LINGKUNGAN STRATEGIS
DAN KERANGKA
EKONOMI MAKRO
3
3.1 Lingkungan Strategis
3.1.1 Kerja Sama Pembangunan
Dalam RPJMN 2015-2019, terdapat sasaran utama bidang politik luar negeri yang harus dicapai
Indonesia melalui kerja sama pembangunan internasional. Sasaran utama dalam kerja sama
pembangunan internasional dilandasi oleh kepentingan nasional.
Tiga kerja sama yang menjadi sorotan penting di dalam RPJMN 2015- 2019 adalah kerja sama
G20, kerja sama yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan hijau ( green growth) dimana
Indonesia terlibat dalam Global Green Growth Institute (GGGI) dan Selatan-Selatan dan
Triangular (KSST). Keseluruhan kerja sama internasional yang dijalankan Indonesia diharapkan
dapat menunjang pembangunan nasional yang selaras dan mendukung arah kepentingan
nasional.
Milestone kegiatan G20 dimulai pada bulan Juni 2010 di Summit Toronto. Pemimpin G20
membentuk Kelompok Kerja Pembangunan G20 (DWG) dengan tujuan melaksanakan agenda
pembangunan. Pendekatan G20 untuk pembangunan ditandai dengan fokus pada kerjasama
ekonomi internasional. Tujuh isu utama diidentifikasi sebagai kunci menyelesaikan permasalahan
dalam mencapai pertumbuhan yang kuat, inklusif dan berkelanjutan di negara-negara
berkembang, yaitu (i) isu keuangan ; (ii) isu perdagangan ; (iii) isu investasi infrastruktur ; (iv)
Beberapa langkah yang ditempuh oleh Indonesia terkait hal tersebut antara lain adalah
mendorong investasi dan infrastruktur, terutama melalui investasi sektor swasta; memperkuat
perdangangan internasional dan mendorong domestic actions/reforms untuk terlibat dalam
Global Value Chains; menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan kerja sama dengan sektor
swasta; memperkuat pembangunan melalui pengembangan investasi di bidang infrastruktur,
mobilisasi sumber daya domestik, dan inklusi finansial; serta mengupayakan reformasi struktural
dan kebijakan makro. Dari kebijakan-kebijakan tersebut setidaknya terdapat dua kebijakan
dimana Kementerian PUPR berkontribusi dalam implementasinya, yaitu Ketahanan pangan dan
nutrisi, dan Infrastruktur.
Untuk ketahanan pangan dan nutrisi, sesuai RJPMN Indonesia, salah satu fokus diplomasi
ekonomi Indonesia dalam forum bilateral, multilateral, regional dan global adalah terkait dengan
strategi pelaksanaan kontribusi Indonesia dalam terbentuknya norma/rezim internasional yang
mengatur perdagangan dan pembangunan, energi dan food security sebagai public goods. Fokus
diplomasi ekonomi Indonesia dalam hal ketahanan pangan tersebut selaras dengan salah satu isu
G20 yang dibahas melalui development working group (DWG) on food security and nutrition.
Sedangkan dalam kaitannya dengan infrastruktur, DWG fokus pada pengembangan 3 bidang
utama, yaitu: (i) Strengthening the 35 upstream environment for infrastructure project
preparation; (ii) Maximising the effectiveness of project preparation facilities (PPFs); (iii)
Promoting better understanding of risk and return in infrastructure investment in LICs (Bappenas,
2015). Beberapa agenda terkait dengan pilar DWG infrastruktur, meliputi:
Strengthening the Upstream Environment for Infrastructure Project Preparation OECD dan
World Bank Group (WBG) telah menyampaikan laporan tentang indikator kebijakan yang
dapat mendukung upaya negara-negara berkembang dalam merancang kerangka kebijakan
untuk memobilisasi investasi di bidang infrastruktur, bersama dengan laporan awal terkait
pemahaman resiko dan tingkat pengembalian investasi infrastruktur di low-income countries
(LICs). Mengingat hubungan yang erat antara policy framework untuk investasi, kapasitas
pemerintah untuk merancang dan mengelola proyek-proyek infrastruktur dan persepsi
investor, maka indikator mempunyai manfaat untuk meningkatkan pemahaman dan
mengatasi resiko dan tingkat pengembalian investasi infrastruktur.
Maximising the Effectiveness of Project Preparation Facilities (PPFs) ; Dalam hal country-
specific sector diagnostics, Inter-American Development Bank (IADB) dengan masukan dari
berbagai Multilateral Development Banks (MDBs) telah menyiapkan suatu kajian tentang
Global Green Growth Institute (GGGI) merupakan suatu organisasi internasional yang fokus
terhadap kebutuhan negara berkembang, yaitu meningkatkan pembangunan ekonomi yang
selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup. Visi GGGI adalah terbentuknya dunia yang
tangguh melalui pertumbuhan yang kuat, inklusif dan berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan mengedepankan kemajuan sosial dan misi GGGI untuk melaksanakan
transformasi ekonomi melalui perencanaan pertumbuhan berbasis bukti ( evidence-based) dan
implementasi yang disesuaikan dengan prioritas pembangunan masing-masing negara anggota.
GGGI memfokuskan empat tema atau isu prioritas (GGGI, 2015), yaitu:
Air ; Penggunaan sumberdaya air menjadi fokus utama karena berkaitan dengan dampak
sosial dan pentingnya air dalam produksi pertanian, industri dan energi. GGGI berusaha
menangkap isu dampak ketersediaan air dan penggunaannya dengan mendorong inovasi
yang berhubungan dengan pemanfaatan air di industri dan investasi pada infrastruktur hijau
kota, dan melalui integrasi dengan kebijakan pada alokasi air dalam sektor ekonomi.
Berbeda dengan kerja sama G20, kerja sama Global Green Growth Institue (GGGI) tidak secara
eksplisit disebutkan dalam RPJMN 2015-2019. Namun secara jelas RPJMN 2015-2019
menyatakan arah kebijakan dan strategi pembangunan yang mengarah pada pembangunan hijau
(green growth). Pemerintah menetapkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik yaitu: (1)
Peningkatan Kedaulatan Pangan; (2) Peningkatan Ketahanan Air; (3) Peningkatan Kedaulatan
Energi; (4) Melestarikan Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (5)
Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan; (6) Penguatan Sektor Keuangan; dan (7)
Penguatan Kapasitas Fiskal Negara. Dari prioritas sektor ini terlihat bahwa 4 sektor utama
menunjukkan isu-isu penting dalam pembangunan pertumbuhan hijau ( green growth
development). Lebih spesifik, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang secara eksplisit
yang menjelaskan implementasi pembangunan hijau adalah pembangunan kota hijau yang
berketahanan iklim dan bencana dengan: (a) Menata, mengelola, dan memanfaatkan ruang dan
kegiatan perkotaan yang efisien dan berkeadilan serta ramah lingkungan; (b) Meningkatkan
kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan
iklim dan bencana (urban resilience); (c) Menyediakan sarana prasarana yang berorientasi pada
konsep hijau dan berketahanan, antara lain: green openspace (ruang terbuka hijau), green waste
Terkait KSST, Indonesia baru memiliki peraturan di level undang-undang, seperti UU nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara sebagai rujukan untuk melaksanakan KSST. Namun demikian, untuk
memenuhi arah kerangka regulasi sesuai cita-cita penguatan KSST, diperlukan penyusunan
Peraturan Pemerintah yang merinci ketentuan tentang pemberian hibah oleh Pemerintah
Indonesia kepada pihak asing. Kerangka hukum yang jelas sangat diperlukan bagi
penyelenggaraan peran Indonesia bukan hanya sebagai penerima (pinjaman dan hibah luar
negeri) tetapi juga sebagai penyedia/pemberi ( provider) kepada sesama negara berkembang. Di
samping itu, akuntabilitas pelaksanaan program/kegiatan/anggaran KSST akan meningkatkan
efektivitas hasil yang dicapai dan efisiensi penggunaan sumber daya anggaran. Tujuan kerangka
regulasi tersebut antara lain adalah untuk menyediakan basis legal bagi pelaksanaan anggaran
program/kegiatan KSST Indonesia, memberikan arahan kebijakan yang lebih fokus dan koridor
mekanisme pembiayaan yang jelas dan akuntable dalam bagi Indonesia dalam melaksanakan
kerja sama internasional, khususnya Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular.
Kerja sama pembangunan internasional dengan skema Kerja Sama Pembangunan Selatan-
Selatan Triangular (KSST) yang secara aktif dilaksanakan oleh Indonesia dalam
perkembangannya per tahun 2015 telah mencapai 59 program dengan cost sharing 98 persen
berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan 2 persen dana luar negeri
merupakan salah satu strategi Indonesia dalam meningkatkan kontribusi dan recognition
Indonesia dalam tataran kerja sama internasional yang dilakukan. Dalam tataran operasional,
Bappenas (2011) menyatakan bahwa salah satu kendala utama yang dihadapi oleh skema KSST
meliputi: “Strategi dan kebijakan KSS Indonesia cenderung masih bersifat ad hoc, terfragmentasi
(fragmented points of delivery) baik dalam penganggaran, perencanaan, koordinasi, maupun
Selain tiga kerjasama internasional seperti yang telah disebutkan, Indonesia juga memiliki
kerjasama pembangunan skala regional, yaitu :
Salah satu isu yang menonjol dalam kerja sama ekonomi sub-regional termasuk BIMP-EAGA
adalah sub-regional connectivity. Dalam hal ini, sub-regional connectivity diharapkan mendukung
Coral Triangle Initiative (CTI) merupakan tindak lanjut dari gagasan Presiden Susilo Bambag
Yudhoyono yang disampaikan di sela-sela Convention on Biological Diversity (CBD) ke-8 di Brazil
pada 2006 didasari kenyataan bahwa perairan Indonesia dan kawasan di sekitarnya merupakan
habitat bagi highest level of coral diversity (setidaknya terdapat 5000 lebih jenis coral), sehingga
dengan sendirinya memiliki kekayaan sumber daya hayati yang besar. CTI dikembangkan untuk
membentuk mekanisme kerjasama antar negara-negara yang memiliki tujuan dan pandangan
yang sama mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan mempertahankan kesinambungan SDA
laut di kawasan Coral Triangle yang mencakup 6 negara: Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor
Timur, PNG, dan Kepulauan Solomon. Berikut adalah 5 overarching goals dari CTI :
Designate and manage seascapes/large-scale geographies that are prioritised for investments
and action, where best practices are demonstrated and expanded
Achieve climate change adaptation measures for marine and coastal resources
Terdapat banyak determinan pendorong produktivitas, yang oleh WEF dikelompokkan kedalam
12 pilar daya saing, yaitu: (1) institusi, (2) infrastruktur, (3) makroekonomi, (4) kesehatan dan
pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar kerja, (8)
pasar keuangan, (9) kesiapan teknologi, (10) besaran pasar, (11) kecanggihan bisnis, dan (12)
inovasi. Selanjutnya ke 12 pilar tersebut dikelompokkan kedalam 3 kelompok pilar, yaitu
kelompok persyaratan dasar, kelompok penopang efisiensi, dan kelompok inovasi dan
kecanggihan bisnis.
