Anda di halaman 1dari 44

BAB - 3 LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KERANGKA EKONOMI MAKRO

LINGKUNGAN STRATEGIS
DAN KERANGKA
EKONOMI MAKRO
3
3.1 Lingkungan Strategis
3.1.1 Kerja Sama Pembangunan
Dalam RPJMN 2015-2019, terdapat sasaran utama bidang politik luar negeri yang harus dicapai
Indonesia melalui kerja sama pembangunan internasional. Sasaran utama dalam kerja sama
pembangunan internasional dilandasi oleh kepentingan nasional.

Tiga kerja sama yang menjadi sorotan penting di dalam RPJMN 2015- 2019 adalah kerja sama
G20, kerja sama yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan hijau ( green growth) dimana
Indonesia terlibat dalam Global Green Growth Institute (GGGI) dan Selatan-Selatan dan
Triangular (KSST). Keseluruhan kerja sama internasional yang dijalankan Indonesia diharapkan
dapat menunjang pembangunan nasional yang selaras dan mendukung arah kepentingan
nasional.

1. G20 Development Working Group (DWG G20)

Milestone kegiatan G20 dimulai pada bulan Juni 2010 di Summit Toronto. Pemimpin G20
membentuk Kelompok Kerja Pembangunan G20 (DWG) dengan tujuan melaksanakan agenda
pembangunan. Pendekatan G20 untuk pembangunan ditandai dengan fokus pada kerjasama
ekonomi internasional. Tujuh isu utama diidentifikasi sebagai kunci menyelesaikan permasalahan
dalam mencapai pertumbuhan yang kuat, inklusif dan berkelanjutan di negara-negara
berkembang, yaitu (i) isu keuangan ; (ii) isu perdagangan ; (iii) isu investasi infrastruktur ; (iv)

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 1


isu energi ; (v) isu ketenagakerjaan ; (vi) isu pemberantasan korupsi ; (vii) isu pembangunan
(disparitas antara negara maju dan berkembang).

Beberapa langkah yang ditempuh oleh Indonesia terkait hal tersebut antara lain adalah
mendorong investasi dan infrastruktur, terutama melalui investasi sektor swasta; memperkuat
perdangangan internasional dan mendorong domestic actions/reforms untuk terlibat dalam
Global Value Chains; menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan kerja sama dengan sektor
swasta; memperkuat pembangunan melalui pengembangan investasi di bidang infrastruktur,
mobilisasi sumber daya domestik, dan inklusi finansial; serta mengupayakan reformasi struktural
dan kebijakan makro. Dari kebijakan-kebijakan tersebut setidaknya terdapat dua kebijakan
dimana Kementerian PUPR berkontribusi dalam implementasinya, yaitu Ketahanan pangan dan
nutrisi, dan Infrastruktur.

Untuk ketahanan pangan dan nutrisi, sesuai RJPMN Indonesia, salah satu fokus diplomasi
ekonomi Indonesia dalam forum bilateral, multilateral, regional dan global adalah terkait dengan
strategi pelaksanaan kontribusi Indonesia dalam terbentuknya norma/rezim internasional yang
mengatur perdagangan dan pembangunan, energi dan food security sebagai public goods. Fokus
diplomasi ekonomi Indonesia dalam hal ketahanan pangan tersebut selaras dengan salah satu isu
G20 yang dibahas melalui development working group (DWG) on food security and nutrition.

Sedangkan dalam kaitannya dengan infrastruktur, DWG fokus pada pengembangan 3 bidang
utama, yaitu: (i) Strengthening the 35 upstream environment for infrastructure project
preparation; (ii) Maximising the effectiveness of project preparation facilities (PPFs); (iii)
Promoting better understanding of risk and return in infrastructure investment in LICs (Bappenas,
2015). Beberapa agenda terkait dengan pilar DWG infrastruktur, meliputi:

 Strengthening the Upstream Environment for Infrastructure Project Preparation OECD dan
World Bank Group (WBG) telah menyampaikan laporan tentang indikator kebijakan yang
dapat mendukung upaya negara-negara berkembang dalam merancang kerangka kebijakan
untuk memobilisasi investasi di bidang infrastruktur, bersama dengan laporan awal terkait
pemahaman resiko dan tingkat pengembalian investasi infrastruktur di low-income countries
(LICs). Mengingat hubungan yang erat antara policy framework untuk investasi, kapasitas
pemerintah untuk merancang dan mengelola proyek-proyek infrastruktur dan persepsi
investor, maka indikator mempunyai manfaat untuk meningkatkan pemahaman dan
mengatasi resiko dan tingkat pengembalian investasi infrastruktur.

 Maximising the Effectiveness of Project Preparation Facilities (PPFs) ; Dalam hal country-
specific sector diagnostics, Inter-American Development Bank (IADB) dengan masukan dari
berbagai Multilateral Development Banks (MDBs) telah menyiapkan suatu kajian tentang

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 2


Infrascope Diagnostic Studies yang menguraikan metodologi yang digunakan dalam
Infrascope studies untuk menilai kapasitas negara dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan Public–Private Partnerships (PPP) di sektor transportasi, air, sanitasi
dan listrik secara berkelanjutan. Dalam hal prioritas proyek, dua kajian telah disusun yaitu
sebuah kajian yang dikoordinasikan oleh IADB dengan masukan dari berbagai MDBs, yang
berjudul "Partnering to Build a Better World: MDBs’ Common Approaches to Supporting
Infrastructure Development" yang mengkaji prinsip-prinsip bersama dan pendekatan yang
umum digunakan oleh MDBs untuk mendukung upaya Borrowing Member Countries (BMCs)
untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap infrastruktur yang berkualitas, inklusif,
tangguh dan berkelanjutan. Disamping itu, kajian ini juga menguraikan beberapa upaya yang
dapat dilakukan MDBs untuk lebih meningkatkan koordinasi dan complementarity di tingkat
nasional. Dokumen prioritas kedua, yang telah disusun oleh WBG, adalah suatu kajian yang
menjelaskan upaya WBG dalam pengembangan Infrastructure Prioritization Toolkit. Toolkit ini
dirancang sebagai sebuah sumber tambahan bagi pemerintah, terutama emerging markets
dan developing economies, untuk membantu perencanaan dan prioritas proyek-proyek
infrastruktur, yaitu pemilihan proyek secara sistematis, yang merefleksikan full economic,
financial, environmental and social costs and benefits .

 Promoting Better Understanding of Risk and Return in Infrastructure Investment in LICs;


Prioritas rencana ini ditujukan untuk membangun pemahaman tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi risk perception. Prinsip-prinsip penting di dalamnya adalah sovereign risks,
market related risks, dan specific risks yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur
berdasarkan kajian literatur. Selain itu, telah disajikan pula contoh-contoh praktis tentang
bagaimana upaya mengurangi risiko investasi dalam bidang infrastruktur di LICs, termasuk
proyek-proyek infrastruktur energi yang berkelanjutan, disertai dengan uraian tentang peran
berbagai pelaku seperti public risk capital agencies, development finance institutions dan
institutional investors (Bappenas, 2015).

2. Global Green Growth Institute (GGGI)

Global Green Growth Institute (GGGI) merupakan suatu organisasi internasional yang fokus
terhadap kebutuhan negara berkembang, yaitu meningkatkan pembangunan ekonomi yang
selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup. Visi GGGI adalah terbentuknya dunia yang
tangguh melalui pertumbuhan yang kuat, inklusif dan berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan mengedepankan kemajuan sosial dan misi GGGI untuk melaksanakan
transformasi ekonomi melalui perencanaan pertumbuhan berbasis bukti ( evidence-based) dan
implementasi yang disesuaikan dengan prioritas pembangunan masing-masing negara anggota.

GGGI memfokuskan empat tema atau isu prioritas (GGGI, 2015), yaitu:

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 3


 Energi ; GGGI melihat transformasi di sektor energi sebagai kunci untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, mempertemukan dengan permintaan yang meningkat, penurunan
energi, dan mengatasi resiko iklim di masa yang akan datang. Pendekatan inovatif kepada
model bisnis, sistem keuangan dan peraturan dan kerangka kebijakan diperlukan untuk
menjamin kesempatan dan tantangan pemanfaatan pembangunan hijau.

 Pembangunan kota hijau (green city development) ; GGGI memprioritaskan kerja


sama dengan negara-negara berkembang dan emerging untuk menghindari kepadatan
penduduk dan kota-kota yang tidak efisien, dan mengembangkan kapasitas analisis,
kelembagaan dan finansial menuju perencanaan kota-kota hijau yang tersusun rapat
(compact), terkoneksi dan terkoordinasi.

 Pemanfaatan lahan (land-use) ; GGGI mendorong untuk pembangunan dengan


pendekatan sektor pertanian dan kehutanan yang meningkatkan ketahanan pangan,
penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan, dan introduksi inovasi teknologi untuk
efisiensi dan produktivitas sumberdaya yang lebih baik.

 Air ; Penggunaan sumberdaya air menjadi fokus utama karena berkaitan dengan dampak
sosial dan pentingnya air dalam produksi pertanian, industri dan energi. GGGI berusaha
menangkap isu dampak ketersediaan air dan penggunaannya dengan mendorong inovasi
yang berhubungan dengan pemanfaatan air di industri dan investasi pada infrastruktur hijau
kota, dan melalui integrasi dengan kebijakan pada alokasi air dalam sektor ekonomi.

Berbeda dengan kerja sama G20, kerja sama Global Green Growth Institue (GGGI) tidak secara
eksplisit disebutkan dalam RPJMN 2015-2019. Namun secara jelas RPJMN 2015-2019
menyatakan arah kebijakan dan strategi pembangunan yang mengarah pada pembangunan hijau
(green growth). Pemerintah menetapkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik yaitu: (1)
Peningkatan Kedaulatan Pangan; (2) Peningkatan Ketahanan Air; (3) Peningkatan Kedaulatan
Energi; (4) Melestarikan Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (5)
Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan; (6) Penguatan Sektor Keuangan; dan (7)
Penguatan Kapasitas Fiskal Negara. Dari prioritas sektor ini terlihat bahwa 4 sektor utama
menunjukkan isu-isu penting dalam pembangunan pertumbuhan hijau ( green growth
development). Lebih spesifik, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang secara eksplisit
yang menjelaskan implementasi pembangunan hijau adalah pembangunan kota hijau yang
berketahanan iklim dan bencana dengan: (a) Menata, mengelola, dan memanfaatkan ruang dan
kegiatan perkotaan yang efisien dan berkeadilan serta ramah lingkungan; (b) Meningkatkan
kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan
iklim dan bencana (urban resilience); (c) Menyediakan sarana prasarana yang berorientasi pada
konsep hijau dan berketahanan, antara lain: green openspace (ruang terbuka hijau), green waste

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 4


(pengelolaan sampah dan limbah), green water (efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan air
permukaan), green transportation (transportasi ramah lingkungan), green energy (pemanfaatan
sumber energi yang ramah lingkungan dan terbarukan), serta green economy (pengembangan
ekonomi yang berwawasan lingkungan). Berkaitan dengan arah kebijakan ini, maka kerja sama
GGGI menjadi sangat relevan dalam upaya mengimplementasikan kebijakan pembangunan hijau.
GGGI adalah organisasi internasional yang fokus terhadap kebutuhan negara berkembang
dimana tujuan kerja samanya adalah meningkatkan pembangunan ekonomi yang selaras dengan
keberlangsungan lingkungan hidup. GGGI memiliki visi bahwa pembangunan ekonomi dan
keberlangsungan lingkungan bukanlah dua hal yang bertolak belakang. Konsep ini diyakini dapat
memperkuat pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, menciptakan kesempatan kerja
dan menjaga kelestarian lingkungan.

3. Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan Triangular (KSST)

Terkait KSST, Indonesia baru memiliki peraturan di level undang-undang, seperti UU nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara sebagai rujukan untuk melaksanakan KSST. Namun demikian, untuk
memenuhi arah kerangka regulasi sesuai cita-cita penguatan KSST, diperlukan penyusunan
Peraturan Pemerintah yang merinci ketentuan tentang pemberian hibah oleh Pemerintah
Indonesia kepada pihak asing. Kerangka hukum yang jelas sangat diperlukan bagi
penyelenggaraan peran Indonesia bukan hanya sebagai penerima (pinjaman dan hibah luar
negeri) tetapi juga sebagai penyedia/pemberi ( provider) kepada sesama negara berkembang. Di
samping itu, akuntabilitas pelaksanaan program/kegiatan/anggaran KSST akan meningkatkan
efektivitas hasil yang dicapai dan efisiensi penggunaan sumber daya anggaran. Tujuan kerangka
regulasi tersebut antara lain adalah untuk menyediakan basis legal bagi pelaksanaan anggaran
program/kegiatan KSST Indonesia, memberikan arahan kebijakan yang lebih fokus dan koridor
mekanisme pembiayaan yang jelas dan akuntable dalam bagi Indonesia dalam melaksanakan
kerja sama internasional, khususnya Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular.

Kerja sama pembangunan internasional dengan skema Kerja Sama Pembangunan Selatan-
Selatan Triangular (KSST) yang secara aktif dilaksanakan oleh Indonesia dalam
perkembangannya per tahun 2015 telah mencapai 59 program dengan cost sharing 98 persen
berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan 2 persen dana luar negeri
merupakan salah satu strategi Indonesia dalam meningkatkan kontribusi dan recognition
Indonesia dalam tataran kerja sama internasional yang dilakukan. Dalam tataran operasional,
Bappenas (2011) menyatakan bahwa salah satu kendala utama yang dihadapi oleh skema KSST
meliputi: “Strategi dan kebijakan KSS Indonesia cenderung masih bersifat ad hoc, terfragmentasi
(fragmented points of delivery) baik dalam penganggaran, perencanaan, koordinasi, maupun

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 5


monitoring dan evaluasi serta masih kurang selaras dengan RPJPN dan RPJMN Indonesia”. Lebih
lanjut, berdasarkan rekapitulasi data yang dilakukan oleh Bappenas (2015), mayoritas klasifikasi
program yang dilakukan berupa program capacity building yang secara umum terdiri atas
aktivitas pendidikan dan pelatihan, workshop, program beasiswa, dan expert dialogue. Adapun
status kegiatan kerja sama KSST diajukan dan dikelola oleh beberapa Kementerian teknis dan
Lembaga seperti Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Negara, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerin Kelautan
dan Perikanan, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Pertanian, BKKBN, Badan Pusat Statistik, serta POLRI.

Selain tiga kerjasama internasional seperti yang telah disebutkan, Indonesia juga memiliki
kerjasama pembangunan skala regional, yaitu :

1. Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT)

Kerja sama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) berdiri pada Pertemuan


Tingkat Menteri (PTM) ke-1 di Langkawi, Malaysia, pada 20 Juli 1993. IMT-GT ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan
negara-negara IMT-GT. Melalui kerja sama IMT-GT, sektor swasta terus didorong menjadi
“engine of growth ”. Untuk tujuan tersebut telah dibentuk suatu wadah bagi para pengusaha di
kawasan IMT-GT yang disebut Joint Business Council (JBC). JBC secara aktif  ikut dilibatkan
dalam rangkaian SOM/MM IMT-GT setiap tahunnya. Wilayah Indonesia yang menjadi bagian dari
kerja sama IMT-GT adalah provinsi-provinsi Aceh, Bangka-Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung,
Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Barat

2. Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area


(BIMP-EAGA)

Kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-


EAGA) dibentuk secara resmi pada Pertemuan Tingkat Menteri  (PTM) ke-1 di Davao City, Filipina
pada tanggal 26 Maret 1994. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Para
pelaku usaha diharapkan menjadi motor penggerak kerja sama dimaksud sedangkan pemerintah
bertindak sebagai regulator dan fasilitator.Wilayah Indonesia yang menjadi anggota BIMP-EAGA
adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo,
Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Salah satu isu yang menonjol dalam kerja sama ekonomi sub-regional termasuk BIMP-EAGA
adalah sub-regional connectivity. Dalam hal ini, sub-regional connectivity diharapkan mendukung

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 6


terwujudnya regional connectivity di wilayah ASEAN sebagaimana yang termaktub dalam ASEAN
Master Plan on Connectivity. BIMP-EAGA memandang penting konektivitas sebagai salah satu
instrumen kunci dalam mewujudkan visi BIMP-EAGA sebagai salah satu lumbung pangan dan
pusat pariwisata alam di ASEAN dan wilayah lain di Asia. Selain konektivitas dan pariwisata alam,
fokus bidang kerja sama BIMP-EAGA adalah ketahanan pangan.

3. Coral Triangle Initiative (CTI)

Coral Triangle Initiative (CTI) merupakan tindak lanjut dari gagasan Presiden Susilo Bambag
Yudhoyono yang disampaikan di sela-sela Convention on Biological Diversity (CBD) ke-8 di Brazil
pada 2006 didasari kenyataan bahwa perairan Indonesia dan kawasan di sekitarnya merupakan
habitat bagi highest level of coral diversity (setidaknya terdapat 5000 lebih jenis coral), sehingga
dengan sendirinya memiliki kekayaan sumber daya hayati yang besar. CTI dikembangkan untuk
membentuk mekanisme kerjasama antar negara-negara yang memiliki tujuan dan pandangan
yang sama mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan mempertahankan kesinambungan SDA
laut di kawasan Coral Triangle yang mencakup 6 negara: Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor
Timur, PNG, dan Kepulauan Solomon. Berikut adalah 5 overarching goals dari CTI :

 Designate and manage seascapes/large-scale geographies that are prioritised for investments
and action, where best practices are demonstrated and expanded

 Apply an ecosystem approach to manegement of fisheries and other marine resources

 Establish and to manage Marine Protected Areas (MPAs), including ccommunity-base


resource utilization and management

 Achieve climate change adaptation measures for marine and coastal resources

 Improve the status of threatened species.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 7


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 8


Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 9
Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

3.1.2 Kondisi Infrastruktur Nasional


Daya saing suatu negara merupakan sebuah bahan kajian yang menarik, baik dari aspek
ekonomi, politik, sosial maupun teknologi. Daya saing sebuah negara dianggap sebagai salah
satu sumber dari ketahanan suatu negara dalam menghadapi tantangan dalam membangun
peradaban bangsa. Sebab peradaban hanya dapat dibangun melalui kekuatan ekonomi, politik,
dan budaya yang unggul. Dengan daya saing tinggi, negara dapat menjaga pertumbuhan
ekonominya dan mulai membangun kehidupan negara yang teratur dan saat itu pembangunan
peradaban dimulai. Pembangunan peradaban tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan
eknomi. Dan kekuatan ekonomi tidak dapat ditegakkan tanpa adanya daya saing. Dengan
demikian, daya saing menjadi sangat penting selain untuk keberlanjutan perekonomian dan
peradaban suatu bangsa.

Terdapat banyak determinan pendorong produktivitas, yang oleh WEF dikelompokkan kedalam
12 pilar daya saing, yaitu: (1) institusi, (2) infrastruktur, (3) makroekonomi, (4) kesehatan dan
pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar kerja, (8)
pasar keuangan, (9) kesiapan teknologi, (10) besaran pasar, (11) kecanggihan bisnis, dan (12)
inovasi. Selanjutnya ke 12 pilar tersebut dikelompokkan kedalam 3 kelompok pilar, yaitu
kelompok persyaratan dasar, kelompok penopang efisiensi, dan kelompok inovasi dan
kecanggihan bisnis.

Dari laporan-laporan World Economic Forum terdahulu tercatat, Pada tahun 2011, diantara
negara-negara ASEAN, setelah Singapura, Malaysia menempati posisi teratas (peringkat ke 21),
disusul oleh Thailand (39). Dilihat pada tabel dibawah. Vietnam dan Filipina berada di belakang
Indonesia, pada peringkat ke 65 dan 75 bertururt-turut. Cukup mengejutkan adalah Filipina, yang
naik 10 tingkat dari peringkat ke 85 tahun lalu. Kinerja daya-saing Indonesia lebih buruk daripada
Thailand, yang hanya turun satu tingkat, kendati Thailand mengalami gejolak politik cukup lama.
Malaysia mengalami kenaikan peringkat yang sangat besar (5 tingkat), melampaui posisi Korea
Selatan (24). Indeks daya saing global Indonesia sempat berada di peringkat 54 pada tahun
2009, lalu naik ke peringkat 44 pada tahun 2010. Peringkat Indonesia cenderung meningingkat
hingga tahun 2014 yaitu pada peringkat 34, dan cenderung menurun pada tahun 2015 dan tahun
2016 pada peringkat 41 dengan skor 4,52.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 10


GAMBAR 3-1 STRUKTUR FAKTOR DAYA SAING GLOBAL (WEF, 2016)

TABEL 3-1 PERINGKAT DAYA SAING BEBERAPA NEGARA ASEAN 2010-2016

2012-
2011-2012 2013-2014 2014-2015 2015-2016 2016-2017 2017-2018
2013
Negara
Ran Ran Sk Ran Ran Ran Ran Ran
Skor Skor Skor Skor Skor Skor
k k or k k k k k
5,6 3 5,71
Singapura 2 5,63 2 2 5,61 2 5,65 2 5,68 2 5,72
7
5,0 23 5,17
Malaysia 21 5,08 25 24 5,03 20 5,16 18 5,23 25 5,16
6
4,5 32 4,72
Thailand 39 4,52 38 37 4,54 31 4,66 32 4,64 34 4,64
2
Indones 4,3 4, 4,5 4,5 4,5 4,5 36 4,6
46 50 38 34 37 41
ia 8 4 3 7 2 2 8
4,1 55 4,36
Vietnam 65 4,24 75 70 4,18 68 4,23 56 4,3 60 4,31
1
4,2 56 4,35
Philippines 75 4,08 65 59 4,29 52 4,4 47 4,39 57 4,36
3
Sumber: WEF (2010-2017), diolah

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 11


Pada tahun 2017, menurut laporan WEF peringkat daya saing dunia dalam urutan 10 teratas
tetap didominasi oleh negara-negara Eropa. Pada tahun 2017, Indonesia berada pada urutan 36,
naik 5 tingkat pada tahun 2016.

GAMBAR 3-2 PROFIL INDONESIA DALAM THE GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX

Sumber : Global Competitiveness Index 2016-2017

Berdasarkan pada data-data peringkat daya-saing antara tahun 2010 hingga 2017. Di antara 3
kelompok pilar daya-saing, yaitu Kelompok Persyaratan Dasar, Kelompok Penopang Efisiensi, dan
Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis, ketiga Kelompok Persyaratan Dasar mengalami
kenaikan peringkat, yaitu naik 6 tingkat. Namun yang paling signifikan peningkatannya yaitu
Kelompok Penopang efisiensi hingga 8 tingkat dan peningkatan skor 0,1 point, sedangkan

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 12


Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis mengalami peningkatan paling rendah yaitu 1 tingkat
dan peningkatan skor 0,1 point. Lebih rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

TABEL 3-2 PERUBAHAN PERINGKAT DAYA SAING INDONESIA MENURUT PILAR 2011-2016
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

N Kelompok
Ranking

Ranking

Ranking
Ranking

Ranking

Ranking

Ranking
Score

Score

Score

Score

Score

Score

Score
o Indikator

Kebutuhan dasar 53 4,7 58 4,7 45 4,9 46 4,9 49 4,8 52 4,8 46 5,0


1 Institusi 71 3,8 72 3,9 67 4 53 4,1 55 4,1 56 4,1 47 4,3
2 Infrastruktur 76 3,8 78 3,7 61 4,2 56 4,4 62 4,2 60 4,2 52 4,5
Kualitas 68 4,1
  82 3,9 92 3,7 82 4 72 4,2 81 3,8 80 3,8
infrastruktur
  Kualitas jalan 83 3,5 90 3,4 78 3,7 72 3,9 80 3,7 75 3,9 64 4,1
Kualitas jaringan 30 4,2
  52 3,1 51 3,2 44 3,5 41 3,7 43 3,6 39 3,8
kereta api
Kualitas 10 72 4,0
  3,6 104 3,6 89 3,9 77 4 82 3,8 75 3,9
pelabuhan 3
Kualitas Bandar 51 4,8
  80 4,4 89 4,2 68 4,5 64 4,5 66 4,4 62 4,5
udara
Ketersediaan 14 3.2999,
1.682,4
  penerbangan 20 20 1.794,90 15 2.435 14 2.622,90 15 2.841,60 14 3.228,40 0
0
(juta/minggu)
Kualitas supply 86 4,4
  98 3,7 93 3,9 89 43 84 4,3 86 4,1 89 4,2
listrik
Langganan 18 149,1
  telepon cellular 79 15,7 90 97,7 62 115,2 54 121,5 49 126,2 38 132,3
(per 100 jiwa)
Telepon 10 4,0
  rumah/kantor 82 91,7 78 15,9 82 15,5 71 16,1 80 11,7 86 8,8 4
(per 100 jiwa)
3 Makroekonomi 23 5,7 25 5,7 26 5,8 34 5,5 33 5,5 30 5,5 26 5,7
Kesehatan dan 94 5.4
4 64 5,7 70 5,7 72 5,7 74 5,7 80 5,6 100 5,3
pendidikan dasar
Penopang efisiensi 56 4,2 58 4,2 52 4,3 46 4,4 46 4,3 49 4,4 41 4.5
5 Pendidikan tinggi 69 4,2 73 4,2 64 4,3 61 4,5 65 4,5 63 4,5 64 4,5
Efisiensi pasar 43 4,6
6 67 4,2 63 4,3 50 4,4 48 4,5 55 4,4 58 4,4
barang
Efisiensi pasar 96 3,9
7 94 4,1 120 3,9 103 4 110 3,8 115 3,7 108 3,8
kerja
8 Pasar keuangan 69 4,1 70 4,1 60 4,2 42 4,5 49 4,2 42 4,3 37 4,5
Kesiapan 80 3,9
9 94 3,3 85 3,6 75 3,7 77 3,6 85 3,5 91 3,5
teknologi
10 Besaran pasar 15 5,2 16 5,3 15 5,3 15 5,3 10 5,7 10 5,7 9 5,7
Inovasi dan faktor 31 4,3
41 3,9 40 4 33 4,1 30 4,2 33 4,1 32 4,2
kecanggihan
Kecanggihan 32 4,6
11 45 4,2 42 4,3 37 4,4 34 4,5 36 4,3 39 4,3
bisnis
12 Inovasi 36 3,6 39 3,6 33 3,8 31 3,9 30 3,9 31 4 31 4,0
Sumber: WEF (2011 dan 2016), diolah

Berdasarkan tren skor daya saing Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan tahun 201 7 terlihat
fluktuatif dan perubahannya tidak begitu signifikan. Berdasakan asumsi kondisi yang sama, maka
dapat diprediksi indeks daya saing infrastruktur hingga 2024. Terlihat kondisi infrastruktur
memiliki skor “sedang” yang berdampak pada daya saing Indonesia yang rendah juga. Sehingga

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 13


perlu ada kebijakan poliltik dan anggaran yang dapat memberikan pembaharuan terhadap tingkat
efisiensi Infrastruktur pada periode akhir RPJMN. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

TABEL 3-3 PREDIKSI INDEKS DAYA SAING INFRASTRUKTUR INDONESIA TAHUN 2018-2024
N Kelompok
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
o Indikator
1 Kualitas infrastruktur 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9
2 Kualitas jalan 4,1 4,2 4,3 4,3 4,4 4,5 4,6
3 Kualitasjaringan kereta api 4,1 4,3 4,4 4,5 4,7 4,8 5,0
4 Kualitas pelabuhan 4,1 4,1 4,2 4,3 4,3 4,4 4,5
5 Kualitas Bandar udara 4,6 4,6 4,6 4,7 4,7 4,7 4,7
Ketersediaan penerbangan 3.855, 4.171, 4.487, 4.803, 5.119, 5.435, 5.751,
6
(juta/minggu) 9 9 8 7 7 6 6
7 Kualitas supply listrik 6,5 6,5 6,6 6,6 6,7 6,7 6,7
Langganan telepon cellular
8 247,9 282,2 316,7 351,7 386,9 422,5 458,3
(per 100 jiwa)
Teleponrumah/ kantor (per
9 6,0 5,3 4,7 4,2 3,8 3,5 3,2
100 jiwa)
Sumber : Hasil Analisis Tim, 2017

Beberapa faktor umum yang menghambat peningkatan daya-saing dari tahun 2010 sampai
dengan tahun 2017 ditunjukkan dalam Tabel dibawah. Teridentifikasi lima masalah utama
penghambat daya-saing bisnis adalah korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien,
infrastruktur yang tidak memadai, ketidakstabilan politik dan akses pada pembiayaan. Ke tiga
masalah pertama selalu muncul dalam daftar penghambat terbesar daya-saing Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir. Pilar korupsi dipersepsi semakin memburuk dan menempati urutan
teratas dalam tingkat intensitas masalah.
Masalah Utama Penghambat Daya-Saing
2010-2011 2016-2017
1) Korupsi 1) Korupsi
2) Birokrasi pemerintah yang tidak efisien 2) Birokrasi pemerintah yang tidak efisien
3) Infrastruktur yang tidak memadai 3) Infrastruktur yang tidak memadai
4) Ketidakstabilan politik 4) Akses pada pembiayaan
5) Akses pada pembiayaan 5) Inflasi

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 14


TABEL 3-4 FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAYA SAING TAHUN 2011-2016
Intensitas Masalah
No. Faktor Penghambat
2011 2016
1 Korupsi 15,4 11,8
Birokrasi pemerintah yang
2 14,3 9,3
tidak efisien
Infrastruktur yang tidak
3 9,5 9,0
memadai
4 Ketidakstabilan politik 7,4 6,5
5 Akses pada pembiayaan 7,2 8,6
Tenaga kerja terdidik yang
6 6,3 5,6
memadai
7 Etika kerja yang buruk 6,2 6,3
8 Ketidakstabilan pemerintah 6,1 4,1
9 Inflasi 6,1 7,6
10 Peraturan pajak 6,0 4,8
11 Tingkat pajak 4,2 6,1
Peraturan buruh yang
12 3,6 3,7
membatasi
13 Kriminalitas dan pencurian 2,7 4,0
14 Kesehatan umum yang buruk 2,5 4,0
15 Peraturan mata uang asing 2,3 4,6
Sumber: WEF (2011 dan 2017), diolah

Lebih lanjut terkait daya saing Provinsi Indonesia memiliki 33 provinsi yang masing-masing
memiliki potensi dan keunggulan ekonomi, Giap dan Amri (2016)1 Tujuannya adalah memberikan
gambaran umum dan informasi dalam kemudahan melakukan bisnis di 33 provinsi di Indonesia,
serta melihat tantangan regional dan solusinya bagi daya saing Indonesia. Dalam mengukur daya
saing regional Indonesia, LKY menggunakan 4 lingkungan utama, dan 12 sub lingkungan serta
103 indikator. Keempat lingkungan utama tersebut adalah : (1) Kestabilan Makroekonomi, (2)
Pemerintah dan pengaturan Kelembagaan, (3) Kondisi Tenaga Kerja, Keuangan dan Usaha, dan
(4) Pengembangan Infrastruktur dan Kualitas.

1
Tan Khee Giap and Mulya Amri (2016), Asean Competitiveness Institute (ACI). Lee KUan Yew School of Public Policy. Singapore

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 15


TABEL 3-5 PERINGKAT DAYA SAING PROVINSI INDONESIA TAHUN 2015-2016
Peringkat Peringkat
Kategor
201 201 Provinsi Skor 201 201 Provinsi Skor Kategori
i
5 6 5 6
Sangat (0,28
1 1 DKI Jakarta 3,20 19 17 Kalbar Sedang
tinggi )
(0,31
2 2 Jawa Timur 2,08 Tinggi 25 18 Lampung Sedang
)
(0,34
5 3 Jawa Tengah 1,46 Tinggi 26 19 NTB Sedang
)
Bangka (0,43
4 4 Jawa Barat 1,33 Tinggi 30 20 Rendah
Belitung )
(0,45
3 5 Kaltim & Kaltara 1,00 Sedang 27 21 Gorontalo Rendah
)
(0,45
10 6 Sulawesi Selatan 1,00 Sedang 17 22 Sumsel Rendah
)
(0,49
12 7 Bali 0,67 Sedang 22 23 Sumbar Rendah
)
Kalimantan (0,56
8 8 0,65 Sedang 15 24 Sumut Rendah
Selatan )
(0,65
11 9 Sulawesi Utara 0,55 Sedang 23 25 Bengkulu Sangat rendah
)
(0,69
6 10 DI Yogyakarta 0,40 Sedang 24 26 Aceh Sangat rendah
)
(0,73
9 11 Banten 0,26 Sedang 28 27 Papua Barat Sangat rendah
)
(0,77
7 12 Kepulauan Riau 0,09 Sedang 27 28 Jambi Sangat rendah
)
Kalimantan (0,002 (0,85
13 13 Sedang 29 29 Maluku Sangat rendah
Tengah ) )
Sulawesi (0,99
20 14 Sulawesi Tengah (0,08) Sedang 18 30 Sangat rendah
Barat )
Maluku (1,31
16 15 Riau (0,18) Sedang 31 31 Sangat rendah
Utara )
(1,39
32 32 NTT Sangat rendah
Sulawesi )
21 16 (0,20) Sedang
Tenggara (1,52
33 33 Papua Sangat rendah
)
Sumber : Lee KY (2016), olah

Kategori :
Sangat Tinggi > 2,27
Tinggi 1,32 - 2,26
Sedang (0,38) - 1,31
Rendah (0,59) - (0,37)
Sangat Rendah < (0,58)

Dari tabel diatas, kita melihat bahwa skor berkisar dari maksimum 1,7576 sampai minimum
0,6014. Provinsi dengan skor maksimal adalah DKI Jakarta, yang berada di peringkat teratas.
Provinsi dengan nilai minimal adalah Nusa Tenggara Timur, peringkat 33. Melihat lebih dekat

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 16


kisaran tersebut, bagaimanapun, menemukan bahwa 32 dari 33 provinsi jatuh di bawah kisaran
positif 0,6 sampai negatif 0,6. DKI Jakarta di tempat pertama bisa dianggap outlier karena
skornya berbeda secara signifikan (jauh lebih kompetitif) dari provinsi lain. Bisa juga dikatakan
skor Jakarta memegang peranan penting dalam mempengaruhi skor rata-rata. Diluar DKI
Jakarta, penyebaran skor kemudian menjadi lebih simetris, dari 0.6644 (Jawa Timur) menjadi
0,6014 (Papua). Dalam hal ini, mediannya adalah yang menempati posisi ke-16 yaitu Provinsi
Sulawesi Tenggara dan yang menduduki posisi ke-17 adalah Provinsi Kalimantan Barat.

Jika dicermati, dapat dilihat bahwa ada beberapa "lompatan" dalam nilai standar di beberapa
posisi. Misalnya, ada kesenjangan yang cukup besar antara posisi kedua (Jawa Timur, skor: 2,08)
dan posisi ketiga (Jawa Tengah, skor: 1,46). Terjadi juga kesenjangan antara yang menduduki
posisi 32 (NTT, skor: 1,39) dan menempati posisi ke-33 (Papua, skor: 1,52). Kesenjangan dalam
nilai standar ini penting untuk diperhatikan karena lokasi antar provinsi yang berbatasan, namun
sebenarnya daya saingnya seperti yang ditunjukkan dengan skor cukup berjauhan meskipun
peringkatnya hanya terpaut satu level.

Dapat dilihat ada konsentrasi geografis yang tinggi dari daya saing tinggi dan daya saing rendah
antar provinsi. Provinsi yang termasuk kategori kompetitif seluruhnya merupakan provinsi yang
berada di Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten dan Provinsi DI Yogyakarta. Provinsi yang cukup
kompetitif adalah Bali (posisi ketujuh, terletak persis di sebelah Jawa), Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Banten, dan Kepulauan Riau (posisi 12, kemungkinan karena
imbas dari posisi georgrafis dimana terletak sangat dekat dengan Singapura dan semenanjung
Malaysia. Sembilan provinsi dengan daya saing terendah didominasi provinsi bagian timur
Indonesia yaitu Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Tiga
provinsi dengan daya saing terendah lainnya berada di Pulau Sumatera, yaitu Provinsi Bengkulu,
NAD, dan Jambi, serta satu terletak di Sulawesi (Sulawesi Barat). Dengan demikian dapat
disimpulkan :

 Provinsi di Pulau Jawa umumnya sangat kompetitif ;

 Provinsi di Indonesia bagian timur (kecuali Sulawesi) paling rendah kompetitifnya ;

 Provinsi di Sumatera menunjukkan kinerja yang beragam, namun secara umum termasuk
kategori sedang, rendah, dan sangat rendah daya saing infrastrukturnya ;

 Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi pada umumnya berkinerja rata-rata.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 17


GAMBAR 3-3 PETA DAYA SAING PROVINSI TAHUN 2016

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 18


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

Seperti yang telah dibahas pada awal, komposisi penilaian Global Competitiveness Index terdiri
dari Kebutuhan Dasar (40,0%), Penopang Efisiensi (50,0%), Inovasi dan Faktor Kecanggihan
(10,0%). Adapun Infrastruktur menjadi salahsatu pilar dari komponen Kebutuhan Dasar dengan
komposisi 10,0% saja. Tetapi bila dilihat pada Tabel 3.4, faktor Infrastruktur Yang Tidak
Memadai termasuk dalam lima pilar besar dalam menghambat daya saing. Maka dari itu, untuk
meingkatkan daya saing perlu ada terobosan sehingga target yang ditetapkan dalam rencana
jangka menengah yang dapat tercapai dengan baik. Berikut tabel terkait perbandingan Target
RPJM dan Indikator Dayasaing Infrastruktur.
TABEL 3-6 ANALISA PERBANDINGAN TARGET RPJMN DENGAN DAYA SAING
INFRASTRUKTUR
Indikator Daya
Skor Indikator Infrastruktur Capaian Perbandingan kesesuaian
Saing
2016 RPJMN 2015-2019 2017 indikator & respon capaian target
Infrastruktur WEF
Kualitas 3,8 Tidak ditemukan indicator
infrastruktur* padanan
Kualitas jalan* 3,9 a) Kondisi mantap jalan nasional a) 89,38% (2016) Pencapaian dari 4 indikator jalan,
=98% b) 47.017 km atau terdapat 3 indikator yang telah
b) Pengembangan jalan nasional 100% terpenuhi. Namun masih menjadi
= 45.592 km c) 1.845 km atau tantangan jaringan jalan dengan
c) Pembangunan jalan baru 100% status non-nasional (provinsi dan
(kumulatif 5 tahun)=2.650 km kabupaten) yang menjadi
d) 212.4 km atau
d) Pengembangan jalan tol backbone aliran logistik.
100%
(baseline 807 km) = 1.000 km
Kualitas jaringan 3,8 Pengembangan jalur kereta api = 199,59 km Indikator yang tercantum dalam
kereta api* 8.692 km (Kemenhub, 2016) RPJMN hanya pengembangan
jalur KAI, capaian 2016 yaitu
hanya 2,29%.
Kualitas 3,9 Dwelling Time Pelabuhan = 3-4 Dwelling Time Target Dwelling Time di Pelindo
pelabuhan* hari PT.Pelindo II II sudah tercapai. Namun, bila
(Persero) 3,9 hari melihat Singapura 1,5 hari dan
(Kompas.com - Malaysia 2 hari.
23/03/2017)
Kualitas Bandar 4,5 a) Jumlah bandara = 252
udara* b) On-time Performance
penerbangan=95%
Ketersediaan 3.228,40 Tidak ditemukan indicator
penerbangan** padanan
(juta/minggu)
Kualitas supply 4,2 Rasio elektrifikasi = 96,6% Rasio Elektrifikasi Berdasarkan data ESDM target
listrik* Nasional 92,80% elektifikasi 96,6% dapat
(ESDM, Juni 2017) terlampaui. Namun, melihat
intensifikasi pengembangan KI,
KEK, dll. Peningkatan kapasitas
masih menjadi tantangan.
Langganan 132,3 Kab/Kota yang dijangkau
telepon cellular Broadband = 100%
(per 100 jiwa)***
Telepon 8,8 Tidak ditemukan indicator
rumah/kantor (per padanan
100 jiwa) ***
Keterangan :
*) 1 = extremely underdeveloped—among the worst in the world; 7 = extensive and efficient—among the best in the
world.
**) Monthly average for 2016
***) Number of mobile-cellular telephone subscriptions and fixed-telephone lines per 100 population

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 19


3.1.3 Bonus Demografi

Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga statistik pemerintah, hanya melakukan penelitian
menyeluruh pada struktur populasi Indonesia sekali setiap dekade. Menurut studi terakhir (dirilis
pada tahun 2010), Indonesia memiliki jumlah penduduk 237.6 juta orang. Namun, menurut
perkiraan-perkiraan belakangan ini (dari berbagai lembaga) Indonesia diperkirakan memiliki lebih
dari 260 juta penduduk pada tahun 2017 dan lebih dari 285 juta penduduk pada tahun 2024
berdasarkan hasil proyeksi skenario moderat (lihat tabel 3.5).

Kota-kota terbesar di Indonesia ditemukan di pulau Jawa. Di sini kita menemukan ibu kota
Jakarta yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk menurut sensus resmi terbaru (data dari
2011). Angka yang tidak resmi kemungkinan besar jauh lebih tinggi. Selain itu, setiap pagi
sejumlah besar pekerja berjalan dari dareah perkotaan satelit menuju Jakarta untuk melakukan
pekerjaan mereka. Pada sore atau malam hari mereka berjalan pulang ke kota-kota satelit di
sekitar Jakarta. Arus harian yang besar ini menyebabkan kemacetan lalu lintas yang parah di
Jakarta. Setelah Jakarta, kota-kota terbesar di Indonesia adalah Surabaya (Jawa Timur),
Bandung (Jawa Barat), Bekasi (Jawa Barat), dan Medan (Sumatra Utara).

GAMBAR 3-4 PERSENTASE PENDUDUK DAERAH PERKOTAAN MENURUT PROVINSI


2015 DAN 2024

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 20


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

TABEL 3-7 PROYEKSI PERTUMBUHAN PENDUDUK DIRINCI PER PROVINSI


Eksisting Proyeksi (Ribu Jiwa)
No Provinsi Metode/Skenario 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Optimis 5.052 5.219 5.337 5.457 5.581 5.707 5.835 5.967 6.102 6.240
1 Aceh Geometrik Moderat 5.002 5.115 5.231 5.349 5.469 5.593 5.719 5.849 5.981 6.116
Pesimis 5.002 5.011 5.124 5.240 5.358 5.479 5.603 5.730 5.859 5.992
Optimis 13.938 14.129 14.131 14.132 14.134 14.135 14.137 14.138 14.140 14.141
2 Sumatera Utara Least Square Moderat 13.938 13.940 13.941 13.943 13.944 13.946 13.947 13.949 13.950 13.952
Pesimis 13.938 13.750 13.752 13.753 13.755 13.756 13.757 13.759 13.760 13.762
Optimis 5.196 5.341 5.418 5.496 5.576 5.656 5.738 5.820 5.904 5.989
3 Sumatera Barat Geometrik Moderat 5.196 5.271 5.347 5.424 5.503 5.582 5.662 5.744 5.827 5.911
Pesimis 5.196 5.201 5.276 5.352 5.429 5.508 5.587 5.668 5.749 5.832
Optimis 6.344 6.702 6.897 7.098 7.305 7.517 7.736 7.961 8.193 8.431
4 Riau Geometrik Moderat 6.344 6.529 6.719 6.915 7.116 7.323 7.536 7.756 7.981 8.214
Pesimis 6.344 6.356 6.541 6.731 6.927 7.129 7.337 7.550 7.770 7.996
Optimis 3.402 3.534 3.605 3.677 3.751 3.826 3.902 3.981 4.060 4.142
5 Jambi Geometrik Moderat 3.402 3.470 3.540 3.611 3.683 3.757 3.832 3.909 3.987 4.067
Pesimis 3.402 3.407 3.475 3.545 3.616 3.688 3.762 3.837 3.914 3.993
Optimis 8.052 8.304 8.438 8.574 8.713 8.853 8.996 9.142 9.289 9.440
6 Sumatera Selatan Geometrik Moderat 8.052 8.182 8.315 8.449 8.585 8.724 8.865 9.008 9.154 9.302
Pesimis 8.052 8.061 8.192 8.324 8.458 8.595 8.734 8.875 9.018 9.164
Optimis 1.875 1.942 1.978 2.015 2.053 2.091 2.130 2.169 2.210 2.251
7 Bengkulu Geometrik Moderat 1.875 1.910 1.945 1.981 2.018 2.056 2.094 2.133 2.172 2.213
Pesimis 1.875 1.877 1.912 1.947 1.984 2.021 2.058 2.096 2.135 2.175
Optimis 8.117 8.219 8.221 8.222 8.223 8.225 8.226 8.227 8.229 8.230
8 Lampung Arithmatik Moderat 8.117 8.119 8.120 8.121 8.123 8.124 8.125 8.127 8.128 8.129
Pesimis 8.117 8.018 8.019 8.021 8.022 8.023 8.025 8.026 8.027 8.029
Optimis 1.373 1.438 1.473 1.509 1.546 1.583 1.622 1.662 1.702 1.744
Kepulauan
9 Geometrik Moderat 1.373 1.406 1.441 1.476 1.512 1.549 1.587 1.626 1.665 1.706
Bangka Belitung
Pesimis 1.373 1.375 1.409 1.443 1.478 1.515 1.552 1.590 1.628 1.668

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 21


Eksisting Proyeksi (Ribu Jiwa)
No Provinsi Metode/Skenario 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Optimis 1.973 2.106 2.179 2.256 2.334 2.416 2.501 2.588 2.679 2.773
10 Kepulauan Riau Geometrik Moderat 1.973 2.042 2.114 2.187 2.264 2.343 2.425 2.510 2.598 2.689
Pesimis 1.973 1.979 2.048 2.119 2.194 2.270 2.350 2.432 2.517 2.605
Optimis 10.178 10.411 10.534 10.660 10.786 10.914 11.044 11.175 11.307 11.441
11 DKI Jakarta Geometrik Moderat 10.178 10.299 10.421 10.545 10.670 10.796 10.924 11.054 11.185 11.318
Pesimis 10.178 10.186 10.307 10.430 10.553 10.679 10.805 10.934 11.063 11.195
Optimis 46.710 48.244 49.063 49.896 50.744 51.606 52.482 53.373 54.280 55.202
12 Jawa Barat Geometrik Moderat 46.710 47.503 48.310 49.130 49.964 50.813 51.676 52.553 53.446 54.354
Pesimis 46.710 46.762 47.556 48.364 49.185 50.020 50.870 51.734 52.612 53.506
Optimis 33.774 34.050 34.052 34.054 34.055 34.057 34.059 34.060 34.062 34.064
13 Jawa Tengah Least Square Moderat 33.774 33.776 33.778 33.780 33.782 33.783 33.785 33.787 33.788 33.790
Pesimis 33.774 33.503 33.505 33.506 33.508 33.510 33.511 33.513 33.515 33.516
Optimis 3.679 3.771 3.819 3.868 3.918 3.968 4.019 4.070 4.123 4.175
13 DI Yogyakarta Geometrik Moderat 3.679 3.726 3.774 3.823 3.872 3.921 3.972 4.022 4.074 4.126
Pesimis 3.679 3.682 3.729 3.777 3.826 3.875 3.924 3.975 4.026 4.077
Optimis 38.848 39.394 39.682 39.972 40.265 40.559 40.856 41.155 41.456 41.759
14 Jawa Timur Geometrik Moderat 38.848 39.132 39.418 39.706 39.997 40.290 40.584 40.881 41.180 41.482
Pesimis 38.848 38.870 39.154 39.440 39.729 40.020 40.312 40.607 40.904 41.204
Optimis 11.955 12.531 12.843 13.162 13.490 13.826 14.170 14.522 14.884 15.254
15 Banten Geometrik Moderat 11.955 12.253 12.558 12.870 13.191 13.519 13.855 14.200 14.553 14.916
Pesimis 11.955 11.975 12.273 12.578 12.891 13.212 13.541 13.878 14.223 14.577
Optimis 4.153 4.261 4.318 4.376 4.435 4.495 4.555 4.617 4.679 4.742
16 Bali Geometrik Moderat 4.153 4.209 4.265 4.323 4.381 4.440 4.500 4.561 4.622 4.684
Pesimis 4.153 4.157 4.213 4.270 4.327 4.386 4.445 4.504 4.565 4.627
Optimis 4.836 4.975 5.050 5.125 5.201 5.279 5.357 5.437 5.518 5.601
17 Nusa Tenggara Barat Geometrik Moderat 4.836 4.908 4.981 5.055 5.130 5.207 5.284 5.363 5.443 5.524
Pesimis 4.836 4.840 4.912 4.985 5.060 5.135 5.212 5.289 5.368 5.448
18 Nusa Tenggara Timur Geometrik Optimis 5.120 5.304 5.403 5.504 5.606 5.711 5.817 5.925 6.036 6.148
Moderat 5.120 5.215 5.313 5.412 5.512 5.615 5.720 5.826 5.935 6.045

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 22


Eksisting Proyeksi (Ribu Jiwa)
No Provinsi Metode/Skenario 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pesimis 5.120 5.127 5.222 5.320 5.419 5.520 5.622 5.727 5.834 5.943
Optimis 4.790 4.871 4.873 4.874 4.876 4.877 4.879 4.880 4.882 4.883
19 Kalimantan Barat Least Square Moderat 4.790 4.792 4.793 4.795 4.796 4.798 4.799 4.801 4.802 4.804
Pesimis 4.790 4.712 4.714 4.715 4.716 4.718 4.719 4.721 4.722 4.724
Optimis 2.495 2.619 2.686 2.755 2.825 2.898 2.972 3.048 3.126 3.206
20 Kalimantan Tengah Geometrik Moderat 2.495 2.559 2.624 2.691 2.760 2.831 2.903 2.978 3.054 3.132
Pesimis 2.495 2.498 2.562 2.628 2.695 2.764 2.835 2.907 2.982 3.058
Optimis 3.990 4.145 4.228 4.312 4.399 4.487 4.577 4.668 4.762 4.857
21 Kalimantan Selatan Geometrik Moderat 3.990 4.070 4.151 4.234 4.319 4.406 4.494 4.584 4.676 4.769
Pesimis 3.990 3.995 4.075 4.156 4.240 4.325 4.411 4.500 4.590 4.682
Optimis 4.069 4.179 4.180 4.182 4.184 4.186 4.188 4.190 4.192 4.193
22 Kalimantan Timur Least Square Moderat 4.069 4.071 4.073 4.075 4.077 4.078 4.080 4.082 4.084 4.086
Pesimis 4.069 3.964 3.965 3.967 3.969 3.971 3.972 3.974 3.976 3.978
Optimis 642 658 661 664 666 669 671 674 677 679
23 Kalimantan Utara Least Square Moderat 642 646 649 651 654 656 659 661 664 667
Pesimis 642 634 636 639 641 644 646 649 651 654
Optimis 2.412 2.470 2.501 2.532 2.564 2.596 2.628 2.661 2.694 2.728
24 Sulawesi Utara Geometrik Moderat 2.412 2.442 2.473 2.503 2.535 2.566 2.598 2.631 2.663 2.697
Pesimis 2.412 2.414 2.444 2.475 2.505 2.537 2.568 2.600 2.633 2.666
Optimis 2.877 2.979 3.034 3.089 3.146 3.204 3.262 3.322 3.383 3.445
25 Sulawesi Tengah Geometrik Moderat 2.877 2.929 2.983 3.038 3.094 3.150 3.208 3.267 3.327 3.388
Pesimis 2.877 2.880 2.933 2.987 3.041 3.097 3.154 3.212 3.271 3.331
Optimis 8.520 8.720 8.825 8.932 9.040 9.149 9.260 9.372 9.485 9.599
26 Sulawesi Selatan Geometrik Moderat 8.520 8.623 8.727 8.833 8.940 9.048 9.157 9.268 9.380 9.493
Pesimis 8.520 8.527 8.630 8.734 8.840 8.946 9.055 9.164 9.275 9.387
Optimis 2.500 2.615 2.678 2.742 2.807 2.874 2.943 3.013 3.085 3.159
27 Sulawesi Tenggara Geometrik Moderat 2.500 2.559 2.620 2.683 2.747 2.813 2.880 2.949 3.020 3.092
Pesimis 2.500 2.503 2.563 2.625 2.687 2.752 2.817 2.885 2.954 3.024
28 Gorontalo Arithmatik Optimis 1.133 1.153 1.154 1.156 1.157 1.158 1.159 1.161 1.162 1.163

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 23


Eksisting Proyeksi (Ribu Jiwa)
No Provinsi Metode/Skenario 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Moderat 1.133 1.134 1.136 1.137 1.138 1.139 1.141 1.142 1.143 1.144
Pesimis 1.133 1.116 1.117 1.118 1.120 1.121 1.122 1.123 1.124 1.126
Optimis 1.282 1.335 1.363 1.392 1.422 1.453 1.484 1.515 1.547 1.580
29 Sulawesi Barat Arithmatik Moderat 1.282 1.310 1.337 1.366 1.395 1.425 1.455 1.486 1.518 1.550
Pesimis 1.282 1.284 1.312 1.339 1.368 1.397 1.427 1.457 1.489 1.520
Optimis 1.687 1.751 1.786 1.822 1.858 1.895 1.933 1.972 2.011 2.051
30 Maluku Geometrik Moderat 1.687 1.720 1.754 1.789 1.825 1.862 1.899 1.937 1.975 2.015
Pesimis 1.687 1.689 1.723 1.757 1.792 1.828 1.864 1.902 1.940 1.978
Optimis 1.162 1.216 1.245 1.275 1.305 1.337 1.369 1.401 1.435 1.469
31 Maluku Utara Geometrik Moderat 1.162 1.190 1.219 1.248 1.278 1.308 1.340 1.372 1.404 1.438
Pesimis 1.162 1.164 1.192 1.221 1.250 1.280 1.310 1.342 1.374 1.407
Optimis 872 921 947 975 1.004 1.033 1.063 1.094 1.126 1.159
32 Papua Barat Geometrik Moderat 872 897 923 950 978 1.006 1.036 1.066 1.097 1.129
Pesimis 872 873 899 925 952 980 1.009 1.038 1.068 1.100
Optimis 3.149 3.212 3.215 3.217 3.219 3.221 3.223 3.225 3.228 3.230
33 Papua Arithmatik Moderat 3.149 3.152 3.154 3.156 3.158 3.160 3.162 3.164 3.166 3.169
Pesimis 3.149 3.091 3.093 3.095 3.097 3.099 3.101 3.103 3.105 3.107
Sumber : Hasil analisis, 2017

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 24


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

Selanjutnya bonus demografi yang akan datang pada tahun 2020 hingga 2030, menjadi jendela
peluang (windows opportunity) untuk pertumbuhan ekonomi. Populasi penduduk produktif yang
besar akan bermanfaat sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan
tersedianya penduduk produktif yang siap kerja dengan jumlah yang besar menjadi modal awal
dalam pembangunan ekonomi. Selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah Indonesia mampu
menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas dan lapangan kerja yang cukup untuk menampung
mereka.

GAMBAR 3-5 PERKEMBANGAN KETERGANTUNGAN PENDUDUK TAHUN 2010-2015

70%

60% Penduduk Usia 15-

50%
Dependency Ratio
40%

30%
Penduduk Usia 0-14
20%

10% Penduduk Usia 65+

0%
2010 2015 2020 2025

Sementara di tahun 2030, diperkirakan jumlah usia produktif antara 15-59 tahun meningkat dari
tahun sebelumnya. Menurutnya hal ini dapat menjadikan Indonesia lebih makmur apabila sumber
daya manusia (SDM) baik dari sisi kesehatan maupun kompetitif dipersiapkan guna mendapatkan
peluang bonus demografi di Indonesia. Karena itu penyiapan SDM yang mampu bersaing secara
global atau mampu menciptakan lapangan pekerjaan dinilai sebagai persyaratan utama. Maka,
dibutuhkan peningkatan mutu modal dengan mempertahankan struktur umur penduduk,
peningkatan kesehatan, pendidikan dan IPTEK, pendidikan berkualitas dan setara untuk
perempuan.

Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan meningkatnya penduduk, terutama usia


produktif dan lansia. Pertambahan proporsi penduduk usia kerja meningkat, sehingga rasio
ketergantungan (dependency ratio) menurun. Terlihat dari grafik Dependency Ratio menurut
Provinsi, 2010-2025 semua Provinsi memiliki kecenderungan menurun, terkecuali Prov.DKI
Jakarta.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 25


Terjadi penurunan dependency ratio dengan meningkatnya penduduk usia kerja yang memberi
peluang terjadinya bonus demografi. Bonus Demografi tidak otomatis, tetapi dapat diraih dengan
kebijakan tepat, diantaranya SDM sehat dan terdidik, tenaga kerja produktif, stabilitas ekonomi,
meningkatnya lapangan kerja. Jika tidak, terjadi dampak tidak baik diantarnya tingginya
penganguran, konflik sosial, tekanan pada pangan dan lingkungan. Turunnya dependency ratio
berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengalaman internasional.

GAMBAR 3-6 RASIO KETERGANTUNGAN PENDUDUK TAHUN 2010-2035

Sumber : Solihin, D 2014.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 26


Sebagaimana yang tergambar pada grafik diatas, Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai
dengan meningkatnya penduduk, terutama usia produktif dan lansia. Pertambahan proporsi
penduduk usia kerja meningkat, sehingga rasio ketergantungan (dependency ratio) menurun.
Terlihat dari grafik Dependency Ratio menurut Provinsi, 2010-2025 semua Provinsi memiliki
kecenderungan menurun, terkecuali Prov.DKI Jakarta.

Terjadi penurunan dependency ratio dengan meningkatnya penduduk usia kerja yang memberi
peluang terjadinya bonus demografi. Bonus Demografi tidak otomatis, tetapi dapat diraih dengan
kebijakan tepat, diantaranya SDM sehat dan terdidik, tenaga kerja produktif, stabilitas ekonomi,
meningkatnya lapangan kerja. Jika tidak, terjadi dampak tidak baik diantarnya tingginya
penganguran, konflik sosial, tekanan pada pangan dan lingkungan. Turunnya dependency ratio
berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengalaman internasional.

Sumber : UN Population Prospect Rev. 10 dan Mawson & Kinugasa 2005; Mawson, A and Kinugasa T, 2005. East Asian
Economic Development: Two Demographic Dividend dalam Solihin, D 2014.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 27


3.1.4 Agenda Pasca 2015 dan Perubahan Iklim

Pandangan Masyarakat Internasional atas Post 2015: Prinsip-prinsip yang Disepakati dan
Justifikasi Pentingnya SDGs Dokumen ”Future We Want”.

1. Negara Maju:

 Tidak menyepakati pengintergasian konsep Common But Differentiated


Responsibilities (CBDR) masuk dalam SDGs

 Mendorong fokus isu-isu unfinished business MDGs lebih menekankan pada aspek
sustainability;

 Konsep inequality, negara maju merujuk pada mengatasi ketidakseimbangan akses


antara kelompok masyarakat dalam negara.

2. Negara Berkembang:

 Konsep CBDR dan diferensiasi masuk dalam SDGs;

 Mendorong fokus isu-isu unfinished business MDGs lebih menekankan pada aspek
availability dan fleksibilitas pada akses dan kesempatan, serta dukungan means of
implementation termasuk pendanaan, dukungan teknologi dan peningkatan
kapasitas;

 Konsep inequality, negara berkembang merujuk tidak hanya mengatasi


ketidakseimbangan akses antara kelompok masyarakat dalam negara, namun
ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam konteks hubungan antar negara di
tingkat global, khususnya mengatasi ketimpangan pada pola hubungan antara
negara maju dan negara berkembang.

3.1.5 Kesimpulan Lingkungan Strategis

1. Potensi penyelenggaraan infrastruktur dalam kaitannya dengan kerjasama luar negeri


adalah :

 Infrastruktur merupakan Prioritas Pembangunan Nasional ; Di dalam RPJMN 2015-2019


pun memuat khusus arah kebijakan umum pembangunan nasional 2015-2019. Pada
poin ke-3 dalam buku I RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa kebijakan nasional
diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan
pemerataan. Pembangunan infrastruktur diarahkan untuk memperkuat konektivitas
nasional untuk mencapai keseimbangan pembangunan, mempercepat penyediaan

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 28


infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman (air minum dan sanitasi) serta
infrastruktur kelistrikan, menjamin ketahanan air, pangan dan energi untuk mendukung
ketahanan nasional, dan mengembangkan sistem transportasi massal perkotaan.
Kesemuanya dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan meningkatkan peran
kerjasama Pemerintah-Swasta

 Anggaran pembiayaan infrastruktur di Indonesia dari APBN terus mengalami


peningkatan ; Keseriusan pemerintah untuk lebih menggenjot pembangunan
infrastruktur dapat ditunjukkan dari perkembangan pembiayaan infrastruktur nasional
yang terus meningkat baik dari sisi nilai maupun jumlah proyek.

2. Masalah :

 Nilai ideal minimum anggaran untuk infrastruktur nasional masih kurang ; Walaupun
anggaran pembiayaan infrastruktur di Indonesia dari APBN terus mengalami
peningkatan, namun anggaran APBN untuk infrastruktur rata-rata hanya sebesar 1. Hal
ini tentu masih sangat kurang untuk digunakan dalam pembangunan infrastruktur
Indonesia dengan luas wilayah yang cukup besar dan terbagi menjadi pulau-pulau.
Walaupun telah ditambah dengan sumber pendanaan lain yang berasal dari
sumbangan APBD, BUMN dan swasta, nilai tersebut masih tetap saja kurang dimana
nilai ideal minimum anggaran untuk infrastruktur sebesar 5 persen dari total GDP.

 Implementasi PPPs untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia masih memiliki


kelemahan dalam aspek kerangka regulasi dan kerangka kelembagaan/institusi ; Untuk
meningkatkan perhatian pihak swasta, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah
yang mendukung, diantara adalah dengan melakukan bantuan pembebasan lahan,
subsidi operasional dan modal, serta jaminan resiko usaha. Peningkatan pengeluaran
pemerintah atas infrastruktur juga harus diikuti dengan efektifitas dan efisiensi dari
pengeluaran tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur
yang dibangun dan agar tercipta transparansi dalam proses pengadaan barang dan
pembangunan. EIU (2014) dalam evaluasi yang dilakukan terhadap performa PPPs di
Indonesia menunjukkan bahwa meskipun Indonesia mengalami peningkatan dalam
keenam aspek yang diukur, tetapi Indonesia memiliki kelemahan dalam aspek
kerangka regulasi (Regulatory 135 Framework) dan kerangka kelembagaan/institusi
(Institutional Framework). Terdapat beberapa kelemahan yang perlu diberi perhatian
khusus dari fakta tersebut. Pertama, Konsep implementasi PPPs dalam hal pembagian
risiko belum sepenuhnya berjalan. Kedua, dalam hal kepemimpinan, tugas antar-
departemen koordinasi kebijakan sebelumnya ditugaskan, yakni KKPPI (Komite
Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur) belum dapat berfungsi secara

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 29


maksimal. Ketiga, aturan yang ditetapkan tentang pemilihan proyek dilakukan melalui
analisis multi kriteria. Namun mekanisme yang dilakukan nampaknya tidak sepenuhnya
transparan.

3. Peluang

 G20 menyediakan wadah bagi negara berkembang untuk mendapatkan pengetahuan


tentang policy toolkit ideal dan lesson learned PPPs dari negara maju ; Dengan adanya
mekanisme knowledge sharing yakni Global Infrastructure Facilities and Hub di tahun
2015, G20 menyediakan wadah bagi negara berkembang untuk mendapatkan
pengetahuan tentang policy toolkit ideal dan lesson learned PPPs dari negara maju.
Selanjutnya lembaga ini akan menjadi fasilitas mandiri yang akan fokus pada PPP di
mana sektor swasta akan menyediakan sebagian besar pembiayaan untuk proyek-
proyek. Aktivitas lainnya juga termasuk memberikan rekomendasi dan kapasitas
dukungan dalam kaitannya dengan persiapan proyek, memberikan pertimbangan
konsep proyek dari pemerintah mitra, donor multilateral dan bilateral, MDB lain dan
konsorsium swasta, serta membantu mempersiapkan proyek-proyek yang dapat
dibiayai oleh berbagai investor.

 Islamic financing scheme dalam infrastuktur dapat diarusutamakan di tataran sistem


global dan menjadi alternatif skema pembiayaan infrastruktur di Indonesia ; Selain dari
mekanisme knowledge sharing global yang dibangun, Indonesia juga memiliki peluang
untuk mempromosikan islamic financing scheme dalam infrastuktur dengan ekspektasi
dapat diarusutamakan di tataran sistem global.

4. Menurunnya daya saing global Indonesia dari tahun 2015-2016 dipengaruhi beberapa
factor, eksternal dan internal. Factor eksternal seperti adanya peningkatan daya saing
lebih besar di beberapa Negara dunia, factor internal karena kecilnya peningkatan daya
saing kebutuhan dasar, penopang efesiensi, serta inovasi dan factor kecanggihan;

5. Kondisi daya saing infrastruktur tahun 2016-2017 meningkat menjadi rangking 60 dari
rangking 76 di tahun 2010-2011 memberi efek positif pada beberapa determinan
pendorong produktifitas yaitu, meningkatya daya saing pendidikan tingkat tinggi, efisiensi
pasar barang, pasar keuangan, kesiapan teknologi, besaran pasar, serta inovasi dan dan
faktor kecanggihan. Namun, meningkatnya rangking infrastruktur tidak memberi efek
positif pada beberapa determinan pendorong lainnya, seperti daya saing makroekonomi,
kesehatan dan pendidikan dasar, serta efisiensi tenaga kerja yang justru menurun pada
tahun 2010-2017;

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 30


6. Kwalitas infrastruktur menurun 0,1 tingkat dari 2010-2011 ke 2016-207, ini diperkirakan
penyebab dari menurunnya daya saing makroekonomi sebesar 7 tingkat, menurunnya
kesehatan dan pendidikan dasar. Selain itu naik-turunnya kwalitas infrastruktur dapat
mempengaruhi perkembangan inovasi, teknologi dan investasi;

7. Berdasarkan tren skor daya saing Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016
terlihat fluktuatif dan perubahannya tidak begitu signifikan. Berdasakan asumsi kondisi
yang sama, maka dapat diprediksi indeks daya saing infrastruktur hingga 2024. Terlihat
kondisi infrastruktur memiliki skor “sedang” yang berdampak pada daya saing Indonesia
yang rendah juga. Sehingga perlu ada kebijakan poliltik dan anggaran yang dapat
memberikan pembaharuan terhadap tingkat efisiensi Infrastruktur pada periode akhir
RPJMN;

8. Beberapa pilar yang menghambat peningkatan daya-saing dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2016 meliputi korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, infrastruktur yang
tidak memadai, akses pada pembiayaan dan inflasi;

9. Pertumbuhan penduduk masih terkonsentrasi di pulau jawa baik pada kondisi eksisiting
dan proyeksi sampai tahun 2024. Khususnya Wilayah DKI Jakarta. Setelah Jakarta, kota-
kota terbesar di Indonesia adalah Surabaya (Jawa Timur), Bandung (Jawa Barat), Bekasi
(Jawa Barat), dan Medan (Sumatra Utara). Kondisi ini disebabkan oleh ketersediaan dan
pelayanan infrastruktur, lapangan perkerjaan, Sumberdaya alam dan budaya;

10. Potensi bonus demografi di tahun 2020-2030 menuntut pemerintah Indonesia mampu
menyiapkan rencana yang terpadu untuk angkatan kerja yang berkualitas dan lapangan
kerja yang cukup. Dengan cara peningkatan mutu modal dengan mempertahankan
struktur umur penduduk, peningkatan kesehatan, pendidikan dan IPTEK, pendidikan
berkualitas dan setara untuk perempuan;

11. Dependency ratio dari hasil proyeksi 2010-2025 memiliki kecenderungan menurun disemua
provinsi kecuali DKI Jakarta. Hal ini dapat menjadi potensi yang baik bagi peningkatan
pertumbuhan pembangunan bila didukung oleh lapangan pekerjaan yang luas serta
infrastruktur yang memadai.

3.2 Kerangka Ekonomi Makro

3.2.1 Kondisi Perekonomian Nasional

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat hingga mencapai titik terendah dalam kurun waktu
5 tahun karena menurunnya hasil pertambangan yang disebabkan melemahnya permintaan dari

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 31


komoditas secara global. Namun berdasarkan laporan World Economic Outlook (WEO) April 2017,
IMF memprediksi kelompok negara Asean 5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina,
Thailand dan Vietnam akan mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat selama 2017-2018.

Indonesia diprediksikan akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen pada tahun
2017 dan 5,3 persen pada 2018. Level tersebut berada di bawah Filipina yang diproyeksikan
tumbuh 6,8 persen dan Vietnam dengan 6,5 persen pada 2017. Sama seperti negara
berkembang dunia lainnya, beberapa negara di Asean-5 ini juga mendapatkan sentimen positif
dari mulai pulihnya harga komoditas dunia. Indonesia dan Malaysia menjadi yang paling
terpengaruh (Tempo.co 19 april 2017).

GAMBAR 3-7 INFORMASI PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISPARITAS ANTAR WILAYAH

Sumber: PUPR, 2017

Berdasarkan data analisis Bappenas tahun 2017 dalam periode 2016 – 2045, ekonomi Indonesia
tumbuh rata-rata 6,4%/tahun. Indonesia menjadi negara pendapatan tinggi (ke luar dari middle
income trap) tahun 2034 dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-4 tahun 2045.

GAMBAR 3-8 PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 32


Sumber : Bappenas, 2017

TABEL 3-8 Statistik Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Nasional 10 Tahun Terakhir
Data BPS dan World Bank
2007  2008  2009  2010  2011  2012  2013  2014  2015  2016
PDB
432,2 510,2 539,6 755 893 918 915 891 861 933
(dalam milyar USD)
PDB
(perubahan % 6,3 6 4,6 6,2 6,2 6 5,6 5 4,9 5
tahunan)

Tampak dalam tabel di atas bahwa penurunan perekonomian global yang disebabkan oleh krisis
finansial global di akhir 2000-an memiliki dampak yang relatif kecil pada perekonomian Indonesia
dibandingkan dengan dampak yang dialami negara-negara lain. Pada tahun 2009, pertumbuhan
PDB Indonesia turun menjadi 4,6%, yang berarti bahwa performa pertumbuhan PDB negara ini
merupakan salah satu yang terbaik di seluruh dunia (dan memiliki peringkat tertinggi ketiga di
antara negara-negara dengan perekonomian besar yang tergabung di dalam grup G-20)
https://www.indonesia-investments.com. Berdasarkan data statisktik yang dikeluarkan oleh BPS
dan World Bank, maka dapat diprediksi PDB Nasional hingga tahun 2024 sesuai kebutuhan
analisis RPJMN Jilid 4. Asumsi analisis dengan menggunakan metode asosiasi dan asumsi
pertumbuhan 6 %, sebagai berikut.
Prediksi PDB (dalam milyar USD)
Model 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Asumsi Prediksi
dengan
1016,3 1072,29 1128,20 1184,11 1240,02 1351,83 1407,74
Trend 2007-2016 1295,93
9 8 6 4 2 8 6
[y = 55,908x +
457,31]
Asumsi Prediksi
1048,31 1111,21 1177,89 1248,56 1323,47 1402,88
dengan Pertumbuhan 988,98 1487,06
9 8 1 4 8 7
PDB [6%]
Sumber : Hasil analisis, 2017

3.2.2 Pembiayaan Infrastruktur Nasional


Infrastruktur berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Infrastruktur meliputi
di antaranya jalan, jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, dan udara. Infrastruktur yang baik pada
energi listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan gas juga dibutuhkan untuk mendukung
transportasi, industri dan rumah tangga. Fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, pasar,

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 33


kantor polisi, serta fasilitas air yang meliputi air bersih, penanganan limbah, DAM, irigasi, dan
perngaturan banjir juga sangat dibutuhkan demi mendukung tercapainya kesejahteraan
masyarakat suatu negara. Ketersediaan dan peningkatan jaringan telekomunikasi juga akan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan komunikasi dengan lebih baik.

Ketersediaan infrastruktur yang baik mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui


penciptaan hubungan inter-regional dan memfasilitasi alokasi sumber daya. Hubungan inter-
regional yang dicapai dengan peningkatan kualitas pada faktor-faktor mobilitas, informasi dan
teknologi, sehingga menciptakan pemerataan pembangunan dan menghasilkan mobilitas tenaga
kerja antar daerah menjadi lebih baik. Pemerataan pembangunan akan mendorong terbentuknya
investasi baru, lapangan kerja baru dan mampu menciptakan peningkatan pada pendapatan
masyarakat. Lebih lanjut, peningkatan pada infrastruktur bidang energi dan transportasi dapat
menyalurkan sumber daya alam dari daerah yang memiliki kelebihan sumber daya (SDA) kepada
daerah yang kekurangan SDA. Pemerataan sumberdaya infrastruktur mampu mengurangi
kemiskinan dan mempengaruhi distribusi pendapatan yaitu ketika terjadi peningkatan
produktifitas dan perluasan dana investasi yang dilakukan oleh pelaku perekonomian negara
(Serven, 2004).

Seperti laporan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 dirilis World Economic Forum (WEF)
tersebut menunjukkan daya saing Indonesia merosot dari peringkat 37 menjadi 41 dari 138
negara. Kondisi ini menunjukkan Indonesia harus lebih keras lagi untuk dapat bersaing dalam
perekonomian dunia. Upaya peningkatan dayasaing ini terlihat dari anggaran pembiayaan
infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 ‐ 2019
sebesar Rp 6.541 trilliun pada skenario penuh 100% dibangun (Gambar 3.7). Berdasarkan LM‐
FEB UI (2016), kebutuhan dana investasi infrastruktur Indonesia diperkirakan Bappenas hanya
dapat dipenuhi sebesar oleh APBN sebesar Rp 1.000 trillun, APBD sebesar Rp 500 trillun, BUMN
dan swasta sebesar Rp 210 trilliun, Perbankan sebesar Rp 500 trilliun, Asuransi dan Dana Pensiun
sebesar Rp 60 trilliun, serta lembaga pembiayaan infrastruktur yang ada sebesar Rp 500 trilliun,
oleh karena itu ada financial gap sebesar Rp 4.000 trilliun yang harus dipenuhi dari sumber
pendanaan lain guna melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia.

GAMBAR 3-9 KEBUTUHAN INVESTASI INFRASTRUKTUR RPJMN 2015-2019

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 34


Sumber : Bappenas, 2017

Lebih spesifik realisasi anggaran terkait penyediaan infrastruktur PUPR periode tahun 2015-2018
dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
GAMBAR 3-10 SANDINGAN RENSTRA DAN RKA-K/L KEMENTERIAN PUPR

Sumber : Bappenas, 2017

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 35


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

TABEL 3-9 ALOKASI ANGGARAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIRINCI PER UNIT ORGANISASI

ALOKASI ANGGARAN (MILIAR RUPIAH) REALISASI


2015 2016 2017 2018 2019 APBN
TOTAL 2015-2017
UNOR
KPJM RENSTRA TERHADAP
RENSTRA APBN GAP RENSTRA APBNP GAP RENSTRA PAGU GAP RENSTRA GAP RENSTRA
AWAL RENSTRA
2015-2017
DitJen SDA 30.813 31.102 289 62.215 26.294 (35.921) 72.407 33.263 (39.144) 75.436 34.424 (41.012) 75690 316.561 28,60%
DitJen BM 57.051 57.394 343 69.948 38.235 (31.713) 52.105 41.393 (10.712) 55.121 42.839 (12.282) 43952 278.177 49,30%
DitJen CK 15.830 19.798 3.968 24.201 16.218 (7.982) 26.855 15.935 (10.920) 29.668 16.492 (13.176) 31552 128.106 40,60%
DitJen PnP 7.768 7.768 0 8.780 7.715 (1.064) 52.732 8.280 (44.452) 55.410 8.570 (46.840) 59973 184.663 12,90%
DitJen PbP 342 562 220 362 215 (147) 383 240 (143) 406 249 (157) 430 1.923 52,90%
DitJen BK 723 723 0 924 627 (297) 1.144 330 (814) 1.365 341 (1.024) 1587 5.743 29,30%
SETJEN 599 657 58 726 451 (275) 768 569 (199) 640 589 (51) 703 3.436 48,80%
ITJEN 105 105 0 113 108 (5) 120 107 (13) 129 111 (18) 142 609 52,50%
BALITBANG 520 521 1 608 537 (71) 772 632 (140) 790 654 (136) 818 3.508 48,20%
BPSDM 569 537 (32 625 433 (192) 688 604 (84) 757 495 (262) 832 3.471 45,30%
BPIW 526 525 (1 949 375 (574) 1.188 263 (925) 1.303 272 (1.031) 1421 5.387 21,60%
TOTAL 114.846 119.692 4.846 169.451 91.211 (78.240) 209.162 101.496 (107,666) 221.025 105.036 (115.989) 217.100 931.584 33,50%

