Anda di halaman 1dari 41

PROPOSAL SKRIPSI

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK DAUN NANGKA KUNING (Tylophora


villosa Blume) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI KARBON TETRACLORIDA (CCl4)

LUSI ANGELIA

H1A016017

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

BENGKULU

2019
2

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Hepar adalah organ sentral dalam metabolisme tubuh dan penting untuk
pertahanan hidup, baik berupa perlindungan, detoksifikasi, maupun
metabolisme(Price, 2005), sehingga hati mudah mengalami kerusakan yang
mengakibatkan kematian sel. Salah satu penyakit yang sering dialami ialah
hepatitis. Hepatitis adalah peradangan pada sel hati yang disebabkan oleh infeksi
(virus,bakteri,parasit), konsumsi alkohol, lemak yang berlebihan , penyakit
autoimun dan intoksifikasi obat(Kumar, et al.2013). Menurut data Riskerdes tahun
2013 bahwa jumlah orang yang didiagnosis hepatitis di fasilitas pelayanan
kesehatan menunjukan peningkatan 2 kali lipat dibanding 2007.
Detoksifikasi bahan toksik dapat menyebabkan kerusakan hepar
(Aziz,2006). Salah satu senyawa yang dapat menyebabkan gangguan fungsi hepar
adalak karbon Tetraklorida (CCL4) (Jeang et al.,2004). CCL4 dapat menghasilkan
Radikal hidroksi dan superoksida . Karbon tetraklorida sering ditemukan dalam
industri dry cleaning, alat pemadam kebakaran, dan insektisida, terutama dalam
bidang pertanian sehingga sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan risiko
terpapar menjadi lebih besar (Department of Health and Human Services, 2011).
Karbon tetraklorida berubah menjadi bentuk radikal trichloromethyl
(CCl3•) dan kemudian menjadi radikal trichloromethyl peroksi (CCl3O2•) yang
sangat reaktif. Radikal ini dapat mengakibatkan peroksidasi PUFA
(polyunsaturated fatty acid) yang terdapat pada membran sel, sehingga
menyebabkan kerusakan pada sel (Hodgson dan Levi, 2002). Karbon tetraklorida
dapat masuk ke dalam tubuh manusia secara inhalasi, ingesti, dan kontak langsung
dengan kulit. Dalam tubuh senyawa ini dapat menimbulkan kerusakan pada hati
(Kumar et al., 2003).
Karbon tetraklorida akan dimetabolisme di retikulum endoplasma pada sel
hati. CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P450 menghasilkan zat yang reaktif
radikal (CCl3•). Radikal bebas (CCl3•) akan segera bereaksi dengan oksigen

2
3

membentuk radikal CCL302 yang jauh lebih reaktif dari pada CCl3•. Sifat CCl3•
sangat reaktif terhadap biomolekul seperti protein, lipid, karbohidrat, dan
nukleutida. Akibatnya fungsi biologis biomolekuler akan terganggu dan akhirnya
menyebabkan kematian sel. Triklorometilperoksidase menyebabkan inisiasi lipid
peroksidase oleh H+. Peningkatan Ca2+ intraseluler meningkatkan kerusakan
protein, DNA, dan aktivasi phospholipase. Meningkatnya kadar lipid peroksidasi
darah dan hepar dan plasma sebagai hasil akhir degradasi lipid peroksidasi.
Senyawa yang sering dijadikan petunjuk adanya kerusakan akibat radikal bebas
adalah MDA, glutation (GSH) dan enzim katalase.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, parasetamol mengalami
metabolisme oleh bentuk iso CYP450 menjadi N-asetil-p- benzokuinonimina
(NAPQI). Senyawa ini bersifat reaktif sehingga dapat menyebabkan
toksisitas bahkan dalam efek yang lebih lanjut dapat berdampak ke transplantasi
hati (Cairns, 2008).Untuk meredakan efek radikal bebas terhadap kerusakan
hepar diperlukan suatu antioksidan. (Zuraida, et al.,2015).
Tylopra villosa dikenal sebagai tanaman obat oleh warga Lubuk Linggau
(Ruyani., et al 2017). T.villosa merupakan sejenis tumbuhan yang terdapat
dihutan. Selain hidup dihutan T.villosa juga banyak tumbuh secara liar atau
ditanam oleh penduduk sebagai tanaman obat dan tanaman hias. T.villosa
memiliki banyak khasiat yang digunakan secara tradisional untuk pengobatan
liver, hepatitis B, batu ginjal, batu empedu dan penyakit kuning. Berdasarkan uji
fitokimia yang dilakukan prishellya (2012) didapatkan senyawa metabolit sekuder
yaitu golongan flavonoid, alkaloid dan triterpenoid. Peran alkaloid sebagai
hepatoprotektor adalah dengan menurunkan aktivitas enzim CYP2E1 dan
menurunkan sintesis enzim CYP2E1 melalui penurunan pembentukan mRNA
(Lin et al., 2011). Triterpenoid berperan dengan menghambat induksi enzim
CYP2E1 pada metabolisme di hepar (Li et al., 2015). Flavonoid menghambat
CYP450 dan secara signifikan meningkatkan kadar GSH dan SOD di hepar
(Jaydeokar et al., 2014).
Kemampuan yang hampir dimiliki semua bentuk flavonoid adalah
aktivitas sebagai antioksidan. Mekanisme flavonoid sebagai antioksidan

3
4

mencakup: 1) menekan pembentukan ROS dengan menekan kerja enzim atau


dengan mengikat unsur-unsur yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas, 2)
mengikat ROS secara langsung, 3) meningkatkan antioksidan (Kumar dan
Pandey, 2013). Silimarin merupakan ekstrak flavonoid aktif dari buah Silybum
marianum yang sering digunakan sebagai terapi pada berbagai bentuk kerusakan
hepar. Silimarin merupakan suatu kompleks yang terdiri dari tujuh flavolignan
dan satu flavonoid yaitu taxifolin. Komponen utama flavolignan dalam silimarin
adalah silybinin (Polyak et al., 2013). Kemampuan silimarin sebagai
hepatoprotektor didasarkan pada data penelitian terhadap hewan yang
menunjukkan kemampuan silybinin dalam mencegah atau meringankan kerusakan
hepar akibat toksin atau perkembangan fibrosis (Ferenci, 2016)

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian dan teori di atas, menunjukkan


bahwa ekstrak T.villosa blume memiliki aktivitas antioksidan sedangkan CCL4
merupakan obat yang dapat menginduksi pembentukan radikal bebas yang
menyebabkan kerusakan hati. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai efek hepatoprotektif ekstrak daun nangka kuning (T. villosa
Blume) terhadap kadar Malondialdehid (MDA) hati tikus putih (Rattus
norvegicus) yang diinduksi Karbon Tetraklorida(CCl4).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh ekstrak daun T. villosa Blume terhadap kadar
Malondialdehid Rattus norvegicus yang diinduksi CCL4 ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
pengaruh ekstrak daun Tylophora villosa Blume dalam menghambat stres
oksidatif akibat CCL4.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini secara khusus adalah:

4
5

1) Mengetahui pengaruh penggunaan ekstrak daun T. villosa Blume


terhadap penurunan kadar MDA sebagai penanda stres oksidatif
karena CCL4.
2) Mengetahui konsentrasi paling efektif dalam penggunaan daun
T. villosa Blume terhadap kejadian stres oksidatif karena CCL4.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
1) Menambah pengalaman untuk peneliti sendiri dan dapat menjadi acuan
untuk penelitian selanjutnya.
2) Peneliti dapat mengetahui efek yang ditimbulkan dari pemberian ektrak
daun T.villosa blume terhadap pemulihan kadar Malondialdehid Rattus
norvegicus yang telah terpapar CCl4
1.4.2 Bagi Universitas Bengkulu:
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan bahan referensi
tambahan untuk Universitas Bengkulu mengenai pengaruh ektrak daun nangka
kuning terhadap pemulihan Malondialdehid Rattus norvegicus yang terpapar
CCl4.

1.4.3. Bagi FKIK UNIB


Dapat membantu untuk menjadikan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Bengkulu (FKIK UNIB) sebagai lembaga yang peka
dan kritis serta memberikan inovasi ilmu pengetahuan yang telah terbukti secara
ilmiah terhadap masalah kesehatan yang ada.

