Anda di halaman 1dari 11

Intrapreneurship Kelola Group

BAB 1
PENDAHULUAN

Lingkungan bisnis dewasa ini dihadapkan pada perubahan yang terus-menerus


sebagai akibat dari cepatnya perubahan tekhnologi, ketatnya persaingan global (Ireland &
Webb, 2009). Bahkan semakin hari, kondisi menjadi sangat tidak pasti, bergejolak, dengan
perubahan dramatis yang terjadi sehari-hari (Deloitte, 2015; Friedman, 2016). Para
cendekiawan, dunia bisnis dan pers, sering menggambarkan kondisi tersebut dengan akronim
VUCA, yang merupakan singkatan dari volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan
ambiguitas (Dhillon, R., Nguyen, Q, 2020). Dunia VUCA yang selanjutnya dianggap sebagai
“new normal” dunia bisnis (Gandhi, 2017), karena tidak menjamin sebuah perusahaan besar
dan konglomerasi bisnis sekalipun bertahan di era VUCA yang sangat disruptif ini. Tidak
sedikit contoh perusahaan besar yang harus angkat kaki, misalnya saja Kodak, MySpace,
Bluebird, Nokia, dan beberapa nama besar lainnya yang mendadak bangkrut karena
perubahan-perubahan dramatis yang terjadi.
Karena kondisi lingkungan bisnis menjadi semakin VUCA, perusahaan-perusahaan
besar maupun perusahaan rintisan di seluruh dunia ditantang untuk tetap bertahan bahkan
mengambil peluang yang ada untuk perkembangan bisnisnya. Meski demikian, survei
Deloitte (2017) mengungkapkan bahwa meskipun menyadari betapa sangat bergejolak dan
tidak pastinya dunia bisnis saat ini berkembang, organisasi merasa "tidak cukup siap" untuk
merespons secara efektif terhadap dinamika ini lingkungan. Dunia yang dicirikan oleh VUCA
mungkin membawa banyak kebingungan dan ketakutan. Namun, Pemimpin tidak boleh
berdiam diri dan pasif terhadap perubahan ini sebagai dinamika juga memberikan peluang
bisnis baru (Johansen & Euchner, 2013). Oleh karena itu, dengan transisi menuju “normal
baru”, para pemimpin dan manajer bisnis perlu bertransformasi dan mengembangkan sebuah
pendekatan strategis ke dunia VUCA untuk memposisikan organisasi agar dapat meraih
kesuksesan jangka panjang.
Salah satu perusahaan yang berinovasi lincah dan berkembang pesatr adalah PT.
Kelola Mina Laut (KML) yang kini bertransformasi menjadi Kelola Group. Cikal bakal KML
Food yang dididrikan pada 17 Agustus 1994 oleh Mohammad Nadjikh berawal dari
pengolahan ikan teri nasi (chi rimen) yang sangat sederhana di Desa Sobontoro, Tuban,
dengan pasar ekspor Jepang. Saat ini, KML Food telah berkembang menjadi salah satu
perusahaan pengolahan pangan terpadu di Indonesia. Dengan semangat inovasi dan
entrepreneurship yang terus dilakukan, KML food menangkap peluang bisnis yang dapat
dikembangkan dari bisnis vegetable, industry penangkapan, pengumpulan dan perdagangan
ikan, pemasaran dan distribusi pasar domestic, seasoning (bumbu), yang dikembangkan
secara terpadu dari hulu ke hilir dengan menerapkan supply chain management, value chain
management, marketing and branding yang bersaing secara global (Diredja, 2020). Maka tak
heran, julukan “Berawal dari kelas teri, naik jadi kelas kakap yang menggurita” sangat
lekat dengan Kelola Group.
Dari uraian tersebut, maka makalah ini mengangkat beberapa pertanyaan sebagai
bahan diskusi:
1. Bagaimanakah implementasi dari kewirausahaan internal pada perusahaan bisnis
tersebut?
2. Apa saja dan jelaskan faktor- faktor penghambat dan peluang dari kewirausahaan
internal di Indonesia pada saat ini?
3. Bagaimanakah peran pemimpin puncak perusahaan dalam menerapkan
kewirausahaan internal tersebut dikaitkan dengan organizational change?
4. Apakah terjadi bias gender pada perusahaan tersebut dikaitkan dengan intraprenerial
minds yang saudara ketahui?

BAB 2
TEMUAN

2.1. Implementasi Intraprenership Mental Process dalam Kelola Group.


Inovasi adalah faktor kunci untuk pertumbuhan ekonomi, terutama didalam ekosistem
VUCA World yang semakin disrupif. Karena perubahan semakin dramatais, makas
dibutuhkan inovasi yang dramatis pula. Hal itu membuat kebutuhan akan keterampilan baru,
dimana pasar tenaga kerja menunjukkan perubahan minat akan karyawan yang berorientasi
kewirausahaan, yang disebut intrapreneur. Dengan kata lain, Intrapreneur dapat dimaknai
sebagai karyawan yang berpikir dan bertindak seperti wirausaha. Intrapreneurship ini
merupakan keterampilan abad ke-21 yang penting (Körprich, et al., 2017).
Seperti yang kita pahami, bahwa intrapreneurship memiliki salah satu unsur utama,
yaitu perilaku inovatif, yang dimaknai sebuah proses berpikir untuk mewujudkan,
mengkombinasikan, atau mematangkan suatu pengetahuan/gagasan ide, yang kemudian
disesuaikan guna mendapat nilai (value) baru dalam praktik organisasi (Körprich, et al.,
2017; Luecke, 2003). Sejalan dengan konsep tersebut, Pinchott (2010) menggagas konsep
Intrapreneurship yaitu mencakup tindakan individu atau/dan tindakan tim yang berperilaku
secara kewirausahaan, untuk melayani kepentingan perusahaan dan rantai pasokan yang
sangat besar, dengan atau tanpa bantuan resmi. Dasar dari intrapreneurship adalah mengenali
peluang, memanfaatkannya dan percaya bahwa memanfaatkan peluang dengan cara baru
yang menyimpang dari praktik sebelumnya akan berhasil dan mendukung realisasi tujuan
organisasi. (Heinonen, 1999)
Penelitian tentang sifat, prasyarat, dan efek aktivitas kewirausahaan tingkat
perusahaan telah berkembang selama 25 tahun terakhir. Studi Peterson dan Berger tentang
kewirausahaan dalam organisasi (1972) berusaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor
organisasi dan lingkungan yang mempengaruhi kegiatan kewirausahaan perusahaan. Studi
Miller pada tahun 1983 adalah titik balik utama dalam penelitian tentang kewirausahaan
tingkat perusahaan. Setelah itu (Zahra, et al.. (1999) melakukan penelitian menggunakan
teori dan instrumen penelitian Miller untuk menguji keterkaitan antara variabel lingkungan,
strategis, dan organisasi, dan aktivitas kewirausahaan perusahaan. Heinonen, J dan Kaisu, K.,
(2003) menyusun prasyarat, phenomena, serta hasil intrepreneurship dalam bagan berikut:

Gambar 1. Prasyarat, Indikator Fenomena, dan Hasil Intraprenenurship


Sumber: Heinonen, J dan Kaisu, K., (2003)
Dari konsep diatas, pembahasan dalam subbab ini akan difokuskan pada indicator
dalam fenomena Intrapreneurship, yaitu Innovation for value creation, dan (2) Strategic
Renewal (pembaruan strategi) yang terimplementasi dalam Kelola Group. Sejatinya, KML
Food yang didirikan Mohammad Nadjikh (CEO KML Food) pada 1994 ini berawal dari
bisnis teri. Selama lima tahun ia geluti bisnis ini, akhirnya dipercaya oleh pasar Jepang.
Setelah lima tahun, KML Food masuk ke bisnis ikan dan gurita. KML Food kemudian masuk
juga ke bisnis perkapalan. Kini KML Food memiliki visi: menjadi the most integrated and
the most competitive company di Indonesia. Perusahaan ini juga ingin menjadi Kitchen of
Indonesia pada 2020.
Kelola Group telah mengalami beberapa transformasi visi dengan semakin
berkembanganya skala usaha dan jangkauan pasarnya, dengan progress yang senantiasa
bertumbuh eksponensial. Pada gambar dibawah ini Anda dapat melihat visi PT. Kelola Group
dan milestone perusahaan sejak didirikan tahun 1994 hingga tahun 2020.

