Anda di halaman 1dari 16

MASALAH CITRA DAN DAYA

TARIK SMK DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Vokasi dan
Ketenagakerjaan dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Dadang Hidayat, M. Pd. Dan
Dr. Sudjani, M.Pd.

Oleh :
M. Iqbal Nursyahid Saroni
NIM. 1906996

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul ” MASALAH CITRA DAN DAYA TARIK
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI INDONESIA” ini tepat pada
waktunya.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai salah satu tugas
Mata Kuliah Pendidikan Vokasi dan Ketenagakerjaan. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah Pendidikan Vokasi dan
Ketenagakerjaan dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Dadang Hidayat, M.Pd. dan
Dr. Sudjani, M.Pd. atas bimbingan dan arahannya dalam penyelesaian makalah
ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi dan apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Bandung, Desember
2019

Penulis

M. Iqbal Nursyahid Saroni

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Identifikasi Masalah..................................................................................3

C. Rumusan Masalah.....................................................................................3

D. Tujuan........................................................................................................4

E. Manfaat.........................................................................................................4

F. Sistematika Penulisan...................................................................................4

BAB II MASALAH CITRA DAN DAYA TARIK SMK DI INDONESIA..........6

BAB IV PENUTUP...............................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................10

B. Saran........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional dalam Rencana
Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014 adalah penyelarasan
pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri (DU/DI). Dalam hal
ini hasil pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan DU/DI. Kebutuhan
DU/DI tersebut memiliki beberapa parameter yang harus secara tepat
disesuaikan dengan pasokan lulusan layanan pendidikan yakni antara lain
dalam hal jumlah, kompetensi. Untuk itu, Kemendiknas harus mampu
menciptakan dan menjaga sistem standardisasi penyelenggaraan pendidikan,
sehingga dikembangkanlah dan ditetapkan standar nasional pendidikan (SNP)
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. SNP
merupakan acuan dalam mengembangkan mutu dan relevansi yang telah
dijabarkan ke dalam delapan standar.
Dalam makaslah penelitian ini lebih memfokuskan pada jenjang
pendidikan kejuruan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 15 menyatakan pendidikan kejuruan
merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama
untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan menengah kejuruan yang
dimaksud adalah SMK. Oleh karena pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang bermaksud untuk mempersiapkan kompetensi
siswanya, agar dapat bekerja dalam bidang tertentu sesuai dengan kompetensi
yang dibutuhkan DU/DI. Dalam mempersiapkan siswa SMK sebagai tenaga
kerja tingkat menengah, kerap ditemui adanya masalah. Permasalahan yang
dihadapi diantaranya adalah masih terdapat kesenjangan kompetensi lulusan
SMK dengan kebutuhan riil pihak DU/DI, di mana lulusan SMK masih lemah
dalam aspek soft skill (Dit. PSMK; 2008). Kesenjangan ini salah satunya dapat
diindikasikan dengan rendahnya daya serap tenaga kerja lulusan SMK oleh
DU/DI (SARKERNAS, 2009). Kondisi tersebut cenderung mengakibatkan
terjadinya pengangguran terbuka pada tahun 2009 yakni sebesar 9.258.964
orang, di mana sebanyak 1.337.586 orang merupakan lulusan SLTA,
1
2