1.4.4. Bagi Masyarakat


Memberi landasan ilmiah akan manfaat dan penggunaan kearifan lokal
yang ada di masyarakat yaitu daun T. villosa Blume sebagai obat gangguan
fungsi hati.

5
6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sari Pustaka


2.1.1. Daun Namgka kuning (Tylopora villosa blume)
2.1.1.1. Deskripsi Tumbuhan
Tylophora villosa Blume adalah tumbuhan yang memiliki daun
berbentuk bulat hati, lonjong, berujung runcing, tumbuh berselang-seling,
bertangkai, teksturnya agak kasar dan berbulu halus. Batangnya berwarna coklat
kehijauan, berbentuk bulat dan berkerut. Tumbuhan ini menjalar dan merambat
pada batang pohon yang berada di sekelilingnya (Sinta, 2012).
Masyarakat lebih mengenal T. villosa Blume dengan sebutan daun nangka
kuning (Ruyani, 2018). Tumbuhan ini sering digunakan masyarakat sebagai obat
tradisional untuk mengobati penyakit pada hepar, seperti hepatitis atau penyakit
kuning (Sinta, 2012).

Gambar 2.1 Tylophora villosa Blume (Penulis, 2019).

2.1.1.2. Taksonomi
Dalam ilmu taksonomi, T. villosa Blume diklasifikasikan sebagai berikut (Cole,
2017):
Kingdom : Plantae
Unranked : Angiospermae
Unranked : Eudicots

6
7

Unranked : Core Eudicots


Unranked : Super Asterids
Unranked : Asterids
Unranked : Lamiids
Ordo : Gentianales
Famili : Apocynaceae
Subfamili : Asclepiadaceae
Genus : Tylophora
Spesies : Tylophora villosa Blume
2.1.1.3. Kandungan Senyawa Tumbuhan
Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan Prishellya (2012), diketahui
bahwa daun T. villosa Blume mengandung senyawa metabolit sekunder golongan
alkaloid, flavonoid, dan triterpenoid. Peran alkaloid sebagai hepatoprotektor
adalah dengan menurunkan aktivitas enzim CYP2E1 melalui penurunan
pembentukan mRNA (Lin et al., 2011). Triterpenoid berperan dengan
menghambat induksi enzim CYP2E1 pada metabolisme di hepar (Li et al., 2015).
Flavonoid menghambat CYP450 dan secara signifikan meningkatkan kadar GSH
dan SOD di hepar (Jaydeokar et al., 2014). Kemampuan yang hampir dimiliki
semua bentuk flavonoid adalah aktivitas sebagai antioksidan. Mekanisme
flavonoid sebagai antioksidan mencakup: 1) menekan pembentukan ROS dengan
menekan kerja enzim atau dengan mengikat unsur-unsur yang terlibat dalam
pembentukan radikal bebas, 2) mengikat ROS secara langsung, 3) meningkatkan
antioksidan (Kumar dan Pandey, 2013).

2.1.1.4. Efek Tylophora villosa Blume dari Penelitian Sebelumnya


Pada penelitian yang dilakukan oleh Ruyani et al. (2018), membuktikan
bahwa ekstrak daun T. villosa Blume memiliki efek terapetik terhadap
hepatotoksisitas pada mencit yang diinduksi parasetamol. Ekstrak daun T. villosa
Blume memiliki efek terapetik terhadap parasetamol dengan menghambat
peroksidasi lipid ditandai dengan menurunnya kadar MDA yang meningkat akibat
induksi parasetamol. Selain menurunkan kadar MDA, ekstrak daun T. villosa

7
8

Blume juga dapat menurunkan kadar serum glutamat pyruvate transaminase


(SGPT) dan serum glutamate oxaloacetate transaminase (SGOT) yang meningkat
karena induksi parasetamol (Ruyani et al., 2018).

2.1.2. Karbon Tetraklorida (CCL4)


2.1.2.1. Deskripsi
Karbon tetraklorida (Gambar 2.4) adalah senyawa kimia dengan rumus
molekul CCl4. Karbon tetraklorida berupa cairan bening yang tidak mudah
terbakar dan memiliki bau yang khas, larut dalam etanol, aseton, benzen, karbon
disulfida dan memiliki kelarutan rendah dalam air (Oehha, 2000). Karbon
tetraklorida merupakan cairan yang mudah menguap dan senyawa kimia yang
dikhawatirkan menyebabkan karsinogen dan dibuktikan melalui penelitian
terhadap hewan uji. Karbon tetraklorida pada masa lalu sering digunakan sebagai
pembersih dan bahan pemadam kebakaran (Department of Health and Human
Services, 2011).

Gambar 2.4 Rumus CCl4 (Oehha, 2000)

Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang bersifat toksik. Karbon


tetraklorida di dalam tubuh akan mengalami proses biotransformasi oleh enzim
CYP2E1 membentuk radikal bebas yaitu radikal triklormetil (CCl3•). Radikal ini
kemudian akan bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal triklorometil
peroksi (OOCCl3 •) yang reaktif (Hippeli dan Elstner, 1999).
Radikal triklorometil dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sitokrom
P-450. Radikal triklorometil akan berikatan secara kovalen dengan lemak

8
9

mikrosomal dan protein, bereaksi secara langsung dengan membran fosfolipid dan
kolesterol. Reaksi ini juga menghasilkan kloroform, yang merupakan salah satu
metabolit dari karbon tetraklorida. Selain itu, radikal triklorometil juga dapat
menginisiasi terjadinya radikal lipid yang menyebabkan terbentuknya lipid
hidroperoksidase (LOOH) dan radikal lipid alkoksil (LO •). Melalui proses
fragmentasi, radikal lipid alkoksil tersebut akan diubah menjadi malondialdehid.
Senyawa aldehid inilah yang akan menyebabkan kerusakan pada membran plasma
dan meningkatkan permeabilitas membran (Bruckner dan Warren, 2001).
Senyawa radikal ini diketahui menyebabkan hepatotoksisitas dan juga
merupakan suatu nefrotoksin. Kerusakan ginjal akut yang berhubungan dengan
keracunan CCl4 dapat menyebabkan penurunan kerja ginjal melalui sindrom
hepatorenal tetapi secara langsung dapat menyebabkan terjadinya luka pada
tubulus ginjal. Karbon tetraklorida dapat menyebabkan terjadinya nekrosis pada
tubulus kontortus ginjal dan pada lengkung Henle. Pembengkakan pada membran
glomerular umumnya juga terlihat (Goldfrank et al., 2002).
Gejala umum yang biasa terjadi pada depresi SSP seperti, sakit kepala,
pusing, kelemahan, ataksia, letargi, stupor, dan koma. Gejala gastrointestinal juga
dapat terjadi seperti, mual, sakit perut, muntah, dan diare (Department of Health
dan Human Services U.S., 2005).
Penatalaksanaan keracunan CCl4 dilakukan secara suportif berdasarkan
simtomatik. Keracunan CCl4 dapat menyebabkan depresi SSP dan gangguan
gastrointestinal. Angka kesembuhan dari keracunan CCl4 sekitar 10-30% (Kurek-
Górecka et al., 2014). Dalam kasus yang lebih ringan, efek keracunan biasanya
akan menghilang dalam waktu satu atau dua hari setelah paparan dihentikan.
Paparan lebih dari 24 jam akan menyebabkan kerusakan hati dan ginjal
(Department of Health dan Human Services U.S., 2005).
Penatalaksanaan pada kulit yang terkena paparan CCl4 yaitu dibersihkan
dengan air atau natrium bikarbonat 2% dan sabun atau deterjen. Pada mata,
paparan CCl4 dibersihkan dengan aliran air atau natrium bikarbonat 2% minimal
15 menit. Tata laksana keracunan CCl4 oral adalah bilas lambung dengan kalium
permanganat. Karbon tetraklorida yang terpapar secara inhalasi harus segera

9
10

diberikan terapi oksigen. Gagal ginjal akibat CCl4 dapat diterapi dengan
hemodialisis atau dialisis peritoneal (Department of Health dan Human Services
U.S., 2005).