Dari laporan-laporan World Economic Forum terdahulu tercatat, Pada tahun 2011, diantara
negara-negara ASEAN, setelah Singapura, Malaysia menempati posisi teratas (peringkat ke 21),
disusul oleh Thailand (39). Dilihat pada tabel dibawah. Vietnam dan Filipina berada di belakang
Indonesia, pada peringkat ke 65 dan 75 bertururt-turut. Cukup mengejutkan adalah Filipina, yang
naik 10 tingkat dari peringkat ke 85 tahun lalu. Kinerja daya-saing Indonesia lebih buruk daripada
Thailand, yang hanya turun satu tingkat, kendati Thailand mengalami gejolak politik cukup lama.
Malaysia mengalami kenaikan peringkat yang sangat besar (5 tingkat), melampaui posisi Korea
Selatan (24). Indeks daya saing global Indonesia sempat berada di peringkat 54 pada tahun
2009, lalu naik ke peringkat 44 pada tahun 2010. Peringkat Indonesia cenderung meningingkat
hingga tahun 2014 yaitu pada peringkat 34, dan cenderung menurun pada tahun 2015 dan tahun
2016 pada peringkat 41 dengan skor 4,52.
2012-
2011-2012 2013-2014 2014-2015 2015-2016 2016-2017 2017-2018
2013
Negara
Ran Ran Sk Ran Ran Ran Ran Ran
Skor Skor Skor Skor Skor Skor
k k or k k k k k
5,6 3 5,71
Singapura 2 5,63 2 2 5,61 2 5,65 2 5,68 2 5,72
7
5,0 23 5,17
Malaysia 21 5,08 25 24 5,03 20 5,16 18 5,23 25 5,16
6
4,5 32 4,72
Thailand 39 4,52 38 37 4,54 31 4,66 32 4,64 34 4,64
2
Indones 4,3 4, 4,5 4,5 4,5 4,5 36 4,6
46 50 38 34 37 41
ia 8 4 3 7 2 2 8
4,1 55 4,36
Vietnam 65 4,24 75 70 4,18 68 4,23 56 4,3 60 4,31
1
4,2 56 4,35
Philippines 75 4,08 65 59 4,29 52 4,4 47 4,39 57 4,36
3
Sumber: WEF (2010-2017), diolah
Berdasarkan pada data-data peringkat daya-saing antara tahun 2010 hingga 2017. Di antara 3
kelompok pilar daya-saing, yaitu Kelompok Persyaratan Dasar, Kelompok Penopang Efisiensi, dan
Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis, ketiga Kelompok Persyaratan Dasar mengalami
kenaikan peringkat, yaitu naik 6 tingkat. Namun yang paling signifikan peningkatannya yaitu
Kelompok Penopang efisiensi hingga 8 tingkat dan peningkatan skor 0,1 point, sedangkan
TABEL 3-2 PERUBAHAN PERINGKAT DAYA SAING INDONESIA MENURUT PILAR 2011-2016
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
N Kelompok
Ranking
Ranking
Ranking
Ranking
Ranking
Ranking
Ranking
Score
Score
Score
Score
Score
Score
Score
o Indikator
Berdasarkan tren skor daya saing Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan tahun 201 7 terlihat
fluktuatif dan perubahannya tidak begitu signifikan. Berdasakan asumsi kondisi yang sama, maka
dapat diprediksi indeks daya saing infrastruktur hingga 2024. Terlihat kondisi infrastruktur
memiliki skor “sedang” yang berdampak pada daya saing Indonesia yang rendah juga. Sehingga
TABEL 3-3 PREDIKSI INDEKS DAYA SAING INFRASTRUKTUR INDONESIA TAHUN 2018-2024
N Kelompok
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
o Indikator
1 Kualitas infrastruktur 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9
2 Kualitas jalan 4,1 4,2 4,3 4,3 4,4 4,5 4,6
3 Kualitasjaringan kereta api 4,1 4,3 4,4 4,5 4,7 4,8 5,0
4 Kualitas pelabuhan 4,1 4,1 4,2 4,3 4,3 4,4 4,5
5 Kualitas Bandar udara 4,6 4,6 4,6 4,7 4,7 4,7 4,7
Ketersediaan penerbangan 3.855, 4.171, 4.487, 4.803, 5.119, 5.435, 5.751,
6
(juta/minggu) 9 9 8 7 7 6 6
7 Kualitas supply listrik 6,5 6,5 6,6 6,6 6,7 6,7 6,7
Langganan telepon cellular
8 247,9 282,2 316,7 351,7 386,9 422,5 458,3
(per 100 jiwa)
Teleponrumah/ kantor (per
9 6,0 5,3 4,7 4,2 3,8 3,5 3,2
100 jiwa)
Sumber : Hasil Analisis Tim, 2017
Beberapa faktor umum yang menghambat peningkatan daya-saing dari tahun 2010 sampai
dengan tahun 2017 ditunjukkan dalam Tabel dibawah. Teridentifikasi lima masalah utama
penghambat daya-saing bisnis adalah korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien,
infrastruktur yang tidak memadai, ketidakstabilan politik dan akses pada pembiayaan. Ke tiga
masalah pertama selalu muncul dalam daftar penghambat terbesar daya-saing Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir. Pilar korupsi dipersepsi semakin memburuk dan menempati urutan
teratas dalam tingkat intensitas masalah.
Masalah Utama Penghambat Daya-Saing
2010-2011 2016-2017
1) Korupsi 1) Korupsi
2) Birokrasi pemerintah yang tidak efisien 2) Birokrasi pemerintah yang tidak efisien
3) Infrastruktur yang tidak memadai 3) Infrastruktur yang tidak memadai
4) Ketidakstabilan politik 4) Akses pada pembiayaan
5) Akses pada pembiayaan 5) Inflasi
Lebih lanjut terkait daya saing Provinsi Indonesia memiliki 33 provinsi yang masing-masing
memiliki potensi dan keunggulan ekonomi, Giap dan Amri (2016)1 Tujuannya adalah memberikan
gambaran umum dan informasi dalam kemudahan melakukan bisnis di 33 provinsi di Indonesia,
serta melihat tantangan regional dan solusinya bagi daya saing Indonesia. Dalam mengukur daya
saing regional Indonesia, LKY menggunakan 4 lingkungan utama, dan 12 sub lingkungan serta
103 indikator. Keempat lingkungan utama tersebut adalah : (1) Kestabilan Makroekonomi, (2)
Pemerintah dan pengaturan Kelembagaan, (3) Kondisi Tenaga Kerja, Keuangan dan Usaha, dan
(4) Pengembangan Infrastruktur dan Kualitas.
1
Tan Khee Giap and Mulya Amri (2016), Asean Competitiveness Institute (ACI). Lee KUan Yew School of Public Policy. Singapore
Kategori :
Sangat Tinggi > 2,27
Tinggi 1,32 - 2,26
Sedang (0,38) - 1,31
Rendah (0,59) - (0,37)
Sangat Rendah < (0,58)
Dari tabel diatas, kita melihat bahwa skor berkisar dari maksimum 1,7576 sampai minimum
0,6014. Provinsi dengan skor maksimal adalah DKI Jakarta, yang berada di peringkat teratas.
Provinsi dengan nilai minimal adalah Nusa Tenggara Timur, peringkat 33. Melihat lebih dekat
Jika dicermati, dapat dilihat bahwa ada beberapa "lompatan" dalam nilai standar di beberapa
posisi. Misalnya, ada kesenjangan yang cukup besar antara posisi kedua (Jawa Timur, skor: 2,08)
dan posisi ketiga (Jawa Tengah, skor: 1,46). Terjadi juga kesenjangan antara yang menduduki
posisi 32 (NTT, skor: 1,39) dan menempati posisi ke-33 (Papua, skor: 1,52). Kesenjangan dalam
nilai standar ini penting untuk diperhatikan karena lokasi antar provinsi yang berbatasan, namun
sebenarnya daya saingnya seperti yang ditunjukkan dengan skor cukup berjauhan meskipun
peringkatnya hanya terpaut satu level.
Dapat dilihat ada konsentrasi geografis yang tinggi dari daya saing tinggi dan daya saing rendah
antar provinsi. Provinsi yang termasuk kategori kompetitif seluruhnya merupakan provinsi yang
berada di Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten dan Provinsi DI Yogyakarta. Provinsi yang cukup
kompetitif adalah Bali (posisi ketujuh, terletak persis di sebelah Jawa), Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Banten, dan Kepulauan Riau (posisi 12, kemungkinan karena
imbas dari posisi georgrafis dimana terletak sangat dekat dengan Singapura dan semenanjung
Malaysia. Sembilan provinsi dengan daya saing terendah didominasi provinsi bagian timur
Indonesia yaitu Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Tiga
provinsi dengan daya saing terendah lainnya berada di Pulau Sumatera, yaitu Provinsi Bengkulu,
NAD, dan Jambi, serta satu terletak di Sulawesi (Sulawesi Barat). Dengan demikian dapat
disimpulkan :
Provinsi di Sumatera menunjukkan kinerja yang beragam, namun secara umum termasuk
kategori sedang, rendah, dan sangat rendah daya saing infrastrukturnya ;
Seperti yang telah dibahas pada awal, komposisi penilaian Global Competitiveness Index terdiri
dari Kebutuhan Dasar (40,0%), Penopang Efisiensi (50,0%), Inovasi dan Faktor Kecanggihan
(10,0%). Adapun Infrastruktur menjadi salahsatu pilar dari komponen Kebutuhan Dasar dengan
komposisi 10,0% saja. Tetapi bila dilihat pada Tabel 3.4, faktor Infrastruktur Yang Tidak
Memadai termasuk dalam lima pilar besar dalam menghambat daya saing. Maka dari itu, untuk
meingkatkan daya saing perlu ada terobosan sehingga target yang ditetapkan dalam rencana
jangka menengah yang dapat tercapai dengan baik. Berikut tabel terkait perbandingan Target
RPJM dan Indikator Dayasaing Infrastruktur.
TABEL 3-6 ANALISA PERBANDINGAN TARGET RPJMN DENGAN DAYA SAING
INFRASTRUKTUR
Indikator Daya
Skor Indikator Infrastruktur Capaian Perbandingan kesesuaian
Saing
2016 RPJMN 2015-2019 2017 indikator & respon capaian target
Infrastruktur WEF
Kualitas 3,8 Tidak ditemukan indicator
infrastruktur* padanan
Kualitas jalan* 3,9 a) Kondisi mantap jalan nasional a) 89,38% (2016) Pencapaian dari 4 indikator jalan,
=98% b) 47.017 km atau terdapat 3 indikator yang telah
b) Pengembangan jalan nasional 100% terpenuhi. Namun masih menjadi
= 45.592 km c) 1.845 km atau tantangan jaringan jalan dengan
c) Pembangunan jalan baru 100% status non-nasional (provinsi dan
(kumulatif 5 tahun)=2.650 km kabupaten) yang menjadi
d) 212.4 km atau
d) Pengembangan jalan tol backbone aliran logistik.
100%
(baseline 807 km) = 1.000 km
Kualitas jaringan 3,8 Pengembangan jalur kereta api = 199,59 km Indikator yang tercantum dalam
kereta api* 8.692 km (Kemenhub, 2016) RPJMN hanya pengembangan
jalur KAI, capaian 2016 yaitu
hanya 2,29%.
Kualitas 3,9 Dwelling Time Pelabuhan = 3-4 Dwelling Time Target Dwelling Time di Pelindo
pelabuhan* hari PT.Pelindo II II sudah tercapai. Namun, bila
(Persero) 3,9 hari melihat Singapura 1,5 hari dan
(Kompas.com - Malaysia 2 hari.
23/03/2017)
Kualitas Bandar 4,5 a) Jumlah bandara = 252
udara* b) On-time Performance
penerbangan=95%
Ketersediaan 3.228,40 Tidak ditemukan indicator
penerbangan** padanan
(juta/minggu)
Kualitas supply 4,2 Rasio elektrifikasi = 96,6% Rasio Elektrifikasi Berdasarkan data ESDM target
listrik* Nasional 92,80% elektifikasi 96,6% dapat
(ESDM, Juni 2017) terlampaui. Namun, melihat
intensifikasi pengembangan KI,
KEK, dll. Peningkatan kapasitas
masih menjadi tantangan.
Langganan 132,3 Kab/Kota yang dijangkau
telepon cellular Broadband = 100%
(per 100 jiwa)***
Telepon 8,8 Tidak ditemukan indicator
rumah/kantor (per padanan
100 jiwa) ***
Keterangan :
*) 1 = extremely underdeveloped—among the worst in the world; 7 = extensive and efficient—among the best in the
world.
**) Monthly average for 2016
***) Number of mobile-cellular telephone subscriptions and fixed-telephone lines per 100 population
Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga statistik pemerintah, hanya melakukan penelitian
menyeluruh pada struktur populasi Indonesia sekali setiap dekade. Menurut studi terakhir (dirilis
pada tahun 2010), Indonesia memiliki jumlah penduduk 237.6 juta orang. Namun, menurut
perkiraan-perkiraan belakangan ini (dari berbagai lembaga) Indonesia diperkirakan memiliki lebih
dari 260 juta penduduk pada tahun 2017 dan lebih dari 285 juta penduduk pada tahun 2024
berdasarkan hasil proyeksi skenario moderat (lihat tabel 3.5).
Kota-kota terbesar di Indonesia ditemukan di pulau Jawa. Di sini kita menemukan ibu kota
Jakarta yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk menurut sensus resmi terbaru (data dari
2011). Angka yang tidak resmi kemungkinan besar jauh lebih tinggi. Selain itu, setiap pagi
sejumlah besar pekerja berjalan dari dareah perkotaan satelit menuju Jakarta untuk melakukan
pekerjaan mereka. Pada sore atau malam hari mereka berjalan pulang ke kota-kota satelit di
sekitar Jakarta. Arus harian yang besar ini menyebabkan kemacetan lalu lintas yang parah di
Jakarta. Setelah Jakarta, kota-kota terbesar di Indonesia adalah Surabaya (Jawa Timur),
Bandung (Jawa Barat), Bekasi (Jawa Barat), dan Medan (Sumatra Utara).
Selanjutnya bonus demografi yang akan datang pada tahun 2020 hingga 2030, menjadi jendela
peluang (windows opportunity) untuk pertumbuhan ekonomi. Populasi penduduk produktif yang
besar akan bermanfaat sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan
tersedianya penduduk produktif yang siap kerja dengan jumlah yang besar menjadi modal awal
dalam pembangunan ekonomi. Selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah Indonesia mampu
menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas dan lapangan kerja yang cukup untuk menampung
mereka.
70%
50%
Dependency Ratio
40%
30%
Penduduk Usia 0-14
20%
0%
2010 2015 2020 2025
Sementara di tahun 2030, diperkirakan jumlah usia produktif antara 15-59 tahun meningkat dari
tahun sebelumnya. Menurutnya hal ini dapat menjadikan Indonesia lebih makmur apabila sumber
daya manusia (SDM) baik dari sisi kesehatan maupun kompetitif dipersiapkan guna mendapatkan
peluang bonus demografi di Indonesia. Karena itu penyiapan SDM yang mampu bersaing secara
global atau mampu menciptakan lapangan pekerjaan dinilai sebagai persyaratan utama. Maka,
dibutuhkan peningkatan mutu modal dengan mempertahankan struktur umur penduduk,
peningkatan kesehatan, pendidikan dan IPTEK, pendidikan berkualitas dan setara untuk
perempuan.
Terjadi penurunan dependency ratio dengan meningkatnya penduduk usia kerja yang memberi
peluang terjadinya bonus demografi. Bonus Demografi tidak otomatis, tetapi dapat diraih dengan
kebijakan tepat, diantaranya SDM sehat dan terdidik, tenaga kerja produktif, stabilitas ekonomi,
meningkatnya lapangan kerja. Jika tidak, terjadi dampak tidak baik diantarnya tingginya
penganguran, konflik sosial, tekanan pada pangan dan lingkungan. Turunnya dependency ratio
berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengalaman internasional.
Sumber : UN Population Prospect Rev. 10 dan Mawson & Kinugasa 2005; Mawson, A and Kinugasa T, 2005. East Asian
Economic Development: Two Demographic Dividend dalam Solihin, D 2014.
Pandangan Masyarakat Internasional atas Post 2015: Prinsip-prinsip yang Disepakati dan
Justifikasi Pentingnya SDGs Dokumen ”Future We Want”.
1. Negara Maju:
Mendorong fokus isu-isu unfinished business MDGs lebih menekankan pada aspek
sustainability;
2. Negara Berkembang:
Mendorong fokus isu-isu unfinished business MDGs lebih menekankan pada aspek
availability dan fleksibilitas pada akses dan kesempatan, serta dukungan means of
implementation termasuk pendanaan, dukungan teknologi dan peningkatan
kapasitas;
2. Masalah :
Nilai ideal minimum anggaran untuk infrastruktur nasional masih kurang ; Walaupun
anggaran pembiayaan infrastruktur di Indonesia dari APBN terus mengalami
peningkatan, namun anggaran APBN untuk infrastruktur rata-rata hanya sebesar 1. Hal
ini tentu masih sangat kurang untuk digunakan dalam pembangunan infrastruktur
Indonesia dengan luas wilayah yang cukup besar dan terbagi menjadi pulau-pulau.
Walaupun telah ditambah dengan sumber pendanaan lain yang berasal dari
sumbangan APBD, BUMN dan swasta, nilai tersebut masih tetap saja kurang dimana
nilai ideal minimum anggaran untuk infrastruktur sebesar 5 persen dari total GDP.
3. Peluang
4. Menurunnya daya saing global Indonesia dari tahun 2015-2016 dipengaruhi beberapa
factor, eksternal dan internal. Factor eksternal seperti adanya peningkatan daya saing
lebih besar di beberapa Negara dunia, factor internal karena kecilnya peningkatan daya
saing kebutuhan dasar, penopang efesiensi, serta inovasi dan factor kecanggihan;
5. Kondisi daya saing infrastruktur tahun 2016-2017 meningkat menjadi rangking 60 dari
rangking 76 di tahun 2010-2011 memberi efek positif pada beberapa determinan
pendorong produktifitas yaitu, meningkatya daya saing pendidikan tingkat tinggi, efisiensi
pasar barang, pasar keuangan, kesiapan teknologi, besaran pasar, serta inovasi dan dan
faktor kecanggihan. Namun, meningkatnya rangking infrastruktur tidak memberi efek
positif pada beberapa determinan pendorong lainnya, seperti daya saing makroekonomi,
kesehatan dan pendidikan dasar, serta efisiensi tenaga kerja yang justru menurun pada
tahun 2010-2017;
7. Berdasarkan tren skor daya saing Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016
terlihat fluktuatif dan perubahannya tidak begitu signifikan. Berdasakan asumsi kondisi
yang sama, maka dapat diprediksi indeks daya saing infrastruktur hingga 2024. Terlihat
kondisi infrastruktur memiliki skor “sedang” yang berdampak pada daya saing Indonesia
yang rendah juga. Sehingga perlu ada kebijakan poliltik dan anggaran yang dapat
memberikan pembaharuan terhadap tingkat efisiensi Infrastruktur pada periode akhir
RPJMN;
8. Beberapa pilar yang menghambat peningkatan daya-saing dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2016 meliputi korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, infrastruktur yang
tidak memadai, akses pada pembiayaan dan inflasi;
9. Pertumbuhan penduduk masih terkonsentrasi di pulau jawa baik pada kondisi eksisiting
dan proyeksi sampai tahun 2024. Khususnya Wilayah DKI Jakarta. Setelah Jakarta, kota-
kota terbesar di Indonesia adalah Surabaya (Jawa Timur), Bandung (Jawa Barat), Bekasi
(Jawa Barat), dan Medan (Sumatra Utara). Kondisi ini disebabkan oleh ketersediaan dan
pelayanan infrastruktur, lapangan perkerjaan, Sumberdaya alam dan budaya;
10. Potensi bonus demografi di tahun 2020-2030 menuntut pemerintah Indonesia mampu
menyiapkan rencana yang terpadu untuk angkatan kerja yang berkualitas dan lapangan
kerja yang cukup. Dengan cara peningkatan mutu modal dengan mempertahankan
struktur umur penduduk, peningkatan kesehatan, pendidikan dan IPTEK, pendidikan
berkualitas dan setara untuk perempuan;
11. Dependency ratio dari hasil proyeksi 2010-2025 memiliki kecenderungan menurun disemua
provinsi kecuali DKI Jakarta. Hal ini dapat menjadi potensi yang baik bagi peningkatan
pertumbuhan pembangunan bila didukung oleh lapangan pekerjaan yang luas serta
infrastruktur yang memadai.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat hingga mencapai titik terendah dalam kurun waktu
5 tahun karena menurunnya hasil pertambangan yang disebabkan melemahnya permintaan dari
Indonesia diprediksikan akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen pada tahun
2017 dan 5,3 persen pada 2018. Level tersebut berada di bawah Filipina yang diproyeksikan
tumbuh 6,8 persen dan Vietnam dengan 6,5 persen pada 2017. Sama seperti negara
berkembang dunia lainnya, beberapa negara di Asean-5 ini juga mendapatkan sentimen positif
dari mulai pulihnya harga komoditas dunia. Indonesia dan Malaysia menjadi yang paling
terpengaruh (Tempo.co 19 april 2017).