khususnya SMK. Menurut SARKERNAS, pengangguran terbuka lulusan


SMK nampak lebih tinggi daripada lulusan SMA pada tahun 2009. Kalaupun
terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka lulusan SMK dari tahun 2005
ke tahun 2009, namun penurunan tersebut tidak terlalu signifikan.
Dalam mengatasi permasalahan rendahnya daya serap lulusan SMK
ini, maka masing- masing SMK perlu melakukan upaya guna meningkatkan
sumber daya pendidikan yang ada di SMK secara efektif dan efisien. Hal ini
dimaksudkan agar lulusan SMK dapat terserap dan bersaing dengan lulusan
SMK lain maupun tenaga kerja lulusan SMA yang jumlahnya semakin banyak
dan mutunya semakin baik.
Berbagai permasalahan yang berhubungan dengan relevansi
kompetensi yang dihasilkan SMK dan daya saing para lulusan SMK perlu
dicarikan alternatif pemecahannya, agar tingkat pengangguran terbuka lulusan
SMK dapat menurun tajam di masa mendatang. Untuk itu perlu dilakukan
suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkenaan
dengan: (i) Relevansi kompetensi yang dibutuhkan DU/DI dengan kompetensi
yang dihasilkan SMK; (ii) Tingkat daya saing lulusan SMK dalam
memperoleh pekerjaan. Saat-saat ini, setelah selesai mengikuti UAN, para
siswa disibukkan kegiatan mencari sekolah. Banyak sekali tawaran sekolah
yang ada. Dari lembaga yang dikelola oleh negara hingga lembaga swasta
dalam negeri maupun kerjasama swasta dalam negeri dan luar negeri. Semua
menawakan paket sekolah yang menggiurkan, bahkan juga ada sekolah yang
tidak begitu dikenal, kalau mau di grade katakanlah grade satu, dua atau tiga.
Siswa tinggal memilih.
Secara umum, sekolah menengah di Indonesia diwadahi tiga lembaga
yakni SMA (sekolah Menengah Atas), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
dan MA (Madrasah Aliyah). SMA bertujuan diantara menyediakan dan
menyiapkan siswa siswi yang hendak melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi; akademi atau perguruan tinggi. Sedangkan SMK lebih ditujukan untuk
menyediakan tenaga kerja tingkat menengah, dan MA, sebagaimana SMA
bertujuan untuk mengantarkan siswa memasuki perguruan tinggi umum
maupun perguruan tinggi Islam.
3

Kenyataannya tidak semua lulusan SMA berkesempatan melanjutkan


studi ke jenjang yang lebih tinggi karena berbagai alasan. Begitu pula dengan
lulusan SMK dan MA. Bahkan dari mereka ada yang menjadi pengangguran.
Akhir-akhir ini pemerintah gencar mengiklankan (mensosialisasikan)
SMK, sebagai sekolah masa depan, SMK bukan sekolah kelas dua, dan arah
pendidikan Indonesia ke depan hendak menyetarakan jumlah SMA dan SMK.
Maka tidak heran bermunculan iklan sosialisasi SMK di televisi dengan
“bintang iklan” dari beberapa orang yang sudah punya nama. Ada seorang
sebut saja selebritis pembawa acara yang mengaku lulusan SMK, ada seorang
pejabat yang juga mengaku lulusan SMK, bahkan ada seorang direktur dengan
anak buah kurang lebih 90% lulusan SMK. Itu semua ditujukan untuk
membangun citra bahwa SMK bukan sekolah nomor dua sebagai sekolah
pencetak tenaga kerja yang mengandalkan otot saja. Tapi dengan iklan itu
hendak menonjolkan bahwa lulusan SMK memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki oleh SMA atau MA. Benarkah demikian, dari iklan itu saja kalau mau
dicermati sebenarnya bukan SMK atau tidaknya, saya lebih melihat pada
individunya. Bahwa kesuksesan lebih ditentukan pada keuletan, kegigihan
seseorang menghadap tantangan. hal ini mengingat secara umum kualitas
pendidkan di Indonesia yang sedemikian parah, rasanya sangat kecil kalau
semata lembaga sekolah yang menjadikan seseorang sukses. Maka yang
paling penting adalah bagaimana kita membenahi pendidikan kita sehingga
menghasilkan generasi muda yang siap menyambut tantangan zamannya baik
di dunia kerja maupun dunia akademis.

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam penelitian ini
diperlukan untuk memperjelas dan membatasi masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut: ” ”.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi masalah, maka rumusan masalah yang
penulis rumuskan dalam makalah ini yaitu:
4

Bagaimana permalsahan citra dan daya tarik smk di Indonesia ?

