Intrapreneurship Kelola Grup
Intrapreneurship Kelola Grup
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TEMUAN
KML 1.0
"Jadi, 15 atau 20 tahun yang lalu, Pak Nadjikh punya mimpi besar, yakni berawal dari
perusahaan kelas teri dan harapannya bisa menjadi kelas kakap dan menggurita. Dan,
terbukti sekarang sudah kelihatan milestone-nya."
"Inilah suatu mimpi yang saya rasa akan terjadi dan di 2030 akan menjadi global food
companies. Itulah beberapa mimpi KML Food dan CEO kami."
(Ajar, Dir HRD Kelola Group).
Sumber: https://kumparan.com/swaonline/kelola-mina-laut-mencetak-pimpinan-dari-internal-demi-
menjaga-etos-kerja-1543900415625107495/3
Untuk mewujudkan visi dan mimpinya itu, tentu saja KML Food harus mengelola
SDM-nya dengan baik. Itu sebabnya, perusahaan ini membangun talent management dan
selalu berupaya mencetak pimpinan puncak perusahaan dari dalam.
"Kami lakukan developing leaders from within, pimpinan puncak kami pun yang betul-betul
kami develop dan fresh from the oven, yakni masuk dari KML semenjak fresh graduate
melalui Management Trainee Development Program."
(Ajar, Dir HRD Kelola Group).
Sumber: https://kumparan.com/swaonline/kelola-mina-laut-mencetak-pimpinan-dari-internal-demi-
menjaga-etos-kerja-1543900415625107495/3
Hal tersebut juga terkonfirmasi dari hasil wawancara dengan salah seorang pegawai
Kelola Grup yang diwawancara, yang menjelaskan bahwa:
2.2. Apa saja dan jelaskan faktor-faktor penghambat dan peluang dari
Intraprenenurship di Indonesia pada saat ini?
2.2.1. Faktor Penghambat Intrapreneurship di Indonesia
Menurut Hisrich (2005) Intrapreneurship merupakan kewirausahaan yang ada di
dalam struktur bisnis yang ada, yang dapat menjembatani kesenjangan antara ilmu
pengetahuan dan pasar. Bisnis yang ada telah memiliki sumberdaya keuangan, kemampuan
usaha, sistem pemasaran dan distribusi untuk memasarkan inovasi yang ada dengan sukses.
Namun terkadang struktur perusahaan yang terlalu birokratis, menekankan pada profit
jangka pendek, dan rumitnya struktur organisasi dapat mengahambat kreatifitas dan
pengembangan produk atau usaha.
Sykes and Block (1989) menyarankan beberapa praktik manajemen perusahaan yang
menjadi kendala utama dalam mengembangkan intrapreneurship perusahaan, yaitu
manajemen kinerja: reward and punishment. Rekomendasi lainnya adalah perusahaan harus
menilai, memilih, dan “mengambil” risiko yang mampu mereka hadapi dan menjadikannya
sebagai peluang untuk pengembangan bisnis. Dan yang paling penting, perlunya sebuah
'lingkungan' di dalam perusahaan yang mendukung kegiatan kewirausahaan perusahaan.
Lingkungan yang dimaksud serupa dengan budaya perusahaan, yang meliputi dukungan
manajemen, insentif, struktur organisasi, pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, dan
pengambilan risiko. Elemen-elemen tersebut diperlukan untuk mengembangkan lingkungan
intrapreneurial.
Dengan demikian, faktor budaya dapat menciptakan lingkungan dan atmosfer kerja
yang mendukung praktik intraprenership tumbuh subur dan menjadi gaya hidup dalam
lingkungan kerja. Lingkup budaya yang dimaksud meliputi dukungan manajemen, insentif,
struktur organisasi, pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, dan pengambilan risiko.
Jika manajer merasa atmosfer dalam organisasi mereka tidak mendukung upaya
mereka, intrapreneurship tidak akan mungkin tidak terjadi. Dan sebaliknya, jika manjemen
sangat mendukung karyawan untuk berinovasi, mengambil risiko secara terukur dengan
sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan, serta struktur organisasi yang ringkas dan tidak
birokratis dan tersedianya reward/insentif bagi karyawan dengan sikap kewirausahaan yang
baik, maka intrapreneurship akan tumbuh dalan organisasi bisnis tersebut.
Sejauh analisis yang dilakukan, faktor budaya dan lingkungan, dalam aspek dukungan
manajemen dan pengambilan risiko dalam Kelola Group justru sangat memberikan ruang dan
atmosfer yang kondusif dalam terbentuk dan berkembangnya intreprenenurship di Kelola
Group. Seperti keterangan narasumber (M. Naufal) yang menjelaskan bahwa:
“Karena Kelola Group Bisnis berbasis sumberdaya alam, maka manajemen memberikan
kepercayaan penuh kepada staf pembelian untuk mencari dan mengembangkan jaringan
bahan baku lebih luas. Contoh: pembukaan jaringan nelayan di Pulau Dobo, diinisiasi
oleh staf pembelian.”
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)
Aspek pengelolaan insentif, struktur organisasi, dan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki,
juga dipraktikkan di Kelola Group, sesuai hasil wawancara yang menjelaskan bahwa:
(1) Manajemen puncak memberikan ruang pengembangan diri kepada SDM yang dinilai
(dari talent pool) pada posisi yang lebih tinggi. Misalnya: Staff Finance dipercaya
menjadi Factory Manajer. Staff Management Trainee, setelah lulus masa percobaan
dipercaya menjadi Manajer Unit.