2.1.3. Malondialdehid
Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehid. Senyawa oksigen
reaktif yang berinteraksi dengan lipid bilayer pada membran sel akan
menghasilkan peroksidasi lipid dan akan membentuk produk akhir berupa MDA.
Struktur kimia dari senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus
molekul C3H4O2 (Gambar 2.4) (Perlitasari, 2010).

Gambar 2.1 Struktur Kimia Malondialdehid (Perlitasari, 2010).

2.1.4.1. Jalur Pembentukan MDA


Malondialdehid adalah produk alami dari peroksidasi lipid. Peroksidasi
lipid adalah mekanisme yang terjadi karena cedera seluler dan digunakan sebagai
indikator stres oksidatif dalam sel dan jaringan. Peroksidasi lipid berasal dari
asam lemak tak jenuh ganda yang tidak stabil dan terurai untuk membentuk
serangkaian senyawa kompleks (Perlitasari, 2010).
Malondialdehid adalah produk akhir yang dihasilkan oleh dekomposisi
asam arakidonat dan Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA), melalui proses
enzimatik dan nonenzimatik (Gambar 2.5). Produksi MDA oleh proses enzimatik
telah diketahui, namun fungsi biologisnya belum dipelajari. Produksi MDA
dengan proses nonenzimatik masih kurang dipahami, namun MDA diyakini
berasal dari kondisi stres dan memiliki kemampuan reaksi yang tinggi dengan
beberapa biomolekul seperti protein atau DNA (Ayala et al., 2014).

10
11

Produksi MDA melalui proses enzimatik dapat dilihat pada Gambar 2.5
jalur berwarna biru. Malondialdehid dapat dihasilkan secara in vivo sebagai
produk sampingan oleh proses enzimatik selama biosintesis tromboksan A 2
(TXA2). Tromboksan A2 adalah metabolit asam arakidonat yang aktif secara
biologis, yang dibentuk oleh aksi tromboksan A2 sintase pada prostaglandin
endoperoksid atau prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin H2 dihasilkan dari
perubahan endoperoksida siklik G2 (PGG2) oleh prostacyclin hydroperoxidase,
sedangkan PGG2 dihasilkan oleh aksi siklooksigenase pada asam arakidonat (AA)
(Ayala et al., 2014).
Produksi MDA melalui proses non enzimatik dapat dilihat pada Gambar
2.5 jalur berwarna merah. Malondialdehid terbentuk dari peroksidasi lipid pada
membran sel yang merupakan reaksi radikal bebas yaitu radikal hidroksil ( ֗OH)
dengan PUFA. Proses peroksidasi lipid terbagi menjadi tiga tahap yaitu inisiasi,
propagasi, dan terminasi (Ayala et al., 2014).
Pada tahap inisiasi dimulai produksi asam lemak radikal. Pada tahap itu
terjadi serangan radikal bebas umumnya spesies oksigen reaktif terhadap partikel
lipid dan menghasilkan air dan asam lemak radikal. Pada tahap propagasi, asam
lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat tidak stabil dan
mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan menghasilkan suatu peroksi
radikal asam lemak. Bahan ini juga ternyata bersifat tidak stabil dan kemudian
bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya untuk menghasilkan asam lemak
radikal yang baru dan dapat menghasilkan peroksida lipid atau peroksida siklik
bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut sedemikian rupa hingga
memasuki tahap terminasi. Tahap terminasi terjadi ketika suatu radikal bereaksi
dengan non radikal maka akan menghasilkan suatu radikal baru. Proses ini
dinamakan dengan mekanisme reaksi berantai. Reaksi radikal akan berhenti bila
terdapat dua radikal yang saling bereaksi dan menghasilkan suatu spesies non
radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika konsentrasi spesies radikal sudah
sedemikian tingginya sehingga memungkinkan dua spesies radikal untuk saling
bereaksi (Yasa, 2013).

11
12

Radikal bebas antara yang terbentuk setelah siklisasi dapat disiklisasi lagi
untuk membentuk endoperoksida bisiklik dan mengalami pembelahan untuk
menghasilkan MDA. Selain itu, peroksidasi lipid akan mengaktifkan enzim
cyclooxygenase untuk meningkatkan sintesis tromboksan sehingga produksi
MDA dihasilkan dari jalun enzimatik maupun nonenzimatik (Ayala et al., 2014).

Keterangan:
PUFA : Polyunsaturated
Fatty Acid;
AA : asam arakidonat;
PUFA radical PGG2 : endoperoksida
siklik G2;
PGH2 : Prostaglandin
H2;
TXA2 : tromboksan A2;
PUFA peroxide HHT : asam lemak
Cyclization radical hidroksi;
MDA : Malondialdehid;
O2 : Oksigen;
Oxy radical Lipid hydroperoxide H+ : Hidrogen;
CO2 : karbon dioksida;
H2O : Air
Bicyclic
endoperoxid
e
Monocyclic
peroxidase

MDA-protein adducts
MDA-DNA adducts
Malonic
semialdehyde
Kerusakan biomolekuler
Kematian sel
Acetate Acetaldehyde

Gambar 2.2 Metabolisme dan Pembentukan MDA (Ayala et al., 2014). Enzim
kunci yang terlibat dalam pembentukan dan metabolisme MDA: 1)
siklooksigenase; 2) prostacyclin hydroperoxidase; 3) tromboksan
sintase; 4) aldehid dehidrogenase; 5) dekarboksilase; 6) asetil
CoAsynthase; 7) siklus asam tricarboxylic.

12
13

Setelah terbentuk, MDA dapat dimetabolisme secara enzimatik atau dapat


bereaksi pada protein seluler dan protein jaringan atau DNA untuk membentuk
adisi yang menghasilkan kerusakan biomolekuler. Studi awal menunjukkan
bahwa rute biokimia probabilitas untuk metabolisme MDA melibatkan oksidasi
dengan mitokondria aldehid dehidrogenase diikuti oleh dekarboksilasi untuk
menghasilkan asetaldehid. Asetaldehid dioksidasi oleh aldehid dehidrogenase
menjadi asetat dan berlanjut menjadi CO2 dan H2O (Ayala et al., 2014) (Gambar
2.5 jalur hijau).

2.1.4.2. Deteksi MDA dan Thiobarbituric Acid Reactive Substance Assay


Malondialdehid adalah salah satu marker paling populer dan dapat
diandalkan untuk mendeteksi stres oksidatif di situasi klinis. Pendeteksian dan
pengukuran MDA dapat dilakukan secara spektrofotometrik atau fluorometrik.
Penyimpanan sampel harus terlindung dari cahaya karena MDA bersifat tidak
stabil dan harus didinginkan jika tidak langsung diperiksa (Perlitasari, 2010).
Uji thiobarbituric acid reactive substances (TBARS) adalah uji yang
paling sering digunakan untuk mengukur proses peroksidasi lipid asam lemak
tidak jenuh. Prinsip yang digunakan dalam uji TBARS didasarkan pada reaksi
MDA dengan asam tiobarbiturat (TBA) akan membentuk senyawa berwarna
merah muda yaitu MDA-TBA2 (Gambar 2.6). Hal tersebut juga didasarkan pada
reaksi kondensasi antara satu molekul MDA dengan dua molekul TBA pada
kondisi asam dan mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang 532-534 nm
(Perlitasari, 2010).

Gambar 2.3 Reaksi Pembentukan Senyawa Kompleks MDA-TBA (Perlitasari,


2010)

13
14

Untuk mendapatkan hasil pengukuran, senyawa berwarna tersebut diukur


konsentrasinya berdasarkan absorbansi warna yang terbentuk, dengan
membandingkannya pada absorbansi warna larutan standar yang telah diketahui
konsentrasinya menggunakan spektrofotometer (Perlitasari, 2010).

2.1.4. Silimarin
Silimarin merupakan ekstrak flavonoid aktif dari buah Silybum marianum
yang sering digunakan sebagai terapi pada berbagai bentuk kerusakan hepar.
Silimarin merupakan suatu kompleks yang terdiri dari tujuh flavolignan dan satu
flavonoid yaitu taxifolin. Komponen utama flavolignan dalam silimarin adalah
silybinin yang merupakan campuran 50:50 dari silybin A dan silybin B,
komponen lainnya yaitu silydianin, silychristin, isosilybin A, isosilybin B,
isosilychristin (Polyak et al., 2013). Kemampuan silimarin sebagai
hepatoprotektor didasarkan pada data penelitian terhadap hewan yang
menunjukkan kemampuan silybinin dalam mencegah atau meringankan kerusakan
hepar akibat toksin (seperti etanol, galactosamine, phalloidin, dan CCl4) atau
perkembangan fibrosis (Ferenci, 2016)
Silimarin memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antifibrosis,
antiproliferatif, imunomodulator, serta antiviral (Polyak et al, 2013). Silimarin
bekerja sebagai antioksidan dengan cara mengambil radikal bebas secara
langsung, mencegah pembentukan radikal bebas melalui penghambatan enzim
spesifik yang bertanggung jawab terhadap pembentukan radikal bebas,
berpartisipasi dalam pemeliharaan status redoks yang optimal pada sel dengan
mengaktifkan berbagai enzim antioksidan dan antioksidan non-enzimatik,
terutama melalui faktor transkripsi, seperti Nrf2 (Nuclear factor erythroid 2-
related factor 2) dan NF-κB (Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of
activated B), dan menyediakan perlindungan tambahan dalam kondisi stres (Surai,
2015). Selain memiliki aktivitas sebagai antioksidan, silimarin juga mampu
menurunkan oksidasi glutation sehingga meningkatkan kadar GSH di hepar,
sehingga mampu menstabilkan membran sel-sel hepar, dan mampu meningkatkan
sintesis protein hepatosit (Wang et al., 2015).

14
15

2.1.7. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague-Dawley


2.1.7.1. Taksonomi
Dalam ilmu taksonomi, tikus putih (Rattus norvegicus L.) diklasifikasikan
sebagai berikut (Besselsen, 2004):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Sub-kelas : Theria
Infrakelas : Eutharia
Ordo : Rodensia
Sub-ordo : Scuirognathi
Famili : Muridae
Sub-famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus L.

2.1.7.2. Deskripsi Rattus norvegicus L.


Rattus norvegicus L. merupakan hewan mamalia yang umum digunakan
sebagai hewan percobaan dalam penelitian karena memiliki beberapa keunggulan
di antaranya memiliki kemiripan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang
relatif pendek, jumlah anak per kelahiran tinggi, dan mudah dalam
penanganannya (Gambar 2.8) (Moriwaki et al., 1994). Tikus jantan dipilih karena
kondisi biologis tikus jantan relatif lebih stabil serta tidak dipengaruhi ovulasi dan
hormonal seperti tikus betina. Rattus norvegicus L. memiliki beberapa galur, salah
satunya adalah galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna albino putih,
bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit, telinga yang tebal dan pendek
dengan rambut halus, mata berwarna merah, serta ekor yang lebih panjang
daripada panjang badan (Sirois, 2005). Data fisiologis dari R. norvegicus dapat
dilihat pada Tabel 2.1.

15
16

Tabel 2.1. Data Fisiologis Rattus norvegicus L.


Nilai Fisiologis Kadar
Berat tikus jantan dewasa 450-550 g
Berat tikus betina dewasa 250-300 g
Kebutuhan makan 10 g/100gBB
Kebutuhan minum 10-12 mL/100gBB
Jangka hidup 2,5-3,5 tahun
Temperature tubuh 37ºC
Detak jantung 260-40 kali/menit
Tekanan darah
Sistolik 88-184 (116) mmHg
Diastolik 58-145 (90) mmHg
Laju pernapasan 75-115 kali/menit
Volume urin 5,5 mL/100gBB
Berat hepar 10 g/250gBB
Volume hepar 19,6 mL/250gBB
Sengupta, 2013

Gambar 2.4 Rattus norvegicus L. Galur Sprague Dawley (Penulis, 2019)

16
17

2.2 kerangka pemikiran

Metabolisme di Retikulum Radikal bebas


CCL4
endoplasma oleh CYP 450 trichloromethyl (CCl3•)

radikal trichloromethyl
peroksi (CCl3O2•)

Flavonoid,
Ekstrak Tylophora ↑ ROS
Alkaloid,
villosa Blume
Triterpenoid
↓ GSH,
SOD, CAT

↑ SO

Keterangan : Peroksidasi Lipid


↑ : Meningkatkan
↑ MDA
↓ : Menurunkan

17
18

2.3. Kerangka Konsep

Tikus Putih(R. norvegicus L.)


Pemberian
Ekstrak T. villosa
Blume
Pemberian karbon Tetraklorida

Efek hepatoprotektif dari


alkaloid, flavonoid, dan
Pembentukan ROS
triterpenoid

Stres oksidatif

Peroksidasi lipid Keterangan:


: Jalur toksisitas
:Jalur pencegahan
MDA : Menghambat

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

2.4. Hipotesis
Hipotesis kerja dari penelitian ini adalah:
1) Terdapat perbedaan massa dan volume hepar yang signifikan antara tikus
pada kelompok kontrol dan kelompok pemberian ekstrak daun T. villosa
Blume yang diinduksi karbon tetraklorida.
2) Terdapat perbedaan kadar MDA hepar yang signifikan antara tikus pada
kelompok kontrol dan kelompok pemberian ekstrak daun T. villosa Blume
yang diinduksi karbon tetraklorida.

18
19

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan
rancangan post test only control grup design. Penelitian ini menggunakan 5
kelompok dengan 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sumber Belajar Ilmu Hayati (SBIH) Ruyani
untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan kepada hewan coba (Ruyani et al.,
2018). Pembuatan ekstrak daun T. villosa Blume dilakukan di Laboratorium
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas
Bengkulu. Kegiatan pemeriksaan dan penghitungan kadar malondialdehid (MDA)
dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
(FKIK), Universitas Bengkulu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April
sampai Juli 2019.
3.3. Subjek Penelitian
3.3.1. Populasi penelitian
Subyek penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus L.)
jantan galur Sprague Dawley sebagai hewan coba. Subyek penelitian dipilih
secara acak menggunakan metode simple random sampling, kemudian dibagi
menjadi 5 kelompok perlakuan. Ciri-ciri galur ini yaitu berwarna albino putih,
bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit, telinga yang tebal dan pendek
dengan rambut halus, mata berwarna merah, serta ekor yang lebih panjang
daripada panjang badan (Sirois, 2005).
Rattus norvegicus L. dipilih dengan beberapa pertimbangan: 1) memiliki
saluran pencernaan tipe monogastrik seperti manusia; 2) mudah dicekok; dan 3)
memiliki volume lambung yang cukup besar yaitu 3-5 mL dengan volume
maksimal dalam sekali pemberian mencapai 1 mL, sedangkan mencit hanya
sekitar 0,25 mL. Galur Sprague Dawley dipilih karena memiliki sifat yang tidak
terlalu agresif dibanding tikus Wistar (Sirois, 2005).

19
20

3.3.2. Kriteria Sampel


3.3.2.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dari sampel adalah:
1) Tikus putih (R. norvegicus L.) galur Sprague Dawley berkelamin jantan.
2) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley berusia 10-12 minggu.
3) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley dengan berat badan 200-300 g.
4) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley yang memiliki anggota tubuh yang
lengkap.
5) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley dengan kondisi sehat dan gerakan
aktif.
6) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley yang belum pernah menerima
perlakuan atau terkontaminasi bahan kimia.

3.3.2.2. Kriteria Eksklusi


Kriteria eksklusi dari sampel adalah:
1) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley yang mengalami penurunan berat
badan lebih dari 20% selama masa adaptasi sebelum pemberian perlakuan.
2) R. norvegicus L. galur Sprague Dawley yang mati saat masa adaptasi.

3.3.2.3. Kriteria Drop Out


Kriteria drop out dari sampel adalah R. norvegicus L. galur Sprague
Dawley yang mati selama proses penelitian setelah pemberian perlakuan.

3.3.3. Jumlah Sampel


Jumlah sampel yang dibutuhkan sesuai dengan banyaknya pengulangan
yang harus dilakukan pada setiap kelompok perlakuan. Banyaknya pengulangan
dalam tiap kelompok dihitung dengan menggunakan rumus Federer (1967) yaitu:

( t - 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15 (3.1)
Keterangan:
t = banyaknya kelompok perlakuan

20
21

r = banyaknya pengulangan pada tiap kelompok perlakuan


Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan
sampel menjadi:
( t - 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
( 5 - 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
4 ( r – 1 ) ≥ 15
4r – 4 ≥ 15
4r ≥ 15 + 4
4r ≥ 19
r ≥ 4,75
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, pengulangan pada tiap kelompok
minimal dilakukan sebanyak 4,75 kali. Pada penelitian ini, pengulangan
dibulatkan menjadi 5 kali untuk tiap kelompok yang mengacu pada batas minimal
dari hasil perhitungan di atas sehingga sampel yang dibutuhkan adalah 25 ekor R.
norvegicus L. jantan galur Sprague Dawley.
Untuk mengantisipasi berkurangnya jumlah sampel karena drop out, maka
dilakukan koreksi dengan:
N = n / (1 - f) (3.2)
Keterangan:
N = Besar sampel koreksi tiap kelompok perlakuan
n = Besar sampel awal tiap kelompok perlakuan
f = Perkiraan proporsi drop out sebesar 10 %

Jumlah sampel yang digunakan tiap kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor,


maka perhitungan sampel koreksi menjadi:
N = n / (1 - f)
N = 5 / (1 – 0,1)
N = 5 / (0,9)
N = 5,556

21
22

Berdasarkan perhitungan di atas, jumlah sampel yang digunakan pada tiap


kelompok perlakuan dibulatkan menjadi 6 ekor sehingga total akhir sampel yang
digunakan adalah 30 ekor R. norvegicus L. galur Sprague-Dawley.

Tabel 3.1. Pembagian Kelompok Hewan Coba


No Nama Perlakuan Jumlah
. kelompok Hewan Uji
(ekor)
1 P0 Kontrol (normal) 6
2 P1 Diberi karbon tetraklorida 6
3 P2 Diberi ekstrak T. villosa Blume dosis I 6
(0,077 mg/gBB) dan karbon tetraklorida
4 P3 Diberi ekstrak T. villosa Blume dosis II 6
(0.154 mg/gBB) dan karbon tetraklorida
5 P4 Diberi silimarin 100 mg/kg dan karbon 6
tetraklorida
Keterangan: P0: kontrol normal, P1: perlakuan I, P2: perlakuan II, P3: perlakuan
III, P4: perlakuan IV.

3.4. Rancangan Alur Penelitian


Penelitian ini menggunakan R. norvegicus L. jantan galur Sprague Dawley
sebagai hewan coba yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan. Kelompok P0
adalah kelompok normal yang tidak diberi perlakuan apapun, sedangkan
kelompok P1-P4 diberi perlakuan yang berbeda-beda selama 21 hari. Pada hari
ke-22, jaringan hepar diambil untuk diukur kadar MDA hepar tikus. Setelah itu
dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh lalu dilaporkan.

22
23

Peneliti memperoleh persetujuan dan izin dari Komite


EtikPenelitian Kesehatan FKIK UNIB

Pembuatan ekstrak T. villosa Blume

Pengelompokan tikus putih

P0 P1 P2 P3 P4
6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

Ekstrak T. Ekstrak T.
villosa villosa Silimarin
Blume 0,077 Blume 0,154 100 mg/kg
mg/gBB mg/gBB
Pengulangan
selama 21 hari
60 menit pasca pemberian ekstrak

Injeksi CCl4 3ml

Pengambilan sampel hepar dan pengkuran kadar MDA dengan uji TBARS pada hari ke-22

Analisis data

Pelaporan

Gambar 3.1 Rancangan Alur Penelitian

3.5. Variabel Penelitian


3.5.1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah dosis pemberian ekstrak daun T.
villosa Blume yang diberikan pada hewan coba R. norvegicus L. jantan galur
Sprague Dawley.

23
24

3.5.2. Variabel Terikat


Variabel terikat pada penelitian ini adalah data kadar MDA hepar R.
norvegicus L. jantan galur Sprague Dawley.

3.6. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Tabel 3.2. Definisi Operasional
Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
CCl4 Senyawa yang Menyuntikkan
dapat senyawa CCl4 ke
memberikan dalam tubuh 3 mL/kg BB __

efek toksik tikus putih


pada tikus (Rattus
putih. norvegicus)
Dosis ekstrak Takaran dari Penghitungan Dosis ekstrak daun Numerik
daun T. ekstrak daun T. dan penimbangan T. villosa Blume
villosa Blume villosa Blume dengan yang digunakan,
yang memiliki timbangan yaitu:
efek proteksi analitik I : 0,077 mg/gBB
hepar hewan II : 0,154 mg/gBB
coba

24
25

Tabel 3.2 Lanjutan

Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Kadar MDA Kadar MDA Pengukuran Dinyatakan dalam Numerik
yang dihitung menggunakan µmol/L homogenat
pada hari ke- metode hati
22 perlakuan kolorimetrik
(gelombang
532 nm)
menggunakan
spektofotomete
r
Dosis Takaran dari Penghitungan Dosis silimarin Numerik
silimarin silimarin yang dan yang digunakan
memiliki penimbangan yaitu 100 mg/kgBB
kemampuan dengan
proteksi timbangan
terhadap hepar analitik
Massa Hepar Massa hepar Penimbangan Dinyatakan dalam Numerik
yang diukur dengan satuan gram
pada hari ke- timbangan
22 perlakuan analitik
Volume Volume hepar Pengukuran Dinyatakan dalam Numerik
Hepar yang diukur dengan satuan mL
pada hari ke- menggunakan
22 perlakuan gelas ukur
yang diisi
akuades

25
26

3.7. Alat dan Bahan Penelitian


3.7.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan adalah: 1) masker; 2) sarung tangan; 3) gunting;
4) nampan plastik; 5) timbangan analitik; 6) bejana perendam; 7) pengaduk; 8)
labu Eelenmeyer 500 mL; 9) toples kaca; 10) aluminum foil; 11) botol kaca gelap:
12) waterbath; 13) rotary evaporator; 14) corong pemisah; 15) tabung reaksi; 16)
kandang hewan coba; 17) alas kandang; 18) tempat makan hewan coba; 19)
tempat minum hewan coba; 20) ram kawat; 21) sonde; 22) spuit 5 cc; 23) pipet
suspens; 24) pipet tetes; 25) minor set; 26) gelas ukur; 27) lemari pendingin; 28)
iced gel pack; 29) cooling box 30) pisau scalpel; 31) mesin sentrifugasi; 32)
spektofotometer; 33) rak tabung reaksi; dan 34) pegangan tabung reaksi.
7.2. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang diperlukan dalam pembuatan ekstrak adalah 640 g
daun T. villosa blume yang telah dikeringkan dan etanol 96 %. Bahan yang
diperlukan untuk perlakuan adalah 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus L.)
jantan galur Sprague Dawley, pakan Rat Bio, sekam padi, ekstrak daun T. villosa
Blume, minyak wijen, isoniazid, rifampisin, dan silimarin. Bahan yang diperlukan
dalam pemeriksaan kadar MDA adalah larutan asam trikloroasetat (TCA) 10%,
larutan TBA 0,67%, KCl 15%, dan akuades.

3.8. Prosedur Penelitian


3.8.1. Pembuatan Ekstrak Daun Tylophora villosa Blume
Daun T. villosa Blume yang digunakan adalah daun yang berasal dari
tumbuhan pekarangan masyarakat karena daun tersebut belum dibudidayakan
sehingga masih mengandalkan daun T. villosa Blume yang ditanam oleh
masyarakat. Daun T. villosa Blume yang digunakan diambil di daerah Lubuk
Linggau, Sumatera Selatan karena daun T. villosa Blume merupakan tumbuhan
yang banyak terdapat di daerah tersebut. Daun yang diambil adalah daun segar
sebanyak 1600 g, kemudian dikeringkan dengan diangin-anginkan. Daun
dikatakan kering apabila tidak terdapat penurunan berat dari daun setelah dua kali
penimbangan. Sebanyak 640 g daun yang telah dikeringkan dipotong kecil-kecil

26
27

sampai halus hingga menjadi serbuk. Daun yang telah menjadi serbuk dimaserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 96% selama 7 hari sambil sesekali diaduk
kemudian disaring untuk mendapat filtratnya (Ruyani et al., 2018).

Ekstraksi adalah memperoleh zat aktif dari tumbuhan dengan pelarut


yang sesuai kemudian memekatkannya. Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat
aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai
selama beberapa hari pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya. Kandungan
flavonoid merupakan zat yang larut pada senyawa polar sehingga pelarut yang
digunakan adalah etanol 96% karena merupakan senyawa polar yang mudah
menguap. Pelarut masuk ke dalam sel tanaman melewati dinding sel. Isi sel
larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan
di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan
diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa
tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan di dalam sel dan
larutan di luar sel. Bahan yang tersaring dimaserasi ulang hingga rendaman
terlihat jernih. Filtrat yang didapat dari beberapa proses maserasi digabungkan
kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Prinsip kerja
rotary evaporator menggunakan prinsip destilasi (pemisahan) sehingga pelarut
dapat menguap lebih cepat dan diperoleh ekstrak kental yang diperkirakan sebagai
senyawa metabolit sekunder (Ruyani et al., 2018).

3.8.2. Persiapan dan Penanganan Hewan Uji


Hewan uji yang digunakan adalah R. norvegicus L. jantan galur Sprague
Dawley yang diperoleh dari Sekolah Teknologi Ilmu Hayati Institut Teknologi
Bandung (STIH ITB) dan dipelihara di Sumber Belajar Ilmu Hayati (SBIH)
Ruyani. Hewan coba diberikan waktu satu minggu untuk beradaptasi dengan
lingkungannya di Sumber Belajar Ilmu Hayati (SBIH) Ruyani (Ruyani et al.,
2018). Sebelum masa adaptasi, setiap hewan coba ditimbang berat awalnya.

27
28

3.8.2.1. Kandang Hewan Coba


Masing-masing hewan coba dipelihara di dalam kandang yang berbeda
dan setiap kandang memiliki ukuran yang sama yaitu 30 x 30 x 25 cm 3. Luas
lantai minimal yang dianjurkan untuk tikus dengan berat 200-300 g adalah 118,10
cm2 dan tinggi minimalnya adalah 17,78 cm. Kandang terbuat dari plastik dan
beralaskan sekam serta atap kandang menggunakan kawat anti karat. Kandang
ditempatkan di lingkungan yang kering dengan ventilasi yang cukup agar oksigen
yang masuk tercukupi dan juga menjaga kelembaban lingkungan kandang serta
dalam lingkungan kebisingan yang tidak berlebihan agar tidak terjadi stres pada
hewan uji. Selain itu, kandang tidak diberikan lampu tambahan, cahaya hanya
berasal dari sinar matahari sehingga siklus pencahayaan 12 jam terang dan 12 jam
gelap. Temperatur kandang selalu dijaga berkisar antara 20-25❑oC . Pembersihan
kandang dengan sabun serta penggantian alas kandang dilakukan secara rutin 2
kali setiap minggu. Peralatan lainnya juga dibersihkan dan dicuci sebelum
digunakan kembali (Harmita dan Radji, 2008).

3.8.2.2. Pakan dan Minum Hewan Coba


Selama proses adaptasi, hewan coba dipelihara pada kondisi lingkungan
yang homogen dengan suhu dan kelembaban udara yang sama. Hewan coba diberi
pakan Rat Bio dan air minum secara ad libitum. Kebutuhan makan harian tikus
putih sekitar 10 g/100 g berat badan per hari, sedangkan kebutuhan minum sekitar
10 ml/100 g berat badan. Pakan diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi
dan sore hari. Air minum selalu tersedia di tempat minum yang berada di dalam
kandang dan diisi serta diganti 2 kali sehari (Harmita dan Radji, 2008).

3.8.2.3. Pengelompokan Hewan Coba


Setelah masa adaptasi selesai, setiap hewan coba ditimbang kembali berat
badannya, kemudian dibagi secara acak dengan metode simple random sampling
menggunakan undian. Hewan coba diberikan masing-masing satu angka dari
angka 1 sampai 30, kemudian angka-angka tersebut diundi dan dikelompokkan ke

28
29

dalam 5 kelompok perlakuan yang berbeda. Setiap kelompok berjumlah 6 ekor


yang diambil berdasarkan nomor undian yang muncul pada tiap kelompok.
3.8.2.4. Anastesi Hewan Coba
Sebelum dilakukakan euthanasia, hewan coba diberikan anastesi dan
analgesik berupa ketamine/xylazine dengan dosis ketamine 40 mg/kgBB dan dosis
xylazine 5 mg/kgBB (American Veterinary Medical Assosiation, 2013). Efek
kerja dari kedua jenis obat ini dapat bertahan sekitar 60-80 menit dengan
pemberian secara intraperitoneal (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perternakan, 2016).

3.8.2.5. Eutanasia pada Hewan Coba


Eutanasia dilakukan pada akhir penelitian dengan cara cervical
dislocation. Eutanasia dilakukan di luar kandang dan tidak bercampur dengan
hewan lain (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perternakan, 2016).

3.8.3. Penentuan dan Konversi Dosis


3.8.3.1. karbon tetraklorida
Penelitian ini menggunakan dosis karbon tetraklorida 3 ml/kgBB/hari
untuk menimbulkan efek kerusakan hati yang parah pada hewan coba, hal ini
didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Adewale O.B et al. (2012).

3.8.3.2. Ekstrak Daun T. villosa Blume


Penelitian ini menggunakan dosis 110 mg/kgBB dan 220 mg/kgBB yang
mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ruyani et al. (2018). Penelitian
sebelumnya menggunakan mencit sebagai hewan coba sedangkan penelitian ini
menggunakan tikus, maka dosis pada mencit dari penelitian sebelumnya harus
dikonversikan dulu ke dosis tikus. Angka konversi dosis dari mencit 20 g ke tikus
200 g adalah 7,0. Sebelum dikonversikan ke dalam dosis tikus, satuan dosis
mencit harus diubah terlebih dahulu dari mg/kgBB mencit menjadi mg/20gBB
mencit.
1) Dosis I ekstrak daun T. villosa blume

29
30

110 mg/kgBB mencit = 2,2 mg/20gBB mencit


Dosis konversi ke tikus adalah 2,2 mg x 7 = 15,4 mg/200gBB tikus setara
dengan 0,077 mg/gBB tikus
2) Dosis II ekstrak daun T. villosa blume
220 mg/kgBB mencit = 4,4 mg/20gBB mencit
Dosis konversi ke tikus adalah 4,4 mg x 7 = 30,8 mg/200gBB tikus setara
dengan 0,154 mg/gBB tikus
Jadi, penelitian ini menggunakan 2 dosis yang berbeda yaitu, dosis I:
0,077 mg/gBB yang diberikan pada kelompok perlakuan 2 dan dosis II: 0,154
mg/gBB yang diberikan pada kelompok perlakuan 3.

3.8.3.3. Silimarin
Dosis silimarin yang umum digunakan sebagai pembanding pada banyak
penelitian yang meneliti kemampuan hepatoprotektif suatu ekstrak bahan alam
adalah 100 mg/kg. Pemberian silimarin dengan dosis 100 mg/kg terbukti mampu
memperbaiki kerusakan hepar (Jimenez-Arellanes et al., 2016). Penelitian ini
menggunakan silimarin dengan dosis tersebut untuk diberikan pada kelompok
perlakuan 4.

3.8.4. Pemberian Perlakuan


Setiap kelompok perlakuan dipelihara dengan cara yang sama dan
mendapatkan pakan dan air minum yang sama. Pemberian perlakuan dilakukan
setiap hari dengan masing-masing kelompok mendapatkan perlakuan yang
berbeda selama 21 hari (Tabel 3.3).

30
31

Tabel 3.3. Perlakuan pada Hewan Coba


No. Kelompok Perlakuan

1 P0 Kontrol normal
2 P1 Diberi carbon tetraklorida dengan dosis masing-masing
3ml/kgBB/hari
3 P2 Diberi ekstrak T. villosa Blume dosis 0,077 mg/g BB
kemudian diberi karbon tetraklorida dengan dosis masing-
masing 3ml /kgBB/hari
4 P3 Diberi ekstrak T. villosa Blume dosis 0,154 mg/g BB
kemudian diberi karbon tetraklorida dengan dosis masing-
masing 3 ml/kgBB/hari
5 P4 Diberi silimarin 100 mg/kgBB kemudian diberi karbon
tetraklorida dengan dosis masing-masing 3 ml/kgBB/hari
Keterangan: P0: kontrol normal, P1: perlakuan I, P2: perlakuan II, P3: perlakuan
III, P4: perlakuan IV.

Mengacu pada penelitian yang dilakukan Swamy (2010), pemberian


ekstrak daun T. villosa Blume diberikan 60 menit sebelum hewan coba diberi obat
karbon tetraklorida, di mana waktu pengosongan lambung tikus kurang lebih 2
jam, ekstrak daun T. villosa Blume dan silimarin dilakukan secara teratur pada
sore hari.
Dosis tetraklorida yang digunakan adalah 3 ml/kgBB/hari dan berat tikus
yang digunakan sekitar 300 g.. Untuk pemberian ekstrak daun T. villosa Blume
dan silimarin digunakan pelarut minyak wijen yang diberikan dengan metode
gavage melalui oral. Volume maksimal yang boleh diberikan dalam sekali proses
pemberian suatu perlakuan secara oral adalah sekitar 1-2 mL yang didasarkan
pada volume normal lambung tikus yaitu 3-5 mL. Apabila volume yang diberikan
melebihi volume lambung, maka dapat mengakibatkan dilatasi lambung secara
akut yang dapat menyebabkan robeknya saluran cerna.

31
32

3.8.5. Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan setelah 21 hari perlakuan yaitu pada hari ke-
22 dengan melakukan laparotomi dan hepatoktemi pembedahan pada tikus yang
telah dieutanasia untuk mengambil jaringan hepar.
3.8.5.1. Pemeriksaan Makroskopis Hepar
Pemeriksaan makroskopis hepar dilakukan dengan mengukur massa dan
volume hepar. Pengukuran massa hepar dilakukan dengan menimbang hepar
menggunakan timbangan analitik Metler Toledo dengan ketelitian 0,01 g.
Pengukuran volume hepar dilakukan dengan cara memasukkan organ hepar ke
dalam gelas ukur 100 mL yang telah diisi akuades. Volume hepar yang diukur
adalah kenaikan permukaan akuades pada gelas ukur.

3.8.5.2. Penyimpanan Hepar


Hepar yang telah diukur massa dan volumenya kemudian dikeringkan
menggunakan kertas saring. Hepar yang digunakan untuk pengukuran kadar MDA
disimpan dan dimasukkan kedalam kantung plastik yang berlabel kemudian
dibekukan segera dalam kulkas dengan suhu -20˚C. Sampel yang terkumpul
diperiksa dan dibawa menggunakan cooling box ke laboratorium biomedik FKIK
UNIB untuk dilakukan pemeriksaan MDA.
3.8.5.3. Proses Homogenasi Hepar
Pada proses homogenasi, hepar yang sudah diambil dan ditimbang lalu
dilarutkan menggunakan KCl dingin 15% dengan perbandingan 1:10. Jaringan
hepar yang didapat disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang telah terpisah dari jaringan hati dipindahkan ke dalam tabung
reaksi untuk dilakukan pemeriksaan kadar MDA menggunakan uji TBARS.

3.8.5.4. Pemeriksaan Thiobarbituric Acid Reactive Subtance (TBARS)


1) Pelaksanaan
Pemeriksaan malondialdehid (MDA) menggunakan metode thiobarbituric
acid reactive subtance (TBARS) diawali dengan membuat 2 larutan yaitu larutan
uji dan larutan blanko. Larutan uji dibuat dengan cara memasukkan homogenat

32
33

hepar 0,25 mL ke tabung reaksi dan ditambahkan larutan TCA 10% sebanyak
0,50 mL. Setelah itu tabung reaksi digoyang-goyangkan perlahan untuk
menghomogenkan. Selanjutnya homogenat disentrifugasi menggunakan mesin
sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang
didapat dipindahkan ke dalam tabung reaksi baru dan ditambahkan larutan TBA
0,67% sebanyak 0,75 mL kemudian dihomogenkan lagi. Larutan tersebut
dimasukkan ke penanggas mendidih selama 10 menit. Setelah didinginkan,
larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 532 nm,
kemudian dibaca hasilnya. Pada larutan blanko, larutan uji yang ditambah
homogenat hepar diganti dengan akuades sebanyak 0,25 mL, kemudian dilakukan
pengerjaan yang sama dengan prosedur untuk larutan uji.
2) Perhitungan
Kadar MDA dihitung dengan rumus:
Kadar MDA
A = ε c l………………………………………………(3.3)
Dimana:
A = Absorbansi
ε = 1,56 x 105 M-1 cm-1
c = konsentrasi (µmol/L homogenat hepar)
l = panjang/jarak = 1 cm
3.9. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan uji statistik parametrik karena variabel
diambil secara random dengan simple random sampling dan skala pengukuran
numerik. Data yang didapat dari pengukuran kadar MDA jaringan hepar tikus R.
norvegicus diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah
sampel kurang dari 50. Data dikatakan terdistribusi normal jika p > 0,05.
Dilanjutkan dengan uji Levene’s test untuk mengetahui homogenitas data,
dikatakan homogen jika nilai p > 0,05. Apabila data yang didapatkan terdistribusi
normal dan homogen, data tersebut dianalisis secara statistik menggunakan
metode one way Analysis of Varians (ANOVA). Uji one-way Anova dipilih
karena penelitian ini menggunakan lebih dari 2 kelompok perlakuan. Uji ini

33
34

digunakan untuk melihat perbedaan yang muncul pada tiap kelompok perlakuan
dan bermakna apabila nilai p < 0,05.
Apabila didapatkan hasil uji ANOVA yang bermakna maka dilakukan
pemeriksaan lanjutan dengan uji post hoc Tukey HSD. Bila syarat uji one-way
Anova tidak terpenuhi atau data yang didapat tidak normal dan homogen maka
harus dilakukan transformasi data agar data yang diperoleh memiliki varian yang
sama. Apabila setelah ditransformasi distribusi data tetap tidak normal maka
digunakan pengujian alternatif berupa uji non-parametrik Kruskal-Wallis,
dilanjutkan dengan uji Mann Whitney dengan program Statistical Program for
Social Science (SPSS) for Windows version 24.

3.10. Jadwal Kegiatan


Waktu Kegiatan (2019)
N Septe
Kegiatan Penelitian Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
o er
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1 Pembuatan Proposal
2 Seminar Proposal
3 Pengajuan Etika Penelitian
Pembuatan Ekstrak daun
4
T.villosa Blume
5 Pemberian Perlakuan
Pengambilan Sampel Hepar
6 dan pengukuran kadar
MDA
7 Analisis data kadar MDA
8 Penulisan Laporan
9 Seminar Laporan
Tabel 3.4. Jadwal Kegiatan

34
35

3.11. Etika Penelitian


Penelitian ini diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Bengkulu. Setiap penelitian yang
menggunakan hewan percobaan secara etis harus menerapkan prinsip umum etika
penelitian kesehatan dan prinsip 3R dalam protokol penelitian.
Etik penelitian kesehatan secara umum tercantum dalam World Medical
Association (2008), yakni: 1) respect yaitu menghormati hak dan martabat
makhluk hidup, kebebasan memilih dan berkeinginan, serta bertanggung jawab
terhadap dirinya, termasuk di dalamnya hewan coba; 2) beneficiary yaitu
bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain, manfaat yang didapatkan harus lebih
besar dibandingkan dengan risiko yang diterima; dan 3) justice yaitu bersikap adil
dalam memanfaatkan hewan percobaan (Ridwan, 2013).
Prinsip 3R yang harus ada dalam protokol penelitian yang memanfaatkan
hewan coba adalah replacement, reduction, dan refinement. Replacement adalah
keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara seksama,
baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan
penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau
biakan jaringan. Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian
sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum
biasa dihitung menggunakan rumus Federer (1967) yaitu (t - 1) (r – 1) ≥ 15,
dengan t adalah banyaknya kelompok perlakuan sedangkan r adalah banyaknya
pengulangan pada tiap kelompok perlakuan. Refinement adalah memperlakukan
hewan percobaan secara manusiawi (humane), memelihara hewan dengan baik,
tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan
sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada
dasarnya prinsip refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa
kondisi, antara lain bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman,
bebas dari rasa nyeri, trauma, dan penyakit, bebas dari ketakutan dan stres jangka
panjang, bebas mengekspresikan tingkah laku alami, diberikan ruang dan fasilitas
yang sesuai (Ridwan, 2013).

35
36

Eutanasia dilakukan dengan metode yang manusiawi oleh orang yang


terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba.
Pemilihan cara eutanasia tergantung dari sifat penelitian, spesimen dari hewannya,
dan juga dari jumlah hewan yang dieutanasia. Untuk hewan coba seperti mencit,
tikus atau hewan spesies kecil lainnya yang serupa dan juga kelinci dapat
digunakan teknik eutanasia cervical dislocation. Eutanasia cervical dislocation
dilakukan dengan cara memisahkan tengkorak dan otak dari sumsum tulang
belakang. Teknik untuk melakukan metode ini ialah dengan memberikan tekanan
ke bagian posterior dasar tulang tengkorak dan sumsum tulang belakang. Sebelum
dilakukan cervical dislocation, tikus diberikan kombinasi ketamine-xylazine
dengan dosis 40 mg/kgBB dan 5 mg/kgBB secara intraperitoneal sebagai
analgesia dan anestesia. Setelah dilakukan eutanasia, hewan coba dibedah untuk
mengambil organ hepar tikus, bangkai tikus dimusnahkan dengan cara
pembakaran dengan menggunakan insinerator di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Bengkulu sehingga tidak mencemari lingkungan.

36
37

DAFTAR PUSTAKA
American Veterinary Medical Association, 2013. Guidelines for Euthanasia of
Animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.

Ayala, A., Munoz, M.F. dan Arguelles, S., 2014. Lipid Peroxidation, Metabolism,
and Signaling Mechanisms of Malondialdehyde and 4-Hydroxy-2-Nonenal.
Oxid Med Cell Longev, 2014, pp. 1-18.

Aziz, A.L. 2006. Penggunaan Kortikosteroid di Klinik. Surabaya : Lab.Divisi


Gawat Darurat.Fakultas kedokteran universitas airlangga.

Besselsen, D.G., 2004. Biology Of Laboratory Rodents. [online] Available at:


https://goo.gl/F6KoVt [Diakses 21 Oktober 2017].

Bruckner JV dan Warren OA., 2001. Toxic Effect of Solvent and Vapors. New
York: Mc Graw Hill.

Cairns D (2008). Essential of Pharmaceutical Chemistry. Edisi ke 4. Unite


Kingdom: Pharamceutical Press.

Cole, T., Higler, H., dan Steven, P., 2017. Angiosperm Phylogeny. Berlin: Freie
University

Department of Health and Human Service., 2011. National Toxicology Program.


Public Health Statement: Carbon Tetracloride. Edisi 12.
http://ntp.niehs.nih.gov/go/roc12. Diakses tanggal 15 Juli 2013.

Department of Health and Human Service U.S., 2005. Toxicological Profile For
Carbon Tetrachloride. Georgia.

Ferenci, P., 2016. Silymarin In The Treatment Of Liver Disease: What Is The
Clinical Evidence?. Clin Liver Dis, 7(1), pp. 8-10.

Goldfrank LR, Neal EF, Neal AL, Mary AH, Robert SH, Lewis SN., 2002.
Toxicology Emergencies. Edisi 7, Vol 1. New York: McGraw-Hill

Harmita, dan Radji, M., 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC.

Hippeli S, Elstner EF., 1999. Mechanism of Carbon Tetrachloride-Induced


Hepatotoxicity, hepatocellular Damage by Reactive Carbon Tetrachloride
Metabolites.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2933147//.Dia
kses tanggal 14 September 2013.

37
38

Hodgsons E. dan Levi PE., 2002. A Text Book of Modern Toxicology. 2nd ed.
USA: McGraw-Hill Companies Inc, pp : 207-210.

Jaydeokar, A.V., Bandawane, D.D., Bibave, K.H. dan Patil, T.V., 2014.
Hepatoprotective potential of Cassia auriculata root on ethanol dan
antitubercular drug-induced hepatotoxicity in experimental models. Pharm
Biol, 53(3), pp. 344-355.

Kumar, S., dan Pandey, A.K., 2013. Chemistry Dan Biological Activities Of
Flavonoid: An Overview. Sci. World J. 2013, pp. 1-16.

Li, B., Zhu, L., Wu, T., Zhang, J., Jiao, X., Liu, X., et al., 2015. Effects Of
Triterpenoid From Schisandra chinensis On Oxidative Stress In Alcohol-
Induced Liver Injury In Rats. Cell Biochem Biophys, 71(2), pp. 803-11.

Lin, J., Zhao, J., Li, T., Zhou, J., Hu, J. dan Hong, Z., 2011. Hepatoprotection In
A Rat Model Of Acute Liver Damage Through Inhibition Of CYP2E1
Activity By Total Alkaloids Extracted From Rubus alceifolius Poir. Int J
Toxicol, 30(2), pp. 237-243.

Moriwaki, K., Shiroishi, T. dan Yonekawa, H., 1994. Genetic In Wild Mice. Its
Application To Biomedical Research. Karger, Tokyo: Japan Scientific
Societies Press.

Oehha., 2000. Chronic Toxicity Summary Carbon Tetrachloride.


http://www.oehha.co.gov/air/chronic_rels/pdf/5623.pdf, diakses tanggal 10
April 2013.
Prishellya N (2012). Isolasi Senyawa Aktif pada Daun T. villosa B dan Uji
Toksisitas terhadap Artemia Salina Leach sebagai Sumber Belajar Kimia
Bahan Alam. Prodi Pasca Sarjana Pendidikan IPA Universitas Bengkulu.
Tesis.

Price, sylvia anderson.2005. patofisiologi : konsep klinis proses –proses penyakit.


Ed 6.
Jakarta : EGC

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perternakan. 2016. Penggunaan dan


penanganan hewan coba rodensia dalam penelitian sesuai dengan
kesejahteraan hewan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perternakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementrian Pertanian.

38
39

Polyak, S.J., Ferenci, P. dan Pawlotsky, J.M., 2013. Hepatoprotective And


Antiviral Function Of Silymarin Components In HCV Infection.
Hepatology, 57(3), pp. 1262-71.

Perlitasari, Y., 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Herba Anting-anting (Acalypha


indica linn.) terhadap Kadar Malondialdehyde pada Mencit Balb/c Induksi
Streptozotocin. Tesis. Universitas Sebelas Maret.

Ridwan, E., 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan Dalam Penelitian


Kesehatan. J Indon Med Assoc., 63(3), pp. 112-6.

Ruyani, A., Sinta, B.D., Emilia, Zulfikar, Anansyah, F., Putri, S.R., et al., 2018.
Preliminary Studies On Therapeutic Effect Of Ethanolic Extract Of
Tylophora villosa Leaves Against Paracetamol-Induced Hepatotoxicity In
Mice. eJTCM, xxx(2018), pp. 1-12.

Ruyani, A., Parlindungan, D., Rozi, Z.F., dan Karyadi, B. 2018. Implementation
Effort of Informal Science Education in Bengkulu, Indonesia: A Small
Learning Center for Life Sciences. IJESE, 4(13), pp. 1-9.
Sinta BD (2012). Pengaruh Ekstrak Nangka Kuning terhadap Kadar SGPT dan
SGOT Hati Mencit yang Diinduksi Paracetamol sebagai Sumber Belajar
(LKS) Berbasis Konstruktivis di SMAN 03 Bingin Teluk. Prodi Pasca
Sarjana Pendidikan IPA Universitas Bengkulu. Tesis.
Sengupta, P., 2013. The Laboratory Rat: Relating Its Age With Human’s. Int J
Prev Med, 4(6), pp. 624-30.

Sirois, 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles And Procedures. USA:


Elsevier.

Wang, M., Xie, T., Chang, Z., Wang, L., Xie, X., Kou, Y., et al., 2015. A New
Type of Liquid Silymarin Proliposome Containing Bile Salts: Its
Preparation and Improved Hepatoprotective Effects. PLoS ONE, 10(12).

Yasa, G.P., 2013. Peranan Peroksidasi Lipid Pada Preeklampsia. Universitas


Udayana.

39
40

40
41

41

Anda mungkin juga menyukai