D. Tujuan
Tujuan pembahasan pada makalah ini adalah mengetahui masalah citra
dan daya tarik SMK di Indonesia

E. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari hasil makalah ini adalah:
 Manfaat praktis

Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai citra dan daya tarik


SMK di Indonesia.

F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman isi dari pembahasan ini, maka makalah ini
dibagi dalam 5 (empat) bab. Adapun keempat bab tersebut:
1. BAB I Pendahuluan
BAB I Pendahuluan, pendahuluan yang menjadi acuan penulis dalam
penelitian makalah ini. Bab I ini berisi beberapa sub bab diantaranya
berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
2. BAB II Kajian Teori
Membahas mengenai kajian teori yang didalamnya memuat teori yang
berkaitan dengan Pendidikan Menengah Kejuruan, Daya Saing SMK
3. BAB III Pembahasan
Membahas kesesuaian antara pekerjaan yang diperoleh dengan bidang
Keahlian yang dimiliki oleh lulusan SMK

3. BAB IV Kesimpulan, Implikasi dan Rekomendasi


Pada bab ini, membahas mengenai kesimpulan, implikasi dan rekomendasi.
Pada bab ini penulis merangkum hasil-hasil pembahasan dari bab I, bab II
dan bab III. Setelah itu penulis menarik kesimpulan secara keseluruhan yang
merupakan jawaban atas persoalan yang dikemukakan dalam rumusan
masalah. Implikasi dan rekomendasi yang merupakan pendapat penulis
5

muncul sebagai tindak lanjut dari adanya kesimpulan yang dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan untuk pembahasan materi yang lebih lanjut.
4. DAFTAR PUSTAKA
BAB II
MASALAH CITRA DAN DAYA TARIK SMK DI INDONESIA

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih sering dipersepsikan sebagai


lembaga pendidikan kaum blue collar, pendidikan yang tidak bermuatan
akademis, bahkan sering dianggap sebagai pendidikan kelas kedua yang hanya
menghasilkan tukang-tukang atau pendidikan untuk mengisi pekerjaan yang
bertaraf rendah.

Citra semacam ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di
banyak negara (Collins 1979; Feinberg & Horowitz 1990; Chung 1995), terutama
pada negara yang menganut sistem pendidikan double-track, yakni memisahkan
pendidikan akademik dengan pendidikan kejuruan, sebagaimana juga Indonesia.

Sebagai salah satu bentuk pencitraan publik, di samping dalam rangka


perluasan akses, peningkatan mutu dan relevansi, Kemendiknas bertekad
mengembangkan SMK dari berbagai sisi. Salah satunya, pada tahun 2010 secara
nasional ditargetkan proporsi siswa dan sekolah antara SMK dan SMA mencapai
60:40, dan pada tahun 2015 mencapai 70:30. Untuk mencapai proporsi tersebut,
setidaknya ada enam langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah, yakni
menambah unit sekolah baru (USB), melakukan alih fungsi SMA yang
perkembangannya mengkhawatirkan menjadi SMK, menambah jumlah
rombongan belajar (siswa) pada setiap SMK, mendorong penambahan jumlah
program keahlian di setiap SMK, membuka SMK Terbuka di beberapa provinsi
mulai tahun 2010, dan mempermudah izin pendirian SMK di setiap daerah, yang
berarti menghentikan izin pendirian SMA.

Dari sisi jumlah, saat ini terjadi peningkatan yang signifikan, baik jumlah
sekolah maupun siswa SMK. Tahun 2003 secara nasional jumlah siswa SMK
1.732.430 orang dan jumlah SMK 4.480 unit. Pada Desember 2008, jumlah siswa
menjadi 2.738.962 orang dan jumlah SMK 6.746 unit (Depdiknas, 2008:2).

15
7

Membangun citra SMK pada dasarnya tidak harus dengan menambah


jumlah SMK, apalagi menggunakan pendekatan target dengan ukuran-ukuran
kuantitatif. Kebijakan penting yang perlu dikembangkan adalah membentuk
pusat-pusat keunggulan (center of excellent) untuk mengembangkan kompetensi
siswa yang memiliki daya saing global. Pengembangan kompetensi unggulan ini
penting, agar lulusan SMK tidak hanya berburu pekerjaan, namun dengan
kompetensi yang dimiliki mereka dapat menciptakan peluang kerja, baik untuk
dirinya maupun orang lain.

Membicarakan citra SMK, pada dasarnya harus menyentuh aspek yang


paling penting, yakni keterserapan lulusan, karena by design lulusan SMK
disiapkan untuk memasuki dunia kerja. Di samping itu akuntabilitas tertinggi dari
penyelenggaraan SMK adalah tingginya keterserapan lulusan di dunia kerja. Data
tahun 2008 mengindikasikan bahwa sampai tahun 2007 persentase dan proyeksi
keterserapan lulusan SMK pada beberapa program keahlian meningkat. 

Mengacu pada indikasi tersebut, maka peluang kerja bagi lulusan SMK
pada dasarnya belum begitu menggembirakan. Jika dihitung secara nasional, pada
tahun 2006 lulusan SMK di Indonesia berjumlah 628.285 orang, sedangkan
proyeksi penyerapan/kebutuhan tenaga kerja lulusan SMK tahun 2007 sebanyak
385.986 orang atau hanya sekitar 61,43% (Depdiknas, 2008).

Jumlah ini memang belum ideal, sehingga perlu diupayakan peningkatan


daya serap lulusan untuk memasuki lapangan kerja maupun menciptakan peluang
kerja. Secara nasional, idealnya 80%-85% lulusan SMK dapat memasuki
lapangan kerja, sementara 15%-20% dimungkinkan dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Jika melihat data ini, maka penambahan jumlah
SMK, yang salah satu pertimbangannya karena  52% lulusan SMA yang tidak
studi lanjut, yang lebih utama dan pertama adalah meningkatkan kualitas kinerja
penyelenggaraan SMK sehingga kualitas lulusannya meningkat, baru kemudian
meningkatkan jumlah sehingga mencapai proporsi tertentu.

Sejatinya citra SMK dapat dibangun dengan kokoh ketika masyarakat


melihat lulusan SMK memperoleh kompetensi/kecakapan yang memadai,
8

sehingga mampu bekerja atau menciptakan peluang kerja baik untuk dirinya
maupun orang lain. Di samping tersedianya guru yang andal, alat/sarana yang
memadai, kualitas pembelajaran, dukungan dunia usaha/industri, dan sebagainya.
Untuk mencapai kondisi itu, ada dua persoalan serius, yakni dari sisi internal dan
eksternal.

Dari sisi internal, penyelenggaraan SMK saat ini cenderung terjebak pada
hasrat aji mumpung. Pemerintah dan pengelola bernafsu menambah jumlah siswa,
program keahlian, bahkan jumlah kelas dan jumlah sekolah. Hal yang cukup
mencengangkan, 64,71% pengelola SMK (kepala sekolah dan guru) beranggapan,
untuk membuka SMK baru tidak perlu disiapkan sarana dan SDM andal terlebih
dahulu, melainkan dapat disiapkan sambil jalan ketika sekolah sudah beroperasi
(Samsudi, 2009:4).

Kondisi ini secara internal akan melemahkan pemerolehan kompetensi


lulusan itu sendiri, yang jika tidak segera disadari dan diantisipasi, tiga atau empat
tahun ke depan akan muncul kembali ribuan SMK-SMK sastra, sebagaimana
sebutan tersebut pernah terjadi pada tahun 1990-an. Akibatnya tiap tahun bisa ada
ratusan ribu siswa SMK yang lulus tanpa bekal kompetensi yang memadai.

Dari sisi eksternal, pembekalan kompetensi/kecakapan lulusan SMK


menghadapi permasalahan akibat ketidakselarasan antara kebijakan Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP)/ Kemendiknas, Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP), dan tuntutan/kebutuhan (selera) kompetensi dunia usaha/industri.

BSNP/Depdiknas sejak tahun 2006/2007 memberlakukan kebijakan ujian nasional


(UN) kompetensi keahlian/produktif (praktik) siswa SMK, dan hasil penilaiannya
menjadi salah satu komponen yang turut diperhitungkan untuk menentukan
kelulusan siswa. Pada saat yang berurutan, siswa SMK juga melaksanakan ujian
nasional (UN) teori (Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris).

Banyak hal terungkap tentang kondisi ketidaksiapan SMK di seluruh


Indonesia untuk melaksanakan kebijakan UN kompetensi produktif ini. Namun
9

yang pasti ada dua hal menonjol yang termasuk kategori kondisi tidak siap, yakni
sarana/alat utama uji kompetensi  dan asesor.

Saat ini pengelola (kepala sekolah dan guru) SMK dan siswa, utamanya
kelas tiga, setiap tahun selalu mengalami kebingungan sistemik. Demi
menghadapi pelaksanaan UN teori (Bahasa Inggris, Matematika, dan Bahasa
Indonesia), seluruh pembelajaran program produktif (praktik dan magang kerja)
direduksi dan disiasati dengan berbagai cara, agar siswa nantinya dapat lulus UN
teori.

Karena jika mengutamakan pembelajaran produktif (praktik dan magang


kerja di dunia usaha/industri, maka risiko terbesar adalah siswa tidak lulus ujian
UN teori. Dari sisi ini, kita dapat membayangkan bagaimana pemerolehan
kompetensi siswa saat tahun 2010 atau 2015 nanti, ketika SMK akan menjadi
60% dan 70% dibandingkan dengan SMA.

Pada sisi eksternal yang lain, BNSP melalui Badan Koordinasi Sertifikasi
Profesi (BKSP) di tingkat provinsi mendorong Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
untuk bersinergi dengan SMK-SMK dalam uji kompetensi kompetensi siswa,
sehingga memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP. Ada
beberapa permasalahan dengan pelaksanaan sertifikasi profesi ini. Pertama, hasil
uji kompetensi tidak sepenuhnya diakui dunia usaha/industri, karena mereka lebih
memilih dan menilai kompetensi sendiri secara langsung. Kedua, tidak ada
koordinasi dengan Kemendiknas/Direktorat Pembinaan SMK, karena sejatinya
Kemendiknas tidak sepaham dengan sertifikasi pola LSP bagi siswa/lulusan SMK.

Faktor eksternal berikutnya adalah selera dan tuntutan dunia


usaha/industria yang cenderung memilih jalan sendiri, artinya tidak memilih
ukuran kompetensi lulusan SMK menurut versi Kemendiknas dan juga tidak
menurut versi BNSP-LSP. Mereka lebih tertarik melakukan seleksi dan penilaian
secara langsung, utamanya ketika siswa melaksanakan praktik kerja industri
(magang).
10

Uraian di atas intinya menjelaskan bahwa ada permasalahan serius yang


perlu ditata ketika membahas pengembangan dan pembangunan citra SMK.
Secara internal perlu ada kesadaran menyeluruh pada pengelola SMK (kepala
sekolah dan guru) tentang perlunya peningkatan mutu pendidikan untuk
membekali kompetensi siswa. Dengan demikian, setelah lulus mendapat
pengakuan dari dunia usaha/industri, bukan sekadar pengakuan dari Kemendiknas
atau LSP. Secara eksternal, perlu ada deregulasi terhadap aturan/kebijakan yang
tidak mendukung perolehan kompetensi siswa.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
SMK bisa dikatakan lebih baik dibandingkan SMA, dikarenakan
beberapa faktor diantaranya lulusan SMK dibekali kemampuan umum dan
kemampuan ketrampilan khusus dalam bidang tertentu yang tidak ada di
SMA. Selain daripada itu lulusan SMK bisa langsung untuk bekerja
setelah lulus dari SMK, namun apabila ingin melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi juga bisa namun haruslah memilih jurusan yang sesuai dengan
keterampilan yang dimiliki semasa SMK, sehingga ilmu yang diterima
semasa SMK bisa dikembangkan lagi saat melanjutkan di Perguruan
Tinggi dan akan menjadi bekal yang cukup saat bekerja di masa depan.

