Anda di halaman 1dari 4

Rekap pertanyaan dan jawaban materi kelompok 2

"IBADAH HAJI DAN MALIYAH"

Pertnyaan 1

Ahmad fazri

klompok 1

Hukum nya kalo kita mau brangkat haji menggunakan dana talangan dan cicil, kmudian ada
bungan dalam cicilan .

Jawaban :

Pada prakteknya, dana talangan haji di perbankan syariah menerapkan akad murakab
(bertingkat), gabungan dari akad utang dengan akad lainnya.

Dalam salah satu situs bank syariah yang menjelaskan skema talangan haji, dinyatakan,

Talangan Haji iB merupakan penyediaan dana (talangan) kepada nasabah dalam bentuk
pinjaman (Qardh) untuk pelaksanaan kegiatan Ibadah Haji dan Umrah baik melalui Pemerintah
ataupun Biro Perjalanan/Travel.

Produk ini digunakan bagi pengguna jasa/nasabah yang ingin :

Memperoleh Porsi Haji terlebih dahulu

Perlunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji

Mendapatkan Kafalah (Penjaminan Bank) kepada penyelenggara bahwa Bank akan membayar
biaya ibadah haji dan umrah pada saat biaya perjalanan ibadah haji dan umrah ditetapkan

Produk iB talangan haji menggunakan 3 skema, yaitu,

Skema al-Qardh yaitu Talangan dana untuk memperoleh porsi Haji Reguler

Skema Kafalah yaitu Penjaminan Bank kepada Penyelenggara untuk membayar biaya ibadah


haji dan umrah pada saat Biaya Perjalanan Ibadah Haji ditetapkan

Skema Ijarah yaitu Pembelian paket Haji dan atau Umrah dari penyelenggara oleh Bank yang
dialih manfaatkan kepada Pengguna Jasa dengan sewa/hujrah.
Sebagian bank menerapkan sistem, dana talangan haji yang diinginkan nasabah bisa disetujui
dengan syarat, nasabah harus menggunakan jasa bank untuk pengurusan haji dan talangan
pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Nasabah yang mengambil dana talangan haji
dari Bank x, tidak dibenarkan untuk menggunakan jasa lembaga lain dalam mengurus
administrasi hajinya di tanah air. Sehingga dengan adanya syarat ijarah ini, bank mendapatkan
ujrah yang menjadi revenue bank.

Benar, bisa jadi bank syariah tidak mengambil kelebihan apapun dari kucuran dana utang untuk
talangan haji. Tapi bank menambil marjin dari kucuran dana talangan haji ini, melalui transaksi
ijarah, dalam bentuk penjualan paket haji dan umrah kepada nasabah.

Pertanyaan 2

Ardesti Siti Maulida 1961201818

kelompok 1

ijin bertanya di dalam melaksanakan ibadah haji ada larangan menjauhi rafats, fusuq,jidal. Apa
pengertian dari ketiga tersebut dan sebutkan contoh nya

Jawab :

Rafats adalah bersetubuh atau berhubungan seks, fusuq adalah mencaci, sedangkan jidal
adalah mendebat atau berbantahan dengan saudaramu sampai membuatnya marah.” Dari
penjelasan beberapa hadits di atas, maka bisa diperinci bahwa hal-hal yang termasuk kategori
rafats adalah mengeluarkan perkataan tidak senonoh yang mengandung unsur kecabulan
(porno), senda gurau berlebihan yang menjurus kepada timbulnya nafsu birahi (syahwat),
termasuk melakukan hubungan seks (bersetubuh). Sedangkan hal-hal yang termasuk kategori
fusuq, yakni perbuatan maksiat atau mencaci adalah takabbur atau sombong, merugikan dan
menyakiti orang lain dengan kata-kata maupun perbuatan, bertindak zalim terhadap orang lain
seperti mengambil haknya atau merugikannya, berbuat sesuatu yang dapat menodai akidah
dan keimanannya kepada Allah, merusak alam dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang
membolehkan, juga termasuk menghasut atau memprovokasi orang lain untuk melakukan
maksiat. Adapun hal-hal yang termasuk dalam kategori jidal yang dalam arti dapat
menimbulkan emosi lawan maupun orang itu sendiri adalah seperti berbantah-bantahan hanya
untuk memperebutkan kamar, kamar kecil, makanan dan termasuk melakukan demonstrasi
terhadap sesuatu hal yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya. Adapun diskusi atau
musyawarah tentang masalah agama dan kemaslahatan yang dilakukan dengan cara baik dan
santun, maka hal itu diperbolehkan.
Pertanyaan 3

Rafika Safitri

dari kelompok 4

Bagaimanakah caranya orang tuna Wlwicara melakukan talbiyah Haji ?

Jawab:

Sebagaimana sudah diketahui bahwa memulai manasik dan talbiyah itu dilakukan dengan jahr
(terang-terangan) dari apa yang ada di dalam hati dengan berniat memasuki manasik dan ia
bukanlah niat.

Maka jika orang yang tuli tersebut bisa berniat dengan baik, maka ia wajib melaksanakannya,
dan cukup dengan niat di dalam hatinya. Dan disyari’atkan orang yang menemaninya untuk
mengucapkan talbiyah baginya, jika ia tidak mampu mengucapkannya atau mengajarkannya.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata di dalam Al ‘Uddah fi Syarhi Al Umdah
(1/608):

“Disebutkan dalam –salah satu riwayat Ibnu Hanbal- bahwa orang non Arab baik laki-laki
maupun perempuan, jika keduanya belum faham, maka diajari sesuai dengan kemampuan
mereka, ikut mengerjakan manasik, ikut hadir bersama kaum muslimin lainnya dalam manasik,
dan Allah Yang Maha Mengetahui niatnya dan saya berharap ibadah keduanya tetap sah”. 

Dan tidak boleh mengucapkan talbiyah dengan selain bahasa Arab, selama dia mampu
mengucapkan talbiyah dengan bahasa Arab atau mampu untuk mempelajarinya, karena
merupakan dzikir yang disyari’atkan, maka tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, seperti;
adzan, takbir, dan lain sebagainya dari dzikir-dzikir yang lainnya. Apalagi talbiyah ini adalah
dzikir yang terbatas pada waktu tertentu, ia seperti adzan juga mirip dengan khutbah dan yang
serupa dengannya.

Jika tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab, Abu Muhammad berkata: “Boleh
mengucapkan talbiyah dengan bahasanya sendiri”.

Ada sisi lain, tidak boleh; karena ia telah dilarang untuk berdoa di dalam shalat dengan selain
bahasa Arab.

Jika ia tidak mampu mengucapkan talbiyah dan tidak bisa mengucapkannya sama sekali, atau
dia adalah orang yang bisu, atau karena sakit sehingga tidak mampu berbicara atau karena ia
masih bayi, maka Ahmad –pada riwayat Abu Thalib- berkata:
“Orang yang bisu, yang sakit, dan bayi maka diwakili pengucapan talbiyahnya”.

Hukum yang nampak adalah jika ia tidak mampu mengucapkannya dengan jahr maka
talbiyahnya diucapkan oleh orang lain.

Hal ini karena Jabir telah menyebutkan bahwa mereka telah mengucapkan talbiyah untuk para
balita, hal itu tidaklah dilakukan kecuali karena mereka tidak mampu mengucapkan talbiyah
dan yang serupa dengan para balita adalah semua mereka yang tidak mampu.

Dan karena urusan haji ini semuanya termasuk yang bisa digantikan jika tidak mampu
melaksanakannya, seperti melempar jumrah dan yang lainnya.

Jika ia tidak mampu mengucapkan talbiyah sendiri, maka orang lain yang mengucapkan talbiyah
untuknya, maka sama dengan talbiyahnya seseorang untuk orang yang sudah meninggal atau
orang sulit mendengar, jika ia disebutkan di dalam tabiyah maka lebih baik, dan jika hanya
dengan niat saja maka sudah cukup.

Sahabat-sahabat kami berkata, Al Qadhi dan mereka yang datang setelahnya:

“Bacaan talbiyah itu sunnah, tidak masalah meninggalkannnya; karena menjadi dzikir yang
disyari’atkan di dalam haji, maka hukumnya sunnah seperti banyak dzikirnya yang berupa doa
di Arafah, Muzdalifah dan Mina dan lain sebagainya”. (Syarhu al ‘Umdah: 4/310) –‘Alam al
Fawaid-.

Pertanyaan 4

Lutfia Sungkar 1961201899

dari Kelompok 1

Ijin bertanya : Bolehkah mengalihkan zakat fitrah ke luar tempat tinggal orang yang
membayarnya ?

Jawab:

Dibolehkan mengalihkan zakat fitrah ke luar tempat tinggal orang yang mengeluarkannya bila di
negeri itu terdapat orang yang lebih membutuhkan dan jika hal tersebut dapat mewujudkan
maslahat yang lebih besar bagi kaum muslimin, atau jika lebih dari kebutuhan kaum fakir yang
ada di negerinya. Seandainya tidak ada satu pun di antara sebab yang telah disebutkan itu,
maka tidak boleh mengalihkan zakat ke negeri lain karena Nabi saw. telah bersabda, “(Zakat itu
diambil dari orang kaya di kalangan mereka dan dikembalikan (dibayarkan) kepada kaum
fakirnya)”.

Anda mungkin juga menyukai