KML 1.0

1994Mohammad Nadjikh built Anchovy Processing


Company named PT. Kelola Mina Laut for Japan's
KMLmarket,
1.0 in Sobontoro, Tambakboyo - Tuban, East Java.
INTEGRATED
SEAFOOD
KML 2.0
INDUSTRIES
 KML Seafood built Fish and Cephalopods Processing Factories.
Established and Expanded to Gresik, Makassar, Kendari, Sidoarjo and
Luwuk.
1999
 2001: SHRIMP AND VALUE ADDED: KML Seafood developed
KML 2.0 Vanamai Shrimp product traditional fisherman as business partner.
 2003: CRAB MEAT: KML Seafood developed crab meat
INTEGRATED SEAFOOD
INDUSTRIES pasteurisation business raw material supplied from 65 Mini Plants,
throughout Indonesia.
 2005: VALUE ADDED: KML Seafood established Processing Factory,
Producting Value Added Products for export market.
2014  2010: SURIMI PROCESSING: KML Seafood established Surimi
KML 3.0 Processing Factory. Main raw material for Fish Ball and Fish Cake
Products.
INTEGRATED FOOD
INDUSTRY
KML 3.0

 2001: ACQUIRED AND ESTABLISHED: PT. KML


Ichimasa Foods, PT. Galih Estetika Indonesia, dan Prima
Star
2014  2015: ACQUIRED AND ESTABLISHED: PT. Maluku
KML 4.0 Prima Makmur, PT. Maluku Prima Sukses
GLOBAL FOOD  2015: LAUNCING: Kingbean Brand
COMPANY  2018: ESTABLISHED: PT. Kelola Mina Makmur, PT.
Kelola Mina Internasional, PT. Kirana Food Internasional,
dan Foodia.
 2015: ACQUIRED AND ESTABLISHED: PT. Kirana
Biotech International, PT. Tjandi Sewu Baru

Gambar x. Milestone dan Transformasi Visi PT.KML


Sumber: https://www.kelolagroup.com/
Selain dengan mengamati pembaruan visi misi perusahaan, dilakukan juga proses
studi literatur yang mengutip proses wawancara majalah SWA, dengan Ajar Siswandono,
Direktur Human Capital KML sebagai berikut:

"Jadi, 15 atau 20 tahun yang lalu, Pak Nadjikh punya mimpi besar, yakni berawal dari
perusahaan kelas teri dan harapannya bisa menjadi kelas kakap dan menggurita. Dan,
terbukti sekarang sudah kelihatan milestone-nya."
"Inilah suatu mimpi yang saya rasa akan terjadi dan di 2030 akan menjadi global food
companies. Itulah beberapa mimpi KML Food dan CEO kami."
(Ajar, Dir HRD Kelola Group).
Sumber: https://kumparan.com/swaonline/kelola-mina-laut-mencetak-pimpinan-dari-internal-demi-
menjaga-etos-kerja-1543900415625107495/3
Untuk mewujudkan visi dan mimpinya itu, tentu saja KML Food harus mengelola
SDM-nya dengan baik. Itu sebabnya, perusahaan ini membangun talent management dan
selalu berupaya mencetak pimpinan puncak perusahaan dari dalam.

"Kami lakukan developing leaders from within, pimpinan puncak kami pun yang betul-betul
kami develop dan fresh from the oven, yakni masuk dari KML semenjak fresh graduate
melalui Management Trainee Development Program."
(Ajar, Dir HRD Kelola Group).
Sumber: https://kumparan.com/swaonline/kelola-mina-laut-mencetak-pimpinan-dari-internal-demi-
menjaga-etos-kerja-1543900415625107495/3
Hal tersebut juga terkonfirmasi dari hasil wawancara dengan salah seorang pegawai
Kelola Grup yang diwawancara, yang menjelaskan bahwa:

“Manajemen Kelola Group mendorong SDM untuk memiliki intrapreneurship, melalui


beberapa program:
(1) Human capital melakukan "talentpool", untuk memetakan SDM.
(2) Manajemen puncak memberikan kepercayaan penuh kepada Bussines Manager
(General Manager) setiap unit usaha/anak perusahaan untuk mengambil kebijakan /
strategi bisnis secara terprogram
(3) Manajemen puncak memberikan ruang pengembangan diri kepada SDM yang dinilai
(dari talent pool) pada posisi yang lebih tinggi. Misalnya: Staff Finance dipercaya
menjadi Factory Manajer. Staff Management Trainee, setelah lulus masa percobaan
dipercaya menjadi Manajer Unit.
(4) Manajemen melaksanakan rotasi secara berkala pada jajaran staf manajer.
(5) Karena Kelola Group Bisnis berbasis sumber dayaalam, maka manajemen
memberikan kepercayaan penuh kepada staf pembelian untuk mencari dan
mengembangkan jaringan bahan baku lebih luas. Contoh: pembukaan jaringan
nelayan di Pulau Dobo, diinisiasi oleh staf pembelian.
(6) Manajemen menjalankan pengembangan SDM secara organik = kewirausahaan
internal, seperti mengisi pengembangan organisasi dari SDM yang telah bekerja
lebih dari 5th di KML
(7) Dalam perkembanganya, Kelola juga mengembangkan SDM secara anorganik =
hire karyawan profesional, untuk meningkatkan kompetisi karyawan yang ada”
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
Sumber: Data Primer, diolah)
Berdasarkan data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa terjadi proses strategic
renewal, yang digunakan oleh Kelola Group untuk menciptakan value creation dengan
menangkap peluang bisnis yang ada. Kedua komponen dalam fenomena intrapreneurship
terpenuhi.

2.2. Apa saja dan jelaskan faktor-faktor penghambat dan peluang dari
Intraprenenurship di Indonesia pada saat ini?
2.2.1. Faktor Penghambat Intrapreneurship di Indonesia
Menurut Hisrich (2005) Intrapreneurship merupakan kewirausahaan yang ada di
dalam struktur bisnis yang ada, yang dapat menjembatani kesenjangan antara ilmu
pengetahuan dan pasar. Bisnis yang ada telah memiliki sumberdaya keuangan, kemampuan
usaha, sistem pemasaran dan distribusi untuk memasarkan inovasi yang ada dengan sukses.
Namun terkadang struktur perusahaan yang terlalu birokratis, menekankan pada profit
jangka pendek, dan rumitnya struktur organisasi dapat mengahambat kreatifitas dan
pengembangan produk atau usaha.
Sykes and Block (1989) menyarankan beberapa praktik manajemen perusahaan yang
menjadi kendala utama dalam mengembangkan intrapreneurship perusahaan, yaitu
manajemen kinerja: reward and punishment. Rekomendasi lainnya adalah perusahaan harus
menilai, memilih, dan “mengambil” risiko yang mampu mereka hadapi dan menjadikannya
sebagai peluang untuk pengembangan bisnis. Dan yang paling penting, perlunya sebuah
'lingkungan' di dalam perusahaan yang mendukung kegiatan kewirausahaan perusahaan.
Lingkungan yang dimaksud serupa dengan budaya perusahaan, yang meliputi dukungan
manajemen, insentif, struktur organisasi, pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, dan
pengambilan risiko. Elemen-elemen tersebut diperlukan untuk mengembangkan lingkungan
intrapreneurial.
Dengan demikian, faktor budaya dapat menciptakan lingkungan dan atmosfer kerja
yang mendukung praktik intraprenership tumbuh subur dan menjadi gaya hidup dalam
lingkungan kerja. Lingkup budaya yang dimaksud meliputi dukungan manajemen, insentif,
struktur organisasi, pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, dan pengambilan risiko.
Jika manajer merasa atmosfer dalam organisasi mereka tidak mendukung upaya
mereka, intrapreneurship tidak akan mungkin tidak terjadi. Dan sebaliknya, jika manjemen
sangat mendukung karyawan untuk berinovasi, mengambil risiko secara terukur dengan
sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan, serta struktur organisasi yang ringkas dan tidak
birokratis dan tersedianya reward/insentif bagi karyawan dengan sikap kewirausahaan yang
baik, maka intrapreneurship akan tumbuh dalan organisasi bisnis tersebut.
Sejauh analisis yang dilakukan, faktor budaya dan lingkungan, dalam aspek dukungan
manajemen dan pengambilan risiko dalam Kelola Group justru sangat memberikan ruang dan
atmosfer yang kondusif dalam terbentuk dan berkembangnya intreprenenurship di Kelola
Group. Seperti keterangan narasumber (M. Naufal) yang menjelaskan bahwa:
“Karena Kelola Group Bisnis berbasis sumberdaya alam, maka manajemen memberikan
kepercayaan penuh kepada staf pembelian untuk mencari dan mengembangkan jaringan
bahan baku lebih luas. Contoh: pembukaan jaringan nelayan di Pulau Dobo, diinisiasi
oleh staf pembelian.”
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)

