya dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada
dalam keseimbangan dengan musuh alaminya sehingga hama tidak membahayakan, tak
perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida tetapi produksi tanaman tetap tinggi,
kualitas produksi baik
PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kebijakan Perlintan di Indonesia
berdasarkan UU No 12/1992 dan PP 6/1995. PHT adalah usaha pengelolaan
agroekosistem dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama (bercocok tanam,
fisik, mekanik, varietas resisten, pengendalian hayati, pengendalian kimia, dll) sedemikian
rupa sehingga populasi hama tetap berada di bawah Ambang Pengendalian.
6
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 2
INTERAKSI TANAMAN DAN HAMA
Interaksi antara tanaman dan hama dapat dilihat dari aspek EKOLOGIS dan
EKONOMIS. Dari sisi ekologi hubungan antara tanaman dan hama merupakan interaksi
yang saling mengendalikan antara tanaman yang autotroph dengan binatang
HERBIVORA yang heterotroph dalam suatu sistem trofi yang berjalan secara EFISIEN
dan berkesinambungan. Karena kemampuannya mengubah energi surya menjadi energi
biokimia melalui proses fotosistesis tanaman menempati aras trofi pertama sebagai
PRODUSEN. Energi pada tanaman digunakan oleh binatang yang memakan tanaman
(HERBIVORA) yang menempati aras trofi kedua sebagai KONSUMEN PERTAMA.
Binatang karnivora memperoleh energinya dengan memangsa herbivora sehingga
menempati aras trofi ketiga sebagai KONSUMEN KEDUA, demikian seterusnya. Aliran
energi di ekosistem melalui sistem trofi dapat dilihat pada gambar berikut:
EKOSISTEM
Produsen
Konsumen 1
Konsumen 2
Dekomposer
Aras Istilah
trofi Ekosistem Antroposentris
1 Tumbuhan Tanaman
2 Herbivora Hama tanaman
3 Karnivora 1 Predator, parasitoid (musuh alami)
7
4 Karnivora 2 Predator, hiperparasitoid
Berbagai bentuk luka oleh serangga pada tanaman yang biasa kita catat sebagai
GEJALA SERANGAN hama.
9
FAKTOR-FAKTOR
BIOTIK DAN ABIOTIK
TINDAKAN MANUSIA
Keterangan :
Hasil interaksi antara populasi hama dan tanaman mengakibatkan luka pada tanaman, luka mengakibatkan kerusakan dan kerusakan tanaman
karena hama menyebabkan terjadinya kehilangan atau penurunan hasil tanaman dan kualitas produk/hasil. Kehilangan hasil dapat berakibat
pada kerugian ekonomi (biaya lebih besar daripada nilai produksi) yang dialami petani atau pengusaha pertanian. Hasil interaksi populasi hama
dan populasi tanmaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik lainnya dan faktor-faktor abiotik dan terutama oleh tindakan manusia terhadap
ekosistem
10
B. Luka Oleh Serangga Pada Manusia Dan Binatang Lain
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 3
9
PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL
Pokok Bahasan:
A. Pendugaan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama (Crop Loss Assesment)
B. Penggunaan Ambang Pengendalian sebagai tingkat pengambilan keputusan
penggunaan PESTISIDA
Materi:
Pendugaan kehilangan hasil adalah usaha untuk menduga, menaksir bahkan
meramal tentang kerugian ekonomi yang mungkin akan dialami oleh petani,
perusahaan pertanian, pemerintah atau pengusaha agribisnis karena adanya
serangan hama pada pertanaman yang mereka budidayakan. Dengan melakukan
pendugaan kehilangan hasil para produsen pertanian dapat menentukan beberapa
hal:
Apakah keberadaan populasi hama di lahannya akan merugikan atau
menurunkan hasil usahanya dalam kisaran toleransi ekonominya. Bila masih
berada pada kisaran toleransi petani tidak perlu melakukan tindakan
pengendalian atau mengeluarkan biaya untuk pengendalain.
Apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau pencegahan hama. Apabila
perlu berapa besar biaya pengendalian yang harus dikeluarkan. Tentunya petani
tidak akan mengeluarkan biaya pengendalian sampai melebihi nilai kehilangan
hasil
Bila petani sudah memutuskan perlu dilakukan tindakan pengendalian, teknik
pengendalian mana yang akan digunakan apakah dengan cara kimiawi dengan
pestisida kimia atau dengan secara hayati menggunakan musuh alami, atau
menggunakaan varietas tanaman tahan hama dan seterusnya. Dalam
menetapkan teknik pengendalian hama yang akan dilakukan petani/produsen
adalah mempertimbangkan beberapa faktor yaitu a) efektivitas pengendalian, b)
biaya pengendalian, dan c) risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan
lingkungan hidup.
Pendugaan kehilangan hasil juga akan digunakan untuk menentukan berapa
nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi yang
akan kita bahas pada akhir kuliah ini.
10
CARA PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL
Untuk menghitung kehilangan hasil dalam bentuk satuan berat (ton/ha) atau
satuan rupiah (Rp/ha) secara TEPAT jelas sangat sulit dan tidak mungkin, karena
tidak mungkin kita mengukur dan menghitung semua lahan yang ada baik milik
petani dan kelompok tani maupun lahan pertanaman tertentu di suatu daerah
(desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional). Yang dapat kita lakukan adalah
melakukan PENDUGAAN, kata-kata lain ESTIMASI, PENAKSIRAN, berdasarkan
data hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan/petak
sawah/tanaman/pohon/rumpun yang digunakan sebagai SAMPEL, CONTOH yang
mewakili.
Untuk memperoleh taksiran kehilangan hasil untuk suatu petak atau
hamparan/sawah atau suatu daerah kita harus mempunyai data seperti:
1. Luas serangan – LSR (dalam ha)
2. Intensitas serangan – ISR (dalam % rumpun/tanaman terserang)
a
ISR = --------------------- x 100%
a + b
10
11
6. Kehilangan hasil (KH) dalam satuan berat (ton) = Luas serangan (LSR) x
Produksi Tanaman Sehat (PTS) --- Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman
Terserang (PTT)
7. Nilai kehilangan hasil (NKH) dalam rupiah = Harga produk (HG) x KH
Suatu contoh: Untuk hama padi di suatu kecamatan ternyata LSR 500 ha. PTT= 6
ton/ha. PTS = 9,5 ton/ha dan harga padi kering panen (HG) Rp 1500/kg.
Dalam konsep PHT kita kenal beberapa istilah yang arti dan fungsinya sama yaitu:
1. Ambang Ekonomi (AE) “Economic Threshold”
2. Ambang Kendali (AK) “Economic Threshold” atau Ambang Pengendalian
“Control Threshold”
3. Ambang Tindakan (AT) “Action Threshold”
Artinya adalah suatu aras (tingkat) kepadatan populasi hama atau intensitas
serangan hama yang membenarkan dimulainya penggunaan PESTISIDA untuk
pengendalian hama. Tujuan penggunaan pestisida adalah menurunkan populasi
hama sampai di bawah AE agar
Populasi Hama atau Intensitas Serangan
AMBANG EKONOMI
20 40 60 80 100
WAKTU (hari)
Gambar 4. Populasi Hama dan letak Aras Luka Ekonomi, Ambang Ekonomi dan
Aras Keseimbangan Umum pada Keadaan Normal
dapat dikendalikan secara alami oleh kompleks musuh alami sehingga populasi
hama tetap berkisar sekitar aras keseimbangan umum (Gambar 4).
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan gejolak populasi
hama sepanjang musim tanam pestisida hanya diaplikasikan satu kali yaitu pada
waktu populasi melampaui AE. Dengan demikian penggunaan pestisida dapat
13
dihemat, petani tak perlu menggunakan pestisida secara berjadwal seperti
seminggu sekali, atau pada umur 15, 20, 45, 60 HST (hari setelah tanam). Namun
untuk melaksanakan prinsip tersebut ada dua syarat penting yaitu:
1. Harus dilakukan pengamatan secara berkala (katakan seminggu sekali)
2. Harus ada ketentuan mengenai berapa besar nilai AE/AK/AT tersebut
Dengan demikian untuk setiap jenis hama yang menyerang komoditas
tertentu harus mempunyai nilai AEnya masing-masing bahkan pada prinsipnya nilai
AE suatu jenis hama tidak tetap, tidak sama dari satu tempat/lokasi ke tempat lain
dari waktu ke waktu lain. Artinya nilai AE dinamis, tidak seragam. Yang menetapkan
nilai AE yang paling baik adalah petani/kelompok tani sendiri yang berlaku untuk
spesifik lahannya masing-masing. Saat ini karena petani banyak yang belum
mampu nilai AE lebih sering mengikuti ketetapan atau rekomendasi pemerintah
atau rekomendasi peneliti sehingga nilai AE cenderung seragam. Mungkin untuk
sementara keadaan tersebut dapat berjalan tetapi harus diikuti dengan melakukan
pelatihan pada petani untuk mengembangkan dan menetapkan AE nya sendiri.
Biasanya petani menerima rekomendasi AE dari para PPL atau PHP (Pengamat
Hama dan Penyakit).
Suatu contoh untuk tanaman padi:
AE wereng coklat : 5 nimfa + dewasa/rumpun padi pada fase vegetatif
10 nimfa + dewasa /rumpun pada fase generatif
AE penggerek batang: 30% intensitas serangan pada fase vegetatif
10% intensitas serangan pada fase generatif
(lihat lampiran)
CARA PENETAPAN/PENGHITUNGAN AE
14
Hasil (kuintal/ha)
Mulai terjadi
kerugian ekonomik
AE
petani
Gambar 5. 5 7 10 20 30
Hubungan Populasi Populasi hama larva/rumpun
Hama dengan Hasil
2. Cara Penelitian
Penetapan AE melalui penelitian dilakukan oleh para peneliti yang khusus ingin
mengetahui berapa AE pada suatu jenis hama pada komoditas tertentu.
Biasanya sasaran kegiatan penelitian adalah memperoleh nilai ALE (Aras Luka
Ekonomi) dan dari nilai ALE dihitung AE yang besarnya ¾ atau 2/3 ALE. ALE
dihitung dengan menggunakan titik impas/BEP (Break Even Point). ALE adalah
suatu populasi atau intensitas serangan dimana nilai kehilangan hasil (dalam
Rp) yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan
pestisida sama dengan total baya pengendalian (dalam Rp).
BP
ALE = ------------------
HG x LT x BK
dimana
BP = Biaya pengendalian (Rp/ha)
HG= Harga produk (Rp/kg)
LT = Luka tanaman yang diakibatkan oleh satu individu hama
BK = Berat kerusakan tanaman per unit luka tanaman
Banyak faktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE termasuk jenis varietas
tanaman, fase tumbuh tanaman, instar hama, lokasi pertanaman, dll.
Dari sekian banyak faktor, 4 faktor yang paling penting yaitu:
1. Harga produk
2. Biaya pengendalian
3. Derajat luka yang diakibatkan oleh individu hama
4. Kepekaan tanaman terhadap serangan hama
Perhatikan Gambar 6 di bawah. Apa artinya?
15
ALE/AE
ALE/AE
Harga Produk Biaya Pengendalian
16
Pendugaan
AE /AT / AK
? Apa lebih
besar dari
AE?
tidak ya
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 4
LANDASAN EKOLOGI PENGELOLAAN HAMA
Tujuan:
1. Mengetahui dua model pertumbuhan populasi organisme
2. Mengetahui model dinamika populasi hama
3. Mengetahui mekanisme pengendalian alami dan pengaruh faktor abiotik dan
biotik
4. Mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap dinamika populasi hama
Materi:
Dari kuliah sebelumnya kita mengetahui bahwa keberadaan populasi hama
di pertanaman dan di ekosistem menentukan seberapa besar kerusakan tanaman
dan kerugian ekonomi yang dialami oleh petani atau pengusaha pertanian lainnya.
Juga kita ketahui bahwa populasi hama sepanjang musim tanam dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat tidak tetap tetapi DINAMIS, naik turun, berfluktuasi
sekitar suatu garis atau posisi keseimbangan umum (General Equilibrium Position).
17
Banyak faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi dinamika populasi hama.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat melakukan pengelolaan hama
yang efektif dan efisien. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan pengelolaan hama
bukan untuk membasmi hama, memberantas hama sampai habis tetapi
mempertahankan populasi hama di pertanaman tetap berada di bawah AE/AK/AT
atau pada aras yang secara ekonomi tidak merugikan. Perhatikan gambar tentang
posisi AE, ALE dan Garis keseimbangan pada kuliah minggu yang lalu.
Diharapkan para mahasiswa setelah kuliah ini dapat menjawab pertanyaan:
Apa sebabnya kita tidak mungkin melakukan pembasmian atau pemusnahan hama
seperti banyak orang harapkan?
Pada prinsipnya keberadaan dan perkembangan populasi hama dan
populasi organisme lainnya ditentukan oleh dua kekuatan yaitu:
1. POTENSI BIOTIK atau "Biotic Potential" dan
2. PERLAWANAN LINGKUNGAN atau "Environmental Resistance"
Yang disebut POTENSI BIOTIK adalah kemampuan suatu organisme untuk
tetap hidup dan berkembang biak. Kalau kita perhatikan kelompok serangga,
organisme ini mempunyai potensi biotik yang sangat besar dan kemampuan
berbiak sangat cepat. Dengan siklus hidup pendek, ukuran tubuh kecil dan
kemampuan bertahan hidup yang tinggi maka populasi serangga sangat cepat
meningkat sehingga dalam waktu sebentar saja dapat memenuhi permukaan bumi
ini. Apabila suatu organisme berkembang sepenuhnya sesuai dengan kemampuan
hayati (potensi biotik)nya, maka pertumbuhan populasi organisme tersebut akan
mengikuti model pertumbuhan ekponensial atau pertumbuhan geometrik seperti
Gambar 8.
dN
--- = r N = ( b – d ) N
dt
N = populasi
r = laju pertumbuhan populasi intrinsik
b = laju kelahiran
d = laju kematian
t = waktu
Populasi
(N)
18
Waktu (t)
Gambar 8. Pertumbuhan Populasi Organisme Mengikuti Model Pertumbuhan
Ekponensial atau Geometrik
Waktu
(t)
dN K-N
--- = r N ( ----- )
dt K
N = populasi
t = waktu
r = laju pertumbuhan populasi
K = asimtot atas atau nilai N maksimum
A B C Waktu (t)
I II III IV V
Gambar 10. Pertumbuhan Populasi Organisme yang Terbagi menjadi 5 Tingkat
20
Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang
mempunyai sifat penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat
pada waktu populasi semakin tinggi, dan sebaliknya penekanan lebih longgar pada
waktu populasi semakin rendah. Kalau dihubungkan antara mortalitas yang
disebabkan oleh faktor FTK dengan populasi hama misalnya dapat diperoleh garis
regresi (Gambar 11).
Mortalitas
Mortalitas
Laju
Populasi
Gambar 11. Hubungan antara populasi dan mortalitas yang disebabkan oleh
Faktor Tergantung Kepadatan
Faktor tergantung kepadatan terbagi menjadi faktor yang timbal balik dan
tidak timbal balik. FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti
predator, parasitoid, dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan
antara populasi dan mortalitas oleh FTK dapat berjalan dari kedua arah. Apabila
populasi spesies A meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh predator B
akan semakin meningkat, antara lain dengan meningkatnya predasi dan jumlah
predator B. Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun mortalitas oleh
predator dan jumlah predator juga menurun. Dengan demikian perubahan populasi
spesies A akan selalu diikuti dengan perubahan kepadatan populasi predator B
(Gambar 12).
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya
terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk
makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai
berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya
terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk
makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai
berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar individu untuk memperoleh
makanan dan ruang semakin kuat sehingga mortalitas A menjadi meningkat, dan
demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa apabila populasi A
meningkat kemudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah pouplasi A
menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda dengan kelompok musuh alami,
hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritorialitas termasuk dalam
FTK yang tidak timbal balik.
21
PENGENDALIAN
ALAMI
FTK dan
Gambar 12. Komponen Pengendalian Alami yang Tergantung Kepadatan
Bebas Kepadatan
Aras Keseimbangan
FBK
FBK
FTK
22
Waktu
Gambar 13. Gejolak populasi sekitar aras keseimbangan umum, dan bekerjanya
FTK dan FBK.
Gambar 14. Mekanisme Umpan Balik pada Pengaturan Populasi Spesies A oleh
Predator
Mortalitas
FBK
POPULASI
23
Gambar 15. Hubungan antara populasi organisme dan mortalitas akibat Faktor
Bebas Kepadatan.
