Alwesius Ola
Ikut Selera Kantor Pertanahan Yang Penting Kerjaan Lancar
Pengantar Redaksi
Salah satu masalah yang mengusik tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
adalah masalah pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atau
SKMHT. Dokumen SKMHT merupakan salah satu bagian dari rangkaian proses
penjaminan dalam kredit.
Permasalahan SKMHT ini adalah akibat dari peraturan yang menjadi dasar hukum
SKMHT yang tidak sesuai UU yang mengatur wewenang dan jabatan notaris dan
peraturan di bawah Badan Pertanahan. Akhirnya PPAT/ notaris menjadi pihak
yang menanggung kesulitan dengan akibat : kehilangan banyak waktu, dan ...
uang.
Notaris dan PPAT Alwesius, S.H., C.N., M.Kn. yang juga dosen ini memberikan
pandangan soal SKMHT dan permasalahannya dengan harapan bisa memberikan
bahan diskusi untuk mencari jalan keluar.
Alwesius : SKMHT atau Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah surat
kuasa yang diberikan oleh pemberi jaminan kepada pihak lain (biasanya diberikan
kepada bank) untuk membebankan hak tanggungan (menandatangani Akta Pemberian
Hak Tanggungan atau APHT). SKMHT ini pada prinsipnya dibuat karena belum dapat
dibuatnya/ditandatanganinya APHT berdasarkan alasan tertentu. Jadi pada prinsipnya
kegunaan atau fungsi dari SKMHT adalah agar kemudian hari sesuai waktu yang
ditentukan pihak Bank/ Kreditur dapat mewakili pemberi jaminan untuk melaksanakan
pembebanan hak tanggungan dengan menandatangani APHT. SKMHT sekarang diatur
di dalam pasal 15 UU Hak Tanggungan Nomor 4 thn 1996 (UUHT).
Alwesius : SKMHT/APHT dibuat apabila jaminan yang diberikan atau disyaratkan oleh
bank untuk menjamin pelunasan kredit debitur kepada bank adalah berupa tanah yang
memenuhi syarat sebagai obyek hak tanggungan, yaitu tanah tersebut berstatus tanah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak guna Usaha atau Hak pakai yang mempunyai sifat
dapat dipindahtangankan. Jadi tidak hanya untuk kredit properti atau berupa hak milik
atas satuan rumah susun.
Alwesius : sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 UUHT, SKMHT dapat dibuat oleh
PPAT atau notaris. Dalam praktek, jika seseorang merangkap jabatan selaku notaris
dan PPAT maka jika tanahnya terletak di dalam wilayah jabatannya maka ia akan
membuat SKMHT dalam kedudukannya selaku PPAT. Sedangkan jika tanahnya
terletak di luar wilayah jabatannya selaku PPAT maka ia akan bertindak dalam
kedudukannya selaku notaris. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan untuk memenuhi syarat suatu akta agar menjadi akta otentik harus
memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 1868 KHUPerdata antara lain harus
memenuhi syarat bentuk akta yang ditetapkan dalam UU. Untuk akta notaris tentunya
harus dibuat sesuai UUJN, khususnya pasal 38. Sedangkan untuk akta PPAT,
pembuatannya harus memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPN
atau Perkaban. Nah disini timbul masalah ternyata sebagian Kantor Pertanahan tetap
menginginkan bahwa SKMHT yang dibuat secara notaril harus tetap mengikuti cara
pembuatan akta SKMHT yang ditetapkan dalam Perkaban, yang jika hal tersebut
dituruti oleh notaris akan terjadi pelanggaran bentuk akta notaris yang ditetapkan dalam
UUJN.
Alwesius : jika kita selaku notaris membuat SKMHT tentunya kita harus membuatnya
sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam UUJN. Artinya akta tersebut dapat kita buat
dalam bentuk "minuta akta". Artinya asli akta kita simpan di dalam protokol kita,
sedangkan kepada para pihak kita berikan “salinan" atau kita buat dalam bentuk
"originali". Artinya asli akta yang dibuat tersebut diserahkan kepada para pihak. Nah,
jika kita mengikuti pembuatan akta SKMHT yang ditetapkan dalam Perkaban atau
peraturan pertanahan lainnya maka akta yang dibuat tersebut bukan dalam bentuk
minuta akta maupun originali karena originali tidak dikenal adanya salinan dan hal lain
berkenaan dengan kewajiban adanya foot-note serta bentuk akhir akta yang
bertentangan dengan UUJN.
