Bumiku Menangis by Farmadana Jamhal
Bumiku Menangis by Farmadana Jamhal
Di sebuah desa bernama “ Desa Sukamaju” terdapat sebuah pabrik kertas yang
lumayan sangat besar. Kegiatan pabrik ini selalu dipenuhi dengan para pesanan
pelanggan dari berbagai kota sehingga, kegiatan pabrik cukup mengganggu para
penduduk desa.
Malam hari pun tiba, Keluarga Farhan sedang berkumpul di teras. “Farhan,
bagaimana tadi sekolahmu, apakah pelajarannya susah?”, tanya Ayah. “Tadi guru -guru
sedang mengadakan rapat sehingga, ada beberapa pelajaran yang kosong”, jawab
Farhan. “Lalu bagaimana dengan perjalanan pulangmu, apakah menyenangkan?”,
tanya Ayah lagi. Kemudian Farhan menjawab “ sewaktu pulang sekolah, seperti
biasanya kami selalu senang, dan lagi-lagi melihat pohon yang ditebang oleh orang-
orang pabrik itu”, jawab Farhan. “ Oh yah? Lagi-dan lagi mereka menebang pohon,
padahal tanah di desa kita sudah mulai menggundul akibat perbuatan mereka” , sahut
Ayah. “Iya Ayah, aku juga melihat tanah sudah mulai menggundul dan dan pohon sudah
berkurang. Apakah mereka tidak takut akan dampaknya?”, tanya Farhan. “Mereka
sudah memiliki izin untuk menebang pohon oleh pemerintah nak, tetapi menurut Ayah
seharusnya mereka memikirkan apabila terjadi bencana alam seperti, banjir dan tanah
longsor yang berada ditanah tinggi. Dan seharusnya mereka menanam pohon kembali
agar tanah itu tidak mengalami yang namanya gundul, mengerti?”, Jelas Ayah. “Aku
setuju dengan pendapat Ayah, karena banyak sekali yang dirugikan disini. Ketika besar
aku akan merawat daerah yang tanahnya gundul, selalu memerhatikan dan menanam
pohon agar peristiwa-peristiwa bencana alam tidak terjadi”, sahut Farhan. Selang
beberapa menit Ibu Farhan datang sambil membawa cemilan dan teh hangat untuk
dinikmati sambil bercerita. “Kalian cerita tentang apa? sepertinya seru sekali”, tanya
Ibu. “Iyanih Bu, kami bercerita tentang pabrik kertas yang ada di desa kita.” Jawab
Farhan. “Aku bangga pada anak kita, ketika besar ia bercita-cita untuk merawat bumi
ini, terutama tanah yang ada di desa kita”, sahut Ayah. “ Ibu juga sangat bangga
dengan anak kita, kecil-kecil sudah memikirkan tentang masa depan desa kita”, sahut
Ibu sambil memeluk Farhan.
Usia bumi ini tidak lagi muda, sama seperti beban kita yang juga sudah semakin berat.
Tidak bisa dipungkiri bumi adalah rumah dan ibu kita. Berarti bumi ini harus dirawat
dengan baik seperti yang Farhan cita-citakan. Tanda-tanda bumi ini sakit pun,
sesungguhnya bukan barang baru. Sedari dulu bumi ini menanti untuk dirawat oleh
manusia, bukan karena bumi ini semakin tua tapi ia semakin banyak menahan derita
atas perlakuan orang-orang yang semena-mena tanpa bertanggung jawab. Bumi tidak
pernah mengkhianati manusia, apabila diberi nikmat seperti manusia bumi akan
berteriak dan menangis akan beban yang ada di bahunya.