24
Pengaruh Faktor-faktor Cuaca bagi Kehidupan Serangga
Natalitas
Mortalitas
Pergerakan
25
Populasi
Mangsa (A)
Predator
Waktu
Aras Keseimbangan 2
Pestisida
Aras Keseimbangan 1
Waktu
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 5
Tujuan:
A. Mempelajari fungsi pengamatan dalam sistem PHT
B. Mempelajari prinsip-prinsip pengambilan sampel dan pengamatan
C. Mempelajari praktek pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman oleh
petugas pengamat hama
D. Pengamatan oleh petani
Materi:
27
Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang
sesuatu obyek yang diamati/dikaji/diteliti. Pengamatan bisa dilakukan secara
berkala maupun insidentil. Ada beberapa maksud atau tujuan pengamatan yaitu
pengamatan untuk pengumpulan data penelitian, pengamatan untuk penyusunan
lapangan dan pengamatan untuk pengambilan keputusan. Kegiatan pengamatan
yang dilakukan secara berkala pada suatu obyek pengamatan tertentu untuk
digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut PEMANTAUAN.
Kegiatan pemantauan dalam PHT merupakan kegiatan utama yang
membedakan sistem PHT dengan sistem pengendalian hama secara konvensional.
Peranan pengamatan dan pemantauan hama dan ekosistem dalam penerapan
sistem PHT adalah seperti bagan berikut:
EKOSISTEM PERTANIAN
28
MEMPELAJARI PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN SAMPEL DAN
PENGAMATAN
Sampel atau contoh merupakan bagian dari suatu populasi yang diamati.
Dalam praktek pengamatan tidak mungkin bagi pengamat mengamati seluruh
individu dalam populasi tetapi pengamatan dilakukan pada sebagian kecil populasi
yang kita sebut sampel. Dari informasi yang diperoleh pada sampel kita ingin
menduga sifat populasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, sampel yang diambil
harus dapat mewakili. Populasi sampel terdiri dari beberapa unit sampel. Jumlah
unit sampel sering kita namakan sebagai ukuran sampel. Misalkan kita ingin
mengetahui populasi hama atau kerusakan tanaman dalam satu daerah/lahan yang
luasnya 1 hektar, sebagai unit sampel ditetapkan rumpun padi. Jumlah rumpun padi
yang diamati 30. Hal ini berarti unit sampel adalah rumpun dan ukuran sampel 30.
Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang
beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama, atau organisme lain yang
diamati. Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik
pengamatan dan pengambilan sampel yang dilakukan yaitu praktis, dan dapat
dipercaya. Praktis berarti metode pengamatan yang dilakukan sederhana, mudah
dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal, dan sedapat
mungkin tidak mengambil waktu lama. Hasil pengamatan harus dapat dipercaya
berarti metode tersebut akan menghasilkan data yang dapat mewakili atau
menggambarkan secara benar tentang sifat populasi sesungguhnya. Faktor yang
mempengaruhi pengambilan sampel:
1. Sifat dan ketrampilan petugas pengamat
2. Keadaan lingkungan setempat
3. Sifat sebaran spasial serangga
1. Unit sampel
Unit sampel merupakan unit pengamatan yang terkecil. Pada unit tersebut
diadakan pengukuran dan penghitungan oleh pengamat terhadap individu serangga
yang ada, dan apa yang ditinggalkan oleh serangga yang menjadi obyek
pengamatan atau variabel pengamatan. Beberapa variabel pengamatan yang dapat
diperoleh dari unit sampel dapat berupa kepadatan atau populasi hama, populasi
musuh alami, intensitas kerusakan, dll.
Ada berbagai jenis unit sampel yang saat ini digunakan dalam praktek
pengamatan baik untuk program penelitian atau untuk pengambilan keputusan
29
pengendalian hama. Biasanya unit sampel dikembangkan berdasarkan sifat biologi
serangga dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Unit sampel dapat berupa:
a. Unit luas permukaan tanah 1 x 1 m2
b. Unit volume tanah
c. Bagian tanaman seperti rumpun, batang, daun, pelepah daun
d. Dalam bentuk stadia hamanya sendiri. Sering digunakan untuk evaluasi dalam
musuh alami seperti jumlah larva parasit atau larva inang, dst.
30
A B C
Gambar 19. Pola pengambilan sampel A. Pola Diagonal, B. Pola Zigzag, C. Pola
Lajur tanaman
1. Pengamatan
Pengamatan dilakukan oleh PHP dan petani dengan dua cara yaitu
pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Pengamatan bertujuan
untuk mengetahui atau mendeteksi jenis dan kepadatan OPT, intensitas serangan
OPT, daerah penyebaran, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
OPT serta intensitas kerusakan bencana alam. Dengan informasi tersebut
diharapkan petani/kelompok tani bersama petugas dapat mengetahui dan
menganalisis secara dini untuk menentukan langkah-langkah penanganan usaha
tani, sehingga produksi tanaman yang sudah diusahakan tetap pada taraf tinggi,
menguntungkan dan aman bagi lingkungan.
31
Metode Pengamatan
Pengamatan OPT pada tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dengan
dua cara, yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Secara rinci
pelaksanaan pengamatan tetap dan pengamatan keliling adalah sbb:
a. Pengamatan tetap
Pengamatan tetap adalah pengamatan yang dilakukan pada petak contoh
tetap yang mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan, perangkap lampu,
curah hujan, stasiun meteorologi pertanian khusus.
1). Pengamatan petak tetap
Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui
perubahan kepadatan populasi OPT dan musuh alami serta intensitas serangan.
Petak contoh tetap ditempatkan pada lima jenis tanaman dominan. Untuk
komoditas terluas diamati empat petak contoh tetap sedangkan empat komoditas
lainnya masing-masing diamati satu petak contoh. Dengan demikian pada setiap
wilayah pengamatan terdapat delapan petak contoh pengamatan tetap.
Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian
terbesar wilayah pengamatan dalam hal waktu tanam, teknik bercocok tanam, dan
varietasnya. Pada masa peralihan antara dua musim tanam, pengamatan
diteruskan pada petak-petak contoh yang dapat mewakili wilayah pengamatan
dalam waktu tersebut. Karena itu petak contoh pada masa antara dua musim tanam
dapat berpindah sesuai dengan keadaan tanaman yang dapat mewakili wilayah
pengamatan.
Gambar 20. penyebaran petak contoh pada daerah yang dicurigai terserang.
Dalam tiap petak contoh diamati 5 unit contoh seperti pada gambar 20.
Jumlah rumpun contoh yang diamati dalam tiap unit contoh adalah sepuluh
rumpun/tanaman.
Cara pelaksanaan:
Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan keliling dilakukan sesudah
pengamatan petak tetap pada subwilayah pengamatan dimana petak tetap itu
berada. Apabila ada informasi bahwa di subwilayah lainnya terjadi serangan OPT
maka harus dilakukan pengamatan keliling tambahan. Adapun pembagian
subwilayah adalah sebagai berikut:
1. Mula-mula bagilah wilayah pengamatan menjadi 4 strata berdasarkan waktu
tanamannya (lihat Gambar 21)
2. Bagilah masing-masing strata menjadi 2 subwilayah, sehingga satu wilayah
akan terbagi menjadi 8 subwilayah (lihat Gambar 21).
Untuk pengamatan tetap, tempatkan satu petak contoh pengamatan pada
masing-masing strata di lokasi yang selalu dilewati saat mengadakan pengamatan
keliling di strata tersebut, sehingga setiap petak contoh pengamatan tetap dapat
diamati dengan interval waktu satu minggu, sedangkan interval pengamatan keliling
dua minggu.
Waktu pengamatan OPT dilakukan 4 (empat) hari setiap minggu kecuali
untuk tangkapan perangkap lampu dan penakar curah hujan dilakukan setiap hari.
Pelaksanaan pengamatan OPT dimulai dari hari senin sampai dengan hari kamis.
Hasil pengamatan dan kejadian yang ditemukan pada saat pengamatan
keliling dan pengamatan tetap dilaporkan secara rutin pada setiap akhir periode
pengamatan. Laporan pengamatan tetap pada periode pelaporan tengah bulan
pertama berisi hasil pengamatan minggu ke 1 dan ke 2, sedang pada periode
pelaporan tengah bulan kedua berisi hasil pengamatan minggu ke 3 dan ke-4.
A 1 B 2 C 3 D 4
Senin 1 Selasa 1 Rabu 1 Kamis 1
5 6 7 8
Senin 2 Selasa 2 Rabu 2 Kamis 2
33
Keterangan:
A, B, C, D …… pembagian menurut strata 1, 2, 3 … dst … subwilayah
Gambar 22. Penyebaran Unit Contoh dalam Petak Contoh. Dalam Tiap Unit
Contoh Diamati 10 Rumpun Contoh.
b. Tanaman Sayuran
Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman sayur-sayuran
dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap 0,1 ha atau 50 tanaman contoh per
hektar. Pengambilan tanaman contoh ditentukan secara acak (random).
34
Penilaian Serangan OPT
Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala
serangan OPT yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan
OPT dapat berupa kerusakan mutlak (atau yang dianggap mutlak) dan tidak mutlak.
Untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap
mutlak digunakan rumus sebgai berikut:
a
I = ----------- X 100%
a+b
Keterangan:
I : Intensitas serangan (%)
A : Banyaknya contoh (daun, pucuk, bunga, buah, tunas, tanaman, rumpun
tanaman) yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak.
B : Banyaknya contoh yang tidak terserang (tidak menunjukkkan gejala
serangan).
2. Laporan
Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura diperlukan untuk
menyusun perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun
rencana perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun
bantuan pengendalian, merencanakan bimbingan pengendalian, melaksanakan
pengamatan lebih intensif, dan merencanakan penyediaan sarana pengendalian.
Oleh karena itu, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura perlu
dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan segera dikirim ke instansi
yang memerlukannya. Sesuai dengan kebijaksanaan dibidang perlindungan
tanaman pangan dan hortikultura dan pembagian wewenang dalam struktur
organisasi berlaku, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura
disampaikan oleh PHP kepada Mantri Tani (Mantan) dan instansi vertikal di
atasnya. Mantri Tani dan Penyuluh menyuluhkan dan menyebarluaskan kepada
petani sebagai dasar pengambilan keputusan kelompok tani, dan bila perlu
bersama-sama dengan PHP membina petani melaksanakan pengendalian. Instansi
vertikal di atasnya menggunakan laporan tersebut sebagai bahan mengevaluasi
keadaan serangan, kemampuan petugas membimbing petani dalam pengendalian,
merencanakan bimbingan dan bantuan, serta menyusun Laporan Perlindungan
Tanaman Pangan dan Hortikultura di wilayah kerjanya.
Laporan PHP yang diterima oleh Mantan diteruskan kepada Camat dan
Dinas Pertanian (Diperta) Kabupaten/Kotamadya, dan Diperta
Kabupaten/Kotamadya meneruskan laporan tersebut ke Diperta Propinsi. Oleh
Camat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kecamatan, laporan tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk menyusun kampanye pengendalian secara massal
oleh petani dan bila dibutuhkan/diperlukan bantuan pemerintah berupa pestisida
dapat dikeluarkan. Sedangkan oleh Diperta Kabupaten/Kotamadya, digunakan
untuk membina pengendalian OPT dan mempertimbangkan bantuan pengendalian
kepada petani apabila dinilai sebagai serangan eksplosi.
Koordinator PHP mengkoordinasikan laporan PHP, laporan serangan OPT
yang dilaporkan PHP dari seluruh wilayah pengamatan kabupaten diteruskan ke
Diperta Kabupaten/Kotamadya serta laporan lainnya diteruskan ke Laboratorium
35
Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) dan (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPTPH)/Loka Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura
(LPTPH)/Satgas BPTPH/LPTPH.
36
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 6
Tujuan:
1. Mengenal dan mempelajari komponen PHT - Pengendalian dengan Tanaman
Tahan Hama
2. Mengenal dan mempelajari pengembangan tanaman transgenik tahan hama
3. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip karantina tumbuhan dan sistem
karantina pertanian di Indonesia
Materi:
Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap
serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang
efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan berbagai
varietas padi tahan hama wereng coklat berhasil mengendalikan hama wereng
coklat padi di Indonesia yang sejak tahun 1970 menjadi hama padi yang paling
penting. Saat ini petani telah mengenal banyak VUTW (Varietas Unggul Tahan
Wereng) yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti dari IRRI (Filipina) dan dari
Indonesia sendiri. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama masih
terbatas karena belum banyak tersedia varietas atau jenis tanaman yang memiliki
ketahanan tinggi terhadap hama-hama tertentu.
Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Kontribusi
varietas unggul tahan hama bagi keberhasilan Indonesia berswasembada beras
sangat besar. Hal ini berkat kerja keras para ahli hama, pemulia tanaman,
agronomi, dll yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan VUTW. Namun
sayangnya karena berbagai faktor, sampai saat ini status swasembada beras
semakin sulit dipertahankan.
2. Ketahanan Genetik
Sampai saat ini klasifikasi resistensi genetik menurut Painter yang banyak
diikuti oleh para pakar. Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi
tanaman terhadap serangga hama yaitu 1) ketidaksukaan, 2) antibiosis dan 3)
toleran.
a. Ketidaksukaan/antixenosis
Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu
serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau
sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat
digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu (xenosis =
tamu). Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau
antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologik.
b. Antibiosis
Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan,
bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan
mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi
terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat
antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut
berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu
terjadinya kematian serangga.
c. Toleran
Mekanisme resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman
tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu
tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil,
dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka.
3. Ketahanan Ekologi
Ketahanan Ekologi atau dengan istilah lain ketahanan yang kelihatan
(apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) merupakan sifat
ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya
disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan kenampakan sifat
38
ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya yang tidak tetap,
ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman
yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan
dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama
tertentu.
a. Pengelakan Inang
Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu
tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif
mengkonsumsikan tanaman.
b. Ketahanan Dorongan
Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan
tertentu sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama.
Ketahanan dorongan ini terjadi antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi
serta teknik budidaya yang lain.
Kelebihan
a. Penggunaannya praktis dan secara ekonomi menguntungkan
b. Sasaran pengendalian yang spesifik
c. Efektivitas pengendalian bersifat kumulatif dan persisten
d. Kompatibilitas dengan komponen PHT lainnya
e. Dampak negatif terhadap lingkungan terbatas
Kekurangan
Beberapa keterbatasan atau permasalahan yang perlu kita ketahui antara lain:
40
a. Waktu dan Biaya Pengembangan
b. Keterbatasan Sumber Ketahanan
c. Timbulnya Biotipe hama
d. Sifat Ketahanan yang Berlawanan
Kelebihan
1. Efektif mengendalikan hama sasaran dan pengurangan kehilangan hasil
2. Penurunan penggunaan pestisida kimia
3. Penurunan biaya pengendalian
4. Pengendalian hama secara selektif
5. Penurunan populasi hama dalam areal yang luas
KARANTINA PERTANIAN
Tujuan karantina pertanian adalah mencegah masuknya hama dan penyakit
hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan ke
wilayah negara RI, mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan
mencegah keluarnya dari wilayah negara RI.
Karantina Pertanian terdiri dari:
1. Karantina Hewan
2. Karantina Ikan
3. Karantina Tumbuhan
Kita memiliki dasar hukum untuk karantina yaitu:
1. UU RI No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
2. PP No 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan
KARANTINA TUMBUHAN
Pengertian penting:
1. Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina (OPTK) yang terdiri dari OPTK
Golongan I, OPTK Golongan II
a. OPTK adalah semua organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan
oleh Menteri Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya
di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
41
b. OPTK Golongan I yaitu OPTK yang tidak dapat dibebaskan dari media
pembawanya dengan cara perlakuan. Tidak dapat dibebaskannya OPT
tersebut karena sifatnya memang tidak dapat dibebaskan, atau belum
diketahui cara untuk membebaskannya, atau cara untuk membebaskannya
belum dapat dilakukan di Indonesia.
c. OPTK Golongan II yaitu semua OPTK yang dapat dibebaskan dari media
pembawanya dengan cara perlakuan.
2. Kawasan Karantina adalah kawasan yang semula diketahui bebas dari hama
dan penyakit tumbuhan karantina, sekarang telah ditemukan adanya organisme
tertentu yang dahulunya tidak ada.
3. Sertifikat Kesehatan Karantina (Phytosanitary Certificate) adalah surat
keterangan yang dibuat oleh pejabat berwenang di negara atau area
asal/pengirim/transit yang menyatakan bahwa tumbuhan atau bagian-bagian
tumbuhan yang tercantum di dalamnya bebas dari OPT, OPTK, OPTK golongan
I, OPTK golongan II, dan atau OPT Penting.
4. Analisis Risiko Hama dan Penyakit Tumbuhan (Pest Risk Analysis/PRA) adalah
suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu OPT merupakan OPTK, atau OPT
Penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan karantina tumbuhan yang
sesuai guna mencegah masuk dan tersebarnya OPT tersebut.
Tindakan Karantina:
1. Pemeriksaan
2. Pengasingan
3. Pengamatan
4. Perlakuan
5. Penahanan
6. Penolakan
7. Pemusnahan
8. Pembebasan
42
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 7
PENGENDALIAN HAYATI
Tujuan:
1. Mempelajari prinsip dan teknik pengendalian hayati sebagai salah satu
komponen dalam sistem PHT
2. Mempelajari agens pengendalian hayati yang berupa parasitoid dan predator
3. Mempelajari manfaat dan masalah yang dihadapi dalam penerapan
pengendalian hayati
Materi:
LATAR BELAKANG
BEBERAPA PENGERTIAN
Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian tentang
pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alami (natural control)
yang seringkali dibicarakan bersama.
Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan
secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk
menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979
mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme
dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut
berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa
ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak
hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem
lainnya seperti makanan, dan cuaca.
Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai
usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup. Varietas tahan
hama, manipulasi genetik, dan penggunaan serangga mandul dimasukkan sebagai
bagian teknik pengendalian hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan
pengertian pengendalian hayati yang pertama.
2. Predator
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang,
predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari
parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya
mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator
yang monofag dan oligofag.
b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan
mangsanya. Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang
tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang mampu
membawa mangsa secar berkelompok.
c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus
memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan
predator mampu membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan
kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik
daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya
jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang
dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah
(Mantidae), mata besar (capung).
d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang
umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik
fase pradewasa maupun fase dewasa.
e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi
predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari
dan memperoleh mangsa.
f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid
mempunyai sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya
tanggap rendah terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya
sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator
yang polifag.
Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis
mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa
47
alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi
mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat
oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa
dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses
mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi
dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan
pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan
mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan
predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi
parasitoid dan inang.
Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator
serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak
merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo
tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera.
Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera:
Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undur-undur (Neuroptera:
Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang
(Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air
(Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum
(Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan
laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).
Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens
pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak
usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak
menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa
predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati.
Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara
tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid
mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan
keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara
optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek
biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.
1. Introduksi
Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai
praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap
permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik
tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di
daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama
48
tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah
dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat.
Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi
kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk
mengendalikan hama kutu perisai Icerya purchasi yang menyerang perkebunan
jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal
dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada
hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial
maupun parsial.
Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara
lain introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke
Indonesia yang ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa
Promecotheca reichei. Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat
mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau
Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi
hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah
dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp
dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa
Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada
tahun 1986-1990 yaitu introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk
pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak
usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan tetapi untuk menjelaskan
teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan
susunan ekosistem pertanian.
Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar
teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam
terutama tentang sifat penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan
musuh alami yang akan diintroduksikan, dan keadaan ekosistem setempat. Sampai
saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama
secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode coba-coba atau
metode "trial and error". Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas
pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan.
Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan
introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan
dengan urutan sbb:
a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal
spesies eksotik yang akan diimpor
b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-
peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia
c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri
sesuai peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia
d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat
baik fasilitas maupun SDMnya
e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan
kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens
pengendalian hayati
49
f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar
yang dibuat oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode
neraca kehidupan)
Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami
sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga
mendatangkan keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan
penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah:
a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri
terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme
lain,
b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan
berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang,
c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas
lapangan maupun petani,
d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin,
e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan
dibandingkan penggunaan pestisida
2. Augmentasi
Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas
pengendalian hayati yang bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau
pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu
pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar
dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu
menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan
ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat
ditingkatkan.
Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik
augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik
introduksi. Dengan teknik augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu
(satu musim atau kurang) dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan.
Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan dalam jangka panjang mampu
menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap berada di bawah
aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus
dilakukan secara periodik. Perbedaan lain pelepasan augmentatik menggunakan
musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan pelepasan introduksi
menggunakan musuh alami yang dimasukkan dari luar ekosistem.
Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk
tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang
dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah:
b. Pelepasan Inokulatif
Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam
satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi
dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada
aras keseimbangannya. Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara
teratur peranan dan kondisi musuh alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan.
50
Secara periodik populasi musuh alami berkurang karena keadaan lingkungan yang
tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil kerja musuh alami
yang dilepas tetapi oleh keturunannya.
c. Pelepasan Suplemen
Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling
diketahui populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan
pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi
dan dapat mengendalikan populasi hama.
Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain
berupa:
1. Menekan pemakaian pestisida.
Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada
hama sehingga pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan
populasi musuh alami. Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada predator.
B. Patogen Serangga
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami berbagai kelompok dan jenis patogen serangga
sebagai agens pengendalian hayati
2. Mempelajari dan memahami strategi dan cara pemanfaatan patogen serangga
untuk pengendalian hama
3. Mempelajari dan memahami kelemahan dan kekuatan patogen serangga
sebagai agens pengendalian hayati
Materi:
1. Virus
Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan
diidentifikasikan dari serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus
artropoda sebagian besar masuk dalam genera Nucleopolyhedrovirus,
Granulovirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Dari keenam
genera ini genus NPV (Nucleopolyhedro virus) merupakan genus terpenting karena
sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus
54
ini. Selain NPV ada kelompok virus lainnya yaitu GV (Granulovirus), CPV
(Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya.
NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo Lepidoptera
(86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu
virus juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera.
Berbagai virus NPV mempunyai prospek untuk digunakan dalam pengendalian
hayati adalah NPV yang diisolasi dari genus-genus Spodoptera, Helicoverpa,
Trichoplusia, Plusia, Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma, Agrotis, Chilo, dll.
Banyak genus serangga tersebut yang merupakan hama penting di Indonesia.
Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat
spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida,
relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu beracun
di alam. Virus NPV dicirikan dengan adanya inclusion bodies yang disebut
polihedra atau PIB (“polihedric inclusion body”). PIB dibentuk oleh protein dan
mengandung beberapa nukleokapsid atau partikel-partikel virus atau virion. Virion
NPV berbentuk batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan
diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang terutama di
nuklei sel-sel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan epithel saluran trachea.
Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah pada
saluran pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah
mengandung polihedra. Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga
sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian tubuh yang terluka mungkin oleh
serangan musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan dari induk yang telah
terinfeksi pada keturunannya melalui telur.
Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan
larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian memasuki
sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya memperbanyak diri. Setiap sel yang
terinfeksi virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang
disebut viroplan. Proses perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat
sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh
serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh
serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4
hari sampai 3 minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah
polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu.
Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan yang
antara lain berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya terhambat, kulit
berganti warna menjadi semakin pucat dan memutih seperti susu, dan larva
bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang mati karena virus posisi tubuhnya seperti
patah dan menggantung pada bagian tanaman. Penyebaran virus ini melalui
berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain cuaca. Virus telah
berada di tanaman dan telah dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa
jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens
penyebaran virus.
Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam tahap
pengkajian laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat terbatas. Kendala
utama dalam perbanyakan virus diantaranya belum berkembangnya teknik
perbanyakan dan penggunaan pakan buatan. Teknik rekayasa genetika diharapkan
55
mampu memacu perkembangan dan perluasan aplikasi virus sebagai agens
pengendalian hayati.
2. Jamur Entomopatogenik
Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur
entomopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur
entomopatogenik dari sekitar 100 genera jamur. Tabel 1 menunjukkan berbagai
genus jamur penting yang dapat menjadi patogen serangga.
Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga tidak
melalui saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau
integumen. Setelah konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur
memperbanyak dirinya melalui pembentukan hife dalam jaringan epikutikula,
epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan lainnya. Pada akhirnya semua
jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu ada beberapa jenis jamur yang
mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan toksin yang sangat
mempengaruhi fisiologi serangga. Karena pengaruh infeksi jamur terhadap
pembentukan pigmen, larva atau instar serangga yang terserang jamur
memperlihatkan perubahan warna tertentu seperti warna merah muda dan merah.
Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan
sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia primer dan
sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konidia tersebut muncul keluar
dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan,
air, dll.
Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin dan
kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran
konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada populasi inang.
Saat ini jamur Metarhizium anisopliae telah digunakan secara luas di
Indonesia untuk pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang menyerang kelapa,
wereng coklat, ulat jengkal (Ectropis bhurmitra). Jamur ini juga sudah
dikembangkan untuk pengendalian hama wereng daun, penggerek batang padi,
hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur Beauveria bassiana
56
telah dicoba untuk pengendalian hama wereng padi coklat dan hama penggerek
buah kopi (Hypothenemus hampei). Mortalitas Helopeltis sp dapat mencapai 98%
setelah disemprot dengan B. bassiana, bahkan hama penting pada kelapa sawit,
Darna catenata mampu dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian
dengan menggunakan jamur Hirsutella citriformis dapat menurunkan populasi
Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan populasi mencapai 82% dengan jamur
Paecilomyces fumosoroseus terhadap jenis hama yang sama. Hama wereng coklat
dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur Enthomopthora sp. Ulat api Setora
nitens mampu ditekan perkembangannya dengan Cordyceps purpurea. Helopeltis
sp. dapat dikendalikan dengan jamur Spicaria sp. Jamur Verticillium mampu
menekan populasi Scotinophora coartata, Aphis, dan kutu putih Aleurodichus
destructor.
Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan membuktikan pestisida
dapat menghambat perkecambahan konidia primer dan pengurangan pelepasan
konidia sekunder berikutnya.
3. Bakteri
Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri pembentuk spora. Kelompok
pertama mempunyai peranan sebagai faktor mortalitas alami yang penting, tetapi
karena sifatnya yang kosmopolitan sukar digunakan sebagai agens pengendalian
hayati.
Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk spora yang
pada saat ini telah banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Dua jenis
bakteri patogen yang penting Bacillus popiliae dan Bacillus thuringiensis. Bacillus
popiliae menyebabkan gejala seperti penyakit susu yang menyerang kumbang
Jepang Popiliae japonica dan kumbang skarabid lainnya. Bacillus thuringiensis
sangat efektif digunakan untuk pengendalian larva ordo Lepidoptera, dan larva
nyamuk. B. fibourgenesis dapat dipakai pada hama uret Melolontha melolontha.
Beberapa famili bakteri yang berpotensi sebagai sumber alternatif baru patogen
serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya Pseudomonadaceae,
Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae, Bacillaceae (Tabel 2).
57
Bacillus popilliae Uret
B. cereus Lepidoptera
Studi tentang Bacilus thuringiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan
berkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang
berbeda sifatnya. Dikenal lebih dari 700 varietas atau strain Bt, dan penemuan
varietas atau strain Bt baru terus berlanjut. Strain Bt diklasifikasikan menjadi 29
subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (δ-endotoksin) gen-gen protein berhasil
diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif terhadap serangga sasaran dan ramah
lingkungan. Karena sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk
memformulasikannya.
Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang
mengandung protein beracun atau endotoksin. Bila spora dan kristal bakteri
dimakan oleh serangga yang peka maka terjadi paralisis yang mengakibatkan
kematian inang. Kristal bakteri akan melarut dalam saluran pencernaan, dalam
jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang dapat mematikan serangga.
Dari kristal Bt paling sedikit telah diketahui adanya 4 jenis racun atau toksin.
Bila larva muda atau larva tua terkena Bt dapat kita lihat adanya reaksi
pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak
mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian
larva dapat terjadi dalam kurun waktu dalam beberapa jam sampai 4 5 hari setelah
infeksi pertama tergantung pada serotipe atau strain Bt dan kepekaan serangga
inang.
Meskipun Bt telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang tetapi
masih memerlukan banyak kegiatan pengembangan berhubung karena banyak
strain baru ditemukan dan adanya sifat-sifat serangga yang khas baik
ketahanannya terhadap strain tertentu maupun kepekaannya (Tabel 3).
Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan Bt
dalam menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari formulasi
pestisida ini adalah keterbatasan dalam mencapai sasaran. Insektisida hanya aktif
apabila termakan oleh hama sasaran. Bahan aktifnya tidak mampu menembus
kutikula serangga maupun jaringan tanaman. Dengan demikian insektisida ini
belum mampu mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman
seperti penggerek batang padi, penggerek buah kapas.
5. Nematoda
Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak spesies
nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga baik yang bersifat parasit
obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga,
Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan tersebar (terdiri atas 50 genera
dan 200 spesies). Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk ke dalam tubuh
serangga melalui kutikula dan kemudian masuk ke dalam hemocoel. Setelah
berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari
tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau
sesudah nematoda meninggalkan tubuh inangnya.
Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis spp dan
Steinernema spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri. Inang yang
terserang nematoda akan mengalami septisemia dan akhirnya mati. Nematoda
masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami serangga seperti
mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya nematoda menuju ke saluran
pencernaan kemudian melepaskan bakteri simbion yang bersifat racun. Dalam
beberapa jam bakteri tersebut melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan
meracuni tubuh serangga.
Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah
aplikasi. Tubuh serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan terjadi
59
perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan jika terserang Steinernema spp
dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp.
Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang sampai
menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase
reproduktif yaitu memperbanyak keturunan apabila populasi nematoda dalam tubuh
inang rendah sedangkan apabila populasi tinggi akan memasuki fase infektif.
Nematoda stadium ketiga atau sering disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh
serangga dan berusaha untuk mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan
hidup lama sampai memperoleh inang kembali dan fase ini merupakan satu-
satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang.
Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini adalah
kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat, memiliki kisaran inang
yang luas diantaranya Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera, tidak
menyebabkan resistensi hama, tidak berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya
bagi mamalia dan vertebrata serta kompatibel dengan pengendalian lain.
Jenis Steinernema spp telah terbukti mampu mengendalikan lebih dari 100
spesies serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera. Steinernema
carpocapsae dapat mengendalikan hama penggerek (Schirpophaga sp, Chilo sp),
Helicoverpa armigera hingga 65%. Pada pengujian yang lain, Steinernema spp
mampu menyebabkan kematian Spodoptera exigua sampai 98%, Spodoptera litura
99% bahkan 100% untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis. S. carpocapsae
juga telah terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas pada Cylas
formicarius.
2. Pemurnian
Pemurnian dilakukan untuk pemilihan media yang cocok dan
memperoleh stok spora. Pemurnian merupakan tahapan yang sangat penting
61
untuk memperoleh stok spora sesuai yang diharapkan. Dalam pemurnian ini
kontaminasi sering terjadi akibat sterilisasi alat dan ruangan yang kurang
sempurna.
3. Postulat Koch
Pengujian akan memperkuat dugaan bahwa agens hayati yang
ditemukan benar-benar bersifat patogenik terhadap serangga. Pengujian
dilakukan pada serangga yang sama dan dilakukan di laboratorium.
4. Perbanyakan Spora
Perbanyakan spora merupakan usaha pemilihan substrat pengganti yang
cocok untuk pengembangbiakan selanjutnya. Spora B. bassiana yang berasal
dari walang sangit (Leptocorisa acuta) mati dicoba diperbanyak pada media
nasi, jagung ataupun dedak. Media yang menghasilkan spora paling tinggi dipilih
sebagai media.
5. Sporulasi
Media yang paling cocok dan menjadi pilihan adalah media yang
memberikan efek sporulasi tinggi, murah dan mudah diperoleh.
6. Viabilitas
Viabilitas merupakan kemampuan atau daya kecambah spora agens
hayati. Agens hayati dinilai baik apabila viabilitasnya 95%.
7. Uji patogenisitas
Pengujian patogenisitas yang bertujuan mengetahui konsentrasi yang
tepat dan mampu membunuh serangga sasaran biasanya dilakukan di
laboratorium ataupun green house. Pengujian tingkat konsentrasi tersebut akan
menghasilkan konsentrasi efektif yang nantinya akan menjadi pedoman
rekomendasi di lapangan.
8. Uji efektivitas
Konsentrasi efektif yang diperoleh dari uji patogenisitas digunakan untuk
uji efektifitas. Pengujian ini bertujuan mencari stadia serangga yang rentan
terhadap agens hayati pada konsentrasi tertentu.
9. Uji virulensi
Agens pengendalian hayati yang sudah mengalami tahap-tahap uji
tersebut sudah dipastikan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga
hama. Uji virulensi dilakukan untuk mengetahui agens hayati tersebut virulen
atau tidak baik dalam kondisi baru maupun telah disimpan dalam media dan
jangka waktu tertentu.
10. Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu cara penting untuk menilai keberhasilan
pelepasan agens pengendalian hayati. Evaluasi tehadap hasil yang diperoleh
dilakukan segera setelah aplikasi. Dalam evaluasi tersebut dilakukan juga
peremajaan agens hayati yang sudah lama disimpan.
62
CARA PENGGUNAAN PATOGEN SERANGGA DI LAPANGAN
1. Dosis.
Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam
peningkatan keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan
dan ruang antar patogen sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga
mampu menurunkan daya bunuh terhadap serangga sasaran.
2. Waktu aplikasi
Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak
terkena cahaya matahari secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan
patogen tidak aktif bahkan dapat membunuh patogen dalam waktu yang relatif
cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan pagi atau sore hari. Kelembaban
tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen.
3. Penyelimutan
Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian
tanaman maupun serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen
dengan serangga sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang
mengkonsumsi patogen dengan cepat diharapkan mengalami kematian secara
cepat juga.
4. Derajat kemasaman, pH
Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen.
Pelarut dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal (pH 7). Kondisi
basa menyebabkan delta endotoksin pada Bt akan rusak dan efektifitasnya
menurun.
5. Anti mikrobiosis
Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang
dapat mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh
tanaman tembakau dapat menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Patogen
tersebut juga terhambat pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan
terpenoid pada tanaman kapas. Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat
menghambat pembentukan koloni dan pertumbuhan jamur patogen B. bassiana.
Asam klorogenik pada tanaman tomat dapat mengurangi efektifitas NPV dari
Helicoverpa zea.
6. Hama sasaran
Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama
sasaran dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan,
63
ketidakcocokan pakan, kepadatan yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat
kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu sebelum aplikasi patogen di
lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran.
7. Kompatibilitas
Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat
dipadukan dengan agens pengendalian yang lain sehingga daya bunuhnya lebih
efektif dan hasilnya akan lebih memuaskan.
8. Ketahanan inang
Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan
dengan bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun
lingkungan.
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
64
Materi 8
PENGENDALIAN KIMIAWI
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami sifat dan pengelompokan pestisida khususnya
insektisida
2. Mempelajari dan memahami dampak negatif penggunaan pestisida kimia
3. Mempelajari dan memahami penggunaan pestisida sebagai salah satu
komponen PHT
Materi:
Pengendalian hama secara kimiawi adalah penggunaan pestisida kimia untuk
mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang
dibudidayakan.
Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat
manusia telah memberikan banyak jasanya bagi keberhasilan dalam banyak bidang
pembangunan termasuk pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan
masyarakat. Berkat pestisida umat manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman
penyakit manusia yang membahayakan seperti malaria dan demam berdarah yang
ditularkan oleh nyamuk. Di bidang pertanian penggunaan pestisida mampu
menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang
memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Karena keberhasilan
tersebut di dunia pertanian, pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman hortikultura, pangan
maupun perkebunan. Pestisida sedemikian melekatnya pada kegiatan pertanian di
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari reaksi petani apabila menghadapi terjadinya
serangan hama tentu akan menanyakan pestisida apa yang tepat digunakan dan
dimana dapat diperolehnya?
Kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida secara global sejak
tahun 1960an juga terjadi di Indonesia. Sejak dicanangkannya program
pembangunan nasional di sektor pertanian, penggunaan pestisida meningkat
dengan sangat pesat. Sekitar tahun 1970 sampai 1980-an pestisida paling banyak
digunakan dalam program intensifikasi pangan terutama dalam program
swasembada beras melalui program nasional BIMAS. Bila pada tahun 1970
penggunaan pestisida untuk padi kurang dari 1000 ton pada tahun 1986 pestisida
untuk padi sudah mencapai 18.000 ton. Peningkatan penggunaan pestisida ini juga
terjadi pada komoditas pertanian lainnya. Namun setelah Pemerintah mencabut
subsidi pestisida pada tahun 1989 serta diterapkannya konsep PHT oleh petani
padi, penggunaan pestisida khususnya insektisida di tanaman padi cenderung
menurun. Tanaman pertanian pangan di Indonesia yang saat ini masih banyak
menggunakan insektisida adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran
dataran tinggi, sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pada tanaman kapas.
Seiring dengan perdagangan bebas yang semakin terbuka, saat ini berbagai jenis
pestisida generik memasuki Indonesia sehingga pada tahun 2002 jumlah formulasi
65
pestisida yang telah terdaftar di Indonesia sudah melampaui 1000 formulasi.
Jumlah pestisida yang diproduksi pada tahun 2000 sekitar 60.000 ton.
Meskipun pestisida kimia memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi petani
dan masyarakat, tetapi risiko yang berupa dampak negatif bagi kesehatan dan
lingkungan semakin lama semakin nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Salah
satu cara agar risiko pestisida dapat ditekan serendah mungkin yakni Pemerintah di
semua negara melakukan pengaturan terhadap semua produksi, peredaran,
perdagangan, penggunaan, penyimpanan dan pengawasan pestisida. Banyak
kesepakatan dan standar pengaturan yang telah ditetapkan secara internasional
dan harus diterapkan oleh semua negara. Tujuan pengaturan pestisida oleh
pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup
terhadap dampak samping penggunaan pestisida, serta untuk menjaga tingkat
efektivitas pestisida dalam pengendalian hama sasaran.
A. PENGELOMPOKAN PESTISIDA
PENGGOLONGAN INSEKTISIDA
67
Insektisida dapat dikelompokkan menurut pengaruh yang merugikan bagi hama
sasaran yang akhirnya dapat menurunkan populasi hama. Pengelompokan
insektisida menurut pengaruh pada serangga sasaran seperti terlihat pada
Tabel 5.
68
Tabel 5. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Pengaruhnya pada
Serangga
Kelompok Pestisida Pengaruh pada hama
Antifidan Menghambat nafsu makan sehingga serangga kelaparan
(anti-feedant) yang akan menyebabkan kematian
Antitranspiran
Mengurangi sistem transpirasi serangga
(Anti-transpirant)
Atraktan
Penarik hama, seperti atraktan seks
(attractant)
Khemosterilan
Menurunkan kemampuan reproduksi hama
(chemosterilant)
Defolian Merontokkan bagian tanaman yang tidak diinginkan,
(defoliant) tanpa membunuh seluruh bagian tanaman
Desikan
Mengeringkan bagian tanaman dan serangga
(desiccant)
Disenfektan
Merusak atau mematikan organisme berbahaya
(disinfectant)
Perangsang makan
Menyebabkan serangga lebih giat makan
(feeding stimulant)
Pengatur
Menghentikan, mempercepat, atau memperlambat
pertumbuhan
proses pertumbuhan tanaman atau serangga
(growth regulator)
Repelen Mengarahkan serangga agar menjauh dari yang
(repellent) diperlakukan
Feromon, alomon dan kairomon; zat kimia yang
Semiokimia dikeluarkan oleh tanaman atau hewan, yang
merangsang atau menghambat perilaku serangga
Sinergis
Meningkatkan efektivitas bahan aktif
(synergist)
c. Fumigan
Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan
masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem
trachea yang kemudian diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Karena sifatnya yang
mudah menguap fumigan biasanya digunakan untuk mengendalikan hama
simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup dan juga untuk
mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Contoh fumigan adalah
hidrogen sianida (HCN), fosfin dan metil bromida.
69
arsenat, Pb arsenat, sodium fluorid, kriolit, dan belerang. Kelemahan
insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk manusia,
residu di lingkungan lama atau persisten, fitotoksisitas tinggi, masalah ketahanan
hama terhadap insektisida, dan umumnya memiliki efikasi lebih rendah bila
dibandingkan insektisida organik sintetik.
Sedangkan insektisida kimia setelah masa Perang Dunia II setelah
ditemukannya DDT umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik
masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik
sintetik. Insektisida organik alami merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman
(insektisida botani/nabati) dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik
merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi.
Pembagian insektisida organik sintetik konvensional menurut susunan kimia
bahan aktif (senyawa yang memilki sifat racun) terdiri dari 6 kelompok besar yaitu
1) organoklorin (OK), 2) organofosfat (OP), 3) karbamat, 4) piretroid sintetik, 5)
kloronikotinil dan 6) IGR (Insect Growth Regulator). Kecuali 6 kelompok besar
tersebut masih ada beberapa kelompok insektisida baru yang mulai banyak
digunakan dalam praktek pengendalian hama saat ini, seperti heterosiklik,
dinitrofenol, tiosianat dan sulfanat.
b. Organofosfat (OP)
Insektisida OP dengan unsur P meliputi semua ester asam fosforik (H 3PO4)
sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan
70
sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa
OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga.
OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat
baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OK, OP
di lingkungan kurang stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-
senyawa yang tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi
serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan sedang sehingga OP secara
bertahap dapat menggantikan OK. Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok
insektsida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan insektisida
OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkoline sterase.
OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan
berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi Oksigen,
Karbon, Sulfur, dan Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi tersebut
dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat yaitu alifatik, fenil, dan heterosiklik.
Derivat alifatik meliputi insektisida-insektisida yang antara lain TEPP, malation,
dimetoat, oksidemetonmetil, dikrotofos, disulfoton, metamidofos, triklorfon, asefat,
forat, terbufos, etoprop, dikloruos, mevinfos, naled, monotrotofos, fosfamidin.
Insektisida OP yang termasuk dalam derivat fenil adalah paration, metil paration,
etil paration, stirofos, fention, fonofos, profenofos, isofenfos, fenitrotion, triazofos,
dan fentoat. Insektisida OP derivat heterosiklik banyak jenisnya. Dari kelompok ini
insektisida yang terkenal adalah diazinon dan lainnya seperti asinfos, klorpirifos ,
fention, fosmet, stirofos, temefos, metidation, fosmet, kuinalfos, dll.
c. Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak
digunakan secara luas untuk pengendalian hama tanaman. Insektisida karbamat
relatif baru bila dibandingkan dengan 2 kelompok insektisida OK dan OP. Cara
karbamat mematikan serangga sama dengan insektisida OP yaitu melalui
penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada sistem syaraf. Insektisida
tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan binatang, sehingga
tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti OK. Beberapa karbamat
memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun.
Pestisida karbamat dapat dikelompokkan dalam 3 kelas yaitu 1) metil
karbamat dengan bangunan cincin fenil. Yang termasuk dalam kelas ini adalah
BPMC, MICP, Isokarb, dll; 2) metil karbamat dan dimetil karbamat dengan struktur
heterosiklik seperti dijumpai pada bendiokarp, karbofuran, dioxakarb, dll; 3) metil
karbamat dari oksin yang mempunyai struktur rantai. Termasuk dalam kelas ini
adalah aldikarb, metomil, dan yang lain. Aldikarb merupakan insektisida karbamat
yang paling beracun juga merupakan insektisida sistemik yang digunakan untuk
pengendalian serangga dan nematoda. Karena toksisitas sangat tinggi aldikarb
sekarang dilarang di Indonesia. Propoksur merupakan insektisida yang umum
digunakan di dalam rumah untuk pengendalian serangga rumah tangga seperti
nyamuk, kecoa, lalat, dll.
e. Kloronikotinil
Kloronikotinil merupakan kelas baru insektisida sintetik. Bila piretroid
merupakan tiruan produk alami piretrum, kloronikotinil juga merupakan tiruan atau
analog produk nikotin. Kelas insektisida ini sampai sekarang baru diwakili oleh satu
bahan aktif yaitu imidakloprid yang telah diijinkan di Indonesia. Imidakloprid
meruapakan insektisida sistemik dan kontak dengan sasaran hama yang
mempunyai tipe mulut pencucuk dan pengisap seperti aphis, wereng, trips dan kutu
daun. Juga efektif untuk mengendalikan rayap, serangga tanah dan beberapa jenis
kumbang. Karena cara aksi terhadap serangga sasaran berbeda dengan kelompok-
kelompok insektisida kimia lain, kloronikotinil dapat dimanfaatkan untuk
mengendalikan jenis hama yang telah resisten terhadap kelompok/jenis insektisida
tertentu.
72
Yang termasuk dalam IGR adalah ekdison (hormon penggantian kulit),
hormon juvenil (JH), mimik atau tiruan hormon juvenil, analog hormon juvenil (JHA),
antihormon juvenil serta insektisida penghambat khitin. Agonis ekdison merupakan
IGR yang paling baru tetapi sudah cukup tersedia di pasar. Contoh IGR ini adalah
tebufenozoid, metoxyfenozoid, dan halofenozoid. Hormon juvenil yang sekarang
telah dipasarkan dan digunakan untuk pengendalian serangga di Amerika Serikat
adalah metoprin, kinoprin, hidroprin, dan venoksikarb, sedangkan insektisida
penghambat sintesis khitin adalah diflubenzuron, bensoil finil ureas, teflubenzuran,
triflumuron, klorfluazuron. Sejak tahun 1986 untuk pengendalian hama wereng padi
terutama wereng coklat kita mulai menggunakan salah satu senyawa penghambat
khitin yaitu buprofezin. Sampai tahun 2002 ini sebagian insektisida IGR tersebut
telah terdaftar di Indonesia seperti tebufenozide, methoxyfenozide, dan
halofenozide. Tebufenozide dan methoxyfenozide untuk mengendalikan
Lepidoptera sedangkan halofenozide untuk Coleoptera.
Karena cara kerja IGR terhadap serangga sasaran adalah dengan
mempengaruhi sistem hormonal serangga yang khas, pada dasarnya IGR memiliki
sifat selektivitas fisiologi yang tinggi terhadap serangga sasaran sehingga sangat
sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Misalkan diflubenzuron sangat efektif terutama
untuk Lepidoptera dan Diptera, sedangkan buprofezin khas untuk wereng daun dan
wereng batang serta serangga-serangga Homoptera lainnya. Untuk kelompok
serangga lainnya seperti serangga predator dan parasitoid insektisida tersebut
kurang berpengaruh. Berbeda dengan insektisida konvensional yang
mempengaruhi sistem syaraf sehingga mematikan serangga dalam waktu cepat,
IGR bekerjanya lambat dan lembut serangga akan mati beberapa hari setelah
diperlakukan dengan IGR. Dengan cara membunuh hama yang demikian, tekanan
seleksi terhadap serangga hama juga lemah sehingga timbulnya sifat resistensi dari
serangga hama dapat dihambat.
g. Insektisida Botanik
Bila insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui
proses sintesis kimiawi, maka insektisida botani atau insektisida nabati merupakan
insektisida yang terbuat dari tanaman. Insektisida botanik atau insektisida nabati
merupakan insektisida alami diambil secara langsung dari tanaman atau dari hasil
tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang paling tua dan banyak
digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik
ditemukan. Karena kesulitan dalam melakukan ekstraksi, dan kurang stabil karena
mudah terurai, penggunaannya semakin berkurang terutama setelah pestisida
kimia sintetik ditemukan dan digunakan.
Namun akhir-akhir ini setelah timbul kekhawatiran mengenai dampak
samping pestisida kimia, penggunaan pestisida botanik kembali memperoleh
perhatian dari pemerintah dan petani sebagai solusi alternatif bagi pestisida kimia.
Pestisida botanik telah lama dikenal sebagai pestisida yang risikonya kecil bagi
kesehatan dan lingkungan hidup.
Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan inventarisasi mengenai
berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar lahan petani untuk dijadikan pestisida
nabati. Petunjuk mengenai cara penyiapan, ektraksi dan penggunaan pestisida
nabati telah dibuat dan diedarkan kepada para petani pekebun. Dalam kegiatan
pelatihan SLPHT-Perkebunan Rakyat juga diberikan pelatihan penggunaan
73
pestisida nabati. Dari inventarisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Bina
Perkebunan yang memuat daftar jenis-jenis tanaman di Indonesia yang dapat
digunakan sebagai pestisida nabati (Lampiran).
Beberapa jenis insektisida botanik yang sudah lama dikenal dan digunakan
adalah piretrum yang diambil dari bunga Chrysanthemum. Demikan juga rotenon
diambil dari akar tanaman leguminosaea Derris elliptica atau tuba. Rotenon dapat
berupa racun kontak dan perut tetapi pengaruhnya tidak pada sistem syaraf.
Pestisida nabati yang prospektif dan banyak diteliti oleh para pakar pada dua
dekade akhir ini adalah Azadirachtin salah satu bahan aktif yang diambil dari
tanaman nimba atau mimba (Azadirachta indica). Tanaman mimba sejak lama telah
dikenal dan digunakan sebagai pestisida nabati. Lebih dari 200 spesies serangga
hama dapat dikendalikan secara efektif dengan ekstrak tanaman tersebut. Karena
tanaman mimba sudah banyak tumbuh di Indonesia dan sangat sesuai dengan
kondisi tanah dan cuaca di sini, maka prospek penggunaannya untuk pengendalian
hama sangat baik, apalagi bila teknik ekstraksi dan penggunaannya telah dikuasai
petani.
Dari banyak hasil penelitian telah diketahui beberapa cara kerja insektisida
nimba yaitu 1) Mengusir dan menghambat nafsu makan serangga, 2) menghambat
metamorfosis, 3) Mengurangi kesehatan dan daya reproduksi 4) Menghambat daya
bertelur. Cara kerja ekstrak nimba tersebut di atas hampir sama dengan cara kerja
insektisida IGR. Bagian tanaman mimba yang sering digunakan adalah tepung biji,
ampas biji dan daun. Penyiapannya dilakukan dengan cara menggerus biji atau
daun dan membuat ekstrak sederhana dengan dicampur air dan kemudian
disemprotkan dengan menggunakan alat penyemprot biasa. Untuk memperoleh
hasil yang baik dapat ditambahkan minyak dan pengemulsi. Teknologi sederhana
tersebut sangat mudah dilakukan oleh petani dengan biaya yang sangat murah.
Namun untuk keberhasilan pengendalian perlu diperhatikan waktu dan frekuensi
penyemprotan yang tepat sesuai dengan sifat ekobiologi hama sasaran. Kerena
efektivitas dan cara aksinya berbeda dengan pestisida kimia konvensional,
penyemprotan dengan pestisida nabati sebaiknya dilakukan dengan frekuansi yang
lebih banyak dan sewaktu populasi hama masih belum jauh melampaui Ambang
Pengendaliannya.
Beberapa keuntungan penggunaan mimba yaitu efektivitas tinggi, ancaman
terhadap timbulnya resistensi hama relatif kecil karena mengandung banyak zat
yang semuanya mempunyai cara kerja yang berlainan. Ekstrak mimba mempunyai
risiko kecil bagi kesehatan manusia, tidak berbahaya bagi lebah madu, ikan, burung
dan binatang bermanfaat lainnya. Persistensi esktrak mimba rendah, sehingga
cepat teurai menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Sampai saat ini belum
dilaporkan adanya pencemaran tanah dan air akibat dari mimba.