B. Saran
Belum optimalnya kinerja SMK tentu tidak dapat dibiarkan, dan
perlu dicarikan solusinya. Sebab kondisi ini akan mengakibatkan lulusan
yang kurang mampu menghadapi tuntutan zaman yang sering disoroti oleh
masyarakat pemakai lulusan tersebut. Perkembangan ilmu dan teknologi
yang sangat cepat akan membuat keadaan ini lebih parah jika tidak
diantisipasi dengan cepat dan tepat, karena akan memperlebar jurang
pemisah antara yang seharusnya diketahui dan yang diketahuinya.
Implikasinya akan terjadi kesenjangan antara supply dan demand tenaga
kerja yang memberi dampak pada pengangguran.Pentingnya upaya
11

peningkatan mutu kinerja Sekolah Menengah Kejuruan tidak terlepas dari 


fungsi dan kedudukannya yang strategis.
DAFTAR PUSTAKA

Samsudi, (2009). Daya Serap Lulusan SMK Masih Rendah.

Collins 1979; Feinberg & Horowitz 1990; Chung 1995. Perumusan Manajemen
Berbasis Sekolah.

Brotosiswoyo, Suprapto. (1991, Agustus). Pendidikan Menengah. Makalah


Pengantar Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Jakarta:
Depdikbud.

Clinton, R. E. (1984). A Rationale for Collaboration: The view from industry.


Collaboration vocational education and the privat sector (pp.43-53).
Arlington, VA: The American Vocational Association.
Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
2005-2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Elliot, Janet. (1983). The Organization of Productive work in Secondary
Technical and Vocational Education the United Kingdom. London:
Unesco.
Badan Statistik Pendidikan. (2009). Survei Tenaga Kerja Nasional. Jakarta:
BPS
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. (1984). Curriculum Development in
Vocational and Technical Education: Planning, Content, and
Implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Malik, Oemar H. (1990). Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan,


Kewiraswastaan, dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.

Miner, Jacob. (1974). Family Insvesment in Human Capital: Earning of


Woman. Journal of Political Economy 82 (2). Pp.48-56.

National Council for Research into Vocational Education (NCRVE). (1981).


Towards a Theory of Vocational Educational. Columbus, Ohio: NCRVE
Publication.
13

Nurhadi, Mulyani A. (1988). The Effects of Schooling Factor on Personal


Earning within the Context of Internal Labor Market in PT. Petrokimia
Gresik (Persero) Indonesia. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Samani, Muchlas. (1992). Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi


penelitian pelacakan terhadap lulusan STM rumpun mesin tenaga dan
teknologi pengerjaan logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan
1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta, 1992.

Semiawan, Cony R. (1991, Januari). Pengembangan Kurikulum untuk


SMKTA Menyongsong Era Tinggal Landas. Makalah pada seminar
pengembangan kurikulum PMK. Jakarta: Balitbang Dikbud.
Sitorus, MT Felix. (1998). Penelitian Kualitatif: Suatu perkenalan.
Bogor:Kelompok Dokumen Ilmu Sosial IPB.
Slamet. (1990). Pondasi Pendidikan Kejuruan: Lembaran perkuliahan.
Yogyakarta: Pascasarjana IKIP Yogyakarta.
Soedijarto (2008). Kemampuan Profesional Guru Yang Sesuai Dengan Upaya
Peningkatan Relevansi Dan Mutu Pendidikan Nasional Serta Jaminan
Kesejahteraan Dan Perlindungan Yang Diperlukan Pendidik Profesional
(Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Tentang Perlindungan
Bagi Profesi Guru), diambil 17 Oktober 2009 dari
http://www.jakartateachers.com/4429.htm

Soekartawi. (2007). Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk


Meningkatkan Daya Saing Bangsa, diambil 8 Juni 2009 dari
http:www.setneg.go.id

Tilaar, H.A.R. (1991, September). Sistem Pendidikan yang Modern Bagi


Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila.
Makalah pada KIPNAS V, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai