Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Oleh karena psikolog sosial telah lama menyadari pentingnya pengaruh sosial
pada kehidupan kita sehari-sehari, maka topik ini pun juga telah lama menjadi pusat
perhatian di bidang ini. Bahasan ini akan membahasan memperluas diskusi tentang
berbagai aspek lain dari pengaruh sosial , pertama kita akan fokus pada topik
konformitas yaitu bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat
diterima oleh kelompok atau masyarakat kita. Tekanan untuk melakukan konformitas
bisa jadi sangat sulit untuk ditolak. Lalu akan membahas tentang kesepakatan yaitu
usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam
permintaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pengaruh sosial ?
2. Bagaimana pengaruh sosial konformitas pada pengaruh kelompok di lapangan?
3. Apa Pengaruh sosial tentang kesepakatan dan kepatuhan ?

C. Manfaat Dan Tujuan Penulisan


Adapun Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah
a. Mengatahui definisi tentang pengaruh sosial !
b. Mengetahui bagaimana konformitas pada pengaruh kelompok di lapangan.!
c. Mengetahui pengaruh sosial tentang kesepakatan dan kepatuhan !

Dan Manfaatnya agar penulis lebih mendapat wawasan yang lebih dan makalah ini
berguna bagi mahasiswa lainnya .

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh social (social influence)

Pengaruh social (social influence) adalah usaha yang dilakukan seseorang atau
lebih untuk mengubah sikap, belief, persepsi atau tingkah laku orang lain. Ada 3
aspek penting dalam pengaruh social, yaitu: konformitas (conformity), kesepakatan
(compliance), dan kepatuhan (obedience)

B. Konformitas : Pengaruh Kelompok di Lapangan

Definisi Konformitas
 sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompok
 perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau perilaku
kelompoknya
 definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group pressure,
dan subjek tidak diminta untuk patuh

Dorongan orang-orang menjadi Konformitas Morton Deutch dan Harold Gerald (1955) :
a. Informational Influence
 bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan tentang situasi.
Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif.
b. Normative Influence
 tekanan untuk mengikuti kelompok
 tekanan sosial berasal dari norma-norma kelompok, seperti loyalitas, solidaritas
 ingin mencapai seperti anggota kelompok
 tidak ingin kelihatan berbeda
Tekanan untuk melakukan konformitas berakar dari adanya kenyataan bahwa di berbagai
konteks ada aturan-aturan eksplisit maupun implicit yang mengindikasikan bagaimana
seharusnya atau sebaiknya kita bertingkah laku, yang disebut Norma social (social norms),
dan aturan-aturan ini seringkali menimbulkan efek yang kuat pada kita. Norma bisa saja
dinyatakan secara eksplisit (tertulis), contohnya: larangan parkir di Jalan tol, larangan
merokok di tempat umum, perintah untuk tidak menginjak rumput di taman. Selain itu ada
pula norma yang tidak diucapkan atau implicit, contohnya: ketika Susi pergi kuliah dengan
memakai tanktop, ada ketidaknyamanan dalam dirinya dengan perilakunya tersebut atau
mungkin ketidaknyamanan datang dari orang lain yang melihat cara berpakaian Susi tersebut.
Walaupun dalam peraturan kuliahnya tidak ada peratutan yang mengharuskan memakai baju
berlengan, namun norma-norma implicit bekerja sehingga timbul ketidaknyamanan baik pada
diri Susi maupun orang lain yang berada di sekitarnya. Contoh lainnya dari norma implicit:
peraturan tidak tertulis seperti, “jangan berdiri terlalu dekat dengan orang asing”, “perempuan
jangan duduk ngangkang”, “jangan lupa member tip pada pelayan”. Tanpa mempedulikan
apakah norma social itu implicit atau eksplisit, ada satu kenyataan yang jelas: sebagian besar
orang mematuhi norma-norma tersebut hamper setiap saat.
c. Self Categorization (Dominic Abrams & Michael Hogg, 1990)
 usaha untuk memelihara konsep atau identitas diri sebagai anggota kelompok

2
Terdapat dua respon yang tidak Konformitas:
a. Independence
 tingkah laku “tidak responsif” terhadap kelompok
 tingkah laku bebas dari norma-norma kelompok
b. Anti conformity atau Counterconformity
 oposisi yang konsisten terhadap norma kelompok
 dilakukan anti konformis untuk memelihara konsep diri mereka

Terkadang kita memilik untuk tidak ikut serta atau menolak konformitas. Beberapa factor
penting yang membuat seseorang menolak konformitas:

1. Keinginan individuasi, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan individualitas kita.


Kita ingin menjadi seperti orang lain—tetapi tampaknya, tidak sampai pada titik di
mana kita kehilangan identitas pribadi kita. Sebagian besar dari kita memiliki
keinginan akan individuasi (individuation)—agar dapat dibedakan dari orang lain
dalam beberapa hal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konformitas memang
lebih banyak terjadi di Negara yang memiliki budaya kolektivis. Contoh: saat sedang
tren rebonding, Susi justru mengikalkan rambutnya karena ia ingin beda dari yang
lain.
2. Keinginan mempertahankan control terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Semakin kuat kebutuhan individu akan control pribadi, semakin sedikit
kecenderungan mereka untuk menuruti tekanan social.

Orang-orang yang tidak dapat melakukan konformitas. Ada beberapa orang yang memang
tidak dapat melakukan konformitas karena alasan fisik, hokum atau psikologis. Cotoh: orang
yang homoseksual tidak bisa melakukan konformitas untuk mencintai orang lawan jenisnya;
orang-orang cacat fisik yang tidak dapat melakukan aktifitas seperti orang kebanyakan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas

Konformitas tidak terjadi pada derajat yang sama di semua situasi. Ada 3 faktor yang
mempengaruhi konformitas, yaitu:

1. Kohesivitas (cohesiveness)—derajat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap


suatu kelompok. Ketika kohesivitas tinggi (ketika kita suka/kagum terhadap suatu
kelompok), tekanan untuk melakukan konformitas bertambah besar, dan juga
sebaliknya.
2. Ukuran kelompok, semakin besar kelompok tersebut, semakin besar pula
kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan
menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
3. Teori focus normative (normative focus theory), yaitu teori yang mengajukan bahwa
norma akan mempengaruhi tingkah laku hanya bila norma tersebut menjadi focus dari
orang yang terlibat pada saat tingkah laku tersebut muncul. Dengan kata lain, orang
akan mematuhi norma injungtif hanya jika mereka memikirkan tentang norma
tersebut dan melihatnya terkait dengan tindakan mereka. Norma mempengaruhi
tingkah laku hanya jika norma-norma tersebut penting bagi kita—ketika kita terfokus
pada norma tersebut.

3
Terkadang kita tidak menyetuji konformitas ini karena konformitas membatasi kebebasan
pribadi. Namun, ada dasar yang kuat berkenaan dengan konformitas: tanpa konformitas, kita
segera menyadari kita berhadapan dengan kekacauan social. Jadi, pada berbagai situasi,
konformitas memiliki fungsi yang sangat berguna.

Terkadang minoritas tidak selalu menjadi yang terpengaruh oleh mayoritas, tetapi bisa juga
terjadi hal yang sebaliknya yaitu minoritas berhasil mempengaruhi mayoritas pada kondisi
tertentu: i) angggota kelompok minoritas harus konsistendan harus bertahan pada opininya
sendiri dalam menentang opini mayoritas; ii) anggota kelompok minoritas harus menghindari
tampilan yang kaku dan dogmatis (harus fleksibel); iii) keseluruhan konteks social di mana
kaum minoritas beroperasi adalah penting. Jika minoritas bertahan, pada akhirnya mereka
bisa saja menang dan menemukan bahwa pandangan mereka kini menjadi mayoritas.
Berdasarkan penelitian Prislin, Limbert, dan Bauer (2000) Mayoritas yang dikalahkan
mengalami reaksi negatif yang kuat, sementara minoritas yang baru saja menjadi kuat
menunjukkan reaksi positif yang lebih lemah (mereka dalam posisi yang rentan).  Jika
mereka tidak mengambil tindakan untuk memperkuat kemenangan mereka, mungkin saja
pada kenyataannya kemenangan itu akan berumur pendek.

C. Kesepakatan : Meminta – terkadang Berarti Menerima

Definisi Compliance
 patuh, ada permintaan langsung dari orang lain atau tidak, individu setuju untuk patuh

Aspek perubahan social lainnyaa adalah kesepakatan (compliance)—suatu bentuk pengaruh


social yang meliputi permintaan langsung dari seseorang kepada orang lain—yaitu usaha-
uasah untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam permintaan. Ada 6
prinsip dasar compliance (Cialdini, 1994):

1. Pertemanan/rasa suka: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman
atau orang-orang yang kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang
yang tidak kita sukai. Contoh: sahabat kita sangat suka music country, bisa jadi
nantinya kita juga menyukai music country.
2. Komitmen/konsistensi: sekali kita berkomitmen pada suatu tindakan, kita akan lebih
bersedia untuk memenuhi permintaan mengenai tingkah laku yang konsisten dengan
tindakan tersebut daripada permintaan yang tidak konsisten dengan tindakan tersebut.
3. Kelangkaan: kita lebih mungkin untuk memenuhi permintaan yang berpusat pada
kelangkaan daripada terhadap permintaan yang sama sekali tidak terkait dengan isu
tersebut. Contoh: ketika bensin langka, orang lebih cenderung menjadi tertarik
membeli bensin.
4. Timbal balik/resiprositas: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari orang
yang sebelumnya telah memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita. Contoh: Susi
melakukan sesuatu untuk Rudi karena Rudi pernah membantu Susi sebelumnya,
5. Validasi social: kita lebih bersedia memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa
tindakan jika tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya dilakukan oleh
orang lain yang mirip dengan kita.

4
6. Kekuasaan: kita lebih bersedia memenuhi permintaan dari seseorang yang memiliki
kekuasaan yang sah.

Prinsip pertemanan lebih dikenal dengan ingratiation—membuat orang lain menyukai kita
sehingga mereka lebih bersedia untuk menyetujui permintaan kita. Ingratiation bisa
dilakukan dengan cara rayuan atau memuji orang lain dengan cara-cara tertentu. Cara lainnya
adalah dengan memperindah penampilan diri, mengeluarkan tanda-tanda nonverbal yang
positif (seperti mengacungkan jempol) dan melakukan kebaikan-kebaikan kecil.

Sementara itu dalam prinsip komitmen ada 2 teknik yang bisa digunakan, yaitu: i) foot-in-
the-door technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di mana pemohon
memulai dengan permintaan yang kecil dan kemudian permintaan ini disetujui, meningkat ke
permintaan lain yang lebih besa (yang memang mereka inginkan sejak awal). Contoh: saat
datang ke mall, Susi ditawari sample gratis sebuah kue dan Susi menyetujuinya dan
mengambil sample tersebut, lalu kemudian Susi ditawari untuk membeli. Kemungkinan Susi
untuk menyetujui membeli besar karena sebelumnya dia sudah berkomitmen mencoba
sample; ii) Low ball technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di mana
suatu penawaran atau persetujuan diubah (menjadi lebih tidak menarik) setelah orang yang
menjadi target menerimanya. Contoh: Rudi ditawari membeli mobil, dank arena terbujuk
akan DP yang murah dan stok yang lengkap tersedia, Rudi pun menyetujui penawaran
tersebut. Namun ternyata warna mobil yang diinginkan Rudi tidak ada. Namun karena sudah
menyetujui, Rudi pun tetap memilih membeli mobil tersebut.

Pada prinsip kelangkaan terdapat 2 teknik, yaitu: i) jual mahal/ playing hard to get yaitu suatu
teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesepakatan dengan memberikan kesan
bahwa seseorang atau suatu objek adalah langka dan sulit diperoleh. Contoh: teknik
penjualan dengan mengatakan bahwa produk itu adalah limited edition; ii) Deadline
technique yaitu suatu teknik untuk meningkatkan kesepakatan di mana orang yang menjadi
target diberi tahu bahwa mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengambil keuntungan
dari beberapa tawaran atau untuk memperoleh suatu barang. Contoh: “laptop ini diskon 10%
hingga akhir minggu ini!” atau penawaran Ahung Sedayu Group yang mengatakan “DP
murah, diskon x%, hari naik besok!”

Pada prinsip timbal balik ada 2 teknik, yaitu: i) door-in-the-face yaitu suatu teknik yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesepakatan di mana pemohon memulai dengan permintaan
yang besar dan kemudian, ketika permintaan ini ditolak, mundur ke permintaan yang lebih
kecil (yang memang mereka inginkan sejak awal); ii) that’s-not-all yaitu suatu teknik untuk
memperoleh kesepakatan di mana pemohon menawarkan keuntungan tambahan kepada
orang-orang yang menjadi target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka hendak
menuruti atau menolak permintaan spesifik yang diajukan. Contoh: beli 2 dapat 1.

Selain teknik-teknik tersebut di atas, ada pula yang dikenal dengan Pique Technique yaitu
suatu teknik untuk memperoleh kesepakatan di mana minat orang yang menjadi target di-
pique (distimulasi) oleh permintaan yang tidak umum. Sebagai akibatnya, mereka menolak
permintaan secara otomatis, seperti yang sering terjadi. Contoh: memasang harga Rp
9.900,00 terhadap produk yang berharga RP 10.00,00 supaya terkesan lebih murah. Selain itu
taktik lainnya dengan menempatkan oranglain pada suasana hati yang baik sebelum
mengajukan permintaan..

D. Kepatuhan : Respon permintaan langsung (perintah)

5
Apek lain dari pengaruh social adalah kepatuhan (obedience)—keadaan di mana seseorang
pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang lain untuk
melakukan sesuatu—dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih jarang terjadi dari
conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan
dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya melalui “velvet
glove”—melalui permintaan dan bukannya perintah langsung.

Kepatuhan yang merusak berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan
orang lain atau dirinya sendiri.  Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:

1. Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung


jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan
alasan bila sesuatu yang buruk terjadi.
2. Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang
menunjukkan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang
memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan
dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk tidak mematuhinya.
3. Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta
tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang
berbahaya.
4. Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini
menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.

Berikut ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:

 Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa
merekalah yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan—
bukan pihak otoritas.
 Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar
mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak.
 Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka
mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut.
 Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat
memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai