Anda di halaman 1dari 25

Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam Indonesia

(NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul Islam) adalah sebuah gerakan
politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan
pada saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang bernama Raden
Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri
prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan
sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan
Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Tujuan Dan Hambatan


Tujuan dari program ini adalah:

1. Untuk memajukan pengusaha pribumi.


2. Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
3. Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
4. Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
sistem ini mengalami kegagalan karena:
1. Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia)
dalam rangka mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara
sepihak.
2. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan produksi tapi malah
diselewengkan untuk kegiatan konsumsi
3. Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang
berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi
sebagai berikut.

 Pembubaran Konstituante.
 Beriakunya Kembali UUD 1945.
 Tidak berlakunya UUDS 1950.
 Pembentukan MPRS dan DPAS.

Dwikora atau Dwi (dua) Komando Rakyat merupakan seruan komando yang disampaikan oleh
Presiden Soekarno ketika kita bersengketa dengan Malaysia untuk menentang berdirinya negara
Federasi Malaysia.
Isi Dwikora sesuai pidato Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta adalah sebagai
berikut:
(1). memperkuat ketahanan revolusi Indonesia;
(2). membantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak, dan
Brunai, untuk membubarkan negara boneka Malaysia

Pembahasan

Kronologi Peristiwa
(1). Pada tahun 1961 Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee
Kuan Yew dari Singapura berkeinginan menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia,
termasuk Sarawak, Sabah, dan Brunei.
(2). Pihak Filipina menentang rencana pembentukan tersebut karena memiliki keinginan terhadap wilayah
Sabah di Kalimantan Utara. Menurut Filipina, wilayah Sabah secara historis termasuk dalam kekuasaan
Sultan Sulu.
(3). Pihak Indonesia juga menentang keras rencana tersebut karena menurut Presiden Soekarno rencana
pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaan
koloninya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme
Inggris yang mengancam revolusi Indonesia.
(4). Pada 31 Juli-5 Agustus 1963 diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia-Filipina-Indonesia) antara
ketiga negara di Manila. Pertemuan tersebut menghasilkan:
⇒ Deklarasi Manila
⇒ Persetujuan Manila
⇒ Komunike Bersama
Inti dari ketiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan
Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal tersebut.
(5). Ketiga kepala negara kemudian setuju meminta Sekjen PBB membentuk tim penyelidik untuk
melakukan pendekatan dan mengetahui keinginan rakyat di wilayah-wilayah yang akan dimasukkan ke
dalam Federasi Malaysia. Tim tersebut diketuai oleh Lawrence Michelmore dan memulai tugas tanggal 14
September 1963.
(6). Federasi Malaysia diproklamirkan pada tanggal 16 September 1963.
(7). Pemerintah RI menggangap proklamasi tersebut sebagai bentuk pelecehan atas martabat PBB dan
pelanggaran terhadap Komunike Bersama Manila yang seharusnya diadakan penyelidikan dan meminta
pendapat rakyat Serawak dan Sabah terlebih dahulu sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan.
(8). Aksi-aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di kedua negara, Indonesia dan Malaysia. Malaysia
memutuskan hubungan diplomatik dengan RI pada tanggal 17 September 1963, sedangkan Indonesia
memutuskan hubungan ekonomi dengan Malaysia, Singapura, Serawak, dan Sabah, pada tanggal 21
September 1963.
(9). Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat
Kalimantan Utara untuk melawan neokolonialisme Inggris.
(10). Berbagai upaya diplomatik terus dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan mengadakan
pertemuan menteri-menteri luar negeri di Bangkok, namun tidak menghasilkan keputusan dan berakhir
macet.
(11). Pada acara apel besar tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta, Presiden Soekarno berpidato di hadapan
ribuan sukarelawan dan mengucapkan Dwikora yang merupakan akronim dari Dwi (dua) Komando
Rakyat.
(12). Presiden Soekarno membentuk Komando Siaga di bawah pimpinan Marsekal Madya Oemar Dhani.
(13). Pada masa itu terkenal himbauan atau perintah Presiden Soekarno yakni "Ganyang Malaysia!".
Operasi Dwikora berlangsung sekitar tahun 1964 di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan
Serawak. ABRI tidak mengirim pasukan secara terbuka. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk
membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.
Pihak Inggris menerjunkan pasukan elit SAS (Special Air Services) yang terkenal dunia kemiliteran, dibantu
oleh pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia Baru dan Malaysia.
(14). Pada tanggal 20 Juni 1964, diadakan pertemuan puncak di Tokyo, Jepang sebagai upaya
penyelesaian diplomasi, di tengah konfrontasi yang terus dilakukan.
(15). Di tengah berlangsungnya konflik, Malaysia dicalonkan dan diangkat menjadi anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB pada tanggal 7 Januari 1965.
(16). Indonesia menolak keras pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
(17). Sebelumnya pada tanggal 31 Desember 1964, Presiden Soekarno sudah menegaskan bahwa
Indonesia akan keluar dari PBB apabila Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Dengan diangkatnya Malaysia pada awal Januari 1965, maka Indonesia menyatakan keluar dari PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa).
(18). Permasalahan dan sengketa dengan Malaysia sejak awal merupakan isu yang menguntungkan PKI
agar mendapatkan tempat di kalangan kepemimpinan negara.

Tujuan Trikora – Pemerintah melakukan banyak upaya dengan tujuan mengembalikan Irian Barat menjadi
bagian dari Indonesia. Dalam Trikora banyak persiapan yang dilakukan pemerintah, mulai dari persiapan
militer, melakukan diplomasi, kebijakan ekonomi, dan konfrontasi total.

Dari segi militer, persiapan Indonesia yaitu mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya
konflik antara Indonesia dan Belanda.

Dari segi diplomasi, persiapan Indonesia yaitu mendekati berbagai negara seperti Australia, India,
Pakistan, Selandia Baru, Thailand, Jerman, Britania Raya, dan Perancis agar tidak memberi dukungan
kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda

Dari segi ekonomi, pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan undang-undang
nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.

Pengertian Trikora

Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk
menggabungkan wilayah Papua bagian barat.
Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara
Yogyakarta.

Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima.

Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk
menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Isi Trikora

Trikora memuat 3 isi yaitu:

Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.

Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.

Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan
bangsa.

Disini menurut saya, sangat terlihat jelas bahwa tujuan trikora yaitu untuk mengembalikan Irian Barat ke
Indonesia. Dan isi trikora diatas juga mengandung tujuannya sekaligus.

Selain persiapan yang disebutkan diatas, konflik bersenjata juga terjadi. Ada 3 operasi yaitu:

Operasi-operasi Indonesia

Pertempuran laut Aru

Operasi penerjunan penerbangan Indonesia

Akhir dari konflik Irian Barat ini selesai setelah Persetujuan New York antara Indonesia dan Belanda
dilakukan.

Kemudian pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh
Jenderal Sarwo Edhi Wibowo.

Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari
1054) untuk integrasi.

Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi
Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya.

Tritura atau tri (tiga) tuntutan rakyat adalah isi tuntutan para demonstran yang tergabung dalam Front
Pancasila saat berdemonstrasi secara besar besaran pada tanggal 12 Januari 1966. Front Pancasila
merupakan gabungan dari sejumlah kesatuan aksi yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Demonstrasi diikuti pula oleh kesatuan-
kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh
Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan
Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), serta didukung juga oleh Tentara Nasional Indonesia.

Isi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)

Pada tanggal 12 Januari 1966, gabungan kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong), mereka mengajukan tiga tuntutan
rakyat (TRITURA) yaitu:

Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya

Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI

Turunkan harga barang


Latar Belakang Tritura

Setelah peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September) oleh PKI (partai Komunis Indonesia),
banyak rakyat yang kecewa karena penyelesaian politik dan hukum terhadap para tokoh PKI tidak
memuaskan rasa keadilan rakyat. Hal ini memicu gelombang ketidakpercayaan rakyat terhadap
kepemimpinan presiden Soekarno.

Gelombang demonstrasi telah dilakukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan
September 30). Mereka menuntut pemerintah untuk melakukan penyelesaian politik dan hukum terhadap
tokoh-tokoh PKI dan reshuffle kabinet Dwikora dengan mengganti tokoh-tokoh PKI yang ada di kabinet.

Menjelang akhir tahun 1965 pemerintah secara kontroversial membuat kebijakan ekonomi
mendevaluasikan rupiah dan menaikkan harga minyak bumi. Hal ini kemudian menyulut krisis ekonomi
karena naiknya harga-harga barang. Kebijakan tersebut akhirnya direspon dengan demonstrasi para
mahasiswa.

Pada akhirnya mahasiswa menggalang berbagai kesatuan aksi untuk melakukan demonstrasi besar-
besaran pada tanggal 10 Januari 1966 dengan dipelopori oleh KAMI dan KAPPI. Pada tanggal 12 Januari
1966, sejumlah kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR (Dewan
Perwakilan Rakyat – Gotong Royong) menuntut Tritura yang isinya tuntutan kepada pemerintah agar
membubaran PKI, membersihkan kabinet dari orang-orang PKI, dan menurunkan harga barang.

Dapat disimpulkan bahwa latar belakang Tritura ada 3 hal.

Ketidakpuasan rakyat pada pemerintah terhadap penyelesaian politik terhadap tokoh-tokoh PKI yang
terlibat pemberontakan G30S.

Terjadinya krisis kepemimpinan nasional karena rakyat tidak percaya lagi pada kebijakan Presiden
Soekarno.

Krisis ekonomi, akibat devaluasi dan tingginya harga minyak bumi.

Peristiwa-Peristiwa yang Berkaitan dengan Tritura

21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan perombakan kabinet (reshuffle kabinet) namun
dalam kabinet tersebut masih ada tokoh-tokoh PKI. Hal ini menyebabkan mahasiswa kembali mengadakan
aksi demonstrasi.

24 Februari 1966, mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Seorang mahasiswa bernama
Arif Rahman Hakim meninggal dalam insiden bentrokan dengan Resimen Tjkrabirawa (pasukan pengawal
Presiden).

25 Februari 1966 KAMI dibubarkan, tetapi hal terseut tidak menyurutkan gelombang demonstrasi
mahasiswa menuntut Tritura

11 Maret 1966, Presiden Sekarno mengeuarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang isinya
memerintahkan Mayor Jederal Soeharto selaku panglima Angkatan darat untuk mengambil tindakan yang
diperlukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Demokrasi Liberal

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan
mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada
tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.

Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada
demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau
representatif.

Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan
menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen
(DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai
politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.

Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya bahwa UUDS 1950
dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia
yang majemuk.

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran
Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena
dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.

Pelaksanaan Pemerintahan

Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada
masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan
Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950 -1955)
PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah
berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Formasi Kabinet Natsir. Foto: Wikipedia

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi sebagai
perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan
PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:

Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.

Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.

Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.

Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.

Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses integrasi
Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi
banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik
Maluku Selatan (RMS).

Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama
kalinya mengenai masalah Irian Barat.

Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng yang direncanakan
oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:

Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.

Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi nasional.

Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.

Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai
pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit dari program ini.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang digelontorkan
pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem
ekonomi liberal.

Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.

Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.

Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.

Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.

Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang
mereka peroleh.

Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI di Parlemen
Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut
disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada
tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Formasi Kabinet Sukiman. Foto: Pinterest

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI)
menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas
selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari
PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi
Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:

Menjamin keamanan dan ketentraman

Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan
petani.

Mempercepat persiapan pemilihan umum.

Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI
secepatnya.

Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah
minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.

Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman negara. RMS.
dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah parlemen mendengar bahwa
kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.

Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan
militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).

MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima
MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut
dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok
barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan kurang prograsif
menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya
menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Formasi Kabinet Wilopo. Foto: Wikipedia

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama
dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama
Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:

Program dalam negeri:

Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD

Meningkatkan kemakmuran rakyat,

Meningkatkan pendidikan rakyat, dan

Pemulihan stabilitas keamanan negara

Program luar negeri:

Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,

Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta

Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara, dan
meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif.
Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang
memperparah kondisi politik nasional.

Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil
dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang
menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli),
Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar
yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa
Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo.
Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Berkas:Kabinet Ali Sastroamidjojo.jpg

Formasi Kabinet Ali Sastro I. Foto: Wikipedia

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat yang dibentuk
selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk
Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr.
Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:

Meningkatkan keamanan dan kemakmuran

Menyelenggarakan Pemilu dengan segera

Pembebasan Irian Barat secepatnya

Pelaksanaan politik bebas-aktif

Peninjauan kembali persetujuan KMB.


Penyelesaian pertikaian politik.

Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:

Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955

Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955

Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan
kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :

Berkurangnya ketegangan dunia

Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.

Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di
PBB

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo
memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba
diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan
penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan
dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non
pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-
latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :

Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional

Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha
asing

Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi
akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari
pemerintah.

Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di
daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD
memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih
belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik
menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung
mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli
1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Sumpah Jabatan PM Burhanuddin Harahap. Foto: Pinterest

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari
Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.

Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:

Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan


masyarakat kepada pemerintah.

Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya
parlemen baru
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi

Perjuangan pengembalian Irian Barat

Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan fungsinya, seperti:

Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15
Desember untuk memilih Dewan Konstituante.

Membubarkan Uni Indonesia-Belanda

Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat

Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi

Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU,
Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.

Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam
lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri
mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang
memberikan dukungan kepada kabinet.

Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Formasi Kabinet Ali Sastro II. Foto: Pinterest

Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan Masyumi. Ali
Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet.

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:

Perjuangan pengembalian Irian Barat

Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.

Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.

Menyehatkan perimbangan keuangan negara.

Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.

Pembatalan KMB

Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif

Melaksanakan keputusan KAA.

Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh
perjanjian KMB.

Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan
kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan
pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa
dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan
masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan
antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet
hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)


Djuanda Kartawidjaja bersama Presiden Soekarno. Foto: Pinterest

Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari para
menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket Kabinet karena harus berisi
unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya.

Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:

Membentuk Dewan Nasional

Normalisasi keadaan RI

Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB

Perjuangan pengembalian Irian Jaya

Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai langkah awal
demokrasi terpimpin.

Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan
antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung
Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.

Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya
dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini.
Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang
kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan
peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda
1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan
zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan
setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh
dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.

Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan sering jatuh
bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante
yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki
pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya
mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia
secara keseluruhan.

Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya
saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama
yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-
golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara,
namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno
agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;

Pembubaran Konstituante.
Berlakunya kembali UUD 1945.

Tidak berlakunya UUDS 1950.

Pembentukan MPRS dan DPAS.

Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara
otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem
Presidensil dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

ELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN

Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.

Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan
Presiden Sukarno.

Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.

Tugas Demokrasi terpimpin :

Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan
masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.

Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini disebabkan
karena :

Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara.

Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.

Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan
stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).

Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :

Kebebasan partai dibatasi

Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.

Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front Nasional.

Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945 adalah sebagai berikut.

1. Kedudukan Presiden

Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya
bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang
harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat
Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih
dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri
yang tidak memimpin departemen.

2. Pembentukan MPRS

Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai
lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat
memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR.

Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat :

Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada
manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil
golongan.

Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun
1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai
gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua
anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR
harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan
UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.

Melaksanakan manifesto politik

Mewujudkan amanat penderitaan rakyat

Melaksanakan Demokrasi Terpimpin

4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun
1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua,
12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah
memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.

Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah
ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden
pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang
dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan
Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal
dengan MANIPOL USDEK.

5. Pembentukan Front Nasional

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan
sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam
UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk
menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front
nasional adalah sebagai berikut.

Menyelesaikan Revolusi Nasional

Melaksanakan Pembangunan

Mengembalikan Irian Barat

6. Pembentukan Kabinet Kerja

Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda.
Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah
sebagai berikut.

Mencukupi kebutuhan sandang pangan

Menciptakan keamanan negara

Mengembalikan Irian Barat.

7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom


Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer menimbulkan
perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada
terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah mengambil langkah
untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan
ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.

Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden
yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud.
Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan
upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak
presiden.

Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya
penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan
barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom
menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan
UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang
sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap
TNI.

8. Adanya ajaran RESOPIM

Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk
memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.

Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui
revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima
Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.

Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara
ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat menteri kepada pimpinan
lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai pembantu presiden.

9. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4
angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.
Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatanyang kedudukannya langsung berada
di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.

10. Pentaan Kehidupan Partai Politik

Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa. Sedangkan
pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden No. 7 tahun 1959.
Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan
sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai.

Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian.

Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden.


Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik
yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Alasan pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat
dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17
Agustus 1960.

11. Arah Politik Luar Negeri

a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo

Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu
poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara
kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh
pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)

Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk
Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.

Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan
imperialis (Nekolim).

Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang.


Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke
negara-negara komunis.

b. Politik Konfrontasi Malaysia

Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah
tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek
neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo.

Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal
3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.

Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.

Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.

Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan
adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

c. Politik Mercusuar

Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan
mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.

Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan
dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut
membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya
GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga
Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.

Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

d. Politik Gerakan Non-Blok

Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan


politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.

Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-
Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin.

Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup
maju.

GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB
merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional.

Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan:

a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua
MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing
berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

b. Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17 Agustus 1959 yang
dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA
yang bersidang tanggal 23-25 September 1959.
c. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.

d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai presiden seumur
hidup.

e. Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar
negeri.

f. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara TNI dengan
Parpol.

g. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi
Tertinggi (KOTI).

C. SISTEM EKONOMI DEMOKRASI TERPIMPIN

Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti ekonomi
terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana semua
aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari
pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai
berikut.

1. Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)

Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang
Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah
50 orang.

Tugas Depernas :

Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana

Menilai Penyelenggaraan Pembangunan

Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang
Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.

Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar
dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan.

1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

Tugas Bappenas adalah

Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah.

Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan.

Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.

2. Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)

Tujuan dilakukan Devaluasi :

Guna membendung inflasi yang tetap tinggi

Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat

Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.

Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan nilai
uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.

a. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50


b. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100

c. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000

Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh,
terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh Indonesia tidak mematuhi
sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.

Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap
saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan karena :

Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang
menyebabkan ekspor menurun.

Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja
manajemen yang cakap dan berpengalaman.

Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan
kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.

3. Kenaikan laju inflasi

Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :

Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.

Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan.

Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.

Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.

Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.

Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak
memberikan banyak pengaruh.

Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan
pembangunan mengalami kegagalan.

Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:

Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.

Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging
Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk
memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.

Dampaknya :

Inflasi semakin bertambah tinggi

Harga-harga semakin bertambah tinggi

Kehidupan masyarakat semakin terjerpit

Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca pembayaran dari
cadangan emas dan devisa.

Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.

1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta
sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.

Kebijakan pemerintah :
Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru
tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.

13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai Rp. 1000
menjadi Rp. 1.

Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :

Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di masyarakat
uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru.

Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka
inflasi.

4. Deklarasi Ekonomi (Dekon)

Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena:

Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami
kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (BE)

Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negri sehingga pembangunan yang
direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik.

Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara
menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.

Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi
umum revolusi Indonesia.

Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah
diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas
kaki sendiri.

Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan
bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin.

Pelaksanaannya,

Peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi

Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia

Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga barang mencapai
400 % pada tahun 1961-1962.

Beban hidup rakyat semakin berat.

Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena:

Tidak terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400 juta.

Adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan Singapura dan Malaysia
dalam rangka kasi Dwikora.

Politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi
Indonesia.

5. Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri

Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih 80% penduduk Indonesia
hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya
digunakan untuk mengimpor berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan berupa kredit luar
negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Sehingga
Indonesia mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport tersebut maka akan digunakan untuk
membayar utang luar negeri dan untuk kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut
membuka jalan bagi perdagangan dari negara yang memeberikan pinjaman kepada Indonesia.

6. Kebijakan lain pemerintah

a. Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP)

Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi
(KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.

b. Peleburan bank-bank negara

Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan
Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965.

Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi
dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam
Bank Indonesia.

Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan
masing-masing.

Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada
lembaga pengawas.

Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena:

Semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penuruan yang disertai dengan
infasi.

Masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis.

Kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa
memperhatikan ekonomi).

Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu peraturan dengan peraturan
yang lainnya.

Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha.

Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.

Kebrangkutan tidak dapat dikendalikan, Masyarakat mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan
kriminalitas.

D. PERJUANGAN MEMBEBASKAN IRIAN BARAT

Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi Politik dan
Ekonomi serta Konfrontasi Militer.

1. Perjuangan Diplomasi

Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan
persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai
sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu
mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan
Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.

Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu

e. Secara bilateral, melalui perundingan dengan belanda.


Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah
pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada
waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat
hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut maka
Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda
inipun mengalami kegagalan.

f. Diplomasi dalam forum PBB, yaitu dengan membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB.
Dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II.

Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan
masalah Irian Barat.

Dalam sidang PBB Indonesia berupaya meyakinkan bahwa masalah Irian Barat perlu mendapatkan
perhatian Internasional. Alasan Indonesia adalah karena masalah Irian Barat menunjukkan adanya
penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain.

Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian Barat merupakan
masalah intern antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung posisi Belanda.
Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa
Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia.

2. Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer

Karena perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga
Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja
melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan
ekonomi, serta konfrontasi militer.

Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah Belanda tidak mau berkompromi dengan Indonesia.

a. Konfrontasi Politik dan Ekonomi

Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-
kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut.

1) Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang
RI kepada Belanda.

2) Selama tahun 1957 dilakukan :

Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda

Melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda

Melarang penerbangan kapal-kapal Belanda

Memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia

3) Selama tahun 1958-1959 dilakukan :

Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia

Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.

Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan sebagai berikut.

1) Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Belanda merupakan
hubungan bilateral biasa, bukan hubungan Unie-Statuut.

2) Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan pembatalan semua hasil
KMB.
3) Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu
(Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September
1956. Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile.

4) 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta.

5) Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di Indonesia.


Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia

6) Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.

7) Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda.

b. Konfrontasi Militer

Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis
Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat.

Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam
perselisihan antara Indonesia dan Belanda.

Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :

1. Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.

2. Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat
apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri.

3. Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.

4. Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah peralihan di
bawah pengawasan PBB selama satu tahun.

Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek.

Pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat
di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun.

Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut
tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan bendera
dan lagu kebangsaan.

Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa
sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).

Perjuangan melalui jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk:

Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang memang menjadi haknya.

Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.

Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.

Persiapan pemerintah untuk menggalang kekuatan militer adalah :

Pada Desember 1960, mengirimkan misi ke Uni Soviet untuk membeli senjata dan perlengkapan perang
lainnya.

KSAD mengunjungi beberapa negara, seperti India, Pakistan, tahiland, Filipina, Australia, Selandia Baru,
Jerman, Perancis, dan Inggris untuk menjajaki sikap negara-negara tersebut bila terjadi perang antara
Indonesia dengan Belanda.

Tindakan persiapan Indonesia tersebut dianggap oleh Belanda sebagai upaya untuk melaklukan Agresi.
Sehingga Belanda kemudian memperkuat armada dan angkatan perangnya di Irian Barat dengan
mendatangkan kapal induk Karel Dorman.
Maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora)
di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Peristiwa ini menandai dimulainya
secara resmi konfrontasi militer terhadap Belanda dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan
ibu pertiwi.

Isi Trikora adalah sebagai berikut.

1) Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda

2) Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia

3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan
bangsa.

Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komamndo
Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Keputusan dari rapat tersebut adalah sebagai berikut.

Dibentuk Provinsi Irian Barat gaya baru yang beribu kota di Jayapura(zaman Belanda bernama Hollandia)
dengan putra Irian sebagai gubernurnya.

Tanggal 11 Januari 1962 dibentuk Komando Tertinggi dan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
yang berkedudukan di Makassar yang langsung di bawah ABRI dengan tugas merebut Irian Barat. Tugas
Komando Mandala adalah sebagai berikut.

Menyelenggarakan operasi Militer untuk membebaskan Irian Barat. Operasi militer tersebut terdiri dari tiga
tahap, yaitu penyusupan (infiltrasi), serangan besar-besaran (eksploitasi), dan penegakan kekuasaan
Republik Indonesia (Konsolidasi).

