Selama ini mesin CNC diketahui sebagai mata pelajaran yang menuntut keterampilan
berpikir tingkat tinggi. Karenanya, banyak siswa mengalami kesulitan menuntaskan mata
pelajaran ini. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi (HOTS) siswa menggunakan instructional media berbasis mobile (mobile learning).
Peningkatan HOTS diukur menggunakan indicator proses berpikir kritis dan kreatif mengacu
konsep taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson. Desain penelitian menggunakan
metode eksperimental dengan pola random control group pretest-postest design. Mobile
Learning dikembangkan dengan Teknik ADDIE. Penelitian dilaksanakan selama masa
pandemic Covid-19. Responden penelitian berjumlah 120 siswa terdiri atas 60 siswa pada
kelompok eksperimen dan 60 siswa pada kelompok kontrol. Data penelitian meliputi hasil
pengembangan mobile learning dan hasil belajar siswa setelah menerapkan mobile learning.
Analisis data menggunakan teknik statistik deskriptif dan uji independent sample T-test
dengan bantuan software SPSS 2.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Mobile
Learning dapat mempermudah guru untuk mempersiapkan materi yang bervariasi. Mobile
learning membantu guru mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan setiap siswa dalam
memahami materi. Mobile learning mampu meningkatkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi (HOTS) siswa. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka menjawab soal test
dengan disertai alasan yang kritis dan kreatif. Situasi ini membuat siswa lebih lama ingin
belajar dan berani mengerjakan soal yang lebih menantang. Penggunaan mobile mendukung
kemandirian belajar dan membuat siswa lebih percaya diri dalam menjawab tantangan. Hasil
penelitian ini membuat optimisme para guru bahwa siswa akan survival dalam hidup di abad
21 karena telah memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
1. Introduction
Penggunaan teknologi mobile merupakan salah satu cara belajar yang sesuai dengan
kebutuhan pendidikan saat ini (Ahmad, Hamzah, Wan Hassan, & Mansor, 2020). Disemua
level pendidikan, mobile learning telah populer digunakan (Domingo & Garganté, 2016).
Kepemilikan perangkat seluler yang meluas dan semakin meningkat ketersediaan perangkat
portabel dan nirkabel lainnya telah mengubah lanskap pembelajaran yang didukung teknologi
(Forehand, Miller, & Carter, 2017).
Mobile learning adalah bentuk integrasi teknologi di dalam kelas (Christensen &
Knezek, 2017). Penggunaan mobile learning dapat berlangsung kapan saja, di mana saja, dan
oleh siapa saja (Anam & Abid, 2020; Hamzah, Rubani, Ariffin, Zakaria, & Ahmad, 2020).
Perangkat mobile dalam pembelajaran sangat mudah digunakan dan dapat diakses oleh siswa
(Shuhari, Ismail, Ali, Al-Shafi’i, & Akib, 2020). Namun, pengetahuan guru tentang teknologi
menjadi faktor utama suksesnya penggunaan teknologi ini di dalam pembelajaran (Lisenbee,
2016).
Mobile learning sebagai teknologi untuk media pembelajaran telah diterima oleh
banyak siswa di pendidikan formal (Chaka & Govender, 2017) dan mampu meningkatkan
kemandirian belajar mereka (Forehand et al., 2017). Mobile learning dapat dijadikan sebagai
jembatan antara hasil pembelajaran dan kurangnya pengetahuan awal siswa, sehingga hal ini
dapat meningkatkan peran aktif siswa dan motivasi mereka untuk mencapai hasil
pembelajaran yang memuaskan (Chegenizadeh, Keramatikerman, & Nikraz, 2020).
Kurangnya pengetahuan pendidik dalam mengintegrasikan teknologi secara efektif dapat
menghambat penggunaan teknologi mobile di dalam kelas (Christensen & Knezek, 2017;
Ertmer & Ottenbreit-Leftwich, 2010).
Pemrograman mesin CNC merupakan kompetensi utama yang ada di vocational High
School (Pai, Yap, Md Dawal, Ramesh, & Phoon, 2016). Kompetensi dasar mesin CNC
meliputi materi algoritma (Li, Zhang, Ye, & Wang, 2020), bahasa, dan code program
(Berner, 2009). Hal ini tentu menuntut siswa memiliki kemampuan bernalar tinggi dan
pemahaman bahasa program yang baik. Pembelajaran mesin CNC dapat dikembangkan
dengan bantuan simulasi program (S. Abdulrasool, 2006) dan virtual reality (Pai et al., 2016;
Rogers, El-Mounaryi, Wasfy, & Satterwhite, 2017) yang dapat diakses dalam bantuan
teknologi (S. M. Abdulrasool & Mishra, 2009) sehingga dapat memberikan gambaran nyata
pekerjaan CNC ke dalam kelas dan menambahkan efek kegembiraan dan semangat siswa
dalam mengikuti pembelajaran (S. M. Abdulrasool, Mishra, Fieldhouse, & Ward, 2006).
c. HOTS
Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah proses berpikir pada level tinggi
(Murni, 2015). Kategorisasi level of cognitive atau level of thinking skills populer disebut
dari buku berjudul Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitove
Domain (Bloom et al., 1956). Buku tersebut telah direvisi menjadi A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy Educational
Objectives (Anderson et al., 2001). Bloom menguraikan tingkat proses kognitif dari yang
paling sederhana hingga tingkat yang kompleks, yang dikenal sebagai level of cognitive
skills. Kategorisasi level disusun menjadi 6 tingkat, yaitu knowledge, comprehension,
application, analysis, synthesis, dan evaluation. Tingkatan tersebut kemudian direvisi oleh
murid-murid Bloom (Lorin Anderson, dkk) menjadi Remembering, Understanding,
Applying, Analyzing, Evaluating, dan Creating; atau yang dikenal dengan kode C1 sampai
dengan C6. Berdasarkan tingkatan intelectual skills, level C4 (Analyze), C5 (Evaluate)
hingga C6 (Create) dikategorikan sebagai level berpikir tingkat tinggi atau HOTS, sedangkan
C1 sampai dengan C3 dikategorikan sebagai level berpikir tingkat rendah atau LOTS
(Anderson et al., 2001). Perbedaan level LOTS dan HOTS ditampilkan pada Tabel 1.
Lewis and smith (1993), mendefinisikan Higher order thinking occurs when a person
takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges
and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing
situations. A variety of purposes can be achieved through higher order thinking as defined
above. These would include: deciding what to believe; deciding what to do; creating a new
idea, a new object, or an artistic expression; making a prediction; and solving a nonroutine
problem. High level thinking challenges us to interpret, analyze or manipulate information
(Ea, Chang, & Tan, 2005; Mohamed, 2006; Newmann, 1990). With high level thinking, an
individual will be able to use the new information or prior knowledge and manipulate
information to obtain a reasonable response to new situations (Lewis & Smith, 1993;
Rajendran, 2008). Consequently, creative ideas can only be generated through high level
thinking, instead of the low level thinking through the application of knowledge learned in
daily lives.
Brookhart dan Nitko (2011) membagi keterampilan berpikir menjadi 2 bagian ranah
kognitif, yaitu keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking skill) dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking skill). Ranah kognitif yang
termasuk ke dalam HOTS meliputi empat komponen yaitu reasoning skills, critical thinking,
problem solving, dan creative thinking. Menurut Anderson & Krathwohl (2001), ranah
kognitif yang termasuk LOTS meliputi remember, understand, dan apply, sedangkan HOTS
meliputi analyze, evaluate, dan create. Ciri utama HOTS adalah berpikir kritis dan kreatif
(King, Goodson, & Rohani, 2011). Mengembangkan kemampuan berpikir siswa merupakan
proses pembelajaran yang mampu meningkatkan Low Order Thinking Skills ke Higher Order
Thinking Skills (Karami, Pakmehr, & Aghili, 2012; Thitima & Sumalee, 2012).
3. Methode
Untuk menjawab pertanyaan nomor satu, desain penelitian yang digunakan adalah
Research Based Developmental. Tahapan model ADDIE adalah analisis, desain,
pengembangan, implementasi, dan evaluasi (Cheung, 2016; Mullins, 2014). Model ini dipilih
karena penggunaannya yang sistematis dan fleksibel sehingga memungkinkan untuk menilai
pengembangan teknologi di dalam pembelajaran (Al-Bulushi & Ismail, 2017).
Pertanyaan penelitian nomor dua dijawab dengan menguji peningkatan HOTS siswa
setelah mengikuti pembelajaran berbasis mobile. Sebagaimana konsep Anderson, domain
kognitif HOTS adalah kemampuan menjawab soal evaluasi mengguakan ranah kognitif di C4
sampai dengan C6. Data penelitian diperoleh dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Responden penelitian berjumlah 120 siswa dengan 60 siswa pada kelas eksperimen
dan 60 siswa di kelas kontrol. Responden ditentukan menggunakan random claster sampling
mewakili 650 siswa SMK di Jawa Tengah. Data penelitian dikumpulkan di masa Pandemi
Covid-19. Data penelitian meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi tes tertulis.
Observasi dan wawancara digunakan untuk mendapatkan data pengembangan dan penerapan
mobile learning. Tes tertulis digunakan untuk mengetahui hasil belajar pasca penerapan
mobile. Tes tertulis dikembangkan dalam bentuk pilihan ganda beralasan. Skor jawaban
ditentukan ketepatan memilih jawaban dan memberikan alasannya sesuai dengan rubrik yang
telah disediakan. Gambar 5 menampilkan salah satu model soal tesnya.
Point X Z
1 0 0
2 20 -10
3 20 -10
4 5 -5
5 0 -20
6 5 -5
7 0 -10
8 10 -20
Jawaban: a. 2 b. 3 c. 5 d. 6 e. 8
Alasan :
a. Titik referensi tetap
b. Titik referensi selalu pada satu titik
c. Besar angka sumbu Z tidak tepat
d. Titik referensi berada di akhir program
e. Besar angka sumbu X tidak tepat
Data penelitian diambil pada masa pandemic covid-19. Analisis data penelitian
menggunakan statistik deskriptif dan uji independent sample T-test dengan bantuan software
SPSS 2.0. Analisis data menggunakan teknik statistik deskriptif dan uji independent T-tes.
Teknik analisis statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis keefektifan penerapan
media (Friadi et al., 2020) dan uji independent T-test digunakan untuk menganalisis
perbedaan nilai antara kelas kontrol dan kelas eksperimen (Daya, 2003; Xu et al., 2017).
4. Results
Model ADDIE telah diadopsi untuk menjawab penelitian ini, yang terdiri atas tahap analisis,
desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Berikut ini adalah hasilnya.
Analisis
Tahap analisis ini menggunakan metode wawancara (Sofyan et al., 2020; Sumarwati et al.,
2020; Trisiana, 2019). Responden dari tahap wawancara adalah siswa, guru dan lulusan.
Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan informasi (Cheung, 2016; Mullins, 2014) terkait
dengan pembelajaran mesin CNC. Hasil wawancara ditampilkan pada tabel 1.
Desain
Desain konten yang disajikan dalam pembelajaran berbasis mobile didasarkan pada
kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran mesin CNC untuk level vocational high school.
Konten berisi materi pemogaman CNC, gambar ilustrasi program, soal tes kemampuan, job
pekerjaan CNC, video penjelasan, dan video simulasi program dalam bentuk virtual reality.
Menurut (Hassan, Ariffin, Ahmad, Mohamad, & Anuar, 2020), konten materi yang disajikan
dalam bentuk kombinasi teks, gambar, dan grafik dapat menarik dan meningkatkan
pemahaman siswa. Di samping itu, Penyajian video virtual reality ini bertujuan untuk
memberikan gambaran nyata bagaimana program dijalankan (Kerawalla et al., 2006). Peserta
didik diberikan beberapa job dengan variasi kesulitan yang beragam untuk melatih
kemampuan berpikir kritis dan kreatif mereka.
Development
Instructional yang dikembangkan adalah jenis mobile learning yang dapat diakses secara
offline menggunakan handphone maupun komputer. Hal ini akan memberikan kebebasan
bagi siswa untuk belajar di manapun tanpa ada batasan waktu maupun ketergantungan akses
internet. Mobile learning ini berbentuk buku elektronik dengan format epublication (E-Pub)
(Williams, 2011), menggunakan software sigil 2.0, yang dapat diakses melalui perangkat
mobile, misalnya komputer, laptop, tablet, dan smartphone (Alsayed et al., 2019; Gu, 2016;
Jaschke, 2014; Novianti, Anjani, & Hilaliyah, 2020; Setiawan, Sunardi, Gunarhadi, &
Asrowi, 2020; Sunarto, 2020; Zakaria et al., 2019). Perangkat mobile yang digunakan dalam
penelitian ini adalah smartphone android. Gambar 6 menampilkan screenshoot mobile
learning yang diakses melalui smartphone andorid. Validasi produk mobile learning
dilaksanakan dengan menentukan Content Validity Ratio (Lawshe, 1975).
Cover Material
Content
Implimentation
Evaluation
Evaluasi dilakukan dengan cara menganalisis data hasil belajaran siswa menggunakan teknik
analisis statistik deskriptif dan uji independent T-tes. Teknik analisis statistik deskriptif
digunakan untuk menganalisis keefektifan penerapan media (Friadi et al., 2020) dan uji
independent T-test digunakan untuk menganalisis perbedaan nilai antara kelas kontrol dan
kelas eksperimen (Daya, 2003; Xu et al., 2017).
Berdasarkan data hasil analisis statistik deskriptif pada Gambar 7 menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan skor rata-rata (mean) pretest-postest di kelas kontrol dan eksperimen.
Uji independent t-test digunakan untuk membandingkan data dari dua kelompok perlakuan
yang berbeda (Delacre, Lakens, & Leys, 2017). Pengujian independent t-test dapat
dilaksanakan jika data dari dua kelompok yang akan diuji berdistribusi normal (Potochnik et
al., 2018; Rochon, Gondan, & Kieser, 2012). Uji normalitas data dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik one-sample kolmogorov-smirnov test (Yildirim, 2017).
Data yang berdistribusi normal adalah data yang memiliki nilai signifikansi lebih dari 0.05
(Syahril, Nabawi, & Prasetya, 2020). Berdasarkan hasil uji normalitas dengan teknik one-
sample kolmogorov-smirnov test nilai signifikansi kelas kontrol 0.081 ( > 0.05) dan kelas
eksperimen 0.210 ( > 0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal dan
uji independent t-test dapat dilakukan.
Hasil uji independent t-test melaporkan bahwa nilai pada levene’s test for equality of
variances sebesar 0.017 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa homogenitas data tidak
terpenuhi. Oleh sebab itu, untuk membaca hasil uji uji independent t-test dapat dilihat pada
baris equal variances not assumed di kolom sig.(2-tailed). Berdasarkan nilai hasil uji
independent t-test yang diperoleh sebesar 0.00 ( < 0.05) dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan perbedaan nilai yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen yang
menerapkan mobile learning.
4.2. Pertanyaan nomor dua: Bagaimana peningkatan HOTS siswa setelah mengikuti
pembelajaran berbasis mobile?
Pertanyaan penelitian kedua meliputi 2 hal sekaligus, yaitu bagaimana mengukur hasil belajar
siswa dan apakah keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa meningkat. Hasil belajar siswa
diukur dengan mengembangkan instrumen tes tertulis berbasis HOTS pasca implementasi
ML. Instrumen tes tertulis yang dikembangkan adalah soal pilihan ganda berargumen
berbasis HOTS (Gambar 5) sejumlah 20 soal. Soal pilihan ganda berargumen inilah yang
menjadi pembeda dengan soal tes yang lain. Prinsip soal test ini adalah selain menebak
jawaban, siswa juga harus memberikan argumentasi atas jawabannya. Dengan menggunakan
rubrik penilaian yang telah divalidasi, soal test mudah digunakan dan merepresentasikan soal
dan jawab berbasis HOTS.
Soal test dikembangkan mengacu pada kriteria Bloom yang telah direvisi oleh Anderson pada
ranah kognitif di C4 sampai dengan C6. Agar lebih spesifik dalam mengukurnya, kata kerja
operasional yang dipilih adalah menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6).
Menurut Anderson (2001), domain ini termasuk keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Validasi soal tes menggunakan kriteria Infit Mean Square (MNSQ) dengan rentang
nilai 0.77 – 1.30 (Wilson, Pan, & Schumsky, 2012). Hasil analisis validitas instrumen dengan
bantuan program Quest menunjukkan bahwa 20 soal yang diujikan adalah valid. Uji
Reliabilitas butir soal diukur (Gambar 9) menggunakan program Quest dan menunjukkan
nilai sebesar 0.61. Disimpulkan bahwa reliabilitas item masuk dalam kategori baik.
Uji reliabilitas merupakan pengujian keandalan konsistensi item instrumen test yang
digunakan. Kriteria koefisien reliabilitas jika di bawah 0.40 siginifikansi buruk, 0.40
sampai 0.59 signifikansi adil, 0.60 sampai 0.74 signifikansi baik, dan 0.75 sampai 1.00
signifikansi sangat baik. Selanjutnya, instrument soal berbasis HOTS diimplementasikan
seperti proses pengembangan produk.
Tahap terakhir dari riset based experimental ini adalah mengukur keterampilan berpikir
tingkat tinggi (HOTS) dari siswa. Hasilnya ditampilkan pada Gambar 8-11.
Gambar 10. Kemampuan mengerjakan soal kategori menganalisis (HOTS Level-C4).
Hal yang sama juga terjadi pada kemampuan mencipta (Gambar 12). Untuk kategori
tinggi, kemampuan mencipta meningkat tajam, dari 1,66% menjadi 58,33%.
Gambar 13. Peningkatan HOTS siswa SMK setelah implementasi ML
Kemampuan menganalisis (C4), mengevaluasi C5), dan mencipta (C6) merupakan proses
berpikir level HOTS. Jika direrata, hasilnya ditampilkan pada Gambar 13. Dengan demikian
terbukti bahwa mobile learning mampu meningkatkan pembelajaran pemrograman CNC.
Selain menganalisis peningkatatan HOTS, telah dilakukan analisis butir soal, sebagaimana
ditampilkan Gambar 14 dan 15. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui distribusi
kemampuan siswa mengerjakan soal yang disajikan. Analisis ini penting dilakukan agar guru
dapat mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran (Antoniou & Kyriakides, 2013; Arifin,
2014; Guskey, 2002; Merchie, Tuytens, Devos, & Vanderlinde, 2018; Shaha, Lewis,
O’Donnell, & Brown, 2004) dan melakukan peningkatan program (Karami-Akkary, El
Saheli, & Mansour, 2016).
250 PRETEST
200
Score Student
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Control Group 175 83 168 90 173 158 178 121 104 143 105 108 78 83 116 196 115 139 155 97
eksperimental Group 181 107 161 105 175 158 192 123 108 129 97 78 82 86 99 196 140 134 149 99
Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa kemampuan HOTS siswa tidak menunjukkan
perbedaan siginifikan, bahkan pada butir soal tertentu kelompok control memiliki skor yang
lebih tinggi. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan hasil posttest.
POSTTEST
250
200
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Control Group 178 102 167 92 174 162 208 146 97 126 136 132 98 131 127 171 127 132 179 119
Eksperimental Group 180 180 188 179 207 227 225 185 200 184 209 134 149 183 177 206 146 188 208 165
5. Discussion
Berdasarkan data analisis statistik deskriptif memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan skor
mean pada masing-masing kelas kontrol dan kelas eksperimen. Data Mean merupakan ukuran
data yang sangat kuat sebagai perwakilan data yang dapat dianalisis pada statistik deskriptif
(Mchugh & Hudson-barr, 2003). Pada kelas kontrol skor mean pretest 43.0883 dan posttest
46.7333 sedangkan pada kelas eksperimen skor mean pretest 43.3167 dan posttest 62.0000.
Data tersebut melaporkan bahwa kompetensi siswa meningkat signifikan setelah
menggunakan mobile learning yang telah dikembangkan, hal ini dapat dilihat dari perbedaan
nilai skor mean posttest pada siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Penarikan keputusan pada uji independen t-test adalah jika nilai sig. ( 2- tailed ) kurang dari
0.05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara dua kelas penelitan (Ismail et al., 2018;
Magas, Gruppen, Barrett, Dedhia, & Sandhu, 2017; Sukatiman, 2020; Syahril et al., 2020;
Yildirim, 2017).
Berdasarkan hasil pengembangan dan penerapan mobile learning, dapat disimpulkan bahwa
mobile learning memberi pengaruh positif kepada siswa (Chaka & Govender, 2017). mobile
learning membantu siswa mendapatkan informasi tanpa ada batasan (Al-Emran et al., 2016),
sehingga memberikan kemudahan, kenyamanan dan kesesuaian belajar (Hamidi & Chavoshi,
2018; Iqbal & Bhatti, 2015).
Penyajian konten yang sesuai mendukung mobile learning mempunyai pengaruh positif pada
pembelajaran siswa (Fulantelli, Taibi, & Arrigo, 2015). Materi yang disajikan dalam mobile
learning dikembangkan berbentuk gambar, teks dan video simulasi virtual reality. Siswa
melaporkan bahwa video simulasi virtual reality membantu mereka memahami dengan baik
materi yang diajarkan dan meningkatkan minat dan motivasi belajar mereka (Parong &
Mayer, 2018). Siswa merasa dapat melihat secara langsung bagaimana program bekerja
secara nyata, sehingga kesalahan pemahaman dalam menarik kesimpulan dapat dihindari
(Kerawalla et al., 2006).
Penggunaan mobile learning dalam proses pembelajaran membantu mengurangi beban guru
dalam mengajar. Peran guru dalam mobile learning hanya sebagai pengontrol dan penyusun
skenario (Fulantelli et al., 2015). Hasil observasi melaporkan bahwa peran guru menjadi
kunci suksesnya penggunaan ML (Pimmer, Mateescu, & Gröhbiel, 2016). Guru dapat
memilih berbagai strategi pengajaran yang dapat dikombinasikan dengan menggunakan
mobile learning (Shorfuzzaman, Hossain, Nazir, Muhammad, & Alamri, 2019). Namun,
demikian penggunaan mobile learning ini memiliki tantangan, yaitu kompetensi digital guru
dan anggapan bahwa media pembelajaran berbasis digital adalah sulit. Hasil observasi
menyarankan bahwa kompetensi digital guru perlu ditingkatkan menjadi habit dan mengubah
pola pikir mereka terhadap pandangan negatif terkait penggunaan teknologi didalam
pembelajaran (Briz-Ponce, Pereira, Carvalho, Juanes-Méndez, & García-Peñalvo, 2017;
Ertmer & Ottenbreit-Leftwich, 2010).
Hal yang penting dicatat adalah bahwa siswa mengaku memiliki pengalaman belajar yang
banyak, tidak hanya nilainya yang meningkat, namun juga bagaimana mereka mampu
melatih kreativitas dan daya nalar yang kritis. Jenis soal pilihan ganda berargumen,
memfasilitasi mereka belajar dengan tanggungjawab. Setiap jawaban yang mereka berikan
selalu disertai dengan alasan yang rasional. Kebenaran yang diberikan tidak hanya memilih
jawaban, namun juga kebenaran dalam memberikan alasan. Kondisi belajar yang demikian
mampu membekali siswa untuk hidup dengan penuh kreativitas dan naya nalar kritis yang
tinggi dan ini adalah ciri khas dari HOTS. Penggunaan mobile learning pada kelas
eksperimen telah meningkatkan hasil belajar HOTS siswa. Berdasarkan Gambar 13 terlihat
bahwa siswa berhasil meningkatkan HOTS-nya. Hal ini ditunjukkan dengan hasil evaluasi
proses berpikir level C4, C5, dan C6 semuanya mengalami peningkatan (Gambar 10-12).
Dengan demikian, mobile learning telah memfasilitasi proses belajar yang benar. Proses
belajar sangat mempengaruhi hasil belajar. Mobile learning dapat meningkatkan hasil belajar
siswa karena dapat memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran (Novianti et al., 2020).
Model Mobile Learning tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga dapat
mengungkap kelemahan dan kelebihan pemahaman guru dan siswa. Dengan demikian dapat
diketahui domain perbaikan dan peningkatannya baik untuk siswa maupun gurunya. Selama
ini guru masih memahami bahwa evaluasi berguna untuk mengetahui hasil belajar siswa,
namun setelah menerapkan model ini para guru menyadari bahwa evaluasi juga berguna
untuk mengukur kesiapan guru dalam mengajar.
Analisis butir soal penting dilakukan oleh guru dan ini banyak diabaikan oleh guru. Prinsip
evaluasi adalah mengadakan refleksi terhadap ketercapaian tujuan pembelajaran (Karami-
Akkary, 2019). Berdasarkan analsisi butir soal, terlihat bahwa hasil posttest menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa tujuan pembelajaran tercapai tercapai.
Selain itu diketahui pula butir soal yang mana yang siswa mengalami kesulitan mengerjakan.
Berdasarakan Gambar 14 terlihat bahwa rata-rata skor yang diperoleh siswa masih rendah.
Rentang scornya adalah antara 84 sampai dengan 184 dari total 240. Kondisi ini berbeda
dengan Gambar 15 yang menampilkan score nilai siswa antara 144 sampai dengan 240. Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan ML sangat membantu siswa mengerjakan soal pada
level HOTS. Berdasarakan Gambar 14 dan 15 guru menemukan 1 soal yang penting untuk
direfleksi dan digunakan untuk perbaikan secara berkelanjutan, yaitu pada soal nomor 12. Di
soal ini siswa tidak mengalami peningkatan yang signifikan dan ini penting untuk digunakan
sebagai refleksi guru terkait dengan materi pembelajaran. Atau mungkin guru memberikan
problem yang melebihi kemampuan siswa. Dan ini mungkin saja diberikan untuk mengetahui
level siswa adakah yang memiliki kemampuan genius. Guru era abad 21 penting mengetahui
karakteristik siswa satu demi satu untuk mengarahkan Pendidikan mereka pada jenjang
selanjutnya.
6. Conclusion
Daftar Pustaka
Shaha, S. H., Lewis, V. K., O’Donnell, T. J., & Brown, D. H. (2004). Evaluating pro-
fessional development: An approach in verifying program impact on teachersand
students. Journal of Research in Professional Learning, 1(1), 1–18.
Shorfuzzaman, M., Hossain, M. S., Nazir, A., Muhammad, G., & Alamri, A. (2019).
Harnessing the power of big data analytics in the cloud to support learning analytics in
mobile learning environment. Computers in Human Behavior, 92, 578–588.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2018.07.002
Shuhari, M. H., Ismail, M. S., Ali, M. S., Al-Shafi’i, M. M. deen O., & Akib, M. M. M.
(2020). The importance of using current technology in the study of islamic ethics.
International Journal of Advanced Trends in Computer Science and Engineering, 9(3),
3945–3949. https://doi.org/10.30534/ijatcse/2020/217932020
Singh, C. K. S., Singh, T. S. M., Ja’afar, H., Tek, O. E., Kaur, H., Mostafa, N. A., & Yunus,
M. M. (2020). Teaching strategies to develop higher order thinking skills in english
literature. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 11(8), 211–231.
Sofyan, H., Anggereini, E., Muazzomi, N., & Larasati, N. (2020). Developing an electronic
module of local wisdom based on the area learning model at Kindergarten Jambi city.
International Journal of Innovation, Creativity and Change, 11(2), 216–231.
Suharno, Pambudi, N. A., & Harjanto, B. (2020). Children and Youth Services Review
Vocational education in Indonesia : History , development , opportunities , and
challenges. Children and Youth Services Review, 115(January), 105092.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2020.105092
Sukatiman. (2020). Implementation of Blended Learning in Vocational Student ’ s to Achieve
HOT Skills ( V-HOTS ). Universal Journal of Educational Research, 8, 13–18.
https://doi.org/10.13189/ujer.2020.081703
Sumarwati, S., Fitriyani, H., Setiaji, F. M. A., Amiruddin, M. H., & Jalil, S. A. (2020).
Developing mathematics learning media based on elearning using moodle on geometry
subject to improve students’ higher order thinking skills. International Journal of
Interactive Mobile Technologies, 14(4), 182–191.
https://doi.org/10.3991/IJIM.V14I04.12731
Sunarto, M. J. D. (2020). MoLearn , a Web-and Android-Based Learning Application as an
Alternative for Teaching-Learning Process in High Schools. International Journal of
Instruction, 13(1), 53–70.
Syahril, Nabawi, R. A., & Prasetya, F. (2020). The instructional media development of
mechanical drawing course based on project-based learning. International Journal of
Innovation, Creativity and Change, 11(4), 309–325.
Thitima, G., & Sumalee, C. (2012). Scientific Thinking of the Learners Learning with the
Knowledge Construction Model Enhancing Scientific Thinking. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 46, 3771–3775. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.144
Trisiana, A. (2019). Innovation design development of citizenship education model on
characters of indonesian communities in digital media era and technology revolution.
International Journal of Recent Technology and Engineering, 8(2 Special Issue 9), 322–
328. https://doi.org/10.35940/ijrte.B1074.0982S919
Venkatraman, S., de Souza-Daw, T., & Kaspi, S. (2018). Improving employment outcomes
of career and technical education students. Higher Education, Skills and Work-Based
Learning, 8(4), 469–483. https://doi.org/10.1108/HESWBL-01-2018-0003
Williams, G. (2011). EPUB: Primer, preview, and prognostications. Collection Management,
36(3), 182–191. https://doi.org/10.1080/01462679.2011.580045
Wilson, F. R., Pan, W., & Schumsky, D. A. (2012). Recalculation of the critical values for
Lawshe’s content validity ratio. Measurement and Evaluation in Counseling and
Development, 45(3), 197–210. https://doi.org/10.1177/0748175612440286
Winter, D., & Astall, C. (2017). Preservice high school science teacher identity: Using
drawing enhanced learning monographs. Drawing for Science Education, 247–261.
Wu, W. H., Chen, W. F., Fang, L. C., & Lu, C. W. (2010). Development and evaluation of
web service-based interactive and simulated learning environment for computer
numerical control. Computer Applications in Engineering Education, 18(3), 407–422.
https://doi.org/10.1002/cae.20147
Xu, M., Fralick, D., Zheng, J. Z., Wang, B., Tu, X. M., & Feng, C. (2017). The differences
and similarities between two-sample t-test and paired t-test. Shanghai Archives of
Psychiatry, 29(3), 184–188. https://doi.org/10.11919/j.issn.1002-0829.217070
Yaniawati, R. P. (2013). E-Learning to Improve Higher Order Thinking Skills (HOTS) of
Students. Journal of Education and Learning (EduLearn), 7(2), 109.
https://doi.org/10.11591/edulearn.v7i2.225
Yildirim, I. (2017). The effects of gamification-based teaching practices on student
achievement and students’ attitudes toward lessons. Internet and Higher Education,
33(2016), 86–92. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2017.02.002
Zakaria, M. I., Maat, S. M., Khalid, F., & Approach, S. (2019). A Systematic Review of M-
learning in Formal Education. International Journal of Innovation, Creativity and
Change, 7(11).