Anda di halaman 1dari 118

Buku Ajar

Patologi Veteriner Sistemik:


Sistema Otot

Penulis:
Anak Agung Ayu Mirah Adi

SWASTA NULUS
2017

i
Patologi Veteriner Sistemik:
Sistema Otot

Oleh:
Anak Agung Ayu Mirah Adi

Editor:
I Gusti Agung Arta Putra

Cover & Ilustrasi:


I Gusti Agung Arta Putra

Lay Out:
Mandra (MDR), Kt

Diterbitkan oleh:
SWASTA NULUS
Jl. Tukad Batanghari VI.B No. 9 Denpasar-Bali
Telp. (0361) 241340
Email: swastanulus@yahoo.com

Cetakan Pertama:
2017, viii + 106 hlm, 14.8 x 21.5 cm

ISBN : 978-602-7599-49-9

Hak Cipta pada Penulis.


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang


Maha Esa karena atas karunia-Nya-lah buku ajar Patologi
Veteriner Sistemik: Sistema Otot berhasil diselesaikan di awal
semester gasal 2017/2018. Buku ajar ini merupakan
penyempurnaan dari bahan ajar sebelumnya.
Tujuan dari penulisan buku ini agar mahasiswa
memahami patologi dari sistema otot melalui pengamatan
makroskopik dan mikroskopik, serta mampu membuat
diagnosa morfologik pada kasus kematian hewan yang
melibatkan sistem otot. Buku ini diharapkan dapat menjadi
pegangan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan baik
yang sedang dan akan menempuh mata kuliah Patologi
Sistemik Veteriner maupun yang mengikuti Pendidikan Profesi
Dokter Hewan.
Materi buku ini sebagian besar disarikan dari buku teks
“Special Veterinary Pathology” terutama dalam hal klasifikasi
dan tata nama lesi (kerusakan) dan dikombinasikan dengan
informasi pendukung berupa contoh kasus yang diambil dari
jurnal ilmiah international. Beberapa gambar lesi spesifik
diambil dari jurnal dan laman patologi veteriner serta
dokumentasi pribadi penulis. Buku ini disajikan dalam
beberapa bab. Bab I menjelaskan tentang struktur dan fungsi otot.
tipe serabut otot, jenis otot dan perbedaan ketiga jenis otot secara
miroskopik. Bab II, menjelaskan tentang jenis-jenis reaksi umum
dari otot akibat berbagai gangguan, patogenesis dari reaksi umum
otot dan perubahan pasca mati pada otot.
Bab III menjelaskan tentang patologi degenerasi, nekrosis otot,
dan gangguan sirkulasi serta membuat diagnosa morfologik untuk
perubahan akibat ketiga gangguan tersebut.
Bab IV, menjelaskan tentang jenis jenis gangguan pertumbuhan

iii
non neoplastik pada otot serta diagnosa morfologiknya dan jenis
jenis gangguan pertumbuhan neoplastik beserta diagnosanya.
Pada Bab V menjelaskan tentang faktor penyebab miopati dan
contoh-contoh penyakit, patogenesis penyakit dengan lesi primer
miopati, patologi penyakit dengan lesi primer miopati.
Bab VI menguraikan contoh penyakit dengan lesi primer miositis,
patogenesis penyakit dengan lesi primer miositis, serta patologi
penyakit dengan lesi primer miositis.
Penulisan buku ini akan terus disempurnakan dengan
lebih menekankan pada contoh-contoh kasus. Penulis
menyadari buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik
dan saran sangat diharapkan guna perbaikan pada edisi
mendatang. Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu
dalam penulisan buku ini. Akhir kata, semoga buku ini dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

Denpasar, Juli 2017


Penulis

I would like to dedicate this book to:


 my beloved husband, our beloved daughters and son.
 my students at Faculty of Veterinary
Medicine-Udayana University.

iv
DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA ........................................................................ iii
DAFTAR ISI...................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................ viii
BAB I Pengertian Umum ......................................... 1
BAB II Reaksi Umum Otot ....................................... 17
BAB III Degenerasi, Nekrosis dan Gangguan
Sirkualasi...................................................... . 29
BAB IV Gangguan Pertumbuhan ................................ 41
BAB V Miopati .......................................................... 49
BAB VI Miositis .......................................................... 61
INDEKS ...................................................................... 97
GLOSARIUM ................................................................... 100

v
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Perbedaan ketiga jenis otot …… 15

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Struktur Otot ............................................ 3


Gambar 1.2 Potongan memanjang dan melintang
serabut otot rangka ................................... 8
Gambar 1.3 Potongan memanjang otot jantung. ........ 10
Gambar 1.4 Bagian otot polos ..................................... 13
Gambar 2.1 Gambar mikroskopik atrofi otot.. .......... 19
Gambar 2.1 Kasus atrofi otot lidah.. ......................... 21
Gambar 3.1 Lesi degenerasi otot rangka ..................... 31
Gambar 3.2 Degenerasi vacuoler otot rangka .............. 32
Gambar 3.3 Otot dengan degenerasi koagulatif .......... 34
Gambar 3.4 Otot sapi yang terinfeksi bakteri Clostridiun.. 35
Gambar 4.1 Histopatologi kasus kardiorhabdomyoma
pada anjing............................................... 44
Gambar 4.2 Gambaran Patologi Anatomi dan
Histopatologi dari Rhabdomyosarcoma.. 46
Gambar 5.1 Kasus White Muscle Disease pada sapi 52
Gambar 5.2 Gambaran makroskopik penyakit
Azoturia ................................................... 55
Gambar 6.1 Diagram patogenesis tetanus ................... 65
Gambar 6.2 Kadaver hewan tetanus ............................ 69

vii
Gambar 6.3 Histopatologi Neuron pada sumsum
tulang dan otot pada kasus dengan
manifestasi klinis trismus dan
ophistotonus ............................................. 71
Gambar 6.4 Histopatologi gas gangrene pada otot
kerangka, dengan pewarnaan HE. ........... 77
Gambar 6.5 Gambaran makroskopik Black leg........ .. 81
Gambar 6.6 Patologi otot akibat Trichinellosis........ ... 84
Gambar 6.7 Gambaran makroskopik Sarcosporidiosis...... 88
Gambar 6.8 Gambaran makroskopik otot jantung yang
mengandung Cysticercus cellulosae..... .... 91

viii
BAB I
PENGERTIAN UMUM

Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Daftar Isi:



Setelah menyelesaikan bab ini, peserta  Struktur otot
didik/pembaca diharapkan mampu:  Serabut otot
 Menjelaskan tentang struktur dan  Sel satelit
fungsi otot  Jenis otot
 Menjelaskan tentang tipe serabut otot
 Menjelaskan tentang jenis otot
 Menjelaskan perbedaan ketiga jenis
otot

1
I. PENGERTIAN UMUM

1.1. Struktur Otot


Otot atau muskulus adalah jaringan yang terdiri dari sel
otot (miosit) atau lebih dikenal dengan sebutan serabut otot
(miofiber) karena mampu memanjang ke satu arah. Disamping
mampu memanjang, sel otot juga mampu berkontraksi
menghasilkan gerakan tertentu. Otot mampu mengubah energi
kimia menjadi energi gerak sehingga dapat berkontraksi untuk
menggerakan rangka.
Serabut otot ukurannya bervariasi tergantung pada usia,
aktivitas, status gizi, posisi otot dan spesies hewan. Otot terdiri
atas bundel (berkas) kecil yang dikenal sebagai fasikulus
(Fascicle). Fasikulus tersusun atas beberapa miofiber atau miosit.
Satu serabut otot tunggal dilapisi oleh endomisium, sedangkan
fasikulus dikelilingi oleh jaringan ikat kolagen yang disebut
dengan perimisium, beberapa bundel fasikulus bersatu dilapisi
oleh lapisan kolagen yang tebal dan pekat yang disebut
epimisium. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa setiap serabut
otot dibungkus oleh endomisium, kumpulan berkas-berkas
serabut dibungkus oleh fasia propia/perimisium, sedangkan otot
(daging) dibungkus oleh selaput fasia super fisialis/epimisium.

2
Endomisium, perimisium, dan epimisium bergabung membentuk
urat (tendon) yang melekatkan otot pada tulang. Untuk me-
mudahkan pemahaman tentang unit penyusun otot, struktur
penyusun otot kerangka, dimulai dari unit yang paling kecil yang
disebut dengan miosit atau sel otot disajikan pada Gambar 1.1.
Miosit berisi miofibril, yakni bundel filamen yang
menghubungkan salah satu ujung sel yang lain. Pada sel otot

Gambar 1.1. Struktur otot. Fasikulus adalah satu bundel


miosit yang terbungkus oleh lapisan jaringan
ikat yang disebut dengan perimisium.
Sumber:
http://faculty.etsu.edu/forsman/histologyofmuscle
forweb.htm. /histologyofmuscleforweb.htm

3
kerangka, miofibril ini memungkinkan otot berkontraksi. Di
dalam miofibril terdapat unsur sitoskleton yakni filamen tebal
yang memiliki dimaeter 12-18 nm dengan panjang 1,6 µm, yang
tersusun dari protein miosin. Filamen tipis dengan diameter 5-10
nm dan panjang 1,0 µm. Adanya filamen tebal dan tipis ini
menyebabkan pada miofibril terdapat bagian gelap dan terang
berulang ulang (lurik). Satu set bagian gelap dan terang disebut
dengan sarkomer. Sarkomer inilah unit terkecil dari miosit.

1.2. Serabut otot


Serabut otot atau miosit adalah sel yang bentuknya panjang
dengan membran sel yang disebut sarkolema dan protoplasma
yang disebut sarkoplasma serta mempunyai satu atau lebih inti.
Membran sarkolema dibentuk dari endomesium dan lamina
basalis. Sarkoplasma mengandung cairan intrasel berisi kalsium,
magnesium, fosfat, protein dan enzim sedangkan retikulum
sarkoplasma sebagai tempat penyimpanan kalsium. Dalam
pewarnaan rutin Haematoxylin Eosin (HE), sarkoplasma bersifat
eosinofilik. Secara umum diameter serabut otot yang paling kecil
adalah diameter otot mata yakni 10-30 µm, sedangkan yang
paling besar adalah serabut otot alat gerak yakni 40-65 µm.
Miofibril merupakan serat pada sel otot sedangkan

4
miofilamen adalah benang benang halus yang berasal dari
miofibril. Dikenal ada dua jenis miofilamen yakni ; miofilamen
homogen yang terdapat pada otot polos dan miofilamen
heterogen yang terdapat pada sel otot jantung atau kerangka.
Sifat dari serabut otot tersebut adalah bila mendapat rangsangan
akan berkontraksi. Daya kontraksi serabut otot diakibatkan oleh
adanya filamen-filamen protein di dalam serabut. Terdapat dua
jenis filamen di dalam serabut yaitu filamen yang tebal yang
tersusun oleh protein miosin dan yang tipis tersusun atas protein
aktin. Ketika otot berkontraksi (memendek) maka protein aktin
yang bekerja, ketika otot relaksasi (memanjang) maka miosin
yang bekerja. Berdasarkan karakteristik metabolik dan
histokimia, ada dua tipe utama serabut otot yakni tipe I dan tipe
II:
Serabut otot tipe I, kaya dengan enzim oksidatif, banyak
mengandung mitokondria dan tinggi konsentrasi mioglobinnya
(cytochrome pigment). Berwarna merah karena kaya mioglobin.
Energi nya berasal sebagian besar dari metabolisme oksidasi
termasuk “slow-twitch” dan slow-fatiguing.
Serabut otot Tipe II kaya glikogen, warna pucat/putih,
termasuk “fast-twitch” dan fast fatigue. Memiliki lebih sedikti
mitokondria dan mioglobin dibandingkan dengn tipe I. Dengan

5
pesatnya perkembangan di bidang imunohistokimia (IHK),
ternyata serabut tipe II dapat diklasifikasikan lagi menjadi
beberapa sub tipe, yakni subtipe IIa (oksidatif –glikolitik),
kontraksi cepat dan fatique resistant, mengandung lebih banyak
mitokondria dibandingkan dengan subtipe IIb. Sub tipe IIb
(glikolitik), mengandung sedikit mitokondria sub tipe ini fast
contracting dan fatique susceptible, subtipe ini cepat
mengakumulasi asam laktat.
Guna kepentingan aktivitas biologi dan identifikasi
penyakit, mampu mengidentifikasi kedua tipe saja sudah cukup
relevan. Umunya untuk membedakan kedua tipe ini lebih mudah
dengan menggunakan pewarnaan IHK. Secara umum di dalam
tubuh populasi serabut otot tipe I yang paling tinggi. Jaringan
otot yang banyak mengandung serabut tipe I merupakan otot
yang digunakan secara berulang, lambat dan persisten. Beberapa
jenis jaringan otot komposisi dan distribusi serabut tipe I dan II
nya bervariasi tergantung dari spesies hewan dan adaptasi
fungsionalnya. Misalnya diafragma mengandung serabut tipe I
80-95 %, otot kerangka 10-60%. Anjing jenis Greyhound yang
terlatih muskulus longissimus dan semitendinosus nya membesar
dan memiliki komposisi serabut otot tipe I 40-50%.

6
1.3. Sel satelit atau miosatelit.
Sel satelit atau miosatelit adalah sel mesenkim jaringan
otot yang berperan dalam proses regenerasi serabut otot yang
rusak. Sel ini tersebar diantara serabut otot dan endomisium.
Miosatelit bersifat mononuclear dengan inti heterokromatik dan
terletak berdampingan dengan serabut otot. Pada hewan muda
populasi sel satelit dalam fasiculus bisa mencapai 20% tetapi
sejalan dengan bertambahnya umur sel ini menurun populasinya
sampai menjadi 1% pada hewan dewasa. Sel ini sering
dikelirukan dengan inti sel serabut otot kerangka pada
pengamatan dengan mikroskop cahaya. Sel ini dapat dibedakan
dengan jelas bila menggunakan mikroskop elektron. Adanya sel
satelit sebagai sel induk (stem cell), membuat proses regenerasi
menjadi sempurna.

7
1.4. Jenis otot
Berdasarkan struktur mikroskopik, lokasi, fungsi dan
sistem persarafannya dikenal tiga jenis jaringan otot yaitu: Otot
Kerangka/bergaris melintang. Disebut juga otot lurik karena
tampak adanya garis-garis melintang yang tersusun seperti
daerah gelap dan terang secara berselang seling (lurik). Disebut
otot kerangka karena melekat pada tulang kerangka dan

Gambar 1.2 A. Potongan memanjang serabut otot kerangka , nampak


garis gelap dan terang berselang seling yang disebut
dengan sarkomer (tanda panah).
B. Pada potongan melintang inti dari serabut otot terletak di
tepi (tanda panah putih), kumpulan serabut dilapisi oleh
perimisium (tanda panah hitam) dan interstisium dari otot
nampak sebagai ruangan kosong (tanda bintang).
Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin (Sumber: Lopez,
2004)

8
berfungsi untuk menegakkan kerangka atau sebagai penggerak
kerangka. Karena kemampuannya mengubah energi kimia
menjadi energi gerak, otot ini dapat berkontraksi sehingga dapat
menggerakan rangka. Otot kerangka tersusun atas sel atau
serabut otot. Berinti banyak sekitar 100-300 inti per serabut, inti
terletak di tepi dengan mengambil posisi pada sub sarkolema
pada mamalia. Bentuknya memanjang dengan panjang berkisar
antara 1-40 mm dan berdiameter 10-100 µm. Serabut otot
tersusun paralel dan tidak bercabang. Disebut bergaris melintang
karena di bawah mikroskop terlihat pada setiap serabut ada garis
halus yang melintang (Gambar 1.2A). Pada potongan melintang,
masing masing serabut otot dikelilingi oleh jaringan ikat tipis
yang tidak nampak yang disebut dengan endomisium. Inti dari
serabut otot terletak di tepi berbentuk oval atau lonjong.
Miofiber bergabung menjadi berkas primer yang disebut
fasikulus. Dalam fasikulus miofiber dipisah satu sama lain oleh
jaringan retikuler halus yang disebut endomisium. Endomisium
berfungsi untuk menunjang jalinan pembuluh darah kapiler dan
ujung-ujung saraf yang menginervasinya. Sekelompok serabut
otot dalam satu fasikulus dibalut oleh serabut kolagen yang pekat
yang disebut perimisium. Perimisium memersatukan berkas di
sekitarnya dan berfungsi untuk mengantarkan pembuluh darah

9
dan saraf. Interstisium dari otot nampak sebagai ruangan kosong
(Gambar 1.2 B). Otot ini disebut juga otot sadar karena kerja
otot ini dikendalikan oleh kehendak dan kesadaran individu.
Sumber energi untuk otot Kerangka.
Kontraksi otot merupakan interaksi antara protein aktin dan
miosin Kontraksi ini memerlukan energi. Sumber energi utama
untuk kontraksi otot adalah adenosin tri fosfat (ATP). ATP

Gambar 1.3. Potongan memanjang otot jantung. Percabangan pada


kardiomiosit dihubungkan satu dengan yang lain oleh
jaringan pengikat yang disebut dengan diskus
interkalaris/intercalated disc (ID).