Menggunakan segenap kekuatan dalam lingkungan Republik Indonesia untuk membebaskan Irian Barat.
Kekuatan itu terdiri atas tentara regulerdan suka relawan maupun berbagai potensi perlawanan rakyat
lainnya

Tanggal 13 Januari 1962, Brigadir Jendral Suharto dilantik sebagai Panglima Mandala dengan pangkat
Mayor Jendral, beliau juga merangkap sebagai Deputi KSAD untuk wilayah Indonesia bagian timur.

Sebelum konsolidasi yang dilakukan oleh Komando Mandala selesai, Tanggal 15 Januari 1962 terjadi
pertempuran di Laut Aru. Dalam pertempuran tersebut Deputi KSAL Komodor Yos Sudarso gugur.

c. Konfrontasi Total

Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komodor
Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut.

Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan


wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.

Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah
bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia.

Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.

a. Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),

yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas
de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah
dengan membawa serta rakyat Irian Barat.

b. Tahap Eksploitasi (awal 1963),

yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos
pertahanan musuh yang penting.

c. Tahap Konsolidasi (awal 1964),


yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di
seluruh Irian Barat.

Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya,


tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan
tembak-menembak.

d. Akhir Konfrontasi

Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan
kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15 Agustus 1962
yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio
sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi.

1) Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United Nations
Temporary Executive Authority)

2) Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun 1969.

Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebut
UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.

Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui beberapa
tahap, yaitu :

1. Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan
Belanda.

2. Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama RI.

3. Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan RI.

4. Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat (Perpera).

Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung
dengan Republik Indonesia atau Merdeka.

Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di
Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap berada dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera)
untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24.

Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.

1. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Gerakan DI/TII di Jawa Barat tampak pada waktu terjadi penarikan pasukan TNI dari wilayah yang
diduduki Belanda ke wilayah RI sebagai akibat perundingan Renville. Akan tetapi, anggota Hizbullah dan
Sabilillah tidak mengikuti ketentuan perundingan Renville. kedua laskar itu berada di bawah pengaruh
Seoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.

Semula Kartosuwirjo ikut bergerilya di daerah Jawa Barat. Ia ingin membentuk negara Islam lepas dari
Republik Indonesia. Untuk itu ia menghimpun orang-orang yang setia kepadanya untuk masuk tentara
Darul Islam. Pada tanggal 4 Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII).
Tindakan Kartosuwirjo itu membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Rakyat pun sangat dirugikan
karena Kartosuwirjo dan anggotanya melakukan teror, pembunuhan, pengrusakan, dan pengambilan harta
kekayaan masyarakat secara paksa.

Penumpasan Gerakan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu yang lama. Baru pada tahun 1960-an, Divisi
Siliwangi mulai melancarkan operasi secara terstruktur dan besar-besaran. Dengan dibantu rakyat dalam
operasi "Pagar Betis", pada saat tahun 1962 gerombolan DI/TII akhirnya bisa dihancurkan. Kartosuwirjo
dapat ditangkap di Gunung Geber, ia kemudian di hukum mati.

2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Ia
sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar
Hizbullah yang ingin bergabung dengan TNI di Tegal.

Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23
Agustus 1949. Mereka membentuk pemerintah tandingan di daerahnya.

Gerakan yang sama juga ada di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu'dh Abdulrachman atau
yang lebih dikenal dengan nama Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo
dengan markas di Brebes dan Tegal. Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu.

Pemerintah lalu membentuk pasukan Benteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Denan
pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisa-sisa gerakan DI/TII di Jawa
Tengah kemudian berhasil dikalahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.

Pada mulanya gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah mulai terdesak oleh TNI. Namun, pada bulan
Desember 1951 mereka menjadi kuat kembali karena mendapat pertolongan dari Batalyon 426. Batalyon
426 di daerah Kudus dan Magelang memberontak dan menggabungkan diri menjadi DI/TII.

Kekuatan Batalyon pemberontak ini dapat dihancurkan. Sisa-sisanya lari ke Jawa Barat berbagabung
dengan DI/TII Kartosuwirjo.

Sementara itu, di daerah Merapi dan Merbabu terjadi kerusuhan oleh gerakan Merapi Merbabu Complex
(MMC). Gerakan ini dapat dihancurkan TNI pada bulan April 1952. Sisa-sisanya bergabung dengan DI/TII.
Kekuatan DI/TII di daerah Jawa Tengah yang semula dapat dipatahkan justru menjadi kuat lagi karena
bergabungnya sisa-sia Batalyon 426.

Untuk mengatasi pemberontakan itu, segera dibentuk pasukan Banteng Raiders. Pasukan itu selanjutnya
mengadakan operasi kilat yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, gerakan
DI/TII di Jawa Tengah dapat dikalahkan setelah pusat kekuatan gerakan DI/TII di perbatasan Pekalongan-
Banyumas dihancurkan.
3. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dikobarkan oleh Ibnu Hadjar, seorang mantan Letnan Dua
TNI. Ia memberontak dan menyatakan gerakannnya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Dengan
pasukan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang berbagai pos kesatuan
tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan aksi pengacauan pada bulan Oktober 1950.

Pemerintah memberi kesempatan pada Ibnu Hadjar untuk menghentikan pemberontakannya secara
damai. Ia pernah menyerahkan diri dengan pasukannya. Ia diterima kembali ke dalam Angkatan Perang
Republik Indonesia. Tetapi, ia melarikan diri dan melanjutkan pemberontakan.

Pemerintah RI akhirnya mengambil tindakan tegas dan berani. Pada akhir tahun 1959, pasukan Ibnu
Hadjar dapat dihancurkan. Ibnu Hadjar sendiri dapat ditangkap.

4. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Kahar Muzakar adalah seorang
pejuang kemerdekaan yang selama Perang Kemerdekaan ikut berjuang di Pulau Jawa.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kahar Muzaka berpulang ke Sulawesi Selatan. Ia berhasil menghimpun
dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan. Laskar-laskar itu tergabung dalam Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).

Pada tanggal 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirim surat untuk pemerintah dan pimpinan APRIS. Ia
meminta agar semua anggota KGGS dimasukkan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.
Permohonan itu ditolak karena hanya mereka yang lulus dalam penyaringan saja yang boleh diterima
dalam APRIS.

Pemerintah mengambil kebikjasanaan untuk menyalurkan bekas gerilyawan ke dalam Korps Cadangan
Nasional. Kahar Muzakar sendiri diberi pangkat Letnan Kolonel.

Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah tampaknya membawa hasil. Akan tetapi, pada saat
akan dilantik, Kahar Muzakar bersama anak buahna melarikan diri ke hutan dengan membawa berbagai
peralatan yang diberikan.

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1951. Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan
daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Inedonesia di bawah pimpinan Kartosuwirjo.
Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dan mulai melancarkan operasi militer. Operasi
penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu yang lama. Pada bulan Februari 1965,
Kahar Muzakar tewas dalam suatu penyerbuan. Bulan Juli 1965, Gerungan (orang kedua setelah Kahar
Muzakar) dapat ditangkap. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

5. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan pecah karena
kekhawatiran akan kehilangan kedudukan dan perasaan kecewa diturunkannya kedudukan Aceh dari
daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah provinsi Sumatera Utara.

Semula Tengku Daud Beureueh adalah GUbernur Militer daerah Istimewa Aceh. Pada tahun 1950
kedudukan Aceh diturunkan dari provinsi menjadi karesidenan, Daud Beureueh tidak senang karena
jabatannya diturunkan.

Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang mengatakan bahwa
Aceh merupakan bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Setelah itu, Tengku Daud Beureueh mengadakan
gerakan dan mempengaruhi masyarkat melalui propaganda bernada negatif terhadap pemerintah RI.

Untuk menghadapi gerakan itu, pemerintah mengirim pasukan yang memiliki persenjataan lengkap.
Setelah beberapa tahun dikepung, baru pada tanggal 21 Desember 1962 tercapailah Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh. Banyak dari gerombolan itu yang kembal ke panguan RI.

Dengan demikian, pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai. Pemimpin dari
gerakan ini pun setuju untuk kembali ke pangkuan RI. Parkarsa penyelesaian di Aceh tersebut dipimpin
oleh Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam I Iskandar Muda.

Anda mungkin juga menyukai