Anda di halaman 1dari 3

Secangkir Teh untuk Ayah

Sore itu hujan turun cukup lebat. Di ruang tamu rumahnya, Megan terlihat sibuk menggoreskan
pewarna pensil di atas kertas . Bocah 9 tahun itu mengalihkan pandangan ke arah pintu ketika
mendengar suara sepeda motor yang memasuki teras rumah dan ucapan salam yang ia hafal siapa
pemiliknya.
“Wa’alaikumussalam, Ayahhh!” Megan menyambar buku gambarnya kemudian berlari ke luar
rumah. Ia menghampiri Ayah dengan senyum yang merekah, sedangkan Ayah sibuk melepas jas
hujan yang sejak tadi dipakainya. Megan merentangkan kertas gambar itu dan menujukan
lukisan yang ia buat dengan bangga.
“Wah, bagus sekali, ini Megan yang buat?” tanya Ayah.
Megan mengangguk sebagai jawaban. Senyuman bocah perempuan itu semakin merekah
mendengar pujian Ayah. Setelah mengusap puncak kepala Megan, Ayah berlalu masuk ke
dalam rumah. Megan mengikuti langkah Ayah hingga Ayah memasuki kamar dan menutup pintu
rapat-rapat. Megan menunggu di depan pintu, berharap Ayah segera keluar dan bermain
bersamanya. Mungkin sedang berganti pakaian, pikirnya. Namun, sudah lebih dari setengah jam
ia menunggu tak ada tanda-tanda kemunculan Ayah.
“Ayah udah tidur, Megan selesaikan PR aja, ya?” Bunda berkata dengan lembut, kemudian
masuk ke dalam kamar dengan secangkir teh hangat di tangannya.
Megan menunduk, ia sedikit sedih mengalami hal itu. Sudah seharian penuh ia menunggu
kepulangan Ayah dari kantor, ia bahkan sudah merencanakan banyak hal untuk dilakukan
bersama Ayah. Namun, sekarang semua gagal. Megan berjalan lesu ke arah kamarnya sendiri.
***
Pagi harinya, Megan bersiap-siap untuk mengikuti pembelajaran daring. Ia sudah menyelesaikan
lukisannya tadi malam dan hari ini merupakan hari pengumpulan sekaligus penilaian lukisan
yang telah murid-murid kelas 3 SD Bakti Mulya buat. Megan menepuk dahi pelan, ia lupa
menyiapkan lukisannya. Gadis kecil itu berlari kecil menuju kamarnya untuk mengambil buku
gambar. Tanpa sengaja Megan melihat pintu kamar Ayah yang sedikit terbuka. Dengan rasa
penasaran, ia mengintip ke dalam kamar Ayah melalui sela-sela pintu.
Dahi Megan mengkerut heran, mengapa Ayah terus berbaring di atas ranjang sejak kemarin sore.
Bahkan selimut tebal menyelimuti seluruh tubuhnya. Seragam kantor yang tampak telah disetrika
tergantung rapi di dekat jendela. Biasanya Ayah sudah berangkat ke kantor sebelum Megan
bangun tidur, namun sekarang tidak.
“Hayo, ngintip apa kamu, Sayang?”
Megan sedikit terperanjat mendengar suara Bunda. Ia terkekeh, kemudian menggaruk kepalanya
yang sama sekali tidak gatal.
“Ayah kok enggak pergi ke kantor, Bun?” tanya Megan.
“Ayah lagi enggak enak badan, jadi libur dulu,” jawab Bunda sembari tersenyum.
“Tapi Ayah baik-baik aja, ‘kan?” Megan tampak khawatir mendengar jawaban Bunda.
“Kemarin sore Ayah kehujanan, jadi sekarang masuk angin, minum teh ini juga nanti sembuh.”
Bunda mengangkat secangkir teh hangat yang berada di tangannya.
Setelah mendengar penjelasan Bunda, Megan memasuki kamar kedua orangtuanya dan terlihat
Ayah yang menyeruput secangkir teh hangat tersebut.
“Ayah beneran bakal sembuh setelah minum teh itu?” tanya Megan sembari naik ke atas kasur.
Ayah tersenyum tipis lalu meletakan secangkir teh tersebut di atas nakas.
“Iya, Nak. Setelah minum ini dan dipijit sedikit nanti juga sembuh.”
“Kalau minum itu terus apa enggak akan sakit lagi?”
“Pasti, teh ini punya banyak manfaat. Oh ya, Megan enggak sekolah daring? Sudah jam 08.00.”
Ayah mengusap puncak kepala anak gadisnya.
Megan memahami perkataan Ayahnya dengan seksama, kemudian ia keluar dari kamar dan
memulai sekolah daringnya.
***
Hari berlalu, kondisi Ayah sekarang sudah sehat. Megan sangat senang mendengarnya, karena
jika Ayah sakit, Megan merasa sedih. Waktu menunjukan pukul 15.45, itu berarti sebentar lagi
Ayah akan pulang dari kantor. Dengan sigap Megan menuju dapur dan membuat secangkir teh
seperti yang dibuat Bunda ketika Ayah sakit kemarin. Ternyata teh itu merupakan teh herbal
yang dapat menjaga kondisi kesehatan tubuh.
Tak lama kemudian suara motor khas milik Ayah terdengar, Megan meletakkan secangkir teh
yang telah dibuatnya diatas nampan kemudian membawanya ke ruang tamu. Terlihat di sana
Ayah sedang melepas sepatu kerjanya.
“Ayah, teh hangat penangkal masuk angin sudah siap,” ucap Megan sembari menaruh secangkir
teh itu di atas meja.
“Pintar sekali anak Ayah.” Ayah terkekeh melihat perilaku putri semata wayangnya.
“Iya, dong.” Megan beralih tempat dibelakang tubuh Ayah dan mulai memijat bahu Ayah.
“Setelah ini Ayah enggak akan sakit lagi dan bisa main sama Megan setiap pulang dari kantor,”
ucap Megan dengan semangat.
Ayah tertawa dan merasa bangga pada Megan. Setelah itu mereka bermain bersama dengan
riang.
***
Aninda Yusrina Nur Aini , biasa dipanggil Anin. Saat ini
menjadi mahasiswi semester 2 program studi Bahasa dan
Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta.
Perempuan kelahiran Sleman, 11 Desember 2001 ini
mempunyai hobi menulis untuk menuangkan pikiran-
pikiran randomnya.

Anda mungkin juga menyukai