Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIK KLINIK

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


(TUGAS SOP)

Dosen : Ns. Masmun Zuryati.M.Kep

Disusun Oleh :

Ramdhaniyah (20210940100084)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021/2022
1. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENANGANAN FRAKTUR BIDAI

A. Definisi Pembidaian
Pembidaian (splinting) merupakan prosedur yang sering dilakukan pada berbagai
cedera muskuloskeletal akut maupun kronis, seperti fraktur dan dislokasi, untuk
membantu mengurangi nyeri serta membantu imobilisasi dan penyembuhan pascaoperasi.
Indikasi: cedera muskuloskeletal, seperti fraktur, dislokasi sendi,
kontraindikasi: adanya tanda gangguan neurovaskular, karena cedera yang dialami
pasien, bidai tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan reduksi secepatnya untuk
mengembalikan supply pembuluh darah. Tanda adanya gangguan neurovaskular antara
lain adanya gangguan motorik, sensorik, serta menurun atau menghilangnya denyut nadi
pada area distal fraktur.

B. Tujuan
Pembidaian yang sesuai akan mengurangi perdarahan akibat trauma dengan membantu
imobilisasi (menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak), mengurangi rasa
nyeri dan menghindari kerusakan lebih parah

C. Peralatan
1. Bidai jenis rigid/hard splint ( keras) atau soft/flexible splint(perban elastis). paling
sering digunakan hard/rigid splint dengan bahan dasar kayu atau bahan lain yang kuat
tetapi ringan. kayu yang dibalut dengan kapas dan perban (spalk), dengan panjang
kayu melewati dua sendi bagian yang cedera dan jumlah minimal 2 spalk pada
ekstremitas atas, 3 spalk untuk ekstremitas bawah.
2. Kain mitela (sesuai kebutuhan)
3. Bantalan empuk (padding)

D. Persiapan Pasien
1. Persiapan pasien dalam melakukan pembidaian yang pertama adalah menempatkan
pasien pada posisi yang terbaik agar seluruh bagian yang mengalami cedera dapat
diakses dengan mudah, lalu melepaskan seluruh perhiasan dan pakaian pada bagian
tubuh yang akan dibidai. Kemudian, lakukan pemeriksaan fisik dengan cermat pada
bagian yang mau dilakukan pembidaian, termasuk denyut nadi pada distal area yang
cedera, fungsi motorik dan sensorik.
2. Perawatan luka pada area kulit maupun jaringan penyambung lainnya perlu dilakukan
sebelum memasang bidai. Selain itu, dilakukan reduksi apabila diperlukan. Analgesik
maupun anestesi mungkin diperlukan pada prosedur pembidaian, terutama apabila
perlu dilakukan reduksi terlebih dahulu.
3. Pada fraktur terbuka, maka perlu dilakukan kontrol perdarahan terlebih dahulu serta
mengembalikan fragmen tulang yang “menonjol” keluar lewat luka. Apabila
perdarahan sudah dikontrol, maka baru dilakukan pembidaian.
4. Pada keadaan dislokasi sendi, maka perlu dilakukan reduksi tertutup terlebih dahulu
untuk merelokasi sendi. Kemudian pembidaian baru dilakukan untuk
mempertahankan ekstremitas pada posisi anatomisnya.
5. Apabila tidak ada tanda-tanda gangguan vaskular atau keadaan yang mengancam
terjadinya kerusakan kulit, serta gangguan hemodinamik, maka perlu dilakukan
rontgen sebelum diberikan terapi.

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Perawat menggunakan masker dan sarung tangan bersih
2. Pengkajian awal: Memeriksa bagian yang akan dibidai (dilihat, diraba,
digerakkan)
Look: apakah ada deformitas, bengkak,kemerahan, fraktur terbuka atau tertutup
Feel: rasakan bunyi krepitasi, akral hangat / dingin, ada nyeri tekan / tidak
Move: Gerakan ektremitas, apakah sulit digerakan atau disertai nyeri
Nurovaskuler: nadi teraba lemah/kuat, CRT >3detik
3. Melakukan pembersihan atau perawatan luka, tutup dengan kassa steril
4. Memilih jenis bidai yang sesuai
5. Pembindaian meliputi 2 sendi, sendi yang masuk dalam pembidaian adalah sendi
bawah dan diatas patah tulang. Misalnya jika tungkai bawah mengalami fraktur
maka bidai harus bisa memobilisasi pergelangan kaki maupun lutut
6. Luruskan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur secara hati-hati dan
jangan memaksa gerakan, jika sulit diluruskan maka pembidaian dilakukan
seadanya
7. Beri bantalan yang empuk pada anggota gerak yang dibidai
8. Ikatlah bidai diatas atau di bawah daerah fraktur dengan mitela, jangan mengikat
tepat di daerah fraktur dan jangan terlalu kencang
F. Pendokumentasian
Bagian tubuh yang dibidai,respon pasien terkait 5 P , Pulseness : apakah setelah dibidai
nadi teraba lemah, Pain : nyeri saat digerakan, Pallor: kulitp pucat, Parathesia:
baal ,kesemutan, Puffiness : edema atau bengkak

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


1. sindroma kompartemen: adalah kondisi yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan di dalam kompartemen otot, pembuluh darah, dan saraf.
Jika tidak segera ditangani, aliran darah dan pasokan oksigen ke kompartemen
akan berkurang. Akibatnya, dapat terjadi kerusakan pada otot dan saraf, serta bisa
berujung pada kematian jaringan (nekrosis) secara permanen.
a. Pulseness : nadi teraba lemah
b. Pain : nyeri saat digerakan
c. Pallor: kulitp pucat
d. Parathesia: baal ,kesemutan
e. Puffiness : edema atau bengkak
2. Delayed union: lambatnya proses penyembuhan tulang (3-5 bulan)
Non union:tidak ada penyatuan tulang
Mal union: kesalahan bentuk dari penyatuan tulang

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing: Diagnosis
and management. St. Louis: Mosby
2. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
TRIASE KEGAWATDARURATAN

A. Definisi
Triase (Triage) adalah tindakan untuk memilah/mengelompokkan korban berdasar
beratnya cidera, kemungkinan untuk hidup, dan keberhasilan tindakan berdasar sumber
daya (SDM dan sarana) yang tersedia.

B. Tujuan
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan 
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat.
4. Meningkatkan kualitas pelayanan triase dan pada musibah massal adalah bahwa
dengan sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan korban sebanyak
mungkin.
C. Peralatan
1. Label / bendera 4 warna ( merah, kuning, hijau dan hitam )
2. Handscoon, masker

D. Persiapan Pasien
Pasien di posisikan awal supinasi

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
2. Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD).
3. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kode warna:
a. Segera-Immediate (merah):.Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya:Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR< 30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
b. Tunda-Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak
ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur
tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas
permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi minor,
memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal
meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir
diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
4. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna : merah,
kuning, hijau, hitam. (Memberi label/gelang pada pasien sesuai dengan
kegawatannya)
5. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan diruang
tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, penderita/korban
dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
6. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut
dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan
kategori triase merah selesai ditangani.
7. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila
sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat
diperbolehkan untuk pulang.
8. Penderita kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah

F. Pendokumentasian
1. Waktu dan datangnya alat transportasi
2. Keluhan utama (misal. “Apa yang membuat anda datang kemari?”)
3. Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
4. Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5. Penempatan di area pengobatan yang tepat (msl. kardiak versus trauma,
perawatan minor versus perawatan kritis)
6. Permulaan intervensi (misal. balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur
diagnostic seperti pemeriksaan sinar X, elektrokardiogram (EKG), atau Gas
Darah Arteri.
Proses dokumentasi triage menggunakan sistem SOAPIE, sebagai berikut :
S : data subjektif
O : data objektif
A : analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
P : rencana keperawatan
I : implementasi, termasuk di dalamnya tes diagnostic
E : evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap
pengobatan dan perawatan yang diberikan

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


-

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
3. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENGKAJIAN PRIMER & SEKUNDER

A. Definisi
Pengkajian primer yaitu pengkajian awal selama maksimal 2 menit. Meliputi ABCDE.
Pengkajian sekunder yaitu pengkajian lanjutan makimal 8 menit. Meliputi Pemfis.

B. Tujuan
Mencari kelainan ABCDE dan mencari perubahan fisik yang dapat berkembang
menjadi gawat darurat

C. Peralatan
Masker,sarung tangan, penlight, stetoskop, thermometer, sphignomanometer, oximeter,
glucometer, ekg

D. Persiapan Pasien
Pasien di posisikan awal supinasi

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Perawat menggunakan masker dan sarung tangan bersih
2. Pemeriksaan singkat dan cepat (selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya.
3. Pengelompokan pasien berdasar triage kegawatannya.
4. Pengkajian primer
a. Memeriksa gangguan jalan nafas ( Airway ) :
Lihat, Dengar, Raba ( Look, Listen, Feel ) dengan cara :
1. Apakah pasien bernapas normal atau spontan, parsial,total
2. Apakah terdapat suara gurgling,snoring,stridor
3. Membuka jalan napas tanpa alat:
 Head-tilt Chin lift (tekan oksipital angkat dagu)
Cara :
Letakkan satu telapak tangan di oksipital pasien dan tekan ke
bawah.Gunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang
tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke
depan, sehingga kepala menjadi tengadah sehingga penyangga
lidah terangkat ke depan
 Jaw thrust (untuk pasien cedera servikal)
Cara : Dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan.
4. Jika terdapat obstruksi total/partial,lakukan maneuver Heimlich (jika
pasien sadar) dan lakukan abdominal thrust(jika pasien tidak sadar)
5. Jika terdapat obstruksi cairan (gurgling) miringkan pasien dan suction
6. Jika terdapat obstruksi pangkal lidah (snoring) pasang
orofaringeal/nasofaringeal
b. Memeriksa gangguan pernapasan ( Breathing)
1. Membungkukkan badan dengan wajah kita menghadap kearah dada pasien
sambil melihat ( Look ) :
 pergerakan dinding dada
 kesimetrisan naik turunnya dinding dada
2. Telinga kita dekatkan dengan hidung dan mulut pasien untuk
mendengarkan ( Listen ):suara nafas pasien,suara tambahan, wheezing,
rhonki
3. Rasakan ( feel) hembusan udara di pipi pada saat pasien mengeluarkan
nafas, baik dari hidung ataupun mulut, bila perlu dekatkan jari kita di
depan hidung pasien dan rasakan adanya hembusan nafas
4. Apabila tidak terdengar suara nafas ataupun hembusan nafas, maka
kemungkinan pasien mengalami sumbatan pada jalan nafasnya dan harus
segera bebaskan jalan nafas pasien.
c. Memeriksa gangguan sirkulasi ( Circulation )
dengan cara memeriksa nadi pasien , warna kulit,suhu,CRT
d. Memeriksa gangguan status neorologis (Disability)
Cek GCS/AVPU, cek reaksi pupil
A: sadar orientasi baik
V: verbal baik
P: berespon terhadap nyeri
U: tidak berespon
e. Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita, tetapi tetap
cegah hipotermia
5. Pengkajian Sekunder
 Menanyakan SAMPLE (keluhan,Alergi,Medikasi/obat, Penyakit,terakhir makan,
Kejadian sebelumnya)
 Pemeriksaan TTV, skala nyeri, gula darah, SpO2
 Pemeriksaan Fisik (Head to toe):
Inspeksi : Menggunakan DCAP BLS
Deformitas,Contusio,Abrasi, Penetrasi, Burn, Laserasi, Swelling
Palpasi : Mengggunakan TIC
Tenderness, Instability, Crepitasi
Auskultasi : mendengar bunyi suara napas,jantung,abdomen
Perkusi : membedaan organ yang berisi cairan atau udara

F. Pendokumentasian
Mencatatat kelainan ABCDE dan mencari perubahan fisik yang terjadi

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Aspirasi, cedera servikal

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
4. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PEMASANGAN NECK COLAR

A. Definisi
Pemasangan alat neck collar yaitu untuk immobilisasi leher (mempertahankan tulang
servikal).
Indikasi:
1. Pasien cedera kepala disertai penurunan kesadaran
2. Adanya jejas daerah klavikula ke arah cranial
1. Biomekanika trauma yang mendukung
2. Patah tulang leher

B. Tujuan
1. Mencegah pergerakan tulang servikal yang patah
2. Mencegah bertambahnya kerusakan tulang servikal dan spinal cords
3. Mengurangi nyeri

C. Peralatan
1. Neck Collar
2. 2 buah penopang kepala/leher
3. Tali fikssi
4. Sarung tangan bersih

D. Persiapan Pasien
Pasien di posisikan awal supinasi, bagian leher di bebaskan dari kalung atau syal
E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Menenangkan pasien jika sadar
2. Meminta bantuan pada perawat lain untuk menopang kepala dan leher pasien
3. Mengukur leher pasien untuk menentukan ukuran neck collar yang akan
digunakan
4. Memilih neck collar yang ukurannya sesuai dengn hasil pengukuran
5. Memasukan ujung neck collar kesekitar leher pasien dengan hati-hati
6. Mengamankan neck collar dengan memastikan neck collar terpasang tepat dan
nyaman
7. Memasang alat penopang dikedua sisi kepala dan leher
8. Saat prosedur dilakukan , meminta perawat lain untuk tetap mempertahankan
leher dan kepala pasien

F. Pendokumentasian
Waktu dan respon pasien setelah dilakukan pemasangan neck collar

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Cedera servikal bertambah parah

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
5. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
TRANSFERING

A. Definisi
Yaitu Teknik yang dapat digunakan oleh perawat untuk memberi perawatan pada klien
imobilisasi yaitu transfering atau memindahkan pasien. Teknik ini membutuhkan
mekanika tubuh yang sesuai sehingga memungkinkan perawat untuk menggerakan,
mengangkat atau memindahkan klien dengan aman dan juga

B. Tujuan
Memindahkan pasien dengan aman dan memudahkan pengangkatan dalam pemindahan
pasien dengan tujuan menghindari atau mencegah terjadinya cedera pada penolong.

C. Peralatan
Long spine board

D. Persiapan Pasien
Menenangkan pasien jika sadar, posisi pasien supinasi

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Atur brankar / Tempat Tidur dalam kondisi terkunci
2. Berdiri di sisi kanan atau kiri pasien
3. Kemudian masukkan tangan ke bawah tubuh pasien
4. Silangkan tangan pasien di atas dada
5. Pasien diangkat oleh sekurang-kurangnya 2 - 3 orang perawat (sesuai kebutuhan)
6. Ketiga perawat berdiri disisi sebelah kanan pasien:
a. Perawat I (paling tinggi) dan berdiri di bagian kepala sebagai pemberi istruksi).
b. Perawat II berdiri di bagian pinggang
c. Perawat III berdiri di bagian kaki
7. Lengan kiri perawat I berada di bawah kepala atau leher dan pangkal lengan pasien,dan
lengan kanan dibawah punggung pasien
8. Lengan kiri perawat II dibawah pinggang pasien, lengan kanan dibawah bokong pasien.
9. Kedua lengan perawat III mengangkat seluruh tungkai pasien.
10. Setelah siap, salah seorang perawat memberi aba-aba untuk bersama-sama mengangkat
pasien.
11. Dengan langkah bersamaan, berjalan menuju ke tempat tidur / brankar yang telah
disiapkan.
12. Setelah pasien berada di atas tempat tidur /brankar, posisi pasien diatur, selimut dipasang
atau dirapikan.

Bisa juga dengan menggunakan Long spine board dengan teknik log roll
1. Jelaskan prosedur tindakan pada klien dengan mempertimbangkan status kesadaran dan
minta klien untuk tetap berbaring
2. Pastikan colar terpasang dengan benar
3. Jika memungkinkan, pastikan peralatan yang ada ditubuh klien seperti kateter, ventilator
tubempada posisinya, untuk mencegah kemungkinan tertarik keluar selama perubahan
posisi
4. jika klien terpasang tracheostomy tube, sebelum log roll dianjurkan untuk menahan
batuk selama prosedur log roll
5. Klien dalam posisi supine
6. Penolong 1 : bantu menahan bagian atas badan klien, tempatkan satu tangan di bahu klien
untuk menopang punggung, dan tangan yang lain melingkari paha klien.
7. Penolong 2 : tangan bertumpuk dengan penolong 1 untuk menempatkan satu tangan
dibawah punggung klien, dan tangan lainnya melingkari betis klien.
8. Dengan aba-aba dari penolong penahan kepala, klien di ubah dengan posisi miring
9. Penolong penahan kepala akan memberi aba-aba untuk mengembalikan klien pada posisi
lateral dengan bantal penahan
F. Pendokumentasian
Waktu dan respon pasien setelah dilakukan pemindahan

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Cedera servikal bertambah parah

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
6. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENGUKURAN CVP(central venous pressure)
A. Definisi
Yaitu pengukuran pada tekanan vena central yang diindikasikan untuk pasien shock
butuh cairan banyak diwaktu singkat dan masalah pada akses vena perifer

B. Tujuan
Untuk menggambarkan tekanan pada vena central sehingga mengetahui status cairan
pasien

C. Peralatan
1. Manometer air CVP
2. Cairan intravena
3. Selang/tube
4. Spidol

D. Persiapan Pasien
Menempatkan pasien pada posisi supine dengan kepala tempat tidur datar atau elevasi
tidak lebih dari 300

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Menentuan sudut plebostatik dan menandai titik nol (zero point)
2. Membilas tube/selang kearah pasien dan memutar stopcock menutup manometer
serta menilai kelancaran tetesan infusan
3. memutar stopcock menutup kearah pasien dan mengalirkan caran infusan kearah
manometer
4. mengisi cairan kedalam manometer sampai setinggi 25 cm
5. memperhatikan kecepatan pengisian manometer
6. menutup cairan dari selang infus dan membuka stopcock kearah pasien
7. memperhatikan penurunan aliran cairan didalam manometer sampai alirannya
terhenti
8. membaca hasil pengukuran CVP saat penurunan aliran cairan berhenti / stabil

F. Pendokumentasian
Mendokumntasikan hasil pengukuran ,rendah <4 cmH2O, normal 4-10 cmH2O, sedang
10-15 cmH2O.tingggi >15 cmH2O

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Pneumothoraks,emboli udara,sepsis

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
7. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
TERAPI OKSIGEN DAN RJP
A. Definisi
merupakan pertolongan awal yang diberikan kepada korban yang mengalami trauma atau
penyakit yang mengancam nyawa dengan kondisi henti jantung dan henti napas.

B. Tujuan
Mengembalikan fungsi sistem pernapasan, peredaran darah dan otak yang
terhenti/terganggu agar normal kembali dalam waktu sesingkat mungkin

C. Peralatan
1. Masker,Sarung tangan
2. Ambu bag
3. Tabung oksigen
4. Oroparingeal airway
5. Penlight
6. Stetskop

D. Persiapan Pasien
Posisikan korban berbaring telentang, baju dibuka dengan membebaskan bagia daerah
dada

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
menggunakan teknik DRSCAB
• D: Danger: pastikan tidak terdapat sesuatu yang membahayakan penolong maupun
korban
3 A: aman (diri,pasien,lingkungan)
• R:respon kesadaran pasien
( memanggil,menepuk bahu maupun rangsang nyeri)
-Alert: inspeksi dan cek apakah korban sadar atau tidak
-Voice: lihat apakah korban bereaksi dengan rangsang suara
-Unresponsive: jika pasien tidak merespon sama sekali berarti unresponsive
• S: shout for help: panggil bantuan. Segera telpon sistem pelayanan gawat darurat terpadu
(SPGDT) 119 118
( nama penolong,apa yang terjadi,kondisi korban,lokasi kejadian, dan Apa yang anda
lakukan sebagai penolong,berapa lama ambulance akan datang,berikan no penolong agar
mudah dihubungi)
Lakukan primary survey( CAB)
• C: Circulation: cek nadi korban di arteri karotis menggunakan 2/3 jari,maksimal lakukan
10 detik
Jika nadi tidak teraba lakukan RJP
1. Posisikan korban berbaring telentang pada bidang yang keras dan datar.
2. Posisikan penolong berada di samping penderita
3. Buka dulu baju korban hanya sampai batas dada
4. Untuk lebih mudah, tarik garis imajiner antara 2 puting. Titik kompresi ada di tengah
garis imajiner. Letakkan tumit telapak tangan tidak dominan (kiri) pada titik kompresi
5. Lakukan kompresi dada dengan kedua tangan dikunci satu sama lain
6. Posisi badan penolong harus tegak
7. Tangan lurus 90 derajat(vertikal)dengan tubuh korban dan tangan tidak boleh menekuk.
8. Pandangan penolong mengarah kewajah korban,.
9. Kompresi dada dilakukan selama 5 kali siklus, 1 siklus terdiri dari 30 kompresi dan 2 kali
rescue breathing/bantuan nafas dengan kecepatan 100-120x/menit (1 detik:2 kompresi) .
Kedalaman kompresi minimal 5cm dan tidak boleh lebih dari 6cm
10. berikan rescue breathing sebanyak 2 x dengan melakukan head tilt chin lift / jaw thrust
(cedera servikal) dengan ambu bag yang dihubungkan ketabung oksigen(12L/menit kadar
O2 100%) sambil melihat dada korban mengembang atau tidak.
11. Jika sudah melakukan RJP selama 2 menit / 5 siklus, lakukan evaluasi dengan
pengecekan nadi dan nafas korban kembali
12. Jika nadi teraba Cek Airway
• Breathing: lakukan dengan look,feel,listen
Lihat apakah dada korban mengembang,rasakan apakah korban menghembuskan udara
dan dengar apakah korban menapas atau tidak.
13. Jika nadi ada napas tidak ada , berikan rescue breathing sebanyak 12 x/menit selama 2
menit
14. Jika nadi ada napas ada, berikan recovery position
15. Pertahankan kepatenan jalan napas dan keadekuatan oksigen

F. Pendokumentasian
Respon pasien,waktu pasien dilakukan rjp dan waktu pasien selesai dilakukan rjp, hasil
tindakan rjp pasien

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Fraktur iga, pneumptoraks,hemotoraks, kontusio paru

H. Daftar Pustaka
Pedoman American Heart Association (AHA) 2015 untuk CPR
8. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENGAMBILAN DARAH ARTERI

A. Definisi
Yaitu pengambilan darah arteri untuk pemeriksaan Analisa gas darah

B. Tujuan
Menilai status oksigenasi dan keseimbangan asam basa

C. Peralatan
1. Spuit 3 cc
2. heparin
3. kapas alcohol
4. Plester
5. Gunting
6. kassa steril
7. Sarung tangan bersih
8. Needle 25G
9. Perlak
10. Bengkok
11. bak instrumen
12. Karet penutup
13. Label spuit

D. Persiapan Pasien
Posisi pasien supine
E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Cuci tangan
2. Gunakan sarung tangan bersih
3. Letakan perlak/pengalas di bawah tangan pasien
4. Gunakan bantalan kecil untuk menyangga tangan pasien agar posisinya benar
5. Siapkan spuit 3 ml isi dengan heparin (untuk antikoagulan) sebanyak 0.1cc, lalu ganti
jarum dengan ukuran yang disesuaikan dengan pasien dan dekatkan instrument
6. Perintahkan pasien untuk menggenggam telapak tangan dengan ibu jari berada di
dalam selama 10 detik, dan perawat memastikan posisi penusukan dengan tepat
dengan cara meraba denyutan arteri radialis
7. Perintahkan pasien melepaskan genggaman tangannya dan perawat melakukan
tekanan di arteri radalis menggunakan 3 jari diatasnya, kemudian angkat 2 jari,
oleskan alkohol swab. Lalu taruh kembali 1 jari untuk memastikan betul bahwa pada
titik itulah perawat nengambil darah arteri dengan tepat.
8. Lakukan penusukan arteri radialis dengan sudut 45-60 derajat,jika arteri femoralis 90
derajat dengan arah jarum ke atas
9. Jika darah arteri sudah keluar spuit akan terdorong keatas dan jika pasien hipotensi
spuit dapat ditarik perlahan-lahan
10. Jika sudah mendapatkan darah yang diinginkan, area penusukan ditekan dengan
kasa steril dan tarik perlahan spuit lalu tusuk kekaret untuk mencegah udara masuk
(anaerob)
11. Lakukan penekanan tidak terlaku kuat didaerah penusukan selama 5 -10 menit
sampai tidak ada darah yang mengalir,jika sudah fiksasi menggunakan plester
12. Beri label pada spuit (nama, No.RM dan alamat) dan siap diantar ke lab

F. Pendokumentasian
Respon pasien, kondisi luka penusukan

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Thrombosis arteri, hematoma,perdarahan
H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby

9. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR


SUCTION VIA ETT

A. Definisi
Yaitu pengangkatan sekrek dari trachea, bronchus dengan alat kateter melalui
Endotracheal tube dengan sistem tertutup atau terbuka

B. Tujuan
Pembersihan jalan napas dari secret dan menjaga kepatenan jalan napas,mencegah
terjadinya penumpukan sputum, mencegah terjadinya infeksi sekunder, untuk
pengambilan spesimen pemeriksaan analisa sputum

C. Peralatan
a) Open suction
1. Mesin suction
2. Kateter suction
3. Ambu bag yang terhubung oksigen 100%, atau ventilator dengan setting
O2 100%,
4. Handscoon steril dan bersih
5. Kassa stril
6. Handuk
7. Masker
8. Bengkok
9. Kom berisi cairan desinfektan/nacl 0,9 %

D. Persiapan Pasien
1. Posisi pasien supine
2. Lakukan pengkajian sistem pernapasan
E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
Prosedur Open suction:
a) Open suction
1. Tempatkan handuk melintang di atas dada klien untuk melindungi dari dahak
yang tercecer atau basah.
2. Cuci tangan, gunakan sarung tangan steril
3. gunakan pelindung wajah (masker) dan kacamata pelindung bila diperlukan.
4. Hubungkan salah satu ujung dari tube penghubung ke mesin suction dan
tempatkan ujung yang lain di lokasi yang aman di dekat klien.
5. Nyalakan perangkat suction, atur tekanan yang sesuai.
6. Lakukan preoksigenisasi.
7. Siapkan kateter suction steril, buka perlengkapan suction atau kateter dengan
teknik aseptik
8. buka baskom steril, dan tempatkan di samping meja tempat tidur. Isi dengan
sekitar 100 ml larutan normal saline atau air steril.
9. Bilas dan lumasi selangkateter dengan air steril, gunakan tangan yang dominan
letakan ujung kateter dalam cairan steril.
10. Gunakan ibu jari tangan yang tidak dominan tutup kontrol penghisap dengan ibu
jari dan isap sejumlah kecil larutan steril melalui kateter.
11. Gunakan tangan yang tidak dominan alirkan oksigen 10-15 l/m.
12. Tekan ambubag 3-5 kali saat klien melakukan inhalasi. Observasi naik turunnya
dada klien untuk mengkaji keadequatan setiap ventilasi.
13. Lepaskan alat resusitasi dan letakan alat di tempat tidur atau di atas dada klien
dengan konektor yang menghadap keatas. masukan kateter secara secara cepat
dan hati-hati tanpa melakukan penghisapan, Masukan kateter sekitar 12,5 cm atau
sampai klien batuk atau sampai ada tahanan. tarik kateter sekitar 1-2 cm sebelum
melakukan penghisapan.
14. Lakukan penghisapan intermiten, putar kateter dengan menggerakannya diantara
ibu jari dan jari telunjuk sambil menaiknya perlahan, tarik kateter seluruhnya, dan
akhiri penghisapan.
15. hyperventilasikan pasien.
16. Bilas kateter, buang perlengkapan, matikan alat penghisap dan lepaskan kateter
dari selang penghisap. Bungkus kateter dalam tangan steril dan lepaskan sarung
tangan hingga sarung tangan bagian dalam membungkus kateter, buang sarung
tangan dan kateter ke dalam kantung infeksius.
17. Cuci tangan.

F. Pendokumentasian
Warna secret,jumlah dan konsistensinya seperti apa, apakah mengindikasikan infeksi

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


Dapat meningkatkan tekanan intrakranial, hypoxia, trauma mukosa trachea,
meningkatnya penyebaran kolonisasi bakteri, menimbulkan kelelahan, infeksi saluran
pernapasan karena kolonisasi bakteri jalan napas, dapat terjadi aspirasi apabila terjadi
muntah atau kondisi cuff ETT tidak baik, Vagal respon yag dapat mengakibatkan
bradikardi atau hipotensi, terjadi perdarahan pada pasien-pasien yang mendapat therafi
obat antikoagulan atau thrombolitik.

H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
10. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PEMASANGAN EKG /INTERPRETASI

A. Definisi
Yaitu tindakan merekam aktivitas listrik jantug
Indikasi: Hipertrofi/dilatasi atrium dan ventrikel, aritmia/gangguan konduksi, Iskemia
dan infark miokard akut atau infark lama, efek obat-obatan : digitalis,aniaritma, gangguan
keseimbangan elektrolit : kalium (hipo/hiper kalemia)

B. Tujuan
Untuk mengetahui aktivitas listrik jantug apakah ada kelainan

C. Peralatan
1. Mesin EKG, yang dilengkapi :
2. Kabel untuk sumber listrik
3. Kabel elektroda ektremitas dan dada
4. Plat elektroda ekstremitas beserta karet pengikat
5. Balon penghisap elektroda dada
6. Jelly
7. Tissue
8. Kapas alcohol
9. Kertas EKG
10. Spidol

D. Persiapan Pasien
Hal – hal yang perlu diperhatikan saat perekaman
1. Dinding dada harus terbuka dan tidak ada perhiasan logam yang melekat
2. Pasien diminta tenang atau tidak bergerak saat perekaman EKG

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. Pasang semua komponen/ kabel – kabel pada mesin EKG
2. Nyalakan mesin EKG
3. Baringkan pasien dengan tenang ditempat tidur. Tangan dan kaki tidak saling
bersentuhan
4. Bersihkan dada, kedua pergelangan kaki dan tangan dengan kapas alcohol
5. Keempat elektroda ekstremitas diberi jelly
6. Pasangkan keempat elektroda ekstremitas tersebut pada kedua pergelangan tangan
dan kaki. Untuk tangan kanan berwarna merah, untuk tangan kiri berwarna
kuning, kaki kiri berwarna hijau dan kaki kanan berwarna hitam
7. Dada diberi jelly sesuai dengan lokasi elektroda V1 s/d V6
- V1 di garis parasternal kanan sejajar dengan ICS 4 berwarna merah
- V2 di garis parasternal kiri sejajar dengan ICS 4 berwarna kuning
- V3 di antara V2 dan V4 berwarna hijau
- V4 di garis mid klavikula kiri sejajar ICS 5 berwarna coklat
- V5 di garis aksila anterior kiri sejajar dengan ICS 5 berwarna hitam
- V6 di garis mid aksila kiri sejajar ICS 5 berwarna ungu
8. Pasang elektroda dada dengan menekan karet penghisap
9. Buat kalibrasi
10. Rekam setiap lead 3-4 beat (gelombang), kalau perlu lead II panjang (minimal 6
beat)
11. Kalau perlu buat kalibrasi setelah selesai perekaman
12. Semua elektroda di lepas
13. Jelly dibersihkan dari tubuh pasien
14. Matikan mesin EKG
15. Bersihkan dan rapikan alat

Yang perlu diperhatikan :


1. Sebelum melakukan perekaman EKG , periksa kecepatan mesin 25 mm/detik dan
voltase 10 mm. jika kertas tidak cukup kalibrasi voltase diperkecil menjadi ½ kali
atau 5 mm. Jika gambaran EKG kecil, kalibrasi voltase diperbesar menjadi 2 kali
atau 20 mm
2. Hindari gangguan listrik dan mekanik saat perekaman

F. Pendokumentasian
Tulis pada hasil perekaman : nama, umur, jenis kelamin, jam tanggal, bulan dan tahun
pembuatan, nama masing – masing lead serta nama perawat yang merekam

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


-
H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby
11.STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PEMASANGAN HEMODINAMIK MONITOR

A. Definisi
Bedside monitor adalah suatu alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien,
berupa pulse,respirasi,temperature dan tekanan darah secara terus menerus

B. Tujuan
Agar perawat dapat memantau kondisi pasien kritis

C. Peralatan
1. 5 buah elektroda
2. Set bedside monitor,kabel ke (thermometer,NIBP/Non Invasive Blood
Pressure,pulse oksimetri,ekg)
3. Plester

D. Persiapan Pasien
Pasien posisi supin dan membebaskan area dada

E. Langkah-langkah tindakan/prosedur
1. pasang elektroda
a. Putih: right arm
b. Hitam: left arm
c. Merah; left leg
d. Hijau: right leg
e. Coklat: ics 4 sebelah kanan
2. Pasang manset tensi
3. Pasang oximeter dijari
4. Pasang termometer di aksila , tempel menggunakan plester agar tidak lepas
5. Hubungkan kabel ke monitor
6. Nyalakan monitor ON
7. Set rentang nilai dan alarm

F. Pendokumentasian
Hasil hemodinamik pasien

G. Komplikasi/bahaya yang mungkin terjadi dari prosedur


-
H. Daftar Pustaka
Urden, L.D, Stacy, K.M., & Lough, M.F. (2010). Critical care nursing:
Diagnosis and management. St. Louis: Mosby

Anda mungkin juga menyukai