Aspek pengelolaan insentif, struktur organisasi, dan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki,
juga dipraktikkan di Kelola Group, sesuai hasil wawancara yang menjelaskan bahwa:
(1) Manajemen puncak memberikan ruang pengembangan diri kepada SDM yang dinilai
(dari talent pool) pada posisi yang lebih tinggi. Misalnya: Staff Finance dipercaya
menjadi Factory Manajer. Staff Management Trainee, setelah lulus masa percobaan
dipercaya menjadi Manajer Unit.
(2) Manajemen melaksanakan rotasi secara berkala pada jajaran staf manajer.
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)

Faktor yang menjadi penghambat dalam praktik Intrapreneurship di Kelola Grup


adalah:
“Kadang kala, kami merasa kurang percaya diri, saat pertama kali penugasan. Apalagi jika
memiliki keterbatasan pengetahuan atas tugas baru yang diberikan. Kami harus belajar
secara mandiri atas tantangan baru, tryal and error dalam beberapa aspek unit usaha,
karena belum banyak rool model kewirausahaan internal dalam bidang Agriculture”
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)

2.2.2. Peluang Pengembangan Intrapreneurship di Indonesia


Sekarang ini semua perusahaan besar memimpikan karyawan atau manajer yang
berjiwa intrapreneurship di dalam perusahaan mereka. Peluang praktik intrapreneurship di
Indonesia saat ini menurut hemat saya akan semakin banyak menjadi concern perusahaan-
perusahaan, termasuk Kelola Grup, karena perubahan lingkungan bisnis yang terjadi. Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnis
kian dramatis dan disruptif. Oleh karenanya, menurut Zarkasyi (2020), kesadaran terkait
intrapreneurship belakangan makin meningkat karena intraprenenurship dianggap sebagai
sebuah tools (alat) bagi perusahaan untuk menciptakan, mempertahankan daya saing dan
mempertahankan kelestarian, keberlangsungan bisnisnya.
Hasil wawancara juga memberi gambaran peluang lain dalam praktik
Intrapreneurship di Kelola Group, yaitu aspek perkembangan teknologi yang membantu
aktivitas proses bisnis, dan SDM terutama generasi muda yang sangat adaptif dan
technological saavy:
“Sekarang adanya teknologi informasi membnatu proses bisnis di Kelola drup melalui
aplikasi dan software misalnya, sehingga proses bisnis dapat berlangsung lebih cepat dan
efisien.”
Selain itu, Kelola Group percaya bahwa SDM merupakan sumberdaya yang sangat penting
bagi perusahaan. Kelola Group. Karyawan sekarang, millennial, cukup adaptif dan melek
teknologi. Perusahaan juga melakukan investasi kepada SDM secara jangka panjang dan
bertahap, mulai dari aspek ilmu bisnis, produksi, financial, dan strategi.
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)

2.3. Bagaimanakah peran pemimpin puncak perusahaan dalam menerapkan


kewirausahaan internal tersebut dikaitkan dengan organizational change?
Teori perubahan menggambarkan efektivitas organisasi yang dapat memodifikasi
strategi, proses, dan struktur mereka sebagai respon dari perubahan lingkungan bisnis
(Hussain et al., 2018; Mangundjaya, W., Utoyo, D,Wulandari, P., 2015). Manajemen
perubahan dalam konteks organizational change, didefinisikan oleh Moran dan Brightman
(2001) sebagai 'proses terus-menerus memperbarui arah, struktur, dan kemampuan organisasi
untuk melayani kebutuhan pelanggan eksternal dan internal yang terus berubah'. Perubahan
tidak tergantung pada ukuran dan usia tetapi terjadi secara menyeluruh di semua bisnis.
Dunia berubah sangat cepat, sehingga organisasi harus berubah dengan cepat untuk
perkembangan dan kelangsungan hidup organisasi (Alvesson & Sveningsson, 2008). Model
dan teori yang banyak berkembang, misalnya model Kurt Lewin’s Model, mendorong
perubahan dalam organisasi dan menggambarkan peran manajer dan pemimpin untuk
memantau, mengevaluasi, dan merencanakan perubahan menggunakan struktur untuk respons
cepat terhadap lingkungan internal atau eksternal dan meramalkan pola perubahan oleh
individu, produk, teknologi, dan pasar (Van Ossten, 2006).
Kepemimpinan didefinisikan oleh Northouse (2004) sebagai “suatu proses dimana
seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan bersama”. Studi
Cummings dan Worley (2003) menyajikan lima aktivitas kunci kepemimpinan dalam proses
perubahan, yaitu adalah memotivasi perubahan, menciptakan visi, mengembangkan
dukungan politik, mengelola transisi dan mempertahankan momentum.
Kepemimpinan dalam konteks perubahan dapat didefinisikan sebagai “proses
mendiagnosis di mana kelompok kerja sekarang, dan di mana perlu berada di masa depan,
dan merumuskan strategi untuk sampai ke sana. Kepemimpinan juga melibatkan penerapan
perubahan melalui pengembangan basis pengaruh dengan pengikut, memotivasi mereka
untuk berkomitmen dan bekerja keras dalam mengejar tujuan perubahan, dan bekerja dengan
mereka untuk mengatasi hambatan perubahan (Laura and Stephen, 2002).
“Manajemen puncak memberikan kepercayaan penuh kepada Bussines Manager (General
Manager) setiap unit usaha/anak perusahaan untuk mengambil kebijakan / strategi bisnis
secara terprogram”
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)

Kunci intrapreneurship di perusahaan besar yang mapan adalah kemampuan


kepemimpinan yang kuat. Pemimpin puncaklah yang harus mendiagnosis posisi organisasi
bisnisnya sekarang, apa saja perubahan yang dihadapi perusahaan, dan menentukan kemana
arah yang ingin dituju selanjutnya, mulai dari menyusun strategi bagaiamna tujuan itu dapat
diraih, hingga mengawasi strategi-strategi dilaksanakan. Peran pimpinan puncak juga sangat
menentukan kecepatan dari setiap proses pengambilan keputusan, termasuk kesiapan
menciptakan jiwa-jiwa kewirausahaan di dalam perusahaan.
“Para pimpinan pada banyak kesempatan memberikan kepercayaan yang lebih kepada
karyawan sehingga kami lebih percaya diri. Kami memiliki tim yang Solid, khususnya saat
menghadapi "Badai" bisnis”.
(M. Naufal, Karyawan Kelola Group)
(Sumber: Data Primer, diolah)

Salah satu cara untuk membaca “pemikiran” pimpinan puncak membawa arah
perusahaan adalah melalui visi misi perusahaan. Kelola Group telah mengalami beberapa
transformasi visi dengan semakin berkembanganya skala usaha dan jangkauan pasarnya,
dengan progress yang senantiasa bertumbuh eksponensial. Pada gambar 2, terkonfirmasi
bagaimana visi misi tersebut menjadi alat pimpinan puncak menentukan arah kebijakan
perusahaan dengan merespon perubahan lingkungan yang terjadi.
Setelah bisnis berhasil mencapai visinya, perusahaan tersebut akan memperbarui
visinya untuk mencapai tujuan lain yang lebih besar. Karena visi yang baik mengandung
dimensi “terukur” sekaligus “menantang”. “A vision is about stretching the organization’s
reach beyond its grasp.” Visi harus dibuat lebih tinggi daripada ukuran kemampuan
organisasi semestinya. Analoginya, visi itu seperti melatih renang seseorang yang belum bisa
berenang. Perlu disediakan kolam yang cocok sesuai usia sehingga memperkecil risiko
tenggelam. Namun jangan menyuruh orang dewasa berlatih renang di kolam anak-anak.
Karena itu tidak akan membuat orang dewasa tersebut memiliki kemampuan berenang.
Kelola Group selalu mentransformasi visi misi perusahaannya untuk terus berkembang.

Apakah terjadi bias gender pada perusahaan tersebut dikaitkan dengan intraprenerial
minds yang saudara ketahui?

DAFTAR PUSTAKA
Alvesson, M., & Sveningsson, S. (2008). Changing organizational culture: Culturechange.
Work in progress. London, New York: Routledge.
Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2003). Organization development and change (8thed.,
pp. 1–694). California: Melissa S. Acuna.
Deloitte. (2015). Disrupt, Available at:
https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/us/Documents/risk/us-risk-deloitte-
ondisruption-interior-101714.pdf [Accessed 20 December 2020].
Dhillon, R., Nguyen, Q. (2020). Strategies to Respond to a VUCA World: a review of
Existing Knowledge. Department of Business Administration: Lunds Universitet.
Friedman, T. L. (2016). Thank You for Being Late: An Optimist's Guide to Thriving In The
Age Of Accelerations, First edition, New York: Farrar, Straus and Giroux.
Gandhi, L. (2017). Human Resource Challenges in VUCA and SMAC Business
Environment, ASBM Journal of Management, 10(1), pp. 1–5.
Hayward, W S. (2021). Intrapreneurship: a new Lens on Developing Capability in the Rising
Generation.
Hussain ST, Lei S, Akram T, Haider, MJ, Ali, M. (2018). Kurt Lewin’s Change Model: A
Critical Review of The Role of Leadership and Employee Involvement in
Organizational Change. Journal of Innovation and Knowledge 3 (2018) pp. 123-127.
Luecke, Richard. (2003) . Managing Creativity and Innovation. Boston : Harvard Business
School Publishing Corporation
Laura, L. P., & Stephen, G. G. (2002). Leadership self efficacy and managers’ motivationfor
leading change. Journal of Organizational Behavior, 23(2), 215–235.
MacMillan, I. C., Z. Block and P. N. Subba Narasimha. (1986). Corporate venturing:
Alternatives, obstacles encountered, and experience effects. Journal of Business
Venturing, 1 177-191.
Mangundjaya, W.L.H, Utoyo, DB., Wulandari, P. 2015. The Role of Leadership and
Employee’s Condition on Reaction to Organizational Change. Global Conference on
Business & Social Science-2014, GCBSS-2014, 15th &16th December, Kuala
Lumpur.
Moran, J. W., & Brightman, B. K. (2001). Leading Organizational Change. Career
Development International, 6 (2), 111-118.
Nirmala, A. (2020). Grace Tahir, Ini Kiprah Anak Kedua Konglomerat Tahir Pemilik
Mayapada - Entrepreneur Bisnis.com. [diakses pada 31 Oktober 2021].
Northouse, P. (2004). Leadership: Theory and practice (3rd ed.). Thousand Oaks, CA:Sage.
Körprich, M W., Weber, S., Bley, S., Kreuze, C. (2017). Intrapreneurship Competence as a
Manifestation of Work Agency: A Systematic Literature Review. Springer.
Zahra, SA., Jennings, D F., Kuratko, DF. (1999). The Antecedents and Consequences of
Firm-Level Entrepreneurship. The State of the Field. Entrepreneurship Theory and
Practice, Winter 1999, 45-65.
Miller, D. (1983) The Correlates of Entrepreneurship in Three Types of Firms. Management
Science, Vol. 29, No. 7, 770-791., 97-106.
Peterson, R., Berger, D. (1972) Entrepreneurship in organizations. Administrative Science
Quarterly, 16.
Pinchott, G. (1985). Intrapreneuring. New York: Harper & Row.
Van Ossten, E. B. (2006). International change theory at the organizational level: Acase
study. Journal of Management Development, 25, 707–717.
Zarkasyi, MR. 2020. Entrepreneurship Intrapreneurship untuk Kemandirian dan Kelestarian
Bisnis. Ponorogo: UNIDA Gontor Press.

Anda mungkin juga menyukai