Berdasarkan data analisis Bappenas tahun 2017 dalam periode 2016 – 2045, ekonomi Indonesia
tumbuh rata-rata 6,4%/tahun. Indonesia menjadi negara pendapatan tinggi (ke luar dari middle
income trap) tahun 2034 dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-4 tahun 2045.
TABEL 3-8 Statistik Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Nasional 10 Tahun Terakhir
Data BPS dan World Bank
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
PDB
432,2 510,2 539,6 755 893 918 915 891 861 933
(dalam milyar USD)
PDB
(perubahan % 6,3 6 4,6 6,2 6,2 6 5,6 5 4,9 5
tahunan)
Tampak dalam tabel di atas bahwa penurunan perekonomian global yang disebabkan oleh krisis
finansial global di akhir 2000-an memiliki dampak yang relatif kecil pada perekonomian Indonesia
dibandingkan dengan dampak yang dialami negara-negara lain. Pada tahun 2009, pertumbuhan
PDB Indonesia turun menjadi 4,6%, yang berarti bahwa performa pertumbuhan PDB negara ini
merupakan salah satu yang terbaik di seluruh dunia (dan memiliki peringkat tertinggi ketiga di
antara negara-negara dengan perekonomian besar yang tergabung di dalam grup G-20)
https://www.indonesia-investments.com. Berdasarkan data statisktik yang dikeluarkan oleh BPS
dan World Bank, maka dapat diprediksi PDB Nasional hingga tahun 2024 sesuai kebutuhan
analisis RPJMN Jilid 4. Asumsi analisis dengan menggunakan metode asosiasi dan asumsi
pertumbuhan 6 %, sebagai berikut.
Prediksi PDB (dalam milyar USD)
Model 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Asumsi Prediksi
dengan
1016,3 1072,29 1128,20 1184,11 1240,02 1351,83 1407,74
Trend 2007-2016 1295,93
9 8 6 4 2 8 6
[y = 55,908x +
457,31]
Asumsi Prediksi
1048,31 1111,21 1177,89 1248,56 1323,47 1402,88
dengan Pertumbuhan 988,98 1487,06
9 8 1 4 8 7
PDB [6%]
Sumber : Hasil analisis, 2017
Seperti laporan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 dirilis World Economic Forum (WEF)
tersebut menunjukkan daya saing Indonesia merosot dari peringkat 37 menjadi 41 dari 138
negara. Kondisi ini menunjukkan Indonesia harus lebih keras lagi untuk dapat bersaing dalam
perekonomian dunia. Upaya peningkatan dayasaing ini terlihat dari anggaran pembiayaan
infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 ‐ 2019
sebesar Rp 6.541 trilliun pada skenario penuh 100% dibangun (Gambar 3.7). Berdasarkan LM‐
FEB UI (2016), kebutuhan dana investasi infrastruktur Indonesia diperkirakan Bappenas hanya
dapat dipenuhi sebesar oleh APBN sebesar Rp 1.000 trillun, APBD sebesar Rp 500 trillun, BUMN
dan swasta sebesar Rp 210 trilliun, Perbankan sebesar Rp 500 trilliun, Asuransi dan Dana Pensiun
sebesar Rp 60 trilliun, serta lembaga pembiayaan infrastruktur yang ada sebesar Rp 500 trilliun,
oleh karena itu ada financial gap sebesar Rp 4.000 trilliun yang harus dipenuhi dari sumber
pendanaan lain guna melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Lebih spesifik realisasi anggaran terkait penyediaan infrastruktur PUPR periode tahun 2015-2018
dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
GAMBAR 3-10 SANDINGAN RENSTRA DAN RKA-K/L KEMENTERIAN PUPR
TABEL 3-9 ALOKASI ANGGARAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIRINCI PER UNIT ORGANISASI
TABEL 3-11 PREDIKSI PDB DAN KEBUTUHAN INVESTASI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PUPR
TAHUN 2020-2024
Prosentase Anggaran
1,02 0,99 0,97 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Terhadap PDB
Investasi Infrastruktur
10,37 10,62 10,94 11,84 12,40 12,96 13,52 14,08
PUPR *
Investasi Infrastruktur
10,09 10,38 10,78 11,78 12,49 13,23 14,03 14,87
PUPR **
*dengan Trend [y = 55,908x + 457,31]
** dengan Pertumbuhan PDB [6%]
Sumber : Hasil Analisis, 2017
Berdasarkan tren realisasi pembiayaan infrastruktur PUPR tahun 2015-2018 terlihat Backlog
pembiayaan hingga 52% (lihat Gambar 3.9). Berdasarkan alokasi anggaran Kementerian
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat dapat juga di rinci per unit organisasi (linat Tabel 3.6).
Dengan asumsi kondisi kebijakan anggaran, kebijakan pemograman yang sama, tingkat inflasi
4% maka pembiayaan infrastruktur PUPR dapat prediksi dengan menggunakan regresi sederhana
dengan tren perkembangan eksponensial, linier, serta logaritmik sehingga prediksi alokasi
anggaran Unor PUPR hingga tahun 2024 dapat digambarkan (lihat Tabel 3.7). Sedangkan bila
mengacu pada 1 % dari PDB maka invesasi infrastruktur lebih tinggi yaitu 14,87 (milyar USD)
atau 193.317,83 (milyar Rp) (lihat tabel 3-11).
Dengan asumsi kebijakan penganggaran, kebijakan pemograman yang sama, maka backlog
pembiayaan infrastruktur masih terjadi, maka dari itu pertimbangan konsep struktur pembiayaan
pada proyek pembangunan infrastruktur perlu memperhatikan komponen investasi yang baik
dalam pelaksanaannya seperti yang terlihat pada gambar dibawah.
Namun mengingat bahwa proyek infrastruktur memiliki karakteristik dan keunikan dibandingkan
dengan proyek lainnya. Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam struktur pembiayaan
adalah analisis permasalahan yang mungkin timbul, probabilitas kebangkrutan yang dapat terjadi
selama proses pembangunan infrastruktur. Pemerintah melalui PIP sebagai lembaga investasi
pemerintah yang mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat menstimulasi
pertumbuhan ekonomi melalui investasi di berbagai sektor strategis yang memberikan imbal hasil
optimal dengan resiko yang terukur. Setidaknya terdapat Empat lembaga pembiyaan infrastruktur
dengan ruang lingkup pekerjaan yang berbeda antaralain Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT.
Sarana Multi Infrastruktur (Persero), PT Indonesia Infrastruktur Finance (IIF), dan PT. Penjamin
Infrastruktur Indonesia (PII). Secara ringkas, gambaran tentang keempat lembaga ini dapat
dilihat pada Gambar berikut.
Lembaga pembiayaan pembangunan mempunyai ruang lingkup kegiatan usaha pokok yang
meliputi sebagai berikut:
Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, dan atau pemberian pinjaman
subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur.
Peran private investor tidak hanya meliputi penyediaan dana untuk kebutuhan pembiayaan
proyek pembangunan infrastruktur, namun juga meliputi peran dalam menjamin bahwa proyek
berjalan dengan efisien. Jika kontrak dirancang dengan baik, maka private investors memiliki
dorongan untuk mengawasi bahwa proyek pembangunan dijalankan dan dikelola dengan baik.
Hal ini disebabkan karena untuk memastikan keamanan atas dana yang mereka investasikan
untuk pembiayaan proyek infrastruktur dan mampu menghasilkan expected return yang sesuai.
Tantangan bagi perusahaan pelaksana proyek dan sektor public untuk mendesain kontrak yang
menyediakan informasi mengenai distribusi pembagian risiko dan pendapatan dengan cara yang
dapat meningkatkan insentif private investors untuk menginvestasikan dananya pada proyek
pembangunan infrastruktur.
Peran pemerintah dalam proyek pembangunan infrastruktur juga tidak kalah penting, yaitu
menyediakan kondisi yang mendukung investasi dengan cara menyusun kerangka kerja atas
1. Masih kurangnya informasi mengenai proyek baik dari sisi detil teknis maupun informasi
keuangan serta analisis terhadap berbagai macam risiko dan jaminan pemerintah untuk
pengelolaan risiko tersebut.
2. Masih sulitnya penerapan peraturan terkait dengan KPS oleh para Penanggung Jawab
Proyek Kerja Sama (PJPK).
5. Masih kurang memadainya pendanaan PT SMI dan anak perusahaannya PT IIF serta PT
PPI masing‐masing sebagai instrumen pembiayaan dan penjaminan pembangunan
infrastruktur melalui skema KPS.
6. Belum adanya mekanisme pemberian insentif bagi Penanggung Jawab Proyek Kerja (PJPK)
dalam melaksanakan KPS.
1. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen/tahun dalam periode 2016 – 2025
untuk penguatan struktur ekonomike arah yang lebih produktif (Bappenas, 2017).
3. Terdapat financial gap sebesar Rp 4.000 trilliun untuk merealisasikan, untuk itu sumber
pendanaan lain guna melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. maka
dari itu pertimbangan konsep struktur pembiayaan pada proyek pembangunan
infrastruktur perlu memperhatikan komponen investasi yang baik dalam pelaksanaannya
dengan komposisi Pemerintah 35%, KPBU 25%, BUMN 25%, dan Swasta murni 15%.