10
berasal dari oksidasi karbohidrat dan lemak. Fosfokreatin adalah
senyawa fosfat berenergi tinggi yang terdapat dalam konsentrasi
tinggi pada otot. Senyawa ini tidak dapat langsung dipakai
sebagai sumber energi, melainkan dapat memberikan energinya
ke adenosin difosfat (ADP). Pada otot kerangka jumlah
fosfokreatin lebih dari lima kali jumlah ATP. Pemecahan ATP
dan fosfokreatin untuk menghasilkan energi tidak memerlukan
oksigen bebas. Sehingga kontraksi otot sering disebut sebagai
fase anaerob.
Otot Jantung. Otot ini strukturnya mirip dengan otot kerangka,
yaitu bergaris melintang atau lurik karena aktin dan miosin
tersusun dalam sarkomer. Namun ada perbedaan dengan otot
kerangka dari segi struktur, letak dan otonominya. Otot jantung
disusun oleh serabut otot jantung yang disebut dengan
kardiomiosit. Struktur otot jantung menyerupai otot lurik, tetapi
nukleus dari kardiomisosit terletak di tengah sel. Serabut otot
jantung yang disebut kardiomiosit bentuknya bercabang
berhubungan satu dengan yang lainnya atau saling mengadakan
anastomose. Tenaga mekanik untuk kontraksi yang berasal dari
satu kardiomosit diteruskan kepada kardiomiosit yang
bersebelahan oleh pertautan khusus dari sel ke sel. Sel
penghubung ini disebut dengan diskus interkalaris (intercalated

11
discs), sehingga jantung dapat berfungsi sebagai satu organ
fungsional. Serabut otot jantung tidak membentuk sinsitium,
panjangnya 80 µm dan diameternya 15 µm. Inti dari serabut otot
jantung tunggal, berbentuk oval letaknya agak ke tengah. Kerja
otot ini tidak berada dibawah pengaturan kesadaran (involunter)
tetapi diatur oleh sistem saraf otonom. Discus interkalaris yang
merupakan penghubung khusus pada percabangan kardiomosit
yang bersebelahan, mengandung dua unsur hubungan majemuk
yaitu mencakup aspek morfologis dan fungsional yakni: 1).
Gap junction yang bersifat sebagai hubungan dengan tahanan
rendah yang memudahkan arus depolarisasi dari satu
kardiomiosit ke kadiomiosit lainnya, 2) Fasia adherens tersusun
melintang terhadap sumbu memanjang dari pertautan
kardiomiossit. Hubungan fasia adherens berfungsi memindahkan
daya kontraksi otot jantung dari satu kardiomiosit ke
kardiomiosit lainnya. Adanya gap junctions, yang
memungkinkan irama jantung manjadi teratur.
Otot licin/otot polos/otot tak sadar. Kerjanya tidak dibawah
pengaruh kesadaraan tetapi langsung dibawah saraf otonom. Sel
otot ini bentuknya spindle shape memiliki satu nukleus yang
tipis dan terletak di tengah sel. Diameter sel otot polos kurang
lebih 10 µm, dengan panjang bervariasi antara 20 -500 µm

12
tergantung pada jenis organ. Otot ini tidak memiliki penampilan
lurik karena protein aktin dan miosin dalam otot ini posisinya
acak. Serabut otot polos membentuk berkas dan terikat oleh
jaringan ikat elastin dan retikuler. Pada berkas primer tidak
terdapat fibroblast atau unsur lainnya. Kapiler dan serabut saraf
terdapat di antara berkas. Perimisium tidak nampak jelas, karena
daya kontraksi dari berkas tidak di terusan ke tendon. Otot jenis
ini ditemukan terutama pada dinding alat tubuh yang berbentuk

Gambar 1.4. Bagian otot polos, yang menunjukkan sel-sel otot polos di
bagian potongan memanjang, longitudinal section (LS)
dan melintang, transversal section (TS). (sumber:
http://www.histology.leeds.ac.uk/tissue_types/muscle/
muscle_smooth.php)

13
saluran, termasuk pembuluh darah dan dinding organ tubuh yang
berongga. Fungsinya mengatur pembesaran dan pengecilan
lumen. Sebagian besar alat tubuh yang berbentuk saluran
dindingnya dilapisi oleh dua lapis otot licin. Lapisan dalam
terdiri dari serabut-serabut yang tersusun secara melingkar dan
lapisan luar tersusun secara longitudinal. Contoh otot polos
terbesar ditemukan pada uterus hewan bunting, sementara yang
terkecil ditemukan pada arteriola. Otot polos tersusun atas sel
otot polos berinti tunggal, dan sel-sel otot polos dihubungkan
satu dengan lannya oleh gap junction.

14
Tabel 1.1. Perbedaan ketiga jenis otot

Pembeda Otot Kerangka Otot Jantung Otot Polos


Nukleus
Jumlah inti Banyak (100-300) Satu Satu
Lokasi Ditepi, dekat sarkolema Di tengah Di tengah
Bentuk sel Panjang dan silindris Pendek dan pipih Panjang bergelendong
(spindle-shaped)
Lurik Lurik Lurik Tidak
Kontrol Volunter Involunter Involunter
Kontraksi Cepat dan tidak Sedang, mengikuti Lambat dan
berkelanjutan gerakan jantung berkelanjutan
Gap junction Tida ada Ada ada
Miosatelit ada Tidak Nampak Tidak nampak
Ditemukan Otot lidah,otot dada, otot Jantung Organ dalam seperti
pada betis, otot anus dan semua trakea, bronkus,
otot yang tersambung lambung,usus uterus,
dengan tulang rangka vesica urinaria

15
Daftar Pustaka

Dellmann, D. H. and Brown, E. M., 1987. Text book of


veterinary histology 3rd ed. Lea and Febiger Philadelphia,
U.S.A p.111-123

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N.1992. Pathology of domestic


animals, fourth edition. Acdemic Press Newyork p183-264.

Lopez,A. 2004. General structure, congenital defect and


degenerative disease of muscle. Atlantic Veterinary
College.University of Prince Edward Island Canada.

16
BAB II
REAKSI UMUM DARI OTOT

Tujuan Instruksional Khusus Daftar Isi:


(TIK)
 Atrofi otot
Setelah menyelesaikan bab ini,
peserta didik/pembaca diharapkan  Hipertrofi

mampu:  Nekrosis

1. Menjelaskan tentang jenis  Kontraktur


jenis reaksi umum dari otot  Kalsifikasi
akibat berbagai gangguan  Abnormalitas warna
2. Menjelaskan tentang pato-
genesis dari reaksi umum otot
3. Menjelaskan tentang per-
ubahan pasca mati pada otot

17
II. REAKSI UMUM DARI OTOT

Reaksi umum dari otot akibat berbagai macam gangguan


dan cedera memberikan manifestasi berupa atrofi, hipertrofi,
nekrosis, kontraktur dan regenerasi.
2.1. Atrofi
Kejadian atrofi dapat mempengaruhi seluruh miofiber atau
selektif menargetkan jenis serabut otot tertentu. Serabut otot tipe
II secara selektif terpengaruh ketika atrofi dikaitkan dengan
atrofi akibat tidak digunakan (disuse atrophy). Kondisi cachexia
atau malnutrisi, hiperadrenokortism atau pemakaian kronis
kortikosteroid menyebabkan atrofi selektif tipe II. Atrofi pada
kondisi cachexia dan hyperadrenocorticism adalah akibat kata
bolise protein otot untuk energi. Atrofi otot tipe II umumnya
terjadi secara perlahan berlawanan dengan atrofi denervation.
Sebaliknya, atrofi serabut tipe I dapat ditemukan pada hewan
percobaan yang menderita tirotoksikosis karena diinduksi secara
eksperimental.
Pada otot kerangka, gambaran utama atrofi otot kerangka
adalah penurunan diameter miofiber (Gambar 2.1) dengan
sarkoplasma hipereosinofilik. Sedangkan pada kejadian
denervasi atrofi, karakteristiknya serabut mengecil dan intinya

18
juga mengecil. Atrofi karena penyebab non neurogenik, seperti
yang disebabkan oleh administrasi benda asing yang bersifat
toksik bagi otot (xenobiotik myotoxic), ditandai oleh
berkurangnya serat disertai dengan perubahan miopati, seperti
nekrotik atau hialinisasi dan fagmentasi serabut otot, serta
adanya serabut otot yang intinya di tengah.
Berdasarkan penyebabnya ada beberapa jenis atrofi pada
otot, antara lain:

Gambar 2.1. Gambaran mikrosopik atrofi otot. Ukuran serabut otot


menurun. Pada atrofi yang parah serabut otot digantikan oleh
sel lemak (tanda bintang)

19
Atrofi senilitas. Adalah penyusutan/pengecilan otot yang
sejalan dengan bertambah lanjutnya usia. Fenomena atrofi
terkait dengan penuaan belum sepenuhnya dipahami walaupun
telah diselidiki intensif selama bertahun-tahun.
Atrofi akibat tidak adanya inervasi saraf (neurogenic
atrophy). Mengecilnya otot karena tidak adanya inervasi saraf,
keadaan ini selalu diikuti oleh paralisa otot. Pada gambar 2.2
adalah contoh kejadian pada anjing Labrador yang pincang pada
kaki depannya. Hasil pemeriksaan ditemukan otot atrofi dengan
lesi primer tumor yang memblok inervasi saraf ke kaki depan
bagian kanan. Pada kasus denervation atrophy yang ada
hubungan dengan lesi pada otak misalnya pada kejadian,
meningitis kronis, metastasis tumor dan pada kejadian
osteomyelitis, dalam jangka waktu 2-3 minggu 2/3 masa otot
akan hilang. Dalam tahap awal beberapa hari setelah denervasi,
serabut otot tipe I yang lebih dahulu atrofi dibandingkan dengan
tipe II. Pada fase lanjut diameter serabut otot bisa menjadi 10 –
20 µm, yang terbesar 30 µm. Umumnya pada stadium lanjut
serabut otot yang menenipis ini akan berdiferensiasi menjadi sel
tanpa myofibril dan miofilamen, yang akan difagosit oleh
makrofag. Kondisi ini bersifat irreversible, walaupun
direinervasi.

20
Atrofi inaktivitas/disuse atrophy. Berkurangnya stimulasi atau
penurunan aktivitas pada otot yang mendapat inervasi saraf yang
normal, menyebabkan pengecilan otot. Pada keadaan ini atrofi
terjadi apabila otot tidak dipergunakan secara normal dalam
jangka watu tertentu. Misalnya atrofi otot bahu pada hewan
yang pincang menahun. Disuse karena tendotomy,
menyebabkan terjadi atropi serabut otot tipe I dan hipertropi
serabut otot tipe II
Atrofi karena malnutrisi. Mengecilnya otot karena tidak
mendapat cukup nutrisi. Pada kondisi malnutrisi terjadi
penurunan masa otot, karena jaringan otot dikatabolisme untuk
menghasilkan energi. Kondisi ini mengakibatkan atrofi serabut
otot tipe II.
Atrofi karena tekanan. Tekanan terus menerus dapat
mengakibatkan atrofi. Misalnya: tekanan karena tumor atau
tekanan pelana yang terus menenerus pada kuda dapat

Gambar 2.2 A. Kasus atrofi otot lidah dimana lidah menjad i tip is dan
bekerut. B M ikroskopik nampak arofi miofiber dan
hilangnya miofiber d isertai infilt rasi mononulear (Bb )
Sumber: Ito et al., 2009. Bar 20 mm.

21
mengakibatkan atrofi otot punggung. Atrofi lipomatoza.
Hilangnya jaringan otot dan jaringan ikat yang kemudian
digantikan oleh jaringan lemak. Jaringan otot tersebut biasanya
mengapung di atas air.
Atrofi fusca. Terdapat timbunan pigmen lipofuscin dalam otot,
sehingga otot tampak coklat dan mengkerut

2.2. Hipertrofi
Peningkatan ukuran dari miofiber. Penebalan miofiber
terjadi karena pembetukan miofilamen baru. Hipertrofi mumnya
terjadi karena peningkatan aktivitas otot tersebut, atau disebut
juga kompenssi fisiologis, namun hipertrofi otot juga dapat
ditingkatkan dengan pengggunaan obat golongan steroid.
Hipertrofi fisiologis. Terjadi pada hewan yang terlatih.
Misalnya anjing Greyhound yang dilatih untuk anjing pacu
mempunyai serabut otot yang lebih tebal dari anjing yang tidak
terlatih dari spesies yang sama.
Hipertrofi patologis. Terjadi jika terdapat penurunan
jumlah serabut otot pada suatu area, hal ini merupakan proses
konpensasi. Keadaan ini sering ditemukan pada penyakit
neuromuscular yang kongenital dimana terjadi denervasi atrofi
yang kronis.

22
2.3. Nekrosis iskemia.
Penyumbatan arteri otot, baik oleh karena spasmus yang
terus menerus, trombosis atau emboli dalam jangka waktu enam
jam dapat menyebabkan nekrosis otot.

2.4. Kontraktur.
Apabila terjadi pemendekan otot dalam jangka waktu
tertentu maka dapat terjadi kontraktur otot. Kondisi ini dapat
terjadi akibat penyakit tertentu seperti:poliomielitis atau
muskular distrofi

2.5. Kalsifikasi (deposisi Ca++)


Adalah sequelae umum terhadap degenerasi dan nekrosis
oto., ketika kalsifikasi hebat, maka gambaran makroskopik akan
nampak seperti fokus kapur yang berwarna putih. Secara
mikroskopik dengan pewarnaan HE, serabut yang mengalami
kalsifikasi bergranul kebiruan mirip bakteri. Pewarnaan khusus
Von Kosaa, biasanya diperlukan untuk menunjukan jaringan
yang mengalami kalsifikasi.

23
2.6. Abnormalitas warna
Kadang-kadang ditemukan perubahan warna pada otot
seperti:
Melanosis. Warna hitam akibat akumulasi pigmen
melanin pada jaringan ikat bukan pada miofibrinnya. Melanosis
kongenital pernah dilaporkan terjadi pada anak sapi.
Xanthomatosis. Akumlasi abnormal pigmen coklat
kekuningan sampai merah tua, pada otot kerangka dan otot
jantung. Pigmen terakumulasi di bawah lapisan sarkolema atau
bisa juga di tengah di pusat miofiber.