Alwesius : akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 1868 KUHPerdata dan akibatnya Hak tanggungan yang
dibebani atas tanah tersebut menjadi bermasalah.
Alwesius : Jika dasar pembebanannya tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik
tentunya hak tanggungannya menjadi batal.
Alwesius : sepanjang berkaitan dengan akta SKMHT yang dibuat secara notariil
sekarang ini ada yang memang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam UUJN.
Ada pula yang tidak memenuhi syarat karena dibuat sesuai bentuk akta yang
ditetapkan dalam Perkaban (jadi model akta PPAT tapi dibuat oleh notaris) mengikuti
selera Kantor Pertanahan setempat.
Alwesius : akta yang dibuat sesuai Perkaban tidak dapat diterapkan untuk pembuatan
akta notaris karena bertentangan dengan bentuk akta notaris yang ditetapkan dalam
pasal 38 UUJN.
Di lapangan, dalam prakteknya, ada yang menyetujui dibuatnya SKMHT sesuai UUJN
seperti di Kantor Pertanahan Jakarta Selatan. Tapi di luar Jakarta ada kantor
pertanahan yang tetap meminta agar SKMHT dibuat sesuai dengan apa yang
ditetapkan dalam Perkaban atau Peraturan Kepala BPN. Sedangkan yang berkaitan
dengan PPAT, ada PPAT yang hanya mengikuti selera Kantor Pertanahan. yang
penting pekerjaan lancar. Ada juga yang berdebat untuk mempertahankan kebenaran
aktanya.
Alwesius : yang paling prinsip sebenarnya janganlah ketentuan pembuatan akta PPAT
yang diterbitkan oleh BPN diberlakukan kepada notaris dalam pembuatan akta karena
notaris tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi notaris yaitu UUJN. Jika ketentuan
yang berlaku bagi PPAT seperti yang ditetapkan dalam perkaban diikuti dalam
pembuatan akta notaris maka akan terjadi pelanggaran. Pelanggaran ini
mengakibatkan akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik. Ini yang
harus dipahami oleh pemegang kekuasaan di BPN.
Alwesius : sama saja cuma sekarang agak ramai karena awal berlakunya Perkaban
baru ini banyak penolakan akta PPAT yang didasarkan pada alasan-alasan yang
kurang pas dan tidak jelas dasar hukumnya. Pokoknya ditolak karena berbeda dengan
apa yang ada dalam Perkaban padahal sebenarnya tidak bertentangan. Misalnya
masalah renvoi.. dikatakan tidak boleh ada perubahan(renvoi) padahal dalam Perkaban
membolehkannya.
Medinotaris.com : menurut Anda apakah ada peraturan yang salah sehingga diuji
materiil saja?
Alwesius : Perkaban tidak salah. Yang menjadi salah adalah jika peraturan yang
berlaku untuk PPAT diberlakukan juga kepada notaris. Sama saja seperti baju untuk
wanita (rok) dipaksa dipakai oleh laki-laki. Bisa saja dipakaikan tapi tidak tepat.
Medianotaris.com : apa kerugian akibat masalah ini, biaya tinggi ? dan siapa yang
dirugikan?
Alwesius : kerugian secar materi terjadi kalau sampai ada pembatalan akta karena
adanya pelanggran tersebut. Pelanggaran jabatan yang harus dilakukan notaris karena
membuat akta tidak sesuai UUJN.
Medianotaris.com : saran anda terhadap pemerintah?
Alwesius : untuk itu pemerintah harus segera mengatasi masalah ini dengan melakukan
sinkronisasi peraturan. Khusus buat Badan Pertanahan Nasional, haruslah muncul
kesadaran bahwa notaris dalam pembuatan akta mempunyai ketentuan dan peraturan
sendiri yang harus dipatuhi. Peraturan atau kebijakan yang diterapkan ditingkat pusat
(Kepala BPN) harus benar-benar dipatuhi dan dijalankan oleh instansi bawahan (Kantor
Pertanahan). Selain itu pelaksanaan pendaftaran tanah harus sesuai dan sejalan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apalagi jika peraturan
yang bersangkutan merupakan peraturan yang dikeluarkan sendiri oleh BPN. Seringkali
sebagai PPAT kita telah menerapkan apa yang ditentukan atau diatur dalam peraturan
tapi justru kantor pertanahan menolak sendiri dengan alasan yang tak berdasar.