GAMBAR 3-11 PORSI PEMBIAYAAN SETIAP UNOR, 2015-2019

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 36


TABEL 3-10 PREDIKSI ALOKASI ANGGARAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIRINCI PER UNIT ORGANISASI BERDASARKAN TREND APBN 2015-2017
  ALOKASI ANGGARAN (MILIAR RUPIAH)
Unor
Model 2019 2020 2021 2022 2023 2024
DitJen SDA y = 1693,5x + 27037 36.925 38.686 40.447 42.208 43.970 45.731
DitJen BM y =-10641ln(x) + 53420 55.593 55.600 55.608 55.615 55.622 55.629
DitJen CK y = -1020,1x + 19661 25.752 26.813 27.874 28.935 29.996 31.056
DitJen PnP y = 297,1x + 7340,5 9.179 9.488 9.797 10.106 10.415 10.724
DitJen PbP y = -228,7ln(x) + 498,22 546 552 558 563 569 575
DitJen BK y = 26,75x2 - 278,05x + 999,75 289 306 379 507 691 930
SETJEN y = 56,5x2 - 291,1x + 870,5 861 1.204 1.665 2.244 2.940 3.754
ITJEN y = 1,7x + 103,5 116 118 120 122 124 125
BALITBANG y = 49,4x + 462,5 738 789 841 892 943 995
BPSDM y = 4,5x + 506 550 554 559 564 568 573
BPIW y = 521,28x-0,521 234 509 503 498 492 487
Total 130.783 134.620 138.350 142.253 146.330 150.579
Sumber : Hasil analisis, 2017

GAMBAR 3-12 PORSI PEMBIAYAAN SETIAP UNOR, 2019-2014

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 37


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

TABEL 3-11 PREDIKSI PDB DAN KEBUTUHAN INVESTASI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PUPR
TAHUN 2020-2024

Prediksi (dalam milyar USD)


2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Asumsi Prediksi dengan
Trend 1016,39 1072,298 1128,206 1184,114 1240,022 1295,93 1351,838 1407,746
[y = 55,908x + 457,31]
Asumsi Prediksi dengan
Pertumbuhan PDB [6%] 988,98 1048,319 1111,218 1177,891 1248,564 1323,478 1402,887 1487,06

Prosentase Anggaran
1,02 0,99 0,97 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Terhadap PDB
Investasi Infrastruktur
10,37 10,62 10,94 11,84 12,40 12,96 13,52 14,08
PUPR *
Investasi Infrastruktur
10,09 10,38 10,78 11,78 12,49 13,23 14,03 14,87
PUPR **
*dengan Trend [y = 55,908x + 457,31]
** dengan Pertumbuhan PDB [6%]
Sumber : Hasil Analisis, 2017

Berdasarkan tren realisasi pembiayaan infrastruktur PUPR tahun 2015-2018 terlihat Backlog
pembiayaan hingga 52% (lihat Gambar 3.9). Berdasarkan alokasi anggaran Kementerian
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat dapat juga di rinci per unit organisasi (linat Tabel 3.6).
Dengan asumsi kondisi kebijakan anggaran, kebijakan pemograman yang sama, tingkat inflasi
4% maka pembiayaan infrastruktur PUPR dapat prediksi dengan menggunakan regresi sederhana
dengan tren perkembangan eksponensial, linier, serta logaritmik sehingga prediksi alokasi
anggaran Unor PUPR hingga tahun 2024 dapat digambarkan (lihat Tabel 3.7). Sedangkan bila
mengacu pada 1 % dari PDB maka invesasi infrastruktur lebih tinggi yaitu 14,87 (milyar USD)
atau 193.317,83 (milyar Rp) (lihat tabel 3-11).

Dengan asumsi kebijakan penganggaran, kebijakan pemograman yang sama, maka backlog
pembiayaan infrastruktur masih terjadi, maka dari itu pertimbangan konsep struktur pembiayaan
pada proyek pembangunan infrastruktur perlu memperhatikan komponen investasi yang baik
dalam pelaksanaannya seperti yang terlihat pada gambar dibawah.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 38


GAMBAR 3-13 SKEMA PORSI SUMBER PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR PUPR, 2024

Sumber : Hasil Analisis dengan menggunakan skema pembiayaan Bappenas.

Namun mengingat bahwa proyek infrastruktur memiliki karakteristik dan keunikan dibandingkan
dengan proyek lainnya. Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam struktur pembiayaan
adalah analisis permasalahan yang mungkin timbul, probabilitas kebangkrutan yang dapat terjadi
selama proses pembangunan infrastruktur. Pemerintah melalui PIP sebagai lembaga investasi
pemerintah yang mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat menstimulasi
pertumbuhan ekonomi melalui investasi di berbagai sektor strategis yang memberikan imbal hasil
optimal dengan resiko yang terukur. Setidaknya terdapat Empat lembaga pembiyaan infrastruktur
dengan ruang lingkup pekerjaan yang berbeda antaralain Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT.
Sarana Multi Infrastruktur (Persero), PT Indonesia Infrastruktur Finance (IIF), dan PT. Penjamin
Infrastruktur Indonesia (PII). Secara ringkas, gambaran tentang keempat lembaga ini dapat
dilihat pada Gambar berikut.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 39


GAMBAR 3-14 LEMBAGA PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

Sumber : LM‐FEB UI (2016)

Lembaga pembiayaan pembangunan mempunyai ruang lingkup kegiatan usaha pokok yang
meliputi sebagai berikut:

 Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk pembiayaan infrastruktur.

 Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, dan atau pemberian pinjaman
subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur.

Penyelesaian pada permasalahan pada pembiayaan infrastruktur akan dapat memacu


pertumbuhan ekonomi jangka panjang menjadi lebih baik. Infrastruktur merupakan input pada
aktifitas perekonomian yang besar dan merupakan pemicu penting dalam petumbuhan ekonomi
jangka panjang. Penundaan pada realisasi proyek infrastruktur dan proyek yang sudah terealisasi
namun menghasilkan kinerja yang tidak sesuai harapan, akan berdampak pada biaya ekonomi
dan sosial yang besar. Hal ini justru akan memicu kemunduran pada perekonomian negara.

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 40


Bappenas memperkirakan untuk mencapai target(target pembangunan infrastruktur yang
ditetapkan dalam RJPM Nasional tahun 2015-2019 dana yang diperlukan mencapai Rp 5.452
Triliun. Dari keseluruhan dana yang dibutuhkan tersebut, pemerintah pusat dan daerah hanya
mampu menyediakan dana sebesar Rp 1.131 Triliun. Hal ini berarti bahwa terdapat selisih
pendanaan (financing gap) sebesar Rp 4.321 Triliun yang pemenuhannya dapat dicapai melalui
pendanaan alternatif seperti Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership), dan
dengan sumber pendanaan alternative lain berupa dana dari perbankan, pasar modal, dll.

Peran private investor tidak hanya meliputi penyediaan dana untuk kebutuhan pembiayaan
proyek pembangunan infrastruktur, namun juga meliputi peran dalam menjamin bahwa proyek
berjalan dengan efisien. Jika kontrak dirancang dengan baik, maka private investors memiliki
dorongan untuk mengawasi bahwa proyek pembangunan dijalankan dan dikelola dengan baik.
Hal ini disebabkan karena untuk memastikan keamanan atas dana yang mereka investasikan
untuk pembiayaan proyek infrastruktur dan mampu menghasilkan expected return yang sesuai.
Tantangan bagi perusahaan pelaksana proyek dan sektor public untuk mendesain kontrak yang
menyediakan informasi mengenai distribusi pembagian risiko dan pendapatan dengan cara yang
dapat meningkatkan insentif private investors untuk menginvestasikan dananya pada proyek
pembangunan infrastruktur.

GAMBAR 3-15 KERANGKA PENDANAAN MENDORONG SUMBER PEMBIAYAAN KPBU DAN


PEMBIAYAAN INVESTASI NON (ANGGARAN PEMERINTAH (PINA))

Peran pemerintah dalam proyek pembangunan infrastruktur juga tidak kalah penting, yaitu
menyediakan kondisi yang mendukung investasi dengan cara menyusun kerangka kerja atas

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 41


regulasi yang berkaitan dengan proyek pembangunan infrastruktur. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kepercayaan dan komitmen para investor dalam menginvestasikan dananya dalam
jangka panjang meskipun proyek infrastruktur memiliki karakteristik berupa risiko politik dan
proyek dengan horizon jangka panjang. Hal tersebut didukung oleh hasil pengamatan LM ‐FEB UI
(2016) yang mengindentifikasi bahwa penyediaan infrastruktur melalui skema Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnerships (PPP) sebagai salah satu alternative
pembiayaan infrastruktur yang melibatkan peran badan usaha menghadapi permasalahan,
diantaranya :

1. Masih kurangnya informasi mengenai proyek baik dari sisi detil teknis maupun informasi
keuangan serta analisis terhadap berbagai macam risiko dan jaminan pemerintah untuk
pengelolaan risiko tersebut.

2. Masih sulitnya penerapan peraturan terkait dengan KPS oleh para Penanggung Jawab
Proyek Kerja Sama (PJPK).

3. Masih rendahnya kapasitas aparatur dan kelembagaan dalam melaksanakan KPS.

4. Belum optimalnya dokumen perencanaan proyek KPS bidang infrastruktur mengakibatkan


pilihan strategi pelaksanaan proyek yang kurang memihak pada KPS sehingga proyek
infrastruktur yang menarik bagi pihak swasta (off ‐budget) akhirnya dilaksanakan melalui
pembiayaan APBN/APBD (on‐budget), sementara proyek infrastruktur yang tidak menarik
justru ditawarkan kepada pihak swasta.

5. Masih kurang memadainya pendanaan PT SMI dan anak perusahaannya PT IIF serta PT
PPI masing‐masing sebagai instrumen pembiayaan dan penjaminan pembangunan
infrastruktur melalui skema KPS.

6. Belum adanya mekanisme pemberian insentif bagi Penanggung Jawab Proyek Kerja (PJPK)
dalam melaksanakan KPS.

3.2.3 Kesimpulan Kerangka Ekonomi Makro

1. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen/tahun dalam periode 2016 – 2025
untuk penguatan struktur ekonomike arah yang lebih produktif (Bappenas, 2017).

2. Sektor pertambangan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Perlu


adanya inovasi peningkatan sector lain, seperti pertanian, perkebunan, perikanan,
perdagangan dan jasa, pariwisata dan industry yang berkelanjutan.Agar kondisi

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 42


perekonomian nasional tidak menurun hanya karena satu sector, tapi dapat di dorong
dengan sektor-sektor lain yang strategis;

3. Terdapat financial gap sebesar Rp 4.000 trilliun untuk merealisasikan, untuk itu sumber
pendanaan lain guna melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. maka
dari itu pertimbangan konsep struktur pembiayaan pada proyek pembangunan
infrastruktur perlu memperhatikan komponen investasi yang baik dalam pelaksanaannya
dengan komposisi Pemerintah 35%, KPBU 25%, BUMN 25%, dan Swasta murni 15%.

4. Berdasarkan tren realisasi pembiayaan infrastruktur PUPR tahun 2015-2018 terlihat


Backlog pembiayaan hingga 52%. Berdasarkan tren realisasi pembiayaan dan asumsi
kebijakan anggaran yang sama tersebut, maka dapat prediksi alokasi anggaran Unor PUPR
hingga tahun 2024 yaitu mencapai 150.579 (Milyar rupiah).

Lingkungan Strategis dan Kerangka Ekonomi Makro | 43


Laporan Draft Akhir
Penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah Nasional
Mendukung Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan

Rencana Tindak Lanjut | 1

Anda mungkin juga menyukai