2.7. Regenerasi.
Regenerasi sel adalah proses penggantian sel yang rusak
oleh sel yang sejenis. Jika proses penggantian jaringan yang
rusak oleh jaringan sejenis tidak terjadi maka jaringan yang
rusak akan digantikan oleh jaringan ikat fibrosa, prosesnya
disebut dengan scar formation .
Kemampuan jaringan dalam proses persembuhan
tergatung dari jenis sel penyusunnya. Berdasarkan potensi
proliferasinya, sel dikatagorikan menjadi empat, yakni:
 Sel labil, sel yang memiliki kemampuan cepat untuk
membelah sehingga penggantian sel yangg rusak sangat

24
mudah. Contoh: hemopietic stem cell pada sumsum tulang
dan epitel
 Sel stabil, sel ini umurnya panjang, persembuhan sel ini
bisa dengan regenerasi ataupun substitusi. Contoh sel hati,
kel endokrin dan endotel.
 Sel permanen. Sel yang tidak punya kemampuan untuk
membelah, tidak ada sel yang bermitosis. Contoh sel
neuron dan kardiomiosit. Jika sel permanen rusak maka
tidak terjadi proses regenerasi melainkan hanya substitusi.
Bila terjadi cedera pada otot, maka akan terjadi regenerasi
miofiber dalam batas-batas tertentu. Diantara ketiga jenis otot,
otot kerangkalah yang daya regenerasinya paling bagus.
Regenerasi otot kerangka: Jenis otot ini mempunyai
kemampuan luar biasa untuk beregenerasi. Umumnya respon
regenerasi baik bila lesi menjadi segmental dan tabung
sarkolema (endomisium dan lamina basalis) dan miosatelit tetap
utuh. Dalam kurun waku 12 jam, netrofil dan makrofag
membersihkan debris dari area nekrosis. Tabung sarkolema
menjadi barier penghalang masuknya fibroblas ke dalam
sarcoplasma. Mioblast (sel miosatellite) mengalami mitosis dan
perbaikan berlangsung dengan pembentukan sarkomer baru di
tepi miofiber yang rusak.

25
Sel miosatelit yang terdapat dalam masa sarkoplasma
membentuk inti otot yang baru. Walaupun serabut otot kerangka
yang rusak dapat mengalami regenerasi sempurna, namun jika
tabung sarkolema terganggu karena kerusakan yang terjadi luas
akibat dari trauma hebat, infark, maupun infeksi, maka
regenerasi hanya bersifat parsial. Regenerasi dapat terjadi tetapi
umumnya akan ada komplikasi dengan terbentuk jaringan ikat
(parut).
Regenerasi otot jantung
Sel miokardium tidak memiliki kemampuan untuk
beregenerasi. Persembuhan otot jantung setelah cedera,
umumnya lebih banyak diperbaiki dengan proliferasi jaringan
ikat. Sehingga segera setelah proses cedera akan terjadi proses
granulasi dan pembetukan ”scar”.
Regenerasi otot polos
Pada otot polos regenerasi mirip dengan yang terjadi pada
otot jantung karena proliferasi otot polos umumnya gagal.

2.8. Perubahan pasca mati


Rigor mortis.
Adalah suatu perubahan pasca mati yang disebabkan oleh
reaksi fisiko-kemis dan hasil kerja enzim. Rigor mortis (RM)

26
terjadi 2-4 jam pasca kematian. Proses RM terjadi maksimum
24-48 jam, setelah itu akan hilang. Perubahan utama dimulai
dengan kekejangan yang kemudian disusul dengan pelemasan,
peruraian dan akhimya pembusukan. Faktor yang
mempengaruhi RM adalah cadangan glikogen, pH otot, waktu
kematian dan suhu lingkungan. Jika kandungan glikogen rendah
RM cepat terjadi, demikan juga jika pH rendah. Segera setelah
mati glikogen diubah menjadi asam laktat, melalui proses
anaerob glikolitik. Rigor mortis tidak terjadi atau menjadi
kurang sempurna pada hewan yang mati karena cachexia, sepsis
atau pada hewan yang sangat lelah saat disembelih.

27
Daftar Pustaka

Amato, A. A. and Barohn, R. J. 1997. Idiopathic inflammatory


myopathies. Neurol. Clin. 15: 615–648.

Dellmann, D. H. and Brown, E. M., 1987. Text book of


veterinary histology 3rd ed. Lea and Febiger Philadelphia,
U.S.A p.111-123.

Evans, J., Levesque, D. and Shelton, G. D. 2004. Canine


inflammatory myopathies: a clinicopathologic review of 200
cases. J. Vet. Intern. Med. 18: 679–691.

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N.1992. Pathology of domestic


animals, fourth edition. Acdemic Press Newyork p183-264.

Ito D, Okada M,Jeffery N, Kitagawa M,Uchida K, Watari


T.2009. Symptomatic tongue atrophy due to atypical
polymyositis in a Pembroke Welsh Corgi.J. Vet. Med. Sci.
71(8): 1063–1067.

Lopez,A. 2004. General structure, congenital defect and


degenerative disease of muscle. Atlantic Veterinary
College.University of Prince Edward Island Canada.

Podell, M. 2002. Inflammatory myopathies. Vet. Clin. North


Am. Small Anim. Pract. 32: 147–167.

Shelton, G. D., Cardinet, G. H. 3rd and Bandman, E. 1987.


Canine masticatory muscle disorders: a study of 29 cases.
Muscle Nerve. 10: 753–766.

28
BAB III
DEGENERASI NEKROSIS DAN GANGGUAN
SIRKULASI

Tujuan Instruksional Daftar Isi:


Khusus (TIK)
Setelah menyelesaikan bab ini,  Jenis jenis degenerasi
peserta didik/pembaca diharap- pada otot dan
kan mampu: gambar-an patologi
1. Menjelaskan tentang  Nekrosis dan
patologi degeneras dan gambar-an patologi
nekrosis pada otot nya
2. Membuat diagnose morfo-  Sindrom spesifik
logik untuk lesi degenerasi pada otot akibat
dan nekrosis gangguan sirkulasi
3. Menjelaskan tentang jenis
lesi akibat gangguan sir-
kulasi pada otot
4. Membuat diagnosa morfo-
logik untuk lesi pada otot
akibat gangguan sirkulasi

29
III. DEGENERASI, NEKROSIS DAN
GANGGUAN SIRKULASI

3.1. Degenerasi
Degenerasi adalah sequale dari otot terhadap cedera yang
disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya: zat kima,
metabolit, trauma, maupun infeksi. Degenerasi otot bersifat
reversible, namun jika cedera berlangsung di luar “point of no
return”, maka degenerasi menjadi irreversible dan akan terjadi
nekrosis. Otot yang mengalami degenerasi berwarna pucat,
tetapi jangan sampai keliru dengan otot pucat dari daging anak
sapi, pucat karena anemia, atau pucat karena exsanguination,
dan lain lain. Jika terjadi kalsifikasi yang luas dan berat, otot
akan nampak berkilau, putih, fokus kapur (garis-garis).
Degenerasi otot bisa juga nampak kemerahan jika disertai
perubahan perdarahan atau disertai dengan pelepasan mioglobin
(rhabdomyolysis) ke interstitium. Degenerasi otot sulit dideteksi
secara makroskopis jika tidak disertai dengan kalsifikasi. Secara
mikroskopik ada beberapa tahap degenerasi sesuai dengan
derajat keparahannya. Degenerasi umumnya ditandai dengan
bengkaknya serabut otot, hilangnya serat lintang pada otot lurik.
Ada beberapa tahap degenerasi pada otot:

30
 Tahap 1, degenerasi masih sebatas miofibril,
 Tahap 2, degenerasi sebatas miofibril dan
sarkoplasma, dengan inti dan sel satelit masih utuh.
 Tahap 3, sel satelit rusak bahkan hancur.
 Tahap 4, lesi meluas sampai hancurnya endomisum
dan kapiler.
Regenerasi. Proses regenerasi berbeda beda tergantung dari
level kerusakan pada degenerasi. Perubahan mikroskopis

Gambar 3.1 . Lesi degenerasi pada otot rangka. Serabut otot (tanda
panah) yang mengal ami d egenerasi dik eliling i serabut
yang masih no rmal. Sarkoplasma bergranul dan
diinfilltrasi oleh makrofag.

31
meliputi vakuola dan hilangnya serat lintang diikuti dengan
pembengkakan (satu atau lebih segmen), hipereosinofilia, dan
pada degnerasi Zenker adanya hialin.
Ada beberapa macam degenerasi yang ditemukan pada otot
diantaranya adalah:
1. Degenerasi parenkimatosa/albuminoid. Ditemukan pada
hewan besar yang mati karena sepsis. Otot menjadi suram
seperti sudah dimasak, warna kelabu dan serabutnya menjadi
kasar. Keadaan ini paling mudah dilihat pada otot jantung.
2. Degenerasi vakuoler. Merupakan perubahan yang hanya
dapat diamati secara mikroskopik. Pada serabut otot
ditemukan vakuola-vakuola yang berisi cairan atau lemak.
Adanya lemak berlebihan pada otot mengindikasikan
defisiensi carnitine.

Gambar 3.2 A. Degenerasi vacuoler pada otot kerangka tikus B. Otot


kerangka normal. Bar 50 µM.
Sumber: Kobayashi et al., 2007.

32
3. Degenerasi Lemak Otot jantung menjadi berwarna
kekuningan karena adanya lemak di dalam serabut ototnya.
Keadaan ini sering dijumpai pada keracunan khloroform dan
pada keadaan sepsis. Degenerasi ini juga bisa diamati pada
otot kerangka.
4. Degenerasi hialin. Wama otot berubah menjadi belang dan
beraspek suram, sering ditemukan pada hewan yang susunan
makanannya salah. Secara mikroskopik akan tampak
penimbunan masa hialin di dalam serabut otot. Degenerasi
hialin pada otot jantung ditemukan pada penyakit mulut dan
kuku pada anak sapi. Otot jantung menjadi bergaris-garis
putih, yang secara mikroskopik akan tampak serabut otot
yang kehilangan serat lintangnya dan ada timbunan hialin.
Selain pada penyakit PMK, degenerasi hialin juga ditemukan
pada mioglobinuria pada kuda dan pada penyakit white
muscle disease.
5. Degerasi Zenker nama lainnya: waxy degeneration atau
Zenker nerosis. Kondisi ini dinamakan oleh Friedrich Albert
von Zenker. Ini adalah perubahan yang sangat parah pada
otot skeletal. Sering terjadi pada toksemia akibat infeksi
yang parah misalnya pada infeksi tifoid. Degenerasi Zenker
adalah degenerasi hialin parah atau nekrosis otot lurik pada

33
penyakit infeksi akut. Sebuah prototipe dari nekrosis
koagulatif. Selain akibat penyakit infeksi hal ini juga terlihat
pada luka bakar listrik.
Secara makroskopik otot tampak padat pucat, putih kelabu
dan rapuh akibat koagulasi protein sarkoplasma. Jika
dibandingkan dengan jaringan di sekitarnya, tampak lebih
cekung. Secara mikroskopis, serat otot bengkak, kehilangan
serat lintangnya, menunjukkan penampilan seperti serabut
hialin, dengan inti memadat atau hilang (Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Otot dengan nekrosis koagualatif (nekrosis Zenker) dengan


infiltrasi sel radang. Pewarnaan HE. Sumber:
http://www.vetmansoura.com
/Pathology/Disturbanceofcirculation/General3.html

34
Patogenesis
Meningkatnya produksi asam laktat akibat otot distimulasi
oleh infeksi bakteri atau toksinnya. Peningkatan akumulasi asam
laktat mengakibatkan cedera otot sehingga sirkulasi terganggu.
Trasformasi hialin pada otot oleh asam laktat dapat dianalog ikan
dengan membengkaknya miofiber jika direndam dengan larutan
asam. Tampaknya mungkin bahwa produksi degenerasi lilin
tergantung pada asam laktat yang dibentuk oleh otot yang hidup
di bawah stimulasi bakteri penginfeksi atau racun mereka.
(Gambar 3.4)

Gambar 3.4. Otot sapi yang terinfeksi bakteri Clostridiun. Nampak


sangat sedikit inti sel dan sel bersifat sangat
eosinofilik.Pewarnaan HE
Sumber:http://www.vetmansoura.com/Pathology/Disturba
nceofcirculation/General3.html

35
3.2. Nekrosis
Nekrosis otot umumnya disebabkan oleh kuman-kuman
pembusuk, toksin-toksin dari mikroorganisme patogen dan
kekurangan darah. Nekrosis terdapat juga pada penyakit radang
paha (boutvuur/black leg) yang disebabkan oleh Clostridium
chouvoei dan penyakit malignant edema (paraboutvuur) yang
disebabkan oleh Clostridium septicum. Secara makroskopik
terlihat bencak-bercak pada otot berwarna putih atau pucat.
Bercak -bercak putih pada otot dimulai dengan degenerasi hialin
kemudian berlanjut menjadi nekrose koagulasi, yang disertai
dengan lisis dan menghilangnya serabut otot.

3.3. Gangguan sirkulasi pada otot


Ada beberapa sindrom pada hewan yang lesinya berupa
kerusakan pada otot. Penyebab primernya beragam namun lesi
yang muncul erat hubungannya dengan terganggunya aliran
darah vena dari jaringan akibat terjadinya tekanan yang terus
menerus. Hewan yang umum mengalami kelainan ini adalah
sapi mengingat bobot tubunya yang besar. Beberapa penyakit
metabolisme seperti milk fever, diyakini sebagai penyebab
primer dari penyakit ini namun penyebab lain seperti keracunan
dan trauma juga memberikn dampak yang sama. Jika sapi

36
ambruk dan dalam beberapa jam tidak bisa berdiri maka otot
kakinya akan rusak. Otot tetap dapat menerima darah arteri dari
jantung tetapi aliran balik terhambat, otot tidak dapat
mengakomodasi tekanan pada otot yang meningkat sehingga
terjadi kematian sel atau nekrosis.
Sindrom ambruk/tidak bisa berdiri pada sapi (Downer Cow
syndrome/DCS)
Hewan tidak bisa berdiri, namun tidak menunjukkan
gejala sakit, dari posisi berbaring setelah empat jam atau lebih.
Penyakit metabolik, keracunan, penyakit degeneratif diyakini
sebagai penyebab primer sindrom ini. Komplikasi terjadi karena
fraktur saat berusaha berdiri atau terjadi kerusakan otot dan saraf
akibat tekanan. Diyakini banyak faktor primer, termasuk paresis
induk pasca beranak (milk fever), dapat menyebabkan kondisi
ini. Bila dengan terapi kalsium (calcium borogluconate therapy)
dalam waktu 24 jam belum terjadi perbaikan maka dapat
dikatagorikan ke dalam DCS.
Pada kebanyakan kasus DCS ada hubungan dengan milk
fever. Namun bisa juga tidak ada hubungan dengan milk fever.
Faktor sekunder kerusakan otot dan saraf yang disebabkan oleh
kompresi jaringan. Kerusakan ini permanen bahkan jika faktor
utama telah diperbaiki dengan tindakan terapeutik

37
Gambaran Patologi. Nekrosis iskemik dan pecahnya
otot-otot daerah paha adalah temuan nekropsi umum pada sapi
penderita DCS. Perdarahan dan pecahnya otot adduktor dapat
dilihat jika hewan telentang sendiri saat berjuang untuk naik
pada permukaan yang licin seperti beton.
Compartment syndrome (Sindrom Kompartemen)
Compartement adalah sekelompok otot, saraf, dan
pembuluh darah di lengan dan kaki, yang dibungkus oleh
membran padat dan kuat yang disebut fasia. Peran fasia adalah
untuk menjaga jaringan di tempat, dan karena itu fasia tidak bisa
meregang atau meluas dengan mudah. Sindrom kompartemen
terjadi ketika pembengkakan atau perdarahan terjadi dalam
kompartemen. Karena fascia tidak meregang, ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan pada kapiler, saraf, dan otot-
otot di kompartemen. Aliran darah ke otot dan sel saraf
terganggu. Peningkatan tekanan ini menyebabkan kerusakan
saraf dan otot akibat penurunan suplai darah, karena tanpa
suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot bisa rusak. Hal
ini paling sering disebabkan oleh cedera, seperti fraktur, yang
menyebabkan pendarahan di otot, yang kemudian menyebabkan
peningkatan tekanan di otot.