FORMULASI PESTISIDA
Pestisida tidak hanya beracun (toxic) atau berbahaya bagi serangga hama
sasaran juga berbahaya bagi serangga-serangga musuh alami, binatang-binatang
lain, manusia dan komponen-komponen lingkungan hidup. Toksisitas pestisida
dapat dikelompokkan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas
subkronik. Toksisitas akut adalah pengaruh meracuni atau merugikan yang timbul
segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu pestisida, atau pemberian
dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas kronik adalah pengaruh
yang merugikan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang
pestisida dalam jumlah sedikit atau pemaparan oleh pestisida yang berlangsung
sebagian besar rentang hidup suatu organisme (misal, mamalia).
Keracunan akut merupakan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis
tunggal insektisida. Keracunan ini biasanya terjadi pada pekerja yang langsung
bekerja dengan insektisida baik di pabrik, tempat peyimpanan maupun di lapangan,
keracunan terjadi biasanya karena kecerobohan sewaktu penanganan pestisida
atau sewaktu penyemprotan atau yang sengaja meminum insektisida untuk bunuh
diri. Keracunan khronik merupakan keracunan karena penderita terpapar racun
dalam jangka waktu panjang dengan dosis yang sangat rendah. Gejala keracunan
ini baru terlihat selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah penderita
terpapar pestisida. Keracunan khronik yang saat ini oleh masyarakat dunia yang
paling menjadi keprihatinan masyarakat dunia karena semakin tingginya kesadaran
terhadap keperluan adanya lingkungan yang tidak tercemar. Bahaya akibat
keracunan kronik karena terpapar insektisida dapat bersifat carsinogenic
(pembentukan jaringan kanker), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi
yang akan datang), teratogenic (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan),
endocrine destruptor (gangguan hormon endokrin).
77
Tabel 6. Tingkat bahaya insektisida menurut ketentuan WHO
Kategori LD50 Oral LD50 Dermal Keterangan yang perlu dicatat di dalam label
Beracun
II
Berbahaya 50-500 200-- 100-- 400-- Berbahaya Kuning
2000 1000 4000 tua
Berbahaya
III
Cukup 500-
berbahaya 2000 2000- >1000 >4000 Perhatian Biru Perhatian
3000 muda
IV
Tidak
berbahaya
pada >2000 >3000 Hijau
penggunaan
normal
1. Selektivitas Fisiologi
Selektivitas fisiologi insektisida di sini adalah penggunaan jenis insektisida
yang secara intrinsik hanya mematikan serangga-serangga hama tetapi tidak
membahayakan serangga-serangga yang berharga termasuk musuh alami dan
serangga penyerbuk bunga. Karena sifatnya, maka insektisida yang memiliki
selektivitas fisiologis berspektrum sempit dengan serangga sasaran yang khas.
78
Meskipun banyak insektisida OP, karbamat yang kurang selektif terhadap
predator hama-hama padi tetapi ada juga insektisida OP seperti piridafention dan
tertraklorvinpos yang lebih beracun bagi hama sasaran yaitu wereng hijau padi
Nephotettix spp dan kurang berbahaya bagi predator laba-laba serigala Lycosa
pseudoannulata. Pengujian tentang selektivitas berbagai jenis insektisida yang
saat ini digunakan di Indonesia terhadap hama dan musuh alaminya perlu
dilakukan agar kita mengetahui seberapa jauh tingkat bahaya insektisida tersebut
bagi serangga bukan sasaran yang bermanfaat seperti musuh alami.
Insektisida bakteri seperti Bacillus thuringiensis dan insektisida biologis
lainnya termasuk jenis insektisida yang memilki selektivitas tinggi bila dibandingkan
dengan insektisida konvensional. Bt umumnya ditujukan untuk mengendalikan
hama yang termasuk ordo Lepidoptera.
2. Selektivitas Ekologi
Dengan mempelajari sifat biologi dan ekologi hama sasaran dapat diketahui
waktu dan cara aplikasi insektisida yang tepat dan efektif. Dengan mempelajari
neraca kehidupan hama, perilaku hama, kisaran inang hama kita dapat
menentukan bagaimana aplikasi insektisida yang tepat. Aplikasi terutama ditujukan
pada bagian yang lemah pada kehidupan hama yaitu sewaktu hama berada pada
stadium hama yang peka terhadap insektisida dan dalam keadaan yang "terbuka"
terhadap perlakuan insektisida diusahakan sedapat mungkin serangga parasitoid
dan predator dapat terhindar dari perlakuan insektisida.
Dalam praktek di lapangan selektivitas ekologi perlakuan insektisida dapat
dalam beberapa cara yaitu:
a. Penetapan waktu aplikasi yang tepat.
b. Perlakuan insektisida secara parsial atau spot treatment yang meliputi
penyemprotan hanya di pesemaian, pada tanaman batas, atau pernyemprotan
hanya pada bagian tanaman atau pertanaman yang terserang.
c. Perlakuan insektisida pada tanaman perangkap.
d. Perlakuan insektisida pada tanaman inang alternatif harus yang berupa gulma.
e. Perlakuan benih dapat mengurangi perlakuan insektisida pada pertanaman.
f. Aplikasi insektisida melalui tanah atau air pengairan untuk mengurangi
terbunuhnya musuh alami.
79
c. Cara aplikasi di lapangan yang kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan
kematian organisme bukan sasaran. Oleh karena itu petani perlu dilatih tentang
bagaimana cara penyemprotan insektisida yang benar.
Bijaksana:
Tepat apa?
• Sasaran
• Dosis
• Cara
• Waktu
• Konsentras
i
• -----
80
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 9
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman pangan
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman pangan
Materi Kuliah:
Yang disebut tanaman pangan adalah jenis tanaman yang menjadi sumber
pangan utama sebagian besar penduduk. Di Indonesia tanaman pangan dibagi
dalam dua kelompok yaitu padi-padian dan palawija. Kelompok padi-padian
diwakili oleh PADI yang menghasilkan BERAS sebagai makanan utama penduduk
Indonesia dan JAGUNG, sedangkan palawija terdiri atas KEDELAI dan tanaman
kacang-kacangan seperti KACANG TANAH, KACANG PANJANG, dll.
Dari sekian banyak jenis tanaman dan komoditas pertanian yang
dibudidayakan dan diusahakan, padi merupakan tanaman yang paling memperoleh
perhatian utama dari Pemerintah dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena padi
menyangkut hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Karena pentingnya padi
seringkali padi disebut sebagai TANAMAN POLITIK.
SWASEMBADA BERAS
81
tergantung kegiatan dan “selera” Kabinet yang bersangkutan. Sejak tahun 1970an
kita kenal banyak nama program intensifikasi yaitu sebagai program BIMAS
(Bimbingan Massal), INMAS (Intensifikasi Massal), INSUS (Intensifikasi Khusus),
SUPRA INSUS, dan lain-lainnya. Kabinet sekarang mempunyai program yang
disebut Program Ketahanan Pangan. Indonesia hanya mencapai Swasembada
beras pada tahun 1984, setelah itu kita masih harus mengimpor beras untuk dapat
memenuhi kebutuhan beras penduduknya. Pada beberapa tahun terakhir ini
Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia.
Dampak penerapan intensifikasi pertanian pada ekosistem persawahan dan
sistem sosial masyarakat di Indonesia sangat besar antara lain:
1. Ekosistem persawahan menjadi sangat rawan hama dan penyakit padi.
Berbagai hama penyakit “baru” timbul, meluas dan sering meletus setelah
program BIMAS dilaksanakan antara lain hama wereng coklat dan wereng-
wereng lainnya, penyakit tungro. Puncak letusan hama terjadi pada tahun 1979
hampir satu juta hektar sawah gagal panen atau rusak oleh wereng coklat.
2. Dengan perbaikan sistem pengairan petani dapat menanam padi dua kali
sampai 3 kali setahun, seringkali dengan menanam varietas sama dan masa
tanam yang tidak serentak. Kondisi lingkungan ini menguntungkan
perkembangbiakan hama-hama padi seperti tikus dan wereng coklat. Karena itu
sampai saat ini sawah di Indonesia tidak pernah “sepi” akan serangan hama.
3. Karena penggunaan bahan kimia pertanian yang sangat banyak, kesuburan
tanah semakin menurun sehingga proses produksi tanaman padi menjadi
semakin tidak efisien, sasaran peningkatan produksi tidak tercapai dan
lingkungan pertanian semakin tercemar. Penggunaan pestisida yang masih
tinggi dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi hama-hama utama padi
seperti wereng coklat.
4. Petani semakin tergantung pada bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida yang
harganya semakin mahal. Keadaan ini mendorong terjadinya kesenjangan di
pedesaan antara petani yang kaya dan petani yang miskin terutama buruh tani.
Program PHT pada tanaman padi yang dilaksanakan Pemerintah sejak
tahun 1989 yang telah melatih sekitar satu juta petani padi dengan konsep dan
teknologi dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia di tingkat petani. Ada
banyak petani padi saat ini yang tidak lagi menggunakan pestisida karena sudah
mengandalkan musuh alami hama-hama padi. Ekosistem persawahan secara
ekologi sebenarnya merupakan ekosistem yang memiliki kestabilan tinggi apabila
kita dapat menerapkan PHT secara konsisten dan konsekuen. Dalam kondisi stabil
letusan hama tidak perlu dikhawatirkan.
Penerapan PHT untuk hama-hama padi secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Pola tanam padi, padi, palawija.
2. Tanam bibit atau varietas unggul tahan hama terutama VUTW (Varietas Unggul
Tahan Wereng) sesuai dengan biotipe wereng coklat pada suatu tempat. Seperti
kita ketahui saat ini kita mempunyai kelompok Non VUTW, VUTW I, dan VUTW
I. Sebaiknya dilakukan pergiliran varietas antar musim tanam.
3. Pada kondisi populasi wereng coklat tinggi hindarkan penanaman varietas padi
peka hama terutama varietas-varietas lokal (Rojolele, Mentik, Cianjur, dll).
82
4. Diusahakan di suatu hamparan sawah dilakukan penanaman secara serentak
termasuk di daerah-daerah yang berbukit. Serangan hama tikus berkurang di
daerah-daerah yang menanam padi serentak.
5. Pengendalian hayati terutama dengan teknik augmentasi dan konservasi musuh
alami merupakan teknik pengendalian hama-hama padi utama. Banyak jenis
predator dan parasitoid dijumpai di ekosistem persawahan kita.
6. Bila diperlukan pestisida kimia gunakan secara sangat selektif dengan
menggunakan jenis-jenis pestisida yang tidak membunuh musuh alami.
Penggunaan pestisida diputuskan setelah mempelajari hasil pengamatan
ekosistem.
7. Laksanakan kegiatan pengamatan atau pemantauan hama dan musuh alami
seminggu sekali. Apabila jumlah musuh alami banyak tidak perlu dilakukan
kegiatan pengendalian dengan pestisida.
A. HAMA-HAMA PADI
Pada ekosistem padi dijumpai banyak jenis hama yang menyerang hampir
seluruh stadia tumbuh padi dari persemaian sampai panen dan pasca panen. Yang
akan dibahas di sini beberapa hama utama padi saja. Intensitas serangan hama-
hama tersebut dari suatu lokasi ke lokasi lain sangat berbeda, dengan demikian
hama-hama utama di suatu daerah dapat berbeda dengan hama-hama utama di
daerah lain. Namun dari laporan pada 5 tahun terakhir urut-urutan hama padi utama
di Indonesia adalah 1) Tikus, 2) Penggerek Batang dan 3) Wereng Coklat. Secara
singkat sifat hama dengan cara pengelolaannya adalah sbb:
Gejala serangan:
1. Adanya sarang dari batang rerumputan dan daun diantara vegetasi tanaman
yang tumbuh di lapangan
2. Adanya saluran lubang yang masuk ke dalam tanah yang tidak begitu basah
atau tergenang air
3. Adanya lubang yang biasanya dengan diameter yang lebih besar dari tubuh
tikus dan berbentuk bulat yang merupakan jalan masuk menuju saluran.
4. Adanya lintasan jalan dimana tikus hilir mudik di antara pertanaman tempat
makannya dengan lubang persembunyiannya.
83
5. Adanya bekas-bekas kotoran tikus sepanjang lintasan
6. Adanya bekas-bekas telapak kaki tikus terutama pada tanah berlumpur
7. Adanya bentuk-bentuk kerusakan tertentu pada tanaman yang diakibatkan oleh
tikus seperti rebahnya tanaman karena pangkal batang putus, terutama pada
tanaman-tanaman muda.
Pada kepadatan populasi rendah, serangan tikus biasanya bersifat acak
terutama di bagian tengah petakan, sehingga belum tampak jelas dari pematang.
Pada serangan berat, biasanya hanya menyisakan beberapa baris tanaman pinggir.
Pengelolaan:
1. Diupayakan agar waktu tanam dengan selang <10 hari dalam areal yang luas,
sehingga masa generatif hampir serentak. Dengan demikian masa
perkembangbiakan tikus hanya berlangsung dalam waktu yang singkat.
2. Mengurangi ukuran pematang, di sekitar sawah, sehingga mempersulit tikus
membuat liang. Pematang sebaiknya berukuran < 30 cm.
3. Memanfaatan musuh alami, antara lain burung hantu, elang, ular.
4. Melakukan gropyokan, penggenangan lahan, pemasangan bambu perangkap
dan pemanfaatan jaring.
5. Pengemposan dilakukan pada saat tanaman fase generatif, karena pada saat
tersebut umumnya tikus tinggal di dalam liang.
6. Pengumpanan beracun menggunakan racun antikoagulan, karena kematian
tikus oleh racun ini lambat dan kematian umumnya tidak terlihat karena di dalam
inang sehingga dapat menghindari jera umpan.
7. Yang harus diperhatikan dalam usaha pengendalian tikus sawah yakni harus
terorganisasi dengan baik, melibatkan semua petani dan aparat pemerintah.
Gejala serangan:
Gejala kerusakan penggerek batang padi umumnya mirip. Gejala serangan
pada pertumbuhan vegetatif disebut sundep sedangkan pada pertumbuhan
generatif disebut beluk. Pada pucuk tanaman tampak menguning, layu dan
akhirnya mengering. Ulat penggerek merusak bagian pangkal titik tumbuh sehingga
apabila tanaman ditarik dari titik tumbuhannya akan mudah lepas. Gejala beluk
memperlihatkan malai padi yang tegak, berrwarna putih dan hampa.
84
Tabel 7. Jenis Penggerek Batang Padi di Indonesia
No Nama Umum Nama Latin
1 Penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas
(PBPK)
2 Penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata
(PBPP)
3 Penggerek batang padi Chilo suppressalis
berrgaris (PBPB)
4 Penggerek batang padi kepala Chilo polychrysa
hitam (PBPKH)
5 Penggerek batang padi berkilat Chilo auricilius
(PBBBk)
6 Penggerek batang padi merah Sesamia inferens
jambu (PBPMj)
Pengelolaan:
1). Pola tanam
Diusahakan untuk melakukan tanam serempak, pergiliran tanaman dengan
tanaman bukan padi, penanaman varietas padi yang tahan penggerek batang.
Tanam serentak varietas genjah dengan selisih kurang dari 2 minggu
meliputi hamparan seluas-luasnya agar pertumbuhan tanaman dan masa panen
dapat serentak, sehingga tersedianya sumber makanan bagi penggerek dapat
dibatasi. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan pada masa bero di antara waktu
tanam. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi dapat memutus daur hidup
penggerek batang padi. Persemaian dilakukan secara berkelompok untuk
memudahkan pemeliharaan dan pengumpulan kelompok telur penggerek.
3). Eradikasi
Pembabatan dan pengumpulan jerami lalu dibakar untuk memusnahkan
sumber hama penggerek batang padi.
4). Biologi
Memanfaatkan musuh alami baik predator maupun parasitoid seperti
Conocephalus longipennis, Anaxipha sp, Metioche sp, Trichogramma sp,
Telenomus sp, Xanthopimpla sp.
5). Kimiawi
85
Aplikasi insektisida untuk pengendalian harus disesuaikan dengan keadaan
populasi hama, intensitas serangan dan umur tanaman. Insektisida yang digunakan
harus dipilih yang selektif, efektif dan diizinkan untuk digunakan pada tanaman
padi.
Pengelolaan:
1. Sistem tanam serempak dalam satu wilayah kelompok dengan selisih waktu
tanam < 2 minggu sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau tidak tersedia
pakan terus-menerus.
2. Penanaman varietas unggul tahan wereng dapat menghambat perkembangan
populasi dari generasi ke generasi. Pergiliran varietas untuk menghindari
timbulnya biotipe baru.
3. Diusahakan persemaian jauh dari lampu dan sumber penyakit virus
4. Menghindari pemupukan N secara berlebihan.
5. Eradikasi dan sanitasi tanaman
6. Memanfaatkan musuh alami seperti Anagrus sp, Tetrastichus sp, Microvelia sp,
Ophionea sp, Paederus sp.
7. Penggunaan insektisida dilakukan pada saat populasi dominan nimfa, dengan
memperhatikan perbandingan antara wereng coklat dengan musuh alami.
Gejala serangan:
Tanaman padi yang terserang menunjukkan gejala pertumbuhan kerdil,
jumlah tunas sedikit berkurang dan berwarna kuning. Apabila serangan terjadi pada
waktu tanaman masih muda, maka jumlah tunas akan sangat berkurang. Malai
yang dihasilkan biasanya steril dan kecil. Gejala kerusakan tanaman padi oleh
wereng lebih banyak diakibatkan serangan penyakit padi yang dibawanya terutama
penyakit tungro yang merupakan penyakit padi terpenting di Indonesia saat ini.
Pengelolaan:
Pengelolaan hampir sama dengan pengelolaan wereng coklat.
86
Hama ganjur terbatas menyerang dalam luasan sawah sempit dan
terpencar-pencar terutama di Jawa, Bali, Lombok dan Sumatera Selatan. Pada
tahun 1975 sekitar 200.000 ha sawah di Jawa Tengah dan Jawa Barat terserang
hama ini.
Gejala serangan:
Gejala serangan berupa puru yang akan tampak 3-7 hari setelah larva
mencapai titik tumbuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi
ganjur diantaranya kelembaban, angin, cahaya, jenis dan jumlah pakan serta
musuh alami. Kelembaban minimal 80% sangat mendukung perkembangan larva.
Temperatur 26-290C sangat sesuai bagi perkembangan hama ini.
Pengelolaan:
Pengamatan rutin serangan ganjur harus dimulai sejak umur 7 hari setelah
tanam. Penanaman secara serentak minimal di satu wilayah kelompok,
penggunaan varietas tahan, perlakuan benih dengan insektisida.
Gejala serangan:
Larva memakan daun sehingga menimbulkan bekas serangan berupa garis-
garis putih. Gejala serangan yang khas terlihat lipatan daun, larva makan dari
dalam, menyebabkan daun menjadi kering dan berwarna putih.
Pengelolaan:
1. Sanitasi tanaman inang dan rumput liar di sekitar persawahan
2. Budidaya tanaman sehat, sehingga adanya serangan ringan dapat
dikompensasi oleh pertumbuhan tunas.
3. Pemanfaatan dengan musuh alami diantaranya Apanteles sp, Pentalitomastix
sp, predator laba-laba dan cocopet dari ordo Dermaptera
Gejala serangan:
Hama mengisap cairan pelepah dan batang padi. Bekas isapan menjadi
coklat dengan coklat tua pada tepinya. Daun pada rumpun yang terserang berat
akan menjadi kering, lama-kelamaan semua daun kering dan akhirnya mati.
Batang-batang menjadi busuk dan mudah dicabut. Tanaman yang disukai hama ini
terutama bibit di persemaian dan tanaman muda sampai 50-60 hari. Tanaman tua
dapat juga terserang. Serangan dewasa mampu hidup dan berkembangbiak
selama 1-2 musim. Selama musim kemarau mengalami dormansi pada bongkahan
87
tanah yang berumput. Pada saat cuaca baik dewasa terbang ke pertanaman dalam
jumlah besar. Lebih menyukai keadaan basah atau lembab.
Pengelolaan:
Pembajakan dan pembenaman tunggul-tunggul padi setelah panen akan
dapat mengurangi populasinya untuk musim tanam berikutnya. Pengeringan lahan
sawah dapat menghambat perkembangan hama. Pemupukan saat tanaman
terserang, sehingga tanaman mampu mengkompensasi serangan. Sanitasi lahan
dan lingkungan dari tumbuhan inang rerumputan juga dapat menghambat
perkembangan kepinding tanah.
Gejala serangan:
Butir padi yang terserang hama ini akan menjadi hampa sebab cairan selnya
telah habis dihisap. Butir padi yang setengah hampa akan mudah pecah jika masuk
dalam penggilingan. Butir padi bekas tertusuk walang sangit warnanya berubah
menjadi coklat atau kehitam-hitaman sebagian atau seluruhnya. Kerusakan berat
akan terjadi apabila walang sangit dewasa menyerang padi pada saat malai
berbunga.
Pengelolaan:
1. Tanam serempak untuk membatasi ketersediaan makanan yang sesuai
2. Pemanfaatan tanaman perangkap
3. Penanaman tanaman resisten
4. Pemanfaatan musuh alami seperti Conocephalus longipenis, Gryon nixoni,
Beauveria bassiana
B. HAMA-HAMA JAGUNG
88
terpencar pada daun, pucuk dan bunga pada malam hari. Biasanya telur diletakkan
pada tanaman jagung umur + 2 minggu setelah tanam.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serentak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya
Pengelolaan:
Rotasi tanaman, tanam serentak, pemangkasan bunga jantan
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan jagung dan padi
2. Tanam serempak dengan selisih waktu kurang dari 10 hari
3. Tanam lebih awal pada musim penghujan
C. HAMA-HAMA KEDELAI
Berbeda dengan padi sawah, kedelai mempunyai banyak jenis hama yang
menyerang sejak di fase pembibitan sampai fase polong. Hama tanaman
merupakan faktor pembatas utama produksi kedelai di Indonesia. Karena serangan
hama tinggi, produksi selalu rendah sehingga kita tidak mampu memenuhi
kebutuhan kedelai nasional yang selalu meningkat setiap tahunnya. Saat ini kita
harus mengimpor kedelai lebih dari satu juta ton. Karena banyak serangan hama,
penggunaan pestisida kimia relatif sangat tinggi, rata-rata satu musim aplikasi
pestisida sekitar 4-5 kali.
Urutan 6 besar hama-hama kedelai adalah: 1) Lalat kacang, 2) Penggerek
polong, 3) Tikus, 4) Ulat grayak, 5) Penggulung daun dan 6) ulat jengkal. Di
samping menghadapi serangan hama kedelai juga menghadapi serangan banyak
penyakit virus yang vektornya adalah serangga Bemisia sp dan Aphis sp.
Hama-hama kedelai dapat dikelompokkan menurut fase pertumbuhan
kedelai yang diserang yaitu:
a. Lalat menyerang bibit seperti Agromyza sp
89
b. Hama-hama pemakan daun seperti Spodoptera sp, Phaedonia sp, Plusia sp
c. Hama-hama pengisap daun seperti Empoasca sp, Bemicia sp, Aphis sp
d. Hama-hama pegisap polong seperti Riptortus sp, Nezara sp
e. Hama-hama penggerek polong seperti Etiella sp dan Heliothis sp.
Gejala serangan:
Gejala awal berupa tanda bintik-bintik putih pada keping biji, daun pertama
atau daun kedua. Bintik-bintik tersebut merupakan bekas tusukan alat peletak telur
pada pangkal kotiledon dan pangkal daun. Pada keping biji dan pasangan daun
pertama terdapat alur atau garis berkelok-kelok berwarna coklat yang merupakan
lubang gerekan. Akibat gerekan jaringan pengangkut terputus, sehingga akar mati
tanaman layu dan mati. Kematian tanaman dijumpai pada tanaman berumur 14-30
hari.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman non Leguminosae
2. Seed treatment
3. Penggunaan mulsa jerami
4. Tanam serentak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak
lebih dari 10 hari, dilakukan pada areal yang cukup luas.
Pengelolaan:
1. Pemantauan dini
2. Tanam serempak pada areal yang luas
3. Sanitasi terhadap inang alternatif
4. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
5. Untuk daerah endemis penggerek polong, perlu diterapkan penanaman
tanaman perangkap.
90
6. Pemanfaatan musuh alami seperti Apanteles sp, Trichogramma sp, Tachinidae,
predator Lycosa sp dan Oxyopes sp
7. Pengendalian dengan insektisida efektif dilakukan apabila populasi hama telah
mencapai ambang pengendalian
Pengelolaan:
1. Pemantauan terhadap kelompok instar 1 atau gejala awal daun yang tampak
keputih-putihan dilakukan setiap minggu sejak tanaman berumur 14 HST
2. Melakukan tanam serentak dan pergiliran tanaman
3. Pengendalian dini setelah ditemukan populasi
4. Pengendalian secara fisik dan mekanik yakni dengan mengumpulkan kelompok
telur dan larva kemudian dimusnahkan
5. Penggunaan Sl NPV
6. Pemanfaatan musuh alami predator Carabidae, Reduviidae, parasitoid
Telenomus, Tachinidae, Ichneumonidae
7. Pengendalian dengan insektisida secara spot treatment dibatasi sampai dengan
instar 3
91
Nimfa dan dewasa menghisap cairan biji kedelai. Serangan pada fase
pembentukan dan pertumbuhan polong/biji menyebabkan polong/biji kempis,
mengering dan gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi
hitam dan busuk. Serangan pada polong tua menyebabkan kualitas biji menurun
karena ada biji hitam pada biji atau biji menjadi keriput.
Gejala serangan jelas terlihat kulit biji dan kulit polong bagian dalam berupa
bintik hitam atau coklat.
Pengelolaan:
1. Sanitasi tanaman inang liar jauh sebelum tanam
2. Pengamatan terutama dilakukan pada tanaman perangkap. Pengamatan
dilakukan pada umur 42, 49, 56, 63, dan 70 HST terhadap imago, telur dan
nimfa.
3. Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi mencapai ambang
pengendalian yang mungkin terjadi hanya pada tanaman perangkap
Gejala serangan:
Kepik menyerang polong dan biji. Serangan pada fase perkembangan biji
dan pertumbuhan polong menyebabkan polong dan biji kempis, kemudian
mengering dan polong dapat gugur. Serangan pada fase pengisian biji
menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk. Serangan pada polong tua
menyebabkan kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik hitam pada biji atau
biji menjadi keriput. Gejala serangan jelas terlihat pada kulit biji dan kulit polong
bagian dalam berupa bintik hitam atau coklat. Kerusakan pada biji dan kulit polong
disertai dengan serangan jamur.
Pengelolaan:
1. Tanam serentak pada areal yang cukup luas
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inangnya
3. Menanam varietas toleran (berbulu tegak)
4. Penggunaan benih bermutu dan sehat
5. Pemantauan sedini mungkin
6. Pencabutan tanaman muda yang terserang virus
7. Pemanfaatan musuh alami diantaranya predator Coccinelidae, Menochilus
sexmaculata, Harmonia octomaculata, Verania lineata.
92
9. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
Serangan berat akan terjadi terutama pada musim kemarau karena didukung
dengan suhu yang tinggi.
Gejala serangan:
Nimfa dan kutu dewasa mengisap cairan daun. Ekskreta kutu kebul
menghasilkan embun madu yang merupakan medium tumbuh cendawan jelaga
sehingga sering tanaman tampak berwarna hitam. Hama ini juga bertindak sebagai
vektor penyakit Cowpea Mild Mottle Virus (CMMV) yang menyebabkan tanaman
kerdil dan daunnya belang-belang kuning tersamar. Hama menyerang tanaman
sejak tanaman membentuk daun pertama dan puncak populasinya terjadi pada fase
setelah pembungaan.
Pengelolaan:
1. Tanam serentak dengan kisaran waktu tidak lebih dari 10 hari
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. Menanam varietas toleran
4. Pemanfaatan musuh alami parasitoid Encarsia sp dan beberapa jenis kumbang
Coccinelidae antara lain Menochilus sp, Scymnus sp
Gejala serangan:
Serangan larva dan dewasa dapat berlangsung pada fase pertumbuhan
tanaman. Daun tampak berlubang dan polong muda luka-luka, sedang pada polong
tua kulitnya yang dimakan. Serangan lebih lanjut pada tangkai daun dan batang
pucuk menyebabkan daun dan pucuk terkulai layu kemudian mengering.
Pengelolaan:
1. Pemantauan dilakukan tiap minggu sampai tanaman berumur 49 HST
2. Tanaman serentak dan pergiliran tanaman penting untuk menurunkan infestasi
awal
3. Penurunan populasi dapat dilakukan dengan cara pengumpulan dan
pemusnahan imago dan larva pada pagi dan sore hari.
4. Pemanfaatan musuh alami predator telur, larva dan pupa yaitu Solenopsis
geminata.
93
1. Tungau merah (Tetranychus urticae)
Gejala serangan:
Tanaman ubi kayu yang terserang berat, permukaan bagian bawah menjadi
kusut oleh adanya anyaman-anyaman halus. Daun dapat kehilangan khlorofil dan
mengakibatkan daun kelihatan menguning, kemudian berubah menjadi coklat dan
gugur seluruhnya. Serangan berat terjadi pada musim panas, sebaliknya pada
musim hujan populasinya berkurang karena tercuci oleh air hujan.
Pengelolaan:
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
Pengelolaan:
1. Mengatur waktu tanam, yaitu menanam pada awal musim kemarau
2. Melakukan penggenangan
3. Menanam varietas yang pertumbuhan ubinya agak masuk ke dalam tanah
4. Rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang
E. KACANG TANAH
3. Nezara viridula
Kepik dan nimfa dewasa mengisap cairan polong kacang. Cara merusak
dengan menusukkan alat mulutnya pada kulit kacang terus ke biji kemudian
mengisap cairan yang ada di dalam biji. Serangan kepik ini menyebabkan biji
menjadi hitam dan busuk sehingga kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik
hitam pada biji atau biji menjadi keriput.
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
95
Materi 10
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman hortikultura
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman hortikultura
Materi:
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
96
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 menurut pengusahaan lahannya yaitu: 1)
petani horti di pekarangan, 2) petani horti komersial di dataran rendah, dan 3)
petani horti komersial di dataran tinggi. Petani horti pekarangan umumnya
menanam berbagai jenis sayuran dan buah-buahan di pekarangan untuk
kepentingan konsumsi keluarga. Sedangkan petani horti komersial memang
mengusahakan untuk memperoleh produksi dan keuntungan. Namun ketiga
kelompok mempunyai ciri yang sama yaitu luas lahan yang terbatas dan modal
yang pas-pasan. Kita belum mempunyai semacam usaha “perkebunan” sayuran
atau perkebunan buah-buahan seperti di luar negeri. Oleh karena itu umumnya
petani horti di Indonesia belum banyak menguasai teknologi budidaya tanaman dan
perlindungan tanaman yang memadai, sehingga mereka sangat tergantung pada
kebiasaan petani di sekitarnya. Dengan demikian usaha hortikultura belum efisien
dan ongkos produksi tinggi.
Pada era perdagangan global sekarang sangat sulit untuk mengekspor
produk hortikultura karena kandungan pestisida yang tinggi, seperti telah terjadi
banyak kubis dan kentang yang berasal dari Tanah Karo di Sumatera Utara tidak
dapat masuk Singapura dan Malaysia karena kandungan residu pestisida. Produk
buah-buahan Indonesia pada tahun 2002 ditolak oleh negara Taiwan kerana
mengandung lalat buah.
Sejak tahun 1990 sampai 1998 Pemerintah melaksanakan pelatihan PHT
untuk lebih dari 50.000 petani hortikultura di beberapa propinsi yang meliputi petani
kubis, kentang, bawang merah, dan cabai merah. Dari evaluasi terhadap
penerapan PHT oleh petani pada tanaman hortikultura terlihat bahwa untuk
tanaman kubis dan kentang petani dapat mengurangi penggunaan pestisida
sampai 80%, peningkatan produksi dan kualitas produk sehingga sangat
menguntungkan. PHT tanaman cabe dan bawang merah jauh lebih baik hasilnya
dibandingkan kebiasaan petani namun belum sebaik petani kubis dan kentang.
Dari hasil-hasil sementara tersebut dapat disimpulkan bahwa satu-satunya
cara memperbaiki produksi dan kualitas produksi tanaman hortikultura adalah
menerapkan dan mengembangkan teknologi PHT yang sesuai dengan jenis
tanaman, lokasi lahan, dan kondisi sosial ekonomi petani. Untuk dapat
mengembangkan teknologi PHT yang sesuai diperlukan banyak kegiatan penelitian
dan pengkajian.
A. KELOMPOK SAYURAN
Kelompok Sayuran meliputi tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi (KUBIS,
KENTANG, TOMAT) dan sayuran dataran rendah (CABAI, dan BAWANG MERAH)
1. KUBIS
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda.
Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal
batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan
berat. Serangan berat terjadi di awal musim kemarau.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan larva di sekitar tanaman dan mematikannya
98
Larva muda bergerombol di permukaan bawah daun kubis dan
meninggalkan bercak putih pada daun yang dimakan. Larva instar ketiga
sampai kelima memencar dan menyerang pucuk tanaman kubis sehingga
menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya tanaman mati atau batang kubis
membentuk cabang dan beberapa crop yang kecil-kecil.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
2. KENTANG
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Gejala biasanya terlihat pada pagi hari dengan adanya tanaman muda
yang rebah karena dipotong oleh ulat di bagian pangkal batang.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Penyemprotan dengan insektisida selektif dan efektif
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
Pengelolaan:
1. Pengolahan tanah
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. CABAI
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda.
Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal
batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan
berat. Larva dewasa kadang-kadang membawa potongan-potongan
tanaman ke tempat persembunyiannya.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
6. Pemanfaatan musuh alami seperti Metarrhizium sp.
100
b. Kutu daun persik (Myzus persicae)
Gejala serangan:
Serangan berat pada tanaman cabai muda (umur < 3 minggu) bila
infestasinya tinggi daun akan berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil,
layu dan kemudian mati.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Pengamatan secara teratur
3. Mengumpulkan kutu kemudian dimatikan
Pengelolaan:
1. Tanam serempak
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. Mengumpulkan buah busuk yang rontok kemudian dibakar
101
4. Menggunakan perangkap beracun
5. Penyemprotan insektisida yang efektif dan selektif apabila ditemukan
serangan sedang.
Pengelolaan:
1. Penanaman tanaman bukan inang
2. Mengumpulkan larva di sore/malam kemudian dimatikan
3. Penyemprotan dengan pestisida yang selektif
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inagn
2. Di daerah endemik dilakukan perlakuan tanah dengan nematisida yang
efektif jika dijumpai serangan sedang.
4. BAWANG MERAH
a. Ulat bawang (Spodoptera exigua)
Gejala serangan:
Bagian tanaman yang diserang adalah daunnya, baik pada tanaman
muda atau pada tanaman tua. Larva muda melubangi bagian ujung daun
kemudian masuk dan memakan daging daun bagian dalam, sedangkan
epidermis bagian luar ditinggalkan. Akibat serangan tersebut pada daun
terlihat bercak-bercak putih menerawang tembus cahaya dan akhirnya
terkulai dan mengering. Pada serangan berat seluruh bagian daun
dimakannya.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
102
2. Tanam serempak
3. Pemusnahan kelompok telur di ujung daun
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Tanam serentak
3. Waktu tanam pertengahan April, awal Mei atau September
4. Penyemprotan insektisida efektif bila ditemukan tingkat serangan sedang
5. TOMAT
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda.
Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal
batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan
berat. Larva dewasa kadang-kadang membawa potongan-potongan
tanaman ke tempat persembunyiannya.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan
mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya
103
4. Pemberian insektisida butiran melalui tanah pada saat menjelang
berbunga
5. Penyemprotan insektisida yang selektif
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya
C. KELOMPOK BUAH-BUAHAN
1. JERUK
a. Kutu loncat jeruk (Diaphorina citri)
Gejala serangan:
Kerusakan karena aktivitas kutu loncat adalah daun jeruk menjadi
berkerut-kerut, menggulung atau kering dan pertumbuhannya menjadi
terhambat serta tidak sempurna. Selain daun muda, kutu ini juga mengisap
cairan sel pada tangkai daun, tunas-tunas muda atau jaringan tanaman.
Gejala lainnya adalah hasil sekresi atau kotorannya berupa benang
berwarna putih dan bentuknya menyerupai spiral.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan keberadaan musuh alami antara lain predator Curinus
coreluos, Coccinella repanda, jamur Metarhizium sp.
2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya dilakukan saat tanaman
menjelang dan ketika bertunas.
Pengelolaan:
1. Di alam populasi kutu daun dikendalikan oleh musuh alami.
2. Secara kultur teknis dengan menggunakan mulsa jerami di bedengan
pembibitan jeruk agar dapat menghambat perkembangan populasi kutu.
Pengelolaan:
1. Musuh alami sangat menentukan perkembangan populasi kutu sisik.
Oleh karena itu keberadaannya perlu diperhatikan.
2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya menggunakan insektisida yang
bersifat selektif.
Pengelolaan:
1. Untuk mencegah peletakan telur sebaiknya dilakukan pembungkusan
pada buah jeruk yang masih muda.
2. Memetik buah jeruk yang telah terserang dengan interval setiap 10 hari
kemudian menguburnya cukup dalam
3. Pemanfaatan musuh alami seperti parasit telur Trichogramma sp dan
Bracon sp.
4. Pengendalian secara kimiawi pada saat telur belum menetas. Larva yang
baru keluar akan segera terbunuh sebelum sempat menggerek.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami dengan cara menghindarkan penggunaan
insektisida yang berlebihan
2. Mengatur kepadatan tajuk tanaman agar agar tidak terlalu padat dan
saling menaungi
3. Mencegah datangnya semut yang sering memindahkan kutu
2. MANGGA
a. Procontariana matteina
Gejala serangan:
Daun yang terserang hama ini ditandai dengan adanya bisul-bisul
kecil pada permukaan dan bawah daun. Ulat akan meninggalkan bekas
105
lubang pada saat ulat keluar meninggalkan jaringan daun. Dalam satu daun
tampak terdapat banyak sekali bintil-bintil kecil yang menyebabkan
terganggunya proses fotosistesis sehingga menghambat pertumbuhan
tanaman.
Pengelolaan:
Sanitasi lingkungan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk
mengendalikan hama ini.
Pengelolaan:
Pengendalian mekanik dengan cara memangkas cabang dan ranting
terserang. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan cara injeksi pada
batang tanaman dan dianjurkan saat tanaman tidak berbunga atau berbuah.
3. PISANG
a. Erionata thrax
Gejala serangan:
Daun pisang yang terserang hama ini akan terlihat robek. Hal ini
disebabkan hama menggulung daun dari tepi ke arah tengah.
Pengelolaan:
1. Secara fisik mekanik dengan cara pengambilan telur kemudian
mematikannya
2. Mengumpulkan bagian daun yang sudah tergulung dan
memusnahkannya
b. Hama Uret
Gejala serangan:
Hama ini menyerang pisang bagian batang sampai ke umbi batang
bagian bawah (bonggol) dan menyebabkan umbi berlubang.
Pengelolaan:
Dengan Seed treatment
Pengelolaan:
106
Pengendalian dengan sanitasi kebun. Memotong tanaman yang
tercemar sampai ke bonggol bawah.
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 10
Tujuan:
1. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama tanaman perkebunan dan
cara Pengelolaannya
2. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama pasca panen dan cara
pengelolaannya
Materi:
107
pemerintah, perkebunan rakyat semakin lama semakin luas, jauh lebih luas
daripada luas perkebunan besar.
Saat ini perkebunan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Perkebunan Besar
dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan Besar yaitu perkebunan dengan luas areal
besar yang dikelola oleh PT Perkebunan Negara dan PT Perkebunan Swasta
Nasional termasuk milik PT Pagilaran (Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM)
atau Perkebunan Swasta Asing. Sedangkan perkebunan rakyat adalah usaha
perkebunan yang dikelola oleh petani kecil. Dari sekitar 12 juta hektar luas
perkebunan di Indonesia saat ini, lebih dari 70% adalah areal perkebunan rakyat.
Jenis komoditas yang diusahakan oleh Perkebunan Besar dan Perkebunan
Rakyat ada yang sama tetapi ada yang berbeda. Beberapa komoditas perkebunan
yang umumnya dikelola oleh rakyat saat ini adalah kelapa, lada, jambu mete dan
kapas. Sedangkan kelapa sawit pada umumnya dikelola oleh Perkebunan Besar.
Komoditas-komoditas perkebunan lainnya seperti teh, kopi, kakao, karet, tebu,
tembakau dikelola oleh Perkebunan Besar dan juga rakyat.
Pemerintah dengan bantuan lembaga-lembaga internasional seperti
ADB/Bank Pembangunan Asia dan World Bank/Bank Dunia telah banyak
melaksanakan program pembukaan, perluasan, intensifikasi dan rehabilitasi
perkebunan rakyat sehingga luas perkebunan rakyat dan jenis tanaman
perkebunan rakyat terus meningkat. Proyek pembangunan perkebunan yang
terkenal adalah PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yang menghubungkan Perkebunan
Besar sebagai Kebun Inti dan Perkebunan Rakyat sebagai Kebun Plasma.
Sayangnya dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut hanya
dilakukan oleh pemerintah sedangkan pemberdayaan masyarakat tidak
dilaksanakan, sehingga kelanjutan dari kegiatan pemerintah tersebut tidak dapat
dijamin.
Dalam melakukan pembahasan tentang pengelolaan hama perkebunan kita
akan mengkonsentrasikan pada Perkebunan Rakyat, meskipun kita ketahui bahwa
tidak ada perbedaan jenis-jenis hama yang menyerang perkebunan besar dan
perkebunan rakyat, namun tingkat dan jenis permasalahannya yang berbeda.
A. PERKEBUNAN
1. KOPI
a. Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei)
Gejala serangan:
Hama menyerang buah dengan cara menggerek. Lubang gerekan
berbentuk bulat dengan diameter lebih kurang 1 mm dan umumnya dijumpai
pada ujung buah. Lubang kadang-kadang sukar dilihat karena tertutup oleh
kotoran atau sisa gerekan. Bubuk buah kopi pada umumnya menyerang
buah yang bijinya telah cukup keras, namun demikian buah yang bijinya
lunak juga diserang. Setelah menyerang buah yang bijinya lunak, hama
segera keluar karena tidak bisa berkembang di dalamnya. Buah muda akan
menjadi busuk dan kemudian gugur. Jenis kopi yang disukai adalah jenis
Arabica, Robusta dan Liberica.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid Heterospilus coffeicola,
jamur Spicaria javanica, predator Dindymus rubiginosus.
2. Memodifikasi lingkungan seperti mengurangi naungan dan melakukan
pemangkasan.
3. Mengusahakan supaya selama jangka waktu tertentu tidak terdapat buah
kopi, baik di pohon ataupun di tanah. Dengan demikian kumbang betina
tidak mempunyai buah kopi untuk makanan atau untuk tempat
berkembang biak. Hal tersebut dapat diusahakan antara lain melalui
rampasan, lelesan, petik bubuk
110
Pengelolaan:
1. Pemanfaatan musuh alami misalnya Tetrastichus sp.
2. Sanitasi kebun dengan membersihkan kebun dari cabang-cabang yang
berserakan di bawah pohon, karena dapat menjadi sumber infeksi. Pada
saat pemangkasan, cabang dan ranting yang terserang dikumpulkan
kemudian dibakar.
Pengelolaan:
1. Secara alami dengan memanfaatkan predator Coccinella sp, parasitoid
Coccophagus sp, jamur Cephalosporium sp.
2. Membersihkan pertanaman dari semut rangrang karena serangan kutu
akan sangat merugikan apabila semut rangrang dibiarkan hidup.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami seperti predator Scymnus sp, Cryptolaemus
sp.
2. Secara mekanis dengan membuang bagian tanaman terserang yang
merupakan sumber infeksi, missal pemangkasan.
3. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan insektisida sistemik.
2. KAKAO
a. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella)
Gejala serangan:
Ulat merusak buah kakao dengan cara menggerek buah, memakan
kulit buah, daging dan saluran ke biji. Buah yang terserang lebih awal
menjadi berwarna kuning, dan jika digoyang tidak berbunyi. Biasanya lebih
berat dari yang sehat. Biji-bijinya saling melekat, berwarna kehitaman serta
ukuran biji lebih kecil.
111
Pengelolaan:
Hama ini dapat dikendalikan dengan sanitasi, pemangkasan,
membenam kulit buah, memanen satu minggu sekali, kondomisasi, serta
dengan cara hayati/biologi seperti Trichogramma sp, cecopet.
Pengelolaan:
1. Pemangkasan
2. Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid Telenomus sp, jamur
Beauveria bassiana, pemangsa cecopet, belalang sembah, laba-laba
Pengelolaan:
1. Membersihkan lubang gerekan dan ulat yang ditemukan dimusnahkan.
2. Secara mekanik dengan memotong batang/cabang terserang 10 cm di
bawah lubang gerekan ke arah batang/cabang kemudian ulatnya
dimusnahkan.
3. Pemanfaatan jamur Beauveria bassiana.
3. KAPAS
a. Sundapteryx bigutulla
Gejala serangan:
Tanda pertama dari serangan hama ini adalah menguningnya ujung
daun dan agak mengkerut. Pada tingkat serangan berat, warna daun agak
coklat memerah dan pertumbuhannya menjadi kerdil. Pada permukaan
bawah daun yang terserang sering terdapat bercak berwarna kuning.
Kemudian daun akan mengering dan gugur. Kuncup dan buah muda dapat
membuka lebih awal dan gugur. Hama ini menyerang sejak tanaman muda
di lapang.
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami kumbang kubah, kepik dan berbagai
macam laba-laba. Secara fisik mekanik dengan mengumpulkan hama
kemudian mematikannya.
Pengelolaan:
Memanfaatkan musuh alami seperti Trichogramma sp, Brachymeria
sp, Diadegma sp, laba-laba.
Pengelolaan:
Memanfaatkan musuh alami Trichogramma sp, Apanteles sp,
Encarsia sp.
Pengelolaan:
Kumpulan kutu merupakan makanan paling enak untuk kumbang
kubah.
113
4. TEH
a. Tungau Jingga (Tenuipelpus obovatus)
Gejala serangan:
Hama ini merusak pada musim kemarau. Serangan hama berakibat
sedikitnya pucuk teh yang dihasilkan. Serangan yang hebat menyebabkan
hamparan teh tampak merata kecoklat-coklatan. Daun muda yang diserang
akan gugur, sedangkan daun tua yang dan pada tangkainya berubah
menjadi kecoklatan.
Pengelolaan:
1. Penggunaan tanaman pelindung yang dapat mengurangi
perkembangbiakan hama.
2. Pengelolaan dengan insektisida selektif dan efektif
Pengelolaan:
Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun
teh yang menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh
sewaktu penimbangan. Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan
berbagai cara diantaranya pembakaran.
Pengelolaan:
Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun
teh yang menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh
sewaktu penimbangan. Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan
berbagai cara diantaranya pembakaran.
d. Setora nitens
114
Gejala serangan:
Biasanya menyerang daun muda dan tua, sehingga tidak
mengherankan jika serangan berat dapat mengakibatkan perkebunan teh
menjadi gundul.
Pengelolaan:
Menggunakan musuh alami seperti Cryptus caymorus, Chlorocryptus
sp, Corypus javenus, kepik Sycanus sp, Canthecona sp.
5. TEBU
a. Penggerek Pucuk Putih (Schirpophaga nivella intacta)
Gejala serangan:
Bila serangan terjadi pada daun yang belum membuka, maka apabila
daun telah membuka akan tampak deretan lubang pada daun yang ditembus
larva berwarna coklat. Pada ibu tulang daun yang tergerek tampak lorong
gerekan yang berwarna kecoklatan. Serangan pada titik tumbuh
mengakibatkan kematian tanaman yang ditandai dengan mengeringnya
daun-daun muda yang masih menggulung dan terletak di tengah tajuk yang
dikenal sebagai “mati puser”. Daun termuda yang mati mudah dicabut.
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami parasit telur Telenomus sp.
Pengelolaan:
Pemanfaatan parasitoid telur Telenomus sp, Trichogramma sp,
parasitoid larva Apanteles sp, dan parasitoid pupa Xanthopimpla sp.
115
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami Encarsia flavoscutellum.
Pengelolaan:
1. Pemasangan umpan beracun
2. Pemanfaatan musuh alami seperti kucing, ular, burung elang.
6. KELAPA
a. Kumbang Janur Kelapa (Brontispa longissima)
Gejala serangan:
Larva dan serangga dewasa hidup di dalam lipatan anak daun pucuk
yang belum membuka, Larva menggerigiti dan mengorok kulit anak daun
secara memanjang membentuk garis-garis. Akibatnya daun tidak mau
membuka atau hanya membuka sedikit. Daun yang terserang mudah
menjadi kering serta salah bentuk. Dari jauh, pucuk pohon kelapa yang
terserang nampak kisut, keriting dan kering. Hal ini berpengaruh terhadap
produksi buah. Tandan yang akan berkurang jumlah buahnya terutama yang
berada di ketiak daun yang terserang tersebut.
Pengelolaan:
1. Cara mekanis dengan mengerat sedalam-dalamnya pucuk yang
terserang hama.
2. Pemanfaatan parasit larva Tetrastichus brontispae.
Pengelolaan:
1. Membersihkan semua tempat yang diduga menjadi tempat
perkembangbiakan hama. Membakar tanaman yang mati akibat
serangan hama.
2. Penggunaan jamur Metarhizium anisopliae
116
c. Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp)
Gejala serangan:
Larva merusak akar, batang dan tajuk tanaman muda. Pada tanaman
dewasa hanya tajuknya saja. Apabila menyerang tajuk, gerekan pada pucuk
dapat mengakibatkan patah pucuk dan jika larva mencapai titik tumbuh
berakibat tanaman tidak dapat menghasilkan daun baru. Dari liang gerekan
pada tanaman muda sering keluar lendir merah coklat.
Pengelolaan:
Serangan hama ini merupakan kelanjutan dari serangan kumbang
Oryctes, karena itu serangan Oryctes harus dihindari. Dijaga pula supaya
tidak terjadi luka-luka pada pohon kelapa. Secara preventif dengan
memotong tanaman yang telah terserang dan mengambil serangga
hamanya serta sanitasi kebun. Pemanfaatan parasit larva Scolia erratica dan
tungau buas yang menyerang kepompong dalam “kokonnya”.
Pengelolaan:
1. Pengelolaan telur dengan pengolahan tanah, bercocok tanam atau
pemberian insektisida ke dalam tanah.
2. Pengelolaan secara hayati dengan memanfaatkan parasit telur
Leefmansia bicolor dan Tetrastichus sp.
3. Apabila parasit tidak mampu lagi menekan peningkatn populasi, dapat
dilakukan injeksi batang dengan pestisida.
e. Artona catoxantha
Gejala serangan:
Ada tiga tingkat gejala serangan:
1. Gejala serangan titik. Ulat muda memakan jaringan anak daun bagian
bawah. Bekas yang dimakan menyerupai titik.
2. Gejala serangan bergaris. Ulat muda yang sudah lebih tua mengetam
lapisan anak daun bagian bawah setempat-setempat. Bekas ketamannya
seperti garis.
3. Gejala serangan pinggir. Ulat yang sudah dewasa memakan helaian
anak daun dari pinggir ke tengah, sehingga anak daun itu terpotong tak
teratur bagian pinggirnya.
Akibat serangan Artona, daun tua tampak kering berwarna merah-
coklat seluruhnya dan tinggal hijau segar hanya 2 atau 3 daun di pucuknya
saja. Serangan Artona tidak sampai mematikan pohon kelapa. Serangan
117
yang hebat menyebabkan buah termuda gugur, kemudian disusul oleh buah
muda yang agak besar, kelapa muda dan akhirnya buah-buah tua. Serangan
akan lebih hebat dan lama pengaruhnya saat awal musim kemarau.
Pengelolaan:
Secara mekanik dengan pemotongan pelepah daun tua pada periode
kepompong kemudian dibakar. Beberapa musuh alami yang dapat
mengendalikan hama ini Apanteles sp, Neoplecturs bicarinatus, Cadursia
leefmansia, Goryphus inferus. Secara kimiawi dilakukan dengan memberikan
insektisida sistemik melalui pengeboran batang atau pemotongan akar.
Untuk tanaman yang masih rendah dilakukan penyemprotan tajuk.
Pengelolaan:
Hama ini dapat dikendalikan oleh parasit Tetrastichus sp dan
Encarsia sp. Secara kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida sistemik
melalui suntikan.
Pengelolaan:
Bila hanya beberapa anak daun yang terserang, cukup dengan
membuang anak daun tersebut, bila seluruhnya sebaiknya pelepah
dipangkas dan dibakar. Kutu-kutu ini sulit dikendalikan dengan insektisida
karena tubuhnya ditutupi oleh lilin padat berbentuk perisai. Penggunaan
musuh alami seperti Chilocorus politus sangat efektif mengandalikan kutu
perisai.
118
Akibat serangan larvanya yang menggerek seludang mayang untuk
memakan bunga jantan dan betina, maka pada bekas liang gerekannya tadi
keluar sejenis getah yang berwarna kuning dan dapat dilihat dari bawah.
Bunga jantan akan menjadi hitam dan bunga betina mengeluarkan getah.
Kerusakan biasanya terjadi pada perbungaan di pangkal mayang. Mayang
yang terserang dapat sedikit menghasilkan buah, bahkan bila serangannya
berat sama sekali tidak menghasilkan buah.
Pengelolaan:
Dititikberatkan pada cara hayati dengan menggunakan Chelonus sp.
Dapat juga digunakan cara kimiawi dengan pelaburan seludang.
i. Tikus Pohon
Gejala serangan:
Hama tikus hidup di atas pohon dan sering merusak buah-buah
kelapa yang masih muda. Akibat serangan tersebut buah muda gugur.
Pengelolaan:
Karena populasinya umumnya rendah, jarang dilakukan pengendalian
secara khusus. Pada umumnya dikendalikan dengan menggunakan senapan
angin atau umpan racun.
j. Bajing
Gejala serangan:
Hama menyerang buah kelapa yang tua atau yang daging buahnya
telah tebal. Tiap ekor bajing dapat menghabiskan sebutir kelapa pada tiap
kali makan. Mereka membuat sarang di atas pohon yang terbuat dari sabut
pelepah kelapa atau aren dan daun-daun kering.
Pengelolaan:
Pada umumnya dilakukan dengan diburu menggunakan senapan
angin.
B. PASCA PANEN
1. BERAS
a. Bubuk beras (Sitophilus sp)
Gejala serangan:
Larva berada dalam butiran, demikian pula kepompongnya. Serangga
dewasa yang muncul dari kepompong akan keluar dari butiran-butiran beras
sehingga mengakibatkan butir-butir beras berlubang. Selain itu, komoditas
yang terserang menjadi kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa
kulit larvanya.
119
b. Kupu-kupu beras (Corcyra cephalonica)
Gejala serangan:
Ulat akan menggandeng-gandeng butir-butir beras dengan benang
liurnya. Ulatnya hidup di dalam gendengan beras tersebut dan menggerek
dari dalam.
2. Biji-bijian
a. Kumbang tepung (Tribolium sp)
Gejala serangan:
Jenis komoditas yang diserang antara lain tepung, kacang tanah,
beras, dan kopra. Material yang berbentuk biji-bijian bila diserang akan
berlubang-lubang, sedangkan material yang berbentuk tepung akan
kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa kulit larva.
3. Umbi-umbian
a. Cylas formicarius
Gejala Serangan:
Umbi yang terserang terdapat lubang dan membuat lorong gerekan.
Apabila serangan masih baru biasanya dari lubang tersebut keluar sisa
gerekan berwarna keputih-putihan. Lama-kelamaan di sekitar lubang
menjadi busuk. Apabila umbi tersebut dibelah maka akan tampak lubang-
lubang serta jalur-jalur bercabang-cabang. Akibatnya ubi akan terasa pahit.
120
4. Tembakau
a. Lasioderma serricorne
Gejala serangan:
Hama ini dikenal dengan sebutan “cigarette beetle” karena kumbang
ini merupakan hama penting pada simpanan tembakau dan cerutu. Pada
awalnya serangga dewasa meletakkan telur di antara bahan (tembakau) dan
setelah menetas langsung membuat rongga dan merusak bahan. Komoditas
yang terserang akan mengalami kerusakan dengan adanya bekas gerekan
larva sehingga akan menurunkan kualitas tembakau atau cerutu.
121
Fumigasi merupakan suatu cara Pengelolaan hama menggunakan fumigan.
Cara ini tidak dapat dipakai sebagai tindakan preventif karena setelah gas
hilang tidak mempunyai efek residu terhadap hama sehingga kemungkinan
reinfestasi hama sewaktu-waktu dapat terjadi. Fumigasi lebih bersifat
eradikatif.
5. Di gudang tembakau biasanya digunakan lampu perangkap berwarna merah
karena hama Lasioderma sp tertarik dengan cahaya merah.
122
bukudiktathamadanpenyakittanaman-130302221720-phpapp02.doc
Materi 12
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami latar belakang sejarah perkembangan PHT di
Indonesia
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan SLPHT
3. Mempelajari dan memahami penerapan PHT sebagai kebijakan perlindungan
tanaman nasional
Materi:
LANDASAN HUKUM
Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan atau landasan
hukum yang berkaitan dengan kegiatan Perlindungan Tanaman. Yang dimaksud
peraturan perundang-undangan di sini meliputi:
• Undang-Undang (disyahkan oleh DPR dan Pemerintah),
• Peraturan Pemerintah (disyahkan oleh Pemerintah/Presiden dengan
pemberitahuan pada DPR)
• Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden yang dikeluarkan dan
ditandatangani oleh Presiden
• Keputusan Menteri Pertanian dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri
Pertanian
Peraturan-peraturan yang tingkatannya di bawah KepmenTan mulai dari
Peraturan Direktorat Jenderal sampai Peraturan Daerah tidak akan dibahas.
123
Semua kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia baik yang dilaksanakan
oleh Pemerintah, petani maupun masyarakat harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan tersebut, termasuk pasal-pasal mengenai Tindakan Pidana
yang diberlakukan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau yang tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
SEJARAH PHT SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL
Dilihat dari sejarah, PHT dalam kebijakan perlindungan tanaman telah lama
dibahas dan disarankan oleh para pakar perlindungan tanaman kepada
Pemerintah. Sejak tahun 1970 Komisi Perlindungan Tanaman telah mendesak
Pemerintah untuk menerapkan PHT dalam setiap program perlindungan tanaman.
Namun karena Pemerintah masih asyik melaksanakan program BIMAS dengan
Panca Usaha Tani dimana pada usaha ke-4 (Pengendalian Hama dan Penyakit)
lebih mengutamakan penggunaan pestisida kimia, maka usulan Komisi
Perlindungan Tanaman kurang diperhatikan. Saran para pakar tentang penerapan
PHT baru diperhatikan Pemerintah setelah terjadi letusan wereng coklat yang
menyerang tanaman padi seluas hampir 1 juta hektar pada tahun 1979-1980.
Akhirnya pada tahun 1986 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 3/1986
yang terdiri atas banyak butir, yang paling penting diantaranya:
1. Pengendalian hama wereng coklat padi dengan prinsip PHT, antara lain dengan
penanaman VUTW, tanam serentak, pergiliran tanaman, penggunaan pestisida
kimia secara selektif terutama yang berbahan aktif buprofezin (kelompok IGR)
2. Sebanyak 57 formulasi pestisida kimia dinyatakan dilarang digunakan untuk
pengendalian hama padi.
3. Para petugas lapangan dan petani harus ditingkatkan kemampuannya dalam
menerapkan PHT melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan.
125
PERLINDUNGAN TANAMAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT
PELAKSANAAN SLPHT
127
5. Kemampuan dan kepercayaan diri petani terhadap konsep dan teknologi PHT
meningkat
6. Keuntungan usaha petani meningkat.
Sayangnya saat ini perhatian Pemerintah terhadap tindak lanjut program
pelatihan SLPHT Pangan menurun karena diserahkan kepada pembiayaan
Pemerintah Daerah, sedangkan kegiatan SLPHT Perkebunan masih berjalan
sampai akhir 2005. Jumlah petani yang telah mengikuti SLPHT masih terlalu kecil
dibandingkan dengan jumlah petani pangan dan perkebunan di Indonesia yang
bekisar antara 30-40 juta.
Pasal 3
1) Izin yang dimaksudkan diberikan sebagai IZIN TETAP, IZIN SEMENTARA atau
IZIN PERCOBAAN
2) Izin sementara dan izin percobaan diberikan untuk jangka waktu 1 tahun
3) Izin tetap diberikan untuk jangka waktu 5 tahun, dengan ketentuan bahwa izin
tersebut dalam jangka waktu itu dapat ditinjau kembali atau dicabut apabila
dianggap perlu karena pengaruh samping yang tidak diinginkan.
Meskipun sudah ada UU No. 12 Tahun 1992 dan PP 6 Tahun 1995 yang di
dalamnya juga mengandung pengaturan tentang pestisida, namun PP No.7 Tahun
1973 belum dicabut sehingga masih diberlakukan sampai saat ini. Mengenai
pengaturan pestisida UU No. 12/1992 menyatakan bahwa:
“Pestisida yang akan diedarkan dalam wilayah Negara RI wajib terdaftar, memenuhi
standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup,
serta diberi label”
128
“Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan, peredaran serta
penggunaan pestisida”.
130
LAMPIRAN I
131
%
7. Leptocoryza acuta 20 rumpun / petak 10 nimfa
8. Orseolia oryzae 20 rumpun / petak 2 telur/rumpun
2. Kedelai
132
b. Fase vegetatif : 1 imago
c. Sebelum 45 hst :
kerusakan sebesar > 2
% / 20 rumpun acak
d. Umur tanaman 45 hst,
ditemukan serangan
sebesar 2 % (Balittan
Malang)
4. Nezara viridula 10 rumpun a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau - 1
pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong > 2,5
%
c. Umur tan 71 hst –
panen : 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 3 ekor kepik /
5 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
5 Piezodorus hybneri a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau
- 1 pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong >
2,5 %
c. Umur tan 71 hst –
panen : 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 3 ekor kepik /
5 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
6 Riptortus linearis a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau
- 1 pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong >
2,5 %
c. Umur tan 71 hst – panen
: 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 1 ekor kepik /
133
4 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
7. Etiella zinckenella 10 rumpun / petak a. Pertumbuhan polong (51 –
70hst) : 1 pasang atau 1
ekor dan polong terserang
> 2,5 %
b. Umur tanaman 45 hst , bila
terdapat serangan rata-
rata 2 % (Balittan Malang)
8. Ophiomyia (Agromyza) 30 rumpun / petak a. Umur tan. (tanam – 10
phaseoli hst) : 2 ekor atau 2,5 %
tanaman terserang
b. Umur tan. Sebelum 10 hst :
kerusakan > 2 %
c. Terdapat serangan 2 %
atau adanya 1 ekor lalat /
5m baris tanaman (Balittan
Malang, 1991)
9. - Lamprosema indicata 10 rumpun / petak a. vegetatif (11-30 hst) :
- Plusia chalcites kerusakan daun sebesar 25
% atau ditemukan 30 larva
b. Umur tan. (31-50 hst) :
kerusakan daun sebesar
12,5 %
c. Umur tan (51 – 70 hst) :
kerusakan daun sebesar
12,5 %
d. Terdapat kerusakan daun
sebesar 12,5 % atau
ditemukan 15 ulat (Balittan
malang,1991)
10. Melanogromyza sojae 10 rumpun / petak a. Umur tanaman kurang dari
10 hari kerusakan sebesar
>2%
b. Umur tanaman 0-30 hst :
terdapat serangan > 2 %
11. Spodoptera litura 12 rumpun / petak a. 58 larva instar 1
b. 32 larva instar 2
c. 17 larva instar 3 (Ditlin)
d. 4 larva / 12 rumpun yang
berdekatan
e. Terdapat kerusakan daun
sebesar 12,5 % atau 15
larva / 20 rumpun (Balittan
Malang, 1991)
134
Lampiran 2
Daftar tumbuhan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati
Bagian yang
No Nama Spesies Nama Umum Nama Daerah
digunakan
1 Achalypha indica Indian nettle Rumput bolong Daun, kulit
2 Acarus columus Delinggo Daun
3 Allium cepa Red onion Bawang merah Daun
4 Allium sativum Garlic Bawang putih Daun
5 Andropogon nordus Citronella Serai wangi Daun
6 Annona muricata Sirsak Daun, biji
7 Annona reticulata Custard apple Buah nina Kulit, buah
8 Annona squamosa Sugar apple Srikaya, delima Akar, buah
9 Azadirachta indica Neem tree Nimba Seluruh bagian
Bischo Bischofia javanica
10 Glintungan Daun
11 Chrysantemum sp. Chrysant Piretrum Bunga
12 Cinnamomum burmanii Cinnamon leaf Kayu manis Daun, kulit, buah
13 Citrus aurantium Sour orange Jeruk Daun
14 Citrus hystrix Lemon Jeruk purut Daun, kulit, buah
15 Cocos nucifera Coconut Kelapa Daging
16 Coleus sp. Daun jinten Daun
17 Coriandum sativum Ketumbar Biji
18 Croton triglium Kamalakian Biji
19 Crynura sp. Beluntas Cina Daun
20 Cucumis sativus Cucumber Mentimun Daun
21 Cucurbita moschata Labu besar Daun, biji
22 Cymbopogon sp. Lemon grass Serai dapur Daun
23 Dahlia sp. Frenchmarigold Dahlia Daun
24 Derris elliptica Tuba Akar
25 Derris malaccensis Tuba laut Akar
26 Eclipta alba Urang aring Akar, tangkai
27 Eugenia syzigium Clove Cengkeh Daun, bunga
28 Eunymus japonicus Spindle tree Kumbang Daun
29 Eupatorium triplinerpe Ayapana Daun
30 Ficus carca Fong tree Daun
31 Geranium sp. Daun ambrei Daun
32 Hedera nodosa Pepaya hutan Daun
33 Impatiens sultani Zingiber balsam Pacar air Daun
135
34 Ipomea batatas Batate, patate Ubi jalar Daun
35 Lonchocarpus nicou Timbo, neku Akar
36 Lycopercicum sp. Leunca, komir Seluruh bagian
37 Mammea Americana Mamey Akar, ubi, kulit
38 Mundulae suberosa Mundula Kulit, akar, batang
39 Nerium oleander Common oleander Oleander, jure Akar, kulit, batang
40 Nicotiana tabaccum Tobacco Tembakau Daun
41 Oxalis deppei Lucky clover Celincing Daun
42 Pachyrrhyzus erosus Chinesse yan Bengkuang Seluruh bagian
43 Pangium edulo Kapayang Dahan, daun
44 Pelargonium sp. Geranium Keranyam Daun, batang
45 Peperomia sp. Saladaan Daun
46 Piper nigrum Black pepper Lada Biji
47 Pogostemon cablin Cublin Nilam Daun
48 Punica granatum Ponegranate Delima Daun
49 Ricinus communis Costa bean Jarak, kaliki Biji
50 Rosa sp. Mawar Daun
51 Sepindus rarak Rerek, lerek Daun
52 Solanum tuberosum Iris potato Kentang Daun
53 Tephorisa vogelii Vogel teprosia Daun, biji
54 Zingiber officinale Ginger Jahe Rimpang
Sumber : DirJen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian
136