(2) Manajemen melaksanakan rotasi secara berkala pada jajaran staf manajer.
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)
Salah satu cara untuk membaca “pemikiran” pimpinan puncak membawa arah
perusahaan adalah melalui visi misi perusahaan. Kelola Group telah mengalami beberapa
transformasi visi dengan semakin berkembanganya skala usaha dan jangkauan pasarnya,
dengan progress yang senantiasa bertumbuh eksponensial. Pada gambar 2, terkonfirmasi
bagaimana visi misi tersebut menjadi alat pimpinan puncak menentukan arah kebijakan
perusahaan dengan merespon perubahan lingkungan yang terjadi.
Setelah bisnis berhasil mencapai visinya, perusahaan tersebut akan memperbarui
visinya untuk mencapai tujuan lain yang lebih besar. Karena visi yang baik mengandung
dimensi “terukur” sekaligus “menantang”. “A vision is about stretching the organization’s
reach beyond its grasp.” Visi harus dibuat lebih tinggi daripada ukuran kemampuan
organisasi semestinya. Analoginya, visi itu seperti melatih renang seseorang yang belum bisa
berenang. Perlu disediakan kolam yang cocok sesuai usia sehingga memperkecil risiko
tenggelam. Namun jangan menyuruh orang dewasa berlatih renang di kolam anak-anak.
Karena itu tidak akan membuat orang dewasa tersebut memiliki kemampuan berenang.
Kelola Group selalu mentransformasi visi misi perusahaannya untuk terus berkembang.
Apakah terjadi bias gender pada perusahaan tersebut dikaitkan dengan intraprenerial
minds yang saudara ketahui?
DAFTAR PUSTAKA
Alvesson, M., & Sveningsson, S. (2008). Changing organizational culture: Culturechange.
Work in progress. London, New York: Routledge.
Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2003). Organization development and change (8thed.,
pp. 1–694). California: Melissa S. Acuna.
Deloitte. (2015). Disrupt, Available at:
https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/us/Documents/risk/us-risk-deloitte-
ondisruption-interior-101714.pdf [Accessed 20 December 2020].
Dhillon, R., Nguyen, Q. (2020). Strategies to Respond to a VUCA World: a review of
Existing Knowledge. Department of Business Administration: Lunds Universitet.
Friedman, T. L. (2016). Thank You for Being Late: An Optimist's Guide to Thriving In The
Age Of Accelerations, First edition, New York: Farrar, Straus and Giroux.
Gandhi, L. (2017). Human Resource Challenges in VUCA and SMAC Business
Environment, ASBM Journal of Management, 10(1), pp. 1–5.
Hayward, W S. (2021). Intrapreneurship: a new Lens on Developing Capability in the Rising
Generation.
Hussain ST, Lei S, Akram T, Haider, MJ, Ali, M. (2018). Kurt Lewin’s Change Model: A
Critical Review of The Role of Leadership and Employee Involvement in
Organizational Change. Journal of Innovation and Knowledge 3 (2018) pp. 123-127.
Luecke, Richard. (2003) . Managing Creativity and Innovation. Boston : Harvard Business
School Publishing Corporation
Laura, L. P., & Stephen, G. G. (2002). Leadership self efficacy and managers’ motivationfor
leading change. Journal of Organizational Behavior, 23(2), 215–235.
MacMillan, I. C., Z. Block and P. N. Subba Narasimha. (1986). Corporate venturing:
Alternatives, obstacles encountered, and experience effects. Journal of Business
Venturing, 1 177-191.
Mangundjaya, W.L.H, Utoyo, DB., Wulandari, P. 2015. The Role of Leadership and
Employee’s Condition on Reaction to Organizational Change. Global Conference on
Business & Social Science-2014, GCBSS-2014, 15th &16th December, Kuala
Lumpur.
Moran, J. W., & Brightman, B. K. (2001). Leading Organizational Change. Career
Development International, 6 (2), 111-118.
Nirmala, A. (2020). Grace Tahir, Ini Kiprah Anak Kedua Konglomerat Tahir Pemilik
Mayapada - Entrepreneur Bisnis.com. [diakses pada 31 Oktober 2021].
Northouse, P. (2004). Leadership: Theory and practice (3rd ed.). Thousand Oaks, CA:Sage.
Körprich, M W., Weber, S., Bley, S., Kreuze, C. (2017). Intrapreneurship Competence as a
Manifestation of Work Agency: A Systematic Literature Review. Springer.
Zahra, SA., Jennings, D F., Kuratko, DF. (1999). The Antecedents and Consequences of
Firm-Level Entrepreneurship. The State of the Field. Entrepreneurship Theory and
Practice, Winter 1999, 45-65.
Miller, D. (1983) The Correlates of Entrepreneurship in Three Types of Firms. Management
Science, Vol. 29, No. 7, 770-791., 97-106.
Peterson, R., Berger, D. (1972) Entrepreneurship in organizations. Administrative Science
Quarterly, 16.
Pinchott, G. (1985). Intrapreneuring. New York: Harper & Row.
Van Ossten, E. B. (2006). International change theory at the organizational level: Acase
study. Journal of Management Development, 25, 707–717.
Zarkasyi, MR. 2020. Entrepreneurship Intrapreneurship untuk Kemandirian dan Kelestarian
Bisnis. Ponorogo: UNIDA Gontor Press.