38
Pada Kuda kondisi ini merupakan kegawatdaruratan akibat
tekanan yang melebihi batas pada organ tubuh yang
mengandung otot dan saraf. Bisa terjadi akibat trauma, latihan
yang melampui batas atau membebat kaki kuda dengan keras.
Pada sapi umumnya merupakan lanjutan dari CDS.

39
Daftar Pustaka

Giger U, Argov Z, Schnall M, Bank WJ, Chance B. 1988.


Metabolic myopathy in canine muscle-type
phosphofructokinase deficiency. Muscle Nerve. 11(12):1260-
5.
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N.1992. Pathology of domestic
animals, fourth edition. Acdemic Press Newyork p183-264.
Lopez,A. 2004. General structure, congenital defect and
degenerative disease of muscle. Atlantic Veterinary
College.University of Prince Edward Island Canada.
Wells HG.1909. The pathogenesis of waxy degeneration of
striated muscles (zenker's degeneration).J Exp Med.11(1):1 9.
Cox VS, McGrath CJ, Jorgensen SE.1982. The role of pressure
damage in pathogenesis of the downer cow syndrome. Am J
Vet Res.43(1):26-31.
Cox VS. 1982. Pathogenesis of the downer cow syndrome. Vet
Rec. 111 (4):76-9.
Vogel SR., Desrochers A, Lanthier I, Strina M, Babkine M,
2012 Acute compartment syndrome in the pelvic limb of a
cow following biopsy of a skeletal muscle-associated
hemangiosarcoma. J Am Vet Med Assoc.240(4):454-458.
Nelson BB, Ragle CA, Barrett MF, Hendrickson DA. 2015. Use
of a minimally invasive fasciotomy technique for treatment
of antebrachial compartment syndrome in two horses. J Am
Vet Med Assoc. 247 (3):286-92
http://www.vetmansoura.com/Pathology/Disturbanceofcirculatio
n/General3.html. Diakses pada tanggal 12 Maret 2017

40
BAB IV
GANGGUAN PERTUMBUHAN

Tujuan Instruksional Khusus Daftar Isi:


(TIK)
Setelah menyelesaikan bab ini,
peserta didik/pembaca diharap-  Gangguan pertumbuhan
kan mampu: non neoplastik
1. Menjelaskan tentang jenis  Arthrogryposis
jenis gangguan  Gangguan pertumbuhan
pertumbuhan non neoplastik
neoplastik pada otot  Rhabdomyoma
2. Membuat diagnose mor-  Rhhabdomyosarcoma
fologik untuk lesi non
neoplastik pada otot
3. Menjelaskan tentang jenis
jenis gangguan
pertumbuhan neoplastik
pada otot
4. Membuat diagnosa mor-
fologik untuk lesi
neoplastik pada otot

41
IV. GANGGUAN PERTUMBUHAN

4.1. Gangguan pertumbuhan non neoplastik


Arthrogryposis adalah kondisi bawaan yang umum pada
fetus yang abortus dan hewan yang lahir mati. Nama lainnya
Arthrogryposis multiplex congenital, merupakan kelainan
kongenital dengan manisfestasi satu atau lebih sendi mengalami
kontraktur. Hewan mati saat lahir atau mati dua-empat hari
sebelum dilahirkan. Kondisi ini jarang ditemukan pada anak
kambing,sapi, babi, dan kuda tetapi merupakan hal yang umum
pada anak anjing, bahkan sindrom ini bersifat epidemik pada
anjing. Gejala anggota badan kecil, sendi kaku akibat adanya
fiksasi persendian oleh miofibroblast yang disertai dengan
kontraktur otot dan tendon. Kekakuan sendi bisa juga
disebabkan oleh hipoplasia otot yang dihasilkan dari kurangnya
persarafan otot selama kehamilan. Hal ini selalu dikaitkan
dengan perubahan perkembangan pada otak atau sumsum tulang
belakang. Penyebab Arthrogryposis sangat bervariasi dan belum
dipahami secara pasti namun arthrogryposis sering terlihat pada
kasus: dysraphism, spina bifida, syringomyelia, hydromyelia,
dan lain-lain. Jenis kelainan dalam pengembangan sistem saraf
pusat yang sering dikaitkan dengan mengkonsumsi zat toksik

42
selama kebuntingan atau infeksi virus kongenital. Virus
Akabane dan Bluetongue dilaporkan menyebabkan kasus ini
pada sapi dan domba

4.2. Gangguan Pertumbuhan Neoplastik.


Rhabdomyoma.
Adalah tumor jinak dari otot rangka yang bersifat soliter
atau multiple yang berasal dari otot lurik. Rhabdomyoma dapat
terjadi pada miokardium, otot skeletal dari laring dan di wilayah
kepala. Pada hewan, neoplasia ini jarang terjadi secara spontan
namun umum ditemukan dalam bidang kedokteran hewan untuk
patologi eksperimental (toksikologi). Neoplasia yang timbul di
otot kemungkinan berasal dari otot lurik, sel-sel adiposa
(lipoma/sarcoma), jaringan ikat fibrosa (fibroma/sarcoma), saraf
(neurofibroma) atau sel pembuluh darah (hemangioma/
sarcoma). Tumor otot lurik kemungkinan berasal dari sisa-sisa
embrio dari miofiber. Neoplasia pada otot lurik yang paling
sering terjadi di jantung, otot dan secara sporadis terjadi dari
organ non-otot seperti ginjal, kandung kemih dan paru-paru.
Kasus Rhabdomyoma pada hewan, paling sering
ditemukan pada sapi, domba dan babi. Sebanyak 66% dari
rhabdomyoma berasal jantung.

43
Gambaran Patologi. Sel neoplastik memiliki karakteristik
menyerupai otot rangka (Gambar 4.1).
Rhabdomyosarcoma
Rhabdomyosarcoma adalah bentuk ganas dari rhabdomyoma
dan sering bermetastasis ke jaringan sekitarnya.
Rhabdomyosarcoma (RMS) adalah tumor ganas yang sangat-
invasif dan metastatik yang timbul pada jaringan lunak dan
merupakan neoplasma yang paling umum yang berasal dari otot
rangka. Frekuensi kejadian RMS jika dibandingkan dengan
insiden semua neoplasma spontan pada hewan domestik, kurang
dari 1%.

Gambar 4.1 Histopatologi kasus kardiorhabdomyoma pada anjing A.Inti


yang tunggal, oval memanjang terletak di tepi, dan berisi
bintik kromatin dan nucleolus kadang-kadang satu atau dua .
Tidak ada angka mitosis terlihat ). B Pewarnaan histokimia
dengan periodic acid-Schiff (PAS) histokimia menunjukkan
bahwa semua sel neoplastik PAS positif. Sumber: Radi dan
Metz, 2009

44
RMS dapat bermetastasis ke jaringan atau organ di
sekitarnya, seperti paru, limpa, limfonodus dan ginjal. Walupun
pada ginjal dan vesika urinaria tidak memiliki otot lurik, RMS
pernah dilaporkan mucul di organ tersebut. Sebenarnya RMS
jarang ditemukan pada hewan namun beberapa kasus ini
ditemukan pada sapi, domba, anjing, kucing dan kuda, namun
tidak pernah dilaporkan ditemukan pada babi. Pada anjing
kejadian RMS dilaporkan berasal dari traktus urinarius, vesika
urinaria dan peritoneum. Pada sapi, kejadian RMS sangat rendah
dan beberapa laporan kasus telah mendokumentasikan gejala,
yang dapat mencakup pembentukan tumor besar dalam rongga
tubuh, kehilangan nafsu makan, dan diare.
Secara histomorfologi rhabdomyosarcoma diklasifikasikan
menjadi 4 tipe yakni alveolar, embriyonal, botryoid dan
pleomorfik. Secara makroskopik RMS berbentuk nodul nodul
(Gambar 4.2A) yang dibentuk oleh jarigan berwarna merah
muda atau abu-abu. Gambaran mikroskopik (4.2B) nampak
susunan sel tumor menyerupai alveoli. Rhabdomyosarcoma ini
paling sering ditemukan pada sapi, domba, anjing dan kuda,
tetapi tidak pernah dilaporkan pada babi. Gambaran umum dari
RMS adalah: tumor berkapsul berupa modul-modul jaringan
merah dan keabu-abuan. Metastasis yang umum ke paru-paru,

45
limpa, kelenjar getah bening dan ginjal. Metaplastik
rhabdomyosarcoma dilaporkan timbul dari situs tanpa otot lurik
seperti ginjal dan kandung kemih. Gambaran mikroskopik
sangat bervariasi, dengan atau tanpa otot serat lintang, atau sel
raksasa. Dalam kebanyakan tumor anaplastik itu perlu dilakukan
imunohistokimia untuk menunjukkan adanya myosin dalam sel
neoplastik.

Gambar 4.2 Gambaran Patologi Anatomi dan Histopatologi dari


Rhabdomyosarcoma. A Masa tumor
Rhabdomyosarcoma berupa nodul nodul pada
peritoneum, bar 10 Cm. B Susunan sel tumor seperti
alveoli dan sel tumor memiliki sedikit sitoplasma.
Sumber :Matsui et al., 1991.

46
Daftar Pustaka
Aoyagi, T.,Saruta, K., Asahi, I., Hoji, H., Shibahara, T. and
Kadota, K. 2001. Pleomorphic rhabdomyosarcoma in a cow.
J.Vet. Med. Sci. 63: 107–110.
Giger U, Argov Z, Schnall M, Bank WJ, Chance B. 1988.
Metabolic myopathy in canine muscle-type
phosphofructokinase deficiency. Muscle Nerve. 11(12):1260-
5.
Ginel, PJ., De las Mulas, M.J., Lucena, R., Millan, Y. and
Novales, M. 2002. Skeletal Muscle Rhabdomyosarcomas in
a Dog. Vet Rec. 151:736-738.
Hulland, TJ. 1990. Tumors of the Muscle. In: Tumors in
Domestic Animals, 3rd ed., Ed, Moulton JE, pp.88-101.
University of California Press, Berkeley.
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N.1992. Pathology of domestic
animals, fourth edition. Acdemic Press Newyork p183-264.
Kelly, OF.1973. Rhabdomyosarcoma of the urinary bladder in
dogs. Vet Pathol 10:375- 384.
Matsui, T., Imai, T., Han J. S., Awakura, T., Taniyama, H.,
Osame, S. Nakagawa, M. and Ono, T. 2001. Bovine
undifferentiated alveolar rhabdomyosarcoma and its
differentiation in xenotransplanted tumors. Vet. Pathol. 28:
438–445.
Meuten, D. J. (2002). Tumors of muscle. In Tumors in Domestic
Animals (D. J. Meuten, ed.), pp. 319–363. Iowa State
University Press, Ames, Iowa.
Radi ,Z A. And Metz ,A.2009 Canine Cardiac Rhabdomyoma.
Toxicologic Pathology, 37: 348-350.

47
Takahashi, K., Maita, K., Shirasu, Y., Taniguchi, H. and
Yoshikawa, Y. (1988). Anti-rat Myoglobin Antisera in the
Immunocytochemical Diagnosis of Rhabdomyosarcomas of
Rats. Vet Pathol. 25:337-342.
Wells HG.1909. The pathogenesis of waxy degeneration of
striated muscles (zenker's degeneration). J Exp Med.
9;11(1):1-9.

48
BAB V
MIOPATI

Tujuan Instruksional Khusus Daftar Isi:


(TIK) Penyakit infeksi dengan
Setelah menyelesaikan bab ini, lesi primer miopati
peserta didik/pembaca  Miopati akibat nutrisi
diharapkan mampu: (White muscle
1. Menyebutkan faktor pe- disease)
nyebab miopati dan  Miopati eksersional:
contoh contoh penyakitnya Azoturia dan tying
2. Menjelaskan pathogenesis up
penyakit dengan lesi  Miopati toksik
primer miopati
3. Menjelaskan patologi pe-
nyakit dengan lesi primer
miopati

49
V. MIOPATI

Miopati, merupakan penyakit neuromuskuler dimana


miofiber tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga terjadi
kelemahan otot.

5.1. Miopati kongenital


Suatu kondisi penuruna fungsi otot yang ada pada saat
kelahiraan. Gagal nafas akibat kelemahan otot diafragma bisa
terjadi pada miopati kongenital.

5.2. Miopati karena nutrisi


Disebut juga miodegenerasi nutrisi atau distrofi otot
karena nutrisi. Kasus miopati ini banyak dilaporkan terjadi pada
peternakan dari negara-negara maju, yang menggembalakan
ternak pada padang rumput yang memiliki kandungan hara
selenium (Se) yang sangat rendah. Penyebab lainnya adalah
defisiensi terhadap vitamin E. Toksikan dan faktor lingkungan
yang memiliki riwayat defisiensi Se dan vitamin E.

Predisposisi: faktor pertumbuhan yang cepat postnatal,


sehingga insiden terjadinya penyakit ini lebih sering pada hewan
muda. Umum ditemukan pada babi, sapi dan domba, kadang-

50
kadang pada kuda dan kambing serta sangat jarang ditemukan
pada anjing dan kucing.

White Muscle Disease (WMD).


Suatu perubahan pada otot kerangka dan otot jantung yang
disebabkan oleh pelbagai sebab. Otot-otot yang terkena,
beraspek pucat dan berwarna putih. Secara mikroskopik tampak
ada degenerasi hialin sampai nekrosis koagulatif dengan
hancurnya dan menghilangnya sejumlah serabut otot.
Perubahan ini jarang yang mengenai seluruh otot, biasanya
hanya berupa bercak-bercak yang tersebar di beberapa tempat.
Perubahan ini umumnya ditemukan pada otot-otot besar, otot
jantung dan otot gizzard pada ungags. Jika perubahan ditemukan
pada otot jantung bisa menyebabkan kematian mendadak, dalam
hal ini pada jantung tampak bercak-bercak keputihan pada
dinding ventrikel, septum atau musculus papillaris. Oleh karena
itu pada kasus kematian mendadak perlu diamati otot
jantungnya. Jika perubahan terjadi pada otot kerangka maka
akan terjadi kekejangan atau pseudoparalisis yang mengarah
kematian. Penyebab WMD terutama pada anak sapi, domba dan
unggas adalah kekurangan Vitamin E terutama alpha tokoferol.

51
Patologi
Sangat sulit melihat pada kasus yang masih ringan, Otot
pucat disertai dengan mineralisasi (kalsifkasi). Karena aktivitas
otot melepaskan radikal bebas, maka otot yag tinggi aktivitas
fisiologinya seperti diafragma, intercostae, lidah dan jantung
yang banyak mengalami perubahan. Predileksi terutama pada
serabut otot tipe I. Jika kondisi perubahan pada jantung sudah
parah maka ada kemungkinan otot intercostae dan diafragma
juga terpengaruh. Pada sapi perubahan pada jantung yang lebih
dominan adalah pada ventrikel kiri dibandingkan dengan
ventrikel kanan (Gambar 5.1), sedangkan pada babi sebaliknya.

Gambar 5.1. Kasus Whi te Mu scl e Di sea se pada sapi A. Gambaran


khas ventrikel kiri berwarna putih B.Serat otot berwarna
pucat, mineral kalsium dpat diwarnai dengan pewaarnaan
khusus Von Kossa.

52
5.3. Miopati Eksersional
Merupakan sekumpulan penyakit dimana lesi akutnya
mirip dengan miopati karena nutrisi, namun berbeda
patogenesisnya. Faktor pencetusnya adalah aktivitas yang
berlebihan dari otot otot mayor. Lesi terjadi pada serabut otot
yang tinggi aktivitas glikolitiknya yaitu serabut otot tipe 2 atau
modifikasi dari tipe 1 glikolitik sedangkan pada kasus miopati
akibat nutrisi, lesi utama pada serabut oksidatif tipe 1(oksidative
type I fiber). Pembakaran glikogen berlebihan menghasilkan
panas dan laktat, kedua komponen tersebut mengakibatkan
degenerasi otot dengan konsekuensi menurunnya kemampuan
otot untuk menahan air, sehinga air masuk ke dalam interstitium.
Masuknya air ke interstitium menyebabkan tekanan lokal
meningkat sehinga terjadi iskemia, apalagi jika masih terus
digerakan (tidak diistirahatkan).
Ada dua bentuk miopati eksersional (Excertional
myophaties) yakni Azoturia dan tying up sydrome.
Azoturia, nama lainnya adalah Paralytic myoglobinuria, sacral
paralysis Monday Morning, merupakan suatu penyakit pada
kuda kerja, yakni pada masa kuda dipekerjakan sebagai hewan
pekerja di bidang pertanian maupun pertambangan. Penyakit ini
sudah lama dikenal dari semenjak masa/abad. Kuda digunakan

53
sebagai hewan pekerja di Eropa. Disebut Monday morning
disease, karena penyakit ini terjadi pada hari pertama kerja
setelah sebelumnya diistirahatkan. Karena sudah biasa pada
setiap hari minggu kuda diistirahatkan dan diberikan makanan
istimewa. Pada keesokannya, hari senin ketika baru saja
dilarikan beberapa puluh meter, mendadak berhenti, kaki
belakangnya gemetar dan kaku, dan tidak sanggup lagi berjalan,
kemudian roboh. Hal ini karena terjadi perubahan utama pada
otot-otot besar dari kelompok otot femoralis dan gluteus. Jika
dipalpasi otot-otot di bagian paha belakang dan otot gluteus
terasa keras. Gejala berikutnya urine berwarna merah karena
mengandung mioglubin. Pada pemeriksaan darah ditemukan
kenaikan kadar transaminase asam oxalo-glutamik dan creatine
phospho-kinase. Kuda yang demikian biasanya tidak dapat
tertolong lagi, seandainya bertahan hidup ia akan menderita
kepincangan dan atrofi pada otot pahanya.
Patogenesis. Keadaan ini diduga terjadi akibat terlalu banyak
tertimbunnya glikogen semasa kuda istirahat, ketika dikerjakan
kembali terjadi pembakaran timbunan glikogen menjadi asam
laktat yang berlebihan. Kelebihan asam laktat menyebabkan
iritasi dan kontraksi yang hebat pada otot. Kontraksi hebat pada
otot menyebabkan kekurangan pasokan oksigen. Efek dari

54
kekurangan oksigen ini adalah nekrosis otot. Mioglobinuria
terjadi akibat nekrosis otot dimana terjadi pelepasan myoglobin
dari runtuhan serabut otot. Mioglobin bersifat toksik bagi ginjal.
Mioglobinuria menyebabkan gagal ginjal yang parah hal ini
sebagai konsekuensi dari sifat toksik dari mioglobin itu sendiri
dan efek dari dehidrasi yang persisten.
Patologi. Secara mikroskopis perubahan dimulai dengan
degenerasi hialin kemudian menjadi nekrosis Zenker dan
kemudian berlanjut menjadi nekrosis yang hebat. Otot menjadi

Gambar 5.2. Gambaran makroskopik penyakit Azoturia. Otot menjadi


berwarna gelap karena ada pelepasan mioglobin ke dalam
interstitium.

55
berwarna gelap (Gambar 5.2). Ginjal dapat mengalami
kerusakan berupa degenerasi parenkimatosa dan ada endapan
myoglobin pada tubuli.

Tying Up Syndrome. Disebut juga dengan nama acute


rhabdomyolisis, Sindrom ini terjadi pada sekitar 3% dari kuda
pacu, pernah dilaporkan pada berbagai ras kuda seperti:
Warmbloods, Thoroughbreds, Standardbreds, Arabians,
Morgans, Quarter Horses, Appaloosas dan Paints. Umumnya
penyakit ini terjadi 15 sampai 30 menit setelah latihan. Kuda
kehilangan kemampuan berlari, kaku, gaya berjalan kaku, dan
mungkin berhenti dan meregangkan seolah buang air kecil atau
mengais tanah. Tanda klinis berupa kekakuan dan kelemahan
tiba-tiba diikuti dengan kesulitan bergerak, berkeringat dan
tremor umum. Tanda-tanda ini dapat memburuk jika latihan
dilanjutkan. Insidennya kerap ditemukan pada kuda yang dilatih
untuk tujuan kompetisi atau kuda pacu. Penyakit ini mirip
dengan Azoturia, namun kondisinya lebih ringan, persembuhan
cepat terjadi setelah segera diistirahatkan, tanpa gejala sisa.
Penyebab diduga ada hubungan dengan ketidakseimbangan diet,
komposisi makanan yang banyak mengandung biji-bijian lebih
banyak yang memicu munculya sindrom ini dibandingkan

56
dengan diet yang rendah karbohidarat dan lemak. Dari hasil
pnelitian McKenzie et al., 2003, kuda yang menerima lebih dari
5 kg pakan konsentrat (gandum, jagung, molase mix)
mempunyai peluang lebih tinggi menderita rhabdomyolysis ini
jika dibandingkan kuda yang menerima 2,5 kg pakan konsentrat
/ hari. Penyebab lain adalah peningkatan radikal-radikal bebas
dari metabolisme oksidatif yang berhubungan dengan olahraga.
Persembuhan dari serangan ringan dapat terjadi dalam beberapa
jam, namun jika dalam beberapa jam tidak sembuh ada
kecendrungan penyakit terus bertambah dan sampai
menyebabkan kematian. Kematian akibat terjadinya
mioglobinuria dan nefrosis.

5.4. Miopati toksik


Beberapa tanaman tertentu dapat menyebabkan degenerasi
pada serabut otot pada hewan percobaan. Di Indonesia, tanaman
mindi (Melia azedarach), yang sering digunakan untuk obat,
justru dilaporkan dapat mengakibatkan miopati pada hewan
percobaan. Melia azedarach, adalah tanaman berbentuk pohon
yang dikenal dengan berbagai nama daerah antara lain pohon
mindi. Tanaman ini tumbuh, terutama di daerah hutan serta di
pedesaan dan pinggiran jalan sebagai tanaman pelindung atau

57
penahan angin. Pertumbuhan yang cepat mengakibatkan
tanaman ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk sebagai pohon
pelindung bagi tanaman lain terhadap angin. Di beberapa daerah
di Indonesia, daun mindi sering diberikan kepada ternak sebagai
pakan hijauan apabila terjadi kekurangan pakan. Selain itu,
tanaman ini juga sering dianggap sebagai tanaman obat untuk
berbagai jenis penyakit. Keracunan tanaman ini pada hewan
pernah dilaporkan terjadi pada babi, sapi kambing dan unggas.
Pada hewan percobaan tikus, pemberian pelet yang dicampur
dengan daun mindi dapat mengakibatkan miopati pada otot
jantung dengan gambaran patologi : nekrosis dan fragmentasi
serabut otot, hiperseluler dan pembesaran inti. Sedangkan pada
otot kerangka gambaran miopati yang paling menojol adalah
hialinisasi. Disamping itu, juga dijumpai gambaran umum
miopati otot rangka berupa nekrosis, fragmentasi serabut otot,
pembesaran inti sarkolema dan infiltrasi sel makrofag. Pada
hewan percobaan, proses regenerasi dapat terjadi setelah
penghentian pemberian pakan. Pergantian diet dengan pakan
normal menimbulkan regenerasi pada otot kerangka yang
mengalami kerusakan akibat daun mindi. Regenerasi otot
kerangka terjadi pada hari ke-5 setelah pergantian pakan yang
ditandai oleh berkurangnya jumlah degenerasi hialin, kalsifikasi

58
bagian yang mengalami kerusakan, warna yang lebih ke arah
basofilik pada serabut otot dan infiltrasi sel-sel mononuclear.

59
Daftar pustaka
Bahri, S , Sani Y and Hooper P.T.. 1991 . Myodegeneration in
rats fed Melia azedarach. Aust. Vet. J.69 (2) : 33 .
Cole, F.L., D.J. Mellor, D.R. Hodgson, and S.W. Reid. 2004.
Prevalence and demographic characteristics of exertional
rhabdomyolysis in horses in Australia. Vet.Rec. 155:625-630.
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N.1992. Pathology of domestic
animals, fourth edition. Acdemic Press Newyork p183-264.
McClane, B. A., Robertson, S. L. and Li, J. 2013. Clostridium
perfringens. pp. 465–489. In: Food Microbiology:
Fundamentals and Frontiers, 4th ed. (Buchanan, R. L. and
Doyle, M. P. eds.), ASM press, Washington, DC.
McKenzie, E.C., S.J. Valberg, S.M. Godden, J.D. Pagan, J.M.
MacLeay, R.J. Geor, and G.P. Carlson. 2003. Effect of
dietary starch, fat, and bicarbonate content on exercise
responses and serum creatine kinase activity in equine
recurrent exertional rhabdomyolysis. J. Vet. Intern. Med.
17:693-701.
Parish, S. and Valberg, S. 2009. Inflammatory myopathies
Clostridial myonecrosis. pp. 1400–1492. In: Large Animal
Internal Medicine. (Smith, B. P. ed.), Mosby-Elsevier, St
Louis
Sani, Y dan Bahri S.1995. Gambaran patologi dan biokiia
keracunan daun mindi (Melia azedarach). Jurnal ilmu Ternak
dan Veteriner I (2):136-142
Bahri, S , Sani Y and Hooper P.T.. 1991 . Myodegeneration in
rats fed Melia azedarach. Aust. Vet. J.69 (2) : 33 .

60
BAB VI
MIOSITIS

Tujuan Instruksional Khusus Daftar Isi:


(TIK) Penyakit infeksi dengan
Setelah menyelesaikan bab ini, lesi primer miositis
peserta didik/pembaca  Tetanus,
diharapkan mampu:  Gas gangren
1. Menyebutkan contoh pe-  Black leg.
nyakit dengan lesi primer  Miositis parasitika
miositis
2. Menjelaskan patogenesis
pe-nyakit dengan lesi
primer miositis
3. Menjelaskan patologi pe-
nyakit dengan lesi primer
miositis

61
VI. MIOSITIS

Radang otot disebut miositis. Miositis biasanya selalu


dimulai dari radang pada jaringan ikat sedangkan radang
ototnya biasanya bersifat sekunder. Selain agen infeksius
penyakit pada otot ada juga yang disebabkan oleh agen penyakit
non infeksius. Berikut ini diuraikan secara singkat penyakit
infeksius dan tidak infeksius yang kelainan primernya pada otot.
6.1. Miositis supuratif
Miositis supuratif adalah infeksi bakteri spontan pada otot
rangka, biasanya disertai dengan pembentukan abses.
Contohnya adalah abses pada otot, yang terjadi karena proses
yang hematogen tetapi lebih sering akibat perluasan fokus
radang dari persendian, tendon atau limfinode. Penyebab paling
umum adalah: Actinomyces pyogenes pada sapi dan babi,
Corynebacterium pseudotuberculosis pada domba dan kambing
serta Streptococcus equi pada kuda.
6.2. Staphylococcal granuloma
Granuloma kronis dari otot dan jaringan ikat yang
disebabkan oleh stafilokokus, disebut juga sebagai
botryomycosis. Penyakit ini awalnya ditemukan pada kuda oleh
ahli patologi dari Jerman. Disebut botryomycosis karena lesinya

62
menyerupai butiran anggur (botrys anggur dalam Bahasa
Yunani, mycosis=jamur, ) dan pada mulanya diduga dsebabkan
oleh jamur. Selain disebabkan oleh Staphylococcus aureus juga
dapat disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau beberapa
spesies bakteri lain. istilah lain yang digunakan untuk
menggambarkan botryomycosis termasuk pseudomycosis
bakteri, actinophytosis staphylococcal, bacteriosis granular, dan
actinobacillosis.
6.3. Penyakit bakteri dengan lesi primer miositis
Penyakit yang lesi primernya pada otot bisa diakibatkan
oleh agen infeksius yang mencapai otot secara hematogen,
namun lebih sering akibat inokulasi agen infeksius langsung
pada otot ataupun perluasan infeksi dari persendian, tendo atau
limfonodus.
Berikut ini diuraikan secara singkat penyakit infeksius
yang lesi primernya pada otot.
6.3.1. Tetanus atau Lock Jaw
Penyakit akut yang menyerang hewan dan manusia.
Sebenarnya tetanus adalah istilah medis untuk menyatakan
adanya kontraksi dari serabut otot kerangka. Gejala yang utama
adalah spasmus otot pada rahang (dikenal dengan istilah
lockjaw) diikuti kekakuan leher dengan kesulitan menelan dan

63
kekakukan otot di bagian tubuh lainnya. Oleh karena gejala
primernya adalah tetanus maka penyakitnya disebut dengan
tetanus. Penyakit ini disebabkan oleh toksin tetanospasmin yang
dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini tergolong
kedalam bakteri gram positif yang bersifat anaerob, tumbuh
subur pada lingkungan yang kurang oksigen. Bakteri ini
memiliki kemampuan membentuk endospore jika berada dalam
lingkungan yang tidak mendukung. Bakteri ini umum ditemukan
pada sistem pencernaan, sehingga endospora C. tetani itu sendiri
sangat banyak ditemukan pada feces hewan terutama kuda.
Karena bakteri banyak pada feces hewan maka endospora umum
ditemukan di kandang.
Endospora merupakan bentuk bakteri dalam tahap
perlindungan diri dari lingkungan luar yang kurang
menguntungkan. Bakteri dalam bentuk endospora dapat
bertahan dalam kurun waktu bulanan bahkan tahunan pada
lingkungan. Untuk endospora bakteri Clostridium tetani
dinyatakan dapat tinggal di tanah selama bertahun-tahun dan
tahan terhadap banyak proses desinfeksi standar, termasuk uap
panas (100º C selama 15 menit). Mengingat daya tahan dari
endospora C. tetani terhadap lingkungan luar sangat kuat maka
endospora tidak hanya ditemukan di kandang namun bisa

64
ditemukan dimana-mana di lingkungan seperti pada debu, tanah
dan tanah yang terkontaminasi oleh feses hewan. Permukaan
yang kasar seperti logam yang mengkarat merupakan habitat
primer dari endospora bakteri C. tetani. Endospora yang
merupakan fase laten dari bakteri, kalau menemukan lingkungan
yang cocok akan segera aktif. Begitu mendapatkan lingkungan
yang baik misalnya luka tusukan yang dalam maka luka
anaerob tersebut sangat ideal untuk perkembangan bakteri.
Spora tersebut mulai aktif menjadi bakteri yang dapat

Gambar 6.1. Diagram patogenesis tetanus. Jaringan nekrosis pada


luka dengan suasana anaerob merupakan media yang
subur untuk petumbuhan bakteri C tetani, sehingga
dihasilkan cukup neurotoksin, tetanospasmin untuk
memblokade neuro- transmiter sehingga muncul gejala
kejang

65
memperbanyak diri dan infeksi pun dimulai: Spora C tetani
tidak dapat tumbuh di jaringan normal atau bahkan di luka jika
potensi oksidasi reduksi pada jaringan tetap berjalan dengan
baik.
Patogenesis
Endospora masuk ke tubuh host, melalui luka tusukan.
Luka tusuk merupakan media yang ideal (karena kekurangan
oksigen) untuk tempat berkembang biaknya bakteri ini. Namun
luka tertutup lainnya yang memiliki suasana anaerob juga
memiliki potensi besar untuk tempat aktivasi endospora
sehingga menjadi bentuk vegetatif. Biasanya sejumlah kecil
tanah atau benda asing menyebabkan nekrosis jaringan yang
dapat menciptakan kondisi yang cocok untuk perkembangbiakan
bakteri. Bakteri tetap terlokalisasi dalam jaringan nekrotik
ditempat tusukan dan memperbanyak diri. Ketika sel-sel bakteri
mengalami autolisis, barulah neurotoksin potensial dilepaskan.
Sebenarnya bakteri C. tetani melepaskan dua jenis toksin yakni;
tetanolisin dan tetanospamsin. Peranan tetanolisin sitolisin
dalam pathogenesis penyakit tetanus belum sepenuhnya
dipahami, namun ada dugaan toksin ini yang mempunyai
aktivitas hemolitik memberikan lingkungan yang baik untuk
perkembang biakan bakteri. Sementara itu neurotoksin

66
tetanospamin merupakan toksin poten yang memegang peranan
utama pada patogenesis penyakit ini.
Tetanospasmin mudah diikat oleh saraf. Ada dua
mekanisme yang menyebabkan toksin ini dapat mencapai
susunan saraf pusat (SSP) dan menimbulkan penyakit tetanus:
1. Ascending tetanus.
Neurotoksin diserap oleh saraf motorik di daerah
luka/infeksi dan terjadilah infeksi “retrograde up” ke
sistem saraf sampai ke sumsum tulang belakang.
2. Descending tetanus.
Dalam situasi dimana toksin yang dilepaskan di tempat
luka/infeksi sangat banyak sehingga walupun sudah di
serap oleh saraf disekitarnya namun masih ada
kelebihannya yang akan dibawa oleh getah bening ke
aliran darah kemudian masuk kedalam sirkulasi darah
arteri, dan ikut bersikulasi mencapai SSP.
Gejala klinis timbul sebagai akibat efek toksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Neuron penghasil neurotransmiter gamma
aminobutyric acid (GABA) dan glicyne sangat peka terhadap
toksin tetanospamin. Toksin menghambat penglepasan GABA
dan glicyne. GABA dan glicyne adalah neurotransmitter yang
menghambat kontraksi otot. Aktivitas toksin ini mengakibatkan

67
tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasmus
otot. Walaupun tetanospasmin yang bebas beredar dalam darah
sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin tetanus (ATS), namun
yang terikat pada jaringan saraf tidak dapat dinetralisir.
Otot yang paling sensitif terhadap toksin ini adalah otot
masseter. Meningkatnya aktivitas dari neuron yang
menginervasi otot masseter menyebabkan terjadinya trismus
atau lock jaw,yakni hipomobility dari mulut disebabkan oleh
spasme otot-otot pengunyah (masticatory muscle spasms).
Kekakuan dimulai pada tempat masuknya bakteri atau pada otot
maseter. Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang
terjadi kekakuan yang makin berat. Bilamana toksin sudah
mencapai kortex cerebri maka akan mulai timbul kejang umum
yang spotan.
Tetanospamin juga mempengarui sistem saraf otonom,
sehinga dapat terjadi gangguan pernapasan, metabolism,
hemodinamika, hormonal dan neuromuskular. Pada hewan
penderita walaupun rangsangan sangan minim namun dapat
memicu karakteristik kejang otot tetanik. Kejang juga mungkin
cukup parah untuk menyebabkan patah tulang. Kejang
mempengaruhi laring, diafragma, dan otot interkostal
menyebabkan kegagalan pernapasan. Karena keterlibatan

68
sistem saraf otonom maka bisa terjadi aritmia jantung,
takikardia, dan hipertensi. Pada kuda, gejala awal dari tetanus
adalah sensitivitas ekstrim. Dalam waktu 10 sampai 14 hari
setelah cedera, kuda menjadi semakin gelisah. Mereka
melompat kekerasan pada saat disentuh. Beberapa tampaknya
tidak mau ditangani dan dapat merespon dengan agresif.
Penonjolan kelopak mata ketiga, dan kekakuan adalah tanda-
tanda klinis yang paling umum. Spasmus otot masseter (otot

Gambar. 6.2. Kadaver hewan tetanus.Secara makroskopik tidak


nampak perubahan, hewan mati karena asphyxia
akibat fungsi paru dan jantung terganggangu oleh
spasmus. Sumber: ttp://www.vetmansoura.com/
Pathology/bacterial/Diseases4.html

69
yang membawa rahang atas dan rahang bawah bersama-sama )
terjadi pada awal penyakit yang menghasilkan "kejang mulut",
suara keras, kolik, dan berkeringat, biasanya muncul pada tahap
akhir dari penyakit. Karakteristik hewan penderita tetanus,
adalah adanya spasmus dari seluruh tubuh atau sekelompok otot
tanpa penurunan kesadaran, tidak nampak perubahan secara
makroskopik (Gambar 6.2).

6.3.2. Gas Gangrene.


Gas gangrene adalah penyakit infeksius yang akut,
progresif dan berpotensi letal, disebabkan oleh bakteri yang
tergolong dalam gas gangrene clostridia, sehingga disebut juga
dengan clostridial myonecrosis. Merupakan infeksi yang
menyebabkan nekrosis pada kulit, dan otot disertai dengan
adanya pembentukan gas di bawah kulit. Gas gangrene bisa
muncul dalam rentang beberapa jam atau hari dari semenjak
terjadinya luka yang terkontaminasi bakteri. Kalau infeksi akibat
bakteri ini sudah terjadi, proses akan terus berlanjut tidak bisa
dihentikan. Jaringan nampak bengkak dan edamatous, ada
krepitasi akibat akumulasi dari gelembung gas dalam jaringan.
Eksudat serosanguineus menetes dari luka. Jaringan luka dengan
cepat menjadi hitam kelabu dengan bau busuk. Sindrom gas

70
gangrene bisa diakibatkan oleh efek sistemik dari beberapa jenis
toksin yang dihasilkan oleh beberapa spesies Clostridium.
Angka kematiannya signifikan karena sekali terjadi penyakit ini
tidak dapat dihentikan. Tanda khas dari penyakit ini adalah
terjadinya mionekrosis yang cepat disertai dengan pembentukan
gas dan sepsis. Otot sangat peka terhadap bakteri dari genus
Clostridia dan Clostridia bila berproliferasi pada otot sangat
toksik dan menyebabkan nekrosis yang hebat dengan edema
berdarah disertai pembentukan gas. Jika bakteri sudah mampu
bertahan pada otot maka eksotoksin yang dihasilkan akan
mengakibatkan terbentuknya lingkungan yang cocok untuk
pertumbuhan bakteri tsb. Perkembangan penyakit ini sangat
cepat dibutuhan waktu 6 sampai 48 jam dari infeksi awal untuk

Gambar 6.3. Histopatologi Neuron pada sumsum tulang dan otot pada
kasus dengan manifestasi klinis trismus dan ophistotonus
A. Vacuolisasi sitoplasama dan kromatolisis inti (tanda
panah). B. Atrofi pada serabu otot (tanda panah).

71
menimbulkan gejala dan kematian yang disebabkan oleh
intoksikasi sistemik dapat terjadi dalam kurun waktu 24 sampai
48 jam.
Bakteri Clostridia penyebab gas ganren.
Beberapa spesies bakteri yang telah dilaporkan dapat
diisolasi dari kasus gas gangrene adalah: C perfringens (C
welchii), C nouyi, C histolyticum, C bifermenstan , C fallacy dan
C septicum. Namun spesies yang paling umum diisolasi dari
kasus gas gangren adalah C perfringens (80-95%). Spesies
bakteri in dilaporkan menghasilkan setidaknya 20 eksotoksin,
namun empat toksin utama yang diyakini memegang peranan
dalam patogenesi penyakit ini, yakni:
1. Toksin alpha disebut juga dengan C. perfringens A(CPA):
Toksin yang sangat toksik bersifat necrotizing, hemolitik dan
cardiotoxic. Menyebabkan kerusakan pada membran eritrosit
dan sel-sel lainnya dari berbagai spesies hewan. Sehingga terjadi
lisis sel, oleh degradasi membran fosfolipid. CPA juga
mengaktifkan beberapa membran lain dan mekanisme sel
internal yang menyebabkan hemolisis. Selain itu, toksin ini juga
dapat mengaktifkan kaskade arakidonat mengakibatkan
pembentukan tromboksan, leukotrien dan prostaglandin, yang
mengaktifkan kaskade inflamasi dan menghasilkan

72
vasokonstriksi. Kombinasi CPA dengan perfringolysin O (PF0)
mengakibatkan bakteri C. perfringens ini dapat menghindar dari
phagosomes makrofag dan bertahan di jaringan inang.

2. Toksin beta (CPB) bersifat sitolisis, menyebabkan


kerusakan pembuluh darah, leukostastis, thrombosis, juga
menstimulasi pelepasan sitokin sehingga dapat menyebabkan
syok. Toksin ini menyebabkan hemolisis pada eritrosit dari
beberapa spesies hewan namun non-hemolitik untuk eritrosit
kelinci atau domba.

3. Toksin epsilon (ETX). ETX adalah racun clostridial yang


termasuk katagori ketiga paling poten setelah toksin botulinum
dan toksin tetanus, dengan mouse LD 100 ng / kg. Pada
beberapa spesies hewan toksin ini menyebabkan peningkatan
tekanan darah, peningkatan kontraktilitas otot polos,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edama pada otak
dan paru-paru, sedangkan pada kambing ETX juga
menyebabkan kolitis

4. Ioata (ITX). Toksin ini aktif secara biologis, disebut juga


protein pembentuk pori-pori, karena mengakibatkan kalium dan
cairan keluar dari sel. Efek yang paling menonjol dari ITX

73
adalah depolimerisasi filamen aktin dan peningkatan monomer
G-aktin. Filamen intermediet menjadi tdak beraturan, sedangkan
mikrotubulus tidak terpengaruh. Hasil akhir dari hal ini adalah
perubahan morfologi (pembulatan), penghambatan kontraksi
otot polos, penurunan endositosis, eksositosis, dan sitokinesis.
Selain keempat tokin tersebut, dihasilkan juga enzim
hialorunidase dan DNAse suatu kolagenase yang mencerna
kolagen jaringan subkutan dan otot.
Gas gangrene atau malignan edema
C. perfringens tipe A juga terlibat dalam gas gangrene
(malignan edema) pada beberapa hewan mamalia termasuk
domba, sapi, kambing, dan kuda. Bisa sebgai penyebab tunggal
atau kombinasi dengan spesies clostridia lainnya. Dari beberapa
laporan terjadinya gas gangrene ini bisa akibat kombinasi
beberapa spesies clostridium yang menghasilkan eksotosin kuat
penyebab nekrosis jaringan. Pada waktu clostridium bereplikasi
bermacam-macam eksotoksin dilepaskan ke jaringan
disekitarnya. Bila infeksi terbatas pada jaringan subkutan makan
akan terjadi selulitis tetapi umumnya infeksi cenderung tidak
terbatas pada daerah subkutan, melainkan mengenai otot
sehingga terjadi mionekrosis yang progresif akibat eksotoksin.
Bakteri C. perfringens menghasilkan  toksin, yang masuk

74
ke dalam membran plasma sel dan mengganggu keseimbangan
membran sel serta melisiskan sel darah merah.
Gambaran makroksopik dari malignan edema yang
disebabkan oleh C. perfringens type A. ditandai dengan edema
hebat pada subkutan dan otot, nekrosis otot rangka dan
petechiae umum pada membran serosa. Perdarahan ptechiae
pada membran serosa meupakan manifestasi terakhir dari
toksimea (terminal disseminated intravascular coagulation).
Secara histologis, berbeda dengan myonecrosis bakteri lainnya,
gas gangrene yang diakibatkan oleh C. perfringens, ditandai
dengan edema ganas.
Patogenesis. Berdasarkan perbedaan pathogenesis, ada dua tipe
gas gangrene yakni :
1. Gas gangrene tipe trauma. Gas gangrene traumatic terjadi
akibat luka traumatik yang terkontaminasi oleh bakteri.
Patogenesis diawali dngan masuknya endospore Clostridium sp,
kedalam luka ataupun inokulasi langsung bakteri pada luka yang
terbuka dan bersifat anarob. Tidak semua luka yang
dikontaminasi oleh bakteri clostridium akan berkembang
menjadi gas gangrene.

75
2. Gas gangrene tipe spontan. Kejadian gas gangren pada
spontaneous gas gangrene penyebaran tidak diawali dari luka
yang terkontaminasi bakteri C. septicum melainkan penyebaran
terjadi secara hematogen dari usus ke jaringan otot. Bakteri
berkolonisasi pada membrane mukosa usus besar, serta
mengakibatkan ruptur membran mukosa usus. Sehingga bakteri
C. septicum dapat masuk ke peredaran darah dan kemudian
sampai di jaringan otot. Tidak seperti C. perfringens, C.
septicum bersifat aerotoleran dan dapat menginfeksi jaringan
sehat. Pada kedua jenis gas gangrene eksotoksinlah (bukan
proliferasi dari bakterinya) yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan penyakit. Eksotoksin melisis membran sel dan
menyebabkan nekrosis jaringan dengan cara menginduksi
trombosis mikrovaskular dan memiliki efek langsung terhadap
jantung. Hasil perusakan jaringan termasuk mioglobin, kreatinin
fosfokinase dan potassium menyebabkan keracunan sekunder.
Spora berkembang pada keadaan potensi oksidasi reduksi
rendah. Bakteri berkembang biak secara vegetatif,
memfermentasi karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan
membentuk gas. Peregangan jaringan, gangguan sirkulasi, dan
sekresi toksin yang menyebabkan nekrosis serta enzim
hyaluronidase mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis

76
jaringan yang bertambah luas memberi kesempatan peningkatan
pertumbuhan bakteri dan akhirnya terjadia toksimea hebat dan
kematian

Patologi:
Perubahan yang paling mencolok adalah pada otot.
Serabut otot mengalami nerosis koagulasi dan bahkan kadang

Gambar 6.4. Histopatologi gas gangrene pada otot kerangka, dengan


pewarnaan HE (A dan C) dan Gram (B dam D). A Lesi
pada otot yang berisi vakuola dan edema B.Akumulasi
bakteri basil gram positif. C . Mionekrosis D.Invasi
bakteri kedalam jaringan interstitium. Skala 50 µm.
Sumber : Yasuda et al., 2015.

77
adang sampai nekrosis liquefaktif. Bagian tubuh yang terkena
menjadi tegang, berkrepitasi karena akumulasi gelembung gas
dalam jaringan. Ditemukan basil gram positif dalam jumlah
besar pada jaringan yang terinfeksi (Gambar 6.4 B dan D).
Dalam kasus kronis zona reaksi leukosit dan hiperemia
membatasi daerah infeksi. Namun dalam kasus yang parah tidak
ada respon leukosit, yang dominan gambaran edema dan
kongesti yang meluas. Trombus vena dan kapiler paling umum
terjadi. Segera jaringan yang terluka menjadi keabu-abuan hitam
dan sangat berbau busuk. proses lokal ini, disebut clostridial
selulitis. Gambaran makroskopik sangat mudah dikenali yakni
terjadi perubahan warna kulit, bengkak, ada gelembung gas
diantara jaringan, emfisema subkutan dan perdarahan di seluruh
tubuh akibat sepsis. Secara histopatologi, nampak adanya
inflamasi dan mionekrosis yang hebat, miofiber terpisah dari
endomsium serta dipisahkan satu dengan lainnya oleh cairan
edema juga ada inklusi gas diantara serat otot (Gambar 6.4)
6.3.3. Black leg
Nama lainnya black quarter, simtomatic anthrax,
emphysematous gangrene, boutvuur. Merupakan penyakit
penting pada ruminansia yang disebabkan oleh Clostridium
chauvoei. Ciri khasnya adalah adanya nekrosis hebat pada otot

78
paha sehingga di Indonesia dikenal dengan nama penyakit
radang paha. Pada umumnya menyerang ternak sapi dan domba.
Sapi umur sembilan bulan sampai dengan dua tahun dilaporkan
rentan terhadap penyakit ini. Umumnya kejadian penyakit ini
pada sapi yang kondisinya baik dan sedang dalam fase
pertumbuhan. Kejadian pada sapi berumur lebih dari dua tahun
dinyatakan sangat jarang.
Penyakit ini dibedakan dengan gas gangren, dimana pada
kasus gas gangrene bakteri Clostridium chauvoei bisa diisolasi
dari daerah infeksi karena bersifat sebagai kontaminan.
Sedangkan pada penyakit black leg, ada endospor C. chauvoei
laten pada otot. Penyakit ini dapat dikelirukan dengan penyakit
malignant edema (paraboutvuur) yang disebabkan oleh
Clostridium septicum.
Patogenesis. Black leg pada sapi dinyatakan sebagai penyakit
infeksi endogenous yang non traumatik. Infeksi terjadi pada
jaringan yang tidak ada lukanya. Walaupun patogenesis
penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun diyakini bahwa
infeksi C. chauvoei, dimulai dari ingesti endospora yang
mencapai sistem pencernaan terikut makanan yang
terkontaminasi (tanah yang terkontaminasi) didalam sistem
pencernaan, menembus dinding usus dan ikut peredaran darah.

79
Selain mencapai otot, endospora juga bisa mencapai hati, limpa
dan organ lainnya. Endospora atau komponen yang
dihasilkannya menyebabkan endospora bisa mencapai otot. Ada
beberapa kemungkinan sehingga endospora bakteri bisa sampai
di otot kemudian diaktivasi di otot;

1. Endospora yang masuk ke dalam sistem pencernaan,


kemudian diingesti dan dibawa ke otot oleh makrofag.
2. Endospora menempel pada ujung vili kemudian
didistribusikan oleh makrofag ke hati
3. Endospora mencapai kripta Lieberkuhn dan dari sana
didistribusikan oleh makrofag ke otot.

Endospora laten yang berada di otot, sewaktu waktu jika terjadi


cedera otot atau perdarahan otot yang mengubah lingkungan
seperti pH kandungan O 2 dan sebagainya, maka terjadi
germinasi endospora pada otot. Bakteri kemudian mengeluarkn
eksotoksin, yang mengakibatkan mionekrosis, emfisema dan
toksimea umum. Kematian bisa terjadi dalam kurun waktu 24
jam.

80
Bakteri ini memproduksi toksin letal yakni hyaluronidase
(gamma toksin), deoxyribonuclease (beta toksin) dan oxygen
labile hemolysin. Mekanisme kerja toksin pada pembuluh darah
mempengaruhi endotel sehingga pada pembuluh darah terjadi
degenerasi sampai nekrosis disertai dengan thrombosis. Pada
otot, toksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut akan
mengakibatkan hyalinisasi, nekrosis tingkat sedang disertai
dengan infiltrasi netrofil.

Gambar 6.5. Gambaran makroskopik Black leg. Umumnya menyerang sapi


sehat yang sedang dalam masa pertumbuhan Bidang sayatan
otot merah gelap, kering beraspek seperti spon dan ada
gelembung2 tetapi tidak edema.Sumber:
www.slideshare.net/vicky14381/black-leg-46991378

81
Patologi
Hewan yang mati karena penyakit black leg dengan cepat
menjadi kembung dan bengkak, ketika diinsisi pada bidang
sayatan otot nampak merah gelap, jaringan subkutan dan fascia
nampak beraspek gelatinous dan berwarna kekuningan. PA: lesi
pada otot besar, di bagian pectoralis, crural dan scapula. Juga
berdampak pada otot lidah, jantung dan diafragma. Degenerasi
pada otot serta rusaknya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemia. Lesi pada lidah, jantung dan sublumbar biasanya luput
dari pengamatan. Secara makroskopik terlihat bercak-bercak
pada otot berwarna putih atau pucat. Bercak -bercak putih pada
otot dimulai dengan degenerasi hialin kemudian berlanjut
menjadi nekrose koagulasi, yang disertai dengan lisis dan
menghilangnya serabut otot.

6.3.4. Miositis parasitika

Miositis parasitika tejadi pada kasus infeksi parasit yang


dalam siklus hidupnya mempunyai fase kista. Parasit dewasa
hidup di usus sementara stadium larva ikut peredaran darah dan
mencapai otot membentuk kista. Adanya kista inilah yang
mengakibatkan reaksi peradangan ada otot.

82
Dalam bab ini akan dibahas 3 jenis parasit pada hewan
yang stadium kistanya menimbulkan myositis parasitika, yakni
Trichinela spiralis, Sarcocporidia dan Taennia sp.

6.3.4.1 Trichinelosis

Miositis pada infeksi Trichinela spiralis disebabkan oleh


larva dari Trichinella pada babi, hewan pengerat terutama tikus,
anjing dan hewan pemakan daging lainnya. Kelainan terdapat
pada otot-otot yang aktif misalnya otot pengunyah, lidah, otot
respirasi, diafragma dan otot laringeal. Secara mikroskopis dapat
dilihat adanya tanda-tanda edema, infiltrasi sel neutrofil, limfosit
dan yang paling dominan adalah sel eosinofil. Reaksi radang ini
menghilang bila larva telah membentuk kista. Pada stadium
berikutnya pada saat terjadi pengapuran, akan muncul reaksi
radang granulomatosa

Patogenesis
Infeksi dimulai akibat memakan daging yang mengandung
kista, setelah melalui empat tahapan moulting. Larva menjadi
cacing dewasa jantan atau betina dalam kurun waktu 2-3 hari .
Cacing jantan dewasa akan mati setelah kopulasi, sementara itu
cacing betina akan bersembunyi (burrow) di lamina propria dan
mengeluarkan larva. Cacing Trichinela spiralis betina dewasa

83
sepanjang hidupnya mampu memproduksi 1500 larva. Larva
yang diproduksi ini kemudian akan masuk ke pembuluh limfatik
dan dibawa ke vena cava cranialis, melalui pembuluh darah
besar, larva kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Larva yang
tiba di organ selain otot lurik/rangka, tidak dapat bertahan hidup,
dan akan diadsorbsi oleh mekanisme pertahanan host. Larva
yang mencapai otot lurik, mendapat lingkungan yang cocok.
Larva akan berpenetrasi ke dalam serabut otot, bentuknya
berubah menjadi spiral, (huruf s atau u) dan dikelilingi oleh
membran sehingga menjadi kista. Proses dari masuknya larva
cacing ke dalam usus, menjadi dewasa dan menghasilkan larva
serta mencapai otot diperkirakan sekitar 6-8 minggu. Sedangkan
larva dalam bentuk kista bisa tahan sekitar 9 bulan sampai

Gambar 6.6. Patologi otot akibat Trichinellosis. A Lesi mikroskopik dari


Trichinella spiralis pada otot tanpa disertai dengan
peradangan. B Lesi miositis granulomatosa, proliferasi
makrofag sebagai respon terhadap adanya kiste yang
mengalami degenerasi .Sumber:
http://www.vetmansoura.com/Pathology/Index/Index.htm

84
dengan 24 tahun pada otot host yang sama. Lesi enteritis hanya
disebabkan oleh cacing dewasa. Reaksi radang tidak ampak
pada otot yang berisi larva dalam bentuk kista (Gambar 6.6.A),
jika kista mengalami proses degenerasi sampai kalsifikasi
maka muncul reaksi radang granulomatosa (Gambar 6.6.B).
Proses kalsifikasi kista dikatakan terjadi setelah enam bulan dari
semenjak larva menjadi kista.

6.3.4.2. Sarcosporidiaosis

Sarcosporidia adalah parasit protozoa yang berkembang


dalam serat lintas lurik dari skeletal, lidah, esofagus dan otot
jantung. Parasit ini banyak ditemukan pada spesies hewan
vertebrata dan burung, memiliki distribusi di seluruh dunia.
Sarcosporidiosis didefinisikan sebagai infeksi Sarcocystis, yang
merupakan protozoa parasit intraselular. Sarcocystis umumnya
menginfeksi hewan bukan manusia tetapi juga dapat
menginfeksi manusia. Secara mikroskopis serabut otot yang
ditulari kelihatan lebih tebal dari serabut yang normal. Tempat
yang disukai adalah otot esofagus, jantung, lidah dan diafragma.
Secara makroskopis parasit ini terlihat sebagai garis-garis putih
berbentuk biji ketimun.

85
Sarcosporidiosis pada manusia memiliki dua bentuk yang
berbeda. Kedua bentuk dibedakan berdasarkan apakah manusia
bertindak sebagai host definitif atau apakah host intermediet.
Host intermediat terinfeksi setelah asupan air atau makanan
yang terkontaminasi dengan sporokista dari tinja karnivora
(misalnya, anjing, serigala). Setelah konsumsi, sporokista
menembus dinding usus inang dan berkembang biak dalam
endotelium pembuluh darah sebelum menyebarkan hematogen.
Diseminasi mengarah ke invasi otot rangka dan jantung. Karena
manusia tidak biasanya dimangsa oleh host lainnya, maka kista
ini tidak mendapat kesempatan untuk berkembang ke siklus
hidup selanjutnya, sehingga akhirnya hancur dalam otot.
Disintegrasi dapat disertai dengan vaskulitis dan fibrosis dari
jaringan (myositis). Host definitif terinfeksi setelah asupan
daging yang terkontaminasi oleh ookista infektif. Setelah
konsumsi, ookista bereproduksi secara seksual dan matang
dalam saluran usus. Ookista infektif kemudian diekskresikan
melalui feses. Bentuk infeksi tidak melibatkan fase sistemik
atau fase berikutnya. Manusia berfungsi sebagai tuan
rumah/host definitif dalam bentuk menular ini.
Ada banyak spesies Sarcocystis, yang semuanya diyakini
memiliki siklus hidup di dua host yang diperlukan. Siklus hidup

86
ini didasarkan pada hubungan host parasit. Dalam kejadian
langka dimana manusia menjadi host intermediet atau accidental
hosts, sarcocystis dapat ditemukan di otot rangka dan jantung
manusia.
Manusia juga dapat berfungsi sebagai host definitif untuk
sarkosistis. Hal ini dapat terjadi setelah menelan kista dalam
daging sapi mentah atau kurang matang atau babi. Setelah invasi
ini, sporozoit infektif bereplikasi sebelum dilepaskan dalam
feses sebagai sporokista. Setelah menumpahkan, sporokista
biasanya dicerna oleh inang perantara (biasanya sapi atau babi)
dan masuk ke dalam usus kecil hewan ini. Setelah di inang
perantara, ookista melepaskan sporozoit motil, yang awalnya
bermigrasi ke arteri di seluruh tubuh. Mereka kemudian menjadi
merozoit di dalam pembuluh darah dan, akhirnya, di otot.
Beberapa tahapan generasi menular berlangsung sebelum
akhirnya menjadi sarcocyst menular

Patogenesis

Sarcosporidiosis pada manusia memiliki dua bentuk yang


berbeda. Kedua bentuk dibedakan berdasarkan apakah individu
bersifat sebagai tuan rumah definitif atau intermediet. Inang
intermediet terinfeksi setelah asupan air atau makanan yang

87
terkontaminasi dengan sporokista dari tinja karnivora (misalnya,
anjing, serigala). Setelah dikonsumsi, sporokista menembus
dinding usus inang dan berkembang biak dalam endotelium
pembuluh darah sebelum menyebar dengan cara hematogen.
Diseminasi mengarah ke invasi otot rangka dan jantung.
Pada inang tidak definitif (seperti manusia) siklus hidup
menjadi tidak sempurna, sehingga akhirnya hancur dalam otot.
Disintegrasi dapat disertai dengan vaskulitis dan fibrosis dari
jaringan (myositis). Sedangkan inang definitif terinfeksi setelah
asupan daging yang terkontaminasi oleh ookista infektif. Setelah

Gambar 6.7. Gambaran makroskopik Sarcosporidiosis. Kista Sarcocystis sp. seukuran


butir beras, jejas dalam garis-garis paralel terdapat pada A, miofiber otot
dada burung mallard dan B. Paha dan otot kaki bebek hitam Amerika
(American black duck) Sumber:
http://www.nwhc.usgs.gov/publications/field_manual/chapter_2
8.pd

88
konsumsi, ookista bereproduksi secara seksual dan matang
dalam saluran pencernaan. Ookista infektif kemudian
dikeluarkan melalui feses (enteritis). Bentuk infeksi tidak
melibatkan fase sistemik atau fase jaringan berikutnya. Manusia
berfungsi sebagai tuan rumah definitif dalam bentuk menular
ini.
Patologi

Gambaran umum pada jaringan otot adalah serabut otot


menjadi bulat tidak poligonal, bervacuolisasi serta bersifat
eosinofilia, degenerasi vacuolar, hialian, nekrosis segmental dan
perdarahan. Pembuluh darah arteri di otot dindingnya hipertrofi
dan ada edema periarterial dengan eksudat berfibrin.
Ditemukannya sarkokiste (sarcocysts) utuh pada otot gluteal
tanpa respon radang yang berarti juga sering dilaporkan.
Sementara itu pada otot jantung, terjadi reaksi imflamasi, edema
dan degenerasi hialin.

6.3.4.3. Sistiserkosis

Masalah sistiserkosis, tidak boleh dipisahkan dengan


masalah tenisasis. Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter
yang disebabkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus

89
Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica)
pada manusia. Sistiserkosis adalah infeksi jaringan oleh larva
dari Taenia sp. Stadium larva atau fase metacestoda ini disebut
dengan kista atau Cysticercus atau cacing gelembung. Dari
ketiga sepesies taenia yang dikenal saat ini, yang umum
diketahui memiliki kemampun menjadi sistiserkus pada manusia
adalah Taenai solium, Taena saginata tidak dapat menyebabkan
sistiserkosis pada orang, sedangkan kemampuan Taenia asiatica
dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti.
Pada hewan dikenal Cysticercus bovis pada sapi, yang akan
berkembang menjadi Taenia saginata pada inang definitifnya
yakni manusia. Sedangkan Cysticercus cellulosae, inangnya
adalah babi dan bentuk dewasanya adalah cacing Taenia solium
pada usus orang (inang defintif).

Patogenesis

Telur yang terlepas dari segmen (proglotid) gravid dari


Taenia sp mencemari linkungan maupun pakan ternak. Telur
tertelan ternak dan menetas dalam ususnya. Embrio yang disebut
oncosphere menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke
seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar
getah bening. Selain bermigrasi oncosphere mengalami

90
perkembangan sampai tiba di habitat yang cocok untuk tumbuh
menjadi larva yang disebut dengan metacestoda. Diperlukan
waktu sekitr 2-3 bulan untuk mencapai fase metacestoda.
Metacestoda atau cacing gelembung yang berasal dari sapi
disebut Cysticercus bovis sedangkan yang dari babi babi disebut
dengan Cysticercus cellulosae. Kalau inang definitif
mengkonsumsi daging yang mengandung sistiserkus ini, maka
dalam ususnya sistiserkus ini akan menjadi cacing Taenia sp.

Gambar 6.8. Gambaran makroskopik otot jantung yang mengandung


Cysticercus cellulosae. Adanya kista pada jantung ini dapat
mengakibatkan aritmia dan kematian mendadak.Sumber:
http://www.histopathology-india.net/Cysticer.htm.

su 91
Patologi

Pada jaringan otot, kista ditemukan tersebar pada selururh


otot kerangka, termasuk otot diafragma dan juga otot jantung,
selain pada otot, kista juga ditemukan pada otak. Sistiserkus
tetap ada pada otot untuk waktu yang tidak bisa dipastikan dan
ada yang menyatakan sampai satu tahun, walaupun tidak
meransang repon inflamasi tetapi kista ini akan menekan
jaringan yang berdekatan saat mereka tumbuh. Sistiserkus yang
mati, mengakibatkan reaksi granulomatosa dengan eosinofil,
setelah itu lesi menjadi jaringan parut dan mengalami
kalsifikasi. Kista pada otak (neurosistiserkosis) tidak pernah
mengalami kalsifikasi dan respon radang akibat kista ini pada
otak amat hebat.

92
Daftar Pustaka

Appleyard G D and A A. Gajadhar, 2000. A review of


trichinellosis in people and wildlife in Canada. Can. J. Public
Health 91:293–297.

Avapal R S, Sharma J K and Juyal P D. (2004). Pathological


changes in Sarcocystis infection in domestic pigs (Sus
scrofa). The Veterinary Journal 168(3): 358–361.
https://doi.org/10.1016/j.tvjl.2003.11.006

Dharmawan N,Sa, K Swastika, I M Putra.2012. Present


Situation and Problems of Cysticercosis in Animal in Bali
and Papua.J Vet. 13(2): 154-162.

Fry, D. E., Klamer, T. W., Garrison, R. N. and Polk, H. C. Jr.


1981. Atypical clostridial bacteremia. Surg. Gynecol. Obstet.
153: 28–30.

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N.1992. Pathology of domestic


animals, fourth edition. Acdemic Press Newyork p183-264.

Kapel, C. M. O. 2000. Host diversity and biological


characteristics of the Trichinella genotypes and their effect
on transmission. Vet. Parasitol. 93: 263–278.

McClane, B. A., Robertson, S. L. and Li, J. 2013. Clostridium


perfringens. pp. 465–489. In: Food Microbiology:
Fundamentals and Frontiers, 4th ed. (Buchanan, R. L. and
Doyle, M. P. eds.), ASM press, Washington, DC.

Mkupasi, EM, HA Ngowi , CS Sikasunge , PS Leifsson. 2015


Distribution and histopathological changes induced by cysts

93
of Taenia solium in the brain of pigs from Tanzania. Journal
of Helminthology 89(5): 559-564.

Mousa, RS.1958. Complexity of toxin from Clostridium


chauvoei and Clostridium septicum. Journal of
Bacteriology.76:538-545

Murrell, K. D., and E. Pozio. 2000. Trichinellosis: the zoonosis


that won’t go quietly. Int. J. Parasitol. 30:1339–1349

Odani, J. S., Blanchard, P. C., Adaska, J. M., Moeller, R. B. and


Uzal, F. A. 2009. Malignant edema in postpartum dairy
cattle. J. Vet. Diagn. Invest. 21: 920–924. .

Oksche A,Nakov R and Habermann E.1992 . Morphological


and biochemical study of cytoskeletal changes in cultured
cells after extracellular application of Clostridium novyi
alpha-toxin.Infect Immun.60:3003-3006.

Parish, S. and Valberg, S. 2009. Inflammatory myopathies


Clostridial myonecrosis. pp. 1400–1492. In: Large Animal
Internal Medicine. (Smith, B. P. ed.), Mosby-Elsevier, St
Louis

Pozio, E., and G. Marucci. 2003. Trichinella-infected pork


products: a dangerous gift. Trends Parasitol. 19:338.

Pozio, E., and D. S. Zarlenga, 2005. Recent advances on the


taxonomy, systematics and epidemiology of Trichinella. Int.
J. Parasitol. 35:1191–1204.\

94
Pozio E, 2005. The broad spectrum of Trichinella hosts: from
cold- to warm-blooded animals. Vet. Parasitol. 132:3–11.
122.

Parish, S. and Valberg, S. 2009. Inflammatory myopathies


Clostridial myonecrosis. pp. 1400–1492. In: Large Animal
Internal Medicine. (Smith, B. P. ed.), Mosby-Elsevier, St
Louis

Sakurai, J., Nagahama, M. and Oda, M. 2004. Clostridium


perfringens alpha-toxin: characterization and mode of action.
J.Biochem. 136: 569–574

Titball, R. W., Naylor, C. E. and Basak, A. K. 1999. The


Clostridium perfringens alpha-toxin. Anaerobe 5: 51–64.

Wandra T, AA R Sudewi, I K Swastika, P Sutisna, N S


Dharmawan, H Yulfi, D M Darlan, I N Kapti, G Samaan, M
O Sato, M Okamoto, Y Sako, A Ito. 2011.
Taeniasis/cysticercosis in Bali, Indonesia. SoutheastAsian J
Trop Med Public Health. 42(4):793-802.

Uzal, F. A., Vidal, J. E., McClane, B. A. and Gurjar, A. A. 2014.


Clostridium perfringens toxins involved in mammalian
veterinary diseases. Open Toxicol. J. 2: 24–42.

Yasuda,M, Onoue T,Ueno M,Moritaa H,Hayashimoto N,Kawaii


K ,Itoh T,2015. A case of nontraumatic gas gangrene in a
common marmoset (Callithrix jacchus).J. Vet. Med. Sci.
77(12): 1673–1676, 2015.

95
Wang Z Q, J Cui, and B. L. Xu. 2006. The epidemiology of
human trichinellosis in China during 2000-2003. Acta Trop.
97:247–251.

Wu, J., Zhang, W., Xie, B., Wu, M., Tong, X., Kalpoe, J.
andZhang, D. 2009. Detection and toxin typing of
Clostridium perfringens in formalin-fixed, paraffin-
embedded tissue samples by PCR. J. Clin. Microbiol. 47:
807–810.

96
INDEKS
A B
ADP,11,100,101 Black leg,36,61,78,79,82
Anaerob,11,27,64,65,66 Botryomycosis,62,63
Aktin ,5,10,11,13,74 Boutvuur,36,78
Atrofi,17,18,19,20,54
Arteriola,14
Arthrogryposis,41,42
Anostomose,11

D
C Degenerasi,23,29,30,33,
Cachexia,18,27 35,36,53,55
Clostridium,36,64,71,74,75 Distrofi,23,50
Corynebacterium,62 Discus intercalaris,12
CPA,72,73 Denervation,18,20
CPB,73 Dysraphism,42
Depolarisasi,12
Debris,25,28

E F
Epimisium,2,3 Fasciculus,2,7,9
Endomisium2,3,7,9,25 Fusca,22
Exsanguination,30 Fosfokreatin,11
Eksotoksin,71,72,74,76,80 Fisikokhemis,29
Endospora,64,65,66,79.80

97
G H
Gangren,61,70,71,72,74,76,79 Hialinisasi,81,104
Glikogen 5,27,53,54 Hyaluronidase,76,81
Glikolitik,6,27,53 Hipertrofi,22,89
Granulomatosa,83,85,92 Hipereosinofilik,18

I J
Iskemia,23,53,82 Jaw,63,68,76
Immunohistokimia:6
Invasif,44

K L
Katabolisme,21 Lemak,11,22,32,33,57
Kontraktur,17,18,23,42 Liquefaktif,78
Kalsifikasi,23,30,58,85 Lieberkuhn 80
Kardiomiosit:11,12,25
Kolitis:73

M N
Nekrosis,17,23,25,29,34,
Makrofag,20,25,58.73,80 51,55,66,71
Miofibril,3,4,5,31 Neurogenik,19
Miofiber,2,9,18,22,2,25,50,78 Nodul,45
Miofilamen, 5,20,22
Mioglobin,5,30,33,55,57,76 P
Miosatelit,7,15,25,26 Paraboutvuur,36,79
Miopati,4,11,12,25,61 Perimisium,2,3,9,13
Miosit,2,3,4,11,12,25,61 Poliomielitis,23

98
Miositis, 61,62,63,82 Proglotid,90

O
Osteomyelitis,20

R S
Regenerasi,7,18,24,25,26 Scar,24,26
Rhabdomyoma,43,44 Sequelae,23
Rhabdomyosarcoma,44,45,46,47 Sepsis,27,32,33,7178
Rhabdomyolisis,56 Sarkoplasma, 4,18,26,31,34
Rigormortis,26 Sarkomer,4,11,25
Retikuler,9,13 Sarkolema,4,9,24,25,58
Sarcosporidia,85
T Senilitas,20
Tenotomi,24 Sistiserkosis,89,90,92
Tetanus,63,64,66,67-70,73 Sporokista,86,87,88
Trichinela,83 Sporozoit,87
Taenia,89,90,91

V
Von Kossa,23,55

99
Glosarium

Aktin Protein yang membetuk filament


tipis pada serabut otot.
Anaerob Proses yang memerlukan
lingkungan yang tidak ada udara
atau Oksigen.
ATP Adenoin 5-triphosphate.
ADP Adenosin diphosphate.
Arthrogryposis Kelainan bawaan dengan
manifestasi satu atau lebih sendi
mengalami kontraktur.
Arteriola Arteri terkecil dari sistem peredaran
darah yang akan bercabang menjadi
kapiler.
Atrofi Peyusutan atau pengecilan ukuran
sel atau jaringan.
Black leg Penyakit radang paha yang
disebabkan oleh Clostridium.
Botryomycosis Radang granulomatosa kronis
akibat infeksi bakeri pada kulit
Boutvuur Penyakit radang paha.
Cachexia Kekurusan biasanya ada hubungan
dengan penyakit kronis.
Clostridiosis penyakit yang disebabkan oleh
Clostridium spp.
Distrofi Penyakit keturunan dimana otot
pelan pelan mengalami kelemahan.
Dysraphism Cacat sumsum tulang belakang.
Debris Sisa sisa sel yang rusak atau yang
dihancurkan.

100
Degenerasi Kelainan sel berupa cedera ringan
yang bersifat reversible, tidak letal.
Sitoplasma sel terlihat keruh dan
bengkak.
Endomisium Pembungkus serabut otot/miofiber.
Endospora Bentuk bakteri dalam tahap
melindungi diri dari lingkungan
yang kurang menguntungkan.
Eksotoksin Adalah racun yang disekresikan
oleh bakteri.
Epimisium Lapisan kolagen tebal yan
membungkus bundel fasikulus.
Elastin Elastin adalah protein yang sangat
elastis dalam jaringan ikat.
Exsanguination Proses kehilangan banyak darah
sampai pada tahap menimbulkan
kematian.
Fasciculus Bundel sel otot rangka.
Fosfokreatin Senyawa fosfat berenergi tinggi
yang terdapat pada otot yang dapat
menyumbangkan gugus fosfat ke
ADP untuk membentuk ATP.
Gangren Nekrosis atau kematian jaringan
lunak biasanya diikuti dengan
dekomposisi dan pembusukan.
Granulomatosa Lesi granuloma akibat radang
kronis yang agen penyebabnya sulit
dieliminir.
Hialinisasi Suatu kondisi patologi di mana
jaringan normal berubah menjadi
hialin.

101
Hyaluronidase Enzim yang mendegradasi
hyaluronan.
Hipertrofi Pembesaran abnormal dari sel atau
jaringan.
Hiperadrenokortism Adalah hiperfungsi adrenal yang
paling sering ditemukan pada
anjing tua.
Host definitif Induk semang sejati.
Imunohistokimia Metode pendeteksian antigen
(misalnya protein) dalam sel atau
jaringan dengan memanfaatkan
prinsip ikatan antibodi dengan
antigen secara spesifik pada
jaringan.
Iskemia Anemia lokal di bagian tertentu dari
tubuh bisa disebabkan oleh
vasokonstriksi, trombosis atau
emboli.
Iota Toksin yang dihasilkan oleh bakteri
Clostridium perfringens.
Jaw Penyakit lock jaw atau tetanus.
Kardiomiosit Serabut otot jantung.
Katabolisme Penguraian senyawa kompleks
menjadi yang lebih sederhana
dengan bantuan enzim.
Kalsifikasi Adalah deposit garam kalsium
dalam tubuh biasanya pada gigi dan
tulang tetapi secara abnormal pada
otot yang cedera dan arteri yang
menyempit.
Kista Struktur menyerupai kantung
tertutup yang memiliki membran.

102
Kontraktur Adalah pemendekan permanen otot
atau sendi.
Kolitis Peradangan pada kolon.
Miofiber Lihat miosit.
Miofibril Serat pada miosit yang
memungkinkan otot berkontraksi.
Miofilamen Serabut halus penyusun myofibril.
Mioglobin Adalah protein yang mengikat
Oksigen pada otot.
Miosit Serabut/sel otot.
Miosatelit Sel mesenkim jaringan otot yang
berperan dalam proses regenerasi.
Miopati Penyakit pada otot sehingga serabut
otot tidak dapat berfungsi dengan
baik.
Nekrosis Kematian sel atau jaringan.
Neurogenik Munculnya gangguan dari serabut
saraf atau sistema saraf.
Osteomielitis Infeksi dan peradangan pada tulang
dan sumsum tulang.
Paraboutvuur Penyakit malignan edema yang
disebabkan oleh Clostridium
septicum.
Proglotid Satu segmen cacing pita yang
membentuk tubuh cacing pita dan
mengandung organ reproduksi.
Regenerasi Penggantian sel yang rusak atau
hilang dengan pembentukan sel
baru yang sejenis.
Rhabdomyoma Tumor jinak yang berasal dari otot
kerangka.

103
Rhabdo- Tumor ganas pada jaringan lunak
myosarcoma yang paling umum berasal dari otot
kerangka.
Rhabdomyolisis Kerusakan otot disertai dengan
pelepasan pigmen mioglobin
kedalam darah.
Rigormortis Kaku mayat,yang merupakan salah
satu tanda fisik kematian.
Sarkomer Unit fungsional terkecil dari miosit
yang terdiri dari satu set filamin
aktin dan myosin.
Sarkosporidiosis Infeksi sarkosistis.
Sarkosistis Protozoa yang umumnya
menginfeksi otot hewan.
Scar Jaringan parut, adalah jaringan ikat
fibrosa, yang menggantikan sel sel
kulit yang normal.
Sistiserkosis Infeksi jaringan oleh larva dari
Taenia sp.
Sporozoit Bentuk sel yang akan menginfeksi
host baru.
Sequelae Kondisi abnormal akibat penyakit
sebelumnya. Disebut juga gejala
sisa.
Taeniasis Penyakit yang disebabkan oleh
cacing pita.
Tetanospasmin Neurotoksin yang dihasikan oleh
Clostridium tetani.
Von Kossa Pewarnaan khusus untuk
memvisualisasikan endapan
kalsium pada jaringan.

104
Zenker Degenerasi Zenker atau nekrosis
zenker, degenerasi hyalin yang
parah pada otot kerangka.

105
miopati, patologi penyakit dengan lesi primer miopati.
Bab VI menguraikan contoh penyakit dengan lesi primer miositis,
patogenesis penyakit dengan lesi primer miositis, serta patologi
penyakit dengan lesi primer miositis.
Penulisan buku ini akan terus disempurnakan dengan
lebih menekankan pada contoh-contoh kasus. Penulis
menyadari buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik
dan saran sangat diharapkan guna perbaikan pada edisi
mendatang. Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu
dalam penulisan buku ini. Akhir kata, semoga buku ini dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

Denpasar, Juli 2017


Penulis

I would like to dedicate this book to:


 my beloved husband, our beloved daughters and son.
 my students at Faculty of Veterinary
Medicine-Udayana University.

iv

Anda mungkin juga menyukai