Anda di halaman 1dari 30

DAYA SAING SMK PADA ERA INDUSTRI 4.

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Vokasi dan
Ketenagakerjaan dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Dadang Hidayat, M. Pd. Dan
Dr. Sudjani, M.Pd.

Oleh :
M. Iqbal Nursyahid Saroni
NIM. 1906996

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul ”Daya Saing SMK Pada Era Industri 4.0” ini tepat pada
waktunya.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai salah satu tugas
Mata Kuliah Pendidikan Vokasi dan Ketenagakerjaan. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah Pendidikan Vokasi dan
Ketenagakerjaan dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Dadang Hidayat, M.Pd. dan
Dr. Sudjani, M.Pd. atas bimbingan dan arahannya dalam penyelesaian makalah
ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi dan apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Bandung, Desember 2019

Penulis

M. Iqbal Nursyahid Saroni

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Identifikasi Masalah..................................................................................2

C. Rumusan Masalah.....................................................................................2

D. Tujuan........................................................................................................3

E. Manfaat.........................................................................................................3

F. Sistematika Penulisan...................................................................................3

BAB II Landasan teori............................................................................................5


A. Pendidikan Menengah Kejuruan...............................................................5

B. Industri Making Indonesia 4.0.................................................................10

C. Tantangan SMK di Era 4.0......................................................................11

D. Urgensi Meningkatkan Daya Saing SMK...............................................12

BAB III..................................................................................................................15

PEMBAHASAN....................................................................................................15
A. Kesenjangan antara Pendidikan dan pekerjaan.......................................15

B. Standar kompetensi lulusan.....................................................................18

C. Karakter Kerja Yang Perlu Dikembangkan di SMK...............................20

D. Karakter Kerja Bidang Keahlianyang perlu dikembangkan di SMK......21

E. Peluang Kerja Bidang Keahlian Teknologi Informasi Dan Komunikasi....22

BAB IV PENUTUP...............................................................................................23
A. Kesimpulan..............................................................................................23

ii
B. Saran........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional dalam
Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014 adalah
penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri (DU/DI).
Dalam hal ini hasil pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan DU/DI.
Kebutuhan DU/DI tersebut memiliki beberapa parameter yang harus secara tepat
disesuaikan dengan pasokan lulusan layanan pendidikan yakni antara lain dalam
hal jumlah, kompetensi. Untuk itu, Kemendiknas harus mampu menciptakan dan
menjaga sistem standardisasi penyelenggaraan pendidikan, sehingga
dikembangkanlah dan ditetapkan standar nasional pendidikan (SNP) berdasarkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. SNP merupakan acuan dalam
mengembangkan mutu dan relevansi yang telah dijabarkan ke dalam delapan
standar.
Dalam makalah ini lebih memfokuskan pada jenjang pendidikan
kejuruan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) pasal 15 menyatakan pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja
dalam bidang tertentu. Pendidikan menengah kejuruan yang dimaksud adalah
SMK. Oleh karena pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
bermaksud untuk mempersiapkan kompetensi siswanya, agar dapat bekerja
dalam bidang tertentu sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan DU/DI.
Dalam mempersiapkan siswa SMK sebagai tenaga kerja tingkat menengah,
kerap ditemui adanya masalah. Permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah
masih terdapat kesenjangan kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan riil
pihak DU/DI, di mana lulusan SMK masih lemah dalam aspek soft skill (Dit.
PSMK; 2008). Kesenjangan ini salah satunya dapat diindikasikan dengan
rendahnya daya serap tenaga kerja lulusan SMK oleh DU/DI (SARKERNAS,
2009). Kondisi tersebut cenderung mengakibatkan terjadinya pengangguran
terbuka pada tahun 2009 yakni sebesar 9.258.964 orang, di mana sebanyak
1.337.586 orang merupakan lulusan SLTA, khususnya SMK. Menurut
1
2

SARKERNAS, pengangguran terbuka lulusan SMK nampak lebih tinggi


daripada lulusan SMA pada tahun 2009. Kalaupun terjadi penurunan tingkat
pengangguran terbuka lulusan SMK dari tahun 2005 ke tahun 2009, namun
penurunan tersebut tidak terlalu signifikan.
Dalam mengatasi permasalahan rendahnya daya serap lulusan SMK ini,
maka masing- masing SMK perlu melakukan upaya guna meningkatkan sumber
daya pendidikan yang ada di SMK secara efektif dan efisien. Hal ini
dimaksudkan agar lulusan SMK dapat terserap dan bersaing dengan lulusan
SMK lain maupun tenaga kerja lulusan SMA yang jumlahnya semakin banyak
dan mutunya semakin baik.
Secara umum, sekolah menengah di Indonesia diwadahi tiga lembaga
yakni SMA (sekolah Menengah Atas), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) , MA
(Madrasah Aliyah) dan MAK (Madrasah Aliyah Kejuruan). SMA bertujuan
diantara menyediakan dan menyiapkan siswa siswi yang hendak melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi; akademi atau perguruan tinggi. Sedangkan
SMK lebih ditujukan untuk menyediakan tenaga kerja tingkat menengah, dan
MA, sebagaimana SMA bertujuan untuk mengantarkan siswa memasuki
perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi Islam dan terakhir MAK
ditujukan untuk menyediakan tenaga kerja tingkat menengah dengan bekal
Pendidikan agama islam.
Kenyataannya tidak semua lulusan SMA berkesempatan melanjutkan studi
ke jenjang yang lebih tinggi karena berbagai alasan. Begitu pula dengan lulusan
SMK, MA dan MAK. Bahkan dari mereka ada yang menjadi pengangguran.

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam makalah ini
diperlukan untuk memperjelas dan membatasi masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
“Peluang kerja yang tidak terpenuhi dengan DU/DI saat ini”
3

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi masalah, maka rumusan masalah yang
penulis rumuskan dalam makalah ini yaitu:
“Bagaimana meningkatkan daya saing lulusan SMK pada era industri 4.0”

D. Tujuan
Tujuan pembahasan pada makalah ini adalah upaya untuk meningkatkan
daya saing lulusan SMK pada era industry 4.0

E. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari hasil makalah ini adalah:
Kajian kebijakan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam rangka mengambil kebijakan di
bidang ketenagakerjaan Indonesia, khususnya untuk lulusan SMK. Untuk
pembaca, kajian kebijakan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai referensi
atau pembanding bagi kajian kebijakan berikutnya serta dapat memberikan
landasan untuk kajian kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan peningkatan daya saing SMK pada era 4.0.

F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman isi dari pembahasan ini, maka makalah
ini dibagi dalam 5 (empat) bab. Adapun keempat bab tersebut:
1. BAB I Pendahuluan
BAB I Pendahuluan, pendahuluan yang menjadi acuan penulis dalam
makalah makalah ini. Bab I ini berisi beberapa sub bab diantaranya berisikan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah,
tujuan makalah, manfaat makalah, dan sistematika penulisan.
2. BAB II Landasan Teori
Membahas teori teori yang didalamnya memuat teori yang berkaitan dengan
Pendidikan Menengah Kejuruan dan Pencitraan SMK.
3. BAB III Hasil dan Pembahasan
Membahasan daya saing smk pada era 4.0.
4. BAB III Kesimpulan dan Saran
4

Pada bab ini, membahas mengenai kesimpulan, implikasi dan rekomendasi.


Pada bab ini penulis merangkum hasil-hasil pembahasan dari bab I, bab II
dan bab III. Setelah itu penulis menarik kesimpulan secara keseluruhan yang
merupakan jawaban atas persoalan yang dikemukakan dalam rumusan
masalah. Implikasi dan rekomendasi yang merupakan pendapat penulis
muncul sebagai tindak lanjut dari adanya kesimpulan yang dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan untuk pembahasan materi yang lebih lanjut.
5. DAFTAR PUSTAKA
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Menengah Kejuruan

Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan


subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh
para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang
seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang peran yang harus
dimainkannya (Samani, 1992). Evans dan Edwin (1978) mengemukakan, bahwa
pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang
mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Harris
seperti yang dikutip oleh Slamet (1990), menyatakan pendidikan kejuruan
adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang
disukai individu untuk kebutuhan sosialnya. Menurut House Committee on
Education and Labour (HCEL) pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk
pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan
yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan
(Malik, 1990).
Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal
seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational
Education Amereka Serikat (NCRVE, 1981), yaitu bahwa pendidikan kejuruan
merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik
dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Dari batasan yang
diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan,
bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus membedakan
dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta didik
untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL,
dan NCRVE, Finch dan Crunkilton (1984) menyebutkan pendidikan kejuruan
sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja
guna menopang kehidupannya (education for earning a living). Dari definisi
yang diajukan oleh Evans dan Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun Finch

15
6

dan Crunkilton dapat disimpulkan, bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan


peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, berarti pula
mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma
yang berlaku.
Ciri pendidikan kejuruan sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja
dapat dimengerti karena secara historis pendidikan kejuruan merupakan
perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola
magang (apprenticeship) (Evans dan Edwin, 1978). Pada pola latihan dalam
pekerjaan peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru
tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga tidak
ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian pola latihan dalam pekerjaan
memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan
yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri (Elliot, 1983).
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus
ditugasi sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang
belajar. Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan
mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas
karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif
lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh
pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam
pekerjaan (Evans dan Edwin, 1978).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih
membawa pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks
dan memerlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi,
sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang memadai karena
tidak memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki
lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang
bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan
bekerja sama dengan kalangan industri dengan tujuan memberikan bekal teori
dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.
7

Perlu diingat bahwa pembagian pendidikan kejuruan menjadi beberapa


model tersebut bukanlah suatu pembagian yang bersifat ekskusif dan tumpang
tindih. Semua model tersebut tetap berjalan bahkan sering digunakan secara
saling melengkapi. Banyak sekolah atau latihan kejuruan yang pada saat tertentu
menerapkan latihan dalam pekerjaan atau magang di perusahaan yang sesuai
dengan programnya.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982) di sebagian besar
negara Organization for Economic cooperation and Development (OECD)
pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (i) memberikan bekal keterampilan
individual dan keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga peserta didik
secara ekonomis dapat menopang kehidupannya, (ii) membantu peserta didik
memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal
keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya, (iii)
mendorong produktivitas ekonomi secararegional maupun nasional, (iv)
mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi
dan industri, (v) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh
Wenrich dan Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan
bertujuan untuk: (i) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat,
(ii) meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta
didik, dan (iii) memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk
menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan
Evans tersebut dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas
pendidikan secara umum, pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu
memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk
memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja terampil
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans
tersebut, Crunkilton (1984) menyebutkan, bahwa salah satu tujuan utama
pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga
memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Miner (1974)
8

bekal yang dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan merupakan bekal untuk
mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan
mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat
meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel dan
Hasley, 1977). Penelitian yang dilakukan Nurhadi (1988) dan Samani (1992)
ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti
diungkapkan oleh Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya
siswa sekolah kejuruan berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah (Brotosiswoyo, 1991), sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil
mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikkan status sosial ekonomi
masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah kejuruan dapat membantu
meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyaarakat (Elliot, 1983).
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan
menurut struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat
didasarkan atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang
pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir dan Fazil, 1988). Jenjang pendidikan
formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah
(secondary) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan berbagai program
keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metal,
Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana,
Tata Boga, Travel and Tourism, dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah
menengah (post secondary) misalnya politeknik (IEES, 1986).
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan
bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja,
Evans seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980) membagi sekolah
kejuruan menjadi lima kategori, yaitu (i) program pengarahan kerja (pre
vocational guidance education), (ii) program persiapan kerja (employability
preparation education), (iii) program persiapan bidang pekerjaan secara umum
(occupational area preparation education), (iv) program persiapan bidang kerja
spesifik (occupational specific education), dan (v) program pendidikan kejuruan
khusus (job specific education).
9

Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar


dan umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menum-
buhkan apresiasi terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan pada program
persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan kerja,
meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini diharapkan peserta didik
mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun
tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah
memberikan bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang
pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis. Dengan
program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan lapangan pekerjaan
yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah
mengarah kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu
perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan
khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk
memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.
Penjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh
Evans di atas berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja.
Makin khusus jenis pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya memasuki
lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki.
Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang
khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat
jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema
antara siap pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan. Dalam kaitan
dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991), yang penting adalah kesiapan
mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap kali
dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrainability).
Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah kejuruan tidak hanya
terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk
mewujudkan lapangan kerja baru dengan mengembangkan prakarsa dan
kreativitasnya secara optimal. Sejalan dengan itu Tilaar (1991) menegaskan,
10

bahwa pendidikan formal (sekolah kejuruan) seharusnya menghasil-kan lulusan


yang memiliki kualifikasi siap latih yang kemudian diteruskan dengan program
pelatihan, baik di dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu.
makalah ini difokuskan pada pendidikan kejuruan dalam hal ini SMK
agar dapat menyiapkan para lulusannya sebagai tenaga kerja guna siap
memasuki dunia kerja (DU/DI). Oleh karena SMK merupakan lembaga
pendidikan yang berfungsi untuk mempersiapkan para lulusannya agar mampu
bekerja. SMK yang dipilih sebagai unit analisis adalah SMK dengan program
keahlian teknik otomotif karena bidang keahlian ini tengah diminati oleh
masyarakat saat ini.
Dalam mempersiapkan lulusan SMK ini, maka sekolah perlu
memperhatikan kompetensi kejuruan siswanya agar dapat sesuai dengan
kebutuhan DU/DI. Untuk itulah pihak SMK perlu melakukan kerjasama dengan
DU/DI agar kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh SMK sesuai dengan
kompetensi yang dituntut oleh DU/DI.

B. Industri Making Indonesia 4.0


Agenda “Making Indonesia 4.0” untuk mengimplementasikan strategi
dan peta jalan revolusi industry 4.0 (4IR) telah diluncurkan oleh kementrian
perindustrian pada April 2018. Peta jalan Making Indonesia 4.0 memberikan
arah dan strategi yang jelas bagi pergerakan industry Indonesia dimasa yang
akan datang. 10 prioritas nasional dalam agenda making Indonesia adalah
asebagai berikut :
1) Perbaikan alur aliran material
2) Mendesain ulang zona industry
3) Akomodasi standar sustainability
4) Pemberdayaan UMKM
5) Membangun infrastruktur digital nasional
6) Menarik investasi asing
7) Peningkatan kualitas SDM
8) Pembentukan ekosistem inovasi
9) Menerapkan insentif investasi teknologi
10) Harmonisasi aturan dan kebijakan
11

Peningkatan SDM menjadi salah prioritas dalam mewujudkan Making


Indonesia 4.0. Agenda Making Indonesia 4.0 semakin menegaskan kebutuhan
SDM yang berkualitas selaras dengan tujuan revitalisasi SMK. Komitmen serta
partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya
kementerian dan Lembaga pemerintah lainya, kemitraan dengan pihak swasta
dan pelaku industry terkemuka, investor, institusi Pendidikan Lembaga riset,
maka Making Indonesia 4.0 dapat dijalankan dengan sukses (sumber: sambutan
Menteri perindustrian airlangga hartarto, 2018).

C. Tantangan SMK di Era 4.0


Globalisasi memberikan peluang dan tantangan bagi SMK itu sendiri
pada abad 21. Lalu lintas barang dan SDM sudah tidak lagi dibatasi wilayah.
Interaksi antar manusia sudah tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Kondisi
ini menjadi peluang bagi SDM Indonesia yang memiliki potensi bonus
demografi untuk mampu berperan aktif dalam mengambil berbagai peluang
kebutuhan SDM di nasional, regional dan internasional. Tantangannya adalah
bagaimana daya saing SDM Indonesia dengan SDM Asing, mampukan SDM
Indonesia bersaing di negeri sendiri maupun di luar negeri sebagai tenaga
teknis.profesional.
Tantangan berikutnya adalah perkembangan teknologi yang semakin
cepat dengan munculnya berbagai teknologi “smart” seperti robotic, artificial
inteligent, 3D printing, Augmented reality, Virtual Reality, Cloud Computing,
Internet of things dan lainnya yang mampu menggantikan pekerjaaan manusia.
Pertanyaan yang muncul adalah masihkah relevan keterampilan yang diajarkan
di SMK saat ini dengan kebutuhan SDM di masa depan. Kondisi masa depan
yang sudah mulai sulit diramalkan karena muncul hal-hal baru akibat
peggunaan dan penciptaan teknologi yang tidak diperkirakan sebelumnya
sehingga mengagetkan dan membuat tatanan yang ada menjadi lebih dinamis
dan berubah cepat (era disrupsi) harus mampu diantisipasi oleh SMK. SMK
harus mampu menciptakan individu yang memiliki kombinasi pengetahuan,
ketrampilan praktis dan sosial, sikap positif dan kemampuan digital untuk
beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan tuntut lingkungan kerja maupun
masyarakat. Beberapa jenis pekerjaan yang rentan digantikan otomasi di
12

antaranya pemrosesan data atau data entry, petugas payroll, transaction


processors, hingga operator mesin. Beberapa jenis pekerjaan sudah mulai
berkurang bahkan hilang seperti penjaga pintu tol digantikan dengan peralatan
E-toll, kasir digantikan dengan pembayaran digital, teller bank digantikan
dengan mesin ATM Tarik tunai, operator las digantikan dengan robot
pengelasan, operator telepon digantikan dengan mesin penjawab otomatis,
maraknya anjungan-anjungan penjulan mandiri yang tidak lagi memerlukan
penjaga toko, layanan-layanan penjualan online yang memberikan layanan
secara personal berbatuan aplikasi akan terus mengurangi pekerja sebagai akibat
dari proses otomatisasi dan teknologi yang berkembang.

Jika SMK masih mengajarkan keterampilanketerampilan yang


konvensional, tidak sesuai dengan tuntutan dunia kerja, dan masyarakat yang
berpotensi hilang dan berkurang maka akan semakin banyak menghasilkan
pengangguran. Hal ini akan mengakibatkan problematika yang serius dan
menjadi tantangan yang berat bagi bangsa ini seiring dengan bonus demografi
jika SMK tidak mampu mengantisipasi kebutuhan SDM di masa depan dan
segera melakukan perubahan-perubahan yang revolusioner.

Menuju revolusi Industri 4.0 adalah upaya transformasi untuk


meningkatkan efisiensi pada setiap rantai nilai dengan mengintegrasikan
kemampuan digital dan lini produksi di industri yang mengacu pada peningkatan
otomatisasi, komunikasi machine to machine dan human to machine, artificial
intelligence, dan pengembangan teknologi berkelanjutan pada industri. Tuntutan
itu tak dapat dihindarkan, tetapi harus disambut dengan mempersiapkan diri
semaksimal mungkin menyambut era tersebut. Implementasi Revolusi Industri
4.0 membutuhkan keterampilan baru sehingga dalam penyiapan Sumber Daya
Manusia (SDM) dengan kompetensi sesuai dengan pengembangan teknologi
menjadi sebuah keharusan yang tak dapat ditawar.

D. Urgensi Meningkatkan Daya Saing SMK


Pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi namun tidak di imbangi dengan
kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan kerja akan berdampak pada
meningkatnya pengangguran terdidik. Porter (1994) menekankan pentingnya
13

modal manusia dalam bentuk kuantitas yang juga perlu didukung dengan
kemampuan yang sangat berkualitas untuk menguasai sains dan teknologi.
Tenaga kerja telah menjadi penentu utama dalam membangun daya saing suatu
negara. World Economic Forum (2017) dalam rilisnya pada The Global
Competitiveness Report telah menetapkan tenaga kerja sebagai salah satu
indikator daya saing suatu negara di antara pilar-pilar daya saing global lainnya.
Hal ini jelas mengindikasikan bahwa dalam meningkatkan daya saing suatu
negara juga penting di imbangi dengan meningkatkan daya saing tenaga kerja.

Global Competitiveness Index 4.0 tahun 2018 merilis tentang indeks


persaingan global antar negara di seluruh dunia. Indonesia sendiri berada di
peringkat 45 dunia naik dua tingkat dari tahun sebelumnya yaitu peringkat 47.
Namun jika dicermati ulang peringkat daya saing Indonesia di lihat dari 12
indikator masih jauh tertinggal dari negara-negara lainnya, khususnya di negara
Asia Timur dan Pasifik. Indonesia hanya unggul dari sisi market

size dan business dynamism. Berikut ini adalah gambar persaingan


global negara Indonesia dibandingkan dengan rata-rata persaingan global di
negara-negara Asia Timur dan Pasifik.
14

Gambar 1. Indeks persaingan global indonesia dengan asia timur dan


pasifik (sumber: Global Competitiveness Index 4.0, WEF, 2018)
Revolusi industri saat ini tidak hanya tentang ekonomi internasional dan
masalah perdagangan tetapi juga mengacu pada masalah lainnya, seperti
demokratisasi, sains, teknologi, informasi, pendidikan dan juga sumber daya
manusia. Tenaga kerja telah menjadi salah satu isu sentral dalam revolusi industri
4.0 ini. Sumber daya manusia menjadi input bagi keberlanjutan era ekonomi baru.
Di era digital, para pekerja dituntut untuk memiliki keterampilan profesional
dalam hal kemampuan untuk berinovasi dan menjadi kreatif agar dapat bersaing
di pasar internasional. Perkembangan revolusi industri dari penggunaan teknologi
atau robot denga kecerdasan buatan akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja
manusia dan keterampilan yang dibutuhkan.
Lulusan SMK dapat menjadi tenaga kerja yang terampil dan berkualitas
apabila benar-benar menguasai aspek hard skills dan soft skills (Sudana, 2014:
459). SMK harus memadukan ilmu pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skills) dan sikap/tingkah laku (attitude and behaviour) untuk memenuhi standar
kecakapan calon tenaga kerja. Hal ini dilakukan dengan memadukan keterampilan
dasar (core skills), keterampilan kerja (employability skills) dan keterampilan
vokasi (vocational skills) (British Council, 2017). Bennett (2006: 1) menyebutkan
bahwa tantangan terbesar dunia Pendidikan kejuruan adalah; (1) Menghasilkan
lulusan yang mempunyai kemampuan akademik (academic skills); (2)
Kemampuan pada penguasaan keterampilan yang spesifik (technical skills), dan
(3) Kemampuan employabilitas (employability skills) yang seimbang.
SMK sebagai pencetak calon tenaga kerja tentunya harus menyediakan
sistim pendidikan yang baik, mempunyai good school governance, serta
pendukung lainnya untuk meningkatkan kompetensi siswa agar lulusannya
memiliki bargaining power. Jika terjadi demikian maka industri sebagai penyerap
tenaga kerja akan membuka peluang lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja
lulusan SMK, karena pada prinsipnya industry memiliki SDM yang berkualitas.
Oleh karena itu, penting untuk dikaji lebih dalam berkaitan dengan miningkatkan
daya saing lulusan SMK agar memilik bargaining power bursa pasar tenaga kerja
4.0.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kesenjangan antara Pendidikan dan pekerjaan


Kesenjangan antara pendidikan dan pelatihan beberapa tahun terakhir ini
menjadi topik yang hangat bagi para pembuat kebijakan dan praktisi. Beberapa
alternative program diluncurkan dan menginvestasikan sumber daya yang
signifikan untuk memungkinkan adanya kedekatan hubungan yang dekat antara
sekolah dan industri. Tujuan pendidikan pada abad 21 atau abad industri adalah
menekankan pada kolaborasi antara manusia dengan teknologi. Negara ini saat ini
menghadapi tantangan ganda yaitu kurangnya tenaga kerja yang sangat terlatih
dan berkualitas, serta tidak dapat dipekerjakannya sejumlah besar tenaga kerja
terdidik yang memiliki sedikit atau tidak mempunyai keterampilan kerja.
Kesenjangan keterampilan yang dihasilkan dari kesenjangan antara jenis
individu atau kualitas pembelajaran/pelatihan dan peluang kerja dapat memiliki
konsekuensi yang merugikan bagi lulusan, industri, organisasi dan ekonomi pada
umumnya dan terkait dengan berbagai tantangan termasuk pengangguran, upah
rendah, kepuasan kerja, kemampuan untuk menemukan tenaga kerja yang sesuai
dan produktivitas yang secara keseluruhan berdampak pada daya saing ekonomi
tertentu. SMK sebagai salah satu pemegang peranan yang penting dalam
penyiapan tenaga kerja dituntut untuk selalu dapat mengikuti kebutuhan pasar
yang terus berkembang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 Tahun
1990 tentang pendidikan menengah pasal 3 ayat 2 juga menyebutkan bahwa SMK
mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta
mengembangkan sikap profesional.
Hubungan antara pendidikan dan pekerjaan saat ini terasa kurang
harmonis. McKinsey menerbitkan sebuah studi inovatif tentang dampak
pendidikan pada pekerjaan ("Education to Employment") dan hasilnya
menunjukkan ketidakcocokan yang jelas antara sistem pendidikan yang ada
dengan keterampilan kerja yang dibutuhkan oleh industri (Mourshed, et. al 2012:
16). Berikut adalah
dampak pendidikan pada pekerjaan menurut McKinsey.

15
16

Gambar 2. Dampak pendidikan pada pekerjaan


Ini menunjukkan kebutuhan yang luar biasa akan keterampilan dalam
angkatan kerja, dan menunjukkan banyak celah dalam kemampuan sistem
pendidikan untuk mendorong keterampilan. Sudrajat (2018) menjelaskan bahwa
lulusan SMK masih kurang kompeten jika berada pada dunia kerja terutama untuk
masuk di industri, perlu adanya perbaikan pembelajaran di SMK. Perbaikan
tersebut diharapkan mampu menyerap lulusan SMK lebih banyak di dunia kerja
sesuai dengan keahlian masingmasing.
Tujuan pendidikan SMK adalah mampu menghasilkan lulusan yang
mampu bekerja, mengembangkan diri/melanjutkan, serta menjadi wirausaha muda
sesuai dengan kompetensi keahlian masing-masing. Berikut ini adalah
kesenjangan antara pendidikan dan pekerjaan diantaranya:
17

Gambar 3. Penyebab kesenjangan Pendidikan dan industry.


Hubungan yang tidak sempurna antara pendidikan dan pekerjaan
disebabkan oleh keterbatasan identifikasi persyaratan pekerjaan, dinamika
pekerjaan, tugas kerja yang tidak pasti dari tenaga kerja berkualifikasi tinggi,
kesenjangan perencanaan, konsep kurikuler yang beragam, dan semakin
pentingnya pendidikan seumur hidup. Penyebab kesenjangan antara pendidikan
dan pekerjaan memiliki beberapa faktor, yaitu: faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi: (1) kurangnya sarana dan prasarana yang disediakan
pihak sekolah, kualitas guru yang masih rendah; (2) keterbatasan lapangan
pekerjaan, dan (3) kualitas sumber belajar yang digunakan belum memadai.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kesenjangan antara pendidikan dan
pekerjaan meliputi; (1) lingkungan yang tidak mendukung; (2) kurangnya
pemerataan pendidikan di setiap daerah, dan (3) kreativitas yang dikembangkan
peserta didik masih rendah.Kesimpulan yang dapat diambil bahwa Pendidikan dan
lapangan kerja tidak selalu linier atau berbanding lurus dengan keilmuan yang
telah dipelajari.
Kerjasama sekolah dengan industri adalah suatu keharusan oleh sebuah SMK,
karena beberapa kegiatan sekolah selalu melibatkan dunia industri misalnya
praktik kerja industri (Prakerin), on job training (OJT), kunjungan industri,
teaching factory dan sebagainya. Peran industry juga dituntut untuk lebih dalam
terlibat dalam kegiatankegiatan tersebut, terkadang industri yang terlibat tidak
18

terlalu berperan banyak karena industri biasanya mempunyai polapikir pragmatis


terhadap keuntungan bisnis (Wibowo, 2016). Kesenjangan antara pendidikan dan
pekerjaan akan semakin melebar jika kebutuhan pekerja tidak sesuai kebutuhan
industri. Untuk mempersempitkesenjangan tersebut pendidikan perlu
memasukkan kebutuhan yang diharapkan industri.

B. Standar kompetensi lulusan


Keberhasilan lulusan SMK dapat diukur dengan keberhasilan lulusan
ketika di tempat kerja. Kriteria keberhasilan siswa yaitu dapat menggunakan
kompetensi pengetahuan keterampilan, nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan
pekerjaannya, memenuhi tuntutan kerja, serta mampu berkontribusi terhadap
tempat kerja, lingkungan serta masyarakatnya. Kompetensi lulusan perlu
dibangun dan diterapkan dalam proses pembelajaran dengan tujuan
mempersiapkan sedini mungkin untuk masa depan, salah satunya memiliki
karakter/budaya kerja industi.
Diharapakan dengan menerapkan Pendidikan karakter dapat meningkatkan
Lulusan kerja siswa SMK dan menjadi salah satu upaya yang bisa diterapkan.
Budaya Kerja adalah falsafah yang didasari pada pandangan hidup sebagai nilai-
nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam
suatu kelompok yang tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat,
pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Budaya kerja memiliki
tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku sumber daya manusia agar dapat
meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa
yang akan datang.
Sistem pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mentransfer informasi,
pengetahuan, dan keterampilan saja. Tidak kalah penting lagi yaitu mentrasfer
nilai-nilai moral dan budaya manusia kepada masyarakat muda kepada
masyarakat muda secara keseluruhan. Pembentukan budaya kerja memerlukan
proses yang panjang, dimulai dari karakter kerja individu yang baik yang menjadi
kebiasaan dan akhirnya membentuk karakter kerja secara kolektif yang disebut
budaya kerja.
19

Gambar 4. Proses pembentukan budaya kerja


Karakter kerja siswa perlu dikembangkan sehingga tidak hanya kebiasaan
saja namun menjadikan budaya kerja sebagai landasan hidup. Penerapan budaya
kerja diharapakan dapat memunculkan perilaku yang mempunyai: (1)
kepercayaan diri, (2) tanggung jawab, (3) disiplin, (4) ketangguhan mental, (5)
kepatuhan, (6) tidak mudah putus asa, (7) kejujuran; (8) komunikasi; (9) kerja
sama; (10) daya saing; (11) adaptasi, dan (12) kepemimpinan. Budaya kerja yang
baik mampu meningkatkan produktivitas kerja yang tinggi dari perorangan
anggota organisasi dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas
organisasi. Penyelarasan budaya kerja industri untuk sekolah vokasi, bertujuan
akan meningkatkan produktivitas antara lain lulusan yang lebih kompeten, lulusan
yang lebih siap memasuki dunia kerja, mampu beradaptasi secara cepat dengan
budaya industri dan mengurangi benturan budaya yang keras sehingga mencegah
atau mengurangi stress kerja. Budaya kerja sebuah sekolah vokasi yang kuat juga
akan mempengaruhi atau menular ke masyarakat, bisa sekolah vokasi yang lain,
orang tua/keluarga, industry tempat kerja alumni dan sebagainya.
Karena itu, dalam pendidikan karakter terdapat keberlangsungan suatu
usaha untuk menjadikan siswa didik mengerti, memahami, dan dapat
melakssiswaan nilai-nilai moral yang diyakini di masyarakat. Tiga unsur utama
dalam pendidikan pendidikan karakter, yakni :
(1) Knowing the good, yakni siswa tidak hanya tahu tentang hal-hal yang baik
tetapi siswa harus memahami mengapa melakukan hal itu.
20

(2) Feeling the good, yakni membangkitkan rasa cinta siswa untuk melakukan hal
yang baik, siswa dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan yang baik
dilakukannya.
(3) Acting the good, yakni siswa dilatih untuk berbuat mulia, berbuat sesuatu
yang baik itu harus melalui pelatihan (Halking, 2010, hlm. 56).
Sasaran akhir pendidikan karakter adalah keberlangsungan proses
transformasi sosial dalam masyarakat menjadi lebih baik, lebih manusiawi, lebih
adil, dapat tercapai dengan baik apabila proses pendidikan karakter
diimplementasikan secara utuh dan menyeluruh dengan memperhatikan
pertumbuhan individu dengan segala dimensinya (individual, moral, dan sosial).

C. Karakter Kerja Yang Perlu Dikembangkan di SMK


Adapun karakter kerja yang perlu dikembangkan sebagai berikut:
Tabel 3.1: Karakter kerja (umum) yang perlu dikembangkan di SMK
No. Karakter Deskripsi
1 Disiplin Bekerja di DUDI membutuhkan disiplin tinggi.
Datang ke tempat kerja harus tepat waktu, dan
pulang pun setelah kerja harus tepat waktu, dan
pulang pun setelah selesainya jam kerja.
Bekerja harus sesuai dengan SOP.
2 Kerja Keras Bekerja di DUDI membutuhkan kerja keras
karena selalu mengejar target. Bahkan
seringkali harus kerja lembur karena ada
pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan
segera, tidak ditunda-tunda.
3 Jujur DUDI memberhentikan pekerja seringkali
karena factor ketidak jujuran, bukan karena
keahlisannya kurang. Masalah penguasaan
vokasi dapat dilatihnya.
4 Bertanggung jawab Setiap pekerja harus bertanggung jawab
terhadap proses dan hasil kerjanya. Pekerja
harus dikerjakan sesuai ketentuan dan
diselesaikan sesuai kriteria. Jika tidak sesuai
pekerja harus bertanggung jawab
memperbaikinya dan harus sanggup
menanggung resiko.
5 Berjiwa wirausaha Sebagian keahlian bagi lulusan SMK
membutuhkan karakter kerja berwirausaha,
baik bidang-bidang yang tidak terserap oleh
DUDI ataupun pekerjaan yang lebih
menguntungkan dengan berwirausaha. Missal,
21

pekerjaan tekniksi pendinginan dan tata udara,


Teknik computer dan jaringan, Teknik
elektronika, hingga montir mobil dan sepeda
motor, juga pekerjaan di bidang tata busana,
tata boga, agro bisnis, dan agro teknologi.

D. Karakter Kerja Bidang Keahlianyang perlu dikembangkan di SMK


Karakter kerja khas yang perlu dikembangankan di SMK salah satunya
ada pada bidang keahlian teknologi informasi dan komunikasi. Saat ini
merupakan era digital. Seluruh perkantoran selalu menggunakan computer dan
jaringan. Selain itu computer dan laptop merupakan kebutuhan primer bagi
masyarakat kelas menengah ke atas. Bahkan HP sudah merupakan kebutuhan
primer bagi seluruh masyarakat. Barang barang modern ini selalu membutuhkan
perbaikan dan pembaharuan. Oleh karena itu karakter kerja khas yang perlu
dikembangkan adalah: Tekun, teliti, inovatif, dan bergaransi.
Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih
bidang keahlian teknologi informasi dan komunikasi adalah tekun, teliti, inovatif,
dan bergaransi. Bidang ini memerlukan karakter tekun, yakni rajin, keras hati, dan
bersungguh-sungguh. Juga karakter teliti, yakni cermat dan saksama. Juga
karakter
inovatif, yakni terbuka terhadap perubahan dan siap beradaptasi dengan hal-hal
yang baru. Dan karakter bergaransi, yakni berani menjamin hasil kerjanya. Ketika
lulusan SMK membuka teknisi komputer/laptop, misalnya saja, maka dia harus
mengerjakannya dengna penuh ketekunan, ekstra hati-hati, siap merevarasi
produkproduk komputer/laptop yang baru, dan siap memperbaiki kembali secara
lebih baik dan gratis jika terjadi kekhilapan.
Peluang kerja tahun 2030 Menurut UK Commission for Employment and
Skill (2014), pada masa yang akan dating, khususnya pada pada tahun 2030,
pekerjaan akan lebih banyak dilakukan secara virtual dengan memanfaatkan
kemajuan digitalisasi. Perusahaan juga diperkirakan akan menerapkan system
pekerjaan yang cenderung mengambil pekerja lepas dan karyawan jangka pendek
dalam suatu proyek dibandingkan memperkerjakan perkerja yang bersifat kontrak
22

permanen. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk melakukan efisiensi terhadap
produktivitas perusahaan.
UK Commisson for Employment and Skill (2014) menyatakan bahwa
pada tahun 2030, terdapat beberapa sector yang diperkirakan akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sektor-sektor ini diniali akan menyerap banyak tenaga
kerja, Sektor-sektor tersebut adalah sektor perdagangan dan logistik, industry
pengolahan (manufaktur), konstruksi, kesehatan dan kegiatan sosial, serta industri
kreatif dan digital.

E. Peluang Kerja Bidang Keahlian Teknologi Informasi Dan Komunikasi


Meningkatnya virtualisasi dan TIK memungkinkan peluang yang baru
bagi para pekerja. Diperkirakan akan ada permintaan tinggi akan keterampilan
manajemen data, analisis dan visualisasi data yang ditransfer, dikumpulkan, dan
disimpan secara digitalisasi. Keterampilan kreatif dan digital menjadi kunci dalam
memenuhi permintaan desain, rekayasa desain, dan representasi data yang
kompleks. Sejalan dengan proyeksi tersebut, McKinsey Global Institute juga
menyatakan bahwa terdapat peluang besar yang dapat dimasuki oleh lulusan SMK
pada bidang industri kreatif dan industri dengan keterampilan khusus. Sektor
ekonomi kreatif masih membuka terutama untuk sektor animasi, perancang
busana maupun koki. Sementara industry dengan keterampilan khusus
memberikan kesempatan bagi lulusan SMK untuk masuk dalam jenis pekerjaan
seperti pengolahan sarang walet, pengolahan kayu, serta pengeboran minyak dan
gas. Pada sektor animasi, dibutuhkan lulusan SMK dari program keahlian Teknik
elektronika dengan kompetensi keahlian teknik audio visual, program keahlian
seni rupa dengan kompetensi keahlian animasi dan desain komunikasi visual serta
program keahlian teknik grafika dengan kompetensi keahlian desain grafika dan
produksi grafika. Program keahlianya yaitu Teknik Komputer dan informatika dan
Teknik telekomunikasi.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan daya saing SMK dalam menghadapi era 4.0 dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sektor industri padat karya umumnya memberi peluang yang sama antara
lulusan SMK dengan SMA seoprti pada industri tekstil seleksi pekerja umumnya
berbasis test psikologi yang mengungkap potensi diri, motivasi bekerja dan
bukan berbasis uji keterampilan.
2. Lulusan non SMK dalam mengembangkan karir lebih memiliki motivasi untuk
lebih maju mengembangkan diri dengan studi lanjut sambil bekerja sehingga
jenjang karirnya banyak yang lebih tinggi dan karir di perusahaan lebih
berkembang. Strategi untuk meningkatan daya saing lulusan SMK dalam bursa
pasar tenaga kerja 4.0 dengan Membekali lulusan SMK dengan Pendidikan
karatker kerja, employability skills dan psikologi industri untuk menyiapkan diri
memasuki dunia kerja dengan memahani budaya kerja dan hubungan industrial.

B. Saran
Belum optimalnya kinerja SMK tentu tidak dapat dibiarkan, dan perlu
dicarikan solusinya. Sebab kondisi ini akan mengakibatkan lulusan yang kurang
mampu menghadapi tuntutan zaman yang sering disoroti oleh masyarakat
pemakai lulusan tersebut. Perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat cepat
akan membuat keadaan ini lebih parah jika tidak diantisipasi dengan cepat dan
tepat, karena akan memperlebar jurang pemisah antara yang seharusnya diketahui
dan yang diketahuinya. Implikasinya akan terjadi kesenjangan antara supply dan
demand tenaga kerja yang memberi dampak pada pengangguran.Pentingnya
upaya peningkatan mutu kinerja Sekolah Menengah Kejuruan tidak terlepas dari 
fungsi dan kedudukannya yang strategis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Samsudi, (2009). Daya Serap Lulusan SMK Masih Rendah

(Bonus et al., no date; Mutu, Smk and Berkelanjutan, no date; Pembinaan et al.,
no date; Pendidikan and Kebudayaan, 2018; Policy, 2019).

Collins 1979; Feinberg & Horowitz 1990; Chung 1995. Perumusan Manajemen
Berbasis Sekolah.

Brotosiswoyo, Suprapto. (1991, Agustus). Pendidikan Menengah. Makalah


Pengantar Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Jakarta: Depdikbud.

Clinton, R. E. (1984). A Rationale for Collaboration: The view from industry.


Collaboration vocational education and the privat sector (pp.43-53).
Arlington, VA: The American Vocational Association.
Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-
2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Elliot, Janet. (1983). The Organization of Productive work in Secondary
Technical and Vocational Education the United Kingdom. London:
Unesco.
Badan Statistik Pendidikan. (2009). Survei Tenaga Kerja Nasional. Jakarta: BPS
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. (1984). Curriculum Development in
Vocational and Technical Education: Planning, Content, and
Implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Malik, Oemar H. (1990). Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan,


Kewiraswastaan, dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.

Miner, Jacob. (1974). Family Insvesment in Human Capital: Earning of Woman.


Journal of Political Economy 82 (2). Pp.48-56.

National Council for Research into Vocational Education (NCRVE). (1981).


Towards a Theory of Vocational Educational. Columbus, Ohio: NCRVE
Publication.
25

Nurhadi, Mulyani A. (1988). The Effects of Schooling Factor on Personal


Earning within the Context of Internal Labor Market in PT. Petrokimia
Gresik (Persero) Indonesia. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Samani, Muchlas. (1992). Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi


penelitian pelacakan terhadap lulusan STM rumpun mesin tenaga dan
teknologi pengerjaan logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan
1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta, 1992.

Semiawan, Cony R. (1991, Januari). Pengembangan Kurikulum untuk SMKTA


Menyongsong Era Tinggal Landas. Makalah pada seminar
pengembangan kurikulum PMK. Jakarta: Balitbang Dikbud.
Sitorus, MT Felix. (1998). Penelitian Kualitatif: Suatu perkenalan.
Bogor:Kelompok Dokumen Ilmu Sosial IPB.
Slamet. (1990). Pondasi Pendidikan Kejuruan: Lembaran perkuliahan.
Yogyakarta: Pascasarjana IKIP Yogyakarta.
Soedijarto (2008). Kemampuan Profesional Guru Yang Sesuai Dengan Upaya
Peningkatan Relevansi Dan Mutu Pendidikan Nasional Serta Jaminan
Kesejahteraan Dan Perlindungan Yang Diperlukan Pendidik Profesional
(Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Tentang Perlindungan
Bagi Profesi Guru), diambil 17 Oktober 2009 dari
http://www.jakartateachers.com/4429.htm

Soekartawi. (2007). Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk


Meningkatkan Daya Saing Bangsa, diambil 8 Juni 2009 dari
http:www.setneg.go.id

Tilaar, H.A.R. (1991, September). Sistem Pendidikan yang Modern Bagi


Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila.
Makalah pada KIPNAS V, Jakarta.
Bonus, M. et al. (no date) ‘White paper’.
Mutu, P., Smk, P. and Berkelanjutan, R. (no date) ‘WHITE PAPER’.
Pembinaan, D. et al. (no date) ‘DAYA SAING SMK’.
26

Pendidikan, K. and Kebudayaan, D. A. N. (2018) ‘Pendidikan karakter kerja’.


Policy, V. E. (2019) ‘White paper’, 1.

Anda mungkin juga menyukai