Anda di halaman 1dari 7

Norma adalah kesepakatan bersama.

Biasanya norma lebih banyak menyangkut baik-buruk atau


indah-jelek daripada benar-salah. Kalaupun menyangkut benar-salah, kebenaran yang dimaksud
adalah kebenaran relative, bukan kebenaran objektif (kendaraan di Indonesia berjalan di kiri jalan
adalah benar, tapi di Amerika dan Belanda dianggap salah). Hal tersebut merupakan kesepakatan,
sifat norma adalah subjektif, tidak selalu terikat pada kondisi dan dapat berubah-ubah sesuai dengan
perubahan kesepakatan itu sendiri.

Karena sifatnya subjektif, diperlukan penyesuaian diri dari individu kepada norma setiap kelompok
yang akan ditemuinya atau dimana ia sudah menjadi anggota. Untuk menyesuaikan diri dapat
ditempuh melalui tiga cara berikut :

1. Konformitas
Perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-
sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler dalam Sarwono, 2001).

2. Menurut (compliance)
Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak
setuju. Bila perilaku tampil karena ada perintah namanya ketaatan.

3. Penerimaan (acceptance)
Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial. Misalnya,
berganti agama sesuai keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau negara dimana ia
ditugaskan/tinggal, memenuhi ajakan, teman-teman untuk membolos.

Beberapa penelitian terkait norma kelompok :

1. Penelitian M. Sherif
Hasil yang diperoleh bahwa kelompok cenderung menyepakati sesuatu dan cenderung bertahan pada
kesepakatan itu, walaupun kesepakatan itu palsu atau tidak benar sama sekali. Hasil penelitian Sherif
dikukuhkan kembali oleh Jacobs & Campbell yang mereplikasi eksperimen Sherif.

2. Penelitian Solomon Asch


Penelitian ini menyimpulkan bahwa tekanan kelompok sangat besar pengaruhnya dalam menetapkan
penilaian atau pembuatan keputusan individu dalam kelompok. Di sisi dapat terjadi perubahan dari
konformitas menjadi penerimaan.

3. Eksperimen Milgram
Eksperimen Milgram mengenai ketaatan atau kepatuhan sangat terkenal dan dianggap sebagai salah
satu eksperimen yang klasik dalam psikologi sosial. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa

 Orang dapat berlaku kejam karena pengaruh situasi


 Orang kebanyakan berpendapat bahwa orang jahat pun dapat berbuat jahat dan orang baik
berbuat baik. Nyatanya orang baik pun dapat berbuat jahat (kejam). Gejala ini tergolong
kesalahan karena kejahatan dianggap seakan-akan adalah atribusi internal, padahal
sesungguhnya gejala itu merupakan atribusi eksternal (Miller dkk dalam Sarwono, 2001).
Kekejaman yang dilakukan seseorang tersebut menurut Darley (dalam Sarwono, 2001)
dikarenakan pelaku tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Tanggung
jawab pada atasannya.

Hal-hal yang menyebabkan orang menaati perintah yang melewati batas adalah sebagai
berikut :

 Jarak emosi yang jauh dengan korban


 Kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi perintah
 Kewibawaan institusi
 Reintepretasi kognitif, perubahan struktur atau kategori kognisi sehingga ada pengalihan
tanggung jawab, bukanya karena pengurangan peri kemanusiaan atau hilangnya kepribadian
seseorang karena dilebur pada kewibawaan institusi atau otoritas yang lebih besar.
 Pelatihan

Konformitas
Tidak semua perilaku yang sesuai dengan norma kelompok terjadi karena ketaatan seperi dalam
eksperimen Milgram. Sebagaian terjadi karena orang memang sekedar ingin berperilaku sama dengan
orang lain. Perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri ini dinamakan
konformitas.

Bilamana orang conform?

1. Besarnya kelompok
Semakin besar kelompoknya, semakin besar pula pengaruhnya, tetapi ada titik optimal (lebih dari
lima orang pengaruhnya sama saja). Samping itu penelitian lain membuktikan bahwa kelompok yang
kecil lebih memungkinkan konformitas daripada kelompok besar (Galam & Moscovici dalam Sarwono,
2001)

2. Suara bulat
Dalam hal harus dicapai suatu bulat, satu orang atau minoritas yang suaranya paling berbeda tidak
dapat bertahan lama. Ia atau mereka merasa tidak enak. Ia atau mereka merasa tidak enak dan
tertekan hingga akhirnya ia atau mereka menyerah kepada pendapat kelompok mayoritas.

3. Keterpaduan
Keterpaduan atau kohesi (cohesiveness) adalah perasaan kekitaan antaranggota kelompok. Semakin
kuat rasa keterpaduan atau kekitaan tersebut, semakin besar pengaruhnya pada perilaku individu.
Ajaran konfusius di Cina mengajarkan kepatuhan kepada anak melalui pengasuhan anak yang
membentuk moralitas otoritariarisme sehingga rasa kekitaan kepada anak terhadap orang tuanya
tetap besar, walaupun orang tua otoriter (Ho dalam Sarwono, 2001).

4. Status
Drisken & Mullen (dalam Sarwono, 2001) meneliti pada pejalan kaki. Ternyata 25% dari pejalan kaki
menyebrang jalan tidak pada tempatnya. Akan tetapi, kalau ada contoh yang menyebrang sesuai
dengan peraturan, jumlah pelanggar menurun sampai 17%. Sementara kalau contoh itu menyebrang
tidak pada tempatnya, jumlah pelanggar naik menjadi 44%. Yang paling berpengaruh adalah jika
contoh yang tidak melanggar peraturan itu berpakaian rapi. Sebaliknya, jika pakaian contoh itu
sembarangan atau jika contoh yang berpakaian rapi itu melanggar, pengaruhnya tidak besar. Milgram
(dalam Sarwono, 2001) juga menuliskan eksperimennya, semakin rendah status yang menjadi
“contoh” semakin patuh, sedangkan semakin tinggi statusnya semakin cepat berhenti bahkan
mengajukan protes. Penelitian di Amerika Serikat, Rusia dan Jepang menunjukkan bahwa atasan
diharapkan lebih otonom, lebih mandiri. Atasan tidak diharapkan untuk conform atau patuh karena
perilaku conform atau kepatuhan kepada seorang atasan justru tidak sesuai dengan norma (Hamilton
& Sanders dalam Sarwono, 2001).

5. Tanggapan umum
Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat umum lebih mendorong konformitas daripada
perilaku, yang hanya dapat didengar atau diketahui oleh orang tertentu saja (Myers dalam Sarwono,
2001).

6. Komitmen umum
Deutch & Gerald (dalam Sarwono, 2001) mengungkapkan bahwa orang yang tidak mempunyai
komitmen apa-apa kepada masyarakat atau orang lain, lebih mudah conform daripada yang sudah
pernah mengucapkan suatu pendapat. Sekali sudah bicara, sulit untuk mengubahnya lagi karena
orang pada umumnya tidak suka tampil tidak konsisten, takut dianggap tidak percaya (Allgeier dalam
Sarwono, 2001).

Mengapa Konform
Menurut Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono, 2001) ada dua penyebab mengapa orang berperilaku
conform

1. Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapa orang lain
sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain. Contohnya adalah pejabat yang ingin naik
pangkat atau mencari status yang menyetujui saja segela sesuatu yang dikatakan atasannya
(Hollander dalam Sarwono, 2001)
2. Pengaruh informasi, yaitu karena adanya bukti-bukti dan informasi-informasi mengenai
realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak dapat dielakkan lagi
(Kotia dalam Sarwono, 2001). Misalnya, seorang pengemudi mendengar dari radio mobdil
bahwa jalan yang kebetulan akan dilewatinya sedang macet total karena ada kemacetan.
Walaupun pengemudi itu belum tahu sendiri mengenai keadaan jalan itu, karena ia percaya
pada kata-kata penyiar radio, ia pun membelokkan mobilnya untuk mengikuti jalan alternative
yang dianjutkan oleh penyiar radio itu.

Siapa yang conform?

Penelitian membuktikan bahwa tidak semua orang mempunyai tingkat konformitas yang sama.
Sebagian orang lebih mudah conform daripada orang lain.

1. Di Amerika Serikat, wanita lebih mudah conform daripada pria. Kemungkinan karena di negara
berkembang seperti Indonesia kecenderungan ini lebih nyata. Ada dua kemungkinan penyebabnya,
yaitu (1) kepribadian wanita lebih flexible (luwes, lentur) dan (2) status wanita lebih terbatas
sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi.

2. Sebagian peneliti berpendapat bahwa tipe kepribadian ada pengaruhnya pada perilaku conform
(Snyder & Ickes dalam Sarwono, 2001), tetapi sebagian yang lain tidak percaya bahwa pendapat itu,
sedangkan yang sebagian lagi berpendapat bahwa walaupun tipe kepribadian tidak dapat untuk
meramalkan timbulnya satu perilaku tertentu pada saat dan tempat tertentu, namum dalam
rangkaian peristiwa dalam waktu yang panjang tipe kepribadian menentukan bagaimana pola reaksi
atau perilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis situasi. Contoh, situasi yang tidak jelas, tidak
berstruktur (misalnya, dalam ruang tunggu dokter hanya ada dua orang tamu). Oleh karena itu, orang
dengan kepribadian yang lebih dominan akan lebih mempengaruhi hubungan atau komunikasi
antarkedua tamu tersebut (Iches dalam Sarwono, 2001).

3. Konformitas dan kepatuhan adalah gejala yang universal, tetapi bervariasi antarbudaya (Bond
dalam Sarwono, 2001). Milgram mereplikasi eksperimennya dengan subjek orang-orang Norwegia dan
Prancis. Ternyata orang Norwegia lebih conform dan patuh daripada orang Prancis.

Di Indonesia mungkin ibu-ibu bimbang dalam mendidik anak mereka untuk menjadi mandiri atau
menurut. Menurut Kamii (dalam Sarwono, 2001) yang penting adalah bahwa tujuan mendidik anak
bukan sekedar memberi hak untuk memutuskan, melainkan memberi keterampilan untuk membuat
keputusan dari heteronomi (tergantung banyak pertimbangan orang lain) ke otonomi.

Menolak Tekanan Sosial


Ada dua factor yang menyebabkan individu tidak mau conform / patuh atau menolak
tekanan sosial.
1. Jika ia merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam. Dalam keadaan ini, ia akan
melakukan perlawanan (reactance). Contohnya adalah kisah Siti Nurbaya yang memberontak pada
seluruh keluarga dan masyarakatnya ketika ia diharuskan menikah dengan lintah darat Datuk
Maringgi, sementara ia sudah mempunyai kekasih, Syamsulbahri. Dalam keadaan reactance ini,
semakin besar tekanan sosial, semakin kuat perlawannya. Siti Nurbaya semakin melawan ketika
ibunya semakin memaksanya untuk menikah dengan Datuk Maringgi. Nasihat-nasihat dan perintah-
perintah ibunya tidak mempan pada diri Siti Nurbaya bahkan memberi efek balik pada ibu itu sendiri
sehingga sang ibu semakin frustasi dan marah. Dampak negative pada sang ibu itu dinaman efek
boomerang (Brehm & Brehm dalam Sarwono, 2002). Dalam kehidupan sehari-hari gejala ini sering
kita dapati pada remaja yang semakin lama semakin nakal karena ibunya semakin cerewet
menasehatinya. Dalam kelompok, efek boomerang ini tampak juga pada kaum sekuler di Israel yang
merasa didesak terus oleh kaum religious, bukan secara fisik melainkan melalui kekuatan symbol-
simbol (Wald & Shye dalam Sarwono, 2001).

2. Setiap orang ingin tampil baik. Misalnya, dalam pesta perkawinan, busana pengantin harus
beda dan lebih bagus dari tamu-tamu lainnya. Ibu-ibu yang dating ke pesta perkawinan itu tidak ingin
busanya ada yang menyamai (kalau ada yang menyamai, ibu itu mengajak suaminya cepat-cepat
pulang) dan kalau ada undangan perkawinan dua hari berturut-turut, ibu-ibu tidak mau memakai
busana yang samadua kali berturut-turut (kalau dia tidak mempunyai baju lagi, lebih baik ia tidak
datang di undangan yang kedua).

Psikodinamika Norma
Norma berfungsi untuk mengarahkan perilaku. Akan tetapi mengapa masih juga ada yang melanggar
norma? Dalam hal ini kenapa masih terjadi penyimpangan perilaku seksual, korupsi, kolusi,
perampokan, terosisme dan pemerkosaan padahal sudah banyak norma yang mengatur perilaku-
perilaku tersebut.

Berikut ini dijelaskan bagaimana mekanisme kerja norma melalui pendekatan psikodinamika.
Psikodinamika adalah proses yang terjadi dalam diri individu sebagai bagian dari proses interaksi
dengan lingkungannya. Pendekatan psikodinamika ini berbeda dengan pendekatan lingkungan (seperti
pada eksperimen-eksperimen Sherif, Asch dan Milgram) karena pendekatan lingkungan lebih
menekankan pada apa yang terjadi di lingkungan dan pengaruhnya terhadap perilaku individu.

Norma dalam Pandangan Psikoanalisis


Sigmund Freud
Freud tokoh psikoanalisis klasik berpendapat bahwa melalui pendidikan dari orang tua selam masa
balita, norma diinternalisasikan sebagai nilai-nilai dalam superego. Fungsi super-ego adalah untuk
mengendalikan dorongan-dorongan id, sedemikian rupa sehingga ia tidak muncul sebagai perilaku
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Fungsi Ego adalah mempertimbangkan pilihan atau
kombinasi pilihan yang terbaik antara tuntutan dari id, pembatasan dari superego dan kenyataan di
lingkungan. Berdasarkan keputusan itu, ego mengarahkan perilakunya. Kalau perilaku itu sesuai atau
selaras dengan kondisi lingkungan (masyarakat) untuk jangka waktu yang panjang, orang yang
bersangkutan tergolong mampu menyesuaikan diri (well adjusted) dan mempunyai kesehatan mental
yang baik. Jika tidak, ia tergolong tidak mampu menyesuaikan diri (mal adjusted) dan dapat
mengalami gangguan mental, terlibat criminal atau berkepribadian psikopat.

Misalnya, Id menyimpan naluri seks (libido) dan agresi. Pada individu yang mampu menyesuaikan diri,
naluri seks disalurkan melalui pernikahan dan hubungan seks dengan suami/istri dan mempunyai
anak-anak dan naluri kemarahan disalurkan dengan memarahi anak-anaknya atau pegawai-
pegawainya di kantor dengan cara-cara yang benar. Akan tetapi, kalau orang tersebut tidak mampu
menyesuaikan diri, naluri seksnya disalurkan melalui perkosaan dan naluri agresinya disalurkan
dengan cara merampok atau timbul gejala-gejala psikoneurosis pada diri individu itu. Cara mengatasi
maladjusted menurut Freud adalah melalui psikoterapi yang dapat juga melibatkan lingkungan
terdekat dari individu yang bersangkutan (orang tua, teman dekat dan sebagainya).\
Kohlberg
Menurut Kohlberg norma menentukan mana yang baik (boleh) dan yang buruk (dilarang). Penentuan
baik-buruk ini tergantung pada perkembangan kongitif seseorang (1) anak kecil yang perkembangan
kognitifnya masih pada taraf awal belum dapat menentukan sendiri mana yang baik dan mana yang
buruk. Jadi, dia masih mengikuti orang lain saja (tahap taat dan takut pada hukuman) (2) Lama-
kelamaan ia dapat membedakan sendri mana yang baik dan mana yang tidak. Akan tetapi, ia masih
membedakannya dalam golongan “hitam-putih” : pencuri selamanya jahat, peri yang cantik selamnya
baik (tahap anakbaik/good boy). (3) pada tahap terakhir (tahap orientasi moral), individu sudah dapat
memahami bahwa baik-buruk tidak seperti hita-putih; ada pencuri yang baik hati (Robin Hood) dan
ada putri cantik yang jahat (misalnya bawang merah). Ia pun mampu memahami bahwa suatu
perilaku yang biasanya digolongkan sebagai tidak baik pada suatu saat dan tempat lain dapat
dianggap tidak melanggar norma. Caplan (dalam Sarwono, 2001) menyatakan bahwa jika orang
sudah mencapai tahap orientasi moral, seks pranikah akan dipahaminya sehubungan dengan berbagai
factor lain (bukan hanya dengan satu tolak ukur saja).

Yang menjadi persoalan adalah banyak individu yang terhenti perkembangan kognitifnya pada tingkat
moral baik-buruk saja. Mereka inilah sumber prasangka, sikap negative, rasialisme dan konflik antar
kelompok.

Teori Kognitif
Spika, Beit & Malony dalam Sarwono (2001) mengemukakan norma sebagai skema dalam struktur
kognisi seseorang, yaitu berhubungan dengan harga diri orang tersebut (tinggi-rendah posisi self
dalam skema) dan keperdulian sosialnya terhadap orang lain (jauh dekatnya orang lain dalam
skema).

Tiap kategori dalam skema diwakili oleh symbol-simbol (lambang, lagu, busana, bahasa, istilah dan
sebagainya). Kalau orang ingin dimasukkan dalam kategori tertentu, ia harus berupaya untuk
berperilaku sesuai dengan symbol-simbol yang sesuai dengan kategori itu (kalau ingin dianggap
remaja harus berbusana dengan warna ceria, kalau mau akrab dengan ibu-ibu arisan harus mau
bergosip, di lingkungan bisnis harus main golf dan sebagainya). Kalau tidak, orang itu menganggap
dirinya atau dianggap di luar kelompok (outgroup), kurang baik, berstatus rendah dan sebagainya.

Remaja sering terlibat perilaku yang melanggar norma masyarakat (kenakalan, kekerasan,
penyalahgunaan obat, perilaku seks, busana yang aneh-aneh dan sebagainya) karena justru perilaku
yang melanggar itu sesuai norma kelompok mereka (Riester dalam Sarwono, 2001). Dalam skema
kognitif mereka, mereka harus melakukan hal-hal tersebut agar masuk dalam kategori kelompok
mereka. Hal ini analog dengan anggapan bahwa orang Islam harus dapat mengaji (Novacek, Raskin &
Hogan dalam Sarwono, 2001).

Pengaruh agama dalam skema kognitif ditemukan juga dalam sikap terhadap seks pranikah dan kaum
homoseks di AS. Jika agama identifikasinya dirinya dengan kelompok itu, individu itu akan mengambil
sikap negative terhadap hubungan seks pranikah dan homoseksualitas karena itulah yang diharapkan
dari agama. Demikian pula komitmen terhadap agama dapat mengurangi penggunaan alkohol,
walaupun untuk itu individu harus mengingkari status sosialnya (di AS alkohol merupakan salah satu
symbol status sosial). Jadi, agama dapat lebih kuat pengaruhnya daripada kelas sosial jika agama
lebih menjadi symbol identitas diri dalam skema kognitif individu daripada status sosial ekonominya
(Clarke, Beeghly & Cochran dalam Sarwono, 2001).

Rasa Malu dan Salah


Ada dua macam reaksi terhadap pelanggaran norma, yaitu (1) rasa malu dan (2) rasa bersalah. Ciri-
ciri dari orang yang malu kalau melanggar norma adalah lebih cepat marah, cepat tersinggung,
curiga, cenderung menyalahkan orang lain dalam kejadian yang tidak dikehendaki, menyatakan rasa
benci atau tidak suka secara tidak langsung (bukan secara langsung dan tatap muka) terhadap orang
lain (Tangney dalam Sarwono, 2001). Selain itu, orang dengan reaksi malu juga bercirikan lebih
memperhatikan diri sendiri daripada orang lain, tidak berdaya, dan rendah diri (Gilbert, Pehl & Allan
dalam Sarwono, 2001). Ia juga menghindari otoritas atau atasan. Kalau terjadi sesuatu tidak cepat
melapor ke atasan. Mereka adalah penghindar. Ciri lain lagi adalah kurang berempati terhadap orang
lain, tetapi sangat berorientasi pada diri sendiri.

Di pihak lain, ciri-ciri orang dengan reaksi rasa bersalah jika melanggar norma adalah menyalahkan
diri sendiri, marah pada diri sendiri dan benci pada diri sendiri (Tangney dalam Sarwono, 2001).
Selain itu, cepat bereaksi dan melapor kepada pihak yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu
(Barret, Zahn & Cole dalam Sarwono, 2001). Ia pun lebih berempati kepada orang lain dan kurang
mementingkan diri sendiri (Tangley dalam Sarwono, 2001).

Perwujudan dari reaksi malu dan bersalah dalam kelompok adalah budaya malu dan budaya salah.
Budaya malu lebih banyak terdapat pada masyarakat dengan kebudayaan kolektif, sedangkan budaya
salah lebih banyak terdapat pada masyarkat dengan kebudayaan individual.

Masyarakat dengan budaya kolektif menekankan tanggung jawab pada kelompok, bukan pada
perorangan. Oleh karena itu, kalau terjadi masalah, kelompoklah (orang lain) yang bersalah, bukan
saya. Jadi, kecenderungan adalah menyalahkan pihak luar. Demikian pula kalau mengambil
keuntungan untuk diri sendiri, ia tidak merasa bersalah, apalagi jika semua orang melakukannya.
Dengan demikian, individu dari masyarakat kolektif dengan budaya malu, tenang saja menyerobot
antrean, menyontek atau kolusi karena perbuatan itu (walaupun salah) tidak memalukannya.
Sebaliknya, untuk duduk di baris terdepan dalam upacara, tidak ada yang mau (walaupun perbuatan
itu tidak salah) karena malu duduk di depan (nanti disangka pejabat). Demikian pula orang malu
kalau ada tamu, dan rumah sedang berantakan, akibatnya anak-anak dimarahinya.

Sebaliknya masyarkaat dengan budaya individual menekankan pada tanggung jawab perorangan.
Kalau ada masalah, kesalahan terletak pada individu itu sendiri. Dengan demikian individu dalam
masyarakat individual lebih intrapunitif dan tetap merasa bersalah walaupun tidak ada yang melibat
dan walaupun orang lain melakukan kesalahan yang sama. Individu lebih dapat berempati pada orang
lain karena ia mampu merasakan bagaimana kalau dirinya sendiri yang melakuan kesalahan. Contoh
dari perilaku dalam budaya individual adalah tetap antre walaupun orang lain menyerobot (merasa
bersalah kalau ikut menyerobot) berani duduk di depan walaupun orang-orang lain duduk di belakang
(karena merasa tidak ada salahnya duduk dibaris terdepan), kalau ada tamu padahal rumah
berantakan, ia meminta maaf kepada tamu bukan memarahi anaknya.

Perubahan Sosial
Norma diperlukan untuk dijadikan pedoman perilaku. Akan tetapi, orang tidak dapat terus menerus
berpedoman pada suatu norma saja. Pertama, individu itu dinamis (cenderung berkembang dan
berubah), antara lain karena bertambahnya usia, semakin tinggi pendidikannya, bertambah
pengalaman, dan adanya peristiwa-peristiwa traumatic atau yang memuaskan. Kedua, lingkungan pun
berubah (dengan ditemukannya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin canggihnya sarana
komunikasi dan lain-lainnya). Misalya, dulu belum ada keluarga berencana, telepon genggam dan
faximili, pesawat terbang dan wanita yang bersekolah yang sekarang semuanya sudah menjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari.

Perubahan norma-norma itu, yang semula berawal dari perubahan individu, pada gilirannya juga
berpengaruh kembali pada perubahan individu itu sendiri. Jadi perubahan sosial pada hakikatnya
adalah kombinasi antara perubahan individu dan perubahan norma. Pendapat dan temuan para pakar
mengenai hubungan antara perubahan individu dan perubahan sosial antara lain sebagai berikut :

1. Smelser & Smelser (dalam Sarwono, 2001), perubahan sosial terjadi di berbagai tingkat mulai
dari tingkat pribadi, keluarga, lingkungan kecil sampai bangsa dan dunia. Tiap tahap ditandai oleh
interaksi antara perubahan pribadi dan perubahan lingkungan. Harus dipelajari keduanya dan interaksi
antarkeduanya untuk dapat memperkenalkan perubahan sosial.

2. Ibu-ibu Muslim di Inggris, walaupun mereka sendiri tidak sempat mengecap pendidikan tinggi,
mengusahakan agar anak-anak perempuan mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari diri
mereka sendiri (Osler & Hussain dalam Sarwono, 2001)
3. Di Ghana, Islam merupakan jembatan dari pengobatan tradisional ke pengobatan modern karena
masyarakat mengidentifikasikan diri pada Islam dan Islam memperkenalkan pengobatan modern
(Kirby dalam Sarwono, 2001)

4. Keluarga-keluarga Muslim di Malaysia berada dalam konflik antara nilai-nilai Islam, Cina, India,
dan Eropa di lingkungan mereka sendiri (Kling dalam Sarwono, 2001)

5. Dalam keadaan ragu atau kehilangan pedoman atau identitas diri diperlukan discounting,
yiatu pengabaian ciri-ciri kelompok walaupun masih mempertahankan identias kelompoknya melalui
hal-hal berikut :

 Paksaan : misalnya harus tetap Islam walaupun ikut KB


 Pengecualian : dalam keadaan darurat boleh melakukan sesuatu yang lazimnya dilarang,
misalnya boleh ber-KB karena keadaan darurat walaupun Islam tetap melarangnya
 Pengingkaran (denial) : mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur an dan hadis untuk membuktikan
bahwa Islam pro-KB, tidak anti-KB
 Penyembunyian (concealment) : menyembunyikan hal-hal yang mendukung bahwa Islam
anti-KB

6. Dalam proses perubahan ini diperlukan pemimpin yang kuat untuk mempertahankan integrasi
kelompok selama masa peralihan (Pastello dalam Sarwono, 2001). Di pihak lain, pemimpin yang kuat
tidak berarti pemimpin yang terlalu ketat, kaku, dan otoriter. Kendali yang terlalu kuat dari pemimpin
dalam menghadapi perubahan sosial dapat menyebabkan anggota kelompok berontak seperti yang
terjadi pada anak-anak remaja yang memberontak pada orang tuanya yang terlalu keras (Franklin &
Streeter dalam Sarwono, 2001).

7. Prinsip untuk menjaga keutuhan dan stabilitas kelompok untuk jangka panjang dalam
menghadapi perubahan sosial dan perubahan norma-norma yang terlalu cepat adalah harus selalu
terbuka untuk negosiasi dengan anggota-anggota kelompok. Pendekatan yang terlalu menekankan
pada negosiasi dan tradisional (upacara, ritual, kebiasaan, kenang-kenangan dan lain-lain) harus
diimbangi dengan pemberian kesempatan-kesempatan pada setiap individu untuk memilih
alternativenya sendiri (Settes dalam Sarwono, 2001).

Anda mungkin juga menyukai